• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wisata Alam dan Ekowisata

Wisata merupakan perjalanan dan tinggal di suatu tempat (bukan tempat tinggal dan bekerja). Wisata memiliki beberapa jenis. Salah satunya adalah wisata alam. Menurut PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam. Kegiatan dalam wisata alam berhubungan erat dengan alam itu sendiri. Ekowisata merupakan salah salah bentuk wisata alam.

Menurut Pendit (1981), ekowisata merupakan kegiatan mengunjungi kawasan alamiah yang relatif tidak terganggu dengan tujuan melihat, mempelajari, dan mengagumi wajah keindahan alam, flora, fauna, dan aspek budaya baik di masa lampau maupun sekarang yang terdapat di dalam kawasan tersebut. Secara konseptual, ekowisata menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) dapat didefinisikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari alam, sejarah, dan budaya di suatu daerah, yang pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam. Ekowisata menurut Weaver (2001) adalah suatu bentuk wisata yang membantu perkembangan belajar berupa pengalaman dan penghargaan terhadap lingkungan ataupun sebagian komponennya, di dalam konteks budaya yang berhubungan. Kegiatan ekowisata bertujuan menjadikan lingkungan dan sosial budaya yang berkelanjutan. Tiga hal penting dalam ekowisata menurut Weaver (2001) adalah berdasarkan lingkungan alami, pembelajaran, dan keberlanjutan.

Menurut Weaver (2001), ekowisata telah dipadupadankan dengan beberapa jenis wisata sejak tahun 1980-an, yaitu sebagai berikut.

a. Nature-based tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada lingkungan alami. Ekowisata telah menjadi bagian penting dari nature-based

tourism. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu contoh kegiatan nature-based tourism adalah ekowisata.

b. Cultural tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada budaya dan sejarah suatu kawasan. Di dalam cultural tourism, ekowisata menjadi alternatif. Namun, antara kedua jenis wisata ini dapat terjadi kasus overlap

sehingga tidak mudah untuk menentukan wisata mana yang menjadi tujuan utama.

c. Adventure tourism merupakan wisata yang menitikberatkan pada kegiatan yang berisiko, menantang fisik sehingga wisatawan harus memiliki kemampuan tertentu. Beberapa ekowisata dapat menjadi bagian dari adventure tourism, tetapi banyak jenis adventure tourism tidak dapat menjadi bagian dari ekowisata. Hal ini karena pendekatan adventure tourism tidak selalu kepada

nature-based (dasar dari ekowisata).

d. Alternative and mass tourism merupakan suatu model wisata berskala kecil yang dimaksudkan untuk dapat menyediakan suatu alternatif yang lebih sesuai dengan wisata massal. Model ini memberikan peluang terhadap perkembangan ekowisata di antara wisata massal.

Dari keempat wisata ini, bentuk altenative dan mass tourism merupakan bentuk yang paling cocok untuk dipadupadankan dengan ekowisata. Bentuk ini memberikan hasil yang keberlanjutan (suistainable). Suistanable tourism

merupakan wisata yang memiliki prinsip pengembangan yang berkelanjutan dan untuk menggabungkan kriteria dari lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi (Weaver, 2001).

Menurut Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi, Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia (2009) ekowisata memiliki lima prinsip sebagai berikut.

a. Nature-based

Nature-based adalah produk dan pasar yang berdasar dari alam. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri. Konsevasi sumber daya alam merupakan hal mendasar dalam pengembangan dan pengelolaan wisata alam.

Kestabilan ekologi merupakan perencanaan dan manajemen kawasan berkelanjutan secara ekologi. Semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik, maupun sosial tetap berjalan dengan baik.

c. Environmentally educative

Pendidikan lingkungan ditujukan bagi pengelola dan pengunjung. Pendidikan adalah inti dari ekowisata yang membedakan dengan wisata alam lainnya. Pendidikan menciptakan suasana yang menyenangkan, bermakna, berkepedulian, dan apresiatif terhadap lingkungan. Kelestarian lingkungan dalam jangka panjang dapat berjalan dengan kegiatan pendidikan.

d. Bermanfaat untuk masyarakat lokal

Manfaat ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa, antara lain, masyarakat terlibat dalam kegiatan wisatawan, pelayanan terhadap wisatawan, dan penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan. Manfaat tidak langsung berupa bertambahnya wawasan dari wisatawan atau pengelola.

e. Kepuasaan bagi wisatawan

Kepuasan merupakan pemenuhan harapan wisatawan terhadap segala sesuatu yang ditawarkan.

