2.1. Motivasi Berprestasi
2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi
Menurut Gunarsa (1991), motivasi berprestasi adalah sesuatu yang ada dan menjadi ciri dari kepribadian seseorang dan dibawa dari lahir yang kemudian ditumbuhkan dan dikembangkan melalui interaksi dengan lingkungan.Menurut Santrock (2001), motivasi berprestasi adalah keinginan dan dorongan seorang individu untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil baik. McClelland (1987), mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu keinginan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk berusaha mencapai suatu standar atau ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat dengan acuan prestasi orang lain, akan tetapi juga dapat dengan membandingkan prestasi yang dibuat sebelumnya.
Menurut Chaplin (Gunarsa, 1991), motivasi berprestasi adalah kecenderungan seseorang untuk mencapai kesuksesan atau memperoleh apa yang menjadi tujuan akhir yang dikehendaki, keterlibatan diri individu terhadap suatu tugas, harapan untuk berhasil dalam suatu tugas yang diberikan, serta dorongan untuk mengatasi rintangan-rintangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sulit secara cepat dan tepat.
Motivasi berprestasi adalah motivasi yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan atau menghindari celaan dari diri sendiri maupun orang lain dan berhubungan dengan performa dalam situasi yang menerapkan standar keunggulan. Motivasi berprestasi merupakan keinginan yang kuat umtuk mencapai kesuksesan atau prestasi dengan cepat, dimana kesuksesan itu tergantung pada kemampuan atlet itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan “standard of excellence” atau kecenderungan dalam diri atlet untuk berprestasi sebaik mungkin. Atlet yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mempunyai sifat yang positif terhadap suatu situasi yang mengacu ke arah positif.
Motivasi berprestasi tersebut dimiliki oleh setiap individu, termasuk dimiliki oleh seorang atlet. Motivasi berprestasi seorang atlet terkadang dapat menurun karena disebabkan berbagai hal, misalnya saja kurangnya percaya diri atlet dan kejenuhan yang dirasakan atlet pada kompetisi yang sedang berlangsung. Menurut Hadinata (2007), menyatakan bahwa atlet Indonesia kurang memiliki keyakinan akan kemampuan yang dimiliki, kurang memiiki kemampuan motivasi untuk berprestasi yang kuat untuk menjadi juara, merasa takut kalah, tegang dan takut tidak dapat bermain bagus. Membentuk kembali motivasi berprestasi itu sendiri dipengaruhi dari dalam maupun dari luar individu, sehingga untuk membangkitkan motivasi berprestasi yang dimiliki oleh atlet di lakukan melalui dalam diri sendiri (intrinsik) dan dari luar diri (ekstrinsik) atlet tersebut. Motivasi berprestasi pemain, tidak hanya tergantung kepada
atlet yang bersangkutan, tetapi peran orang disekitarnya untuk dapat mengembalikan motivasi berprestasi atlet tersebut, terutama oleh pelatihnya.
Motivasi sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Maka itu banyak ahli setuju membagikanya atas dua jenis yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Salah satunya dikemukakan oleh Gunarsa (1996) sebagai berikut:
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam yang menyebabkan individu berpartisipasi. Dorongan ini sering dikatakan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari. Atlet yang mempunyai motivasi intrinsik akan mengikuti latihan peningkatan kemampuan atas ketrampilan, atau mengikuti pertandingan bukan karena situasi buatan (dorongan dari luar), melainkan karena kepuasan dalam dirinya. Bagi atlet tersebut, kepuasan diri diperoleh lewat prestasi yang tinggi bukan lewat pemberian hadiah, pujian atau penghargaan lainya. Atlet ini biasanya tekun, bekerja keras, teratur dan disiplin dalam menjalani latihan serta tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain.
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu yang menyebabkan individu berpartisipasi dalam olahraga.
Dorongan ini berasal dari pelatih, guru, orangtua, bangsa atau berupa
hadiah, sertifikat, penghargaan atau uang. Motivasi ekstrinsik ini dapat dipelajari dan tergantung pada besarnya nilai penguat itu dari waktu ke waktu.
Ringkasnya, motivasi berprestasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah pembawaan atlet, tingkat pendidikan, pengalaman masa lalu, cita–cita dan harapan individu. Faktor eksternal adalah fasilitas, sarana dan lapangan, metode latihan, dan lingkungan menurut Gunarsa (1996). Selain motivasi yang bervariasi, perlu diketahui bahwa adanya perbedaan motivasi antara individu ke individu lainya.
Motivasi berprestasi merupakan hal terpenting yang harus dimliki oleh semua orang, terutama oleh seorang atlet. Terkadang motivasi berprestasi yang dimiiki oleh seorang atlet dapat meningkat atau mengalami penurunan. Perubahan motivasi berprestasi yang dialami oleh atlet dapat berpengaruh ketika melakukan pertandingan.
Menurut McClelland (1998), indvidu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa percaya diri yang tinggi, lebih ulet, lebih giat dalam melaksanakan suatu tugas, mempunyai keinginan untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu prestasi yang dicapai biasanya akan lebih baik daripada individu yang rendah motif berprestasinya. Individu akan lebih tahan terhadap tekanan-tekanan sosial, lebih suka memilih teman sekedar teman akrab, dalam bertindak selalu mempertimbangkan resiko tingkat sedang.
