• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

LEMBAH HARAU, SUMATERA BARAT

YOGI ISMET

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi baik yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Yogi Ismet

(3)

YOGI ISMET. Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Dibimbing oleh WAHJU QAMARA MUGNISJAH.

Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan bentangan alam yang unik. Lembah Harau telah dikembangkan menjadi tempat wisata massal oleh pemerintah daerah setempat. Ekowisata dapat menjadi alternatif wisata sesuai dengan potensi yang dimiliki Lembah Harau. Dalam ekowisata terdapat prinsip berbasis masyarakat (community-based tourism) sehingga masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengembangan kawasan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau dan menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.

Penelitian dilakukan di kawasan TWA Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. TWA Lembah Harau memiliki dua kawasan utama, yaitu kawasan Aka Barayun dan Sarasah Bunta. Penelitian dimulai dari Maret 2010 hingga Januari 2011. Analisis yang dilakukan meliputi penilaian potensi dan kendala yang terdiri dari penilaian objek dan daya tarik wisata, penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Selanjutnya menggunakan analisis SWOT (strength-weakness-opportunity-threat) untuk menentukan strategi pengembangan wilayah tersebut.

Berdasarkan analisis penilaian, TWA Lembah Harau memiliki kategori baik dari penilaian objek dan daya tarik wisata, kategori sedang dari penilaian kesiapan pengembangan community-based ecotourism, dan kategori sedang dari penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Potensi TWA Lembah Harau dari hasil penilaian adalah keunikan objek wisata dan tingginya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Aspek pengelolaan dan sosial budaya menjadi kendala utama. Kendala aspek pengelolaan adalah belum adanya partisipasi masyarakat dan belum adanya kerja sama antara Pemda dan BKSDA selaku pengelola kawasan. Kendala aspek sosial budaya adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga belum memahami tentang konservasi.

Hasil dari ketiga penilaian dijadikan sebagai dasar dalam analisis SWOT. Analisis SWOT menghasilkan strategi pengembangan, yaitu pelibatan masyarakat ke dalam rencana pengembangan dan pengelolaan Pemda dan BKSDA, adanya kerja sama antara Pemda, BKSDA, dan masyarakat, pengembangan produk wisata sesuai dengan potensi objek dan kegiatan wisata, pensosialisasian kegiatan konservasi kepada masyarakat, serta peningkatan SDM masyarakat terutama mengenai ekowisata melalui berbagai pelatihan dan pendampingan.

(4)

Keempat, akibat dari terganggunya kelestarian lingkungan, diperlukan pensosialisasikan kegiatan konsevasi kepada masyarakat yang berupa pengenalan konsep konservasi dan pengenalan batas wilayah. Kelima, diperlukan pelatihan dan pendampingan dalam hal-hal teknis yang dilaksanakan dengan kerja sama berbagai instansi terkait.

(5)

® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(6)

SUMATERA BARAT

YOGI ISMET

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera

Barat

Nama : Yogi Ismet

NRP : A44062928

Departemen : Arsitektur Lanskap

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, M.Agr.

NIP 19491105 197403 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA

NIP 19480912 197412 2 001

(8)

Penulis bersyukur kepada Allah Swt. karena atas rahmat, hidayah, dan

karunia-Nya dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul “Konsep

Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam

Lembah Harau, Sumatera Barat”. Lembah Harau merupakan lanskap alami yang ada

di kota kelahiran penulis. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas

Pertanian IPB.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahju Qamara

Mugnisjah, M.Agr. sebagai pembimbing skripsi. Terima kasih juga disampaikan

kepada Pemda, KSDA, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu

kelancaran penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, Januari 2011

(9)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Maret 1988. Penulis merupakan

anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Ismet Chas dan Ibunda Djasnimar.

Pendidikan penulis diawali pada tahun 1992 dan menyelesaikan Taman

Kanak-kanak (TK) di TK Pertiwi pada tahun 1994. Pada tahun 2000 penulis lulus

dari SD Pius, Kota Payakumbuh. Kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan

studi di SLTP 01 Kota Payakumbuh. Selanjutnya, pada tahun 2006 penulis lulus

SMAN 02 Kota Payakumbuh.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006 melalui

jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa Tingkat

Persiapan Bersama (TPB). Setahun setelah itu, tahun 2007, penulis diterima sebagai

mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama

menjalankan studi di IPB, penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan di luar akademik,

(10)

DAFTAR ISI

Halama

n

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wisata Alam dan Ekowisata ... 3

2.2 Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata ... 5

2.3 Cagar Alam Lembah Harau ... 11

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

3.2 Metode Penelitian ... 13

3.3 Metode Analisis Penilaian

3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 16

3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE) ... 17 3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan

Ekowisata... 18

3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) ... 19

IV. INVENTARISASI

4.1 Aspek Legal ... 24

4.2 Aspek Fisik dan Biofisik

4.2.1 Luas, Letak, dan Batas ... 24

4.2.2 Aksesibilitas... 25

(11)

4.2.4 Topografi ... 26

4.2.5 Hidrologi ... 26

4.2.6 Fasilitas ... 27

4.2.7 Vegetasi ... 29

4.2.8 Fauna ... 29

4.2.9 Objek Wisata ... 31

4.2.10 Aktivitas... 34

4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat... 36

4.3.2 Pengunjung ... 39

4.4 Aspek Pengelolaan 4.4.1 Kronologi Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 40

4.4.2 Rencana Pengembangan dan Pengelolaan TWA Lembah Harau ... 42

V. ANALISIS DAN SINTESIS 5.1 Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata ... 44

5.2 Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE) ... 47

5.3 Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata .... 51

5.4 Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata ... 54

VI. KONSEP PENGEMBANGAN LANSKAP BERBASIS EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM LEMBAH HARAU 6.1 Pelibatan Masyarakat ke dalam Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Pemda dan BKSDA ... 58

6.2 Kerja Sama Antara Pemda, BKSDA, dan Masyarakat ... 62

6.3 Pengembangan Produk Wisata Sesuai dengan Potensi Objek dan Kegiatan Wisata ... 64

(12)

6.5 Peningkatan SDM Masyarakat Melalui Berbagai Pelatihan dan

Pendampingan ... 68

VII.SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 70

7.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data... 15

2 Kategori Penilaian ODTW ... 17

3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 18

4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 19

5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal ... 20

6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE) ... 21

7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 22

8 Matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 22

9 Pemeringkatan Alternatif Strategi ... 23

10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi .. 25

11 Data Curah Hujan Bulanan dan Intensitas Hujan 30 Tahun Terakhir di Sekitar Cagar Alam Lembah Harau ... 26

12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang Dilindungi oleh UU No. 5/1990 ... 29

13 Jenis-Jenis Burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau ... 30

14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau .... 30

15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun ... 31

16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta ... 31

17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau... 31

18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga pada Tahun 2000... 36

19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37

20 Luas Peruntukkan Lahan di Desa Harau ... 37

21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 37

(14)

