• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN PROFESSORSHIP UNIVERSITAS LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN PROFESSORSHIP UNIVERSITAS LAMPUNG"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN PROFESSORSHIP UNIVERSITAS LAMPUNG

MODEL PENEGAKAN HUKUM YANG ADIL DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PERKARA SUAP/GRATIFIKASI DI KABUPATEN

TANGGAMUS)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2021

(2)

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 2

C. Tujuan Khusus ... 3

D. Urgensi (Keutamaan) Penelitian ... 3

E. Temuan yang Ditargetkan dan Kontribusi terhadap Ilmu Pengetahuan ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 4

B. Penegakan Hukum Pidana ... 7

C. Penegakan Hukum Pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 8

BAB 3. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 13

B. Sumber dan Jenis Data ... 13

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 13

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 14

E. Analisis Data ... 14

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN A. Anggaran Biaya ... 16

B. Jadwal Penelitian ... 17 REFERENSI

(3)

Masalah atau kesenjangan yang akan diatasi dalam penelitian ini yaitu mengapa terdapat hambatan penegakan hukum pidana terhadap anggota DPRD penerima suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus? Dan Bagaimana model penegakan hukum pidana yang adil dalam perkara tindak pidana suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus? Tujuan jangka panjang penelitian ini ialah untuk menganalisis mengapa terdapat hambatan penegakan hukum pidana terhadap anggota DPRD penerima suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus dan model penegakan hukum pidana yang adil dalam perkara tindak pidana suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus. Adapun target khusus yang ingin dicapai yaitu diperolehnya model ideal penegakan hukum yang adil dalam perkara tindak pidana korupsi, khususnya pada perkara suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari penelusuran pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil yang diharapkan pasca pelaksanaan penelitian berupa model penegakan hukum yang adil terhadap penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi suap/gratifikasi sangat berkontribusi bagi penegakan hukum pidana korupsi dan ilmu hukum pidana. Luaran penelitian adalah berupa penerbitan di jurnal ilmiah internasional bereputasi (Scopus), dan satu artikel yang dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah yang diselenggarakan LPPM Unila.

Berdasarkan hasil pengukuran Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT), penelitian ini berada pada TKT 3.

(4)

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkara korupsi terkait pejabat publik dalam bentuk fee proyek sebagai tindak pidana suap dan gratifikasi banyak terjadi di Provinsi Lampung. Kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi telah cukup banyak mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2019, yaitu Bupati Lampung Timur Stn senilai Rp117 miliar, Bupati Lampung Tengah AA senilai Rp30 miliar, Bupati Tanggamus BK senilai Rp943 juta, Bupati Lampung Selatan ZH senilai Rp95 miliar, Bupati Lampung Tengah Mus senilai Rp95 miliar, Bupati Mesuji Khamamik senilai Rp1,5 miliar, Bupati Lampung Utara AIM. senilai Rp100 miliar. Dari perkara-perkara di atas terdapat penegakan hukum pidana yang tidak adil, yaitu berupa disparitas penegakan hukum pidana terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal mana terdapat pelaku yang dijadikan sebagai tersangka/terdakwa, tetapi terdapat pula beberapa pelaku hanya dijadikan sebagai saksi dan tidak mendapat sanksi pidana sampai perkaranya berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Salah satu perkara yang cukup menarik perhatian adalah perkara mantan Bupati Tanggamus BK yang memberi gratifikasi kepada anggota DPRD Kabupaten Tanggamus senilai Rp.943 juta sebagai uang “ketuk palu”. Pemberian mana dilakukan karena adanya ancaman anggota DPRD untuk tidak kuorum dalam mensahkan APBD Kabupaten Tanggamus tahun 2016, sehingga bupati memberikan sejumlah uang kepada beberapa anggota DPRD yang kemudian oleh anggota DPRD dilaporkan ke KPK sebagai gratifikasi.

Penegakan hukum yang diterapkan pada kasus mantan Bupati Tanggamus BK adalah korupsi berupa tindak pidana gratifikasi, dimana BK dijatuhi pidana selama 2 tahun oleh Pengadilan Tipikor Tanjungkarang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tipikor Tanjungkarang.

