ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN BERDASARKAN KETENTUAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG ASURANSI
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
BIMA PRAYOGA 140200102
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN BERDASARKAN KETENTUAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG ASURANSI
Bima Prayoga* Sunarmi**
Tri Murti Lubis***
Pada kasus PT AXA Life Indonesia (ALI), OJK telah mencabut izin usaha perusahaan asuransi jiwa PT AXA Life Indonesia (ALI), hal ini dilakukan sehubungan dengan telah bergabungnya perusahaan asuransi jiwa tersebut dengan PT AXA Financial Indonesia (AFI). Adapun permasalahan dalam penelitian ini tugas, fungsi, wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mekanisme, hak, dan kewajiban para pihak atas dampak pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Analisis yuridis pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Asuransi
Penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan dianalisis secara kualitatif.
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: (1) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (2) Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan (3) Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang OJK, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK mempunyai wewenang Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank. Mekanisme, hak, dan kewajiban para pihak atas dampak pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mekanisme pencabutan izin usaha asuransi oleh OJK, Surat pencabutan izin usaha asuransi ditetapkan atas persetujuan anggota Dewan Komisioner OJK sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank (IKNB) seluruh hak serta kewajiban terhadap pihak ketiga, kreditur, dan pemegang polis akan beralih.
Kewajiban yang harus dilakukan suatu perusahaan setelah izinnya dicabut adalah sebagaimana disebutkan dalam UU No 40 Tahun 2014: “Pada UU Perasuransian diaturbahwa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan membentuk tim likuidasi Dampak pencabutan izin usaha asuransi oleh OJK, mengakibatkan perusahaan asuransi tidak dapat beroperasi lagi sehingga secara otomatis kehilangan hak dan kewenangan serta dilarang untuk menjalankan kegiatan usaha perasuransian. Analisis yuridis pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Asuransi. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Perusahaan Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.
Kata Kunci: Pencabutan Izin Usaha Asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Pencabutan Izin Usaha Asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi” Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun penyampaiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
Dalam masa penulisan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
8. Ibu Tri Murti Lubis, SH. M.H, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Ucapan terima kasih yang tiada tara untuk kedua orang tua yaitu ayahanda Wagino dan ibunda Seni Wati, tak lupa juga buat, yang selalu memberikan motivasi, nasehat, cinta, perhatian, dan kasih sayang serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas.
11. Teman terdekat Muhammad Syafi’i, Rian Prajaya, Bella Sofiah, Tita Maulidia, Rina Mujati, Yasid Handrio Putra, yang telah mendukung dan mensuport penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Teman Stambuk 014 Islahul Ikrom Nst, Reza Fahlevi, Fadhlan Husin Pohan, Wildan Wahyudi, Intan Kristin Manullang, Suci Puspita Ningrum, terima kasih atas kebersamaannya.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada khususnya. Semoga amal baik pihak-pihak yang telah memberikan bantuan terhadap penulis, menerima balasan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa, Amin.
Medan, Juni 2018 Penulis,
Bima Prayoga
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Keaslian Penelitian ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 9
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB TUGAS, FUNGSI, WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) ... 19
A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ... 19
B. Tugas dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ... 26
C. Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ... 27
BAB III MEKANISME, HAK, DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK ATAS DAMPAK PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) ... 36
A. Pengertian Pencabutan Izin Usaha Asuransi ... 36
B. Mekanisme Pencabutan Izin Usaha Asuransi ... 40
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 47
D. Dampak Pencabutan Izin Usaha Asuransi ... 54
BAB IV ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG ASURANSI ... 58
A. Kewenangan OJK dalam Pencabutan Izin Usaha Asuransi ... 58
B. Akibat Hukum Yang Timbul Dalam Pencabutan Izin Usaha Asuransi... 67
C. Penerapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi Dalam Kasus PT Asuransi AXA Life ... 77
BAB V PENUTUP ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan industri perasuransian saat ini sangat berkembang pesat bagi perekonomian Indonesia. Ada banyak perusahaan asuransi yang mempunyai banyak kelebihan dalam hal pilihan produk dan inovasi serta mempunyai jaringan yang luas dan global. Para pengelola perusahaan asuransi berusaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para tertanggung. Berbagai cara dilakukan oleh para pengelola perusahaan asuransi dalam melayani dan memberikan kemudahan bagi para nasabahnya sebagai bentuk pemasaran untuk menarik para nasabah-nasabahnya. Hanya saja, hal ini bertolak belakang ketika tertanggung ingin mengajukan klaim asuransi. Sering kali para pengelola perusahaan asuransi tidak dengan mudah memberikan klaim tersebut, melailkan sering ditunda-tunda dengan alasan-alasan dan tidak memberikan pelayanan secara baik terhadap para nasabahnya.1
Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan atau transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini perusahaan asuransi. Asuransi memiliki manfaat yang di klasifikasikan menjadi tiga yaitu;