2.1.2. Dimensi Motivasi
Mengacu pada teori Motivasi Hirarki Kebuhuhan Maslow (1996), penelitian Motivasi mencakup beberapa dimensi yakni:
a. Kebutuhan Fisiologis, kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan,minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya.
b. Kebutuhan Rasa Aman , apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.
c. Kebutuhan Sosial, jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama dan sebagainya.
d. Kebutuhan Penghargaan, kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang.
e. Kebutuhan Aktualisasi diri, aktualisasi diri merupakan hirarki
kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.
2.1.3. Ciri-Ciri Individu dengan Motivasi Berprestasi Tinggi
Menurut McClelland (1987), ciri-ciri individu dengan motif berprestasi yang tinggi antara lain adalah:
a. Tanggung Jawab
Atlet yang motivasi berprestasinya tinggi memiliki tanggung jawab yang penuh dalam menjalankan program latihan yang diberikan kepadanya dengan bersungguh-sungguh dan disiplin tinggi. Tanggung jawab dan disiplin yang tinggi dapat ilihat dari tepat waktunya dalam latihan, tidur, menjaga asupan makanan, serta melakukan latihan dengan semangat dan bersungguh-sungguh.
b. Mempertimbangkan Resiko
Atlet dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih aktivitas yang menantang namun tidak berada di atas taraf kemampuan dan cenderung memilih aktivitas dengan derajat sedang yang memungkinkan berhasil. Mereka menghindari tugas yang dirasa terlalu
mudah karena sedikitnya tantangan atau kepuasan yang didapat.
c. Memperhatikan umpan balik
Atlet yang melakukan evaluasi baik saat berhasil maupun gagal dan meminta umpan balik kepada pelatih adalah atlet yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi. Ia lebih suka berlatih dalam situasi dimana ia dapat memperoleh umpan balik yang konkret tentang apa yang sudah ia lakukan. Karena jika tidak, mereka tidak dapat mengetahui apakah mereka sudah melakukan sesuatu dengan baik dibandingkan yang lain atau belum. Umpan balik ini selanjutnya akan dipergunakan untuk memperbaiki prestasinya.
d. Kreatif-Inovatif
Atlet dengan motivasi berprestasi tinggi biasanya sering melakukan inovasi dalam bermain dengan melakukan cara atau sesuatu yang beda dari sebelumnya. Ia akan lebih sering mencari informasi untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan suatu dan lebih inovatif sehingga dapat menemukan taktik dan strategi yang baik dalam mengatasi lawan-lawannya.
2.1.4. Aspek-Aspek Motivasi Berprestasi
Menurut Sukadji (2001), motivasi berprestasi dapat tinggi atau rendah, didasari pada dua aspek yang terkandung didalamnya yaitu harapan untuk sukses atau berhasil (motive of success) dan juga ketakutan akan kegagalan (motive to avoid failure). Seseorang dengan harapan untuk berhasil lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan dikelompokkan
kedalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, sedangkan seseorang yang memiliki ketakutan akan kegagalan yang lebih besar daripada harapan untuk berhasil dikelompokkan kedalam mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah.
2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Menurut Gunarsa (2008), kondisi dan faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seorang atlet terdiri dari beberapa faktor berikut:
a. Sehat fisik dan mental
Kesehatan fisik-psikis merupakan kesatuan organis yang memungkinkan motivasi berprestasi berkembang, yang meliputi kebugaran, nutrisi, emosi, motivasi, dan sebagainya.
b. Lingkungan yang sehat dan menyenangkan
Suhu normal, udara yang bersih dan sehat, sinar matahari yang cukup, bersih, dan rapi, serta keadaan sekitar yang menarik merupakan lingkungan yang dapat mendorong motivasi atlet untuk berprestasi.
Lingkungan persaingan yang sehat dapat menjadi stimulus yang sangat efektif untuk memacu prestasi atlet
c. Fasilitas lapangan dan alat lengkap dan baik untuk latihan
Kondisi lapangan yang baik dan menarik serta peralatan yang memadai akan memperkuat motivasi atlet. Misalnya jumlah patching pad dan body protector harus cukup dengan jumlah atlet, matras tempat latihan tidak licin.
d. Olahraga yang sesuai dengan bakat dan naluri atlet
Permainan dan pertandingan merupakan saluran dan sublimasi (memperluas dorongan-dorongan negatif) unsur-unsur bawaan (naluri), seperti ingin tahu, keberanian, ketegasan, sifat memberontak, agresif, dan sebagainya. Olahraga yang tepat, sesuai dengan unsur- unsur naluri akan mengembangkan motivasi secara baik.
e. Pengaturan aktivitas latihan yang menarik
Program latihan yang teratur dan di kemas dengan menarik akan memberikan motivasi yang tinggi pada atlet.
f. Alat bantu audio-visual
Penggunaan alat bantu audio-visual merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas latihan karena olahraga beladiri melibatkan koordinasi dari penglihatan dan kecepatan reaksi. Dengan melibatkan latihan yang melibatkan alat bantu audio-visual, dapat di lakukan evaluasi dalam latihan sehingga dapat meningkatkan motivasi mereka untuk berlatih dengan lebih bergairah. Misalnya, dengan memutar kembali video pertandingan sendiri dan lawan untuk mengevaluasi kelebihan diri sendiri dan lawan main.
g. Metode latihan
Pemilihan metode latihan yang sesuai akan membantu motivasi atlet dalam proses berlatih. Dalam proses latihan sebaiknya pelatih memulai dari hal yang di ketahui sampai yang tidak di ketahui sampai yang tidak di ketahui; dari yang sederhana menuju yang lebih
kompleks; dari yang nyata menuju yang abstrak; dari keseluruhan ke bagian; dari yang pasti menuju yang tidak pasti. Prinsip ini merupakan kunci latihan yang baik dan merupakan faktor yang dapat memotivasi atlet. Metode latihan yang dipilih harus bervarasi sehingga atlet tidak merasa jenuh dan tetap termotivasi untuk mengikuti latihan secara intensif.
