• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA TRANSPORTASI KERETA API PADA MASA PANDEMI COVID-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA TRANSPORTASI KERETA API PADA MASA PANDEMI COVID-19"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN: 2774-5325, e-ISSN: 2774-5996

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA TRANSPORTASI KERETA API PADA MASA PANDEMI COVID-19

Citra Sri Ratu Sukmawati

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jawa Timur, Indonesia Email: [email protected]

INFO ARTIKEL ABSTRAK

Diterima 1 Juni 2021

(SARS-CoV-2) atau disebut Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan virus yang menyerang sistem pernapasan serta dampak dari pandemi Covid-19 menyebabkan banyaknya fasilitas umum lainnya tidak beroperasi secara maksimal. Seperti kegiatan pengangkutan kereta api yang menjadi pilihan para konsumen karena lebih efisien dalam waktu dan dapat mengurangi kepadatan. Pengangkutan mempunyai peranan penting dalam sektor peemerataan pembangunan bangsa yang nampak pada kebutuhan mobilitas masyarakat yang saat ini yang semakin tinggi, menjadi pilihan paling diminati saat ini karena memiliki banyak kelebihan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yaitu dokumen-dokumen resmi, Peraturanperundang-undangan, literatur atau buku-buku resmi. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif analitis terhadap data primer maupun sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuuk menganalisis bentuk perjanjian pengangkutan kereta api yang digunakan oleh pengguna jasa sebagai konsumen dengan PT.KAI sebagai pelaku usaha dalam angkutan dan upaya perlindungan bagi pengguna jasa transportasi kereta api pada masa pandemi. Hasil dari penelitian disimpulkan bahwa bentuk perjanjian pengangkutan yang digunakan pengguna jasa dengan PT.KAI mengandung ketentuan perjanjian dengan klasula baku.

Konsumen selalu berada pada posisi yang lebih rendah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya bersaing/daya tawar penulis menggunakan metode penelitian Kesepakatan yang dibuat ada dalam perjanjian telah dibuat secara sepihak oleh PT KAI sebagai pelaku usaha dan serta tidak terlampir Kata kunci:

perlindungan hukum;

pengguna jasa kereta api;

covid-19

(2)

kewajiban yang menjadi tanggungjawab PT KAI pasca menggunakan jasa kereta api serta tidak adanya jaminan.

Pendahuluan

Pada awal tahun 2020 dunia dilanda keberadaan dari penyerangan coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2) dan penyakitnya disebut Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Diketahui, asal mula virus ini berasal dari Wuhan, Tiongkok. Ditemukan pada akhir Desember tahun 2019 virus corona (COVID-19). pemerintahan China melakukan Lockdown dengan aktifitas dirumah mulai dari kerja dirumah (WFH), sekolah dirumah hingga larangan berpergian ke luar negeri guna mengurangi penyebaran virus corona (COVID-19) (Yuliana, 2020).

Untuk wilayah Indonesia sendiri, keberadaan virus ini sudah diidentifikasi pada bulan Maret 2020, dan guna menghadapi hal ini Pemerintah Indonesia menerapkan sejumlah strategi mulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, himbauan menggunakan masker, phsycal distancing dan lain sebagainya, hingga pada masa new normal ini Pemerintah memberlakukan kebijakan berpergian dengan transportasi umum melalui sejumlah syarat dan prosedur yang harus dipatuhi. Untuk masyarakat yang hendak bepergian menggunakan transportasi kereta api wajib menyertakan hasil rapid test antigen. Khusus untuk penumpang kereta api, kewajiban itu baru berlaku per 22 Desember 2020 kemarin, Hal ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 23 Tahun 2020 mengenai Petunjuk Pelaksanaan. Perjalanan Orang Dengan Transportasi Perkeretaapian Selama Masa Natal 2020 Dan Tahun Baru 2021 Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan dirubah dengan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Transportasi menjadi peran penting bagi perkembangan nasional yang sesuai dengan kebutuhannya serta memenuhi perkembangan sektor ekonomi, infrastruktur dan menjaga ketahanaan nasional demi mencapai tujuan yang sama. Transportasi merupakan sarana dalam aktifitas perpindahan atau pengangkutan masyarakat maupun barang dan jasa antar wilayahi yang sangat penting sehingga menjadi prioritas. Salah satu transportasi yang mengangkut barang atau jasa ialah angkutan kereta api. Terdapat empat unsur dalam transportasi yaitu jalan (street), kendaraan dan alat angkut (vichicle), terminal (station), dan tenaga penggerak (motive power).

Transportasi kereta api di indonesia dikelola oleh PT. Kereta Api yang merupakan Badan Usaha Milik Negara, tujuannya memberikan layanan keamanan, kemudahan yang dipilih sebagai prioritas masyarakat karena efisien bagi masyarakat sehingga masyarakat memerlukan pelayanan, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dan penjaminan selama menggunakan transportasi sebagai pengguna jasa dengan peraturan hukum yang adil, sama rata yang dapat mengayomi mereka serta mewujudkan kepastian hukum yang sesuai dengan tujuan diselenggarakan perkeretaapian

(3)

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Sudah menjadi kewajiban para pengusaha termasuk PT. Kereta Api dalam memberikan suasana nyaman dan rasa aman bagi penumpang sebab hal tersebut merupakan hak penumpang sebagai konsumen kereta api. Dalam hal ini, pengguna jasa disebut sebagai konsumen memiliki perlindungan hakhak yang diatur dalam peraturan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan aspek yang memuat perlindungan hukum terhadaap penguna jasaa transportsi kerta api sesuaai dengan UndangUndang Perlindugan Konsumen bagi transportasi kereta api juga dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Dalam pelaksanaanya, kegiatan transportasi melibatkan dua orang pihak didalamnya. Menurut H.M.N Purwosutjipto, pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak pengangkut ialah pengirim yaitu pihak yang mengikatkan dari untuk membayar uang angkutan, dimaksudkan juga memberikan muatan (Purwosutjipto, 2003), berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lain-lain.

Sedangkan kewajiban penumpang adalah membayar ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, Hak dan kewajiban para pihak tersebut biasanya dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan.

Dalam menggunakan jasa Kereta Api, Konsumen yang menggunakan jasa kereta api menimbulkan suatu perikatan dengan PT. KAI (Persero) selaku pelaku usaha.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut (Badzrulzaman, 2001), artinya pihak konsumen sebagai pengguna jasa wajib menuntut keselamatan, kenyamanan, keamanan dan hak-hak lainnya selama melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api, kemudian pihak kereta api juga wajib menjamin hak-hak konsumen tersebut selama berada dalam perjalanan.

Berdasarkan penjelasan tersebut keselamatan dan keamanan konsumen selama masa pandemi Covid-19 juga harus diperhatikan oleh PT KAI sebagai penyedia jasa angkutan khususnya wilayah Jawa Timur dimana sebagai kota dengan jumlah penderita covid-19 tertinggi di Indonesia. Pasien positif Covid-19 di Jawa Timur (Jatim) bertambah 217 orang. Total kasus positif Covid-19 mencapai 56.287 orang hingga Minggu, 15 November 2020 (Melani, 2020). Adapun selain memberlakukan tes rapid antigen kepada seluruh calon penumpang, PT KAI juga menghimbau dalam penerapan 3M yaitu menggunakan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

Pada kenyataannya berdasarkan fenomena yang ditemukan, PT KAI tidak membatasi jumlah penumpang sebagai bagian dari penerapan phsycal distancing atau menjaga jarak satu sama lain, PT KAI justru menyediakan sejumlah gerbong tambahan

(4)

misalnya pada akhir tahun 2020 karena lonjakan penumpang, PT KAI Jawa Timur menambah volume penumpang naik signifikan selama libur panjang, hingga 100 persen.