1. Manfaat Primer, yaitu pengalihan risiko, pengumpulan dana dan premi yang seimbang.
1 Ahmad Febry Arinton, Tinjauan Yuridis Terhadap Penolakan Permohonan Pailit yang Diajukan Oleh Ojk Terkait Putusan Hakim Dalam Perkara Nomor: 04/PDT-SUS- PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST.Jo No27Pdt.Sus.PKPU/2015/PN.NIAGA.Jkt.Pst, Jurnal Skripsi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum 2016, hlm 1.
2. Manfaat Sekunder, yaitu merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial dan sebagai tabungan.
3. Manfaat Tambahan, yaitu sebagai investasi dana dan invisible earnings.2 Usaha perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah. (Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, Pasal. 1 ayat (2).3
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Izin usaha merupakan hal yang mendasar dari setiap perusahaan asuransi. Untuk mendapatkan izin usaha dari Menteri Keuangan perusahaan perasuransian harus mengajukan permohonan izin usahanya dengan memenuhi persyaran dan tata cara yang telah ditentukan.
Persyaratan tersebut antara lain bentuk hukum, deposito wajib, tenaga ahli, program kerja dan lain-lainnya. Pada dasarnya fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme pengalihan/transfer risiko atau risk transfer mechanism, yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak yaitu tertanggung kepada pihak lain yaitu penanggung. Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan fasilitas pengamanan
2 Rovita Ayuningtyas, Perlindungan Konsumen Asuransi Pasca Terbentuknya Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Repertorium, ISSN:2355- 2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015, hlm 123
3 Suisno, Tinjauan Yuridis Tindak Pelanggaran Usaha Perasuransian Menurut Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Jurnal Independent Vol. 3 No. 1, 2015, hlm 22
keuangan atau financial security serta ketenangan atau peace of mind bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, maka tertanggung wajib membayarkan premi dalam jumlah yang relatif kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin akan alaminya.4
Asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko mempunyai kegunaan positif bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi pembangunan negara.
Mereka yang mempunya perjanjian asuransi akan merasa tenteram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan terjadinya/tertimpa suatu kerugian.5namun, didalam menjalankan usahanya, tidak menutup kemungkinan dimana penanggung tidak dapat lagi memenuhi janjinya kepada tertanggung.6
Peran industri asuransi dalam perekonomian Indonesia, tidak diragukan lagi sangat besar dan sangat luas. Asuransi dapat dikategorikan sebagai suatu produk yang dapat ditawarkan kepada konsumen. Sebagai suatu produk, jasa perkembangan asuransi relatif lambat, karena menurut beberapa pakar, produk- produk asuransi kurang diminati konsumen (un-sought goods), akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sejumlah aktivitas industri dan perdagangan tidak mungkin berlangsung tanpa dukungan produk jasa asuransi.7 Suatu perusahaan yang mengalihkan risikonya melalui perjanjian asuransi akan dapat meningkatkan usahanya dan berani menggalang tujuan yang lebih besar.8 Seiring meningkatnya jumlah konsumen asuransi semakin meningkat juga kasus klaim yang terjadi.