Selain bebrapa faktor di atas, ada hal lain yang mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu sebegai berikut:
a. Orang tua atlet
Sikap orang tua terhadap prestasi yang dicapai anaknya akan mempengaruhi perkembangan motivasi berprestasi anak. Jika orang tua mengharapkan anaknya untuk berusaha keras dalam mencapai kesuksesan, orang tua akan mendorong anaknya melakukan hal tersebut dan memuji mereka untuk bertingkah laku yang berorientasi prestasi tersebut. Orang tua yang mengharapkan anaknya berprestasi biasanya berperan sebagai motivator dan memfasilitasi anaknya untuk berpretasi, seperti dengan memasukan anaknya ke klub untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut dari orang yang tepat dan mengikutsertakan anaknya ke kejuaraan, baik sekala kecil maupun besar, memberikan umpan balik atas penampilan anaknya dalam bertanding.
b. Pengalaman atlet
Seseorang akan memiliki motivasi berprestasi yang kuat untuk mencapai prestasi dalam suatu tugas jika ia mempunyai pengalaman- pengalaman berhasil di masa lalu. Atlet yang mengalami sejumlah keberhasilan adalah atlet yang memandang diri mereka sebagai seseorang yang sukses. Sebaliknya, atlet yang mempunyai pengalaman kegagalan cukup sering atau berulangkali, akan mendekati tugas baru dengan reaksi yang tidak menentu. Pengalaman berhasil ini akan lebih baik bila di tumbuhkan sejak usia dini. Dengan demikian, pengalaman berhasil itu akan lebih melekat dan memberikan dorongan tersendiri untuk berhasil di masa yang akan datang. Bila seseorang pernah merasakan pengalaman berhasil, maka akan timbul rasa bangga dalam dirinya. Hal ini memberikan motivasi tersendiri karena dia akan selalu menginginkan rasa bangga itu terus-menerus. Rasa bangga atas pengalaman berhasil ini bisa di bentuk dari lingkungan orang tua, keluarga dan pelatih.
c. Pelatih
Seorang pelatih mempunyai peluang dan tanggung jawab yang besar untuk mengoptimalkan mativasi atlet agar berprestasi dalam suatu kejuaraan. Pelatih yang antusias dalam melatih cenderung meningkatkan motivasi atletnya untuk berlatih lebih giat sehingga dapat meningkatkan prestasi atlet tersebut. Pelatih merupakan sosok yang paling dekat dan berperan penting dalam memotivasi atletnya.
Masukan dan kritik yang diberikan oleh pelatih akan meningkatkan motivasi atletnya untuk berprestasi lebih baik lagi. Keberadaan pelatih dapat menimbulkan motivasi tersendiri bagi atlet yang sedang mnghadapi pertandingan.
2.2. Kecemasan
2.2.1. Pengertian Kecemaan
Kecemasan (anxiety) adalah variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan, dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego itu memperingatkan individu tentang kemungkinan datang suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi yang adaptif yang sesuai menurut Alwisol (2009).
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau belum pernah di lakukan, serta dalam menentukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan sampai pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa menurut Widuri (2008).
Menurut Durand dan Barlow (2006), kecemasan adalah keadaan yang berorientasi pada masa yang akan datang, yang ditandai oleh efek negatif dimanaseseorang memfokuskan diri pada kemungkinan datangnya
bahaya atau kemalangan yang tidak dapat dikontrol. Kecemasan juga dapat melibatkan perasaan, perilaku, dan respon-respon psikologis.
Menurut King (2010), kecemasan adalah gangguan psikologis yang mencakup ketegangan motorik (bergetar, tidak dapat duduk tenang, tidak dapat bersantai), hipertikvitas (pusing,jantung berdetak cepat, dan juga berkeringat) dan pikiran-pikiran yang mendalam. Setiap manusia normal pernah mengalami rasa cemas dalam hidupnya. Kecemasan merupakan terjemahan dari bahasa asing yaitu anxiety yang ”berarti perasaan tercekik” menurut Setyobroto (2001). Kecemasan dapat timbul karena situasi yang sedang berlangsung ataupun yang sudah berlangsung dari hasil pengalaman juga mengandung ancaman dan sulit untuk lepas dari rasa aman.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu ketakutan pada suatu objek yang tidak jelas dan dapat juga merubah keadaan suasana hati yang ditandai oleh efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan dimasa yang akan dating dengan perasaan khawatir.