2.2Pengembangan dan Pengelolaan Ekowisata

Pengembangan pariwisata alam adalah kegiatan memanfaatkan ruang melalui serangkaian program kegiatan pembangunan untuk pariwisata alam yang meliputi pengelolaan pemanfaatan lahan sesuai dengan azas pemanfaatan ruang dengan mengkamodasi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, serasi, seimbang, dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2007). Ekowisata merupakan salah satu jenis pariwisata alam yang baru dikembangkan.

Prinsip pengembangan pariwisata alam menurut Departemen Kehutanan (2007) adalah konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat, ekonomi, dan rekreasi. a. Konservasi membantu mengurangi terjadinya gangguan kawasan seperti

penebangan liar, dan perambahan kawasan; mendukung upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa terutama tumbuhan dan satwa langka; melindungi

warisan alam dan warisan budaya khususnya yang ada di dalam kawasan; menunjang upaya pemanfaatan yang berkelanjutan.

b. Edukasi dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung melalui pengembangan interpretasi (jika memungkinkan); meningkatkan kepedulian masyarakat dan partisipasi pengunjung; menunjang pengembangan penelitian di bidang pariwisata alam;

c. Partisipasi masyarakat berupa melibatkan masyarakat dalam proses pemanfaatan, sejak dari tahap perencanaan sampai ke monitoring dan evaluasinya; meningkatkan keterampilan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan; memperhatikan adat dan tradisi setempat, hak-hak masyarakat terasing, agama dan kepercayaan, kearifan tradisional, dan struktur sosial. d. Ekonomi menjamin kelangsungan usaha agar kegiatan pariwisata alam tetap

berlangsung; memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan konservasi dan pembangunan lokal, regional, dan nasional; membuka peluang usaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat.

e. Rekreasi memberikan keamanan dan kenyamanan pengunjung; memberikan informasi yang memadai bagi pengunjung sejak sebelum sampai di tempat tujuan dan setelah pengunjung keluar dari kawasan; menawarkan pilihan produk-produk wisata yang bervariasi.

Pengembangan perlu diimbangi dengan pengelolaan. Pengelolaan adalah suatu kegiatan manusia yang dibebankan kepada lanskap yang bertujuan memanen, memindahkan, mengangkut, atau mengisi sumber-sumber alami (U.S Department of Agriculture, 1974). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No 167 Tahun 1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan dan Pariwisataa Alam di Kawasan Pelestarian Alam, rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam adalah upaya terpadu dalam penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan pengembangan dan perlindungan, serta pemanfaatan. Pengelolaan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Salah satu bentuk pengelolaan lanskap pada kawasan hutan adalah sistem pengelolaan visual. Pengelolaan visual dilakukan dengan cara menentukan kualitas visual objek, yaitu sesuatu yang diinginkan pada tingkat terbaik berdasarkan kondisi fisik dan

karakter masyarakat sekitar area. Tingkat ini mengacu pada tingkat perubahan yang dapat diterima dari lanskap (U.S Department of Agriculture, 1974).

Terdapat lima kualitas visual objek berdasarkan U.S Department of Agriculture (1974):

a. preservation, yakni suatu sasaran kualitas visual yang hanya untuk perubahan secara ekologis;

b. retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang tidak jelas;

c. partial retention, yakni suatu sasaran kualitas visual untuk pengelolaan aktivitas pada jenis visual yang sebagian telah jelas;

d. modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi oleh karakter lanskap, tetapi pengelolaannya harus mempertahankan nilai alami; e. maximum modification, yakni suatu sasaran kualitas visual yang didominasi

oleh karakter lanskap, dengan pemandangan hanya sebagai latar belakang. Pengelolaan wisata alam dan ekowisata, menurut Departemen Kehutanan (2007), meliputi sebagai berikut.