Tarantang Lubuak Limpato ... 38

23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuak Limpato ... 38

24 Hasil Penilaian Aspek Daya Tarik ... 44

25 Hasil Penilaian Aspek Aksesibilitas... 45

26 Hasil Penilaian Kondisi Lingkungan Sosial Ekonomi ... 45

27 Hasil Penilaian Aspek Akomodasi ... 45

28 Hasil Penilaian Aspek Sarana dan Prasarana Penunjang (Radius 10 km dari Objek) ... 45

29 Kategori Penilaian ODWT ... 46

30 Hasil Penilaian Aspek Sosial Ekonomi ... 48

31 Hasil Penilaian Aspek Sosial Budaya ... 48

32 Hasil Penilaian Aspek Lingkungan ... 49

33 Hasil Penilaian Aspek Pengelolaan ... 49

34 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE ... 50

35 Hasil Penilaian Karakteristik Masyarakat ... 52

36 Hasil Penilaian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengembangan Ekowisata ... 52

37 Hasil Penilaian Partisipasi dan Keinginan Masyarakat ... 53

38 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata ... 53

39 Tingkat Kepentingan Faktor Internal TWA Lembah Harau ... 55

40 Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal TWA Lembah Harau ... 55

41 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) TWA Lembah Harau ... 56

42 Matriks External Factor Evaluation (EFE) TWA Lembah Harau ... 56

43 Pemeringkatan Alternatif Strategi TWA Lembah Harau ... 57

44 Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau ... 57

45 Bentuk-Bentuk Mekanisme Partisipasi Publik... 60

46 Contoh Lembar Pemantuan dan Evalusi ... 61

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau ... 14

2 Tahapan Studi... 13

3 Matriks Internal-Eksternal (IE) ... 22

4 Kios Makanan, Tanaman, dan Souvenir ... 27

5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala ... 28

6 Taman Bermain Anak ... 28

7 Sepeda Air ... 28

8 Area Berkemah dan Area Parkir ... 28

9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta ... 29

10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun ... 31

11 Air Terjun Air Lulus ... 32

12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta ... 32

13 Air Terjun Sarasah Murai... 32

14 Peta Lokasi Potensi Objek Wisata ... 33

15 Peta Pusat Kegiatan ... 35

16 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2009 ... 39

17 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke TWA Lembah Harau Tahun 2004, 2005, dan 2006 ... 40

18 Matriks Internal-Eksternal (IE) TWA Lembah Harau ... 56

19 Konsep Pembagian Kegiatan Wisata oleh Weaver ... 65

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1 Kriteria dan Bobot Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) ... 73

2 Kriteria Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism

(CBE) ... 77

3 Kriteria Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

(Kuesioner) ... 81

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia memiliki lanskap alami yang indah. Lanskap alami ini perlu

dijaga dan dikembangkan. Banyak potensi yang perlu dikembangkan dari

keindahan lanskap tersebut.

Sumatera Barat merupakan salah satu tempat yang memiliki lanskap alami

yang indah. Sumatera Barat dilalui oleh pegunungan Bukit Barisan yang memiliki

keragaman bentuk topografi yang mengagumkan. Selain itu, juga memiliki

keragaman flora dan fauna yang cukup terjaga keutuhannya. Lembah Harau

adalah salah satu tempat yang memiliki lanskap tersebut. Tempat ini berada di

Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Lembah Harau telah menjadi

cagar alam sejak 10 Januari 1993, kemudian dikembangkan menjadi taman wisata

alam. Yang menjadikan Lembah Harau istimewa adalah adanya tebing terjal yang

menjulang ke atas. Tebing ini memiliki ketinggian hingga 200 meter.

Dengan berbagai bentuk lanskap tersebut, Lembah Harau berpotensi

dijadikan sebagai tempat wisata. Bentuk wisata massal telah dikembangkan oleh

pemerintah daerah setempat. Wisata tersebut telah berkembang cukup baik, tetapi

kegiatan wisata yang dilakukan terbatas pada berpiknik, berenang, dan berkemah.

Ekowisata dapat menjadi alternatif bentuk wisata yang baik sesuai dengan potensi

yang dimiliki oleh Lembah Harau. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah

suatu bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman

dan penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya di dalam

konteks budaya yang berhubungan. Melalui pembelajaran, pengunjung akan lebih

mengenal alam sehingga meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan di sekitar.

Dalam mencapai ekowisata, perlu dikembangkannya prinsip-prinsip

ekowisata agar tercapai keberlanjutan (suistainable). Salah satu prinsip tersebut adalah berbasis masyarakat (community-based tourism). Melalui prinsip berbasis masyarakat, dapat dijembatani hubungan yang baik antara pengelola dengan

masyarakat. Selain itu, melalui pengembangan berbasis masyarakat, kepedulian

masyarakat terhadap alam akan meningkat sehingga dapat mengurangi dampak

(18)

antara lain, yaitu masyarakat mengurangi eksploitasi alam yang berlebihan,

pengawasan akan lebih mudah dengan adanya bantuan dari masyarakat, dan

adanya potensi pengembangan pasar dan produk yang lebih beragam. Dalam

pengembangan lanskap berbasis ekowisata diperlukan konsep yang matang.

Pembentukan konsep akan dilakukan dalam tulisan ini melalui berbagai analisis.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. mengevaluasi potensi dan kendala lanskap Lembah Harau;

b. menyusun konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata di kawasan

Taman Wisata Alam Lembah Harau.

1.3Manfaat

Sebagai manfaat penelitian, produk penelitian yang berupa konsep

pengembangan ini dapat diharapkan menjadi pertimbangan bagi Pemerintah

Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam pengembangan sumber daya alam di

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Wisata Alam dan Ekowisata

Wisata merupakan perjalanan dan tinggal di suatu tempat (bukan tempat

tinggal dan bekerja). Wisata memiliki beberapa jenis. Salah satunya adalah wisata

alam. Menurut PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di

Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam,

wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang

dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala

keunikan dan keindahan alam. Kegiatan dalam wisata alam berhubungan erat

dengan alam itu sendiri. Ekowisata merupakan salah salah bentuk wisata alam.

Menurut Pendit (1981), ekowisata merupakan kegiatan mengunjungi

kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan melihat, mempelajari,

dan mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna, dan aspek budaya baik di

masa lampau maupun sekarang yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Secara

konseptual, ekowisata menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi

Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009)

dapat didefinisikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil

dengan tujuan menikmati dan mempelajari alam, sejarah, dan budaya di suatu

daerah, yang pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan

mendukung pelestarian alam. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah suatu

bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman dan

penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya, di dalam

konteks budaya yang berhubungan. Kegiatan ekowisata bertujuan menjadikan

lingkungan dan sosial budaya yang berkelanjutan. Tiga hal penting dalam

ekowisata menurut Weaver (2001) adalah berdasarkan lingkungan alami,

pembelajaran, dan keberlanjutan.

Menurut Weaver (2001), ekowisata telah dipadupadankan dengan

beberapa jenis wisata sejak tahun 1980-an, yaitu sebagai berikut.

(20)

tourism. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu contoh kegiatan nature-based tourism adalah ekowisata.

b. Cultural tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada budaya dan sejarah suatu kawasan. Di dalam cultural tourism, ekowisata menjadi alternatif. Namun, antara kedua jenis wisata ini dapat terjadi kasus overlap

sehingga tidak mudah untuk menentukan wisata mana yang menjadi tujuan

utama.

c. Adventure tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada kegiatan yang berisiko, menantang fisik sehingga wisatawan harus memiliki

kemampuan tertentu. Beberapa ekowisata dapat menjadi bagian dari adventure tourism, tetapi banyak jenis adventure tourism tidak dapat menjadi bagian dari ekowisata. Hal ini karena pendekatan adventure tourism tidak selalu kepada

nature-based (dasar dari ekowisata).

d. Alternative and mass tourism merupakan suatu model wisata berskala kecil yang dimaksudkan untuk dapat menyediakan suatu alternatif yang lebih sesuai

dengan wisata massal. Model ini memberikan peluang terhadap perkembangan

ekowisata di antara wisata massal.

