• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI DAN MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "URGENSI DAN MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL

MAHKAMAH AGUNG RI 2017

URGENSI DAN MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI

(2)
(3)

URGENSI DAN MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun Oleh:

BETTINA YAHYA, SH., M.Hum BUDI SUHARIYANTO, SH., MH.

MUH. RIDHA HAKIM, SH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2017

(4)
(5)

URGENSI DAN MEKANISME PENGEMBALIAN ASET HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun Oleh:

BETTINA YAHYA, SH., M.Hum BUDI SUHARIYANTO, SH., MH.

MUH. RIDHA HAKIM, SH.

PUSLITBANG HUKUM DAN PERADILAN BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

2017

(6)

Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

© Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Gedung Sekretariat Mahkamah Agung Lantai 10 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 By Pass Jakarta Pusat Hak Cipta terpelihara dan dilindungi Undang-Undang

All rights reserved

Cetakan Pertama, Desember 2017 Penulis :

Bettina Yahya, SH., M.Hum.

Budi Suhariyanto, SH., MH.

Muh. Ridha Hakim, SH.

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan Bettina Yahya, SH., M.Hum.

Budi Suhariyanto, SH., MH.

Muh. Ridha Hakim, SH.

Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI 2017 xiv, 86 hlm; 16 x 23 cm

ISBN: 978-602-51043-2-9

(7)

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI merupakan satuan kerja yang lahir setelah semua Lembaga Peradilan yaitu:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Tata Usaha Negara;

4. Peradilan Militer;

berada di bawah "satu atap" Mahkamah Agung RI.

Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia bagi seluruh aparat Peradilan, baik bagi Tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Juru sita) maupun tenaga non Teknis, termasuk Pejabat Struktural.

Dan dalam rangka Pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang Diklat Kumdil meliputi 4 (empat) unit kerja yakni:

1. Sekretariat Badan;

2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan;

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;

4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan;

Salah satu unit dari Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan adalah Penelitian (Puslitbang).

Berdasarkan DIPA 2017 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang) telah melaksanakan berbagai macam kegiatan yang menjadi tupoksinya. Salah satunya adalah

(8)

Penelitian Tentang "Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi" yang merupakan Penelitian Lapangan.

Penelitian tersebut dilaksanakan di wilayah Hukum Pengadilan di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Hasilnya telah disusun dan dibuat dalam bentuk Buku Laporan.

Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan semua pihak mulai dari pengumpulan bahan- bahan sampai dengan selesainya penelitian dan telah menjadi sebuah Buku Laporan Penelitian "Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi".

Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi amal sholeh di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

KEPALA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN & PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

HUKUM DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI

DR. H. ZAROF RICAR, S.Sos., SH., M.Hum

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunianya, sehingga Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan melalui DIPA Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI Tahun Anggaran 2017 telah berhasil merealisasikan salah satu tugas pokok dan fungsinya yakni menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian.

Pada tahun 2017, Puslitbang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengkajian sebanyak 14 judul. Salah satu di antaranya, Penelitian Lapangan berjudul “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, sebagaimana saat ini laporannya telah berada di tangan pembaca.

Rangkaian kegiatan penelitian dan pengkajian diawali dengan penyelenggaraan Focus Grup Discussion (FGD) untuk mendiskusikan Proposal yang disusun oleh Peneliti, dengan tujuan mendapatkan masukan dan kritik dari peserta FGD, untuk menyempurnakan judul, metode, pendekatan, tujuan, manfaat, serta pilihan bahan hukum maupun referensi yang akan digunakan dalam Penelitian. FGD Proposal berlangsung di Puslitbang Mahkamah Agung RI di Jakarta.

FGD dihadiri oleh beberapa Hakim Tinggi, Hakim Tinggi yang diperbantukan pada Balitbang Diklat, Hakim Yustisial, Hakim Tingkat Pertama, Fungsional Peneliti Puslitbang Mahkamah Agung, maupun Para Peneliti yang berasal dari Instansi atau Lembaga lain, serta Akademisi, serta pihak lain yang terkait.

