• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETIDAKADILAN GENDER DALAM CERPEN PEREMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KETIDAKADILAN GENDER DALAM CERPEN PEREMP"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM CERPEN

“PEREMPUAN DENGAN BANYAK NAMA”

KARYA CHRISTINE REFINA

Oleh

Agus Nasihin

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)

KETIDAKADILAN GENDER

DALAM CERPEN

“PEREMPUAN DENGAN BANYAK NAMA”

KARYA CHRISTINE REFINA

Oleh

Agus Nasihin

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan sastra Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang,

banyak bermunculan karya yang bertemakan masalah perempuan. Permasalahan itu

terjadi karena perempuan cenderung dianggap lemah oleh laki-laki. Banyaknya karya

sastra yang mengangkat masalah gender sejalan dengan banyaknya permasalahan

yang dihadapi perempuan. Salah satu cara untuk memperjuangkan hak perempuan

agar sejajar dengan laki-laki adalah melalui penulisan karya sastra.

Sastra menjadi pilihan untuk mengekspresikan perasaan dan gagasan karena

sastra memberikan ruang yang lebih leluasa untuk mengungkapkan sesuatu, bahkan

segala hal yang sulit diungkapkan dengan bahasa sehari-hari. Hal itu dapat terealisasi

karena karya sastra dibentuk dalam kerangka fiksionalitas dan metafora. Para penulis

perempuan memanfaatkan fiksionalitas dan metafora dalam karya sastra untuk

mengungkapkan persoalan-persoalan gender. Hal ini sejalan dengan pendapat

Budianta (1988:8) yang mengatakan bahwa sastra memainkan peranan penting

dalam pembentukan gagasan-gagasan tentang gender. Sastra sebagai bagian dari

"praktik-praktik diskursif" dalam masyarakat seperti yang dilakukan oleh media

masa, ikut menyusun, menggugat, atau mengubah ideologi, dalam hal ini yang

(3)

Menurut Sugihastuti (2003: 31), analisis gender harus melibatkan kedua jenis

seks manusia dalam mengungkapkan kehidupan tokoh perempuan. Dengan

melibatkan dua jenis seks manusia dapat dilakukan perbandingan peran,status, dan

posisi seseorang dalam suatu masyarakat tertentu. Hal ini dibantu dengan jalan

mengajukan pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, dan mengapa.

Sugihastuti (2000: 47) menambahkan bahwa penelitian tentang wanita dalam

karya sastra merupakan penelitian tentang kehidupan wanita dan berbagai

permasalahannya. Penelitian tentang wanita di antaranya yaitu bagaimana pandangan

pria terhadap wanita dan sebaliknya. Penelitian tentang kreativitas yang terikat

dengan potensi di tengah-tengah tradisi kekuatan pria dan penelitian yang berkaitan

dengan penggunaan teori dalam penderitaan wanita. Kajian-kajian tentang

ketidakadilan terhadap kaum perempuan ini dikenal dengan feminisme.

Feminisme dalam sastra berhubungan dengan studi sastra yang mengarahkan

fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000: 37). Kritik sastra feminis

menunjukkan bahwa pembaca wanita membaca persepsi dan harapan ke dalam

pengalaman sastranya. Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah

kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis

kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia

(Showalter dalam Sugihastuti. 2002: 141).

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan

kultural dikenal sebagai perbedaan gender merupakan suatu ideologi yang melekat

pada masyarakat. Perbedaan pandangan gender ini menimbulkan perbedaan fungsi,

peran, dan tanggung jawab berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan gender yang terjadi

melalui proses yang sangat panjang dan didukung institusi sosial yang ada dalam

(4)

karena itu, dalam relasi gender ada pihak yang dirugikan, terutama gender

perempuan.

Persoalan gender tak akan muncul apabila perbedaan-perbedaan gender

berjalan selaras sehingga antara gender laki-laki dan perempuan dapat saling

melengkapi dan menghargai. Persoalan muncul ketika ketimpangan-ketimpangan

yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan.

Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan

hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut

dirinya sendiri maupun masyarakat.

Persoalan-persoalan ketimpangan gender ini banyak diungkapkan oleh para

pengarang, terutama para pengarang perempuan, baik dalam bentuk novel, puisi,

maupun cerpen. Dalam makalah ini akan dibahas persoalan ketidakadilan gender dalam cerita pendek yang berjudul “Perempuan dengan Banyak Nama” karya

Christine Refina. Cerpen ini dimuat dalam Jurnal Perempuan No 38 November

2004. Jurnal ini dikenal sebagai jurnal yang memperjuangkan masalah kesetaraan

gender dan kepentingan-kepentingan kaum perempuan. Selain itu, dari segi isi

cerpen ini menunjukkan tema yang kuat berkaitan dengan ketidakadilan gender.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk

(5)

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan

merumuskan tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam

cerpen “Perempuandengan Banyak Nama” karya Christine Refina

1.4 Sumber

Objek penelitian ini adalah cerita pendek yang berjudul “Perempuan dengan

Banyak Nama” karya Christine Refina. Cerpen ini dimuat dalam Jurnal Perempuan

No 38 November 2004. Sedangkan teori yang menjadi acuan dalam menganalisisnya

bersumber dari teori struktural model Todorov dan model Greimas, serta teori kritik

feminisme.

1.5 Metode

Dalam menganalisis cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” karya

Christine Refina ini penulis melakukan studi pustaka dengan mencari dan

mengumpulkan data yang mendukung objek analisis. Dalam melakukan analisis

penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Langkah pertama adalah

mendeskripsikan dan menganalisis cerpen berdasarkan strukturnya, yaitu

menganalisisnya dengan menggunakan teori struktural naratif model Todorov dan

model Greimas. Langkah kedua, berdasarkan hasil analisis struktur, penulis

mendeskripsikan dan menganalisis aspek-aspek yang berkaitan dengan ketidakadilan

(6)

2. LANDASAN TEORI 2.1 Teori Struktural Naratif

Analisis awal terhadap cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” karya

Christine Refina dilakukan dengan menggunakan pendekatan objektif. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa pembaca tidak dapat melepaskan dirinya dari

struktur karya sastra itu sendiri dalam usahanya untuk memberikan penilian terhadap

karya sastra tersebut. Menurut Wellek dan Warren (1989:280) dunia atau kosmos

seorang novelis -- pola atau struktur atau organisme yang meliputi tokoh, plot, alur,

latar, pandangan hidup, "nada" -- adalah unsur yang perlu kita pelajari jika kita ingin

menilai secara etika atau sosial karya seorang sastrawan. Sejalan dengan hal di atas,

Teeuw (1991:61) menjelaskan bahwa analisis struktural merupakan prioritas pertama

sebelum yang lain-lain, tanpa hal itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat

digali dari karya itu sendiri tidak akan tertangkap. Oleh karena itu, penelitian ini

berada dalam kerangka pendekatan pragmatik yang didahului oleh pendekatan

objektif, yaitu dengan menggunakan teori struktural naratif Todorov dan A.J.

Greimas. Teori struktural naratif ini dipilih sebagai teori analisis cerpen karena

sejalan dengan analisis oposisi biner, yaitu pertentangan gender antara laki-laki dan

perempuan.