Karena itu, PT KAI menambah rangkaian kereta selama libur panjang. Pada penerapannya di lapangan pun himbauan untuk menjaga jarak satu sama lain untuk melindungi keselamatan penumpang dari penyebaran virus Covid-19 belum terlaksana dengan maksimal. Dan penumpang yang menggunakan kereta api lokal atau jarak dekat tidak perlu menyerahkan bukti Test hasil rapid antigen maupun Swab Test

Berdasarkan hal tersebut, berpotensi dapat meningkatkan peluang penyebaran virus corona Covid-19 pun sangat besar sehingga membahayakan penumpang. Hal tersebut berdampak pula pada keselamatan, kesehatan, pelayanan dan hak-hak pengguna jasa atau penumpang, serta perlu adanya perlindungan bagi pengguna jasa sebagai konsumen Hingga saat ini belum ada peraturan yang menitikberatkan perihal perlindungan konsumen bagi pengguna jasa transportasi kereta api saat pandemi corona Covid-19 ini. Urgensi penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk perjanjian yang digunakan pengguna jasa dalam menggunakan jasa angkutan kereta api serta bagaimana bentuk perlindungan konsumen selaku pengguna jasa kereta api dalam berpergian dan apakah terdapat aturan khusus yang dimiliki oleh PT KAI sebagai kewajiban dalam mengawasi upaya pencegahan virus Covid-19 antar penumpang.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Kereta Api Pada Masa Pandemi Covid-19 ”

Metode Penelitian

Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif atau biasa yang disebut dengan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian ini sering disebut sebagai “Studi Dogmatik” atau yang dikenal dengan Doctrinal Research. Penelitian ini disebut dengan penelitian doktrinal karena ditujukan pada peraturan-peraturan maupun bahan-bahan hukum lainnya (Sunggono, 2016).

Sehingga dalam hal ini, penulis mencoba untuk mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya terkait dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini dilakukan secara khusus dan berkaitan dengan hukum perdata di Indonesia mengenai Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi.

Di dalam penelitian ini penulis menggunakn metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Maka analisis data yang dipergunakan adalah analisis dengan pendekatan kualitatif dan historis terhadap data sekunder yaitu menganalisis data berdasarkan kualitasnya serta menelaah latar belakang apa yang dipelajari, ditelaah dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi (Marzuki, 2011).

Kemudian dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga diperoleh bahasan dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dipahami, kemudian dapat ditarik dalam sebuah kesimpulan.

(5)

Hasil dan Pembahasan

A. Perjanjian Antara Pengguna Jasa Dengan Pt. Kai Saat Pandemi Covid-19

1. Bentuk Perjanjian Antara Pengguna Jasa Dengan Pt. Kai Saat Pandemi Covid-19 Perjanjian merupakan sebuah tindakan yang mengikat para pihak atau lebih ketika telah mencapai kehendak atau kesapakatan serta mempunyai hubungan hukum. Hal tersebut sesuai pada Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata).

Didalam perjanjian terdapat suatu perikatan yang menjadi sumber segala perjanjian. Jika seseorang mengadakan perjanjian dengan pihak lain maka salah satu pihak wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Perjanjian pada umumnya jika dilihat dari segi bentuk dibedakan menjadi dua macam bentuk perjanjian, yakni perjanjian tertulis dan tidak tertulis (lisan).

Perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak menggunakan tulisan. Bentuk perjanjian tertulis ini merupakan bentuk perjanjian yang aman, karena sebagai langkah preventif dalam pembuatan perjanjian dan mencapai kesepakatan. Sedangkan perjanjian lisan merupakan perjanjian yang dibuat paara pihak hanya dengan lisan aatau ucapan kesapakatan para pihak.

Perjanjian lisan ini banyak digunakan dalam kehiduspan sehari-hari sebagai contoh yakni pelaku bisnis yang mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata bahwa perjnajian akan sah apabila terdapat syarat “Kesepakatan” sehingga dapat diartikan, bahwa kesepakatan dalam hal ini bisa dilakukan dengan ucapan.

Perjanjian dalam bentuk tertulis maupun lisan tentu memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Perjanjan tertulis biasanya berupa memo, sertifikat, atau kuitansi. Meninjau perjanjian lisan lebih susah untuk dibuktikan karena mudah untuk dibantah oleh pihak yang berjanji. Akan tetapi jika dibandingkan dengan perjanjian tertulis yang klausulnya tertulis dengan jelas dan disertai tanda tangan para pihak sebagai tanda terjadinya kesepakatan, hingga demikian fakta dilapangan perjanjian tertulis juga bisa diingkari oleh para pihak.seperti misalnya salah satu pihak merasa tidak mengadakan perjanjian atau dirinya mengadakan perjanjian dalam keadaan terpaksa.

Seperti halnya kegiatan perjanjian pengangkutan kereta api di Indonesia ini yang diselenggarakan oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Tujuan diselenggarakan perkeratapian di Indonesia ini merujuk pada Pasal 3 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian bahwa dengan adanya perekerataapian ini dapat menunjang aktivitas orang berdasarkan tujuannya dengan memuat kapasitas banyak, selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar,efisien terhadap waktu. Kini perkeretaapian di Indonesia telah berperan penting dalam menunjang sektor perekonomian, pertahanan dan keamanan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.

Pengangkutan dengan kereta api ini memuat perjanjian yang mengikat antara Badan Penyelenggara Pengangkutan (PT. KAI ) dan penumpang atau

(6)

pemilik barang sebagai konsumen. Perikatan yang terjalin dalam perjanjian pengangkutan tersebut mengacu pada Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian mengikat para pihak. Perjanjian yang terjalin antara KAI dengan konsumen dalam hal ini merupakan bentuk perjanjian perorangan sebagai pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa transportasi.

Perjanjian antara PT.KAI (persero) dengan konsumen tersebut berbentuk tertulis berupa surat pengangkutan barang atau jasa yaitu tiket atau karcis. Jika melihat pasal 1313 KUHPerdata, maka perjanjian pengangkutan tiket kereta api secara sah terbentuk ketika konsumen melakukan persetujuan terhadap formulir yang tercantum tersebut. Apabila konsumen setuju atas ketentuan yang telah tercantum pada tiket, sejak saat itu terjadinya hubungan hukum antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan konsumen. Kegiatan pelaku usaha dan persetujuan yang diberikan konsumen akan melahirkan perikatan hukum yang mengikat para pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Suatu dokumen pengangkutan dalam hal ini yaiu tiket atau karcis sudah dipersiapkan atau dibakukan terlebih dahulu oleh pihak pelaku uasaha yaitu PT.KAI (persero). Selanjutnya, PT.KAI menyalurkan dan menyerahkan surat dokumen tersebut kepada konsumen untuk mengisi keterangan berdasarkan kepentingan konsumen dan menandatanganinya.