2.2.2 Dimensi Kecemasan
Haber dan Runyon (1984), mengungkapkan jika individu mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut tengah mengalami kecemasan, yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan
pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Haber dan Runyon (1984) menjelaskan terdapat beberapa dimensi kecemasan yaitu:
a. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang), dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam pikiran seseorang sehingga ia mengalami perasaan risau dan khawatir. Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta kematian.
Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk tidur. Termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di malam hari, mudah bingung, dan lupa.
b. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis), dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas, jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala, leher, bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan.
c. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang), dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Termasuk dimensi afektif antara lain
yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi gugup (nervous).
2.2.3. Sumber-Sumber Kecemasan
Menurut Sudarwati (2007), terdapat beberapa sumber kecemasan yang di antaranya:
a. Keluhan Somatis
Keluhan somatis terjadi akibat dari meningkatnya aktivitas fisiologis yang berkaitan erat dengan situasi yang menimbulkan stres seperti situasi pertandingan atau kompetisi. Contoh: sering buang air kecil, gemetar, sakit perut, dan menguap yang berlebihan.
b. Takut Gagal
Perasaan takut gagal terjadi ketika atlet di evaluasi secara subjektif yang kemudian menjadi suatu persepsi, kemungkinan gagal dalam usaha untuk meraih prestasi menimbulkan reaksi cemas.
c. Merasa Tidak Komplet atau Tidak Lengkap
Perasaan tidak komplet (lengkap) di tandai oleh persepsi atlet tentang dirinya yang negatif seperti ketidakpuasan tentang pribadi yang kemudian menimbulkan perasaan lemah, lelah, dan tidak mampu untuk berkonsentrasi.
d. Kehilangan Kendali
Kehilangan kendali merupakan persepsi atlet akan ketidakmampuannya mengendalikan sesuatu yang sedang terjadi.
Kejadian yang sedang terjadi dianggap sebagai suatu keberuntungan
yang dikontrol oleh faktor di luar dirinya. Faktor kecemasan diwakili oleh pikiran-pikiran mengenai keberuntungan, growing yang jelek, lingkungan yang tidak bersahabat, dan tampil pada matras yang baru karena permukaan matras baru lebih licin.
e. Rasa Bersalah
Rasa bersalah muncul berkaitan dengan moralitas dan agresi.
Hal yang berhubungan dengan rasa bersalah adalah mencederai lawan, bermain tidak sportif, dan terlalu banyak membuat janji-janji yang merupakan pikiran-pikiran reflektif mengenai rasa bersalah.
f. Cita-cita yang Tinggi
Cita-cita yang tidak rasional, harapan yang muluk-muluk, dan keterlibatan ego yang besar menyebabkan timbulnya kecemasan.
g. Diperhatikan Orang Lain
Perhatian orang lain bisa menimbulkan kepuasan yang cocok dengan hasrat pamer, dengan demikian dapat meningkatkan semangat juang, tetapi perhatian juga dapat menimbulkan kegelisahan.
h. Kegelisahan yang Berlebihan
Kegelisahan yang berlebihan dan tidak berasalan dapat menimbulkan gejala fifiologis, misalnya keringat yang berlebihan, pusing, pucat, dan keinginan buang air kecil meningkat.
i. Kegagalan dalam Pertandingan yang Lalu
Pengalaman gagal pada pertandingan yang terdahulu dapat meningkatkan kegelisahan atlet dalam menghadapi pertandingan yang akan di hadapi.
j. Cedera
Cedera yang pernah di alami atlet menimbulkan kegelisahan, apalagi cedera yang berulang-ulang di alami oleh atlet.
k. Usia
Tingkat kecemasan sesaat sebelum mengikuti kompetisi semakin berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
l. Jenis Kelamin
Pada umumnya atlet wanita secara konsisten lebih menunjukan kecemasan dalam situasi kompetitif di bandingkan dengan atlet pria pada umumnya.
Sumber-sumber kecemasan juga dijelaskan menurut Gunarsa (1996), bermacam-macam seperti tuntutan sosial yang berlebihan dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya seperti misalnya kecenderungan perfeksionis, perasaan rendah diri pada individu yang bersangkutan, kekurangsiapan individu itu sendiri untuk menghadapi situasi yang ada, pola berpikir dan persepsi negative terhadap situasi yang ada atupun terhadap diri sendiri.
Gejala kecemasan bermacam-macam bentuk dan kompleksitasinya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung untukt terus-menerus merasa khawatir dan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik. Dengan mengetahui sumber kecemasan, maka pihak-pihak yang berkompeten perlu berupaya sedini mungkin untuk memperkecil kecemasan pada atlet. Sebab telah disadari bahwa atlet yang tegang akan menunjukkan penampilan yang kurang atau tidak semestinya.
Untuk itu perlu mengenali ketegangan atau kecemasan yang telah menyerang atlet.
Gejala-gejalanya dapat dibedakan atas dua macam yaitu gejala fisik dan gejala psikis menurut Gunarsa (1989). Gejala fisik, adanya perubahan yang dramatis pada tingkah laku, gelisah atau tidak tenang dan sulit tidur; terjadi peregangan pada otot-otot pundak, lengan, perut, terlebih lagi pada otot-otot ekstremitas; terjadi perubahan irama pernapasan; dan terjadi kontraksi otot setempat, pada dagu, sekitar mata dan rahang. Gejala psikis. Gangguan pada perhatian dan konsentrasi;
perubahan emosi; menurunnya rasa percaya diri; timbul obsesi; dan tiada motivasi.