Dari keempat wisata ini, bentuk altenative dan mass tourism merupakan bentuk yang paling cocok untuk dipadupadankan dengan ekowisata. Bentuk ini

memberikan hasil yang keberlanjutan (suistainable). Suistanable tourism

merupakan wisata yang memiliki prinsip pengembangan yang berkelanjutan dan

untuk menggabungkan kriteria dari lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi

(Weaver, 2001).

Menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi, Pariwisata

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) ekowisata

memiliki lima prinsip sebagai berikut.

a. Nature-based

Nature-based adalah produk dan pasar yang berdasar dari alam. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri. Konsevasi sumber daya

alam merupakan hal mendasar dalam pengembangan dan pengelolaan wisata

alam.

(21)

Kestabilan ekologi merupakan perencanaan dan manajemen kawasan

berkelanjutan secara ekologi. Semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik,

maupun sosial tetap berjalan dengan baik.

c. Environmentally educative

Pendidikan lingkungan ditujukan bagi pengelola dan pengunjung. Pendidikan

adalah inti dari ekowisata yang membedakan dengan wisata alam lainnya.

Pendidikan menciptakan suasana yang menyenangkan, bermakna,

berkepedulian, dan apresiatif terhadap lingkungan. Kelestarian lingkungan

dalam jangka panjang dapat berjalan dengan kegiatan pendidikan.

d. Bermanfaat untuk masyarakat lokal

Manfaat ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung

berupa, antara lain, masyarakat terlibat dalam kegiatan wisatawan, pelayanan

terhadap wisatawan, dan penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan.

Manfaat tidak langsung berupa bertambahnya wawasan dari wisatawan atau

pengelola.

e. Kepuasaan bagi wisatawan

Kepuasan merupakan pemenuhan harapan wisatawan terhadap segala sesuatu

yang ditawarkan.

2.2Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata

Pengembangan pariwisata alam adalah kegiatan memanfaatkan ruang

melalui serangkaian program kegiatan pembangunan untuk pariwisata alam yang

meliputi pengelolaan pemanfaatan lahan sesuai dengan azas pemanfaatan ruang

dengan mengkamodasi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil

guna, serasi, seimbang, dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2007).

Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alam yang baru dikembangkan.

Prinsip pengembangan pariwisata alam menurut Departemen Kehutanan

(2007) adalah konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, dan rekreasi.

a. Konservasi membantu mengurangi terjadinya gangguan kawasan seperti

penebangan liar, dan perambahan kawasan; mendukung upaya pengawetan

(22)

warisan alam dan warisan budaya khususnya yang ada di dalam kawasan;

menunjang upaya pemanfaatan yang berkelanjutan.

b. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung

melalui pengembangan interpretasi (jika memungkinkan); meningkatkan

kepedulian masyarakat dan partisipasi pengunjung; menunjang pengembangan

penelitian di bidang pariwisata alam;

c. Partisipasi masyarakat berupa melibatkan masyarakat dalam proses

pemanfaatan, sejak dari tahap perencanaan sampai ke monitoring dan evaluasinya; meningkatkan keterampilan masyarakat melalui pendidikan dan

pelatihan; memperhatikan adat dan tradisi setempat, hak-hak masyarakat

terasing, agama dan kepercayaan, kearifan tradisional, dan struktur sosial.

d. Ekonomi menjamin kelangsungan usaha agar kegiatan pariwisata alam tetap

berlangsung; memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan

konservasi dan pembangunan lokal, regional, dan nasional; membuka peluang

usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat.

e. Rekreasi memberikan keamanan dan kenyamanan pengunjung; memberikan

informasi yang memadai bagi pengunjung sejak sebelum sampai di tempat

tujuan dan setelah pengunjung keluar dari kawasan; menawarkan pilihan

produk-produk wisata yang bervariasi.

Pengembangan perlu diimbangi dengan pengelolaan. Pengelolaan adalah

suatu kegiatan manusia yang dibebankan kepada lanskap yang bertujuan

memanen, memindahkan, mengangkut, atau mengisi sumber-sumber alami (U.S

Department of Agriculture, 1974). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No

167 Tahun 1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan dan Pariwisataa Alam

di Kawasan Pelestarian Alam, rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam

adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian,

pemulihan pengembangan dan perlindungan, serta pemanfaatan. Pengelolaan

perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Salah satu bentuk

pengelolaan lanskap pada kawasan hutan adalah sistem pengelolaan visual.

Pengelolaan visual dilakukan dengan cara menentukan kualitas visual objek, yaitu

(23)

karakter masyarakat sekitar area. Tingkat ini mengacu pada tingkat perubahan

yang dapat diterima dari lanskap (U.S Department of Agriculture, 1974).

Terdapat lima kualitas visual objek berdasarkan U.S Department of

Agriculture (1974):

a. preservation, yakni suatu sasaran kualitas visual yang hanya untuk perubahan secara ekologis;

b. retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang tidak jelas;

c. partial retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang sebagian telah jelas;

d. modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, tetapi pengelolaannya harus mempertahankan nilai alami;

e. maximum modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, dengan pemandangan hanya sebagai latar belakang.

Pengelolaan wisata alam dan ekowisata, menurut Departemen Kehutanan

(2007), meliputi sebagai berikut.

a. Pengelolaan kawasan meliputi kondisi kawasan, penataan kawasan, dan

pengamanan kawasan.

b. Pengelolaan produk wisata alam meliputi pengembangan produk, pemasaran

produk, dan sistem informasi produk.

c. Pengelolaan pengunjung meliputi distribusi pengunjung, interpretasi,

informasi bagi pengunjung, dan keselamatan pengunjung. Pengelolaan

pengunjung adalah teknik untuk membatasi, memberikan informasi, dan

mengawasi pengunjung yang datang ke suatu lokasi objek wisata alam agar

sesuai dengan kemampuan daya dukung lokasi yang bersangkutan. Daya

dukung kawasan adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung kesehatan

organisme sambil memelihara produktivitas, adaptasi, dan kemampuannya

untuk memperbaiki dirinya. Pengelolaan pengunjung direncanakan untuk

mengantisipasi dan mengurangi dampak negatif akibat kunjungan.

Pengelolaan pengunjung dapat dilakukan secara langsung dengan menghitung

daya dukung dan pengaturan pengunjung atau secara tidak langsung melalui

(24)

d. Pengelolaan dampak meliputi dampak ekologis dan dampak sosial, budaya,

dan ekonomi. Dampak dikelola dengan berbagai cara bergantung pada

besarnya dampak, luas areal yang terkena dampak, dampak penting, tingkat

sentifitas wilayah, kerangka waktu, dan kemampuan untuk diperbaharui.

e. Pengelolaan kelembangan meliputi organisasi, sumber daya manusia,

keuntungan, dan sarana dan prasarana.

Keberadaan masyarakat sekitar sangatlah penting untuk keberlanjutan

suatu kawasan. Begitu juga dalam pengembangan dan pengelolaan wisata.