Walaupun sejak ditangkap dan ditahan KPK dan selama persidangan, BK menyatakan ia korban pemerasan dan pemberian dana dilakukan 2 kali dalam waktu berlainan, serta jumlah orang yang berbeda antara yang melaporkan dan menerima gratifikasi. Oleh karena itu, pemberian pertama tidak termasuk dalam kualifikasi gratifikasi. Di samping itu, seharusnya pula para anggota DPRD Kabupaten Tanggamus yang menerima dana di luar gratifikasi dijadikan pula tersangka korupsi karena menerima suap.

Dalam dakwaan penuntut umum perkara gratifikasi pensahan APBD Tanggamus tahun 2016, ada 13 anggota DPRD Tanggamus menerima uang dan kemudian melaporkan uang itu ke KPK. Ke-13 anggota DPRD Tanggamus itu adalah AM, AP, B,DF, F, N, H, HA, HE, S, T, K, dan TW. Mereka menerima uang dari BK dengan jumlah berbeda-beda. AM dan HA

(5)

mendapatkan Rp.65 juta, N Rp.40 juta, HE Rp.30 juta, B Rp.64,8 juta, S Rp.38,6 juta, F Rp.30 juta, T Rp.29,9 juta, K Rp.40 juta, AP Rp.30 juta, TW Rp.30 juta, H Rp.30 juta dan D Rp.30 juta.Total uang yang diberikan BK kepada para anggota Dewan itu berjumlah Rp 523.350.000. Uang itulah yang kemudian diserahkan ke Direktorat Gratifikasi KPK, dalam hal mana KPK menetapkannya sebagai gratifikasi, sehingga BK dijadikan sebagai tersangka melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.

Dalam persidangan terungkap bahwa BK memberi uang kepada 23 orang anggota DPRD Tanggamus berinisial PU, AM, TK, BH, HA, ZQ, R, FN, Bsk, IS, AF, BS, Mch, SW, SMY, DF, FRZ, HE, NsN, HLN, TZN, TW, IM. R, dan KRN. Total uang yang diterima mereka sebesar Rp.943.350.000. Menurut BK, pemberian tersebut karena terpaksa sebagai akibat adanya ancaman dari anggota DPRD Tanggamus yang tidak akan kuorum dalam pembahasan APBD Tanggamus 2016. Berdasarkan fakta persidangan tersebut, terdapat selisih jumlah uang Rp.420 juta yang terlebih dulu diberikan kepada anggota DPRD Tanggamus. Di samping itu, terdapat selisih jumlah anggota DPRD Tanggamus yang tidak melaporkan ke Direktorat Gratifikasi KPK sebanyak 10 orang.

Putusan Pengadilan Tipikor Tanjungkarang Nomor: 14/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Tk tanggal 22 Mei 2017 dalam pertimbangan hukumnya menggunakan fakta persidangan tersebut dan memidana BK selama 2 tahun. Putusan ini dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Tanjungkarang Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2017/PT.TJK tanggal 16 Agustus 2017. Baik BK maupun penuntut umum tidak mengajukan kasasi, sehingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).1 Tetapi sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan terpidana BK selesai menjalani pidananya, terhadap pelaku-pelaku lain yang menerima suap sampai dengan sekarang tidak pernah dilakukan penegakan hukum, bahkan sebagian besar dari mereka menjabat kembali sebagai anggota DPRD baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang diuraikan di atas, permasalahan yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini yaitu:

1) Mengapa terdapat hambatan penegakan hukum pidana terhadap anggota DPRD penerima suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus?

1 Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Tanjungkarang Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2017/PT.TJK tanggal 16 Agustus 2017.

(6)

2) Bagaimana model penegakan hukum pidana yang adil dalam perkara tindak pidana suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus?

C. Tujuan Khusus

Untuk menganalisis mengapa terdapat hambatan penegakan hukum pidana terhadap anggota DPRD penerima suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus dan model penegakan hukum pidana yang adil dalam perkara tindak pidana suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus.

D. Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Ditinjau dari sudut apapun, korupsi sama sekali tidak memberikan manfaat. Adanya peraturan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi belum tentu efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi. Lemahnya kebijakan penegakan hukum dan juga banyaknya faktor penghambat membuat tindak pidana korupsi sulit diantisipasi. Sebagaimana halnya perkara suap/gratifikasi di Kabupaten Tanggamus, sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan terpidana BK selesai menjalani pidananya, terhadap pelaku-pelaku lain yang menerima suap sampai dengan sekarang tidak pernah dilakukan penegakan hukum, bahkan sebagian besar dari mereka menjabat kembali sebagai anggota DPRD baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

E. Temuan yang Ditargetkan dan Kontribusi terhadap Ilmu Pengetahuan

1) Penelitian diharapkan dapat menemukan suatu model penegakan hukum yang adil terhadap penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi suap/gratifikasi;

2) Hasil penelitian berupa model penegakan hukum yang adil terhadap penegakan hukum pidana tindak pidana korupsi suap/gratifikasi sangat berkontribusi bagi penegakan hukum pidana korupsi dan ilmu hukum pidana.

(7)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata corruption/corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptive.2 Pengertian korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, sedangkan pengertian korup ialah busuk; buruk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).3

Menurut A.S. Hornby et. al. dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English korupsi adalah “the offering and accepting of bribes” (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) dan diartikan pula sebagai “decay” yaitu kebusukan/kerusakan.4 Defenisi korupsi menurut Kamus Lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan- pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.5 Selanjutnya menurut Robert Klitgaard, korupsi adalah tingkah laku manusia yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.6

Pengertian korupsi banyak didefinisikan oleh para pakar, dimana masing-masing merumuskannya sesuai dengan sisi pandang bidang ilmunya. Korupsi dari sisi pandang ekonomi menurut Jacob van Klaveren bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.7 Korupsi dari sisi pandang pemerintahan menurut J.S. Nye sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban- kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman) demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan

2 Prodjohamidjojo, Martiman (2001), Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi. Bandung: Mandar Maju, h. 7.

3 Depdikbud (1989), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, h.9.

4 Dikutip dari Lopa, Baharudin (2001), Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas, h.1.

5 Dikutip dari Arsyad, Jawade Hafidz (2013), Korupsi dalam Perspektif HAN, Jakarta : Sinar Grafika, h. 4.

6 Lopa, Baharudin. op.cit., h. 2.

7 Lopa, Baharudin. loc.cit.

(8)

seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara untuk kepentingan pribadi).8

Carl J. Friesrich merumuskan korupsi dari sisi pandang kepentingan umum dengan mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk atau mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.9

Korupsi merupakan permasalahan global yang menjangkiti negara-negara di dunia mulai dari negara miskin sampai dengan negara maju. Korupsi bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara karena tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara. Mengamati perkembangan korupsi di dunia, tidak ada satupun negara yang terbebas dari praktik korupsi, terlebih lagi di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada jalan pintas dan jawaban mudah untuk keluar dari jeratan korupsi tersebut.10 Bahkan dilihat dari berbagai perspektif, korupsi sangat layak digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), bukan lagi kejahatan biasa (ordinary crime).

Korupsi telah dipandang masyarakat dunia sebagai kejahatan yang mengancam berbagai aspek pembangunan dan kualitas kehidupan (crime against development and the quality of life). United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman bagi stabilitas dan keamanan masyarakat (threat to the stability and security of societies); merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi (undermining the institutions and values of democracy); merusak nilai-nilai etika dan keadilan (undermining ethical values and justice); membahayakan/mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum (jeopardizing sustainable development and the rule of law); dan

8 Lopa, Baharudin. op.cit. h.3.

9 Lopa, Baharudin. op.cit. h.4.

10 Eigen, Peter. Buku Panduan Transparency International Pengembangan Sistem Integritas Nasional, h.

xxxvii, dikutip Saldi Isra, Ihwal Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, artikel dimuat dalam Jurnal Masalah- Masalah Hukum Jilid 42 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Januari 2013, h. 63.

(9)

mengancam stabilitas politik (threaten the political stability).11 PBB dan negara di dunia memiliki pandangan yang sama berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kerjasama antara negara-negara sangat dibutuhkan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi memiliki dampak yang luar biasa terhadap suatu negara sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga.

Banyaknya ketentuan yang melarang dilakukannya tindak pidana korupsi, belum merubah perilaku korupsi itu sendiri. Korupsi di negeri Indonesia bukan hanya sudah menggurita, tetapi juga sudah transparan dan tidak lagi malu-malu untuk disembunyikan.