Setelah dilakukan penyempurnaan terhadap proposal penelitian, selanjutnya koordinator peneliti beserta pembantu peneliti serta staf memulai pelaksanaan kegiatan Penelitian. Dimulai dengan melakukan kompilasi – seleksi terhadap bahan-bahan hukum yang dinilai relevan

(10)

meliputi asas-asas, teori, norma maupun putusan-putusan pengadilan yang selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui ada-tidaknya korelasi serta relevansi antara satu dengan yang lain. Apakah terdapat kesesuaian ataukah pertentangan antara “das sollen” dengan “das sein”, antara “law in abstracto” dengan “law in concreto”nya. Apakah ratio legis dalam kaidah dan ratio decidendi yang digunakan dalam putusan. Untuk melengkapi analisis, peneliti juga melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa narasumber yang dinilai kompeten di bidangnya.

Terhadap draf laporan hasil penelitian yang disusun oleh peneliti, dilakukan finalisasi koreksi terhadap draf Laporan Hasil Penelitian.

Tahap selanjutnya adalah proses pencetakan Buku Laporan Hasil Penelitian, pengunggahan (uploading) ke Website Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, serta pengiriman ke Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pejabat Struktural eselon 1 dan 2, Pengadilan Tingkat Banding serta Pengadilan- Pengadilan tingkat pertama dari 4 (empat) lingkungan peradilan, Kementerian/Lembaga, Perguruan Tinggi, serta berbagai pihak yang terkait. Mengingat keterbatasan anggaran, tidak semua pengadilan tingkat pertama mendapatkan kiriman Buku Laporan Hasil Penelitian.

Namun demikian softcopy Buku Laporan Hasil Penelitian dapat diunduh (download) melalui www.bldk.mahkamahagung.go.id c.q Puslitbang Hukum dan Peradilan.

(11)

Buku Laporan Hasil Penelitian ini disajikan sebagai bentuk pertanggungjawaban Kapuslitbang kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI, serta sebagai dokumentasi telah selesainya pelaksanaan kegiatan tersebut. Semoga kiranya dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

KEPALA

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN

BADAN LITBANG DIKLAT KUMDIL MA-RI

Prof. Dr. BASUKI REKSO WIBOWO, S.H., M.S.

(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karunianya sehingga salah satu tugas pokok dan fungsi Badan Litbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI menyelenggarakan penelitian untuk tahun anggaran 2017 telah terlaksana dengan baik, salah satunya melalui penelitian tentang

“Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”.

Topik tentang Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dipilih berdasarkan isu yang berkembang dalam masyarakat bahwa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan yang diharapkan untuk dapat memulihkan keuangan negara, akibat tindak pidana korupsi yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.

Berdasarkan Laporan Kinerja Mahkamah Agung mencatat pemulihan aset negara sepanjang tahun 2016 sebesar Rp.1,5 triliun, diantaranya berasal dari 356 perkara tindak pidana korupsi, berupa uang pengganti sebesar Rp.647.373.468.339,- (enam ratus empat puluh tujuh miliar tiga ratus tujuh puluh tiga juta empat ratus enam puluh delapan ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah) dan denda senilai Rp.75.956.400.000,- (tujuh puluh lima miliar sembilan ratus lima puluh enam juta empat ratus ribu rupiah) jika dibandingkan dengan kerugian keuangan negara yang diderita sepanjang tahun 2015 akibat tindak pidana korupsi adalah sebesar Rp.31.077.000.000.000,- (tiga puluh satu triliun tujuh puluh tujuh milyar rupiah), maka sesungguhnya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara tidak cukup berhasil.

(14)

Adapun penelitian ini dimulai dengan rangkaian kegiatan berupa forum group discussion (FGD) yang diselenggarakan di Jakarta, diikuti peserta aktif meliputi Hakim Tingkat Banding maupun Tingkat Pertama di wilayah Jabodetabek, Fungsional Peneliti dari dalam maupun luar instansi Puslitbang, dan Akademisi dari Perguruan Tinggi, guna mendapatkan berbagai masukan bagi penyempurnaan proposal penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian Lapangan di wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, yang dilengkapi dengan sejumlah wawancara dari pihak yang kompeten seperti Para Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Hakim Pengadilan Tingkat Banding, Hakim Pengadilan Tingkat Pertama di wilayah Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, Para Akademisi pada Fakultas Hukum Universitas di sekitar wilayah penelitian.