4 Ibid
5 Zaenudin, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi, (Medan: Universitas Sumatera Utara,2005), hlm 6
6 Ibid.
7 Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia, (Bandung:
Alfabeta, 2013), hlm 3
8 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito Usaha Perasuransian, (Bandung: Alumni, 2013), hlm 1
Klaim ada yang diterima dan ada yang ditolak oleh Perusahaan Asuransi. Kasus klaim yang ditolak menimbulkan ketidakpuasan konsumen dan apabila hal ini terjadi kebanyakan konsumen tidak bisa berbuat banyak. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan sebuah lembaga yang mengatur dan mengawasi praktek bisnis asuransi yang bisa menjembatani apabila terjadi kasus yang melibatkan perusahaan asuransi dan konsumen.9
Adanya kewenangan yang dimiliki OJK sebagai lembaga yang berwenang dalam melakukan pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan asuransi secara tersentral sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 2 ayat (5) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian merupakan pengalihan wewenang yang sebelumnya dimiliki oleh Menteri Keuangan sebagai akibat dari adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otorisasi Jasa Keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa: Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan10
9 Rovita Ayuningtyas, Loc.Cit
10 Istikhomah Dika Romadhona. Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah, Artikel Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014, hlm 4-5
Dalam hal OJK menilai kondisi perusahaan perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain. 11 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 memuat kewenangan eksklusif yang dimiliki OJK. Apabila seorang ingin mengajukan pailit satu debitur, jika menyangkut perusahaan asuransi maka kewenangan boleh atau tidaknya ada pada OJK yang dulunya ada pada menteri keuangan.12
Seperti pada kasus PT AXA Life Indonesia (ALI), OJK telah mencabut izin usaha perusahaan asuransi jiwa PT AXA Life Indonesia (ALI), hal ini dilakukan sehubungan dengan telah bergabungnya perusahaan asuransi jiwa tersebut dengan PT AXA Financial Indonesia (AFI). Dengan adanya proses peleburan atau merger dua entitas asuransi tersebut, pihak AXA Financial Indonesia menyatakan, hak dan kewajiban pemegang polis akan beralih kepada AFI. "Seluruh hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga, kreditur, dan pemegang polis akan beralih kepada AFI.13 Selain itu, pihak AFI pun telah sepakat untuk menerima seluruh karyawan ALI. Perseroan pun menyatakan akan terus berkomitmen untuk melanjutkan pelayanan terbaiknya kepada seluruh pemegang polis, serta dengan seluruh karyawan dan mitra kerja. Gabung dengan AXA Financial, Izin Usaha AXA Life Indonesia Dicabut Pencabutan izin usaha AXA Life Indonesia berdasarkan SK KDK KEP-2/D.05/2018. Surat tersebut diterbitkan
11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Pasal 71 ayat 3
12 Amir Syamsudin, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Kepailitan, Jurnal Konstitusi, Vol 2 Nomor 2, September, 2005, hlm 87
13Sakina Rakhma Diah Setiawan, izin-usaha-axa-life-indonesia-dicabut-bagaimana-nasib- nasabahnya- https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/05/081800926/diakses tanggal 1 Mei 2018
pada 19 Januari 2018 tentang Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa PT AXA Life Indonesia. Dalam penggabungan tersebut, semua aset AXA Life Indonesia serta kewajibannya akan dialihkan ke AXA Financial Indonesia.
Kepemilikan saham AFI adalah AXA Asia sekitar 91 persen. Adapun penggabungan dua perusahaan asuransi ini guna memenuhi amanat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi dan Peraturan OJK Nomor 67 Tahun 2016 terkait pengendalian atau kepemilikan tunggal.
Sanksi hukum terhadap pelaku tindak pelanggaran usaha perasuransian menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sangatlah jelas, jika usaha perasuransian melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang atau peraturan dalam pelaksanaannya, maka OJK berwenang melakukan tindakan berupa pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, larangan untuk memasarkan produk asuransi, memberi sanksi-sanksi pidana hingga pada pencabutan izin usaha.14
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian yang berjudul Analisis Yuridis Pencabutan Izin Usaha Asuransi Oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah:
14 Suisno, Op.Cit., hlm 29
1. Bagaimanakah wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam lembaga keuangan non bank?
2. Bagaimanakah mekanisme, hak, dan kewajiban para pihak atas dampak pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?
