EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM
LEMBAH HARAU, SUMATERA BARAT
YOGI ISMET
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi baik yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Yogi Ismet
YOGI ISMET. Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Dibimbing oleh WAHJU QAMARA MUGNISJAH.
Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan bentangan alam yang unik. Lembah Harau telah dikembangkan menjadi tempat wisata massal oleh pemerintah daerah setempat. Ekowisata dapat menjadi alternatif wisata sesuai dengan potensi yang dimiliki Lembah Harau. Dalam ekowisata terdapat prinsip berbasis masyarakat (community-based tourism) sehingga masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengembangan kawasan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau dan menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.
Penelitian dilakukan di kawasan TWA Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. TWA Lembah Harau memiliki dua kawasan utama, yaitu kawasan Aka Barayun dan Sarasah Bunta. Penelitian dimulai dari Maret 2010 hingga Januari 2011. Analisis yang dilakukan meliputi penilaian potensi dan kendala yang terdiri dari penilaian objek dan daya tarik wisata, penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Selanjutnya menggunakan analisis SWOT (strength-weakness-opportunity-threat) untuk menentukan strategi pengembangan wilayah tersebut.
Berdasarkan analisis penilaian, TWA Lembah Harau memiliki kategori baik dari penilaian objek dan daya tarik wisata, kategori sedang dari penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan kategori sedang dari penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Potensi TWA Lembah Harau dari hasil penilaian adalah keunikan objek wisata dan tingginya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Aspek pengelolaan dan sosial budaya menjadi kendala utama. Kendala aspek pengelolaan adalah belum adanya partisipasi masyarakat dan belum adanya kerja sama antara Pemda dan BKSDA selaku pengelola kawasan. Kendala aspek sosial budaya adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga belum memahami tentang konservasi.
Hasil dari ketiga penilaian dijadikan sebagai dasar dalam analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan strategi pengembangan, yaitu pelibatan masyarakat ke dalam rencana pengembangan dan pengelolaan Pemda dan BKSDA, adanya kerja sama antara Pemda, BKSDA, dan masyarakat, pengembangan produk wisata sesuai dengan potensi objek dan kegiatan wisata, pensosialisasian kegiatan konservasi kepada masyarakat, serta peningkatan SDM masyarakat terutama mengenai ekowisata melalui berbagai pelatihan dan pendampingan.
Keempat, akibat dari terganggunya kelestarian lingkungan, diperlukan pensosialisasikan kegiatan konsevasi kepada masyarakat yang berupa pengenalan konsep konservasi dan pengenalan batas wilayah. Kelima, diperlukan pelatihan dan pendampingan dalam hal-hal teknis yang dilaksanakan dengan kerja sama berbagai instansi terkait.
® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
SUMATERA BARAT
YOGI ISMET
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera
Barat
Nama : Yogi Ismet
NRP : A44062928
Departemen : Arsitektur Lanskap
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr.
NIP 19491105 197403 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
NIP 19480912 197412 2 001
Penulis bersyukur kepada Allah Swt. karena atas rahmat, hidayah, dan
karunia-Nya dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul “Konsep
Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam
Lembah Harau, Sumatera Barat”. Lembah Harau merupakan lanskap alami yang ada
di kota kelahiran penulis. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara
Mugnisjah, M.Agr. sebagai pembimbing skripsi. Terima kasih juga disampaikan
kepada Pemda, KSDA, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu
kelancaran penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1988. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Ismet Chas dan Ibunda Djasnimar.
Pendidikan penulis diawali pada tahun 1992 dan menyelesaikan Taman
Kanak-kanak (TK) di TK Pertiwi pada tahun 1994. Pada tahun 2000 penulis lulus
dari SD Pius, Kota Payakumbuh. Kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan
studi di SLTP 01 Kota Payakumbuh. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis lulus
SMAN 02 Kota Payakumbuh.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006 melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Tingkat
Persiapan Bersama (TPB). Setahun setelah itu, tahun 2007, penulis diterima sebagai
mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama
menjalankan studi di IPB, penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik,
DAFTAR ISI
Halama
n
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wisata Alam dan Ekowisata ... 3
2.2 Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata ... 5
2.3 Cagar Alam Lembah Harau ... 11
III. METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
3.2 Metode Penelitian ... 13
3.3 Metode Analisis Penilaian
3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 16
3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE) ... 17 3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan
Ekowisata... 18
3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) ... 19
IV. INVENTARISASI
4.1 Aspek Legal ... 24
4.2 Aspek Fisik dan Biofisik
4.2.1 Luas, Letak, dan Batas ... 24
4.2.2 Aksesibilitas... 25
4.2.4 Topografi ... 26
4.2.5 Hidrologi ... 26
4.2.6 Fasilitas ... 27
4.2.7 Vegetasi ... 29
4.2.8 Fauna ... 29
4.2.9 Objek Wisata ... 31
4.2.10 Aktivitas... 34
4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat... 36
4.3.2 Pengunjung ... 39
4.4 Aspek Pengelolaan 4.4.1 Kronologi Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 40
4.4.2 Rencana Pengembangan dan Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 42
V. ANALISIS DAN SINTESIS 5.1 Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata ... 44
5.2 Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE) ... 47
5.3 Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata .... 51
5.4 Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata ... 54
VI. KONSEP PENGEMBANGAN LANSKAP BERBASIS EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM LEMBAH HARAU 6.1 Pelibatan Masyarakat ke dalam Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Pemda dan BKSDA ... 58
6.2 Kerja Sama Antara Pemda, BKSDA, dan Masyarakat ... 62
6.3 Pengembangan Produk Wisata Sesuai dengan Potensi Objek dan Kegiatan Wisata ... 64
6.5 Peningkatan SDM Masyarakat Melalui Berbagai Pelatihan dan
Pendampingan ... 68
VII.SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 70
7.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data... 15
2 Kategori Penilaian ODTW ... 17
3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 18
4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 19
5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal ... 20
6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) ... 21
7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 22
8 Matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 22
9 Pemeringkatan Alternatif Strategi ... 23
10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi .. 25
11 Data Curah Hujan Bulanan dan Intensitas Hujan 30 Tahun Terakhir di Sekitar Cagar Alam Lembah Harau ... 26
12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang Dilindungi oleh UU No. 5/1990 ... 29
13 Jenis-Jenis Burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau ... 30
14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau .... 30
15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun ... 31
16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta ... 31
17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau... 31
18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga pada Tahun 2000... 36
19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37
20 Luas Peruntukkan Lahan di Desa Harau ... 37
21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37
Tarantang Lubuak Limpato ... 38
23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 38
24 Hasil Penilaian Aspek Daya Tarik ... 44
25 Hasil Penilaian Aspek Aksesibilitas... 45