Dalam penelitian ini saya selaku koordinator peneliti dibantu oleh Budi Suhariyanto, SH., MH dan Muh. Ridha Hakim , SH serta tim yang ditunjuk sesuai Surat Keputusan Kepala Puslitbang Hukum dan Peradilan Nomor : 07/Bld.2/SK/III/2017 tanggal 16 Maret 2017 Perihal: Penunjukan Tim Kegiatan Penelitian Tentang “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”.

Akhir kata seluruh tim penelitian ini berharap, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana korupsi khususnya tentang pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Pada semua pihak yang memberikan bantuan terhadap pelaksanaan kegiatan penelitian ini tim peneliti mengucapkan terima kasih.

Koordinator Peneliti

Bettina Yahya, SH., M.Hum

(15)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KABALITBANG DIKLAT

KUMDIL ………... v

KATA PENGANTAR KAPUSLITBANG KUMDIL ……... vii

KATA PENGANTAR KOORDINATOR PENELITI ... xi

DAFTAR ISI ……… xiii

BAB I PENDAHULUAN……..………... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian …...………... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 11

A. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Tindak Pidana Korupsi ... 11

2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 14

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 16

B. Landasan Teori ... 19

1. Teori Negara Hukum ... 19

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana ... 22

3. Teori Asset Recovery ... 25

(16)

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Pendekatan Penelitian ... 31

C. Data Penelitian ... 33

D. Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL PEMBAHASAN ... 37

A. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum Positif . 37

1. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 40

2. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 44

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata ... 46

4. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 50

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 55

C. Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Ius Constituendum ... 64

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ………..…..………..………. 79

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak saja merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa.1 Metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.2

Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para Koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan penjelasan umum UU Tipikor.3 Kegagalan

1 Penjelasan Umum tentang Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemeberantasan Korupsi

2 Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta) (Jakarta: Adika Remaja Indonesia, 2006). Hlm. 87

3 Nur Syarifah, “Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi,” Lembaga Kajian & Advokasi Indenpendensi Peradilan, terakhir diubah tahun 2015, http://leip.or.id/mengupas-

(18)

pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi ‘makna’

penghukuman terhadap para koruptor.4

Pada dasarnya pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban Tipikor untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil Tipikor dari pelaku Tipikor melalui rangkaian proses dan mekanisme baik secara pidana dan perdata. Aset hasil Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar Negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan untuk mencegah pelaku Tipikor menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat atau sarana tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku/calon pelaku.5

UU Tipikor mengatur mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan dapat berupa pengembalian aset melalui jalur pidana, dan pengembalian aset melalui jalur perdata. Di samping UU Tipikor, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi (UNCAC) 2003 yang mengatur juga bahwa pengembalian aset dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak langsung melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery secara langsung melalui civil recovery). Secara teknis, UNCAC mengatur pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi

permasalahan-pidana-tambahan-pembayaran-uang-pengganti-dalam-perkara- korupsi/#_ftn1.

4 Saldi Isra, Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, Lokakarya tentang Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Korupsi (Semarang, 2008), https://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/

makalah1/47-asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama- internasional.html#_ftn1.

5 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007).

Hlm. 104

(19)

dapat melalui pengembalian secara langsung dari proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negotiation plea” atau “plea bargaining system” dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu dengan proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan.6

Pengembalian aset Tipikor melalui jalur perdata terdapat pada ketentuan-ketentuan pada Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Pasal 38B ayat (2) dan (3) UU Tipikor. Pertama, Ketentuan Pasal 32 ayat (1) mengatur bahwa dalam hal penyidik berpendapat tidak terdapat cukup bukti pada satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara berdasarkan berkas yang diserahkan oleh penyidik melakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatannya. Kedua, penguatan pengembalian kerugian negara dilakukan dengan mewajibkan pelaku untuk membuktikan harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pada kondisi dimana terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi maka hakim atas dasar kewenangannya dapat memutus seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Ketiga tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

6 Lilik Mulyadi, “Pengembalian Aset (Aset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003,” terakhir diubah tahun 2009, http://halamanhukum.blogspot.

co.id/2009/08/asset-recovery.html.