3. Bagaimanakah Analisis yuridis pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Asuransi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui wewenang otoritas jasa keuangan (OJK) dalam lembaga keuangan non bank.
2. Untuk mengetahui mekanisme, hak, dan kewajiban para pihak atas dampak pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
3. Untuk mengetahui analisis yuridis pencabutan izin usaha asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Asuransi.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran di Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Hukum yang ada di Indonesia baik secara online maupun fisik judul skripsi, Analisis Yuridis Pencabutan Izin Usaha Asuransi Oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi, belum pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Namun ada beberapa judul terkait perasuransian antara lain:
Aflakhatul Kusuma Pradini (2015) Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, dengan judul penelitian Status Badan Hukum Perseroan Terbatas Yang Dicabut Izin Usahanya Oleh Menteri Keuangan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini
1. Akibat hukum dari pencabutan izin usaha oleh Menteri Keuangan terhadap status badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia
2. Bolehkah Perseroan mendalilkan dirinya sebagai Perseroan Terbatas Biasa setelah dicabut izin usahanya
Bernando H Parluhutan (2016) Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, dengan judul penelitian Tanggung Jawab Broker Asuransi Dalam Hal Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Atas Pencabutan Izin Penanggung.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Tanggung Jawab Pialang / Broker Asuransi
2. Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi atas Dicabutnya Izin Penanggung Ismadani Rofiul Ulya. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2015), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Nasabah Pasca Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi Jiwa Biumi Asih Jaya (BAJ) Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun permasalahan dalam penelitian ini :
1. Kewenangan OJK terhadap pencabutan izin usaha perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ)
2. Faktor-faktor yang menyebabkan BAJ dicabut izinnya oleh OJK
3. Akibat hukum pasca pencabutan izin usaha perusahaan asuransi jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ)
Christian Yoritom. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2014), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Perusahaan Asuransi Dengan Perusahaan Reasuransi Yang Dicabut Izin Usahanya. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :
1. Pengaturan usaha perasuransian di Indonesia.
2. Akibat hukum pencabutan izin usaha reasuransi terhadap perusahaan asuransi 3. Perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi yang izin usaha perusahaan
reasuransinya dicabut
Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.
E. Tinjauan Pustaka 1. Perasuransian
Asuransi telah menjadi bagian yang ensensial dari setiap perusahaan.
Investment banker misalnya, akan merasa lebih yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu apabila semua risiko proyek itu telah dilindungi oleh asuransi. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan asuransi yang tugas utamanya
adalah memberikan perlindungan kepada perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatuinstitusi ekonomi yang mempunyai peranan yang tidak kecil.15
Kegiatan ekonomi secara keseluruhan, asuransi memegang peranan penting, karena di samping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan- kemungkinan kerugian yang akan terjadi, asuransi memberikan dorongan yang besar sekali ke arah perkembangan ekonomi lainnya.16
Asuransi telah menjadi bagian yang ensensial dari setiap perusahaan.
Investment banker misalnya, akan merasa lebih yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu apabila semua risiko proyek itu telah dilindungi oleh asuransi. Dengan demikian, perusahaanperusahaan asuransi yang tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatu institusi ekonomi yang mempunyai peranan yang tidak kecil.17
Pengaturan asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan karena melibatkan perjanjian antara dua pihak yang saling menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya secara timbal balik. Pengaturan asuransi yang lebih khusus lagi saat ini terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 sebagai pengganti undang-undang yang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 ini memiliki 92 pasal yang terbagi dalam 18 bab. Undang-undang ini lebih menitikberatkan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif. Pengaturan dari segi