Menurut Todorov (1985:11) untuk meneliti karya sastra pertama-tama harus

membagi jenis hubungan antara unsur-unsur yang terdapat di dalam teks sastra ke

dalam dua kelompok besar, yaitu hubungan in praesentia dan hubungan in absentia.

Analisis aspek sintagmatik ini mula-mula diarahkan pada struktur cerita dalam

bentuk satuan isi cerita (sekuen) kemudian dilanjutkan dengan analaisis fungsi utama

(7)

Analisis sintagmatik merupakan penelaahaan terhadap struktur cerita.

Satuan-satuan yang dianalisis berdasarkan urutan. Jadi, pertama-tama harus ditentukan

satuan-satuan cerita dan fungsinya. Menurut Barthes (Zaimar, 1991) yang menjadi

kriteria satuan ialah makna. Yang membentuk satuan adalah ciri fungsional dari

bagian-bagian tertentu di dalam cerita. Oleh karena itu, kata "fungsi" diberikan pada

satuan-satuan utamannya. Setiap bagian cerita yang muncul sebagai suatu korelasi

ditetapkan sebagai satuan. Inti setiap fungsi adalah unsur yang dapat menggerakkan

cerita. Di dalam teks rangkaian semantis dapat dibagi ke dalam beberapa sekuen.

Setiap bagian yang ujaran yang membentuk suatu satuan makna membentuk suatu

sekuen.

Setelah mendapatkan satuan isi cerita, unsur-unsur terpisah tersebut harus

dihubungkan untuk mendapatkan fungsinya. Dalam mencari fungsi utama timbul

masalah struktur cerita, apakah fungsi utama itu berdasarkan urutan kronologis

(waktu) atau urutan logis (sebab akibat).

Urutan kronologis dapat dilihat dari peristiwa yang dialami tokoh

ditampilkan menurut urutan waktu terjadinya. Peristiwa yang ditampilkan dipilih

dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun cerita (Sudjiman,

1988:29). Alur dengan susunan peristiwa kronologis disebut juga alur linear. Selain

susunan kronologis, peristiwa-peristiwa juga dapat tersusun berdasarkan hubungan

sebab akibatnya. Forster (1974:60) menggunakan istilah story untuk hubungan

peristiwa secara kronologis, sedangkan untuk hubungan peristiwa secara logis

disebut plot. Hubungan sebab akibat inilah yang sangat ditekankan oleh Forster. Hal

ini bisa dipahami karena melalui analisis kronologi peristiwa saja kita tidak akan

mendapatkatkan inti cerita (Zaimar, 1991:39). Adakalanya di dalam novel hubungan

(8)

urutan waktu yang meloncat-loncat, mungkin dalam gerakan atau ucapan tertentu

dari salah seorang tokoh (Sudjiman, 1988:30).

Pandangan stereotip bahwa laki-laki berada di wilayah kiri (aktif, beradab,

rasional, cerdas) sedangkan perempuan di wilayah kanan (pasif, dekat dengan alam,

emosional, kurang cerdas) masih sering kita temukan. Stereotip terhadap perempuan

seperti lebih mudah dijelaskan dengan bertitik tolak pada wacana oposisi biner yang

menempatkan perempuan pada posisi yang negatif dan tak berdaya. Hélén Cixous

menulis hierarki oposisi biner yang selalu menempatkan dua hal dalam relasi yang

superior-inferior seperti “activity/passivity, culture/nature, head/heart,

intelligible/palpable, man/woman” (Prabasmoro, 186:2006)

Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori

yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu

dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai

pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A

tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan

kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori

B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan tidak ada kategori A.

Dalam sistem biner, hanya ada dua tanda atau kata yang hanya mempunyai

arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan

oleh ketidakberadaan yang lain. Misalnya, dalam sistem biner laki-laki dan

perempuan, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang

disebut laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia

bukan lautan, begitu seterusnya.

Secara struktur oposisi biner berhubungan satu dengan yang lain, dan bisa

(9)

Maskulinitas Feminitas

positif negatif

sosial personal

terang gelap

publik privat

kultural natural

Maskulinitas dan feminitas adalah dua kategori yang saling beroposisi, dan antara

keduanya bisa disejajarkan dengan kategori-kategori yang berjajar di bawahnya. Jadi,

dalam sistem oposisi biner itu, maskulinitas dan feminitas sejajar dengan positif dan

negatif sejajar dengan terang dan gelap sejajar dengan kultural dan natural, dan

seterusnya.

Oposisi biner menimbulkan posisi-posisi ambigu yang tidak bisa dimasukkan

dalam kategori A atau kategori B, yang bisa disebut dengan kategori ambigu atau

kategori skandal (Strauss lebih senang menyebutnya dengan anomalous category).

Kategori skandal muncul dan mengganggu sistem oposisi biner. Antara anak-anak

dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada pantai. Antara

laki-laki dan perempuan ada gay/lesbian/banci. Pantai, remaja, atau

gay/lesbian/banci adalah kategori ambigu/skandal.

Greimas adalah seorang peneliti sastra dari Perancis penganut teori struktural

(Teeuw, 1984:293). Ia mengembangkan teori strukturalisme menjadi strukturalisme

naratif. Greimas menyusun tiga pasang oposisi (three pair of opposed) yang meliputi

enam aktan (peran/pelaku), yaitu

1) subject versus object (subjek – objek)

2) sender versus receiver (pengirim – penerima)

3) helper versus opponent (pembantu – penentang)

(10)

 Subjek atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh

pengirim untuk mendapatkan objek.

 Objek adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu oleh

pahlawan atau ide pengirim.

 Sender (pengirim) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide

dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Pengirimlah yang menimbulkan

karsa atau keinginan bagi subjek atau pahlawan untuk mencapai objek.

 Receiver (penerima) adalah sesuatu yang menerima objek hasil buruan

subjek.

 Helper (penolong) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau

mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek.

 Opposant (penentang) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha

pahlawan dalam mencapai objek.

2.2 Kritik Sastra Feminis

Definisi feminisme selalu berubah disebabkan oleh pandangan terhadap

feminisme didasarkan atas kenyataan sejarah dan budaya, serta tingkat kesadaran,

persepsi dan perilaku. Walaupun demikian, definisi luas feminisme saat ini adalah

sebuah kepedulian akan tekanan dan eksploitasi terhadap perempuan dalam

lingkungan, pekerjaan dan sekaligus keluarga, serta penyadaran aksi tindakan

laki-laki dan perempuan untuk mengubah situasi ini.

Menurut Yoder seperti yang dikutip oleh Sugihastuti dan Suharto (2002: 5)

kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang

perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra

feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan pandangan khusus, kesadaran

(11)

kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan pada diri pengarang,

pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi

karang-mengarang. Kemudian, Sugihastuti dan Suharto (2002: 5-6) menjelaskan bahwa

kritik sastra feminis adalah alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa

seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai

perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.

Kritik karya sastra dengan perspektif feminisme dapat dikatakan relatif baru

(Djajanegara, 2000: i) sampai saat ini belum banyak kritikus sastra dan mahasiswa

sastra yang menggunakan perspektif feminisme dalam melakukan kritik terhadap

karya sastra. Karya sastra perempuan di Amerika pun pada awalnya dianggap tidak

ada artinya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan

membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada

karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan

membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki.