Berikut ini bentuk tiket atau karcis yang digunakan konsumen saat menggunakan jasa kereta api:

Gambar 1.

Tiket atau karcis kereta api saat pandemi Covid-19

Tiket atau karcis ini sebagai bentuk perjanjian saat menggunakan pengangkutan kereta api yang dapat menjamin adanya kepastian hukum atau

(7)

perjanjian tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Jika, salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau wanprestasi maka dapat di pertanggungjawabkan.

Sessuai dengan pasal 132 ayat 3 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian bahwa Tiket atau karcis yang digunakan saat bertransaksi berfungsi sebagai barang bukti telah terjadinya perjanjan angkutan. Sehingga, seseorang sebagai konsumen yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. Didalam tiket atau karcis yang digunakan konsumen pengguna kereta api pada masa pandemi Covid-19 saat ini tidak berbeda jauh dari tiket atau karcis yag digunakan sebelum adanya pandemi Covid-19.

Berdasarkan hasil penelitian perjanjian pengangkutan kereta api saat Covid-19 saat ini terdapat ketentuan perjanjian dengan klasula baku dimana kesepakatan yang terjalin antara konsumen dan PT KAI telah dirumuskan secara sepihak oleh PT KAI. Pada prinsipnya perjanjian baku ini memberikan ke mudahan bagi para pihak, serta memberikan efisiensi kepada para pihak dalam bertransaksi baik dari segi biaya, waktu, dan tenaga. Perjanjian baku terjemahan dari Standard Contract yang memiliki arti patokan atau acuan yang dituangkan dalam dokumen formulir. Perjanjian tersebut disebut baku karena didalam pembuatan perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat melakukan penawaran atau dinegoisasikan oleh pihak konsumen.

Di dalam perjanjian yang mengandung klausula baku, kebebasan berkontrak atau untuk melakukan kontrak ini dalam pemberian kesepakatan konsumen tidak diberikan dengan leluasa ataau bebas saat membuat perjanjian secara langsung yang dapat melakukan penawaran atau dinegoisasikan klausula- klausula perjanjian tersebut.

Sebagian masyarakat yang kurang akan penegtehauan teknologi maupun hukum tidak mengetahui adanya klausula perjanjian tersebut. Eksistensi akan ketentuan atau klausula didalamnya yang berisi hak-hak atau kewajiban para pihak seharusnya konsumen mengetahui dan mengerti karenaa pada dasarnya perjanjian dibuat oleh para pihak. Dalam prakteknya, pembuatan atau penentuan klausula perjanjian tersebut dibuat dan dipersipkan langsung oleh pihak PT. KAI sera dalam tiket atau karcis yang digunakan saat bertrasnsaksi dan sebagai barang bukti dokumen resmi tidak dicantumkan adanya klausula perjanjian dalam tiket atau karcis tersebut.

Dalam Undang-Undang telah memberikan hak kepada setiap orang dengan bebas dalam pembuatan dan melaksanakan perjanjian selama tidak melanggar Undang – Undang serta memenuhi unsur-unsur atau syaratsyarat perjanjian.

Para pihak yaitu PT.KAI (persero) dan konsumen seharusnya dalam pembuatan perjanjian bebas dalam menentukan aturan mainnya atau klausula-klausula perjanjian yang telah dikehendaksi serta disepakati kedua belah pihak dan selanjutnya melaksanakan perjanjian tersebut sesuai dengan kesepakatan dengan klausula halal. Hak hak pada konsumen diatur paada pasal 4 Undang-Undang

(8)

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa hak konsumen diantaranya :

1. Adanya Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak bebas dalam mendapatkan atau memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan harga kondisi serta jaminan yang dijanjikan

3. Berhak atas informasi yang tepat tanpa mengurangi disembunyikan mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa

Gambar 2.

Ketentuan Umum Dalam Pemesanan Tiket

(9)

Gambar 3.

Ketentuan Umum Tambahan Selama Masa Pandemik dalam Pemesanan Tiket

Didalam klausula atau ketentuan diatas, suatu klausula perjanjian sudah ditentukan dan dipersiapkan oleh pihak PT.KA (persero) tanpa melibatkan langsung pihak konsumen dalam menentukan klausulaklausula yang akan disepakatinya yang berisi hak – hak dan kewajiban. Sehingga perjanjian diatas bisa diolongkan menjadi perjanjian dengan klausula baku. Pada umumnya, khususnya perjanjian standar yang sepihak (Adhesion Contract) terdapat suatu klausula yang berbeda yaitu Klausula Eksonerasi (Excemption Clause). Klausula ini pada prinsipnya bertujuan membatasi bahkan meniadakan tanggung jawab kreditur atas resiko-resiko.

Perjanjian dengan klausula baku ini dibuat dari pihak yang mempunyai keahlihan, pengetahuan, kewenangan atau kedudukan yang tinggi. Perjanjian ini isinya telah distandarisasi atau dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, serta ditawari secara massal, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Berdasarkan teori Due Care bahwa kewajiban konsumen dan pelaku usaha tidak saling sejajar, dimana kepentingan konsumen ini cenderung lemah dan tidak memiliki pengetahuan dan kehahlian lebih jika dibandingkan dengan pelaku usaha yang mempunyai pengetahuan yang lebih karena dalam pembuatan perjanjian tersebut konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian (Pieris

& Widiarty, 2007)

Dalam perjanjian terdapat klausula baku sering sekali merugikan konsumen karena dibuat secara sepihak, jika akan menolak maka konsumen tidak akan bisa menggunakan jasa tersebut. Sama halnya dengan klausula baku perjanjian pengangkutan kereta api saat pandemi

Covid-19 saat ini. Pada dasarnya ketentuan klausula baku telah diatur pada Ketentuan pencantuman klausula baku dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Melihat pasal tersebut pendapat penulis, bahwa klausula baku sebenarnya diperbolehkan selagi klausula tersebut tidak mencantumkan klausula yang mengandung unsur huruf (a) sampai huruf (h) pada Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adanya unsur Perjanjian klausula eksonerasi pada perjnajian pengangkutan kereta api tersebut. Klausula eksonerasi ini merupakan klausula yang guna menghindarkan diri dari pertanggungjawaban ganti rugi seluruhnya atau sebagian karena perbuatan melanggar hukum. Dalam klausula eksonerasi ini pembuatan format dan isi perjanjian dibuat oleh pihak yang memiliki posisi yang lebih kuat untuk meringankan atau menghapus beban beban yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya.