15 Sunarmi. Pemegang Polis Asuransi Dan Kedudukan Hukumnya Jurnal Ilmu Hukum.
Volume 3 No. 1, tahun 2007, hlm 2
16 Ibid
17 Ibid.
bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan aturan hukum perasuransian yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar, maka pelanggaran tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana dan administratif.18 2. Pencabutan Izin Usaha Asuransi
Asuransi merupakan suatu perjanjian pertanggungan antara penanggung yang mengikatkan dirinya terhadap tertanggung, asuransi telah dikenal sejak lama dimulai pada zaman kebesaran Yunani dengan latar belakang pada saat itu adalah jual beli budak, perjanjian jual beli tersebut pada pokoknya memang sama dengan perjanjian asuransi pertanggungan yaitu bahwa bila budak tersebut meninggal maka akan diberi biaya untuk mengubur jenazah budak tersebut, pada saat ini mirip dengan asuransi jiwa. Perkembangan asuransi terbilang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan berbagai macam jenis asuransi seperti pada abad pertengahan mulai muncul mengenai asuransi pengangkutan pada kapal untuk menghindari kerugian saat malapetaka yang tidak diharapkan.19
Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama : pemberian persetujuan prinsip dan tahap kedua pemberian izin usaha. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan perusahaan
18 Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 19
19 A. Junaedi Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 31
perasuransian tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut.20
Dalam hal perusahaan asuransi tersebut diajukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pailit, kekayaan perusahaan asuransi tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, oleh OJK diberi wewenang untuk meminta Pengadilan Niaga agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit sehingga harta kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurusan atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis.21
3. Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.22
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Definisi secara umum
20 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 27
21 Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan;Perusahaan; dan Asuransi, Cet 1, (Bandung: Alumni, ,2007), hlm. 38
22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 1 angka 1
yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua- duanya.23 Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dan gerak pembangunan suatu bangsa.
Lembaga keuangan tumbuh dengan berbagai alternatif jasa yang ditawarkan.24 Paling tidak ada sembilan fungsi pokok yang dapat dilayani lembaga keuangan bank dan selain bank yakni fungsi kredit, fungsi investasi, fungsi pembayaran, fungsi tabungan, fungsi pengelolaan kas, fungsi penjamin, fungsi perantara, fungsi perlindungan, dan fungsi kepercayaan.25
Terhadap pihak yang sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalam pemberesan, dapat dilakukan penyesuain paungutan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) PP. No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Berdasarkan hal tersebut, penetapan besarnya pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegitan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.
Penjelasan Pemberesan yang dilakukan oleh kurator merupakan pemberesan dalam kepailitan, yang merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Dalam sita umum, maka seluruh harta kekayaan
23 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 2
24 Neni Sri Imaniyati, Pengantar hukum Perbankan Indonesia, (Jalarta: Refika Aditama, 2010), hlm. 1
25 1 Juli Irmayanto dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Universitas Trisaksi, Jakarta 2002), hlm. 12
debitur akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan kurator, sehingga debitur tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.26
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma- norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.27
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif analisis, yaitu penelitian bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat.28 3. Pendekatan penelitian
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi berkaitan dengan Pencabutan Izin Usaha Asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan Ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi.
4. Data penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terbagi atas:
26 Sunarmi, Hukum Kepailitan,Edisi Kedua, (Medan: Sofmedia, 2010), hlm. 29
27Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005), hlm. 46.
28 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 9.
a. Bahan hukum primer yaitu berbagai bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari:
b. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 5) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHDagang)
6) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
7) POJK No.28/POJK.05/2015 Tentang Pembubaran, Likuidasi, Dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
8) POJK Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah
c. Bahan hukum sekunder yaitu berbagai bahan kepustakaan berupa pendapat para ahli, jurnal, karya ilmiah, hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
d. Bahan hukum tertier yaitu berbagai bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, serta ensiklopedia.
5. Tehnik pengumpulan data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan-tulisan para ahli hukum, putusan-putusan hakim yang berkaitan dengan penelitian ini.
6. Analisis data
Analisis data yang dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam perundang-undangan terpenting yang relevan dengan permasalahan. Membuat sistematika dari data- data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang di pakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini, meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi bab-bab diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan awal yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan
BAB II WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
Bab ini berisikan latar belakang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tugas dan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
BAB III MEKANISME, HAK, DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK ATAS DAMPAK PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
Bab ini berisikan pengertian pencabutan izin usaha asuransi.