Korupsi dipamerkan lewat kehidupan eksklusif seperti mobil mewah, rumah bertingkat, dan berbagai kehidupan mewah yang dipamerkan anak-istri atau pasangan para koruptor tanpa merasa malu. Mereka melakukan korupsi secara berkelompok (berjamaah), seakan membagi-bagi keuntungan dan dosa untuk dipikul bersama, biar aparat hukum bingung atau takut mengusutnya. Begitulah analogi perilaku korupsi seperti melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, atau suap-menyuap dan gratifikasi.12 Tetapi anehnya, meskipun perilaku korupsi telah menggurita, tetap saja para koruptor begitu sulit diproses dan diberantas melalui hukum pidana dan dibuktikan kesalahannya di depan sidang pengadilan.

Pengadilan menjadi media penegakan hukum pidana yang efektif, integral dan berkualitas terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Ruang lingkup korupsi dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang diratifkasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, yaitu:

a. Penyuapan pejabat publik nasional (briberry of national public officials);

b. Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik (briberry of foreign oficial dan officials of public international organization);

c. Penggelapan, penyelewengan, atau pengalihan kekayaan lain oleh seorang pejabat publik (embezzlement, missappropriation or other diversion of property by a public oficial);

d. Memperdagangkan pengaruh (trading in influence);

e. Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of functions);

11 Nawawi Arief, Barda (2013). Reformulasi Ancaman Pidana Mati untuk Koruptor dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Artikel, Jurnal Masalah-masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 24.

12 Mas, Marwan. Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Superbody Komisi Pemberantasan Korupsi, artikel, Jurnal Masalah-masalah Hukum Jilid 42 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Januari 2013, h. 71.

(10)

f. Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment);

g. Penyuapan pada sektor privat (briberry in the private sector); dan

h. Penyuapan di sektor privat (embezzlement of property in the privat sector).

B. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan dalam hukum pidana dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam setiap hubungan hukum.13 Penegakan hukum dapat diartikan dalam tiga konsep, yakni:

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang berada di belakang semua hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individu.

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, kualitas sumber daya manusia (SDM), kualitas perundang-undangan dan kurangnya partisipasi masyarakat.14

Berdasarkan tiga konsep penegakan hukum di atas dapat dikatakan bahwa penegakan hukum yang sempurna/total sulit akan dicapai karena terdapat ketidaksempurnaan dalam sistem itu sendiri. Selanjutnya untuk mencapai penegakan hukum penuh/full, terdapat keterbatasan peraturan perundang-undangan dan hukum acara pidana, kualitas sumber daya aparat penegak hukum dan peran serta masyarakat, sehingga penegakan hukum yang ada adalah aktual. Pengertian penegakan hukum pidana dapat disamakan pengertian dengan penanganan dan penindakan.15 Penegakan hukum pidana (PHP) dapat diartikan sebagai berikut:

1) Keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata dengan aturan hukum, peraturan hukum dan perundang-undangan (di bidang hukum

13 Marzuki, Peter Mahmud (2012). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada, h.15

14 Muladi (1995), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, h. 73

15 Nawawi Arief, Barda (2002), Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Pt. Citra Aditya Bhakti, h. 109.

(11)

pidana) yang merupakan perwujudan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

2) Keseluruhan kegiatan dari para aparat/pelaksana penegak hukum kearah penegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban ketentraman dan kepastian hukum (di bidang hukum pidana) sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

3) Pengertian praktis: proses menegakkan/mengoperasionalkan secara konkret hukum pidana.

Kajian yang digunakan untuk menjawab permasalahan faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor penghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana adalah sebagai berikut :

a) Faktor hukumnya sendiri.

b) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum .

d) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.16

C. Penegakan Hukum Pidana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kajian yang digunakan untuk menganalisis model penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana suap/gratifikasi, pertama menggunakan kajian paradigma sistem hukum (legal system) Lawrence M. Friedman17 yang menyatakan:

“This is the output side of the legal system. These are the "Laws" themselves - the rulers, doctrines, statutes and decrees, to the extent they are actually used by the rulers and the ruled, and, addition, all other rulers which govern, whatever their formal status. By structural, we mean the institutions themselves, the form they take, and the processes that they perform. Structure include the number and type of court:

presence or absence of constitution: presence or absence of federalism or pluralism:

division of powers between judges, legislatures, governers, kings, juries, and administrative officers: modes of procedure in various institutions: and the like. Other elements in the system are cultural. These are the values and attitudes wich bind the system together and wich determine the place of the legal system in the culture of the society as a whole. What kind of training and habits do the lawyers and judges have?