Menurut Butler dan Boyd (2000) dalam Weaver (2001), jika masyarakat lokal

tidak mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan (ekowisata), akan terjadi

kesenjangan kesejahteraan sehingga masyarakat tidak akan peduli terhadap

lingkungan. Bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, antara lain,

berupa penebangan kayu dan pembakaran lahan untuk berkebun di kawasan

proteksi. Pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan hasil yang

berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat ikut serta sehingga menumbuhkan

rasa memiliki dan menjaga suatu kawasan. Namun, pengelolaan ini harus

memperhatikan nilai penting dari sosial budaya masyarakat. Menurut Weaver

(2001), agar ekowisata dapat berjalan dengan lama (berkelanjutan), dampak

positif dan negatif dari sosial budaya harus diperhatikan. Hal ini akan menjadi

bagian yang krusial dalam pengelolaan dengan cara memberikan perhatian khusus

terhadap budaya masyarakat itu sendiri.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang

menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan

bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi

potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan masyarakat

menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat

lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat

ataupun sebagai pengelola (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi

Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia, 2009).

Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengelolaan berbasis

masyarakat. Masyarakat ikut serta dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan

(25)

Beberapa peneliti mengelompokkan menjadi beberapa bentuk. Menurut Preety

(1995) dalam Mason (2003), tipologi dari partisipasi masyarakat adalah sebagai

berikut:

a. partisipasi manipulasi, yakni partisipasi yang tidak mempunyai kekuatan

dalam organisasi;

b. partisipasi pasif, yakni partisipasi berupa pemberian informasi oleh

masyarakat kepada pihak dalam pengelola;

c. partisipasi melalui konsultasi, yakni partisipasi berupa konsultasi mengenai

masalah dan informasi mengenai proses pengelolaan;

d. partisipasi untuk perangsang material, yakni partisipasi yang hanya untuk

mendapatkan upah, tetapi tidak mengerti proses pengelolaan;

e. partisipasi yang fungsional, yakni partisipasi yang lebih interaktif yang

mendorong masyarakat mulai mempelajari proses pengelolaan, tetapi

pengambilan keputusan masih di tangan pihak pengelola;

f. partisipasi yang interaktif, yakni partisipasi aktif dalam melakukan analisis,

pengembangan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan sehingga

masyarakat telah menjadi bagian utama dalam pengelolaan;

g. pergerakan sendiri, yakni masyarakat membentuk institusi sendiri dan bekerja

sama dengan pemerintah dan pihak-pihak yang dibutuhkan.

Konsep partisipasi sangat susah untuk diimplementasikan. Dibutuhkan

usaha yang cukup keras untuk mengembangkannya dalam masyarakat. Menurut

Jenkis (1993) dalam Mason (2003), terdapat tujuh halangan dalam

mengembangkan wisata berbasis masyarakat, yaitu

a. masyarakat pada umumnya sulit untuk memahami konsep yang baru;

b. masyarakat tidak perlu memahami bagaimana proses dan cara pengambilan

keputusan;

c. masalah dari pencapaian dan pemeliharaan adalah dalam proses pengambilan

keputusan;

d. kurangnya semangat dari masyarakat sekitar;

e. peningkatan biaya berhubungan dengan waktu kerja dan upah kerja;

f. pada kenyataannya, proses pengambilan keputusan dari partisipasi masyarakat

(26)

g. efisien secara keseluruhan kurang berpengaruh baik dalam proses

pengambilan keputusan.

Akibat banyaknya halangan dalam implementasi konsep partisipasi, para peneliti

telah mencoba mengembangkan berbagai metode. Salah satunya adalah menurut

Drake‟s (1991) dalam Mason (2003), yaitu

a. memantakan peran dari partisipasi lokal;

b. memilih tim untuk penelitian;

c. melakukan persiapan studi;

d. memantapkan keterlibatan lokal;

e. memantapkan mekanisasi pendekatan partisipasi;

f. melakukan permulaan dalam bentuk dialog;

g. mengambil keputusan secara kolektif;

h. mengembangkan rencana dan implementasi skema;

i. memantau dan mengevaluasi.

Pemerintah sangat berperan penting dalam implementasi konsep

partisipasi. Pemerintah merupakan stakeholder yang berpengaruh dalam proses pengelolaan berbasis masyarakat. Menurut Weaver (2001), beberapa usaha yang

dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

a. menganalis pengembangan dan peraturan ekowisata dari waktu ke waktu

dengan cara melihat dampak dari pengembangannya;

b. menganalisis fasilitas yang dapat dikembangkan di dalam kawasan dengan cara

melihat tingkat interaksi mutu yang menguntungkan;

c. meneliti ketetapan umum yang berhubungan dengan bantuan eksternal dalam

kaitannya dengan tujuan yang ditargetkan, stakeholder, dan hasil.

2.3Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Lembah Harau

Lembah Harau merupakan salah satu cagar alam yang ada di Sumatera

Barat. Lembah Harau berada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kawasan ini

memiliki luas 270,5 hektar (Korean addicted, 2009). Kawasan ini ditetapkan

sebagai Cagar Alam (CA) sejak 10 Januari 1993. Taman Wisata Alam (TWA)

(27)

dikembangkan menjadi kawasan rekreasi. Kawasan cagar alam tidak

dikembangkan karena memiliki fungsi sebagai penyangga daerah sekitarnya.

Lembah Harau memiliki potensi lanskap berupa air terjun, gua, celah alam,

dan tebing terjal. Tebing merupakan bagian yang mendominasi di kawasan ini.

Tebing ini memiliki tinggi 150 hingga 200 meter dengan diameter mencapai 400

m. Tebing terbentuk dari batuan granit sehingga jarang terjadi longsor (Hade,

2009). Pada beberapa titik tebing, telah dikembangkan titik echo (gaung) yang menjadi salah satu objek wisata. Selain itu, tebing telah dikembangkan menjadi

area panjat tebing. Lembah Harau mempunyai tujuh air terjun, yaitu lima buah di

Sarasah Bunta dan dua buah di Aka Barayun. Air terjun di Sarasah Bunta masih

alami berupa kerikil, sedangkan di Aka Barayun berupa kolam. Di kaki air terjun

Sarasah Bunta terdapat sebuah monumen peninggalan Belanda yang merupakan

bukti bahwa Lembah Harau sudah sering dikunjungi orang sejak 1926. Pada

monumen itu tertera tanda tangan Asisten Residen Belanda di Lima Puluh Kota

saat itu, F. Rinner, dan dua pejabat Indonesia, Tuanku Laras Datuk Kuning nan

Hitam dan Datuk Kodoh nan Hitam (STR, 2009).

Cagar alam Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora dan fauna.

Flora didominasi oleh tanaman hutan hujan tropis. Fauna antara lain, berupa

monyet ekor panjang (Macaca fascirulatis), siamang (Hylobates syndactylus), simpai (Presbytis melalopos), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), beruang (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Capriconis sumatrensis), dan landak (Proechidna bruijnii). Lembah Harau juga memiliki 19 spesies burung, termasuk burung kuau (Argusianus argus), dan enggang (Anthrococeros sp.). Beberapa spesies yang ada merupakan hewan langka yang dilindungi (Korean addicted, 2009).