Mekanisme pencabutan izin usaha asuransi dan hak dan kewajiban para pihak serta dampak pencabutan izin usaha asuransi
BAB IV ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN IZIN USAHA ASURANSI
OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN BERDASARKAN
KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG ASURANSI
Bab ini beriskan kewenangan OJK dalam pencabutan izin usaha asuransi. Akibat hukum yang timbul dalam pencabutan izin usaha asuransi dan penerapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Asuransi Dalam Kasus PT Asuransi AXA Life
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran-saran atas jawaban permasalahan tersebut.
BAB II
WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Menurut penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, OJK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebelum OJK dibentuk, maka Undang-undangnya harus dibuat terlebih dahulu. Jika mau dibentuk, undang-undangnya harus dibuat dulu, jika tidak OJK tidak punya dasar hukum.29
Awal pembentukan OJK berawal dari adanya keresahan dari berbagai pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan OJK yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan dan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU BI).30
Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang menimpa wilayah Asia. Pada 1997 Indonesia juga terkena dampaknya, disebabkan struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih
29 Aldi Rachman Ginanjar, Tanggung Jawab Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Konsumen Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah Baitul Mal Wa Tamwil PT. Cakrabuana Sukses Indonesia Syariah Sejahtera Atas Tindakannya Yang Merugikan Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jo Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, (Skripsi: Universitas Pasundan Bandung, 2017), hlm. 29
30 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,Likuiditas dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 36
begitu lemah untuk menghadapi krisis global tersebut.31 Mandat pendirian OJK berawal dari krisis moneter tahun 1997-1998 yang memaksa Indonesia menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF). Salah satu butir LOI tersebut menyebutkan perlunya badan independen sebagai pengawas sektor keuangan.32
Akibat dari krisis yang terjadi tersebut berdampak sangat besar terhadap perekonomian di Indonesia. Pasar modal, kegiatan usaha di sektor riil maupun perbankan mengalami penurunan yang cukup besar. Salah satu penyebab krisis yang melanda sebahagian besar perusahaan di Indonesia adalah karena kurang dimanfaatkannya pasar modal sebagai sumber dana perusahaan. Ketidaksesuaian pembiayaan, karena dipakainya dana jangka pendek bagi pendanaan investasi jangka panjang tersebut dapat dihindari apabila perusahaan memanfaatkan instrument pasar modal bagi kegiatan pembiayaannya baik dalam ekuitas (equity) maupun hutang (debt). Indonesia pada saat itu memusatkan sektor perbankan (Banking Centric) dalam perkembangan perekonomiannya. Terdapatnya Banking Centric menimbulkan risiko sistemik terhadap jasa keuangan lain dan lebih jauh
dapat menimbulkan gangguan stabilitas finansial sehingga krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia menyebabkan banyaknya bank mengalami kolaps. Fungsi pengawasan bank yang merupakan tugas dari BI
31 Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2008), hlm 69
32 Iswi Hariyani dan R.Serfianto, Buku Pintar Pasar Modal, (Jakarta : Visi Media, 2010), hlm. 21.
banyak yang dipertanyakan, bahkan dianggap krisis tersebut disebabkan oleh lumpuhnya sektor perbankan di Indonesia.33
Kondisi ekonomi yang kacau karena krisis tersebut membuat pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat suatu keputusan.Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menghindari terulangnya krisis ekonomi seperti pada 1997- 1998 adalah dengan membentuk suatu lembaga pengawasan independen yang bernama OJK. OJK adalah lembaga negara yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan.OJK merupakan lembaga yang bersifat independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,pengawasan,pemeriksaan dan penyidikan.34
Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.35
Latar belakang pembentukan OJK dikarenakan perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai pengawas yang mempunyai otoritas
33Sugarda, Status Hukum dan Kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, www.ugm.ac.id, diakses tanggal 10 April 2017
34 Budisantoso, Totok dan Nuritomo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:
Salemba Empat, 2014), hlm. 47
35 Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm. 28
terhadap seluruh lembaga keuangan, Lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, sehingga tidak ada lagi lempar tanggung jawab terhadap pengawasannya. Disamping itu, kegiatan usaha yang dilakukan berakibat semakin besarnya pengaturan pengawasannya. Sehingga perlu adanya suatu alternatif untuk menjadikan pengaturan dan pengawasan maupun lembaga keuangan lainnya dalam satu atap.36
Alasan pembentukan OJK antara lain adalah makin kompleks danbervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, sejumlah bank yang ada pada saat itu dilikuidasi.37
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu di dalam bagian Penjelasan Umum disebutkan bahwa pembentukan OJK dimaksudkan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani masalah keuangan yang trimbul di dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Pengaturan dan pengawasan terhadap kerseluruhan kegiatan keuangan tersebut
36 Sigel Ratumbuysang, Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Bank, Lex Privatum , Vol.IV/No. 3/Mar/2016, hlm 73
37Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi Volume 6, Nomor 3, September 2012, hlm. 152.