26 Hasil Penilaian Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi ... 45
27 Hasil Penilaian Aspek Akomodasi ... 45
28 Hasil Penilaian Aspek Sarana dan Prasarana Penunjang (Radius 10 km dari Objek) ... 45
29 Kategori Penilaian ODWT ... 46
30 Hasil Penilaian Aspek Sosial Ekonomi ... 48
31 Hasil Penilaian Aspek Sosial Budaya ... 48
32 Hasil Penilaian Aspek Lingkungan ... 49
33 Hasil Penilaian Aspek Pengelolaan ... 49
34 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 50
35 Hasil Penilaian Karakteristik Masyarakat ... 52
36 Hasil Penilaian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengembangan Ekowisata ... 52
37 Hasil Penilaian Partisipasi dan Keinginan Masyarakat ... 53
38 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 53
39 Tingkat Kepentingan Faktor Internal TWA Lembah Harau ... 55
40 Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal TWA Lembah Harau ... 55
41 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) TWA Lembah Harau ... 56
42 Matriks External Factor Evaluation (EFE) TWA Lembah Harau ... 56
43 Pemeringkatan Alternatif Strategi TWA Lembah Harau ... 57
44 Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau ... 57
45 Bentuk-Bentuk Mekanisme Partisipasi Publik... 60
46 Contoh Lembar Pemantuan dan Evalusi ... 61
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau ... 14
2 Tahapan Studi... 13
3 Matriks Internal-Eksternal (IE) ... 22
4 Kios Makanan, Tanaman, dan Souvenir ... 27
5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala ... 28
6 Taman Bermain Anak ... 28
7 Sepeda Air ... 28
8 Area Berkemah dan Area Parkir ... 28
9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta ... 29
10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun ... 31
11 Air Terjun Air Lulus ... 32
12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta ... 32
13 Air Terjun Sarasah Murai... 32
14 Peta Lokasi Potensi Objek Wisata ... 33
15 Peta Pusat Kegiatan ... 35
16 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2009 ... 39
17 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2004, 2005, dan 2006 ... 40
18 Matriks Internal-Eksternal (IE) TWA Lembah Harau ... 56
19 Konsep Pembagian Kegiatan Wisata oleh Weaver ... 65
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Kriteria dan Bobot Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 73
2 Kriteria Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism
(CBE) ... 77
3 Kriteria Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata
(Kuesioner) ... 81
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia memiliki lanskap alami yang indah. Lanskap alami ini perlu
dijaga dan dikembangkan. Banyak potensi yang perlu dikembangkan dari
keindahan lanskap tersebut.
Sumatera Barat merupakan salah satu tempat yang memiliki lanskap alami
yang indah. Sumatera Barat dilalui oleh pegunungan Bukit Barisan yang memiliki
keragaman bentuk topografi yang mengagumkan. Selain itu, juga memiliki
keragaman flora dan fauna yang cukup terjaga keutuhannya. Lembah Harau
adalah salah satu tempat yang memiliki lanskap tersebut. Tempat ini berada di
Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Lembah Harau telah menjadi
cagar alam sejak 10 Januari 1993, kemudian dikembangkan menjadi taman wisata
alam. Yang menjadikan Lembah Harau istimewa adalah adanya tebing terjal yang
menjulang ke atas. Tebing ini memiliki ketinggian hingga 200 meter.
Dengan berbagai bentuk lanskap tersebut, Lembah Harau berpotensi
dijadikan sebagai tempat wisata. Bentuk wisata massal telah dikembangkan oleh
pemerintah daerah setempat. Wisata tersebut telah berkembang cukup baik, tetapi
kegiatan wisata yang dilakukan terbatas pada berpiknik, berenang, dan berkemah.
Ekowisata dapat menjadi alternatif bentuk wisata yang baik sesuai dengan potensi
yang dimiliki oleh Lembah Harau. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah
suatu bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman
dan penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya di dalam
konteks budaya yang berhubungan. Melalui pembelajaran, pengunjung akan lebih
mengenal alam sehingga meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan di sekitar.
Dalam mencapai ekowisata, perlu dikembangkannya prinsip-prinsip
ekowisata agar tercapai keberlanjutan (suistainable). Salah satu prinsip tersebut adalah berbasis masyarakat (community-based tourism). Melalui prinsip berbasis masyarakat, dapat dijembatani hubungan yang baik antara pengelola dengan
masyarakat. Selain itu, melalui pengembangan berbasis masyarakat, kepedulian
masyarakat terhadap alam akan meningkat sehingga dapat mengurangi dampak
antara lain, yaitu masyarakat mengurangi eksploitasi alam yang berlebihan,
pengawasan akan lebih mudah dengan adanya bantuan dari masyarakat, dan
adanya potensi pengembangan pasar dan produk yang lebih beragam. Dalam
pengembangan lanskap berbasis ekowisata diperlukan konsep yang matang.
Pembentukan konsep akan dilakukan dalam tulisan ini melalui berbagai analisis.
1.2Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau;
b. menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan
Taman Wisata Alam Lembah Harau.
1.3Manfaat
Sebagai manfaat penelitian, produk penelitian yang berupa konsep
pengembangan ini dapat diharapkan menjadi pertimbangan bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam pengembangan sumber daya alam di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Wisata Alam dan Ekowisata
Wisata merupakan perjalanan dan tinggal di suatu tempat (bukan tempat
tinggal dan bekerja). Wisata memiliki beberapa jenis. Salah satunya adalah wisata
alam. Menurut PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam,
wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang
dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala
keunikan dan keindahan alam. Kegiatan dalam wisata alam berhubungan erat
dengan alam itu sendiri. Ekowisata merupakan salah salah bentuk wisata alam.
Menurut Pendit (1981), ekowisata merupakan kegiatan mengunjungi
kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan melihat, mempelajari,
dan mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna, dan aspek budaya baik di
masa lampau maupun sekarang yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Secara
konseptual, ekowisata menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi
Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009)
dapat didefinisikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil
dengan tujuan menikmati dan mempelajari alam, sejarah, dan budaya di suatu
daerah, yang pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan
mendukung pelestarian alam. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah suatu
bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman dan
penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya, di dalam
konteks budaya yang berhubungan. Kegiatan ekowisata bertujuan menjadikan
lingkungan dan sosial budaya yang berkelanjutan. Tiga hal penting dalam
ekowisata menurut Weaver (2001) adalah berdasarkan lingkungan alami,
pembelajaran, dan keberlanjutan.
Menurut Weaver (2001), ekowisata telah dipadupadankan dengan
beberapa jenis wisata sejak tahun 1980-an, yaitu sebagai berikut.
tourism. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu contoh kegiatan nature-based tourism adalah ekowisata.
b. Cultural tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada budaya dan sejarah suatu kawasan. Di dalam cultural tourism, ekowisata menjadi alternatif. Namun, antara kedua jenis wisata ini dapat terjadi kasus overlap
sehingga tidak mudah untuk menentukan wisata mana yang menjadi tujuan
utama.
c. Adventure tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada kegiatan yang berisiko, menantang fisik sehingga wisatawan harus memiliki
kemampuan tertentu. Beberapa ekowisata dapat menjadi bagian dari adventure tourism, tetapi banyak jenis adventure tourism tidak dapat menjadi bagian dari ekowisata. Hal ini karena pendekatan adventure tourism tidak selalu kepada
nature-based (dasar dari ekowisata).
d. Alternative and mass tourism merupakan suatu model wisata berskala kecil yang dimaksudkan untuk dapat menyediakan suatu alternatif yang lebih sesuai
dengan wisata massal. Model ini memberikan peluang terhadap perkembangan
ekowisata di antara wisata massal.