a. Pengelolaan kawasan meliputi kondisi kawasan, penataan kawasan, dan pengamanan kawasan.

b. Pengelolaan produk wisata alam meliputi pengembangan produk, pemasaran produk, dan sistem informasi produk.

c. Pengelolaan pengunjung meliputi distribusi pengunjung, interpretasi, informasi bagi pengunjung, dan keselamatan pengunjung. Pengelolaan pengunjung adalah teknik untuk membatasi, memberikan informasi, dan mengawasi pengunjung yang datang ke suatu lokasi objek wisata alam agar sesuai dengan kemampuan daya dukung lokasi yang bersangkutan. Daya dukung kawasan adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung kesehatan organisme sambil memelihara produktivitas, adaptasi, dan kemampuannya untuk memperbaiki dirinya. Pengelolaan pengunjung direncanakan untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak negatif akibat kunjungan. Pengelolaan pengunjung dapat dilakukan secara langsung dengan menghitung daya dukung dan pengaturan pengunjung atau secara tidak langsung melalui program interpretsi.

d. Pengelolaan dampak meliputi dampak ekologis dan dampak sosial, budaya, dan ekonomi. Dampak dikelola dengan berbagai cara bergantung pada besarnya dampak, luas areal yang terkena dampak, dampak penting, tingkat sentifitas wilayah, kerangka waktu, dan kemampuan untuk diperbaharui. e. Pengelolaan kelembangan meliputi organisasi, sumber daya manusia,

keuntungan, dan sarana dan prasarana.

Keberadaan masyarakat sekitar sangatlah penting untuk keberlanjutan suatu kawasan. Begitu juga dalam pengembangan dan pengelolaan wisata. Menurut Butler dan Boyd (2000) dalam Weaver (2001), jika masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan (ekowisata), akan terjadi kesenjangan kesejahteraan sehingga masyarakat tidak akan peduli terhadap lingkungan. Bentuk ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan, antara lain, berupa penebangan kayu dan pembakaran lahan untuk berkebun di kawasan proteksi. Pengelolaan berbasis masyarakat akan memberikan hasil yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat ikut serta sehingga menumbuhkan rasa memiliki dan menjaga suatu kawasan. Namun, pengelolaan ini harus memperhatikan nilai penting dari sosial budaya masyarakat. Menurut Weaver (2001), agar ekowisata dapat berjalan dengan lama (berkelanjutan), dampak positif dan negatif dari sosial budaya harus diperhatikan. Hal ini akan menjadi bagian yang krusial dalam pengelolaan dengan cara memberikan perhatian khusus terhadap budaya masyarakat itu sendiri.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan WWF-Indonesia, 2009).

Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengelolaan berbasis masyarakat. Masyarakat ikut serta dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan pengembangan dan pengelolaan. Terdapat banyak bentuk partisipasi masyarakat.

Beberapa peneliti mengelompokkan menjadi beberapa bentuk. Menurut Preety (1995) dalam Mason (2003), tipologi dari partisipasi masyarakat adalah sebagai berikut:

a. partisipasi manipulasi, yakni partisipasi yang tidak mempunyai kekuatan dalam organisasi;

b. partisipasi pasif, yakni partisipasi berupa pemberian informasi oleh masyarakat kepada pihak dalam pengelola;

c. partisipasi melalui konsultasi, yakni partisipasi berupa konsultasi mengenai masalah dan informasi mengenai proses pengelolaan;

d. partisipasi untuk perangsang material, yakni partisipasi yang hanya untuk mendapatkan upah, tetapi tidak mengerti proses pengelolaan;

e. partisipasi yang fungsional, yakni partisipasi yang lebih interaktif yang mendorong masyarakat mulai mempelajari proses pengelolaan, tetapi pengambilan keputusan masih di tangan pihak pengelola;

f. partisipasi yang interaktif, yakni partisipasi aktif dalam melakukan analisis, pengembangan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan sehingga masyarakat telah menjadi bagian utama dalam pengelolaan;

g. pergerakan sendiri, yakni masyarakat membentuk institusi sendiri dan bekerja sama dengan pemerintah dan pihak-pihak yang dibutuhkan.

