• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGETAHUAN KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN PECAH DESIMAL BERDASARKAN PAHAM KONSTRUKTIVISME PADA SISWA SD KELAS V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGETAHUAN KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN PECAH DESIMAL BERDASARKAN PAHAM KONSTRUKTIVISME PADA SISWA SD KELAS V"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENGETAHUAN KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN PECAH DESIMAL

BERDASARKAN PAHAM KONSTRUKTIVISME PADA SISWA SD KELAS V

SAMSIAR RIVAI

Abstrak: Permasalahan pada pembelajaran perkalian bilangan pecah desimal yang perlu dicari solusinya adalah: Bagaimana membelajarkan siswa sekolah dasar tentang perkalian bilangan pecah desimal berdasarkan pengetahuan konseptual dan prosedural kaitannya dengan paham konstruktivisme?. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran model pembelajaran perkalian bilangan pecah desimal berdasarkan pengetahuan konseptual dan prosedural kaitannya dengan paham konstruktivisme. Pembelajaran berdasarkan paham konstruktivisme berusaha untuk memerinci konsepsi dan persepsi siswa menurut kacamata siswa sendiri. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa mengajar bukan sebagai proses di mana gagasan guru diteruskan kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan yang sudah ada pada anak dan kemungkinan gagasan itu salah dan berakhir dengan gagasan yang benar setelah mengalami modifikasi. Untuk me-nerapkan paham konstruktivisme melalui tiga fase. 1) fase eksplorasi, 2) fase pengenalan konsep, dan 3) fase aplikasi konsep.

Kata-kata kunci: Pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, pembelajaran, perkalian bilangan pecah, konstruktivisme.

I. PENDAHULUAN

Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengatakan bahwa matematika sukar dan hasil belajarnya kurang memuaskan. Hasil penelitian Sudjadi (1989) menyatakan bahwa daya serap rata-rata siswa sekolah dasar untuk mata pelajaran matematika hanya sebesar 42%. Selain itu Resnick, et al (1989) melakukan penelitian pada siswa sekolah dasar kelas IV sampai VI menemukan bahwa kesalahan konsep dasar aritmetika terletak pada bilangan pecah yang tidak senama.

Masih dalam studi yang relevan Armanto (1996) dari hasil studinya memperoleh temuan antara lain kesalahan utama yang dilakukan pada operasi

(2)

2 pembagian dan perkalian, serta guru tidak memahami fase pengajaran matematika yakni konkret, semi konkret, abstrak sebagai suatu kesatuan. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan dan sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar dikelola guru di kelas.

Menurut pengamatan penulis, pembelajaran perkalian bilangan pecah decimal di kelas V dipelajari sebagai penggalan-penggalan informasi yang terpisah yang semestinya merupakan suatu bagian dari jaringan yang berhubungan dengan penggalan informasi yang lain. Dalam pembelajaran, guru kurang memperhatikan pembentukan hubungan-hubungan antara penggalan-penggalan informasi yang telah tersimpan di dalam memori atau antara suatu penggalan pengetahuan yang sudah ada dengan penggalan yang baru dipelajari. Selain itu prosedur-prosedur dalam melakukan perkalian bilangan pecah decimal tidak dipelajari dengan penuh makna. Hal ini memungkinkan siswa mendapatkan jawaban-jawaban, namun tidak memahami apa yang sedang mereka kerjakan.

Di sisi lain, pengajaran bilangan pecah decimal di sekolah dasar tidak langsung berdasarkan pada pengalaman siswa. Bahkan pengajaran bilangan pecah decimal diajarkan sebagai himpunan fakta dan strategi yang diciptakan oleh para pakar matematika. Akibatnya banyak siswa yang merasa bosan, benci dan takut terhadap pelajaran matematika. Menurut Byres (dalam Sutriyono, 1998), kaidah yang mementingkan siswa menyalin seluruhnya atau membuat ulangan tentang apa saja yang disampaikan guru tanpa melibatkan aktivitas refleksi dan pengabstrakan, sebenarnya tidak dapat membantu siswa mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, pembelajaran perkalian bilangan pecah decimal penting untuk dijarkan kepada anak SD kelas V karena memberi kesempatan kepada siswa agar mengemukakan semua gagasan dan konsep tentang suatu masalah. Atas dasar gagasan dan konsep dari siswa tersebut guru dapat mengembangkan skim yang dipunyai anak, namun hal ini belum dilakukan oleh para guru di sekolah dasar.

Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan pada pembelajaran perkalian bilangan pecah yang perlu dicari solusinya adalah: Bagaimana

(3)

3 membelajarkan siswa sekolah dasar tentang perkalian bilangan pecah decimal berdasarkan pengetahuan konseptual dan prosedural kaitannya dengan paham konstruktivime.

II. PEMBAHASAN

KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Dalam pendidikan matematika banyak digunakan aliran psikologi kognitif dari Piaget dan Vigotsky. Kedua ahli psikologi ini menekankan bahwa perubahan kognitif seseorang terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahamiin formasi-informasi baru (Johar, 2001:2).

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran psikologi kognitif yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, melainkan merupakan kontruksi kita sendiri (Suparno, 2997:18). Kontruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu adalah suatu proses pembentukan secara kontinu, selalu berkembang, dan terus berubah. Dengan kata lain, pengetahuan siswa yang sudah ada merupakan basis baginya untuk membangun pengetahuan berikutnya (Sutawidjaja, 2002:358).

Menurut Nickson (dalam Hudojo, 1998:6),pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis adalah dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/perinsip-perinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui internalisasi sehingga konsep/perinsip tersebut terbangun kembali. Kegiatan yang penting dalam pembelajaran adalah memberikan interpretasi melalui skemata yang dimiliki siswa. Siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruk sendiri pengetahuannya, sehingga guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator (Suparno, 1997:65).

Pandangan konstruktisme dalam pembelajaran matematika menurut Hudojo (1998:7) mempunyai cirri-ciri sebagai berikut (1) siswa terlibat aktif dalam belajar, artinta siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, sehingga siswa belajar bagaimana belajar, (2) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu skemata yang dimiliki siswa agar terjadi

(4)

4 pemahaman terhadap materi secara kompleks, dan (3) pembelajaran berorientasi kepada investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. Agar tercapai pembelajaran matematika sesuai dengan cirri-ciri yang dikemukakan oleh Hudojo tersebut maka perlu diupayakan lingkungan belajar yang konstruktivis.

Sebagai implikasi dari cirri-ciri pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme, maka Knuth dan Cunningham (Wilson, 1996:11) mengungkapkan tujuh perinsip untuk mendesain lingkungan belajar yang konstruktivistik yaitu: (1) menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan, (2) menyedialan pengalaman belajar dalam berbagai aspek tidak semua mengerjakan tugas yang sama, (3) mengaitkan pembelajaran dengan realita dan konteks yang sesuai dengan melibatkan pengalaman konkret, (4) mendorong siswa untuk aktif dalam proses belajar, (5) mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman sosial, sehingga terjadi interaksi dan kerjasama dengan sesama teman dan lingkungan, (6) menggunakan berbagai model representasi (media pembelajaran) termasuk komunikasi secara lisan dan tulisan, sehingga pembelajaran lebih efektif, dan (7) melibatkan faktor emosional dan social dalam proses konstruksi pengetahuan sehingga menjadikan matematika menarik bagi siswa.