Dari keempat wisata ini, bentuk altenative dan mass tourism merupakan bentuk yang paling cocok untuk dipadupadankan dengan ekowisata. Bentuk ini
memberikan hasil yang keberlanjutan (suistainable). Suistanable tourism
merupakan wisata yang memiliki prinsip pengembangan yang berkelanjutan dan
untuk menggabungkan kriteria dari lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi
(Weaver, 2001).
Menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi, Pariwisata
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) ekowisata
memiliki lima prinsip sebagai berikut.
a. Nature-based
Nature-based adalah produk dan pasar yang berdasar dari alam. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri. Konsevasi sumber daya
alam merupakan hal mendasar dalam pengembangan dan pengelolaan wisata
alam.
Kestabilan ekologi merupakan perencanaan dan manajemen kawasan
berkelanjutan secara ekologi. Semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik,
maupun sosial tetap berjalan dengan baik.
c. Environmentally educative
Pendidikan lingkungan ditujukan bagi pengelola dan pengunjung. Pendidikan
adalah inti dari ekowisata yang membedakan dengan wisata alam lainnya.
Pendidikan menciptakan suasana yang menyenangkan, bermakna,
berkepedulian, dan apresiatif terhadap lingkungan. Kelestarian lingkungan
dalam jangka panjang dapat berjalan dengan kegiatan pendidikan.
d. Bermanfaat untuk masyarakat lokal
Manfaat ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung
berupa, antara lain, masyarakat terlibat dalam kegiatan wisatawan, pelayanan
terhadap wisatawan, dan penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan.
Manfaat tidak langsung berupa bertambahnya wawasan dari wisatawan atau
pengelola.
e. Kepuasaan bagi wisatawan
Kepuasan merupakan pemenuhan harapan wisatawan terhadap segala sesuatu
yang ditawarkan.
2.2Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata
Pengembangan pariwisata alam adalah kegiatan memanfaatkan ruang
melalui serangkaian program kegiatan pembangunan untuk pariwisata alam yang
meliputi pengelolaan pemanfaatan lahan sesuai dengan azas pemanfaatan ruang
dengan mengkamodasi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil
guna, serasi, seimbang, dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2007).
Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alam yang baru dikembangkan.
Prinsip pengembangan pariwisata alam menurut Departemen Kehutanan
(2007) adalah konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, dan rekreasi.
a. Konservasi membantu mengurangi terjadinya gangguan kawasan seperti
penebangan liar, dan perambahan kawasan; mendukung upaya pengawetan
warisan alam dan warisan budaya khususnya yang ada di dalam kawasan;
menunjang upaya pemanfaatan yang berkelanjutan.
b. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung
melalui pengembangan interpretasi (jika memungkinkan); meningkatkan
kepedulian masyarakat dan partisipasi pengunjung; menunjang pengembangan
penelitian di bidang pariwisata alam;
c. Partisipasi masyarakat berupa melibatkan masyarakat dalam proses
pemanfaatan, sejak dari tahap perencanaan sampai ke monitoring dan evaluasinya; meningkatkan keterampilan masyarakat melalui pendidikan dan
pelatihan; memperhatikan adat dan tradisi setempat, hak-hak masyarakat
terasing, agama dan kepercayaan, kearifan tradisional, dan struktur sosial.
d. Ekonomi menjamin kelangsungan usaha agar kegiatan pariwisata alam tetap
berlangsung; memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan
konservasi dan pembangunan lokal, regional, dan nasional; membuka peluang
usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat.
e. Rekreasi memberikan keamanan dan kenyamanan pengunjung; memberikan
informasi yang memadai bagi pengunjung sejak sebelum sampai di tempat
tujuan dan setelah pengunjung keluar dari kawasan; menawarkan pilihan
produk-produk wisata yang bervariasi.
Pengembangan perlu diimbangi dengan pengelolaan. Pengelolaan adalah
suatu kegiatan manusia yang dibebankan kepada lanskap yang bertujuan
memanen, memindahkan, mengangkut, atau mengisi sumber-sumber alami (U.S
Department of Agriculture, 1974). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No
167 Tahun 1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan dan Pariwisataa Alam
di Kawasan Pelestarian Alam, rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam
adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian,
pemulihan pengembangan dan perlindungan, serta pemanfaatan. Pengelolaan
perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Salah satu bentuk
pengelolaan lanskap pada kawasan hutan adalah sistem pengelolaan visual.
Pengelolaan visual dilakukan dengan cara menentukan kualitas visual objek, yaitu
karakter masyarakat sekitar area. Tingkat ini mengacu pada tingkat perubahan
yang dapat diterima dari lanskap (U.S Department of Agriculture, 1974).
Terdapat lima kualitas visual objek berdasarkan U.S Department of
Agriculture (1974):
a. preservation, yakni suatu sasaran kualitas visual yang hanya untuk perubahan secara ekologis;
b. retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang tidak jelas;
c. partial retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang sebagian telah jelas;
d. modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, tetapi pengelolaannya harus mempertahankan nilai alami;
e. maximum modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, dengan pemandangan hanya sebagai latar belakang.
Pengelolaan wisata alam dan ekowisata, menurut Departemen Kehutanan
(2007), meliputi sebagai berikut.
a. Pengelolaan kawasan meliputi kondisi kawasan, penataan kawasan, dan
pengamanan kawasan.
b. Pengelolaan produk wisata alam meliputi pengembangan produk, pemasaran
produk, dan sistem informasi produk.
c. Pengelolaan pengunjung meliputi distribusi pengunjung, interpretasi,
informasi bagi pengunjung, dan keselamatan pengunjung. Pengelolaan
pengunjung adalah teknik untuk membatasi, memberikan informasi, dan
mengawasi pengunjung yang datang ke suatu lokasi objek wisata alam agar
sesuai dengan kemampuan daya dukung lokasi yang bersangkutan. Daya
dukung kawasan adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung kesehatan
organisme sambil memelihara produktivitas, adaptasi, dan kemampuannya
untuk memperbaiki dirinya. Pengelolaan pengunjung direncanakan untuk
mengantisipasi dan mengurangi dampak negatif akibat kunjungan.