Munculnya kritik feminis pertama di Amerika didasari atas kesadaran bahwa

permasalahan tokoh wanita dalam sastra sulit dipahami oleh laki-laki. Citra wanita

dalam teks sastra tidak akan memberikan makna maksimal kalau pengritiknya

adalah seorang laki-laki. Demikian juga sebaliknya, pengarang pria belum mampu

menampilkan tokoh wanita secara cermat. Pengarang laki-laki sulit menjiwai

karakter tokoh wanita, dibandingkan pengarang wanita sehingga citra wanita dalam

karya sastra banyak yang belum terungkap. Perasaan wanita yang sensitif terlalu sulit

dilukiskan oleh pengarang laki-laki.

Karya sastra dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika

mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya

(12)

tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis

perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses

penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan

sosial. Penulis laki-laki dapat saja menulis teks yang berperspektif feminis dan

menciptakan subjek perempuan sebagai subjek yang setara.

Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya

penulis-penulis wanita pada masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam

karya-karya penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang

disubordinasikan. Kedua hasrat di atas menimbulkan empat landasan yang bisa

digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme (Djajanegara, 2000:

28-39). Pertama, kritik ideologis yang menyoroti persoalan stereotip perempuan;

meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebabnya. Kedua, ginokritik

yang mencari jawaban apakah penulis perempuan merupakan kelompok khusus

sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki; penelitian tentang

sejarah karya sastra wanita, struktur karya sastra wanita, kreativitas dan dan profesi

penulis wanita. Ketiga, kritik feminis sosialis dan Marxis yang berpandangan bahwa

kaum wanita merupakan kelas masyarakat tertindas yang harus melepaskan diri dari

belenggu rumah tangga; wanita disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki

modal tenaga, tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa

menghasilkan uang. Keempat, kritik sastra feminis-psikoanalitik yang diambil dari

Sigmund Freud; perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.

Di dalam penelitian ini digunakan kritik sastra feminis ideologis karena kritik

sastra feminis ini melibatkan wanita dalam kisahnya. Kritik sastra feminis dalam

penelitian ini digunakan untuk membahas tentang wanita berdasarkan stereotype

(13)

dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris

diabaikan dalam kritik sastra.

Pada dasarnya ragam kritik sastra feminis ini merupakan cara menafsirkan

suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang

paling rumit sekali pun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca

wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka (Djajanegara, 2000: 28).

Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat

perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan laki-laki. Perjuangan serta

usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu

caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki

laki-laki. Berkaitan dengan itu, muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan

persamaan hak. Cara ini adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan

domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Djajanegara, 2000: 4).

Langkah-langkah untuk mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan

pendekatan feminisme, antara lain.

a. mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh utama, dan mencari kedudukan

tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat;

b. meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan

dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati;

c. mengamati sikap penulis karya yang sedang kita kaji (Djajanegara, 2000:53).

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat digunakan untuk

melakukan analisis:

(14)

sebagai subjek dan lawan bicaranya sebagai anda-kamu. Hal ini menandai

hubungan suatu subjek dengan dunia.

2. Apakah subjek berbicara? Subjek yang berbicara adalah subjek yang sudah

berhasil melakukan pendobrakan dominasi laki-laki dan memperoleh kesadaran

atas tekanan atau dominasi yang dihadapinya.

3. Bentuk kalimat apa yang dipergunakan subjek? Subjek baru dikatakan mampu

membentuk identitas diri dan menamai realitas yang selama ini didominasi oleh

laki-laki jika dia menggunakan kalimat-kalimat yang aktif. Hal ini disebabkan

karena perempuan dan realitasnya dihilangkan dengan kalimat pasif yang selama

ini dianggap lebih objektif dan lebih rasional.

4. Bagaimana pilihan kata dalam teks? Pilihan kata dapat bertindak sebagai

penanda posisi politis penulisnya. Misalnya, kata 'perempuan' lebih bermakna

baik daripada kata 'wanita' karena memang keduanya pernah mempunyai makna

yang baik dan makna yang buruk. Dalam bahasa Inggris istilah chairman harus

diganti dengan istilah chairperson karena istilah chairman akan segera

meminggirkan perempuan yang berkemampuan untuk menjadi pemimpin.

5. Apakah teks mempertanyakan relasi gender yang timpang? Suatu teks dapat saja

tidak terlihat untuk memihak perempuan atau laki-laki. Akan tetapi, dengan

membacanya lebih teliti akan ditemukan ada atau tidaknya resistensi terhadap

dominasi tatanan wacana laki-laki.

6. Bagaimana seksualitas perempuan ditampilkan? Seksualitas perempuan dalam

karya penulis laki-laki sering ditampilkan sebagai korban atau objek. Misalnya,

masalah keperawanan yang sudah diperspektifkan sebagai sesuatu yang agung

dan suci; masalah posisi perempuan sebagai penerima pasif kegiatan seks

(15)

3. PEMBAHASAN CERPEN “PEREMPUAN DENGAN BANYAK

NAMA” KARYA CHRISTINE REFINA

3.1 Analisis Cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” 3.1.1 Analisis Urutan Tekstual dan Fungsi Utama

1) Analisis Urutan Tekstual

1. Penjelasan tentang tokoh aku, saudaranya, bapak dan ibu tokoh aku

1.1 Penjelasan tentang nama, arti nama, dan umur tokoh aku

1.2 Penjelasan tentang saudara perempuan dan saudara laki-laki tokoh aku

1.3 Deskripsi tentang fisik dan sifat bapak tokoh aku

1.4 Penjelasan dan deskripsi tentang sifat ibu tokoh aku

2. Kegembiraan ayah tokoh aku karena lahir anak laki-laki

2.1 Bergantinya nama panggilan bapak dan ibu tokoh aku berdasarkan nama

anak laki-lakinya.

3. Pembagian tugas rumah tangga yang dibuat ibu tokoh aku hanya dikenakan

kepada anak perempuan.

4. Adik laki-laki tokoh aku yang disekolahkan di sekolah terkenal berbeda

dengan dirinya dan adik perempuannya.

5. Pernikahan tokoh aku

5.1 Perubahan nama marga tokoh aku karena menikah.

5.2 Perasaan tokoh aku yang dibeli oleh suaminya dengan mahar uang puluhan

juta rupiah.

6. Suami tokoh aku melarangnya untuk bekerja di luar rumah .

7. Munculnya isu kemandulan tokoh aku.

(16)

8.1 Kegelisahan tokoh aku yang diperlakukan berlebihan oleh suami dan

mertuanya karena menduga akan mendapat anak laki-laki.

9. Proses lahirnya anak tokoh aku yang ternyata perempuan.

9.1. Bahagianya tokoh aku karena mendapatkan anak walaupun perempuan,

sedangkan suami dan mertuanya kecewa.

10 Pemaksaan tokoh aku untuk terus melahirkan sampai mendapatkan anak

laki-laki.

10.1 Kehamilan anak yang ketujuh tokoh aku adalah laki-laki dan nama tokoh aku

pun berubah didasarkan pada nama anak laki-lakinya.