2.2.4. Bentuk-Bentuk Kecemasan
Menurut Sahara (2009), bentuk kecemasan dalam dua tingkat yaitu:
a. Tingkat Psikologis: Kecemasan yang berwujud sebagai geja-gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya.
b. Tingkat Fisiologis: Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya.
Adapun beberapa bentuk kecemasan pada atlet secara garis besar terdiri atas:
a. Kecemasan Kompetitif (Competitive Anxiety)
Bila atlet menganggap ada situasi yang mengancam maka akan terjadi peningkatan reaksi cemas. Proses kompetisi adalah proses kecemasan yang terjadi pada seseorang sebagai hasil adanya situasi kompetisi yang objektif. Penghubung antara kecemasan dan kompetisi dapat di tentukan dengan mendefinisikan kompetisi dalam olahraga.
Kompetisi merupakan suatu proses yang membandingan penampilan individu berdasarkan standar yang di kemukakan setidaknya oleh satu orang ysng memahami kriteria dalam pemahaman dan evaluasi dari proses pembandingan tersebut.
Proses dalam kompetisi merupakan sesuatu yang pada dasarnya menimbulkan keatakutan karena evaluasi internal dan eksternal dari individu yang kompeten. Sebagai sasaran akhir, kompetisi membandingkan performa individu dengan beberapa standar, lalu memberikan informasi tentang kesuksesan atau kegagalan dalam suatu kompetisi. Singkatnya, merupakan interpretasi dan penilaian individual terhadap situasi kompetisi yang mempengaruhi perpepsi terancam menurut Gill (1986). Karena perasaan kompeten merupakan motif dasar dan alami dalam hidup, kompetisi merupakan ancaman yang menakutkan dalam pemenuhan kebutuhan ini (perasaan kompeten). Hal tersebut membantu individu memperoleh kompetensinya dalam situasi kompetisi yang sangan berhubungan dengan perasaan kecemasan kompetitif. Jadi, dalam kompetisi ada persaingan antar satu individu atau lebih dengan individu lainnya, dalam mendapatkan perasaan kompeten sesuai dengan standar yang di berlakukan.
b. Kecemasan Kognitif (Cognitive Anxiety)
Yang di maksud dengan kecemasan kognitif (cognitive anxiety) adalah suatu proses kognitif yang melibatkan antara menghadapi dan bereaksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi alami ini.
Morris & Colbert (1981) menyatakan bahwa kecemasan kognitif merupakan elemen kognitif kecemasan berupa harapan negatif,
perhatian terhadap diri sendiri, situasi yang mempengaruhi dan juga konsekuensi-konsekuensi yang akan mucul.
c. Kecemasan Somatik (Somatic Anxiety)
Somatic anxiety adalah persepsi individual akan keadaan fisiologis dalam merespons situasi yang menegangkan yang di sadarinya. Keadaan fisiologis ini dapat membantu atau menjadi hambatan dalam pertandingan. Di dalamnya ada simptom-simptom dari reaksi atomatis seperti kejang perut, berkeringat, dan detak jantung meningkat menurut Mahoney & Meyers (1989). Dalam kecemasan somatik terdapat kecemasan somatik sesaat yang merupakan komponen fisiologis dan afeksi dari kecemasan sesaat yang langsung berhubungan dengan kesiagaan. Biasanya atlet yang akan menghadapi pertandingan mengalami pertandingan mengalami atau merasakan kecemasan yang terlihat dengan tangan berkeringat atau dingin, gemetar, dan sebagainya. Kondisi yang demikian ini harus diatasi dengan baik. Kalau tidak, akan menggangu performa atlet.
Dengan adanya, peralatan pertandingan dengan lebih menggunakan fungsi sensor pada body protector maka kecurangan lebih bisa di minimalisir. Indikator-indikator untuk kcemasan somatik yaitu telapak tangan berkeringat, detak jantung meningkat, tarikan napas pendek, buang air kecil meningkat, nafsu makan berkurang, susah tidur, perut mual.
2.2.5. Reaksi Yang Timbul Oleh Kecemasan
Menurut Sobur (2003), ada tiga komponen dari reaksi kecemasan, yaitu:
a. Emosional : Mempunyai ketakutan yang sangat dan secara sadar.
b. Kognitif : Ketakutan meluas dan sering berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih, memecahkan masalah, dan mengatasi tuntutan lingkunga.
c. Psikologis : Tanggapan tubuh terhadap rasa takut berupa pengerasan diri untuk bertindak, baik tindakan itu dikehendaki atau tidak.
2.2.6. Cara Menghadapi Kecemasan
Untuk mengatasi kecemasan atau ketegangan dalam menghadapi pertandingan perlu dilakukan beberapa cara, sebagai berikut:
a. Identifikasi dan temukan sumber utama masalah yang menyebabkan kecemasan.
b. Lakukan latihan simulasi, yaitu latihan di bawah kondisi sama seperti pertandingan.
c. Usahakan untuk mengingat, merasakan, dan memikirkan saat-saat berpenampilan terbaik.
d. Lakukan latihan relaksasi seperti peregangan atau pengendoran otot- otot beberapa saat.
e. Lakukan latihan ontogenik, yaitu bentuk latihan relaksasi yang secara sistematis memikirkan dan merasakan bagian-bagian tubuh terasa hangat dan berat.
f. Lakukan latihan pernapasan dengan bernapas melalui mulut dan hidung serta secara sadar menggunakan diafragma.
g. Mendengarkan musik, membaca, berbicara dengan orang lain untuk mengalihkan perhatian.
h. Berpikir dan membuat pernyataan-pernyataan positif.