Pengelolaan pengunjung dapat dilakukan secara langsung dengan menghitung
daya dukung dan pengaturan pengunjung atau secara tidak langsung melalui
d. Pengelolaan dampak meliputi dampak ekologis dan dampak sosial, budaya,
dan ekonomi. Dampak dikelola dengan berbagai cara bergantung pada
besarnya dampak, luas areal yang terkena dampak, dampak penting, tingkat
sentifitas wilayah, kerangka waktu, dan kemampuan untuk diperbaharui.
e. Pengelolaan kelembangan meliputi organisasi, sumber daya manusia,
keuntungan, dan sarana dan prasarana.
Keberadaan masyarakat sekitar sangatlah penting untuk keberlanjutan
suatu kawasan. Begitu juga dalam pengembangan dan pengelolaan wisata.
Menurut Butler dan Boyd (2000) dalam Weaver (2001), jika masyarakat lokal
tidak mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan (ekowisata), akan terjadi
kesenjangan kesejahteraan sehingga masyarakat tidak akan peduli terhadap
lingkungan. Bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, antara lain,
berupa penebangan kayu dan pembakaran lahan untuk berkebun di kawasan
proteksi. Pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan hasil yang
berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat ikut serta sehingga menumbuhkan
rasa memiliki dan menjaga suatu kawasan. Namun, pengelolaan ini harus
memperhatikan nilai penting dari sosial budaya masyarakat. Menurut Weaver
(2001), agar ekowisata dapat berjalan dengan lama (berkelanjutan), dampak
positif dan negatif dari sosial budaya harus diperhatikan. Hal ini akan menjadi
bagian yang krusial dalam pengelolaan dengan cara memberikan perhatian khusus
terhadap budaya masyarakat itu sendiri.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang
menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan
bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi
potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan masyarakat
menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat
lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat
ataupun sebagai pengelola (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi
Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia, 2009).
Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengelolaan berbasis
masyarakat. Masyarakat ikut serta dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan
Beberapa peneliti mengelompokkan menjadi beberapa bentuk. Menurut Preety
(1995) dalam Mason (2003), tipologi dari partisipasi masyarakat adalah sebagai
berikut:
a. partisipasi manipulasi, yakni partisipasi yang tidak mempunyai kekuatan
dalam organisasi;
b. partisipasi pasif, yakni partisipasi berupa pemberian informasi oleh
masyarakat kepada pihak dalam pengelola;
c. partisipasi melalui konsultasi, yakni partisipasi berupa konsultasi mengenai
masalah dan informasi mengenai proses pengelolaan;
d. partisipasi untuk perangsang material, yakni partisipasi yang hanya untuk
mendapatkan upah, tetapi tidak mengerti proses pengelolaan;
e. partisipasi yang fungsional, yakni partisipasi yang lebih interaktif yang
mendorong masyarakat mulai mempelajari proses pengelolaan, tetapi
pengambilan keputusan masih di tangan pihak pengelola;
f. partisipasi yang interaktif, yakni partisipasi aktif dalam melakukan analisis,
pengembangan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan sehingga
masyarakat telah menjadi bagian utama dalam pengelolaan;
g. pergerakan sendiri, yakni masyarakat membentuk institusi sendiri dan bekerja
sama dengan pemerintah dan pihak-pihak yang dibutuhkan.
Konsep partisipasi sangat susah untuk diimplementasikan. Dibutuhkan
usaha yang cukup keras untuk mengembangkannya dalam masyarakat. Menurut
Jenkis (1993) dalam Mason (2003), terdapat tujuh halangan dalam
mengembangkan wisata berbasis masyarakat, yaitu
a. masyarakat pada umumnya sulit untuk memahami konsep yang baru;
b. masyarakat tidak perlu memahami bagaimana proses dan cara pengambilan
keputusan;
c. masalah dari pencapaian dan pemeliharaan adalah dalam proses pengambilan
keputusan;
d. kurangnya semangat dari masyarakat sekitar;
e. peningkatan biaya berhubungan dengan waktu kerja dan upah kerja;
f. pada kenyataannya, proses pengambilan keputusan dari partisipasi masyarakat
g. efisien secara keseluruhan kurang berpengaruh baik dalam proses
pengambilan keputusan.
Akibat banyaknya halangan dalam implementasi konsep partisipasi, para peneliti
telah mencoba mengembangkan berbagai metode. Salah satunya adalah menurut
Drake‟s (1991) dalam Mason (2003), yaitu
a. memantakan peran dari partisipasi lokal;
b. memilih tim untuk penelitian;
c. melakukan persiapan studi;
d. memantapkan keterlibatan lokal;
e. memantapkan mekanisasi pendekatan partisipasi;
f. melakukan permulaan dalam bentuk dialog;
g. mengambil keputusan secara kolektif;
h. mengembangkan rencana dan implementasi skema;
i. memantau dan mengevaluasi.
Pemerintah sangat berperan penting dalam implementasi konsep
partisipasi. Pemerintah merupakan stakeholder yang berpengaruh dalam proses pengelolaan berbasis masyarakat. Menurut Weaver (2001), beberapa usaha yang
dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:
a. menganalis pengembangan dan peraturan ekowisata dari waktu ke waktu
dengan cara melihat dampak dari pengembangannya;
b. menganalisis fasilitas yang dapat dikembangkan di dalam kawasan dengan cara
melihat tingkat interaksi mutu yang menguntungkan;
c. meneliti ketetapan umum yang berhubungan dengan bantuan eksternal dalam
kaitannya dengan tujuan yang ditargetkan, stakeholder, dan hasil.
2.3Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Lembah Harau
Lembah Harau merupakan salah satu cagar alam yang ada di Sumatera
Barat. Lembah Harau berada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kawasan ini
memiliki luas 270,5 hektar (Korean addicted, 2009). Kawasan ini ditetapkan
sebagai Cagar Alam (CA) sejak 10 Januari 1993. Taman Wisata Alam (TWA)
dikembangkan menjadi kawasan rekreasi. Kawasan cagar alam tidak
dikembangkan karena memiliki fungsi sebagai penyangga daerah sekitarnya.
Lembah Harau memiliki potensi lanskap berupa air terjun, gua, celah alam,
dan tebing terjal. Tebing merupakan bagian yang mendominasi di kawasan ini.
Tebing ini memiliki tinggi 150 hingga 200 meter dengan diameter mencapai 400
m. Tebing terbentuk dari batuan granit sehingga jarang terjadi longsor (Hade,
2009). Pada beberapa titik tebing, telah dikembangkan titik echo (gaung) yang menjadi salah satu objek wisata. Selain itu, tebing telah dikembangkan menjadi
area panjat tebing. Lembah Harau mempunyai tujuh air terjun, yaitu lima buah di
Sarasah Bunta dan dua buah di Aka Barayun. Air terjun di Sarasah Bunta masih
alami berupa kerikil, sedangkan di Aka Barayun berupa kolam. Di kaki air terjun
Sarasah Bunta terdapat sebuah monumen peninggalan Belanda yang merupakan
bukti bahwa Lembah Harau sudah sering dikunjungi orang sejak 1926. Pada
monumen itu tertera tanda tangan Asisten Residen Belanda di Lima Puluh Kota
saat itu, F. Rinner, dan dua pejabat Indonesia, Tuanku Laras Datuk Kuning nan
Hitam dan Datuk Kodoh nan Hitam (STR, 2009).