(10)

Dengan adanya klausula eksonerasi terdapat ketidakseimbangan antara salah satu pihak, dimana salah satu pihak kewajiban menanggung resiko namun mengalihkan kewajibannya kepada pihak lain. Perjanjian yang digunakan PT.KAI (persero) dengan konsumen tersebut mengandung klausula eksonerasi yang dimana adanya pengalihan beban tanggungjawab yang seharusnya dipikul oleh PT.KAI (persero) dari pihak perancang perjanjian kepada pihak lainnya yaitu konsumen, kecuali klausula tersebut merupakan kalusula yang telah ditentukan berdasarkan ketenttuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam perjanjian baku yang memuat adanya klausul eksenorasi memiliki ciri ciri antara lain, yaitu:

1. Isi klausul dokumen perjanjian tersebut ditetapkan oleh pihak yang memiliki posisi yang tinggi serta pengetahuan tentang perjanjian yang lua, umumnya posisi ini dimiliki oleh pelaku usaha. Sehingga pihak lain yang kurang akan wawasan tersebut akan dirugikan

2. Adanya pihak yang lemah, pihak lemah dalam hal ini disebabkan karena kerugian yang akan datang , faktor akan kerugian ini karena pihak yang lemah tidak ikut serta dalam menentukan klausulaklausula perjanjian itu sendiri atau isi perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, dan Undang- Undang pun tidak mengaturnya (adanya unsur aksidentalia).

3. Sebab kebutuhan, ciri-ciri ini sering sekali sekali dialami pihak yang lemah.

Karena kepentingan konsumen dalam mengunakan jasa kereta api sehingga konsumen terpaksa menerima perjanjian tersebut dengan klausula yang telah ditentukan oleh pihak pelaku usaha tanpa melibatkan konsumen atau pihak lainnya.

4. Bentuk tertulis, perjanjiaan dengan klausula eksonerasi ini umumnya sudah dirancang dan tertera dalam dokumen atau formulir. Sehingga pihak lain atau konsumen ini tidak dapat merubah kembali.

5. Sudah tersedia dan disiapkan secara massal, dalam perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi ini sudaah ada sebelum pihak konsumen membuat dan melakakan perjanjian. Sehingga bisa dikatakan klausula dalam perjanjian ini dilakukan dengan sephak an telah disiapkan oleh pihak lain yang memiliki posisi tinggi.

Perjanjian yang mengandung atau terdapat klausula baku eksonerasi ini bisa dapat digolongkan menjadi perjanjian paksa (Dwang Contract) meskipun peerjanjian baku sendiri sudah tidak memenuhi dalam Undang-Undang akan tetapi adanya kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut hingga saat ini masih berjalan.

Penggunaan perjanjian klausula baku dalam perjanjian antara pelaku usaha dan kosnumen ini akan menibulkan penyalahgunaan keadaan, dalam istilah Belanda dinela dengan “misbruik van omstadigheden” (Patrick, 1994). Dalam perjanjian pengangkutan kereta api PT.KAI (persero) dan konsumen terjadi

(11)

apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain dalam keadaan darurat atau khusus yang tidak berpengalaman dalam melakukan perbuatan hukum yang seharusnya dicegah.

Keadaan khusus ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok yakni : penyalahgunaan kedaan karena faktor ekonomi dan psikologi. Dalam situasi pandemi saat ini, dimana pemerintah sudah menghimbau bahwasannya Indonesia dalam kedaann darurat virus covid-19 yang berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Sehingga, perjanjian dengan klausula baku yang digunakan dalam pengangkutan kereta api saat pandemi Covid-19 ini berpengaruh dapat merugikan masyarakat sebagai konsumen.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa (Miru, 2011). Konstruksi hubungan hukum antara PT KAI dengan konsumen semestinya setara (equal), namun secara de facto maupun de jure konsumen ada dalam posisi yang lemah di hadapan penyedia jasa. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan lemahnya posisi konsumen, antara lain adalah faktor ketidakaktahuan konsumen atau kurangnya informasi dan keadaan daya tawar konsumen, serta posisi konsumen yang seolah-olah berada satu langkah di belakang pelaku usaha.

2. Analisa Perjanjian Pengangkutan Yang Digunakan Oleh Pengguna Jasa Dengan Pt. Kai

Bentuk perjanjian yang digunakan PT KAI dan pengguna jasa atau konsumen ialah bentuk tertulis. Berawal dari konsumen mengisi formulir atau mencentang salah satu pilihan yang tersedia atau terdapat yang dalam formulir pengisian dokumen, serta membayar dengan sejumlah nominal yang telah ditentukan konsumen sesuai kepentingan konsumen dengan sejumlah uang sehingga secara sah adanya kesepakatan dan terbentuk perjanjian yang mengikat antara pelaku usaha yakni PT. KAI dengan Konsumen dan menimbulkan adanya hubungan hukum. Dimana pihak konsumen berkewajiban atas membayar nominal harga tiket kepada pelaku usaha daan konsumen berhak atas pelayanan serta perlindungan yang sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi bahwa terdapat upaya adanya kepastian hukum yang menjamin segala kepentingan konsumen.

Dalam pasal 132 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, bahwa pelaku usaha atau penyelenggara usaha perkeretaapian melaksakan prestasinya yaitu berkewajiban mengangkut orang yang telah memiliki karcis serta karcis yang dimaksud pada ayat (1) merupakan sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.

Dengan berlakunya perjanjian tersebut maka berlaku juga prinsip the privity of contract, adanya hubungan kontraktual maka ada tanggung jawab.

Asas privity of contract merupakan suatu asas yang memberikan batasan terhadap suatu perjanjian bahwa perjanjian itu hanya mengikat pada pihak-pihak

(12)

yang membuatnya saja. Asas privity of contract merupakan suatu asas yang memberikan batasan terhadap suatu perjanjian bahwa perjanjian itu hanya mengikat pada pihak-pihak yang membuatnya saja (R Subekti, 2021).

Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian dibuat berdasarkan ketentuan Cakap, Sepakat, Objek tertentu dan klausula halal.

Sepakat merupakan salah satu syarat yang pertama kali harus ada dan terpenuhi antara mereka yang mengikatkan dirinya, sehingga dapat diketahui bahwa suatu perjanjian akan sah apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Jika kessepakatan antara kedua belah pihak terpenuhi artinya perjanjian tersebut sah dan secara bersamaan para pihak tunduk dan patuh terhadap isi ketentuan perjanjian tersebut.

Dalam perjanjiaan pengangkutan PT. KAI dan konsumen saat pandemi Covid-19 saat ini konsumen mensetujui isi ketentuan yang tertera dalam reservasi tiket kereta api dengan cara mencentang atau mengisi formulir pemesanan tiket kereta api yang telah dibuat oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Pada syarat sahnya perjanjian yang ke empat yakni “suatu sebab yang halal”, sebab dalam hal tersebut memiliki tafsiran sebagai isi atau maksud suatu perjanjian tersebut dibentuk. yang sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Seringsekali perjanjian dibuat tanpa sebab atau dibuat karena ada suatu sebab terlaran, berdasarkan pada Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa: sebab adalah terlarang, jika larangan tersebut diatur oleh undang- undang, yang tidak sesuai atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Menurut penulis syarat ke empat dalam pasal Pasal 1320 KUH Perdata ini tidak terpenuhi dalam klausula perjanjian KAI saat ini karena dalam ketentuan reservasi tiket kereta api terkandung perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu , sehingga syarat keempat ini tidak terpenuhi.

Selain itu saat pembuatan perjanjian dalam ketentuan tiket kereta api juga membatasi asas kebebasan berkontrak konsumen, yaang seharusnya para pihak yang membuat yaitu

PT. KAI (persero) dan konsumen. Berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Perjanjian dengan klausula baku ini dalam suatu kegiatan perjanjian tidak selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun sepatutnya berbentuk formulir dokumen (Shidarta, 2004).