2.2.7. Kecemasan Pada Atlet
Menurut Lilik Sudarwati (2007), setiap atlet pernah merasakan suatu tingkat kecemasan tertentu dalam suatu pertandingan. Tingkat kecemasan yang sedikit dapat meningkatkan kesiagaan sehingga dapat meningkatkan performa atlet, tetapi sebaliknya kecemasan sesaat yang tinggi dapat menghambat performa yang maksimal. Peningkatan sesaat yang sedang atau rendah pada suatu tingkat tertentu dapat mengoptimalkan performa yang di tampilkan atlet, sebaiknya tingkat kecemasan sesaat yang meningkat terlalu tinggi dapat menurunkan performa atlet.
Setiap atlet tentu saja selalu berhadapan dengan pertandingan yang menimbulkan suatu kondisi kompetisi dan dalam setiap pertandingan tersebut, kecemasan selalu hadir dalam diri para atlet. Karena memang pada dasarnya setiap atlet ingin mencapai yang terbaik berdasarkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dalam pencapaian prestasinya. Hal inilah yang menimbulkan kondisi dimana atlet merasa cemas akan keberhasilannya untuk suatu pencapaian tersebut. Oleh karena itu, kondisi
psikologis yang baik dalam menghadapi kompetisi sangat penting bagi para atlet agar dapat mencapai target prestasi yang di harapkan.
Sementara itu, Gunarsa (1996), menyimpulkan hubungan kecemasan bertanding dalam hubungannya dengan pertandingan sebagai berikut:
a. Sebelum pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan berat tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b. Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c. Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi terutama bila skor pertandingan berimbang.
Menurut Harsono (1988), menguraikan kecemasan atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori:
a. Takut gagal di pertandingan.
b. Takut akan akibat social atas mutu prestasinya.
c. Takut cedera atau lain hal yang berhubungan dengan kelainan-kelainan kondisi fisiologisnya yang mungkin menimpa tubuhnya.
d. Takut akan akibat agresi fisik, baik yang dilakukan oleh lawan maupun oleh sendiri.
e. Takut bahwa fisiknya tidak mampu menyelesaikan tugasnya atau pertandingan dengan baik.
Keadaan cemas bagi atlet dalam mengadapi pertandingan adalah hal yang biasa, namun seorang atlet juga harus mempunyai keyakinan dan
kerpercayaan diri untuk mengatasi kecemasan yang timbul pada saat kompetisi. Dukungan dan support dari rekan-rekan dan keluarga memberi arti tersendiri bagi seorang atlet untuk menumbuhkan kepercayaan dan menggapai harapan untuk berprestasi tinggi. Tanpa memiliki motivasi yang kuat, maka seorang atlet tidak mungkin mencapai prestasi setinggi- tingginya, oleh karenanya dengan memiliki motivasi berprestasi yang kuat, seorang atlet akan selalu berusaha lebih baik dari apa yang pernah dicapainay sendiri, dan juga berusaha untuk lebih baik lagi dari prestasi orang lain.
Dari beberapa pendapat menurut Harsono (1998) dan menurut Singgih (2008), mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan seorang atlet mengalami kecemasan pada saat menjelang pertandingan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
a. Berasal dari dalam diri atlet 1. Moral
Menurut Harsono (1998), “moral atlet merupakan suatu sikap yang mampu menatap segala kesulitan, perubahan, frustasi, kegagalan, dan gangguan-gangguan emosional dalam menghadapi pertandingan dengan penuh kesabaran dan rasa percaya diri.”
Moral yang tinggi terlihat dalam kemampuan yang keras, kemantapan niat untuk menang dan tidak cepat menyerah, meskipun atlet menghadapi kegagalan maupun keberhasilan dalam suatu pertandingan. Atlet yang mengeluh, emosi labil, pura-pura
sakit, menyalahkan orang lain, konsentrasi menurun dan lain sebagainya merupakan contoh moral yang kurang baik. Dan merupakan pertanda atlet mengalami kecemasan sebelum pertandingan.
2. Pengalaman Bertanding
Menurut Singgih (1995), perasaan cemas pada atlet berpengalaman berbeda dengan atlet yang belum berpengalaman berbeda dengan atlet yang belum berpengalaman. Seorang atlet yang kurang bahkan belum pernah bertanding kemungkinan tingkat kecemasannya tinggi sehingga dapat menurunkan semangat dan kepercayaan diri dalam pertandingan, begitu pula atlet yang sudah terbiasa bertanding dapat mengalami kecemasan walaupun relatif kecil karena sudah pernah mengalami dan dapat menguasainya.
Atlet yang belum pernah mengikuti pertandingan akan mengalami kesulitan dalam menghadapi gangguan yang timbul dalam pertandingan, pengorbanan yang dituntut untuk mencapai suatu kemenangan, tekanan-tekanan yang dihadapi, pahitnya suatu kekalahan, dan nikmatnya suatu kemenangan merupakan keseluruhan hal yang belum pernah merasakan pengalaman bertanding.