Cagar alam Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora dan fauna.
Flora didominasi oleh tanaman hutan hujan tropis. Fauna antara lain, berupa
monyet ekor panjang (Macaca fascirulatis), siamang (Hylobates syndactylus), simpai (Presbytis melalopos), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), beruang (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Capriconis sumatrensis), dan landak (Proechidna bruijnii). Lembah Harau juga memiliki 19 spesies burung, termasuk burung kuau (Argusianus argus), dan enggang (Anthrococeros sp.). Beberapa spesies yang ada merupakan hewan langka yang dilindungi (Korean addicted, 2009).
Lembah Harau telah dijadikan tempat wisata. Tempat ini memiliki fasilitas
rekreasi seperti kolam pemandian, tempat berkemah, dan jalan setapak. Beberapa
fasilitas telah ada yang rusak dan terdapat pula fasilitas yang baru dibangun.
Selain itu, terdapat warung-warung ilegal yang didirikan oleh masyarakat.
Warung tersebut menjual makanan, minuman, souvenir, dan tanaman hias.
menandakan masyarakat belum siap terhadap pengembangan wisata di Lembah
III. METODOLOGI
3.1Lokasi dan Waktu Penelitian
Studi dilakukan di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi
Sumatera Barat (Gambar 1). Pelaksanaan studi dimulai dari bulan Maret 2010
sampai dengan Januari 2011.
3.2Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam studi ini meliputi inventarisasi, analisis, dan
sintesis (Gambar 2).
Lanskap Lembah Harau
Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata pada KawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat
Penilaian
1.Objek dan Daya Tarik Wisata (ODWT)
2.Kesiapan Pengembangan Community-BasedEcotourism (CBE)
3.Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata
Analisis SWOT
KONSE
P
Gambar 2 Tahapan Studi
Gambar 1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau
a. Inventarisasi adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dan
sekunder terdiri dari aspek fisik, biofisik, aspek legal, aspek sosial, dan aspek
pengelolaan (Tabel 1). Data diperoleh dengan cara berikut:
1) observasi lapang yang dilakukan untuk mengetahui kondisi tapak, yaitu
fisik, karakter lanskap, dan aktivitas masyarakat pengguna dan sekitarnya;
2) wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, masyarakat, dan
pengelola;
3) studi pustaka yang didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh
Kota, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat,
Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lima Puluh
Kota, dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor untuk mendukung hasil
observasi dan wawancara.
Tabel 1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data
Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan
Fisik dan Biofisik
Posisi dengan tempat lain Hubungan dengan lingkungan Kemudahan pencapaian
10 Peraturan - Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, BKSDA
13 Tenaga kerja - Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, BKSDA
14 Kegiatan wisata - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA
Pertimbangan pengembangan
b. Analisis adalah pengolahan hasil inventarisasi untuk mengetahui potensi dan
kendala. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu penilaian dan analisis
SWOT (strength, weaknesses, opportunity, threats). Proses sintesis menghasilkan strategi pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada
kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat.
c. Produk akhir adalah konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada
kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Konsep ini
merupakan penjelasan dari strategi pengembangan.
3.3 Metode Penilaian
3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)
Penilaian ODTW ditentukan dalam Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007). Pedoman ini memiliki beberapa
komponen aspek. Komponen aspek yang digunakan dalam kasus ini daya tarik,
aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi serta sarana dan
prasarana penunjang. Pengambilan data dilakukan melalui mengisi kriteria yang
sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan lebih
lengkap disajikan pada Lampiran 1. Beberapa langkah dalam menentukan
penilaian. Langkah pertama adalah penentuan nilai skor dengan persamaan
(Departemen Kehutanan, 2007).
dengan
S = skor;
N = jumlah nilai dari unsur-unsur kriteria;
B = bobot nilai .
Langkah kedua adalah penentuan kategori penilaian. Kategori disusun
berdasarkan jumlah total dari setiap dan seluruh penilaian. Dalam penelitian yang
telah dilakukan oleh Oktadiyani (2006), kategori penilaian akan dihitung dengan
menggunakan persamaan
dengan
Selang = nilai selang dalam penetapan selang kategori penilaian;
Smaks = nilai skor tertinggi;
Smin = nilai skor terendah;
K = banyaknya kategori penilaian.
Penelitian ini menggunakan lima tingkat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang,
buruk, dan sangat buruk (Tabel 2). Langkah ketiga adalah memasukkan total skor
dari penilaian (dari langkah pertama) ke dalam kategori penilaian. Penentuan
kategori dilakukan berdasarkan selang yang telah dilakukan. Berdasarkan kategori,
dapat diketahui gambaran dari kondisi kawasan.
Tabel 2 Kategori Penilaian ODTW
Kategori Derajat Interval Sangat baik
Baik Sedang Buruk Sangat buruk
2328-2640 2016-2327 1704-2015 1392-1703 1080-1391
3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE)
Penilaian kesiapan pengembangan CBE mengikuti Rancangan Standarisasi
Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah aspek sosial
ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan pengelolaan. Pengambilan data
dilakukan melalui pengisian kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran
kawasan. Kriteria dan pembobotan disajikan pada Lampiran 2. Penentuan
penilaian kesiapan pengembangan CBE menggunakan langkah yang sama pada
metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan pengembangan
CBE dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE
Kategori Derajat Interval Sangat baik
3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata
Penilaian kesiapan masyarakat mengikuti Rancangan Standarisasi
Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan oleh WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah
karakterisitk masyarakat, persepsi masyarakat mengenai pengembangan ekowisata,
serta partisipasi dan keinginan masyarakat. Pengambilan data pada metode ini
berbeda dengan metode sebelumnya. Pengambilan data dilakukan berdasarkan
kuesioner dan wawancara. Kuesioner dan wawancara harus disesuai dengan
kriteria penilaian. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner yang
dilakukan oleh KSDA pada tahun 2000 dengan total responden 30 orang dari
Desa Tarantang Lubuak Limpato dan 30 orang dari Desa Harau. Wawancara
dilakukan terhadap Kepala Desa Harau, pemangku adat, dan 5 orang warga Desa
Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Kriteria penilaian disajikan pada
Lampiran 3. Penentuan penilaian kesiapan masyarakat menggunakan langkah
yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan
masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan
Ekowisata
3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi
sumberdaya ekowisata dengan sumber daya yang lain (Damanik dan Helmut,
2006). Selain itu, analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi
manajemen program ekowisata. Analisis SWOT dilakukan dengan
membandingkan faktor internal yang terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dengan faktor eksternal yang terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif
adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,
sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan pembobotan dan
pemberian peringkat.