Dari 10 urutan peristiwa beserta sub-subperistiwanya hampir seluruh

peristiwa berkaitan dengan masalah feminisme. Peristiwa-peristiwa yang

mengangkat masalah feminisme sebagai berikut.

(1) Bapak tokoh aku sering memarahi istrinya (ibu tokoh aku) sebelum lahir

anak laki-laki; menganggap istrinya tidak berguna (mandul) karena tidak

mampu memberi keturunan anak laki-laki (peristiwa 1.3)

(2) Penyambutan terhadap kelahiran anak laki-laki sangat berbeda dengan

penyambutan anak perempuan, bahkan bapak tokoh aku mengharuskan

anak-anak perempuannya untuk memanggil abang kepada adik laki-lakinya

(peristiwa 2).

(3) Nama panggilan seorang perempuan selalu dikaitkan dengan nama suami

atau anak laki-laki, tidak pernah dinisbahkan kepada anak perempuan

(peristiwa 2.1).

(4) Anak laki-laki tidak pernah diberi tugas untuk mengerjakan pekerjaan rumah,

(17)

(5) Anak laki-laki disekolahkan di sekolah yang lebih baik dari perempuan

(peristiwa 4).

(6) Perubahan nama marga perempuan karena mengikuti marga suaminya

(peristiwa 5.1).

(7) Perempuan dapat dibeli dengan mahar yang tinggi (peristiwa 5.2).

(8) Perempuan (istri) harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah

tangga), tidak boleh bekerja di luar rumah (peristiwa 6).

(9) Kehadiran anak laki-laki dalam keluarga lebih penting daripada kehadiran

anak perempuan (peristiwa 10)

2) Analisis Fungsi Utama Cerita

Pada cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” cerita dimulai dari kondisi

sebuah keluarga yang berlatar etnis Batak. Peran seorang suami (bapak) dalam

tradisi Batak sangat dominan. Dalam cerita ini si bapak bernama Parulian Sirait.

Nama seorang istri selalu dinisbahkan kepada nama suami. Oleh karena itu, nama

tokoh ibu (istri) dalam cerita ini adalah Paulina Sirait.

Persoalan keluarga muncul karena belum hadirnya seorang anak laki-laki,

bahkan tokoh istri dianggap mandul walaupun sudah memiliki dua anak perempuan,

yaitu Dumasari Nauli Sirait dan Deborah Timoria Sirait. Keadaan tersebut membuat

tokoh ayah menjadi pemarah.

Situasi berubah dengan drastis setelah lahirnya anak laki-laki yang diberi

nama Patar Parlindungan Sirait. Tokoh aku (Dumasari) banyak merasakan adanya

ketidakadilan dalam perlakuan terhadap dirinya dan adik perempuannya

(18)

dikaitkan dengan nama anak laki-laki. Sekolah adik laki-lakinya jauh lebih baik.

Tugas-tugas pekerjaan rumah tidak pernah dibagi dengan adik laki-lakinya.

Setelah dewasa, tokoh aku yang bernama Dumasari ini menikah dengan

laki-laki yang bernama Gerald Sihombing. Tokoh aku ini kemudian berganti nama

menjadi Ny. Gerald Sihombing. Pernikahan ini bagi tokoh Dumasari memunculkan

banyak persoalan: terjadinya perubahan nama, dilarang bekerja di luar, dan dianggap

tidak berguna karena setelah dua tahun tidak bisa punya anak.

Setelah pernikahan berlangsung dua tahun tiga bulan, barulah Dumasari

hamil. Akan tetapi, anak yang dilahirkannya berjenis kelamin perempuan. Hal ini

sangat tidak dikehendaki oleh suami dan mertuanya. Karena dalam keluarga harus

ada anak laki-laki, Dumasari sampai harus melahirkan tujuh kali karena anak

ketujuhlah baru berjenis kelamin laki-laki.

3.1.2 Analisis Aktan dan Penokohan 3.1.2.1 Analisis Aktan

Skema Aktan

pengirim (sender) objek penerima (receiver)

ketidakadilan keadilan Dumasari, Deborah, dan ibu

pembantu (helper) subjek penentang (opposant)

Ø

Dumasari ayah dan mertua

1. Subjek dan Objek

Subjek:

Tokoh aku yang bernama Dumasari Nauli Sirait merupakan subjek cerita. Dia

(19)

perlakuan-perlakuan yang sangat berbeda dari ibu dan ayahnya serta mertuanya

hanya karena perbedaan gender.

Ketika Patar lahir, Bapak gembira bukan main. Begitu juga Mama. Meski Patar adalah anak ketiga, aku dan Debi, diharuskan memanggilnya Abang. Aku tidak mengerti. Bukankah Abang adalah panggilan untuk kakak laki-laki?

....“Ma, anak Bapak dan Mama kan ada tiga. Aku, Debi dan Patar. Kenapa orang tidak menyebut Bapak dan Mama, Ama atau Ina ni Duma, Debi dan Patar?”....

....Aku bertugas mencuci piring dan bantu memasak, sementara Debi harus menyapu dan mengepel. Kok, nggak ada nama Patar? Aku bertanya-tanya dan segera berlari menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur, “Mama, kenapa Patar tidak ada dalam jadwal pembagian tugas?”....

Objek:

Yang menjadi objek dalam cerita ini ialah keadilan. Subjek selalu merasakan

perlakuan yang tidak adil karena hanya persoalan gender. Subjek atau tokoh

utama selalu mempertanyakan perlakuan yang berbeda tersebut untuk menuntut

keadilan. Subjek merasa tidak pernah menjadi dirinya sendiri sebagai seorang

perempuan. Namanya selalu berubah-ubah dikaitkan dengan nama, ayahnya,

nama suaminya, dan nama anak laki-lakinya. Di akhir cerita subjek menegeskan, “Aku perempuan Batak, tak pernah punya nama yang menjadi milikku sendiri”.

2. Pengirim dan Penerima

Pengirim:

Yang menggerakkan cerita ini ialah adanya perlakuan yang tidak adil terhadap

anak perempuan.

(20)

Dampak dari pencapaian subjek (Dumasari) untuk mendapatkan objek adalah

subjek sendiri. Akan tetapi, pencapaian Dumasari (subjek) dalam mendapatkan

keadilan (objek) akan berdampak pula pada adik perempuan dan ibunya.

3. Penolong dan Penentang

Dalam cerita ini tidak terdapat tokoh penolong yang ikut mendukung atau

membantu subjek (Dumasari) dalam mendapatkan keadilan. Sementara itu,

penentang muncul terutama dari tokoh bapak yang sangat memegang tradisi

patriarki. Penentangan juga datang dari sikap mertuanya yang memiliki

pandangan yang sama dengan tokoh bapak.

Tapi ketidakpedulianku pun sirna. Bisik-bisik tidak lagi sekadar bisik-bisik. Setiap orang mulai bergunjing terang-terangan. Bahkan mertuaku sering dengan sengaja menyindirku sebagai perempuan mandul tak berguna. Tak segan dia bahkan menyuruh abang Gerald untuk mencari perempuan lain yang akan memberinya keturunan. Dibicarakannya persoalan ini di depanku, seakan aku tidak lagi dianggapnya manusia yang punya perasaan. Aku sedih dan mulai sering menangis. Aku teringat penderitaan Mama dulu.