Lembah Harau telah dijadikan tempat wisata. Tempat ini memiliki fasilitas

rekreasi seperti kolam pemandian, tempat berkemah, dan jalan setapak. Beberapa

fasilitas telah ada yang rusak dan terdapat pula fasilitas yang baru dibangun.

Selain itu, terdapat warung-warung ilegal yang didirikan oleh masyarakat.

Warung tersebut menjual makanan, minuman, souvenir, dan tanaman hias.

(28)

menandakan masyarakat belum siap terhadap pengembangan wisata di Lembah

(29)

III. METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi dilakukan di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi

Sumatera Barat (Gambar 1). Pelaksanaan studi dimulai dari bulan Maret 2010

sampai dengan Januari 2011.

3.2Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam studi ini meliputi inventarisasi, analisis, dan

sintesis (Gambar 2).

Lanskap Lembah Harau

Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata pada KawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Penilaian

1.Objek dan Daya Tarik Wisata (ODWT)

2.Kesiapan Pengembangan Community-BasedEcotourism (CBE)

3.Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Analisis SWOT

KONSE

P

Gambar 2 Tahapan Studi

(30)

Gambar 1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau

(31)

a. Inventarisasi adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dan

sekunder terdiri dari aspek fisik, biofisik, aspek legal, aspek sosial, dan aspek

pengelolaan (Tabel 1). Data diperoleh dengan cara berikut:

1) observasi lapang yang dilakukan untuk mengetahui kondisi tapak, yaitu

fisik, karakter lanskap, dan aktivitas masyarakat pengguna dan sekitarnya;

2) wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, masyarakat, dan

pengelola;

3) studi pustaka yang didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh

Kota, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat,

Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lima Puluh

Kota, dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor untuk mendukung hasil

observasi dan wawancara.

Tabel 1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data

Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan

Fisik dan Biofisik

Posisi dengan tempat lain Hubungan dengan lingkungan Kemudahan pencapaian

10 Peraturan - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA

13 Tenaga kerja - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA

(32)

14 Kegiatan wisata - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA

Pertimbangan pengembangan

b. Analisis adalah pengolahan hasil inventarisasi untuk mengetahui potensi dan

kendala. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu penilaian dan analisis

SWOT (strength, weaknesses, opportunity, threats). Proses sintesis menghasilkan strategi pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada

kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat.

c. Produk akhir adalah konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada

kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Konsep ini

merupakan penjelasan dari strategi pengembangan.

3.3 Metode Penilaian

3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)

Penilaian ODTW ditentukan dalam Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata

(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007). Pedoman ini memiliki beberapa

komponen aspek. Komponen aspek yang digunakan dalam kasus ini daya tarik,

aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi serta sarana dan

prasarana penunjang. Pengambilan data dilakukan melalui mengisi kriteria yang

sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan lebih

lengkap disajikan pada Lampiran 1. Beberapa langkah dalam menentukan

penilaian. Langkah pertama adalah penentuan nilai skor dengan persamaan

(Departemen Kehutanan, 2007).

dengan

S = skor;

N = jumlah nilai dari unsur-unsur kriteria;

B = bobot nilai .

Langkah kedua adalah penentuan kategori penilaian. Kategori disusun

berdasarkan jumlah total dari setiap dan seluruh penilaian. Dalam penelitian yang

telah dilakukan oleh Oktadiyani (2006), kategori penilaian akan dihitung dengan

menggunakan persamaan

(33)

dengan

Selang = nilai selang dalam penetapan selang kategori penilaian;

Smaks = nilai skor tertinggi;

Smin = nilai skor terendah;

K = banyaknya kategori penilaian.

Penelitian ini menggunakan lima tingkat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang,

buruk, dan sangat buruk (Tabel 2). Langkah ketiga adalah memasukkan total skor

dari penilaian (dari langkah pertama) ke dalam kategori penilaian. Penentuan

kategori dilakukan berdasarkan selang yang telah dilakukan. Berdasarkan kategori,

dapat diketahui gambaran dari kondisi kawasan.

Tabel 2 Kategori Penilaian ODTW

Kategori Derajat Interval Sangat baik

Baik Sedang Buruk Sangat buruk

2328-2640 2016-2327 1704-2015 1392-1703 1080-1391

3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE)

Penilaian kesiapan pengembangan CBE mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah aspek sosial

ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan pengelolaan. Pengambilan data

dilakukan melalui pengisian kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran

kawasan. Kriteria dan pembobotan disajikan pada Lampiran 2. Penentuan

penilaian kesiapan pengembangan CBE menggunakan langkah yang sama pada

metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan pengembangan

CBE dapat dilihat pada Tabel 3.

(34)

Tabel 3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE

Kategori Derajat Interval Sangat baik

3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Penilaian kesiapan masyarakat mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan oleh WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah

karakterisitk masyarakat, persepsi masyarakat mengenai pengembangan ekowisata,

serta partisipasi dan keinginan masyarakat. Pengambilan data pada metode ini

berbeda dengan metode sebelumnya. Pengambilan data dilakukan berdasarkan

kuesioner dan wawancara. Kuesioner dan wawancara harus disesuai dengan

kriteria penilaian. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner yang

dilakukan oleh KSDA pada tahun 2000 dengan total responden 30 orang dari

Desa Tarantang Lubuak Limpato dan 30 orang dari Desa Harau. Wawancara

dilakukan terhadap Kepala Desa Harau, pemangku adat, dan 5 orang warga Desa

Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Kriteria penilaian disajikan pada

Lampiran 3. Penentuan penilaian kesiapan masyarakat menggunakan langkah

yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan

masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan

Ekowisata

(35)

3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi

sumberdaya ekowisata dengan sumber daya yang lain (Damanik dan Helmut,

2006). Selain itu, analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi

manajemen program ekowisata. Analisis SWOT dilakukan dengan

membandingkan faktor internal yang terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dengan faktor eksternal yang terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif

adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,

sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan pembobotan dan

pemberian peringkat.

Langkah kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT menurut

David (2008), yaitu penentuan faktor internal dan faktor eksternal; penentuan

bobot faktor internal dan faktor eksternal; penentuan peringkat (rating) faktor internal dan faktor eksternal; pembuatan matriks faktor internal dan eksternal;

penyusunan alternatif strategi; penentuan prioritas alternatif strategi.

a. Penentuan faktor internal dan faktor eksternal

Faktor internal atau Internal Factor Evaluation (IFE) ditentukan dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Faktor internal dalam kasus ini

adalah masyarakat. Faktor eksternal atau External Factor Evaluation (EFE) ditentukan untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang yang

dimiliki, yaitu dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008).

Faktor eksternal dalam kasus ini adalah non masyarakat seperti pemerintah,

balai konservasi dan stakeholder lainnya.

b. Penentuan bobot faktor internal dan faktor eksternal

Pembobotan dilakukan untuk mengetahui fackor mana yang paling

berpengaruh terhadap kawasan. Menurut Kinnear dan Taylor (1991), sebelum

melakukan pembobotan perlu ditentukan tingkat kepentingannya agar bobot

lebih subjektif. Penentuan tingkat kepentingan dilakukan dengan cara

membandingkan setiap faktor internal dan eksternal (Tabel 5). Penentuan

(36)

1) 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor

vertikal;

2) 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor

vertikal;

3) 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor

vertikal;

4) 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor

vertikal.