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang wajib dipenuhi. Asas kebebasan berkontrak memberikan para pihak kebebasan dalam membuat perjanjian isi format perjanjanjian sesuai dengan kehendak yang diinginkan kedua belah pihak asalkan sesuai dengan undang-undang dan tidak

(13)

bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Ketentuan – ketentuana yang terdapat saat reservasi tiket kereta api tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak karena telah melanggar peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 1320 KUH Perdata. Apabila syarat keempat tidak dipenuhi maka ketentuan tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Dalam penerapan perjanjian dengan klausula baku, asas sepakat tidak dapat diwujudkan dengan baik sebab konsumen berada pada posisi lemah yang tidak dapat menolak ketentuan dalam perjanjian klausula baku yang diberikan pelaku usaha

Paada dasarnya perjanjian dengan klausula baku diperbolehkan selagi klausula atau ketentuan-ketentuannya yang dicantum tidak mengandung unsur yang termuat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf (a) sampai huruf (h) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Faktanya dalam wawancara dengan bapak humas PT. KAI Suraabaya, perjanjian tiket antara konsumen dengan KAI ini pihak KAI tidak mencatumkan adanya jaminan perlindungan konsumen apabila terjadi kerugian disebabkan virus corona Covid- 19 yang saat ini melanda Indonesia. serta dalam tiket konsumen masih menggunakan format lama tanpa adanya keterangan jaminan seseorang atau konasumen tersebut bebas virus Covid-19 serta klausula perjanjiannya tidak terlampir dalam tiket kereta api. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 4 huruf (a) hak atas keselamatan, keamanan ,dan Pasal 4 huruf (c) hak atas informasi jaminan barang atau jasa serta Pasal 4 huruf (e) hak untuk mendapatkan perlindungan konsumen secara patut ini

Beberapa pakar hukum menolak kehadiran perjanjian dengan klausula baku ini sebab dinilai (Usman, 2001):

a. Kedudukan pengusaha di dalam perjanjian klausula baku sama seperti bentuk undang-undang swasta (legia particure wetgever)karena perjanjian klausula baku tersebut bukan termasuk perjanjian

b. Perjanjian klausula baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract) c. Negara-negara common law system menerapkan doktrin unconscionability,

dimana menurut doktrin ini perjanjian klausula baku meniadakan keadilan.

Atas pemberlakuan perjanjian dengan menggunakan klausula baku ini, konsumen wajib dilindungi sebab Perlindungan hukum konsumen mencakup perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil oleh produsen terhadap konsumen pada waktu mendapatkan barang kebutuhannya, misalnya mengenai harga, biaya-biaya untuk menyelenggarakan perjanjian (kontrak), dan sebagainya, baik sebagai akibat dari penggunaan standar kontrak maupun karena perilaku curang dari produsen (Sidabalok et al., 2006). Disisi lain, berdasarkan ketentuan asas Pacta Sunt Servanda diketahui bahwa ketentuan perjanjian ini seharusnya mengikat kedua belah pihak dengan syarat adanya itikad baik sebagai landasannya seperti yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata mengatur itikad baik sebagai landasan seseorang melakukan perbuatan hukum dalam membuat suatu perjanjian.

(14)

Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak lain harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatuhan.

Menafsirkan suatu perjanjian adalah menetapkan akibatakibat yang terjadi.

Itikad baik dalam suatu perjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, asas itikad baik dalam suatu perjanjian diimplementasikan dengan tidak melanggar peraturan perundangundangan, serta tidak melanggar kepentingan masyarakat. Kaharusan demikian dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan para pihak di dalam perjanjian, sehingga tidak terjadi eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Apabila dianalisis dari bentuk perjanjian dengan klausula baku yang diterapkan oleh PT KAI dan konsumen jika dihubungkan dengan pengertian itikad baik sendiri ialah (Syaifuddin, 2016):

a. Arti yang obyektif : bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.

b. Arti yang subyektif : yaitu pengertian “itikad baik” yang terletak dalam sikap batin seseorang.

Perjanjian PT KAI dilandasi dengan norma kepatutan artinya sesuai dengan prosedur yang diterapkan pemerintah dalam memberantas virus Covid- 19 meskipun pada kenyataannya implementasi itikad baik tidak berasal dari konsumen sebab konsumen tidak dapat mendapatkan hak-hak konsumen untuk didengar dalam pembuatan perjanjian akibat perjanjian baku yang dibuat sepihak oleh PT KAI sebagai pelaku usaha.

Disamping itu, isi perjanjian klausula baku yang dimuat oleh PT KAI tersebut juga tidak sepenuhnya menerapkan asas pengangkutan yang seharusnya dipatuhi oleh setiap penyedia jasa angkutan. Dalam ketentuan perjanjian baku yang diberlakukan tidak ditemukan adanya asas Asas Keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan

pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan sebab tanggungjawab produsen tidak dimuat dalam ketentuan perjanjian tersebut terkait ganti rugi dan lain sebagainya selanjutnya juga tidak memenuhi ketentuan Asas Koordinatif yang menempatkan para pihak dalam posisi sederaja sebab konsumen dipaksa tunduk dengan perjanjian baku yang telah dibuat sepihak oleh PT KAI.

Sesuai dengan pembuatan perjanjian pengangkutan kereta api tersebut terdapat beberapa ketentuan klausula baku yang terdapat pada Ketentuan Umum Tambahan Selama Masa Pandemik Covid-19 terkait ketentuan perjanjian saat wabah Virus Covid -19 point pertama bahwa konsumen diwajibkan menunjukkan surat test negatif rapid antigen atau juga bisa menunjukan hasil negatif tes genose c-19 dengan jangka waktu yang telah ditentukan yaitu1x24 jam sebelum keberangkatan. Tes tersebut tidak diwajibkan untuk anak-anak yang masih dibawah umur. Dalam prakteknya, tidak semua konsumen untuk melakukan perjalanan lokal dapat menunjukan Tes Genose C-19 . hal tersebut mengacu pada ketentuan yang ada di Surat Edaran Nomor 12 Tahun 2021

(15)

tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), bahwasannya setiap orang diwajibkan mengikuti ketentuan yag berlaku yaitu melakukan dan menunjukan bukti telah melakukan Test PCR atau tes Antigen atau juga bisa melakukan Tes Ge Nose C-19 sebelum berangkat yang digunkan sebagai bukti bebas dari Virus Covid- 19.

Selanjutnya, hal tersebut akan mengancam kesehatan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen dalam situasi pandemi Virus Covid -19 yang melanda Indonesia yang mengacu pada tuujuan adanya Perlindungan konsumen Pasal 3 huruf (f) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku pelaku usaha menjamin kelangsungan barang dan/atau jasa atas kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sehingga, sebagai konsumen perlu atau membutuhkan adanya jaminan terhadap jasa pengangkutan kereta api yang diperoleh dari PT.KAI (persero) sebagai pelaku usaha yang akan menjamin adanya pengangkutan barang atau jasa atas kesehatan.