2.1.2.2 Penokohan

1. Nama tokoh

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen ini adalah tokoh aku yang

bernama Dumasari Nauli Sirait, adik perempuan tokoh aku yang bernama

Deborah Timoria Sirait, adik laki-laki tokoh aku bernama Patar Parlindungan

Sirait, Ibu tokoh utama yang bernama Paulina Sirait, ayah tokoh utama yang

bernama Parulian Sirait, dan suami toko utama yang bernama Gerald Sihombing. Sesuai dengan judulnya, “Perempuan dengan Banyak Nama”, nama-nama tokoh

dalam cerpen ini sangat penting disebutkan satu per satu dengan lengkap. Seperti

pengakuan tokoh utama pada awal cerpen bahwa dirinya sebagai perempuan

(21)

Batak, seperti Sirait dan Sihombing. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini lebih banyak

diceritakan oleh tokoh utama. Bahkan adik tokoh utama hanya disebutkan pada

awal cerita secara sepintas.

2. Identitas tokoh

Deskripsi tokoh yang menunjuk pada identitas terdapat pada tokoh utama,

Dumasari dan kedua orang tuanya, serta suaminya. Identitas Dumasari

diceritakan sebagai perempuan Batak yang baru berusia 12 tahun, mempunyai

adik perempuan 11 tahun, dan seorang adik laki-laki 6 tahun.

Aku perempuan Batak. Namaku Dumasari Nauli Sirait, orang-orang memanggilku Duma. Umurku 12 tahun. Kata Mama arti namaku adalah Dumasari yang cantik. Mama juga bilang, aku ini memang sangat cantik. Tapi ketika aku cerita ke teman-temanku, kata mereka Mama bilang aku cantik karena ia Mamaku.

Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adikku nomor dua namanya Deborah Timoria Sirait, kami biasa panggil dia Debi. Umurnya 11 tahun. Adikku yang nomor tiga namanya Patar Parlindungan Sirait. Kami memanggilnya Patar. Umurnya 6 tahun.

Tokoh aku mengenalkan identitasnya kembali setelah 15 tahun kemudian

atau setelah berusia 27 tahun. Tokoh utama menikah dengan laki-laki Batak dan

identitasnya berubah karena tradisi Batak nama istri harus menyandang nama

suami.

15 tahun kemudian…

Aku perempuan Batak, menikah dengan orang Batak. Namaku Dumasari Nauli Sihombing. Namaku berubah setelah menikahi Ir. Gerald Sihombing, teman kuliahku di Fakultas Teknik Mesin ITB. Aku kini punya keluarga, keluarga Sihombing.

Tokoh lain yang diperkenalkan identitasnya adalah tokoh bapak dan

tokoh ibu. Tokoh bapak dinyatakan dengan jelas dan langsung mengenai

gambaran fisik dan sifatnya

(22)

jarang aku lari bersembunyi di kolong tempat tidur kalau Bapak marah. Dulu, sebelum ada Patar, Bapak sering kali memaki Mama sebagai orang tak berguna karena tak bisa memberinya keturunan. Aku berpikir, lalu aku dan Debi keturunan siapa?

Nama Mamaku Paulina Sirait. Tetangga memanggilnya Ibu Sirait. Waktu masih gadis, nama Mama Paulina Siahaan. Tapi berubah saat menikah dengan Bapak.

3. Sikap tokoh

Dumasari merupakan tokoh anak perempuan yang selalu

mempertanyakan adanya perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan.

Pertanyaan-pertanyaan itu dengan jelas dinyatakan secara tersurat dalam cerpen

ini.

.... Dulu, sebelum ada Patar, Bapak sering kali memaki Mama sebagai orang tak berguna karena tak bisa memberinya keturunan. Aku berpikir, lalu aku dan Debi keturunan siapa?

Ketika Patar lahir, Bapak gembira bukan main. Begitu juga Mama. Meski Patar adalah anak ketiga, aku dan Debi, diharuskan memanggilnya Abang. Aku tidak mengerti. Bukankah Abang adalah panggilan untuk kakak laki-laki?

.... Aku bingung dan sempat bertanya pada Mamaku tersayang,“Ma, anak Bapak dan Mama kan ada tiga. Aku, Debi dan Patar. Kenapa orang tidak menyebut Bapak dan Mama, Ama atau Ina ni Duma, Debi dan Patar?”....

... Aku bertugas mencuci piring dan bantu memasak, sementara Debi harus menyapu dan mengepel. Kok, nggak ada nama Patar? Aku bertanya-tanya dan segera berlari menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur, “Mama, kenapa Patar tidak ada dalam jadwal pembagian tugas?”

4. Perasaan tokoh

Suasana yang membangun tokoh cerita ialah deskripsi mengenai kegeraman

Dumasari karena diperlakukan secara tidak adil secara gender. Rasa suka atau

benci ditunjukkan oleh suami dan mertua Dumasari semata-mata hanya dikaitkan

(23)

perlakukan seperti itu, tetapi diriya berusaha untuk tetap bertahan dan menerima

kondisi. Dia harus melahirkan sampai dengan anak ketujuh.

Kesedihanku makin memuncak di saat bang Gerald pun mulai mempemasalahkan hal itu. Dia sering marah-marah tanpa penyebab yang jelas. Mulai pulang malam dan tidak mempedulikan aku. Apakah abang tak cinta lagi padaku?

Hingga akhirnya, pada kehamilanku yang ke tujuh, di tengah kelelahanku, aku melahirkan bayi laki-laki. Cinta yang sama yang aku berikan pada bidadari-bidadariku juga aku limpahkan padanya. Dia diberi nama Nicolas Gerald Sihombing. Dan namakupun berubah. Dari ketujuh nama anak-anakku, orang-orang memilih memanggilku Ina ni Nicolas.

3.1.3 Analisis Ruang dan Waktu

1. Analisis Ruang

Dalam cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” ini tidak dijelaskan

tempat peristiwa-peristiwa itu berlangsung. Cerpen ini lebih banyak bertutur

tentang persoalan-persoalan ketidakadilan gender. Akan tetapi, secara tersirat

peristiwa lebih banyak terjadi di seputar rumah karena yang dipersoalkan

adalah masalah hubungan antara tokoh aku dengan bapaknya, suaminya, dan

mertuanya.

2. Analisis Waktu

Waktu terjadinya peristiwa dalam cerpen ini mulai sejak usia Dumasari

12 tahun. Pada usia tersebut Dumasari sudah berani banyak mempertanyakan

perlakuan-perlakuan tidak adil kepada ibunya. Cerita kemudian loncat lima

belas tahun kemudian. Dumasari menikah dengan teman kuliahnya. Kemudian,

cerita berakhir dengan penjelasan tokoh aku telah memiliki tujuh anak.

(24)

15 tahun kemudian…

Aku perempuan Batak, menikah dengan orang Batak. Namaku Dumasari Nauli Sihombing. Namaku berubah setelah menikahi Ir. Gerald Sihombing, teman kuliahku di Fakultas Teknik Mesin ITB. Aku kini punya keluarga, keluarga Sihombing.