(20)

Pengajuan gugatan perdata dinilai seperti senjata yang sangat ampuh untuk langsung menyerang para pelaku tindak pidana dalam upaya pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi selain mendapatkan hukuman pidana. Hal tersebut harus dilaksanakan apabila aset yang disebutkan dalam putusan sebelumnya ditemukan lagi adanya aset lain yang belum teridentifikasi sebagai hasil tindak pidana korupsi.7 Gugatan perdata dalam rangka perampasan aset hasil tipikor, memiliki karakter yang spesifik, yaitu hanya dapat dilakukan ketika upaya pidana tidak lagi memungkinkan untuk digunakan dalam upaya pengembalian kerugian negara pada kas negara. Keadaan dimana pidana tidak dapat digunakan lagi antara lain tidak ditemukan cukup bukti; meninggal dunianya tersangka, terdakwa, terpidana;

terdakwa diputus bebas; adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya pengaturan gugatan perdata untuk perampasan aset dalam Undang-Undang Tipikor dalam Pasal 32, 33, 34, 38C, Undang-Undang Tipikor dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya pengaturan tersebut maka perampasan aset hasil tipikor dengan menggunakan mekanisme perdata tidak dapat dilakukan.8

Pengembalian aset dari jalur kepidanaan dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Menurut Lilik Mulyadi, apabila diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan

7 Himawan Ahmed Sanusi, “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi,” Majalah Keadilan, 2012. Hlm. 34-35

8 Marfuatul Latifah, “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia,” Jurnal Negara Hukum Vol. 6, no. 1 (2015). Hlm. 25

(21)

hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:9

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

(Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Tipikor);

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU Tipikor);

3. Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan/atau pidana

9 Lilik Mulyadi, “Pengembalian Aset (Aset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003,” terakhir diubah tahun 2009, http://halamanhukum.blogspot.co.id/

2009/08/asset-recovery.html.

(22)

denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence;

4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU Tipikor);

5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok.

(Pasal 38B ayat (2), (3) UU Tipikor).

Pada prakteknya tindakan perampasan yang dilakukan berdasarkan putusan peradilan pidana itu dapat menemui beberapa kendala bahkan penghentian dalam rangka tindakan perampasan tersebut. Perkara tersebut diantaranya :10

a. Pelaku kejahatan melakukan pelarian (buronan). Pengadilan pidana tidak dapat dilakukan jika si tersangka adalah buron atau dalam pengejaran;

b. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum dinyatakan bersalah. Kematian menghentikan proses sistem peradilan pidana yang berlangsung;

10 Wahyudi Hafiludin Saledi, “Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkiat Dengan Tindak Pidana Korupsi” (Universitas Indonesia, 2010). Hlm. 65-66

(23)

c. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (immune);

d. Pelaku kejahatan memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga pengadilan pidana tidak dapat melakukan pengadilan terhadapnya;

e. Si pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil kejahatannya diketahui/ditemukan;

f. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan secara hukum pihak ketiga tidak bersalah dan bukan pelaku atau tidak terkait dengan kejahatan utamanya;

g. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan pidana.

Setelah berlakunya UU Tipikor selama 17 tahun, telah banyak pelaku Tipikor yang diajukan ke persidangan dan memperoleh putusan dari pengadilan. Berdasarkan Laporan Kinerja Mahkamah Agung mencatat pemulihan aset negara sepanjang tahun 2016 sebesar Rp.1,5 Triliun diantaranya berasal dari 356 perkara korupsi, berupa uang pengganti sebesar Rp.647.373.468.339,- (enam ratus empat puluh tujuh miliar tiga ratus tujuh puluh tiga juta empat ratus enam puluh delapan ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah) dan denda senilai Rp.75.956.400.000,- (tujuh puluh lima miliar sembilan ratus lima puluh enam juta empat ratus ribu rupiah), jika dibandingkan dengan kerugian keuangan yang diderita negara sepanjang tahun 2015 akibat Tindak Pidana Korupsi adalah sebesar Rp.31.077.000.000.000,- (tiga puluh satu triliun tujuh puluh tujuh miliyar rupiah), sebagaimana disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)11 maka sesungguhnya perampasan aset hasil Tipikor

11 Dyah Dwi A, “ICW: Korupsi 2015 Rugikan Negara Rp31,077 Triliun,”

Antara News, last modified 2016, accessed February 16, 2016, http://www.antaranews.com/berita/546929/icw-korupsi-2015-rugikan-negara-rp 31077-triliun.