Langkah kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT menurut
David (2008), yaitu penentuan faktor internal dan faktor eksternal; penentuan
bobot faktor internal dan faktor eksternal; penentuan peringkat (rating) faktor internal dan faktor eksternal; pembuatan matriks faktor internal dan eksternal;
penyusunan alternatif strategi; penentuan prioritas alternatif strategi.
a. Penentuan faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal atau Internal Factor Evaluation (IFE) ditentukan dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Faktor internal dalam kasus ini
adalah masyarakat. Faktor eksternal atau External Factor Evaluation (EFE) ditentukan untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang yang
dimiliki, yaitu dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008).
Faktor eksternal dalam kasus ini adalah non masyarakat seperti pemerintah,
balai konservasi dan stakeholder lainnya.
b. Penentuan bobot faktor internal dan faktor eksternal
Pembobotan dilakukan untuk mengetahui fackor mana yang paling
berpengaruh terhadap kawasan. Menurut Kinnear dan Taylor (1991), sebelum
melakukan pembobotan perlu ditentukan tingkat kepentingannya agar bobot
lebih subjektif. Penentuan tingkat kepentingan dilakukan dengan cara
membandingkan setiap faktor internal dan eksternal (Tabel 5). Penentuan
1) 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor
vertikal;
2) 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor
vertikal;
3) 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor
vertikal;
4) 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor
vertikal.
Tabel 5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal
Faktor Strategis Internal/Eksternal
A B C D Total
(xi)
Bobot (ai)
A B C D Total
Sumber: Kinnear dan Taylor, 1991
Setelah menentukan tingkat kepentingan, dilakukan pembobotan. Pembobotan
setiap faktor diperoleh dengan menggunakan rumus Kinnear dan Taylor
(1991):
dengan
ai = bobot faktor ke-i;
xi = nilai faktor ke-i;
i = A, B, C,…, n (faktor vertikal);
n = jumlah faktor.
c. Penentuan peringkat (rating)
Penentuan peringkat setiap faktor diukur dengan menggunakan nilai peringkat
berskala 1-4. Setiap faktor memiliki maksud yang berbeda dari setiap
peringkat. Skala penilaian peringkat dari setiap faktor dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)
Nilai Peringkat
Matriks IFE Matriks EFE
Strengths (S) Weaknesses (W) Opportunities (O) Threats (T) 1
d. Pembuatan matriks faktor internal dan eksternal
Setelah menentukan bobot dan peringkat setiap faktor, langkah selanjutnya
adalah menentukan skor. Skor merupakan hasil perkalian dari bobot dengan
peringkat. Jumlah skor dari faktor internal dan eksternal dapat menentukan
langkah dalam pembuatan strategi. Bentuk dari matriks faktor internal dan
eksternal dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Peringkat Skor Kode Kekuatan
Kelemahan
Sumber: David, 2008
Tabel 8 Matriks External Factor Evaluation (IFE)
Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Peringkat Skor Kode Peluang
Ancaman
Sumber: David, 2008
e. Penentuan tindakan strategi
Allen dalam David (2008), mengembangkan cara dalam menentukan tindakan
strategi. Tindakan ini berfungsi sebagai pedoman pembuatan strategi.
I II III
IV V VI
VII VIII IX
Gambar 3 Matriks Internal-Eksternal (IE)
Kuadran I, II, dan IV dipersepsikan sebagai tindakan grow dan build. Strategi yang intensif dan integratif dapat dijadikan pendekatan yang sesuai. Kuadran
III, V, dan VII menunjukkan tindakan hold dan maintain. Pendekatan yang cocok adalah pengembangan pasar dan produk. Kondisi yang kurang baik
ditunjukkan dalam kuadran VI, VII, dan IX. Tindakan harvest dan divest
menjadi pendekatan yang baik.
f. Penyusunan alternatif strategi dan penentuan prioritas alternatif strategi.
Penyusunan alternatif dilakukan dengan mengkombinasikan antara faktor
internal dengan faktor eksternal. Kombinasi tersebut adalah sebagai berikut:
1) kekuatan dan peluang (SO), yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;
2) kekuatan dan ancaman (ST), yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan
yang dimiliki untuk mengatasi ancaman;
3) kelemahan dan peluang (WO), yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan
pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang
ada;
4) kelemahan dan ancaman (WT), yaitu strategi yang didasarkan pada
kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Strategi dirumuskan untuk mengatasi merangkum beberapa masalah dengan
menggunakan potensi yang ada. Strategi tidak hanya fokus pada satu faktor,
tetapi melibatkan banyak faktor. Penentuan prioritas alternatif strategi
dilakukan dengan cara menjumlah semua skor dari faktor-faktor penyusunnya.
4 3
2
1
tinggi sedang rendah
Strategi yang memiliki skor paling tinggi menjadi prioritas utama. Bentuk
penentuan prioritas alternatif strategi disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Pemeringkatan Alternatif Strategi
Strategi Kode Pembobotan Total Skor Prioritas SO1
SO2 SOn ST1 ST2 STn WO1 WO2 WOn WT1 WT2 WTn
IV. INVENTARISASI
4.1Aspek Legal
Menurut prasasti yang terdapat di lokasi air terjun Serasah Bunta, kawasan
Lembah Harau dibuka pertama kali pada tanggal 14 Agustus 1926 oleh Asisten
Residen 50 Kota yang bernama BO. Weirkein bersama dengan Tk. Laras Dt.
Kuning Nan Hitam dan Asisten Damang Dt. Kondoh Nan Hitam. Kawasan ini
dibangun berdasarkan Besluits Van Der Gouverneur General Van Netherlanch
Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan status Nature
Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No.478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 02 Agustus 1979 sebagian
kawasan Cagar Alam (CA) Lembah Harau dialihkan fungsinya menjadi Taman
Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.
4.2Aspek Fisik dan Biofisik 4.2.1 Luas, Letak, dan Batas
Luas CA Lembah Harau adalah 270,5 ha, sedangkan luas TWA Lembah
Harau adalah 27,5 ha (10,2%). TWA Lembah Harau berada dalam kawasan CA
Lembah Harau. Secara geografis, CA Lembah Harau terletak pada koordinat 100o
39‟ 10” BT - 100o 41‟ 58” BT dan 00o 04‟ 39” LS - 00o 11‟ 46” LS. Dalam
administrasi kehutanan, CA Lembah Harau termasuk dalam wilayah kerja BKPH
Harau, RPH Harau, sedangkan menurut pembagian wilayah kerja unit Konservasi
Sumberdaya Alam (KSDA) kawasan ini termasuk dalam wilayah kerja Sub Seksi
KSDA Wilayah Pasaman. Dalam administrasi pemerintahan kawasan ini berada
di dua desa, yaitu Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuk Limpato yang termasuk
wilayah Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera
Barat. CA Lembah Harau memiliki batas-batas berikut:
a. bagian utara berbatasan dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Desa
Harau;
b. bagian timur berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Mahat I;
d. bagian barat berbatasan dengan Dusun Padang Beringin, Desa Tarantang
Lubuk Limpato.