harus dilakukan secara terintegrasi. Hal ini juga sebagai akibat globalisasi di dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di dalam bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial yang telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antara sub sektor keuangan, baik di dalam hal produk dan kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan dan terganggunya stabilitas sistem keuangan yang meliputi tindakan moral hazar. Belum optimalnya perlindungan jasa keuangan dan terganggunya stabilitas sistem keuangan, semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.38
Pembentukan UU OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan bahwa Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang- undang serta pembentukan lembaga pengawasan, sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan
38 Muhammad Firmansyah, Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Lembaga Pengawasan Perbankan Di Indonesia, (Skripsi Fakultas Hukum Bagian Hukum Tata Negara Makassar, 2013), hlm 43
lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.39
Menurut Pasal 4 UU OJK, OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan dapat (a) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, (b) serta mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan (c) mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter, oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara ex-officio.40
Sesungguhnya tujuan OJK adalah untuk menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, yang mana mengingatkan pemikiran pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good
39 Andika Hendra Mustaqim, “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional”, Perspektif, Vol.8, No.1 Tahun 2010,hlm 281
40 Penjelasan Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Corporate Governance) yang terdiri dari lima prinsip yang disingkat dengan tarif,
yaitu:41
a. Transparency (keterbukaan informasi) Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu;
b. Accuntability (akuntabilitas), yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, kejelasan akan hak dan kewajiban serta wewenang dari elemen- elemen yang ada;
c. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pembayaran pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya;
d. Independency (kemandirian), yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun maupun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
e. Fairness (kesetaraan atau kewajaran). Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak pemangku kepentingan (shareholders) dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
41 Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013) hlm.107
B. Tugas dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk sektor perbankan. Dalam melaksanakan fungsinya di sektor perbankan, OJK melaksanakan tugas yang secara khusus telah diatur oleh undang-undang.42
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan tugas pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Untuk beroperasi sebagai lembaga pengawas yang terintegrasi, OJK perlu memastikan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya dilakukan secara terpadu. Di Indonesia, tugas tersebut menjadi tanggung jawab Dewan Komisioner OJK yang memastikan bahwa ketentuan tertentu perlu diharmonisasi dan ketentuan yang tetap dibiarkan berbeda untuk mengakomodir perbedaan karakteristik indutri keuangan.
Terintegrasinya peraturan juga penting dalam kaitannya terpisahnya antara pengawasan microprudential dan pengawasan macroprudential sebagaimana yang diatur Pasal 7 UU OJK.43
Tugas OJK adalah mengatur dan mengawasi tiga sektor jasa keuangan, yaitu sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, serta sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Khusus di sektor Perbankan, OJK memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi
42 Komang Eva Jayanthi, Akibat Hukum Pembentukan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Tugas Bank Indonesia Dalam Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank, (Tesis, Universitas Udayana, 2014), hlm. 28.