What do people think of law? Do group or individuals willingly go to court? For what purposes do people turn to lawyers, for what purposes do they maka use of other

16 Soekanto, Soerjono (1993). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali, h.5.

17 Dikutip dari Husin, Kadri. "Diskresi dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia", Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Unila, 1998, h.16.

(12)

officials and intermediaries? Is there respect for law, government, traditions? What is the relationship between class structure and the use or non-use of legal institutions?

What informals social control exist in addition to or in place of formal ones? Who prefers which kind of controls, and why? These aspects of law -- legal culture -- influence all of the legal system. But they are particularly important as the source of the demands made upon the system. It is the legal culture, that is, the network of values and the attitudes relating to law, wich determines when and why and where people turn to the law, or to government, or turn away.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penegakan hukum terkait pada tiga aspek, yaitu peraturan perundang-undangan (substansi), aparat penegak hukum (struktur) dan budaya hukum (kultur). Maka dengan paradigma hukum sebagai suatu sistem akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam pengkajian penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi khususnya suap/gratifikasi.

Penegakan hukum pidana dalam paradigma sistem hukum (legal system) sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman di atas meliputi beroperasinya komponen- komponen “peraturan perundang-undang/substansi (legal), aparat penegak hukum/struktur (legal actors) dan budaya hukum/ kultur (legal culture)”. Komponen struktur adalah bagian- bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan sebagainya. Komponen substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, sedang-kan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.

Komponen kultur memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana. Adakalanya tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat (public participation) yang sangat tinggi pula dalam usaha melakukan pencegahan kejahatan, melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan di lingkungannya dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya.

Tetapi adakalanya, suatu komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau dapat dikatakan "modern" dalam kenyataannya tidak menghasilkan out-put penegakan hukum yang tinggi, karena kultur masyara-kat tidak mendukung prosedur formal yang telah ditetapkan. Padahal penegakan hukum akan selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya. Pelaksanaannya akan dapat mencapai tujuan sebagai-mana yang telah

(13)

ditentukan melalui fungsi dari bekerjanya proses dan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, yaitu sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Dengan demikian, maka hukum akan menjadi wadah bagi penyaluran proses-proses dalam masyarakat, yang secara teoritis fungsi demikian itu dapat dilaksanakannya, baik dengan cara memberikan jalan agar proses- proses berjalan dengan tertib dan teratur, maupun untuk menyalurkannya sesuai dengan tujuan tertentu yang diinginkan.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan "diandalkan" sebagai salah satu sarana politik kriminal.18 Padahal kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan mempunyai keterbatasan seperti dikatakan Donald R. Taft dan Ralph W. England:19

“Efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.”

Barda Nawawi Arief20 mengidentifikasikan sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:

a. sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;

b. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);

c. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom, oleh karena itu hukum pidana hanyalah merupakan "pengobatan simptomatik"

dan bukan “pengobatan kausatif”;

d. sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;

e. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;

f. keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;

18 Barda Nawawi Arief, (1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, h. 39.

19 Ibid, hal. 42.

20 Ibid, hal. 46.

(14)

g. bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.

Berdasarkan uraian di atas, dalam kaitannya dengan persoalan penegakan hukum pidana pemberantasan tindak pidana korupsi, maka ketiga komponen yaitu substansi, struktur dan kultur mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukumnya. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penegakan hukum dikemukakan kajian tentang proses hukum (legal proces), yang sebenarnya sekaligus dalam proses tersebut menggambarkan antara ketentuan substantif di satu pihak berhadapan dengan kekuasaan negara di lain pihak. Mirzan R.

Damaska21 menyatakan ada dua tipe organisasi kekuasaan yang berkaitan dengan proses penyelesaian hukum dalam rangka menegakan keadilan, yang pertama the hierarchical dan kedua the coordinate. Untuk lebih jelasnya uraian Mirzan R. Damaska berikut ini.