Pembelajaran konstruktif menurut Piaget (dalam Resnick, 1981) adalah menemukan, untuk membangun diri sendiri. Meskipun anak dibantu untuk menguasai konsep matemtika dengan alat bantu tertentu dan pertanyaan guru, namun hanya melalui usahanya sendiri saja mereka akan benar-benar memahami. Pembelajaran konstruktif berarti aktivitas oleh pebelajar. Respon aktif yang dibutuhkan pada pembelajaran didesain untuk kondisi yang aktivitas yang dibutuhkan menekankan pada upaya untuk mengembangkan pada pendekatan diri sendiri terhadap tugas dan soal tertentu. Tampak bahwa pembelajaran berdasarkan paham konstruktivisme berusaha untuk memerinci konsepsi dan persepsi murid menurut kacamata siswa sendiri.

(5)

5 Pembelajaran matematika dalam pandangan konstrukvistik mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) siswa terlibat aktif dalam belajar, (2) informasi dikaitkan dengan informasi lainsehingga menyatuh dalam skemata, dan pemahaman terhadap informasi menjadi komplek; (3) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan (Hudojo, 1998).

STRATEGI MENGAJAR

Paham konstruktivis menyatakan bahwa mengajar bukan sebagai proses gagasan guru diteruskan kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengkonstruksi gagasan yang sudah ada pada anak dan kemungkinan gagasan itu salah. Selanjutnya pembelajaran dikembangkan dari gagasan yang ada pada anak tersebut dan berakhir dengan gagasan yang benar setelah mengalami modivikasi.

Menurut Herron (dalam Dahar, 1988) salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivisme adalah penggunaan siklus belajar. Siklus belajar terdiri atas tiga fase, yaitu fase eksplorasi konsep, fase pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep. Pada fase eksplorasi konsep para siswa belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam suatu situasi baru. Mereka menyelidiki suatu fenomena dengan bimbingan minimal. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan gagasan mereka atau cara yang biasa mereka gunakan. Fase ini memberi kesempatan bagi para siswa mengemukakan gagasan mereka yang mungkin bertentangan dan dapat menimbulkan perdebatan dan suatu analisis mengenai mengapa gagasan mereka demikian. Pada fase pengenalan konsep, biasanya dimulai dengan memperkenalkan konsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki, dan dibahas sesuai dengan konteks seperti apa yang diamati pada fase eksplorasi konsep. Pada fase aplikasi menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menggunakan konsep yang telah diperkenalkan, dalam situasi baru.

Tampak bahwa untuk menerapkan paham konstruktivis melalui tiga fase. Pada fase ekeplorasi guru menggali dan mengamati gagasan yang telah ada pada

(6)

6 siswa tentang konsep yang akan dibahas dengan sedikit bimbingan. Gagasan ini mungkin salah, selanjutnya guru memperkenalkan konsep berdasarkan gagasan siswa yang mungkin salah dan berakhir dengan gagasan yang benar setelah mengalami modifikasi. Kemudian konsep ini diaplikasikan pada situasi yang baru.

PENGETAHUAN KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL

Menurut Hilbert (1986) pengetahuan konseptual dapat diartikan secara jelas sebagai pengetahuan yang kaya dalam hubungan-hubungan. Hal ini dapat dianggap sebagai suatu jaringan pengetahuan yang menghubungkan penggalan-penggalan informasi yang telah tersimpan di dalam memori atau antara suatu penggalan pengetahuan yang telah ada dengan yang baru dipelajari. Suatu informasi menjadi pengetahuan konseptual hanya jika informasi tersebut terintegrasi ke dalam suatu jaringan yang lebih luas yang sudah ada dalam benak anak sebelumnya. Pengetahuan konseptual mengacu kepada pengetahuan yang mendasari struktur matematika, dan merupakan keterhubungan atau keterkaitan gagasan yang menjelaskan dan makna pada prosedur matematika. Untuk memahami pengetahuan konseptual dapat dilakukan dengan menggunakan model konkret dan semikonkret.

Menurut Hilbert (1986) pengetahuan procedural dibentuk dari dua bagian yang berbeda yang bersusun dari representasi symbol tentang matematika dan algoritma-algoritma atau aturan-aturan untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika.