Kawasan TWA Lembah Harau terdiri dari dua lokasi, yaitu Aka Barayun dan
Sarasah Bunta.
Menurut hasil wawancara Pak Iwan, pegawai Badan Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA), batas tersebut ditandai dengan pal beton dengan
ketinggian 1,5 m. Namun, kondisi pal di lapangan sekarang, sudah tidak sesuai
karena banyak yang rusak dan hilang. Pengecekan yang dilakukan selama setiap 5
tahun tidak menjangkau seluruh kawasan sehingga telah tertutupnya jalan di
sekeliling kawasan. Hal ini telah mengakibatkan ketidakpastian batas CA
sehingga masyarakat sering tanpa sengaja menggarap lahan di kawasan CA.
4.2.2 Aksesibilitas
Kawasan CA Lembah Harau berbatasan langsung dengan ruas jalan negara
Payakumbuh-Pekanbaru. Jalan menuju kawasan merupakan jalan beraspal yang
dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat. Berdasarkan klasifikasi jalannya,
kawasan ini dilalui jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan desa, dan jalan setapak.
Jarak CA Lembah Harau ke ibukota kawasan lain dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi
No Nama Desa Jarak ke Ibukota (km)
Kecamatan Kabupaten Propinsi
1 Harau 14 19 143
2 Tarantang Lb. Limpato 9 14 137
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
4.2.3 Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan CA ini mempunyai
iklim Tipe A. Pada tahun 1997 jumlah rata bulan kering 4,92 dan jumlah
rata-rata bulan basah 1,17. Suhu suhu rata-rata-rata-rata maksimum 25-330 C. Data curah hujan
tahunan secara lengkap disajikan pada Tabel 11.
Bulan Stasiun klimatologi
Payakumbuh Pangkalan P. Mangatas M. Paiti Rata-rata
Januari X 225 264 180 269 234,50
Keterangan : X=Curah hujan (mm), Y=Hari hujan (hari)
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
4.2.4 Topografi
Kawasan CA Lembah Harau terletak pada ketinggian antara 400 m dpl
sampai 850 m dpl. Topografi kawasan ini adalah berbukit (bergelombang), landai,
dan terdapat tebing-tebing yang curam. Kawasan ini memiliki keunikan karena
banyak terdapat tebing terjal dengan sudut 900, dengan ketinggian tebing 150-200
m.
4.2.5 Hidrologi
Kawasan CA Lembah Harau dialiri oleh 4 sungai, yaitu Batang
Simolakama, Batang Air Putih, Sungai Air Tiris, dan Batang Harau.
Sungai-sungai dalam kawasan ini tidak begitu besar, tetapi mempunyai peranan penting
bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai tersebut, terutama untuk
4.2.6 Fasilitas
Kawasan TWA telah memiliki beberapa fasilitas yang telah dibangun,
yaitu sebagai berikut (Gambar 4, 5, 6, 7, 8, dan 9).
a. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota telah
membangun, gerbang masuk, pondok wisata, kolam renang, taman bermain
anak, sepeda air, gazebo, kios makanan/souvenir, toilet/kamarganti, mushola,
parker. Kios yang ada, disewakan oleh Dinas Pariwisata dengan membayar Rp
10.000,- hingga Rp 20.000,- per bulan. Namun, banyak penyewa yang tidak
membayar dan beberapa masyarakat lain (bukan penyewa) membangun kios
ilegal. Kondisi fasilitas kurang terpelihari akibat tidak adanya pengelolaan
yang baik.
b. BKSDA telah membangun kantor BKSDA dan mes. Semua fasilitas tidak
berfungsi lagi. Hal ini diakibatkan adanya masalah antara BKSDA dengan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota dalam hal
pengelolaan.
c. Masyarakat membangun kios makanan/souvenir, toilet, camping ground, panjat tebing. Fasilitas yang dibangun merupakan bangunan ilegal kecuali
yang menyewa, karena tidak adanya persetujuan dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai pihak pengelola.
d. Swasta membangun tempat penginapan. Masih kurangnya campur tangan dari
pihak swasta sehingga belum ada eksploitasi yang merugikan.
Gambar 5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala
Gambar 6 Taman Bermain Anak
Gambar 7 Sepeda Air
Gambar 9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta
4.2.7 Vegetasi
Susunan vegetasi kawasan CA Lembah Harau merupakan tipe ekosistem
hutan hujan campuran non-Dipterocapaceae (Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000). Vegetasi hutan kawasan ini di didominasi oleh
tumbuhan daratan tinggi. Spesies pohon yang terdapat CA Lembah Harau dapat
dilihat pada Lampiran 4.
4.2.8 Fauna
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan petugas KSDA bersama
penduduk, tercatat beberapa jenis mamalia yang terdapat pada kawasan (Tabel
12).
Tabel 12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang
Dilindungi oleh UU No. 5/1990
No Famili Nama Jenis Nama Indonesia 1 Bovidae Capriconus sumatrensis Kambing hutan 2 Cervidae Cervus unicolor Rusa sambar 3 Felidae Panther tigris sumatrensis Harimau sumatra 4 Felidae Neofelis nebusula Harimau dahan 5 Hylobatidae Hylobates syndactilus Siamang 6 Tapiridae Tapirus indicus Tapir 7 Tragulidae Tragulus javanicus Kancil 8 Ursidae Helarctos malayanus Beruang madu
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
Selain itu, terdapat beberapa jenis burung yang dijumpai (Tabel 13). Jenis burung
pada kawasan ini umumnya merupakan jenis pemakan serangga, hanya sebagian
kecil yang tergolong jenis pemakan buah, biji-bijian, dan nektar. TWA Lembah
Tabel 13 Jenis-Jenis burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau
No Famili Nama Jenis Nama Indonesia 1 Accipitridae Haliastur Indus
Ictinaetus malayensis
Elang bondol Elang hitam 2 Alcedinidae Alcedo althis Raja udang 3 Bucerotidae Berenicornis comatus
Beceros rhinoceros
Enggang Rangkong 4 Ciconidae Ciconia episscopus Bangau
5 Falconidae Falco tinnunculus Alap-alap curasia
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
CA Lembah Harau juga memiliki jenis kupu-kupu yang cukup beragam.
Potensi kupu-kupu ini menjadi daya tarik oleh wisatawan terutama wisatawan
mancanegara. Kegiatan ini dikembangkan oleh masyarakat setempat, belum ada
pengembangan lebih lanjut oleh pihak pengelola. Jenis kupu-kupu komersial yang
terdapat pada kawasan CA Lembah Harau dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau
No Nama Jenis Tanaman Pakannya
1 Papilio memnon
Papilio demoleus
Jeruk (Citrus sp.)