“The first structure essentially corresponds to conceptions of clasical bureaucracy. It is characterized by a pofessional corps of officials, organized into a hierarchy which makes decisions according to technical standard. It is defined by a body of nonprofessional decision makers, organized into a single level of authority wich makes decisions by applaying undiferentiated community standards.”

Struktur yang pertama umumnya digunakan pada sistem hukum kontinental, dalam model birokrasi klasik para pejabat administrasi dalam melaksanakan tugasnya terikat pada hubungan ordinasi dan sub-ordinasi secara hierarkhis. Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa tipe struktur hierarkhi tidak memberi kebebasan yang banyak terhadap pejabat dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam proses hukum berkaitan dengan penegakan hukum. Dengan demikian, penegakan hukum di satu pihak berhadapan dengan negara di lain pihak lebih menampakkan diri pada kekuasaan yang dipegang oleh korps pejabat profesional, sehingga bukan tidak mungkin dalam praktek memiliki orientasi yang bersifat sektoral.

Struktur hirarkhi sebagai suatu tipe dalam proses hukum, jika dihubungkan dengan proses peradilan pidana menunjukkan terjadinya fragmentasi antar aparat penegak hukum, dimana penyelidikan dan penyidikan merupakan wewenang Kepolisian, penuntutan menjadi wewenang Kejaksaan, dan pengadilan wewenang Kehakiman/Mahkamah Agung. Masing- masing instansi penegak hukum tersebut tidak dapat mengontrol antara satu dengan lainnya, karena masing-masing mempunyai organ pengawas sendiri-sendiri. Oleh karena itu dapat terjadi bahwa suatu perkara yang masuk ke penyidikan belum tentu dapat ditingkatkan ke penuntutan. Demikian pula pada penuntutan belum tentu dapat menghasilkan putusan pengadilan yang memidana pelaku kejahatan, sehingga tingkat penyelesaian perkara dari kasus yang masuk proses peradilan pidana semakin menurun.

21 Ibid. h.18.

(15)

Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian sebelumnya (2018-2021) yang pernah dilakukan. Beberapa studi pendahuluan yang pernah dilakukan antara lain:

1. “Preventing the Acts of Corruption through Legal Community Education” dimuat pada jurnal internasional bereputasi Q3 Journal of Social Studies Education Research 2018:9 (2), 138-159 Anggota peneliti;

2. “Implementasi Peradilan In Absentia Pada Perkara Tindakpidana Korupsi” Hibah Pascasarjana Dikti 2020 Ketua Peneliti; dan

3. “The Influence of Online Mass Media on Anti-Corruption Legal Awareness Education”

dimuat pada jurnal internasional bereputasi Q2 Systematic Review Pharmatical 2021;12(2):439-447. Ketua Peneliti;

Roadmap penelitian dan tahapan lebih lanjut digambarkan sebagai berikut.

Preventing the Acts of Corruption through Legal Community Education

Implementasi Peradilan In Absentia Pada Perkara Tindakpidana Korupsi

The Influence of Online Mass Media on Anti- Corruption Legal Awareness Education 2018

2020

2021

(16)

BAB 3. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan penelitian ini, peneliti melakukan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris yang dilakukan dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek dan mengenai pelaksanaannya.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data berasal dari dua sumber yaitu data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data berupa data primer dan data sekunder:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian di lapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah penulisan penelitian ini.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

b. Bahan hukum sekunder yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan dan Surat Keputusan Menteri, serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan kejaksaan dan korupsi.

c. Bahan hukum tersier yaitu karya-karya ilmiah, bahan seminar, dan hasil-hasil penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini, populasi yang diambil peneliti yaitu penuntut umum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) R.I., penyidik di Kepolisian Polda Lampung, penyidik di Kejaksaan Tinggi Lampung, hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Advokat, dan akademisi hukum. Untuk menentukan sampel dari populasi di atas digunakan metode stratified purposive sampling yang berarti bahwa dalam menentukan sampel disesuaikan

(17)

dengan tujuan yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti/dibahas. Sesuai dengan metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut di atas maka sampel dalam membahas penelitian ini adalah:

1. Penuntut Umum KPK R.I. 1 orang

2. Penyidik Kepolisian Polda Lampung 1 orang

3. Penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung 1 orang

4. Hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang 1 orang

5. Advokat/Penasehat Hukum 1 orang

6. Teoritisi/Akademisi hukum 2 orang

---+

Jumlah 7 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Dalam pengumpulan data peneliti mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan dengan serangkaian kegiatan dokumenter dengan cara membaca, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan cara melakukan studi lapangan di kantor KPK R.I. di Jakarta, Kepolisian Polda Lampung, Kejaksaan Tinggi Lampung, Advokat dan Akademisi Hukum di Bandar Lampung serta Pengadilan Tipikor Tanjungkarang dengan menggunakan metode wawancara. Dalam metode wawancara materi-materi yang akan ditanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman, metode ini digunakan agar responden bebas memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk uraian-uraian.

Setelah data tersebut terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan cara:

1. Editing, dalam hal ini data yang masuk akan diperiksa kelengkapannya, kejelasannya, serta relevansi dengan penelitian.

2. Evaluating, yaitu memeriksa dan meneliti data untuk dapat diberikan penilaian apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan digunakan untuk penelitian.

E. Analisis Data

Setelah data-data tersebut berhasil diolah, maka selanjutnya adalah menganalisis data dengan tujuan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul penulis menggunakan

(18)

analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang berbentuk penjelasan-penjelasan, dari analisis tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil suatu kesimpulan terhadap permasalahan yang membahas secara umum yang didasarkan atas fakta- fakta yang bersifat khusus.

Pelaksanaan penelitian ini meliputi beberapa tahapan dengan output dan indikator keberhasilan yang dapat digambarkan dalam bagan alur dengan diagram fishbone yang menggambarkan apa yang dikerjakan dalam jangka waktu yang diusulkan sebagai berikut:

(19)

BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN A. Anggaran Biaya

I. Rekapitulasi Biaya

No Uraian Jumlah Presentase Presentase

Maksimum 1. Pengadaan alat dan bahan

penelitian

Rp. 9.100.000 19% 30%

2. Biaya perjalanan penelitian Rp. 10.000.000 20% 30%

3. Alat tulis kantor/bahan habis pakai

Rp. 5.0800.000 11% 20%

4. Laporan/diseminasi/publikasi Rp. 25.000.000 50% 50%

Jumlah Rp. 50.000.000 100% 100%

II. Rincian realisasi penggunaan dana No

Komponen Biaya Pelaksanaan

Sub Komponen

Belanja Satuan Keterangan Total

1

Pengadaan alat dan bahan

penelitian

Flashdisk 2 buah Penyimpanan file

terkait penelitian Rp. 100.000 Laptop merk

Acer 1 unit Keperluan penyusunan penelitian

Rp. 4.100.000 Printer merk

cannon 1 unit Keperluan pencetakan

penelitian Rp. 3.700.000 Kalkulator 2 buah

Pencetakan proposal dan laporan hasil

penelitian

Rp. 200.000 Barang

persediaan lain 10 unit Peralatan penunjang penelitian

Rp. 1.000.000

2 Perjalanan penelitian

FGD persiapan penelitian

Biaya rapat persiapan

penelitian Rp. 4.000.000 Transport 4 kali Biaya perjalan

pengumpulan data Rp. 1.000.000 Uang harian 4 kali Uang harian saat

pengambilan data Rp. 2.000.000 Uang harian

rapat dalam kantor

4 kali

Uang harian rapat koordinasi pengumpulan data

Rp. 1.500.000

Biaya konsumsi 4 kali

Biaya konsumsi koordinasi dan pengumpulan data

Rp. 1.500.000

3

Alat tulis kantor/bahan

habis pakai

Kertas A4 6 rim

Pencetakan proposal dan laporan hasil

penelitian

Rp. 500.000

Dokumen keeper 2 unit Tempat penyimpanan

dokumen Rp. 500.000

Map 20 buah Tempat dokumen Rp. 100.000

Pulpen 10 buah

Mencatat setiap keperluan dan agenda

penelitian

Rp. 100.000 Kertas Buffalo 30 Keperluan penjilidan Rp. 150.000

(20)