Para siswa tidak sepenuhnya terkompoten dalam matematika jika sudah satu jenis dari pengetahuan konseptual dan procedural kurang sempurna atau keduanya telah dicapai tetapi masih merupakan entitas-entitas yang terpisah. Jika prosedur-prosedur tidak dihubungkan, para siswa mungkin mempunyai perasaan intuitif yang bagus terhadap matematika, tetapi tidak memecahkan permasalahan, atu mereka mungkin menghasilkan jawaban-jawaban tetapi tidak memahami apa yang sedang mereka kerjakan. Mengkaitkan hubungan antara pengetahuan konseptual dan system simol-simbol. Terlihat bahwa jika siswa belajar dengan menghubungkan pengetahuan konseptual dan procedural siswa akan memahami makna setiap langkah

(7)

7 dan memungkinkan meminimalkan kesukaran siswa dalam menentukan hasil bagi bilangan pecah decimal.

Menurut Kennedy dan Tipps (1998), dalam mengalikan pecahan terdapat tiga situasi yang mungkin digunakan dalam mengerjakan perkalian pecahan, yaitu: 1. Mengalikan sebuah pecahan dengan bilangan cacah.

2. Mengalikan sebuah bilangan cacah dengan pecahan. 3. Mengalikan pecahan dengan pecahan

ALTERNATIF MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVIS

Kegiatan belajar Mengajar : A. Fase eksplorasi

Guru mengamati apa yang ada dibenak siswa tentang perkalian pecahan dengan pecahan melalui kegiatan yang dilakukan siswa dalam memanipulasi kartu persegi untuk perkalian misalnya, 0,7 x 0,3 = . . . Pada kegiatan ini yang ada dibenak siswa tentang perkalian tersebut, misalnya, mengelompokkan kartu persegi bilangan pecahan desimal 0,7 tersebut dengan kartu persegi bilangan pecahan desimal 0,3.

B. Fase Pengenalan Konsep Kegiatan I

Pada fase ini siswa memanipulasi kartu persegi bilangan pecahan desimal untuk menemukan 0,7 x 0,3. Pertama mereka mengaitkan pengetahuan yang mereka telah miliki yakni menyajikan kartu persegi bilangan pecahan desimal yang menunjukkan bilangan pecahan desimal 0,7. Kedua mereka mengaitkan dengan pengetahuan mereka tentang perkalian yakni mengarsir kartu persegi yang menunjukkan bilangan pecahan desimal 0,7 dan kartu persegi yang menunjukkan bilangan pecah desimal 0,3 yang sudah diarsir. Kedua kartu desimal yang sudah diarsir ini digabungkan sehingga menyatakan bahwa yang

(8)

8 arsirannya dua kalil hasilnya 21 bagian dari bandingan 100 bagian, yang digambarkan sebagai berikut.

Langkah 1: Menunjukkan 0,7 sebagai kartu persegi bilangan pecahan desimal dengan menggunakan pelastik transparan untuk menunjukkan sebuah kartu persegi yang dipisahkan secara menjadi sepuluh bagian yang sama. Arsirlah 0,7 dari kartu persegi tersebut.

Arsirlah 0,3 dari kartu persegi kedua yang telah dipisahkan secara horizontal menjadi 10 bagian yang sama seperti gambar berikut.

Langkah 2: Menuunjukkan kolom jawabannya yang digambarkan oleh 21 bagian yang diarsir 2 kali. Setiap bagian menunjukkan 100 bagian dimana keseluruhan unit dipisahkan sehingga hasilnya adalah 0,21

(9)

9 Pada kegiatan ini tampak adanya keterkaitan pengetahuan yang dimilki siswa dengan pengetahuan baru, maka pengetahuan yang diperoleh dengan cara seperti ini adalah pengetahuan konseptual.