Konsep partisipasi sangat susah untuk diimplementasikan. Dibutuhkan usaha yang cukup keras untuk mengembangkannya dalam masyarakat. Menurut Jenkis (1993) dalam Mason (2003), terdapat tujuh halangan dalam mengembangkan wisata berbasis masyarakat, yaitu

a. masyarakat pada umumnya sulit untuk memahami konsep yang baru;

b. masyarakat tidak perlu memahami bagaimana proses dan cara pengambilan keputusan;

c. masalah dari pencapaian dan pemeliharaan adalah dalam proses pengambilan keputusan;

d. kurangnya semangat dari masyarakat sekitar;

e. peningkatan biaya berhubungan dengan waktu kerja dan upah kerja;

f. pada kenyataannya, proses pengambilan keputusan dari partisipasi masyarakat membutuhkan hasil yang lebih lama;

g. efisien secara keseluruhan kurang berpengaruh baik dalam proses pengambilan keputusan.

Akibat banyaknya halangan dalam implementasi konsep partisipasi, para peneliti telah mencoba mengembangkan berbagai metode. Salah satunya adalah menurut

Drake‟s (1991) dalam Mason (2003), yaitu

a. memantakan peran dari partisipasi lokal; b. memilih tim untuk penelitian;

c. melakukan persiapan studi; d. memantapkan keterlibatan lokal;

e. memantapkan mekanisasi pendekatan partisipasi; f. melakukan permulaan dalam bentuk dialog; g. mengambil keputusan secara kolektif;

h. mengembangkan rencana dan implementasi skema; i. memantau dan mengevaluasi.

Pemerintah sangat berperan penting dalam implementasi konsep partisipasi. Pemerintah merupakan stakeholder yang berpengaruh dalam proses pengelolaan berbasis masyarakat. Menurut Weaver (2001), beberapa usaha yang dapat dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

a. menganalis pengembangan dan peraturan ekowisata dari waktu ke waktu dengan cara melihat dampak dari pengembangannya;

b. menganalisis fasilitas yang dapat dikembangkan di dalam kawasan dengan cara melihat tingkat interaksi mutu yang menguntungkan;

c. meneliti ketetapan umum yang berhubungan dengan bantuan eksternal dalam kaitannya dengan tujuan yang ditargetkan, stakeholder, dan hasil.

2.3Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Lembah Harau

Lembah Harau merupakan salah satu cagar alam yang ada di Sumatera Barat. Lembah Harau berada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kawasan ini memiliki luas 270,5 hektar (Korean addicted, 2009). Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam (CA) sejak 10 Januari 1993. Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau merupakan bagian dari cagar alam. TWA Lembah Harau telah

dikembangkan menjadi kawasan rekreasi. Kawasan cagar alam tidak dikembangkan karena memiliki fungsi sebagai penyangga daerah sekitarnya.

Lembah Harau memiliki potensi lanskap berupa air terjun, gua, celah alam, dan tebing terjal. Tebing merupakan bagian yang mendominasi di kawasan ini. Tebing ini memiliki tinggi 150 hingga 200 meter dengan diameter mencapai 400 m. Tebing terbentuk dari batuan granit sehingga jarang terjadi longsor (Hade, 2009). Pada beberapa titik tebing, telah dikembangkan titik echo (gaung) yang menjadi salah satu objek wisata. Selain itu, tebing telah dikembangkan menjadi area panjat tebing. Lembah Harau mempunyai tujuh air terjun, yaitu lima buah di Sarasah Bunta dan dua buah di Aka Barayun. Air terjun di Sarasah Bunta masih alami berupa kerikil, sedangkan di Aka Barayun berupa kolam. Di kaki air terjun Sarasah Bunta terdapat sebuah monumen peninggalan Belanda yang merupakan bukti bahwa Lembah Harau sudah sering dikunjungi orang sejak 1926. Pada monumen itu tertera tanda tangan Asisten Residen Belanda di Lima Puluh Kota saat itu, F. Rinner, dan dua pejabat Indonesia, Tuanku Laras Datuk Kuning nan Hitam dan Datuk Kodoh nan Hitam (STR, 2009).