3. Adanya pikiran negatif dicemooh/dimarahi
Singgih (2004), mengemukakan bahwa di cemooh atau dimarahi adalah sumber dari dalam diri atlet. Dampaknya akan
menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi tersebut akan bertahan sehingga menjadi suatu yang menimbulkan frustasi yang mengganggu penampilan pelaksanaan pertandingan. Perasaan takut dimarahi oleh pelatih apabila gagal dalam suatu pertandingan, membuat seorang atlet menjadi tertekan. Atlet tersebut tidak dapat mengembangkan kemampuannya dikarenakan adanya pikiran- pikiran yang kurang percaya akan kemampuan yang dimilikinya.
4. Adanya pikiran puas diri
Menurut Singgih (2004), bila dalam diri atlet ada pikiran atau rasa puas diri, maka dalam diri atlet tersebut tanpa disadarinya telah tertanam kecemasan. Atlet dituntut oleh dirinya sendiri untuk mewujudkan suatu yang mungkin berada diluar kemampuannya.
Harapan yang terlalu tinggi padahal tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya membuat atlet tenis lapangan tidak waspada menjadi lengah, tingkat konsentrasinya menjadi menurun dan lain sebagainya.
b. Berasal dari luar diri atlet 1. Penonton
Pengaruh penonton yang tampak terhadap seorang atlet pada umumnya berupa menurunnya keadaan mental, sehingga tidak dapat dengan sempurna menampilkan penampilan terbaiknya.
Atlet seolah- olah mengikuti apa kata penonton dan bagaimana petenis bermain sehingga menurunkan kepercayaan dirinya. Akan
tetapi dalam diri hal- hal tertentu kehadiran penonton dapat menjadi hal positif misalnya atlet menjadi lebih semangat karena adanya yang mendukung dalam menghadapi suatu pertandingan.
2. Pengaruh lingkungan keluarga
Menurut Endang Multyaningsih (1999), keluarga merupakan wadah pembentuk pribadi anggota keluarga. Apabila lingkungan keluarga sangat menekankan kepada atlet untuk harus menjadi juara, atlet tenis lapangan menjadi tertekan. Sehingga atlet tidak yakin akan kemampuannya sehingga atlet tersebut membayangkan bagaimana kalau dirinya gagal sehingga tidak dapat memenuhi harapan keluarganya, hal ini akan menurunkan penampilan atletnya dalam menghadapi suatu pertandingan.
3. Saingan yang bukan tandingannya
Lawan tanding yang dihadapi merupakan pemain berprestasi akan menimbulkan kecemasan. Menurut Singgih (2004), atlet yang mengatahui lawan yang dihadapinya adalah pemain nasional atau lebih unggul dari dirinya, maka hati kecil seorang atlet tersebut timbul pengakuan akan ketidakmampuannya untuk menang.
4. Peranan pelatih
Menurut Singgih (2004), sikap pelatih yang khawatir berlebihan dapat mempengaruhi sikap atlet, salah satunya akibatnya adalah petenis takut cedera, dan gemetar saat bertanding
sehingga cenderung bertahan daripada untuk menyerah dan merebut poin/angka. Begitu pula dengan ketidakhadiran pelatih dalam pertandingan akan mengurangi penampilan atlet, hal ini disebabkan karena atlet merasa tidak ada yang memberi dorongan atau dukungan pada saat yang diperlukan. Selain itu apabila terjadi hubungan yang tidak baik serasi antara atlet dan pelatih, atlet tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan pelatih, tidak ada keterbukaan mengenai gangguan-gangguan mental yang dialaminya dan hal ini akan menjadi beban seorang atlet.
5. Cuaca panas
Menurut Singgih (2008), keadaan yang di akibatkan oleh panasnya cuaca atau ruangan akan mengakibatkan kecemasan.
Cuaca panas yang tinggi akan mengganggu beberapa fungsi tubuh sehingga atlet merasa lelah dan tidak nyaman serta mengalami rasa pusing,sakit kepala, mual dan mengantuk. Kondisi ini disebut sebagai kelelahan oleh panas (heat exhaustion).
2.3. Atlet
2.3.1. Pengertian Atlet
Hakikat dari kata atlet juga banyak diungkapkan oleh para ahli.
Menurut Basuki Wibowo (2002), atlet adalah subjek/seseorang yang berprofesi atau menekuni suatu cabang olahraga tertentu dan berprestasi pada cabang olahraga tersebut, sedangkan menurut Peter Salim (1991)
atlet adalah olahragawan, terutama dalam bidang yang memerlukan kekuatan, ketangkasan, dan kecepatan. Selain itu menurut Monty P. (200), atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri, yang memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri, serta latar belakang yang mempengaruhi spesifik dalam dirinya.