Kegiatan tersebut dapat pula dilakukan dengan mengalikan gabungan bilangan cacah dengan bilangan pecah desimal dan bilangan pecah desimal, misalnya 1,2 x 0,4. Pertama mereka mengaitkan pengetahuan yang mereka telah miliki yakni menyajikan kartu persegi bilangan pecahan desimal yang menunjukkan bilangan pecahan desimal 1,2 atau 1 satuan dan 2 persepuluhan menjadi 12 persepuluhan. Kedua mereka mengaitkan dengan pengetahuan mereka tentang perkalian yakni mengarsir kartu persegi yang menunjukkan bilangan pecahan desimal 12 persepuluhan dan kartu persegi yang menunjukkan bilangan pecah desimal 4 persepuluhan. Kedua kartu desimal yang sudah diarsir ini digabungkan sehingga menyatakan bahwa yang tidak terarsir itulah hasilnya yaitu 48 perseratus atau 48 bagian dari 100 kolom, yang digambarkan sebagai berikut.

Langkah 1: Menunjukkan arsiran 1,2 sebagai sebuah kartu persegi bilangan cacah dan sebuah kartu persegi bilangan pecah desimal dengan menggunakan pelastik transparan untuk menunjukkan dua kartu persegi yang dipisahkan sebuah kartu persegi yang menunjukkan 1 satuan dan sebuah kartu persegi lagi 2 persepuluhan, secara vertikal menjadi sepuluh bagian yang sama sehingga hasilnya menjadi 12 persepuluh yang digambarkan sebagai berikut.

(10)

10 10/10 atau 1 satuan 0,2(dua persepuluhan)

1

- Arsirlah 0,4 dari kartu persegi kedua yang telah dipisahkan secara horizontal menjadi 10 bagian yang sama seperti gambar beeikut.

Langkah 2: Menuunjukkan kolom jawaban hasil perkalian dari 1,2 dan 0,4 hasilnya adalah 0,48 yang digambarkan oleh bagian yang tidak diarsir 48 perseratus. Setiap bagian menunjukkan perseratus bagian dimana keseluruhan unit dipisahkan sehingga hasilnya adalah 0,48

(11)

11

Pada kegiatan ini tampak adanya keterkaitan pengetahuan yang dimilki siswa dengan pengetahuan baru, maka pengetahuan yang diperoleh dengan cara seperti ini adalah pengetahuan konseptual.

Kegiatan 2.

1. Pecahan biasa ke pecahan desimal

7 3 21 2 4 12 4 48

a. --- x --- = --- = 0,21 b. 1--- x --- = --- x --- = --- = 0,48 10 10 100 10 10 10 10 100 2. Pecahan desimal dengan pecahan desimal

a. 0,7 x 0,3 = 0,21 b. 1,2 x 0,4 = 0,48 0,7 1,2

0,3 0,4

021 48

00 00

021 untuk menentukan desimalnya 048 untuk menentukan desimalnya dihitung dua angka dari kiri dihitung dua angka dari kiri

simbol dan aturan-aturan, maka penyelesaian soal seperti itu dikatakan dengan pengetahuan prosedural.

C. Fase Aplikasi Konsep

(12)

12 Siswa diberi kesempatan untuk menerapkan pengalaman belajarnya pada soal yang lain. Misalnya 2,5 x 2,2 Siswa menerapkan konsep perkalian bilangan pecah yang didapat pada fase konsep untuk menemukan jawaban soal yang diberikan. Awalnya siswa memanipulasi kartu pecahan desimal untuk menemukan hasil perkalian, selanjutnya dengan cara abstrak (bentuk bersusun). Untuk memperoleh bentuk perkalian bersusun siswa mengaitkan pengetahuan konseptual dengan pengetahuan prosedural, dapat diilustrasikan sebagai berikut.

a. Gambar Kartu Pecahan Desimal untuk menentukan 2,5

0.5

b. Gambar kartu pecahan desimal untuk menentukan 2,2

0,2 c. Hasil perkalian 2,5 x 2,2 = 4,10

(13)