Cagar alam Lembah Harau memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Flora didominasi oleh tanaman hutan hujan tropis. Fauna antara lain, berupa monyet ekor panjang (Macaca fascirulatis), siamang (Hylobates syndactylus), simpai (Presbytis melalopos), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), beruang (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Capriconis sumatrensis), dan landak (Proechidna bruijnii). Lembah Harau juga memiliki 19 spesies burung, termasuk burung kuau (Argusianus argus), dan enggang (Anthrococeros sp.). Beberapa spesies yang ada merupakan hewan langka yang dilindungi (Korean addicted, 2009).

Lembah Harau telah dijadikan tempat wisata. Tempat ini memiliki fasilitas rekreasi seperti kolam pemandian, tempat berkemah, dan jalan setapak. Beberapa fasilitas telah ada yang rusak dan terdapat pula fasilitas yang baru dibangun. Selain itu, terdapat warung-warung ilegal yang didirikan oleh masyarakat. Warung tersebut menjual makanan, minuman, souvenir, dan tanaman hias. Tanaman hias yang dijual berupa tanaman langka seperti pakis monyet. Hal ini

menandakan masyarakat belum siap terhadap pengembangan wisata di Lembah Harau.

III. METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi dilakukan di Lembah Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat (Gambar 1). Pelaksanaan studi dimulai dari bulan Maret 2010 sampai dengan Januari 2011.

3.2Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam studi ini meliputi inventarisasi, analisis, dan sintesis (Gambar 2).

Lanskap Lembah Harau

Aspek Fisik dan Biofisik Aspek Legal Aspek Sosial Aspek Ekonomi Aspek Pengelolaan ANAL ISIS DAN SIN T E SIS INVE NT AR ISA SI

Strategi Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata pada KawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Penilaian

1.Objek dan Daya Tarik Wisata (ODWT)

2.Kesiapan Pengembangan Community-BasedEcotourism (CBE)

3.Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Analisis SWOT

KONSE

P

Gambar 2 Tahapan Studi

Konsep Pengembangan Lanskap Berbasis Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Gambar 1 Peta Lokasi TWA Lembah Harau

a. Inventarisasi adalah pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dan sekunder terdiri dari aspek fisik, biofisik, aspek legal, aspek sosial, dan aspek pengelolaan (Tabel 1). Data diperoleh dengan cara berikut:

1) observasi lapang yang dilakukan untuk mengetahui kondisi tapak, yaitu fisik, karakter lanskap, dan aktivitas masyarakat pengguna dan sekitarnya; 2) wawancara yang dilakukan kepada pengunjung, masyarakat, dan

pengelola;

3) studi pustaka yang didapat dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lima Puluh Kota, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Perpustakaan Institut Pertanian Bogor untuk mendukung hasil observasi dan wawancara.

Tabel 1 Jenis, Sumber, dan Cara Pengambilan Data

Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan

Fisik dan Biofisik

1 Letak a. Letak b.Batas c. Aksesibiltas 2 Luas 3 Iklim a. Suhu b.Curah hujan 4 Topografi 5 Hidrologi a. Letak 6 Fasilitas a. Jenis b.Letak c. Kondisi fisik 7 Vegetasi 8 Satwa 9 Objek Wisata a. Jenis b.Letak „LU,‟LS,‟BT,‟BB - - m2,km2,ha o C mm/th % - - - - - - - - Bappeda, BKSDA KSDA Bappeda, BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA

Dinas Kehutanan, BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA BKSDA

Posisi dengan tempat lain Hubungan dengan lingkungan Kemudahan pencapaian Daya dukung Kenyamanan Kenyamanan Kenyamanan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Legal

10 Peraturan - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA Pertimbangan pengembangan Sosial 11 Jumlah pengunjung 12 Masyarakat a. Jumlah b. Mata pencaharian c. Tingkat pendidikan orang orang - -

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata BKSDA BKSDA BKSDA Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pertimbangan pengembangan Pengelolaan

13 Tenaga kerja - Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata, BKSDA

14 Kegiatan wisata - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BKSDA

Pertimbangan pengembangan

b. Analisis adalah pengolahan hasil inventarisasi untuk mengetahui potensi dan kendala. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu penilaian dan analisis SWOT (strength, weaknesses, opportunity, threats). Proses sintesis menghasilkan strategi pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat.

c. Produk akhir adalah konsep pengembangan lanskap berbasis ekowisata pada kawasanTaman Wisata Alam Lembah Harau, Sumatera Barat. Konsep ini merupakan penjelasan dari strategi pengembangan.