Dalam klausula baku yang terdapat pada ketentuan umum pemesanan tiket kereta api point ke 7 bahwa penumpang yang menggunakan Kereta Api persambungan 2 kereta api yang berbeda, PT KAI tidak bertanggung jawab jika konsumen gagal menggunakan kereta api sambungan lanjutan yang disebabkan oleh keterlambatan Kereta Api. Tanggung jawab tersebut yang timbul karena keterlambatan kereta api dibebankan kepada PT. KAI yang lalai dalam melakukan kewajibannnya sebagaiamana telah di perjanjiajikan dan PT.KAI telah melakukan wanprestasi. Sehingga wanprestasi yang dilakukan PT.KAI akan mendapatkan sanksi atas kelalaiannya berupa ganti rugi dengan cara melakukan pembayaran kerugian yang diderita oleh konsumen.

Dalam ketentuan atau klausula baku tersebut PT.KAI (persero) hanya mengganti kerugian biaya pemesanan tiket kereta api sambungan dengan syara keterlambatan diatas 3 jam. Kompensasi terhadap konsumen yang mengalami keterlambatan kereta api telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) PM 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang Dengan Kereta Api sebagai peraturan pelaksananya (Permenhub 63 Tahun 2019). Dalam Pasal 7 ayat 2 Permenhub 63 Tahun 2019 bahwa pemberian kompensasi kepada konsumen terkait keterlambatan kereta api antar kota dan perkotaan terjadwal pada stasiun Kereta Api keberangkatan lebih dari 1 (satu) jam, setiap penumpang mendapatkan kompensasi dalam hal penumpang melakukan pembatalan transaksi perjalanan.

Merujuk Pasal 7 ayat 4 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) angkutan kereta api perkotaan bahwa kompensasi tidak berlaku dalam hal penyelenggara Perkeretaapian yang telah menginformasikan kepada konsumen jika terjadi keterlambatan dan penumpang masih tetap memilih menggunakan jasa Kereta Api perkotaan. Akan tetapi jika konsumen membatalkan transaksi perjalanan setelah mendapatkan informasi keterlambatan jadwal keberangkatan Kereta Api

(16)

konsumen tetap akan mendapatkan kompensasi. Berbeda dengan kereta antar kota Berbeda dengan angkutan kereta api antar kota mengacu pada Pasall 8 ayat 5 dan ayat 6 bahwa konsumen dapat membatalkan tiket dan mendapat kompensasi pengembalian seluruh biaya karcis serta jika konsumen tidak berkeinginan membatalkan tiket maka dalam keterlambatan lebih dari 1 (satu) jam wajib diberikan minuman ringan; dan keterlambatan lebih dari 3 (tiga) jam wajib diberikan minuman dan makanan ringan berat.

Sehingga menurut penulis, pada perjanjian dengan klausula baku yang digunkanann konsumen dengan PT. KAI (persero) tersebut sangat merugikan konsumen yang ketentuannya dibuat sepihak oleh PT.KAI (persero). Dalam ketentuan tersebut juga tidak dijelasankan secara rinci mengenai sebab akibat dan ganti rugi atas keterlambatan kereta api. Dalam ketentuan tersebut kereta api akan mengganti kerugian hanya memberikan kompensasi berupa pengembalian biaya tiket pemesanan kelanjutan yang disebabkan adanya keterlambatan pihak Kereta Api. Walaupun kompensasi tiket pemesanaan kelanjutan telah diganti , pihak penumpang atau konsumen mengalami kerugian pada waktu yang terbuang karena menunggu keterlambatan kereta api yang dianggap lebih efisien dalam perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur yang mengacu pada tujuan diselenggarakan perlindungan konsumen Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Selanjutnya dalam ketentuan umum dan ketentuan umum saat masa pandemi Covid-19 yang terdapat perjanjian klausula baku, bahwa bentuk ganti rugi yang diklaim yang kurang tepat berupa penggantian biaya dan rugi, tanpa memberikan penggantian bunga serta jaminan akan kondisi kesehatann, keselamatan, kenyamanan dan keamanan kepada konsumen.

Sehingga membuat konsumen tidak menerima haknya secara utuh.

Kurangnya pengetahuan konsumen pun terkait akan hak-hak yang seharusnya diperoleh, mengakibatkan konsumen tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan diperoleh ketika terjadinya keterlambatan kereta api. Serta kepentingan akan kebutuhan konsumen yang berbedabeda dalam menggunakan jasa kereta api mengakibatkan PT. KAI (Persero) tidak dapat memenuhi segala apa yang dibuutuhkan konsumen sehingga banyak konsumen yang merasa dirugikan an tidak puas akan hal tersebut.

B. Upaya Perlindungan Bagi Konsumen Sebagai Pengguna Jasa Transportasi Kereta Api Pada Saat Pandemi Covid-19

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirumuskan hak-hak konsumen. Hak-hak ini muncul sebagai kewajiban yang dibebankan kepada pelaku usaha. Hal ini timbul dikarenakan pelaku usaha mempunyai kewajiban dan kemampuan untuk memenuhi standar keamanan yang telah ditetapkan.

(17)

Konsumen memiliki hak-hak yang tidak boleh di langgar terutama oleh para pelaku usaha sebagaimana pelaku usaha tidak diperbolehkan melalaikan kewajibannya seperti apa yang telah diuraikan dalam ketentuan diatas. Disisi lain berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut juga mewajibkan pelaksanaan perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Hal-hal ini menjadi pokok dari landasan perlindungan konsumen yang tidak boleh dilanggar oleh para pelaku usaha dalam hal ini PT KAI (persero).

Dalam konsep perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa angkutan kereta api terdapat 2 jenis yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif ini merupakan perlindungan hukum bagi masyarakatt yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa atau permasalahan yang akan datang dan tak diharapkan.

Selanjutnya, upaya preventif ini sangat diperlukan untuk mencegah berbagai permasalahan yang timbul karena perjanjian dengan klausula baku saat pandemi Covid-19, sehingga memerlukan pencegahan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi kerugian kepada konsumen maka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Pembinaan Terhadap Konsumen

Peraturan mengenai pembinaan terhadap perlindungan konsumen mengacu pada Pasal 29 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam situasi saat ini, peran pemerintah sangat penting dan strategis guna melakukan pembinaan perlindungan konsumen sebagaimana yang telah ditentukan dalam

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk membina konsumen dalam memperoleh haknya. Mengingat posisi konsumen akan haknya masih sangat lemah dan rentan akan kerugian disebabkan karena kurangnya pengetahuan perlindungan konsumen.

Dalam ketentuan umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan sebagai upaya untuk dalam menjamin hak konsumen dan pelaku usaha serta memenuhi kewajiban yang sesuai dengan asas keadilan dan asas keseimbangan kepentingan. Sehingga pemerintah bekerja saama dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berupaya melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidiikan konsumen.

2. Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

Pengawasan tersebut terdapat pada pasal 30 ayat 1 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “penyelenggara perlindungan konsumen serta penerapan perturan perundang-undang diawasi dan diselenggarakan oleh pemerintah guna untuk menjamin hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha adalah pemerintah. Pengawasan dalam perlindungan konsumen Pengawasan

(18)

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen ini bukan hanya pemerintah saja tetapi juga dilaksanakan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Mengacu pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 , bahwa dalam pengawasan pemerintah, tugas pemerintah diantara lain guna mengawwasi pelaku usaha untuk memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajual barang dan/atau jasa

Sehingga jika dikaitkan dalam perjanjian pengangkutan kereta api oleh konsumen, perlindungan hukum secara Preventif ini sangat penting digunakan oleh PT. KAI (persero) dalam masa pandemi Covid-19 saat ini dengan cara memberikan Face Shield dan Tissu basah kepada setiap satu orang atau penumpang. Serta pencegahan lainnya saat pandemi Covid-19 saat ini , pemerintah mengusulkan dan membentuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang mempunyai tugas berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 108 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Satuan Tugas Penanganan Covid- 19 (Satgas) mempunyai tugas yaitu diantara lain melaksanakan dan mengendalikan, menyelesaikan permasalahan strategis yang berkaitan dengan penanganan Covid-19 secara cepat dan tepat; selain ha tersebut satgas juga melakukan pengawasan atas kebijakan serta melakukan pengendalian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Daerah; selanjutnya satgas mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan dalam percepatan penanganan Covid- 1 9.

Dalam Pemulihan Ekonomi Nasional dan menghimbau kepada seluruh masayarakat berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) bahwa Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat serta masyarakat wajib melakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Serta PT. KAI (persero) menyediakan Tes Ge Nose C-19 dengan seharga Rp. 20.000 , PT. KAI juga masih menyediakan rapid tes antigen seharga Rp105.000 di 46 stasiun termasuk Stasiun Gubeng Surabaya sebagai tempat penelitian. Dengan perlindungan hukum Preventif ini diharapkan agar terhindar dari permasalahan yang akan datang.

Serta terbentuknya Surat Edaran Nomor 12 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), bahwasannya setiap orang diwajibkan mematuhi protokol kesehatan , mematuhi 3 M yaitu memakai masker, menaga jarak, menghimdari kerumunan, mencuci tangan dengan sabun atau handsanitizer, serta mengikuti ketentuan yag berlaku yaitu melakukan dan menunjukan bukti telah melakukan

(19)

Test PCR atau tes Antigen atau juga bisa melakukan Tes Ge Nose C19 sebelum berangkat yang digunkan sebagai bukti bebas dari Virus Covid-19.

Dalam upaya preventif yang dapat dilakukan oleh PT Kereta Api (Persero) sebagai pelaku usaha untuk melindungi hak-hak konsumen adalah dengan pemberian asuransi. Pemberian asuransi dilakukan oleh PT Jasa Raharja dan PT Jasa Raharja Putera sebagai bentuk daripada perjanjian dengan PT.KAI (Persero) selaku pelaku usaha dalam penyediaan jasa angkutan kereta api.

Mengacu pada Pasal 167 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dalam pemberian asuransi ini di mana ditentukan dalam pasal tersebut bahwa :

1. Penyelenggara sarana perkeretaapian atau pihak PT. KAI (Persero) berkewajiban untuk mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 157 dan Pasal158 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

2. Adil dalam besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian yang diberikan kepada pengguna jasa yang menderita kerugian akibat pengoperasian kereta api

Ketentuan di atas, guna memberikan kepastian bagi para penumpang sebagai konsumen bahwa PT. KAI (Persero) sebagai pelaku usaha akan memberikan kompensasi atas kerugian yang dialami oleh konsumen dalam menggunakan jasa angkutan kereta api. Pemberian asuransi sebagai kompensasi atas kerugian yang dialami oleh konsumen ini juga dimaksudkan sebagai peralihan risiko dari PT KAI(Persero).

Faktanya ketentuan tersebut tidak berlaku dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, menuurut wawancara manager humas PT.KAI (persero) Surabaya , bahwa Jasaraharja dalam hal ini tidak memberikan jaminan berupa asuransi terhadap orang yang terkena Covid-19 saat melakukan perjalanan menggunakan jasa kereta api. Serta jaminan selain asuransi pun PT.KAI (Persero) tidak memberikan jaminan apapun terhadap keselamatan kesehatan , keamanan kenyamanan dalam masa pandemi Covid-19.

Selanjutnya upaya perlindungan hukum represif, upaya perlindungan ini dilakukaan guna terdapat kerugian yang dirasa sangat merugikan konsumen dengan upaya penyelesainnya melalui jalur pengadilan atau diluar pengadilan yang bersifat suka rela para piihak yang bersengketa. Hal tersebut mengacu pada Pasal 45 ayat 2 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Upaya perlindungan hukum represif ini dapat dilakukan dengan upaya hukum jalur litigasi dan Non litigasi.

Apabila dihubungkan isi dari ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen dengan masa pandemi virus Covid-19 hak-hak konsumen yang harus diperhatikan terutama ialah mengenai hak-hak atas kenyamanan, keamanan, kesehatan dan keselamatan dalam menggunakan jasa transportasi kereta api.

Apabila dalam prakteknya, petugas lalai dalam peemeriksa kelengkapan surat atau dokumen pendamping seperti surat negatif tes Ge Nose C-19 atau Tes

(20)

antigen. Hal tersebut akan merugikan masyarakat. Dapat menggunakan jalur Non litigasi dengan negoisasi untuk pemenuhan hak-hak dan jaminan atas kenyamanan keselamatan kesehatan dan keamanan. Negosiasi yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan baik para pihak secara langsung maupun menggunakan kuasa hukum masing-masing pihak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8B ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Perhubungan PM Nomor 41 Tahun 2021 Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Penyakit Virus Corona 2019 (COVID- 19) bahwa jika ada operator sarana transportasi atau pengelola operasional melakukan pelanggaran dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembekuan izin, pencabutan izin, atau denda administratif.

Dalam pengangkutan kereta api pada masa pandemi saat ini dan demi kepentingan masyarakat pemerintah membentuk satugan tugas penanganan Covid-19 setiap daerah berupaya memutus rantai penyebaran virus Covid-19 , dengan menghimbau agar mematuhi protocol kesehatan.

Sebagaimana isi perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya, PT KAI (persero) tidak memuat dengan jelas kewajiban apa yang menjadi tanggungjawab PT KAI (persero) apabila konsumen dirugikan dan terpapar virus Covid-19 setelah berpergian menggunakan kereta api, kewajiban PT KAI (persero) dalam perjanjian tersebut hanya terbatas pada ketentuan melarang setiap penumpang yang demam dan flu untuk berpegian dan PT KAI akan memberikan face shield serta tissu kepada penumpang dan penumpang wajib menggunkan face shield tersebut dari stasiun keberangkatan, dalam perjalanan sampai dengan zona 2 (dua) stasiun tujuan selebihnya mengenai penggunaan masker dan keamanan penumpang menjadi tanggungjawab pribadi.

Di sisi lain dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan yang diberikan ialah dengan pemberian ganti rugi kepada pengguna jasa selaku konsumen yang dirugikan. Sesuai dengan penerapan hukum di Indonesia, seorang konsumen yang dirugikan oleh disebabkan kelalaian pelaku usaha, termasuk penumpang pengguna jasa PT KAI ( Persero), dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian atas produk dan jasanya tersebut. Kualifikasi gugatan yang lazim adalah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Sebagaimana Pasal 28 Undang-Undang

Normor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan 23 merupakan tanggungjawab pelaku usaha’’.