Hingga akhirnya, pada kehamilanku yang ke tujuh, di tengah kelelahanku, aku melahirkan bayi laki-laki. Cinta yang sama yang aku berikan pada bidadari-bidadariku juga aku limpahkan padanya. Dia diberi nama Nicolas Gerald Sihombing. Dan namakupun berubah. Dari ketujuh nama anak-anakku, orang-orang memilih memanggilku Ina ni Nicolas.

3.1.4 Masalah Ketidakadilan Gender dalam Cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama ”

1. Laki-laki yang superior dan perempuan yang inferior

Dalam cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” ini sosok seorang

bapak digambarkan dengan stereotype seorang laki-laki yang berbadan tinggi

besar, berkulit hitam, suaranya menggelegar. Dengan sosok tubuh seperti itu

sang bapak menjadi tokoh yang superior. Tokoh bapak sering marah, bahkan

sering memaki-maki ibu tokoh aku (istrinya). Bahkan lebih tegas lagi

dikemukakan bahwa sikap marah dan memaki-maki itu sangat erat berkaitan

dengan ketidakmampuan sang istri melahirkan anak laki-laki.

Bapakku seorang pegawai negeri kelas menengah. Namanya Parulian Sirait. Tinggi besar dan berkulit hitam, wajahnya tampan. Suaranya besar menggelegar. Aku paling takut kalau dia marah. Tak jarang aku lari bersembunyi di kolong tempat tidur kalau Bapak marah. Dulu, sebelum ada Patar, Bapak sering kali memaki Mama sebagai orang tak berguna karena tak bisa memberinya keturunan. Aku berpikir, lalu aku dan Debi keturunan siapa?

Sebaliknya, sosok perempuan yang diwakili oleh Paulina Sirait sebagai

(25)

Seorang istri yang dimarahi dan dimaki-maki oleh suami tidak mampu berbuat

apa-apa selain bersedih dan menangis.

Kalau Mama sedih, Mama menangis. Kalau menangis, Mama akan datang ke kamarku. Kemudian aku keluar dari kolong tempat tidur dan memeluk Mama, sampai tangisnya reda. Kadang Debi suka ikut-ikutan berpelukan dan menangis bahkan lebih keras dari tangis Mama. Padahal dia tidak ngerti apa-apa, dan aku serta Mama jadi sibuk membujuknya

2. Nama panggilan istri dinisbahkan kepada suami, tidak pada identitas dirinya

sendiri; nama panggilan orang tua (ayah atau ibu) dinisbahkan kepada anak

laki-laki, tidak dinisbahkan kepada anak perempuan;

Dalam budaya patriarki seperti dalam budaya Batak yang sangat

menjunjung marga, nama seorang perempuan selalu dikaitkan dengan nama

ayahnya jika dia belum berkeluarga, Jika sudah memiliki suami namanya tidak

lagi mengikuti nama ayah, tetapi nama suami. Judul cerpen ini bertitik tolak

pada persoalan penggantian nama seorang perempuan yang selalu berubah

sesuai dengan statusnya, apakah dia gadis, sudah bersuami, atau telah memiliki

anak.

Nama Mamaku Paulina Sirait. Tetangga memanggilnya Ibu Sirait. Waktu masih gadis, nama Mama Paulina Siahaan. Tapi berubah saat menikah dengan Bapak.

Aku perempuan Batak, menikah dengan orang Batak. Namaku Dumasari Nauli Sihombing. Namaku berubah setelah menikahi Ir. Gerald Sihombing, teman kuliahku di Fakultas Teknik Mesin ITB. Aku kini punya keluarga, keluarga Sihombing.

Budaya patriarki memandang garis keturunan dari sudut laki-laki,

keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting. Seakan-akan yang hanya

(26)

Dalam cerpen ini dengan jelas disebutkan bahwa nama ayah dan ibu Durmasari

dipanggil sebagai Ama ni Patar dan Ina ni Patar.

Sejak Patar lahir pula, Mama dan Bapakku berganti nama panggilan. Bukan lagi Bapak dan Ibu Sirait, tapi berganti jadi Ama ni Patar dan Ina ni Patar. Aku bingung dan sempat bertanya pada Mamaku tersayang,“Ma, anak Bapak dan Mama kan ada tiga. Aku, Debi dan Patar. Kenapa orang tidak menyebut Bapak dan Mama, Ama atau Ina ni Duma, Debi dan Patar?” Tanyaku saat Mama sedang menyisir rambutku. “Aduh, kepanjangan dong inang..” Jawab Mama sambil tersenyum.

“Tapi, kenapa nama Patar yang dipakai? Patar kan anak paling kecil..” Aku bertanya lagi dengan nada cemburu.

3. Laki-laki urusan publik, perempuan urusan domestik

Dalam budaya patriarki yang membagi pekerjaan berdasarkan gender,

laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan di luar atau urusan publik,

sedangkan perempuan bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga atau

urusan domestik. Dalam budaya seperti ini laki-laki dianggap tidak pantas atau

tabu bila mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, memasak, atau

mencuci.

Sedari kecil, Mama membiasakan anak-anaknya untuk membantunya beres-beres rumah. Mulai dari membantu cuci piring, cuci baju, mengepel, menyapu, dan sebagainya. Bahkan Mama membuat pembagian tugas yang ditempel di dinding ruang makan. Aku bertugas mencuci piring dan bantu memasak, sementara Debi harus menyapu dan mengepel. Kok, nggak ada nama Patar? Aku bertanya-tanya dan segera berlari menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur, “Mama, kenapa Patar tidak ada dalam jadwal pembagian tugas?”

“Duma, Patar itu kan anak laki-laki. Apa kata orang nanti kalau dia mengerjakan pekerjaan perempuan?”

Setelah Dumasari menikah, mertuanya melarang dirinya bekerja. Dia

harus keluar dari pekerjaannya. Pendidikan tinggi yang telah diraihnya seakan

tidak berarti karena harus bekerja semata mengurus suami dan anak.

(27)

perempuan, kau istri si Gerald. Jangan kau bikin malu keluarga Sihombing. Tugas kau hanya melayani si Gerald dan mengurus rumah. Apalagi nanti kalau sudah punya anak!” demikian mertuaku bicara dengan nada-nada ketus. Aku diam saja. Pantang melawan orang tua. Dan akupun berhenti bekerja, menghabiskan hari-hariku di rumah saja.

4. Laki-laki diistimewakan dalam memperoleh pendidikan, perempuan cukup

mendapatkan pendidikan seperlunya

Munculnya emansipasi pada zaman Kartini menunjukkan bahwa sudah

sejak lama perempuan dianggap sebagai kelas kedua (second sex) sehingga

dalam mendapatkan pendidikan pun tidak perlu tinggi-tinggi. Perempuan

dianggap sebagai makhluk yang pada hakikatnya hanya berperan di wilayah

domestik. Mendapatkan pendidikan yang tinggi pun dianggap sia-sia karena

pada akhirnya hanya akan mengurusi pekerjaan rumah tangga. Dalam cerpen

ini Durmasari dan adik perempuannya merasa diperlakukan sebagai anak yang

tidak begitu penting untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, sementara

adiknya disekolahkan di sekolah yang paling baik.

(28)

4. SIMPULAN

Cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” ini ditulis pada tahun 2004.