3.3 Metode Penilaian

3.3.1 Metode Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)

Penilaian ODTW ditentukan dalam Pedoman Penilaian Daya Tarik Wisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007). Pedoman ini memiliki beberapa komponen aspek. Komponen aspek yang digunakan dalam kasus ini daya tarik, aksesibilitas, kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi serta sarana dan prasarana penunjang. Pengambilan data dilakukan melalui mengisi kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan lebih lengkap disajikan pada Lampiran 1. Beberapa langkah dalam menentukan penilaian. Langkah pertama adalah penentuan nilai skor dengan persamaan (Departemen Kehutanan, 2007).

dengan

S = skor;

N = jumlah nilai dari unsur-unsur kriteria; B = bobot nilai .

Langkah kedua adalah penentuan kategori penilaian. Kategori disusun berdasarkan jumlah total dari setiap dan seluruh penilaian. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Oktadiyani (2006), kategori penilaian akan dihitung dengan menggunakan persamaan

dengan

Selang = nilai selang dalam penetapan selang kategori penilaian; Smaks = nilai skor tertinggi;

Smin = nilai skor terendah;

K = banyaknya kategori penilaian.

Penelitian ini menggunakan lima tingkat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk (Tabel 2). Langkah ketiga adalah memasukkan total skor dari penilaian (dari langkah pertama) ke dalam kategori penilaian. Penentuan kategori dilakukan berdasarkan selang yang telah dilakukan. Berdasarkan kategori, dapat diketahui gambaran dari kondisi kawasan.

Tabel 2 Kategori Penilaian ODTW

Kategori Derajat Interval Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk 2328-2640 2016-2327 1704-2015 1392-1703 1080-1391

3.3.2 Metode Penilaian Kesiapan Pengembangan Community-Based Ecotourism (CBE)

Penilaian kesiapan pengembangan CBE mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah aspek sosial ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan pengelolaan. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kriteria yang sesuai dengan kondisi dan gambaran kawasan. Kriteria dan pembobotan disajikan pada Lampiran 2. Penentuan penilaian kesiapan pengembangan CBE menggunakan langkah yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan pengembangan CBE dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori Penilaian Kesiapan Pengembangan CBE

Kategori Derajat Interval Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk 1836-2040 1632-1835 1428-1631 1224-1427 1020-1223

3.3.3 Metode Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Penilaian kesiapan masyarakat mengikuti Rancangan Standarisasi

Community-Based Ecotourism (CBE) yang dikembangkan oleh WTO dan INDECON dalam penelitian Untari (2009). Aspek yang dipergunakan adalah karakterisitk masyarakat, persepsi masyarakat mengenai pengembangan ekowisata, serta partisipasi dan keinginan masyarakat. Pengambilan data pada metode ini berbeda dengan metode sebelumnya. Pengambilan data dilakukan berdasarkan kuesioner dan wawancara. Kuesioner dan wawancara harus disesuai dengan kriteria penilaian. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner yang dilakukan oleh KSDA pada tahun 2000 dengan total responden 30 orang dari Desa Tarantang Lubuak Limpato dan 30 orang dari Desa Harau. Wawancara dilakukan terhadap Kepala Desa Harau, pemangku adat, dan 5 orang warga Desa Tarantang Lubuak Limpato dan Desa Harau. Kriteria penilaian disajikan pada Lampiran 3. Penentuan penilaian kesiapan masyarakat menggunakan langkah yang sama pada metode penilaian ODTW. Bentuk kategori penilaian kesiapan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori Penilaian Kesiapan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata

Kategori Derajat Interval Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk 1677-1890 1464-1076 1251-1463 1038-1250 825-1037

3.4 Metode Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi relasi-relasi

Dokumen terkait