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 188 ayat 1 bahwa Menteri sebagai pengawas dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan apabila telah

(21)

melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini, termasuk akan lalai dalam kewajibannya.

Produsen dalam hal ini termasuk pelaku uasaha yaitu PT KAI (persero) baru dapat diminta pertanggung jawabannya atas kerugian yang diderita konsumen akibat penggunaan produk yang dipasarkan oleh produsen jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Dari prinsip tersebut memberikan perlindungan pada kedua belah pihak, karena prinsip tersebut memberikan beban kepada masing-masing pihak, yaitu konsumen membuktikan adanya kerugian yang konsumen karena penggunaan kartu kredit tersebut sedangkan produsen membuktikan tentang ada tidaknya kesalahan pihak produsen yang menyebabkan kerugian konsumen yang dibebankan kepada produsen.

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum bersarakan acuan Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ataupun penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan dengan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa yang mengacu pada Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) adalah penyelesaian sengketa yang mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat dilakukan oleh konsumen yang telah dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, pemerintah dan/atau instansi terkait ataupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).

Menurut Pasal 19 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung (Sidabalok, 2006).

Perlindungan konsumen dalam perjanjian baku PT KAI (persero) tersebut diatas jika dihubungkan dengan pendapat Menurut Philipus M Hadjon, tidak memenuhi sarana preventif konsumen untuk dapat didengarkan pendapat sebelum terjadi sengketa sebab perjanjian yang telah disepakati telah dibuat sepihak dan menjadi ketentuan perjanjian baku (Idik Saeful Bahri, 2020), kemudian sarana perlindungan hukum yang dimiliki konsumen dalam hal ini bukan berasal dari pihak PT KAI (persero) namun mengacu pada sarana perlindungan hukum represif yang berasal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menyediakan penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum.

(22)

Hal ini menandakan bahwa perjanjian dengan menggunakan kalusula baku yang diberlakukan oleh PT KAI (persero) tidak mengimplementasikan sepenuh nya kewajiban pelaku usaha dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perjanjian dengan menggunakan kalusula baku yang diberlakukan condong untuk membebankan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya sendiri dalam penyebaran virus Covid-19.

Implementasi kewajiban pelaku usaha dan tanggung jawabnya seharusnya juga dapat ikut dimuat dalam perjanjian tersebut bukan sebagai kebutuhan tindakan prefentif atau proteksi pelaku usaha dari tindakan konsumen yang dapat merugikan pelaku usaha. Sekalipun dalam perjanjian yang mengandung klausula baku tersebut tidak memuat tanggung jawab pelaku usaha, pelaku usaha harus tetap bertanggung jawab penuh dalam memberikan ganti rugi kepada konsumen sesuai dengan kerugian yang senyatanya berdasarkan pertimbangan yang layak sepanjang kerugian konsumen tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan dari pihak pelaku usaha sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 7 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan pelaku usaha meemberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Kesimpulan

Perjanjian antara PT.KAI dengan konsumen tersebut melahirkan adanya perikatan yang berbentuk tertulis berupa tiket atau karcis. Jika melihat pasal 1313 KUHPerdata, maka perjanjian pengangkutan tiket kereta api secara sah setuju atas ketentuan yang telah tercantum pada tiket. Perjanjian pengangkutan kereta api saat Covid-19 saat ini memuat ketentuan dengan klasula baku, kesepakatan yang ada dalam perjanjian telah dibuat secara sepihak oleh PT KAI. Dalam ketentuan perjanjian tersebut, PT KAI(persero) tidak melampirkan atau tidak memuat dengan jelas kewajiban yang menjadi tanggungjawab PT KAI (persero) jika konsumen dirugikan dan terpapar virus Covid-19 setelah berpergian menggunakan kereta api.

Upaya perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa kereta api terdapat 2 upaya, yaitu upaya perlindungan hukum preventif dan represif. Upaya perlindungan preventif disebut upaya pencegahan, dimana PT.KAI (persero) saat hendak mengguaakan jasa kereta api memberikan pelayanan berupa Tes Ge Nose C-19 dengan harga Rp. 20.000 perorang, dan Tes Antigen seharga Rp105.000. Serta PT..KAI memberikan Face Shield dan Tissu basah dengan ggratis yang diperuntukkan untuk pegguna jasa atau konsumen kereta api jarak jauh. Upaya perlindungan represif dapat ditempuh juga apabila pihak petugas PT.KAI (persero) telah melakukan wanprestasi dan lalai dalam melkasanakan kewajibannya. Upaya represif ini merpakan upaya dengan jalur hukum pengadilan jika dirasa tidak menemukan titik terang dan mengakibatkan kerugian besar. Upaya represif ini dapat dilakukan dengan 2 jalur, yaitu jalur non litigasi dan jalur litigasi.

(23)

BIBLIOGRAFI

Badzrulzaman, M. D. (2001). Kompilasi Hukum Perdata. PT Citra Aditya Bakti.

Idik Saeful Bahri, S. H. (2020). Cyber Crime Dalam Sorotan Hukum Pidana (Vol. 159).

Bahasa Rakyat.

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum (11th ed.). Kencana Prenadamedia Group.

Melani, A. (2020). 5 Daerah Dengan Kasus Aktif COVID-19 Terbanyak Di Jatim Pada 15 November 2020. https://surabaya.liputan6.com/Read/4409350/5-Daerah- Dengan-%0AKasus-Aktif-Covid-19-Terbanyak-Di-Jatim-Pada-15-November- 2020%0A

Miru, A. (2011). Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

RajaGrafindo Persada.

Patrick, P. (1994). Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Mandar Maju.

Pieris, J., & Widiarty, W. S. (2007). Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen.

Pelangi Cendekia Jakarta.

Purwosutjipto, H. (2003). Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia 3:

Hukum Pengangkutan. PT Djambatan.

R Subekti, S. H. (2021). Pokok-pokok hukum perdata. PT. Intermasa.

Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT Grasindo.

Sidabalok, J. (2006). Hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sidabalok, J., di Indonesia, H. P. K., & Penerbit, P. T. (2006). Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Sunggono, B. (2016). Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada.

Syaifuddin, M. (2016). Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan).

Usman, R. (2001). Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yuliana, Y. (2020). Corona virus diseases (Covid-19): Sebuah tinjauan literatur.

Wellness And Healthy Magazine, 2(1), 187–192.

Referensi

Dokumen terkait

Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan dan data serta petunjuk teknis dalam rangka penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengkoordinasian,

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui besarnya hubungan antara keterampilan berpikir rasional siswa SMA dengan hasil belajar ranah kognitif dalam

Persamaan diferensial biasa yaitu suatu persamaan diferensial yang memuat turunan satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas suatu fungsi.. Persamaan

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis ukuran induk siput gonggong ( L. turturella ) matang gonad dari laut Madong-Tanjungpinang berdasarkan panjang cangkang

Dalam agama Islam, salah satu syarat sah jual beli adalah objek jual beli harus barang yang suci, tidak membahayakan tubuh, tidak merusak tubuh, dan haruslah