43 M. Syahputra Lubis, Fungsi Dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Kegiatan Jasa Keuangan Disektor Perbankan (Studi Pada Otoritas Jasa Keuangan Cabang Medan), (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2014), hlm. 29
kelembagaan bank, kesehatan bank dan aspek kehati-hatian bank, serta untuk melakukan pemeriksaan bank. Dengan demikian, masalah perizinan untuk pendirian bank, serta pencabutan izin usaha bank menjadi kewenangan OJK.44
Adapun fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap (a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, (b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan (c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
C. Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Lahirnya OJK mengalihkan pengawasan lembaga jasa keuangan di Indonesia yang pada awalnya dilakukan oleh beberapa lembaga yaitu Bank Indonesia, Menteri Keuangan serta BAPEPAM-LK menjadi OJK.45 Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut, OJK berlandaskan atas asas-asas, antara lain:
44 Hesty D. Lestari, Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012, hlm 558.
45 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2014), hlm 70
1. Asas independensi
Undang-Undang OJK secara tegas menyebutkan bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bebas dari campur tangan pihak lain.46 Pelaksanaan prinsip independensi ini merupakan masalah krusial bagi otoritas pengawas jasa keuangan oleh karena lemah dan tidak efektifnya regulasi seringkali disebabkan campur tangan politik.47 2. Asas kepastian hukum
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
3. Asas kepentingan umum
Asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum. Perlindungan konsumen merupakan salah satu fitur utama OJK. OJK diharapkan dapat meningkatkan keyakinan masyarakat, bahwa lembaga jasa keuangan dikelola secara baik dan profesional, dan bahwa di dalam lembaga jasa keuangan tidak terkandung ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di lembaga tersebut.48
46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 2 angka (2)
47 Zulkarnain Sitompul. “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan”. Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil.
Pada tanggal 25 November 2014, hlm 6
48 Bismar Nasution, ”Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”.
Medan:disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Era Baru Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang Terintegrasi. Juni 2012, hlm 15
4. Asas keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara. Keterbukaan (transparansi) adalah fitur utama pemerintahan demokratis. Transparansi dapat mengurangi kekuasaan kelompok penekan dan memberi kesempatan luas kepada publik memantau proses pengambilan keputusan.49
5. Asas profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK.
7. Asas integritas
Asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelengaraan OJK.
8. Asas akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berwenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
49 Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 5
keuangan terhadap ketiga sektor jasa keuangan tersebut. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga berwenang menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Kewenangan lain dari OJK adalah memberikan dan/atau mencabut izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.50
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi: memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan. Disamping melakukan tindakan pencegahan, OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen dan berwenang pula melakukan pembelaan hukum, seperti memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud dan mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, dan/atau untuk memperoleh ganti
50 Ibid.
kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.51
Menurut Pasal 7 UU OJK dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
a. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikin, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank b. Kegiatan usaja bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank
d. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, dan pemeriksaan uang
51 Ibid., hlm 559
e. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK
f. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan g. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
h. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu
i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan
j. Menetapkan struktur organisasi serta infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban
k. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan l. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan
m. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif
n. Melakukan pengawasan, pemeriksanaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
o. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau peihak tertentu
p. Melakukan penunjukan pengelola statute q. Menetapkan penggunaan pengelola statute
r. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keungan; dan
s. Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain
2. Terkait Peraturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
a. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK
b. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan c. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
d. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu
e. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan
f. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban
g. Menetapkan pertauran mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala eksekutif
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan
d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu
e. Melakukan penunjukan pengelola statute
f. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
g. Memberikan dan/atau mencabut izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.
Dalam hal pengawasan OJK pada industri keuangan baik bank maupun non bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu, sehingga sistem pengawas dapat bertukar informasi dengan mudah, hal ini guna menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas bank dan non bank yang telah
ada di Indonesia sebelumnya. Sebagai contoh misalnya pada kasus out Bank Century yang telah terjadi yang hingga sampai saat ini belum terselesaikan. 52
Dalam kasus tersebut Bank Indonesia sebagai pengawas bank menganggap PT.Antaboga sudah diawasi Bapepam-LK karena merupakan produk reksa dana,tetapi Bapepam–LK juga tidak mengetahui keberadaan PT. Antaboga karenaproduk ini di jual dilingkungan bank. Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga yang dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
52 Ibid