Hal ini menunjukkan bahwa dari dahulu sampai dengan sekarang persoalan

ketidakadilan gender masih ada dan mungkin akan terus ada. Cerpen ini dimuat di

Jurnal Perempuan semakin menegaskan masih banyaknya kasus yang berkaitan

dengan ketidakadilan gender. Masalah gender adalah masalah yang dikonstruksi oleh

faktor sosial dan budaya.

Budaya patriarki telah menempatkan kaum laki-laki sebagai penguasa.

Mereka menjadi kaum yang superior dan menjadi superordinat bagi kaum perempuan. Hal ini dengan jelas tergambar pada cerpen “Perempuan dengan Banyak

Nama”. Cerpen ini dilatarbelakangi oleh konstruksi sosio-budaya masyarakat Batak

yang sangat menjunjung tradisi penggunaan marga.

Penulis cerpen ini, Christine Refina, telah berhasil mengangkat berbagai

persoalan ketidakadilan gender. Akan tetapi, karena lebih berfokus pada persoalan

atau tema, pengarang cerpen ini tidak banyak mengolah aspek naratif, seperti alur

atau karakterisasi tokoh. Pengarang lebih banyak menggunakan teknik langsung

dalam mengenalkan tokohnya.

Persoalan yang mengemuka dalam cerpen ini berkaitan dengan beberapa

aspek ketidakadilan gender, yaitu: 1) masalah superioritas laki-laki (suami) sehingga

tanpa beban memarahi atau memaki perempuan (istri); 2) masalah lain adalah

peggunaan nama panggilan yang selalu dinisbahkan kepada laki-laki, baik itu

sebagai ayah, sebagai suami, atau sebagai anak; 3) masalah pembagian tugas kerja,

laki-laki hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang bersifat publik,

(29)

4) masalah pendidikan, kaum laki-laki lebih diistimewakan dalam mendapatkan

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Budianta, M. 1988. Horison No XXXII/4/1998

Djajanegara, S. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.

Forster, E.M. 1974. Aspects of The Novel. London. William Clowes & Sons.

Prabasmoro, Aquarini P. 2006. Kajian Budaya Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Refina, Christine. 2004. Cerpen “Perempuan dengan Banyak Nama” dalam Jurnal Perempuan No. 38 Tahun 2004. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Sudjiman, P. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti. 2005. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1991. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, T. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.

Wellek, R dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

(31)

Lampiran

Cerpen

Perempuan dengan Banyak Nama

Oleh Christine Refina

Aku perempuan Batak. Namaku Dumasari Nauli Sirait, orang-orang memanggilku Duma. Umurku 12 tahun. Kata Mama arti namaku adalah Dumasari yang cantik. Mama juga bilang, aku ini memang sangat cantik. Tapi ketika aku cerita ke teman-temanku, kata mereka Mama bilang aku cantik karena ia Mamaku.

Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adikku nomor dua namanya Deborah Timoria Sirait, kami biasa panggil dia Debi. Umurnya 11 tahun. Adikku yang nomor tiga namanya Patar Parlindungan Sirait. Kami memanggilnya Patar. Umurnya 6 tahun.

Bapakku seorang pegawai negeri kelas menengah. Namanya Parulian Sirait. Tinggi besar dan berkulit hitam, wajahnya tampan. Suaranya besar menggelegar. Aku paling takut kalau dia marah. Tak jarang aku lari bersembunyi di kolong tempat tidur kalau Bapak marah. Dulu, sebelum ada Patar, Bapak sering kali memaki Mama sebagai orang tak berguna karena tak bisa memberinya keturunan. Aku berpikir, lalu aku dan Debi keturunan siapa?

Nama Mamaku Paulina Sirait. Tetangga memanggilnya Ibu Sirait. Waktu masih gadis, nama Mama Paulina Siahaan. Tapi berubah saat menikah dengan Bapak.

Kalau Mama sedih, Mama menangis. Kalau menangis, Mama akan datang ke kamarku. Kemudian aku keluar dari kolong tempat tidur dan memeluk Mama, sampai tangisnya reda. Kadang Debi suka ikut-ikutan berpelukan dan menangis bahkan lebih keras dari tangis Mama. Padahal dia tidak ngerti apa-apa, dan aku serta Mama jadi sibuk membujuknya.

Ketika Patar lahir, Bapak gembira bukan main. Begitu juga Mama. Meski Patar adalah anak ketiga, aku dan Debi, diharuskan memanggilnya Abang. Aku tidak mengerti. Bukankah Abang adalah panggilan untuk kakak laki-laki?

Sejak Patar lahir pula, Mama dan Bapakku berganti nama panggilan. Bukan lagi Bapak dan Ibu Sirait, tapi berganti jadi Ama ni Patar dan Ina ni Patar.1 Aku bingung dan sempat bertanya pada Mamaku tersayang,“Ma, anak Bapak dan Mama kan ada tiga. Aku, Debi dan Patar. Kenapa orang tidak menyebut Bapak dan Mama, Ama atau Ina ni Duma, Debi dan Patar?” Tanyaku saat Mama sedang menyisir rambutku. “Aduh, kepanjangan dong inang..” 2 Jawab Mama sambil tersenyum.

“Tapi, kenapa nama Patar yang dipakai? Patar kan anak paling kecil..” Aku bertanya lagi dengan nada cemburu.

“Patar kan anak laki-laki sayang, memang sudah seharusnya begitu.”

(32)

segera berlari menghampiri Mama yang sedang memasak di dapur, “Mama, kenapa Patar tidak ada dalam jadwal pembagian tugas?”

“Duma, Patar itu kan anak laki-laki. Apa kata orang nanti kalau dia mengerjakan pekerjaan perempuan?”

Saat itu aku hanya menganguk sok ngerti. Bahkan akupun hanya mengangguk saja saat tempat dudukku dan Debi dipisahkan dari Bapak, Mama dan Patar di dalam acara keluarga. Kata mereka, itu tempat keluarga Sirait. Lalu Aku dan Debi keluarganya siapa? Jawab mereka, tergantung marga apa suami kami nanti.

Setiap paginya, aku dan Debi berangkat sekolah bersama. Kami sama-sama sekolah di SDN 06 di dekat pasar. Aku kelas enam dan Debi kelas lima. Setiap hari kami berjalan kaki menuju sekolah. Ketika Patar menginjak usia sekolah, aku dan Debi merasa senang karena berarti kami akan berjalan bertiga. Semakin ramai semakin baik, pikirku. Tapi ternyata, sekolah Patar berbeda dengan kami. Bapak mendaftarkannya di sebuah sekolah swasta Katolik yang terkenal. Patar juga tak perlu jalan kaki, ada bus antar-jemput sekolah buatnya.

***

15 tahun kemudian…

Aku perempuan Batak, menikah dengan orang Batak. Namaku Dumasari Nauli Sihombing. Namaku berubah setelah menikahi Ir. Gerald Sihombing, teman kuliahku di Fakultas Teknik Mesin ITB. Aku kini punya keluarga, keluarga Sihombing.