Tabel 5 Tingkat Kepentingan Faktor Internal/Eksternal

Faktor Strategis Internal/Eksternal

A B C D Total

(xi)

Bobot (ai)

A B C D Total

Sumber: Kinnear dan Taylor, 1991

Setelah menentukan tingkat kepentingan, dilakukan pembobotan. Pembobotan

setiap faktor diperoleh dengan menggunakan rumus Kinnear dan Taylor

(1991):

dengan

ai = bobot faktor ke-i;

xi = nilai faktor ke-i;

i = A, B, C,…, n (faktor vertikal);

n = jumlah faktor.

c. Penentuan peringkat (rating)

Penentuan peringkat setiap faktor diukur dengan menggunakan nilai peringkat

berskala 1-4. Setiap faktor memiliki maksud yang berbeda dari setiap

(37)

peringkat. Skala penilaian peringkat dari setiap faktor dapat dilihat pada Tabel

6.

Tabel 6 Skala Penilaian Peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)

Nilai Peringkat

Matriks IFE Matriks EFE

Strengths (S) Weaknesses (W) Opportunities (O) Threats (T) 1

d. Pembuatan matriks faktor internal dan eksternal

Setelah menentukan bobot dan peringkat setiap faktor, langkah selanjutnya

adalah menentukan skor. Skor merupakan hasil perkalian dari bobot dengan

peringkat. Jumlah skor dari faktor internal dan eksternal dapat menentukan

langkah dalam pembuatan strategi. Bentuk dari matriks faktor internal dan

eksternal dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Peringkat Skor Kode Kekuatan

Kelemahan

Sumber: David, 2008

Tabel 8 Matriks External Factor Evaluation (IFE)

Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Peringkat Skor Kode Peluang

Ancaman

Sumber: David, 2008

e. Penentuan tindakan strategi

Allen dalam David (2008), mengembangkan cara dalam menentukan tindakan

strategi. Tindakan ini berfungsi sebagai pedoman pembuatan strategi.

(38)

I II III

IV V VI

VII VIII IX

Gambar 3 Matriks Internal-Eksternal (IE)

Kuadran I, II, dan IV dipersepsikan sebagai tindakan grow dan build. Strategi yang intensif dan integratif dapat dijadikan pendekatan yang sesuai. Kuadran

III, V, dan VII menunjukkan tindakan hold dan maintain. Pendekatan yang cocok adalah pengembangan pasar dan produk. Kondisi yang kurang baik

ditunjukkan dalam kuadran VI, VII, dan IX. Tindakan harvest dan divest

menjadi pendekatan yang baik.

f. Penyusunan alternatif strategi dan penentuan prioritas alternatif strategi.

Penyusunan alternatif dilakukan dengan mengkombinasikan antara faktor

internal dengan faktor eksternal. Kombinasi tersebut adalah sebagai berikut:

1) kekuatan dan peluang (SO), yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan

untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;

2) kekuatan dan ancaman (ST), yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan

yang dimiliki untuk mengatasi ancaman;

3) kelemahan dan peluang (WO), yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan

pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang

ada;

4) kelemahan dan ancaman (WT), yaitu strategi yang didasarkan pada

kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Strategi dirumuskan untuk mengatasi merangkum beberapa masalah dengan

menggunakan potensi yang ada. Strategi tidak hanya fokus pada satu faktor,

tetapi melibatkan banyak faktor. Penentuan prioritas alternatif strategi

dilakukan dengan cara menjumlah semua skor dari faktor-faktor penyusunnya.

4 3

2

1

tinggi sedang rendah

(39)

Strategi yang memiliki skor paling tinggi menjadi prioritas utama. Bentuk

penentuan prioritas alternatif strategi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pemeringkatan Alternatif Strategi

Strategi Kode Pembobotan Total Skor Prioritas SO1

SO2 SOn ST1 ST2 STn WO1 WO2 WOn WT1 WT2 WTn

(40)

IV. INVENTARISASI

4.1Aspek Legal

Menurut prasasti yang terdapat di lokasi air terjun Serasah Bunta, kawasan

Lembah Harau dibuka pertama kali pada tanggal 14 Agustus 1926 oleh Asisten

Residen 50 Kota yang bernama BO. Weirkein bersama dengan Tk. Laras Dt.

Kuning Nan Hitam dan Asisten Damang Dt. Kondoh Nan Hitam. Kawasan ini

dibangun berdasarkan Besluits Van Der Gouverneur General Van Netherlanch

Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan status Nature

Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Pertanian No.478/Kpts/Um/8/1979 tanggal 02 Agustus 1979 sebagian

kawasan Cagar Alam (CA) Lembah Harau dialihkan fungsinya menjadi Taman

Wisata Alam (TWA) Lembah Harau.

4.2Aspek Fisik dan Biofisik 4.2.1 Luas, Letak, dan Batas

Luas CA Lembah Harau adalah 270,5 ha, sedangkan luas TWA Lembah

Harau adalah 27,5 ha (10,2%). TWA Lembah Harau berada dalam kawasan CA

Lembah Harau. Secara geografis, CA Lembah Harau terletak pada koordinat 100o

39‟ 10” BT - 100o 41‟ 58” BT dan 00o 04‟ 39” LS - 00o 11‟ 46” LS. Dalam

administrasi kehutanan, CA Lembah Harau termasuk dalam wilayah kerja BKPH

Harau, RPH Harau, sedangkan menurut pembagian wilayah kerja unit Konservasi

Sumberdaya Alam (KSDA) kawasan ini termasuk dalam wilayah kerja Sub Seksi

KSDA Wilayah Pasaman. Dalam administrasi pemerintahan kawasan ini berada

di dua desa, yaitu Desa Harau dan Desa Tarantang Lubuk Limpato yang termasuk

wilayah Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera

Barat. CA Lembah Harau memiliki batas-batas berikut:

a. bagian utara berbatasan dengan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Desa

Harau;

b. bagian timur berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Mahat I;

(41)

d. bagian barat berbatasan dengan Dusun Padang Beringin, Desa Tarantang

Lubuk Limpato.

Kawasan TWA Lembah Harau terdiri dari dua lokasi, yaitu Aka Barayun dan

Sarasah Bunta.

Menurut hasil wawancara Pak Iwan, pegawai Badan Konservasi

Sumberdaya Alam (BKSDA), batas tersebut ditandai dengan pal beton dengan

ketinggian 1,5 m. Namun, kondisi pal di lapangan sekarang, sudah tidak sesuai

karena banyak yang rusak dan hilang. Pengecekan yang dilakukan selama setiap 5

tahun tidak menjangkau seluruh kawasan sehingga telah tertutupnya jalan di

sekeliling kawasan. Hal ini telah mengakibatkan ketidakpastian batas CA

sehingga masyarakat sering tanpa sengaja menggarap lahan di kawasan CA.

4.2.2 Aksesibilitas

Kawasan CA Lembah Harau berbatasan langsung dengan ruas jalan negara

Payakumbuh-Pekanbaru. Jalan menuju kawasan merupakan jalan beraspal yang

dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat. Berdasarkan klasifikasi jalannya,

kawasan ini dilalui jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan desa, dan jalan setapak.