13

Jadi hasilnya terdapat 5 kelompok seratusan yang terdiri dari empat kelompok seatusan dan satu kelompok sepuluh perseratusasn Kegiatan sebagai berikut: 2,5 x 2,2 = 4 10

0,10

III. PENUTUP

Pembelajaran perkalian bilangan pecah, berdasar paham konstruktivis dilakukan melalui3 fase yakni fase eksplorasi, fase pengenalan konsep dan fase aplikasi konsep. Pada fase eksplorasi siswa mengadakan aksi dan reaksi degan manipulasi alat peraga dalam upaya menemukan hasil kali, dimana guru memperhatikannya untuk melihat apa yang ada pada benak siswa tentang perklian bilangan pecah. Selanjutnya fase penanaman konsep siswa dibimbing guru untuk menemukan hasil kali pecahan decimal, dengan memperhatikan gagasan siswa yang mungkin salah dan akhirnya menjadi gagasan yang benar. Siswa mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru dikatakan pengetahuan konseptual, dalam menyelesaikan soal siswa mengikuti prosedur tertentu dan menggunakan symbol-simbol. Memperoleh pengetahuan seperti dikatakan pengetahuan procedural. Selain itu siswa juga memahami apa yang mereka kerjakan pada setiap langkah berarti siswa mengkaitkan pengetahuan konseptual dan

(14)

14 prosedural.Akhirnya pada fase aplikasi siswa diberi kesempatan untuk mencoba konsep yang telah didapatnya ke dalam situasi baru.

Pembelajaran perkalian pecahan desimal dengan mengembangkan pengetahuan konseptual dan prosedural anak tidak mengalami kesukaran dalam belajar matematika dan hsilnya optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anarto,Dian. 1996. Pneggunaan Validasisejawat untuk meningkatkan Konsep Berhitung SD Di Sumatra utara. Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti

Dahar, Wilis Retno. 1988. Teori belajar mengajar. Jakarta Depdikbud Dirjen Dikti Hibert, dan Lefeire,P. 1986.Conseptual and Procedural Knowledge: An Introductory

Analysis. Dalam Hiebert, J (ed) Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of Mathematics (hal 149-224). New Jersey LawrenceErlbarn

Associates.

Resnick, L,B. 1989. Conseptual Basic of Arithmetics Errors The Case of Desimal Fraction. Joulrnal for Research in Mathematics Education Vol.20 no 1 ---,1981. The Paychology of Mathematics for Instruktion. New Yersey: LAE Sutriyono, 1998. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains dan Metematika makala

Seminar. Semarang: IKIP Semarang

Sudjadi, R. 1989 Memahami Kenyataan Pengajar Matematika Sekolah Dasar Dewasa Ini dan Menatap Hari Depan. Surabayan: IKIP Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

Based on the results of analysis and discussion, it can be concluded as follows: Social capital owned by employees have a significant positive influence on their performance, Social

2 Komponen penyusun ekosistem, satuan- satuan kehidupan dalam ekosistem, dan macam- macam ekosistem Saling ketergantun gan antar komponen penyusun ekosistem Pengetah

Dalam hal ini meskipun ada syarat yang tidak terpenuhi yaitu muhalahu adalah ahli waris tetapi diperbolehkan oleh hukum Islam karena disepakati oleh ahli waris

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 14,3% perempuan berusia 46- 50 tahun di Dukuh Klurak Baru, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta pada bulan 31 Juli – 4 Agustus

Analisis Daya Terima Konsumen Pada Inovasi Produk Cheese Cake Menggunakan Beras

TERTULIS DARI JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS DIPONEGORO UNTUK KEPERLUAN DILUAR TUGAS INI TANPA PERSETUJUAN BAIK SEBAGIAN MAUPUN SELURUHNYA DALAM BENTUK APAPUN DOKUMEN INI TIDAK

White Box Testing adalah salah satu cara untuk menguji suatu aplikasi atau software dengan cara melihat modul untuk dapat meneliti dan menganalisa kode dari program

mengetahui bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” karya Christine Refina....