2.3.2. Pengertian Olahraga Beladiri
Seni bela diri merupakan satu kesenian yang timbul sebagai satu cara seseorang mempertahankan/membela diri. Seni bela diri telah lama ada dan berkembang dari masa ke masa. Pada dasarnya, manusia mempunyai insting untuk selalu melindungi diri dan hidupnya. Dalam tumbuh atau berkembang, manusia tidak dapat lepas dari kegiatan fisiknya, kapan pun dan di manapun. Hal inilah yang akan memacu aktivitas fisiknya sepanjang waktu. Pada zaman kuno, tepatnya sebelum adanya persenjataan modern, manusia tidak memikirkan cara lain untuk mempertahankan dirinya selain dengan tangan kosong. Pada saat itu, kemampuan bertarung dengan tangan kosong dikembangkan sebagai cara untuk menyerang dan bertahan, kemudian digunakan untuk meningkatkan kemampuan fisik/badan seseorang. Meskipun begitu, pada zaman-zaman selanjutnya, persenjataan pun mulai dikenal dan dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan diri.
2.3.3. Olahraga beladiri Taekwondo
Taekwondo yang dikenal sekarang ini merupakan perjalanan panjang dari suatu seni beladiri tradisional Korea. Taekwondo sendiri
berasal dari bahasa Korea yang secara harfiah dapat diartikan sebagai berikut: “Tae yang berarti menyerang menggunakan kaki, Kwon yang berarti memukul atau menyerang dengan tangan, dan Do yang berarti disiplin atau seni”. Jadi taekwondo berarti seni bela diri yang menggunakan kaki dan tangan dengan disiplin tinggi. Taekwondo juga mengajarkan tentang etika, seperti cara berbicara, masuk ruangan, meningalkan ruangan, dan lain-lain. Taekwondo tidak hanya suatu kegiatan yang hanya mengutamakan fisik saja, tetapi banyak sekali nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Kim (1986), Taekwondo membangun sikap kepedulian sosial, kemanusiaan, kekuatan dalam diri, kebersamaan, keorganisasian, rasa percaya diri, kebaikan sesama dan toleransi.
2.4. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini penulis memaparkan dua penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang pengaruh kecemasan dan motivasi berprestasi pada atlet beladiri.
Penelitian-penelitian tersebut adalah:
a. Ferry (2015), dalam jurnalnya dengan judul “Hubungan Motivasi Berprestasi Dan Kecemasan Terhadap Prestasi Panahan Ronde Recurve Pada Atlet Panahan Di Indonesia“ dan berdasarkan hasil penelitian dan analisa data maka penelitian ini dapat disimpulkan
berprestasi dengan prestasi panahan ronde recurve, (2) terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan prestasi panahan ronde recurve, dan (3) terdapat hubungan yang bermakna antara motivasi berprestasi dan kecemasan secara bersama – sama dengan prestasi panahan ronde recurve.
b. Ayang (2015), dalam jurnalnya dengan judul “Hubungan Antara Kecemasan Bertanding Dan Dukungan Sosial Dengan Motivasi Berprestasi Pada Atlet Pencak Silat Perguruan Pencak Organisasi Sidoarjo” dan Hasil analisis membuktikan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara dukungan sosial dengan motivasi berprestasi pada atlet pencak silat perguruan Pencak Organisasi Sidoarjo dan hasil analisis juga membuktikan bahwa Terdapat hubungan antara kecemasan bertanding dan dukungan sosial dengan motivasi berprestasi pada atlet pencak silat perguruan Pencak Organisasi Sidoarjo.
2.5. Kerangka Berpikir
Haber dan Runyon (1984), mengungkapkan jika individu mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut tengah mengalami kecemasan, yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Menurut McClelland (1987), ciri-ciri atlet yang memiliki motivasi berprestasi tinggi adalah
tanggung jawab, mempertimbangkan resiko, memperhatikan umpan balik, kreatif-inovatif.
Kecemasan sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan, dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego itu memperingatkan individu tentang kemungkinan datang suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi yang adaptif yang sesuai menurut Alwisol (2009). Dimensi yang kecemasan yaitu dimensi kognitif, dimensi somatis, dimensi afektif.
Kecemasan sebagai salah satu kondisi kejiwaan yang tidak stabil dapat timbul dalam motivasi berprestasi ada unsur kompetisi antara seorang atlet dengan atlet–atlet lainya. Setiap atlet berusaha mencapai prestasi yang terbaik, mengungguli teman-temannya yang lain. Namun layaknya sebuah kompetisi tentu ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Kemenangan atau keberhasilan pada atlet yang berprestasi cenderung membuat atlet berusaha mempertahankan prestasinya agar dia tetap menjadi sang juara. Sebaliknya kekalahan atau kegagalan yang berulang-ulang cenderungmembuat atlet patah semangat dan putus asa.
Pengalaman atlet tentang kegagalan ini biasanya akan terus membekas dan menimbulkan kecemasan pada diri atlet.
Berdasarkan paparan di atas sangat jelas seberapa berpengaruhnya kecemasan terhadap motivasi berprestasi dan pengaruh yang di hasilkan lebih ke arah negatif karena dapat mengganggu mutu prestasi atlet.
2.6. Hipotetis
Berdasarkan rumusan penelitian, masalah penelitian ini dirumuskan menjadi :
Hı : Ada pengaruh kecemasan terhadap motivasi berprestasi pada atlet beladiri.
Ho: Tidak ada pengaruh kecemasan terhadap motivasi berprestasi pada atlet beladiri.
Motivasi Berprestasi 1. Tanggung Jawab
2. Mempertimbangkan Resiko 3. Memperhatikan Umpan Balik 4. Kreatif-Inotifativ
Kecemasan
1. Dimensi Kognitif 2. Dimensi Somatis 3. Dimensi Afektif