2 Graphium sarpedon Kulit Manis (Cynamomun burmanii)
3 Polyura scheiber Rambutan (Nephelium lappaceum)
4 Papilio palinurus
Papilio polytes
Sicerek (Glaucena excavata)
5 Graphium agamemnon Sirsak (Anonna muricata)
6 Trogonoptera brooklana *)
Triode Helena *) Triodes amphrysus*) Pachilipta aristolochiae
Tanaman Aka (Aristolochiae glaucifolia)
7 Antrophaneura nox Tanaman Aka (Apama corymbosa)
8 Papilio karna
Papilio demolion
Ulam/Pauh-pauh (Evodia malayana)
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
4.2.9 Objek Wisata
Lembah Harau memiliki objek wisata yang didominasi oleh air terjun dan
tebing terjal (Gambar 10, 11, 12, 13 dan 14). Air terjun pada kawasan ini
Tabel 15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun
Area Objek Wisata
Tebing Goa Tebing, ngalau
Echo Tebing
Liang Limbek Tebing, ngalau atau lembah
Panorama Tebing
Aka Barayun Tebing, air terjun Ngalau Amu Tebing
Tabel 16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta
Area Objek Wisata
Sarasah Rupih Air terjun Air Lulus Air terjun, tebing Sarasah Bunta Air terjun, tebing Sarasah Murai Air terjun, tebing
Tabel 17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau
No Nama Air Terjun Tinggi (m)
1 Akar Berayun 80
2 Sarasah Rupih 50
3 Sarasah Air Bulus 30
4 Sarasah Bunta 30
5 Sarasah Murai 60
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
Gambar 10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun
Gambar 12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta
Gambar 13 Air Terjun Sarasah Murai
Akar Berayun dan Sarasah Bunta menjadi nama kawasan dari TWA
Lembah Harau. Di kawasan Akar Berayun terdapat air terjun Akar Berayun,
sedangkan kawasan Sarasah Bunta terdapat air terjun Sarasah Air Bulus, Sarasah
Bunta, dan Sarasah Murai. Untuk Air Putih, Sarasah Gadang, dan Sarasah Rupih
belum dikembangkan. Terdapat juga air terjun yang tidak boleh dikembangkan
karena berada dalam kawasan CA Lembah Harau. Selain air terjun masih terdapat
4.2.10Aktivitas
Aktivitas kegiatan wisata yang ada pada saat ini adalah berpiknik,
berenang, berkemah, dan panjat tebing. Untuk kegiatan berpiknik dan berenang
telah dialokasikan pada kawasan Aka Barayun, Air Lulus, Sarasah Bunta, dan
Sarasah Murai. Untuk kegiatan berkemah telah dialokasikan pada kawasan
Sarasah Murai. Untuk kegiatan panjat tebing telah dialokasikan pada kawasan
Aka Barayun dan titik echo.
Aktivitas lainnya yaitu aktivitas pemerintahan dan pemukiman. Aktivitas
ini terkonsentrasi pada kawasan pemukiman Desa Padang Baringin, yaitu terdapat
Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Kantor Kepala Desa Tarantang.
Selain itu, di depan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terdapat loket
pembelian tiket. Aktivitas pemukiman yang berdekatan dengan TWA Lembah
Harau, yaitu Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Padang Baringin.
4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat
Kawasan CA Lembah Harau terletak pada dua desa, yaitu Desa Tarantang
Lubuak Limpato dan Desa Harau. Jumlah penduduk dari kedua desa dapat dilihat
pada Tabel 18. Desa Tarantang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi
daripada Desa Harau, yaitu 83 jiwa/ km2.
Tabel 18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga Pada Tahun 2000
Desa Luas (km2) Penduduk (jiwa) Kepadatan (jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah
Harau 29,75 448(47%) 505(53%) 953(100%) 32 Tarantang Lubuak
Limpato 22,63 916(49%) 953(51%) 1869(100%) 83
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
BKSDA telah melakukan survei pada tahun 2000 mengenai sosial
ekonomi dari Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Responden
berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang dari Desa Tarantang dan 30 orang Desa
Harau. Responden yang dipilih telah mewakili satu rumah tangga. Hal ini
dilakukan agar dapat menggambarkan kondisi dari kedua desa secara menyeluruh.
Tingkat pendidikan dari responden dapat dilihat pada Tabel 19. Dari segi
pendidikan di kedua desa dapat disimpulkan cukup rendah, sebagian besar
responden lulus pada tingkat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Namun, masyarakat telah memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis,
terlihat dari angka yang tidak sekolah hanya 1 orang dari 60 responden. Menurut
data dari BKSDA (2000), terdapat satu Sekolah Dasar (SD) di Desa Harau, tiga
Sekolah Dasar (SD), satu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan satu Sekolah
Tabel 19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa
Tarantang Lubuak Limpato
Pendidikan Desa Jumlah
(%)
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
Mata pencaharian masyarakat dari kedua desa didominasi oleh bertani.
Petani pada kedua desa adalah petani padi (sawah) dan gambir. Hal ini
dikarenakan peruntukan lahan pada kedua kawasan dijadikan sebagai area
pertanian (Tabel 20). Jenis Pekerjaan dari responden dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 20 Luas Peruntukan Lahan di Desa Harau
Peruntukkan Lahan Luas (ha)
Hutan 9,976
Sumber: Kantor Wali Nagari Desa Harau, 2010
Tabel 21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa
Tarantang Lubuak Limpato
Jenis Pekerjaan Desa Jumlah
(%)
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
Menurut data BKSDA pada tahun 2000, setiap petani sawah memiliki
sawah sekitar 0,25-0,5 ha. Irigasi sawah menggunakan aliran sungai. Namun,
menurut Pak Firdaus, Wali Nagari Harau, jumlah penghasilan beras (dalam kg) di
masyarakat untuk menjadi petani gambir. Masalah dalam pertanian tanaman
pangan adalah sulitnya mengalirkan air dari sungai ke kebun sehingga
meningkatkan biaya pengolahan. Peternakan dan perikanan merupakan mata
pencaharian sampingan.
Jumlah penghasilan yang didapat dapat dilihat dalam Tabel 22, sedangkan
biaya hidup dapat dilihat dalam Tabel 23. Dari kedua data terlihat bahwa
masyarakat dari kedua desa memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada
penghasilan yang didapat. Hal ini ditunjukkan oleh data penghasilan yang
didominasi oleh Rp 200.000,00 hingga Rp 300.000,00, sedangkan pengeluaran
didominasi dengan pengeluaran sebesar Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00.
Akibat dari hal ini, masyarakat mencari penghasilan tambahan dengan cara
berjualan di sekitar kawasan TWA Lembah Harau, seperti menjual makanan,
minuman, dan souvenir.
Tabel 22 Jumlah Responden Sesuai Kisaran Penghasilan di Desa Harau dan Desa
Tarantang Lubuak Limpato
Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000
Tabel 23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Harau (%) Tarantang Lb. Limpato
(%)