Jarak CA Lembah Harau ke ibukota kawasan lain dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jarak Desa Penyangga ke Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi

No Nama Desa Jarak ke Ibukota (km)

Kecamatan Kabupaten Propinsi

1 Harau 14 19 143

2 Tarantang Lb. Limpato 9 14 137

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kawasan CA ini mempunyai

iklim Tipe A. Pada tahun 1997 jumlah rata bulan kering 4,92 dan jumlah

rata-rata bulan basah 1,17. Suhu suhu rata-rata-rata-rata maksimum 25-330 C. Data curah hujan

tahunan secara lengkap disajikan pada Tabel 11.

(42)

Bulan Stasiun klimatologi

Payakumbuh Pangkalan P. Mangatas M. Paiti Rata-rata

Januari X 225 264 180 269 234,50

Keterangan : X=Curah hujan (mm), Y=Hari hujan (hari)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.4 Topografi

Kawasan CA Lembah Harau terletak pada ketinggian antara 400 m dpl

sampai 850 m dpl. Topografi kawasan ini adalah berbukit (bergelombang), landai,

dan terdapat tebing-tebing yang curam. Kawasan ini memiliki keunikan karena

banyak terdapat tebing terjal dengan sudut 900, dengan ketinggian tebing 150-200

m.

4.2.5 Hidrologi

Kawasan CA Lembah Harau dialiri oleh 4 sungai, yaitu Batang

Simolakama, Batang Air Putih, Sungai Air Tiris, dan Batang Harau.

Sungai-sungai dalam kawasan ini tidak begitu besar, tetapi mempunyai peranan penting

bagi masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai tersebut, terutama untuk

(43)

4.2.6 Fasilitas

Kawasan TWA telah memiliki beberapa fasilitas yang telah dibangun,

yaitu sebagai berikut (Gambar 4, 5, 6, 7, 8, dan 9).

a. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota telah

membangun, gerbang masuk, pondok wisata, kolam renang, taman bermain

anak, sepeda air, gazebo, kios makanan/souvenir, toilet/kamarganti, mushola,

parker. Kios yang ada, disewakan oleh Dinas Pariwisata dengan membayar Rp

10.000,- hingga Rp 20.000,- per bulan. Namun, banyak penyewa yang tidak

membayar dan beberapa masyarakat lain (bukan penyewa) membangun kios

ilegal. Kondisi fasilitas kurang terpelihari akibat tidak adanya pengelolaan

yang baik.

b. BKSDA telah membangun kantor BKSDA dan mes. Semua fasilitas tidak

berfungsi lagi. Hal ini diakibatkan adanya masalah antara BKSDA dengan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota dalam hal

pengelolaan.

c. Masyarakat membangun kios makanan/souvenir, toilet, camping ground, panjat tebing. Fasilitas yang dibangun merupakan bangunan ilegal kecuali

yang menyewa, karena tidak adanya persetujuan dari Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai pihak pengelola.

d. Swasta membangun tempat penginapan. Masih kurangnya campur tangan dari

pihak swasta sehingga belum ada eksploitasi yang merugikan.

(44)

Gambar 5 Toilet, Loket Tiket, dan Mushala

Gambar 6 Taman Bermain Anak

Gambar 7 Sepeda Air

(45)

Gambar 9 Kantor BKSDA dan Penginapan oleh Pihak Swasta

4.2.7 Vegetasi

Susunan vegetasi kawasan CA Lembah Harau merupakan tipe ekosistem

hutan hujan campuran non-Dipterocapaceae (Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000). Vegetasi hutan kawasan ini di didominasi oleh

tumbuhan daratan tinggi. Spesies pohon yang terdapat CA Lembah Harau dapat

dilihat pada Lampiran 4.

4.2.8 Fauna

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan petugas KSDA bersama

penduduk, tercatat beberapa jenis mamalia yang terdapat pada kawasan (Tabel

12).

Tabel 12 Jenis-Jenis Mamalia yang Ditemukan di Areal Pengamatan yang

Dilindungi oleh UU No. 5/1990

No Famili Nama Jenis Nama Indonesia 1 Bovidae Capriconus sumatrensis Kambing hutan 2 Cervidae Cervus unicolor Rusa sambar 3 Felidae Panther tigris sumatrensis Harimau sumatra 4 Felidae Neofelis nebusula Harimau dahan 5 Hylobatidae Hylobates syndactilus Siamang 6 Tapiridae Tapirus indicus Tapir 7 Tragulidae Tragulus javanicus Kancil 8 Ursidae Helarctos malayanus Beruang madu

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Selain itu, terdapat beberapa jenis burung yang dijumpai (Tabel 13). Jenis burung

pada kawasan ini umumnya merupakan jenis pemakan serangga, hanya sebagian

kecil yang tergolong jenis pemakan buah, biji-bijian, dan nektar. TWA Lembah

(46)

Tabel 13 Jenis-Jenis burung yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Famili Nama Jenis Nama Indonesia 1 Accipitridae Haliastur Indus

Ictinaetus malayensis

Elang bondol Elang hitam 2 Alcedinidae Alcedo althis Raja udang 3 Bucerotidae Berenicornis comatus

Beceros rhinoceros

Enggang Rangkong 4 Ciconidae Ciconia episscopus Bangau

5 Falconidae Falco tinnunculus Alap-alap curasia

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

CA Lembah Harau juga memiliki jenis kupu-kupu yang cukup beragam.

Potensi kupu-kupu ini menjadi daya tarik oleh wisatawan terutama wisatawan

mancanegara. Kegiatan ini dikembangkan oleh masyarakat setempat, belum ada

pengembangan lebih lanjut oleh pihak pengelola. Jenis kupu-kupu komersial yang

terdapat pada kawasan CA Lembah Harau dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jenis-Jenis Kupu-Kupu yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Nama Jenis Tanaman Pakannya

1 Papilio memnon

Papilio demoleus

Jeruk (Citrus sp.)

2 Graphium sarpedon Kulit Manis (Cynamomun burmanii)

3 Polyura scheiber Rambutan (Nephelium lappaceum)

4 Papilio palinurus

Papilio polytes

Sicerek (Glaucena excavata)

5 Graphium agamemnon Sirsak (Anonna muricata)

6 Trogonoptera brooklana *)

Triode Helena *) Triodes amphrysus*) Pachilipta aristolochiae

Tanaman Aka (Aristolochiae glaucifolia)

7 Antrophaneura nox Tanaman Aka (Apama corymbosa)

8 Papilio karna

Papilio demolion

Ulam/Pauh-pauh (Evodia malayana)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

4.2.9 Objek Wisata

Lembah Harau memiliki objek wisata yang didominasi oleh air terjun dan

tebing terjal (Gambar 10, 11, 12, 13 dan 14). Air terjun pada kawasan ini

(47)

Tabel 15 Potensi Objek Wisata Kawasan Aka Barayun

Area Objek Wisata

Tebing Goa Tebing, ngalau

Echo Tebing

Liang Limbek Tebing, ngalau atau lembah

Panorama Tebing

Aka Barayun Tebing, air terjun Ngalau Amu Tebing

Tabel 16 Potensi Objek Wisata Kawasan Sarasah Bunta

Area Objek Wisata

Sarasah Rupih Air terjun Air Lulus Air terjun, tebing Sarasah Bunta Air terjun, tebing Sarasah Murai Air terjun, tebing

Tabel 17 Air Terjun yang Terdapat di Kawasan CA Lembah Harau

No Nama Air Terjun Tinggi (m)