lembar

Tinta printer 6 botol Keperluan pencetakan Rp. 500.000

Mistar 1 buah Perlengkapan

penelitian Rp. 25.000

Lem 2 botol Perlengkapan

penelitian Rp. 25.000 Solasi besar 2 buah Keperluan penjilidan Rp. 50.000 Cutter 2 buah Keperluan penjilidan Rp. 50.000 Penjepit kertas 20 buah Perlengkapan

penelitian Rp. 50.000

CD 5 buah Perlengkapan

penelitian Rp. 50.000 Materai 6000 25 buah Keperluan laporan

keuangan Rp. 150.000

Staples+isi 2 buah Perlengkapan

penelitian Rp. 50.000 Card reader 1 buah Perlengkapan

penelitian Rp. 180.000

Bahan habis pakai lainnya

Pembelian bahan habis pakai untuk ATK,

fotocopy, surat menyurat, penyusunan

laporan, cetak, penjilidan laporan,

pulsa, internet,

Rp. 2.600.000

4 Laporan/Disemi nasi/Publikasi

Penyusunan laporan penggunaan

anggaran

2 orang

Petugas yang menyusun laporan penggunaan anggaran

Rp. 2.000.000

Peyusunan hasil penelitian dan

laporan hasil penelitian

1 orang

Petugas yang menyusun hasil penelitian dan laporan

hasil penelitian

Rp. 2.000.000

Biaya publikasi jurna nasional

terakreditasi

1 paket Biaya publikasi Rp. 20.000.000

Biaya seminar

hasil penelitian -

Penyusunan materi dan pelaksanaan

seminar

Rp. 1.000.000 Rekapitulasi Anggaran Biaya Rp. 50.000.000

B. Jadwal Penelitian

Bulan ke-

No Jenis Kegiatan 1 2 3 4 5 6

1 Persiapan Penelitian 2 Pengumpulan Data

3 Pengolahan dan Analisis Data 4 Penyusunan Laporan

5 Seminar Hasil penelitian 6 Penyerahan Laporan penelitian

(21)

Arsyad, Jawade Hafidz (2013), Korupsi dalam Perspektif HAN, Jakarta: Sinar Grafika, Depdikbud, (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta.

Eigen, Peter. Buku Panduan Transparency International Pengembangan Sistem Integritas Nasional, dikutip Saldi Isra, Ihwal Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, artikel dimuat dalam Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 42 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Januari 2013.

Husin, Kadri, (1998). "Diskresi dalam Penegakan Hukum Pidana di Indonesia", Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Unila.

Lopa, Baharudin (2001). Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas.

Mas, Marwan. Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Superbody Komisi Pemberantasan Korupsi, artikel, Jurnal Masalah-masalah Hukum Jilid 42 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Januari 2013.

Muladi (1995), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Nawawi Arief, Barda (2013). Reformulasi Ancaman Pidana Mati untuk Koruptor dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Artikel, Jurnal Masalah- masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Januari 2013.

---, (2002), Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Pt. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud (2012). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada.

Prodjohamidjojo, Martiman, (2001) Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi.

Bandung : Mandar Maju.

Sudarto (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.

Soekanto, Soerjono (1993). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:

Rajawali.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Tanjungkarang Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2017/ PT.TJK tanggal 16 Agustus 2017.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Bagan Organisasi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan adalah sebagaimana di maksud pada Pasal 28 tercantum dalam Lampiran IX dan merupakan bagian yang tidak

Overzeese Bank (Indover) dalam PT Saseka Gelora sebanyak 71.788 saham atau setara dengan 3,99% dari seluruh saham yang telah dikeluarkan oleh Saseka, dengan harga pembelian

Surat Keterangan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian gabungan (mix metode), yang dibagi dalam beberapa tahapan kegiatan, pertama, identifikasi

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia yaitu ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah yaitu kayu, ongkos produksi yang jauh lebih murah, dan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi PT Telkomsel Yogyakarta dan Solo untuk menentukan langkah-langkah dalam menghadapi berbagai masalah

Cangkang kelapa sawit disamping sebagai limbah dengan potensi yang cukup banyak juga memiliki nilai kalor yang cukup tinggi (> 5000 kalori/gram), sehingga berpotensi untuk