Pesta pernikahan kami meriah. Aku ‘dibeli’ Gerald dengan tuhor3 lima puluh juta rupiah. Keluargaku bangga dan menceritakan hal itu kemana-mana. Banyak pihak yang tercengang, mendengar besarnya jumlah uang yang diberikan. Tapi buatku, itu bukan kebanggaan. Aku bukan lagi milikku. Aku telah dibeli keluarga Sihombing. Bahkan namakupun harus diganti. Kini, aku adalah Ny. Gerald Sihombing.

Sebagai Ny. Gerald Sihombing, aku dilarang bekerja di luar rumah oleh mertuaku yang perempuan,“Kau itu bukan sembarang perempuan, kau istri si Gerald. Jangan kau bikin malu keluarga Sihombing. Tugas kau hanya melayani si Gerald dan mengurus rumah. Apalagi nanti kalau sudah punya anak!” demikian mertuaku bicara dengan nada-nada ketus. Aku diam saja. Pantang melawan orang tua. Dan akupun berhenti bekerja, menghabiskan hari-hariku di rumah saja.

Dua tahun pernikahan kami, aku belum juga mengandung. Terdengar bisik-bisik keluarga di belakangku. Kata mereka aku perempuan mandul. Dalam hati aku bertanya-tanya, memang apa yang salah dengan perempuan mandul? Aku berusaha untuk tidak peduli. Aku dan bang Gerald sudah pernah periksa ke dokter. Katanya kami berdua sehat-sehat saja. Tidak ada masalah. Aku dan abang hanya bisa berdoa memohon kemurahan Tuhan.

Tapi ketidakpedulianku pun sirna. Bisik-bisik tidak lagi sekadar bisik-bisik. Setiap orang mulai bergunjing terang-terangan. Bahkan mertuaku sering dengan sengaja menyindirku sebagai perempuan mandul tak berguna. Tak segan dia bahkan menyuruh abang Gerald untuk mencari perempuan lain yang akan memberinya keturunan. Dibicarakannya persoalan ini di depanku, seakan aku tidak lagi dianggapnya manusia yang punya perasaan. Aku sedih dan mulai sering menangis. Aku teringat penderitaan Mama dulu.

(33)

Mulai pulang malam dan tidak mempedulikan aku. Apakah abang tak cinta lagi padaku?

Tuhan Maha Besar, tiga bulan kemudian aku dinyatakan positif hamil. Seluruh keluarga bersorak. Aku diperlakukan bagai ratu. Tak boleh mengerjakan ini, tak boleh mengerjakan itu. Mertuaku yang judes itupun perhatian padaku. Setiap kali berkunjung, dia selalu membelikan aku bermacam-macam buah-buahan. Abang Gerald tak kalah baik, Ia selalu pulang tepat waktu dan kini lebih sering menghabiskan waktu bersamaku dan anak kami.

Sering ia menempelkan kupingnya ke perutku yang membuncit, ingin mendengarkan dan merasakan tendangannya, katanya. Abang juga sering seperti orang gila saja, berjam-jam mengobrol dengan perutku, “Nanti, kalau kamu sudah keluar dari perut Mama, Papa janji akan bawa kamu jalan-jalan. Kita akan main bola bareng di taman atau main mobil balap dengan remote control. Kamu akan jadi jagoan papa, anak laki-laki papa yang baik dan pintar yah…”

Aku tercekat. Bagaimana kalau anak kami ini perempuan?

Bukan hanya Bang Gerald yang membuat aku khawatir. Mertuakupun begitu. Mereka bersikap sepertinya anak kami ini pasti laki-laki. Mereka mempersiapkan pesta penyambutan kelahiran dan memilihkan nama Nicolas Gerald Sihombing. Lalu, bagaimana kalau anak kami nanti perempuan? Jerit hatiku putus asa…

Harinya tiba. Sejak pagi, perutku mulas tak tertahankan. Fisikku sakit tapi batinku bahagia tak terkira. Anakku akan segera berkumpul bersamaku. Seluruh keluarga beramai-ramai mengantarku ke rumah sakit. Sampai dua belas jam aku menahan mulas, keringatku bermunculan dalam butir-butir besar, tapi bayiku belum juga mau keluar. Keluarga panik, meminta dokter menyuntikkan cairan pendorong. Aku menolak, aku bilang aku mau bicara dulu pada bayiku.

“Nak, kenapa kamu tidak mau keluar? Ayo nak, Ibu ingin melihatmu. Kamu tidak usah takut. Di dunia memang banyak orang jahat dan banyak hal-hal yang tidak baik, tapi Ibu di sini nak. Ibu berjanji padamu, pada Tuhan dan pada Ibu sendiri, Ibu akan menjagamu. Melindungimu. Ibu janji…” suaraku pelan menahan sakit. Aku tak letihnya mengelus perut besarku, ingin anakku merasakan bahwa aku mencintainya.

Ajaib. Anakku akhirnya mendesak keluar sendiri. Tanpa aku perlu berusaha keras, anakku lahir.

“Selamat bu, anak ibu perempuan. Cantik sekali…” kata dokter sambil memperlihatkan bayi merah yang menangis dengan suara keras. Aku tersenyum. Puas.. Aku akan pegang janjiku nak. Aku akan melindungimu. Biarpun papamu dan opungmu4 akan kecewa karena kau bukan Nicolas mereka, tapi aku tidak.. Aku mencintaimu. Kuberi dia nama Serenada Angelika. Tanpa Sihombing dibelakangnya.. Aku ingin dia punya nama sendiri.

Dan benar, semua orang kecewa… kenapa yang lahir Serenada?

Aku kemudian ‘dipaksa’ untuk terus hamil dan hamil demi adanya Nicolas mereka. Berturut-turut aku tetap diberikan bidadari-bidadari oleh Tuhan. Sebisa mungkin aku merawat mereka, menyayangi mereka meskipun aku harus terus menerus hamil bagai kambing!

Hingga akhirnya, pada kehamilanku yang ke tujuh, di tengah kelelahanku, aku melahirkan bayi laki-laki. Cinta yang sama yang aku berikan pada bidadari-bidadariku juga aku limpahkan padanya. Dia diberi nama Nicolas Gerald Sihombing. Dan namakupun berubah. Dari ketujuh nama anak-anakku, orang-orang memilih memanggilku Ina ni Nicolas.

(34)

Jakarta, 31 Agustus 2004

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan sistem pakar tersebut bertujuan untuk membangun sebuah sistem berbasis pengetahuan kedokteran dalam mendiagnosa penyakit paru pada anak yang dapat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah usulan investasi penambahan perangkat baru pada Warung Internet “Mega Net”,Yogyakarta layak untuk dilaksanakan dilihat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat faktor yang memengaruhi perkembangan pola tata ruang kawasan destinasi pariwisata kepulauan, jejaring antar pulau dan

Kesimpulan yang dapat diambil dari studi kasus klien dengan gangguan menelan pada kasus akalasia esophagus adalah setelah dilakukan pengkajian didapatkan diagnosa

hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu menyusui dengan lama pemberian

menggunakan uji statistik Mc.Nemar diperoleh hasil bahwa metode konseling efektif untuk meningkatkan pengetahun ( ρ value 0,001), sikap (ρ value 0,002) dan Tindakan (

Upaya-upaya khusus yang dilakukan Pe- merintah Sumatera Selatan adalah meningkat- kan komitmen kepala daerah dan stakeholder untuk dapat melaksanakan kegiatan penanaman