1 Akar Berayun 80

2 Sarasah Rupih 50

3 Sarasah Air Bulus 30

4 Sarasah Bunta 30

5 Sarasah Murai 60

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Gambar 10 Air Terjun Aka Barayun dan Prasasti Aka Barayun

(48)

Gambar 12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta

Gambar 13 Air Terjun Sarasah Murai

Akar Berayun dan Sarasah Bunta menjadi nama kawasan dari TWA

Lembah Harau. Di kawasan Akar Berayun terdapat air terjun Akar Berayun,

sedangkan kawasan Sarasah Bunta terdapat air terjun Sarasah Air Bulus, Sarasah

Bunta, dan Sarasah Murai. Untuk Air Putih, Sarasah Gadang, dan Sarasah Rupih

belum dikembangkan. Terdapat juga air terjun yang tidak boleh dikembangkan

karena berada dalam kawasan CA Lembah Harau. Selain air terjun masih terdapat

(49)
(50)

4.2.10Aktivitas

Aktivitas kegiatan wisata yang ada pada saat ini adalah berpiknik,

berenang, berkemah, dan panjat tebing. Untuk kegiatan berpiknik dan berenang

telah dialokasikan pada kawasan Aka Barayun, Air Lulus, Sarasah Bunta, dan

Sarasah Murai. Untuk kegiatan berkemah telah dialokasikan pada kawasan

Sarasah Murai. Untuk kegiatan panjat tebing telah dialokasikan pada kawasan

Aka Barayun dan titik echo.

Aktivitas lainnya yaitu aktivitas pemerintahan dan pemukiman. Aktivitas

ini terkonsentrasi pada kawasan pemukiman Desa Padang Baringin, yaitu terdapat

Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Kantor Kepala Desa Tarantang.

Selain itu, di depan Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terdapat loket

pembelian tiket. Aktivitas pemukiman yang berdekatan dengan TWA Lembah

Harau, yaitu Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Padang Baringin.

(51)
(52)

4.3 Aspek Sosial 4.3.1 Masyarakat

Kawasan CA Lembah Harau terletak pada dua desa, yaitu Desa Tarantang

Lubuak Limpato dan Desa Harau. Jumlah penduduk dari kedua desa dapat dilihat

pada Tabel 18. Desa Tarantang memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi

daripada Desa Harau, yaitu 83 jiwa/ km2.

Tabel 18 Jumlah Penduduk Desa-Desa Penyangga Pada Tahun 2000

Desa Luas (km2) Penduduk (jiwa) Kepadatan (jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah

Harau 29,75 448(47%) 505(53%) 953(100%) 32 Tarantang Lubuak

Limpato 22,63 916(49%) 953(51%) 1869(100%) 83

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

BKSDA telah melakukan survei pada tahun 2000 mengenai sosial

ekonomi dari Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Responden

berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang dari Desa Tarantang dan 30 orang Desa

Harau. Responden yang dipilih telah mewakili satu rumah tangga. Hal ini

dilakukan agar dapat menggambarkan kondisi dari kedua desa secara menyeluruh.

Tingkat pendidikan dari responden dapat dilihat pada Tabel 19. Dari segi

pendidikan di kedua desa dapat disimpulkan cukup rendah, sebagian besar

responden lulus pada tingkat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.

Namun, masyarakat telah memiliki kemampuan dalam membaca dan menulis,

terlihat dari angka yang tidak sekolah hanya 1 orang dari 60 responden. Menurut

data dari BKSDA (2000), terdapat satu Sekolah Dasar (SD) di Desa Harau, tiga

Sekolah Dasar (SD), satu Sekolah Luar Biasa (SLB), dan satu Sekolah

(53)

Tabel 19 Tingkat Pendidikan dan Jumlah Responden di Desa Harau dan Desa

Tarantang Lubuak Limpato

Pendidikan Desa Jumlah

(%)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Mata pencaharian masyarakat dari kedua desa didominasi oleh bertani.

Petani pada kedua desa adalah petani padi (sawah) dan gambir. Hal ini

dikarenakan peruntukan lahan pada kedua kawasan dijadikan sebagai area

pertanian (Tabel 20). Jenis Pekerjaan dari responden dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 20 Luas Peruntukan Lahan di Desa Harau

Peruntukkan Lahan Luas (ha)

Hutan 9,976

Sumber: Kantor Wali Nagari Desa Harau, 2010

Tabel 21 Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Harau dan Desa

Tarantang Lubuak Limpato

Jenis Pekerjaan Desa Jumlah

(%)

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Menurut data BKSDA pada tahun 2000, setiap petani sawah memiliki

sawah sekitar 0,25-0,5 ha. Irigasi sawah menggunakan aliran sungai. Namun,

menurut Pak Firdaus, Wali Nagari Harau, jumlah penghasilan beras (dalam kg) di

(54)

masyarakat untuk menjadi petani gambir. Masalah dalam pertanian tanaman

pangan adalah sulitnya mengalirkan air dari sungai ke kebun sehingga

meningkatkan biaya pengolahan. Peternakan dan perikanan merupakan mata

pencaharian sampingan.

Jumlah penghasilan yang didapat dapat dilihat dalam Tabel 22, sedangkan

biaya hidup dapat dilihat dalam Tabel 23. Dari kedua data terlihat bahwa

masyarakat dari kedua desa memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada

penghasilan yang didapat. Hal ini ditunjukkan oleh data penghasilan yang

didominasi oleh Rp 200.000,00 hingga Rp 300.000,00, sedangkan pengeluaran

didominasi dengan pengeluaran sebesar Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00.

Akibat dari hal ini, masyarakat mencari penghasilan tambahan dengan cara

berjualan di sekitar kawasan TWA Lembah Harau, seperti menjual makanan,

minuman, dan souvenir.

Tabel 22 Jumlah Responden Sesuai Kisaran Penghasilan di Desa Harau dan Desa

Tarantang Lubuak Limpato

Sumber : Tim Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat, 2000

Tabel 23 Pengeluaran Biaya Hidup dari Responden di Desa Harau dan Desa Harau (%) Tarantang Lb. Limpato

(%)

Gambar

Gambar 1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau
Tabel 1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data
Gambar 12 Air Terjun Sarasah Bunta dan Prasasti Sarasah Bunta
Gambar 14 Peta Lokasi Potensi Objek Wisata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis strategi apa yang dapat diterapkan di Taman Wisata Alam Gunung Tampomas (TWAGT) dalam mengembangkannya sebagai kawasan Ekowisata.. Terciptanya

Konsep utama dari rencana pengelolaan lanskap kawasan wisata alam Gunung Tujuh, Taman Nasional Kerinci Seblat yaitu membuat serta merencanakan suatu model pengelolaan lanskap yang

IKO PRATAMA : Analisis Vegetasi dan Pendugaan Cadangan Karbon di Kawasan Hutan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat, dibimbing oleh Delvian dan Kansih

Kupu-kupu Papilionidae yang ditemukan di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat terdiri dari 2 genus dan memiliki 6 spesies

Wisata Alam Lembah Harau Provinsi Sumatera Barat.. Departemen Arsitektur

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK).. Ekowisata tid- ak hanya diyakini dapat

penghambat pelaksanaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Budparpora) dalam pengembangan kawasan wisata resort Akar Berayun Lembah Harau di Kabupaten

Isu-isu pariwisata dalam pengembangan kawasan ekowisata Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, seperti banyaknya sampah yang berserakan di sekitar kawasan yang berasal