(24)

dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara tidak cukup berhasil.

Aparat penegak hukum sangat sulit untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana. Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12 Selain itu juga menjadi sebabnya adalah belum adanya kerja sama internasional yang memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh aparat penegak hukum, serta lamanya waktu yang dibutuhkan sampai dengan aset hasil tindak pidana dapat disita oleh negara, yaitu setelah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.13

Sebagai perwujudan dari keinginan parlemen untuk mendukung upaya pengembalian aset, saat ini muncul wacana untuk melakukan pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana dalam undang-undang tersendiri. Usulan untuk membentuk undang-undang mengenai perampasan aset hasil tindak pidana terlihat dengan adanya persetujuan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tersebut terdapat paradigma baru terkait dengan mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana

12 Konsideran Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.

13 Latifah, “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia.” Hlm. 18

(25)

yang mengacu pada beberapa konvensi internasional, khususnya UNCAC yang di dalamnya menggunakan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan. Hal ini tentu saja adalah berbeda dengan ketentuan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana yang dipraktekan di Indonesia selama ini. Karena selama ini perampasan aset di dalam sistem hukum Indonesia dapat dilakukan setelah proses penegakan hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.14 Dalam konteks ini maka perlu dikaji tentang urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”

tersebut maka ada tiga permasalahan dalam pengkajian ini, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif?

2. Bagaimanakah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi selama ini?

3. Bagaimanakah urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam ius constituendum?

C. Tujuan Penelitian

Atas perumusan beberapa masalah sebagaimana tersebut di atas maka tujuan penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, diantaranya:

14 Ibid. Hlm. 19

(26)

1. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah tentang pengaturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif;

2. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi selama ini; dan

3. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah tentang urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam ius constituendum.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi” ini memiliki dua aspek kegunaan yaitu secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini berguna bagi kalangan akademisi dalam hal pengembangan ilmu hukum pidana khususnya yang terkait dengan perampasan aset terpidana korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian negara. Adapun secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi bagi para penegak hukum maupun para hakim pada peradilan Tipikor, baik pada tingkat pertama, banding dan Mahkamah Agung RI. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi Dewan Perwakilan Rakyat dalam menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau

“corruptus”, yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis “corruption” bahasa Belanda “corruptie” yang kemudian muncul pula dalam bahasa Indonesia “korupsi”.15 Di Indonesia, kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai “KKN” (korupsi, kolusi, nepotisme). “Korupsi” selama ini mengacu kepada berbagai “tindakan gelap dan tidak sah”

(illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi ini kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi menekankan pada “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk keuntungan pribadi”.16

Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi :17 a) Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office

centered corruption). Philip mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, kerabat dan teman.

15 Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982).

16 Azyumardi Azra, “Korupsi Dalam Perspektif Good Governance,” Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2, no. 1 (2002). Hlm. 31

17 Ibid. Hlm.31-32

(28)

Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme:

pemberian patronase karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.

b) Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik, melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang dengan imbalan (apakah uang atau materi lain). Akibatnya, tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan publik.

c) Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa korupsi menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi dalam kerangka analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau kelompok menggunakan korupsi sebagai “lembaga” ekstra legal untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.

Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).

Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang terkandung dalam UU Tipikor. Dalam bahasa hukum positif tersebut, pengertian korupsi secara umum, adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU Tipikor. Misalnya salah satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan undang-undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: 1) melawan hukum; 2) memperkaya diri sendiri atau

(29)

orang lain atau korporasi; 3) merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan kriteria tersebut maka orang yang dapat dijerat dengan undang-undang korupsi, bukan hanya pejabat Negara saja melainkan pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat dengan ketentuan UU Tipikor.18

Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang karena jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi) dari pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi secara lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU Tipikor.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian keuangan Negara; Suap menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan Gratifikasi.19

18 Eddy Mulyadi Soepardi, “Peran BPKP Dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Konsultasi Instansi Pemerintah,”

Seminar Nasional Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultansi dan Pencegahan Korupsi Di Lingkungan Instansi Pemerintah (Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan INKINDO, 2010). hlm. 5

19 Ibid

(30)

2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Kata “aset” berasal dari bahasa Inggris, yaitu asset, yang berarti 1) mutable person or quality, 2) thing owned, esp property, that can be sold to pay I debt. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aset adalah, 1) sesuatu yang mempunyai nilai tukar modal. Kata “aset” dalam bahasa Indonesia sinonim dengan kata

“modal, kekayaan”. Menurut Black’s Law Dictionary, “asset”

berarti “1) An item that is owned and has value. 2. (pl.) The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3. (pl.). All the property of a person (esp. A bankrupt or defeased person) available for paying debts”.20

Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh.

Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak. Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu "Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung."21

20 http://www.hariandialog.com

21 KPK, “Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita?,” terakhir diubah tahun 2016, https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita.

(31)

Aset hasil kejahatan biasanya diartikan sebagai setiap harta kekayaan, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan hasil tindak pidana, atau diperoleh dari hasil tindak pidana, atau sebagai bentuk keuntungan dari suatu tindak pidana. Lebih jauh dari itu, harta kekayaan yang dapat dirampas tidak hanya terbatas pada sesuatu yang diperoleh atau suatu bentuk keuntungan yang diperoleh dari suatu tindak pidana. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai (sebagai "modal"), atau sebagai alat, sarana, atau prasarana, bahkan setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau seluruh harta kekayaan milik pelaku tindak pidana juga dapat dirampas, sesuai dengan jenis tindak pidana yang terkait dengan harta kekayaan tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana atau setiap orang yang terlibat atau yang ingin melibatkan diri dalam suatu kejahatan atau organisasi kejahatan akan menyadari bahwa selain kemungkinan keuntungan yang akan mereka peroleh, ternyata mereka juga berhadapan dengan besarnya risiko kehilangan harta kekayaan mereka.22

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan istilah “hasil tindak pidana” untuk mendeskripsikan aset yang diperoleh dari tindak pidana maupun aset yang terkait dengan tindak pidana, meskipun istilah yang lebih tepat adalah “aset tindak pidana”. Penggunaan istilah “hasil tindak pidana” sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari

“aset yang terkait dengan tindak pidana“, karena sebenarnya aset

22 Arge Arif Suprabowo, “Perampasan Dan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Korupsi” (Universitas Pasundan, 2016). Hlm.6

(32)

yang terkait dengan tindak pidana itu mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar hasil tindak pidana.23 Dalam konteks yang sama, juga dapat diberlakukan pengertian yang demikian terhadap aset hasil tindak pidana korupsi.

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menurut Purwaning juga dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan sosial sehingga institusi negara dan institusi hukum mendapat tugas dan tanggung jawab menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi setiap individu-individu atau masyarakat. Atas dasar itu, dalam konteks tindak pidana korupsi yang menghilangkan kemampuan negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka negara wajib menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil secara melawan hak.24

Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-

23 Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: Perspektif Hukum Progresif, Yogyakarta. Thafamedia, 2015, hlm.22

24 Purwaning. M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB anti korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2007 Hlm.107

(33)

keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.25

Pengembalian aset menurut Paku Utama adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi.

Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/

atau calon pelaku tindak pidana korupsi.26

Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-013/A/JA/06/2014 menggunakan nomenklatur istilah Pemulihan Aset yang berarti yaitu proses yang meliputi penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset tindak pidana atau barang milik Negara yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan hukum. Pemulihan aset yang dimaksudkan dalam Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan terhadap:

1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau

25 Paku Utama, “Terobosan UNCAC Dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional,” Www.hukumonline.com, terakhir diubah tahun 2008, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terobosan-uncac-dalam- pengembalian-aset-korupsi-melalui-kerjasama-internasional.

26 Ibid.

(34)

korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;

2. Barang temuan;

3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;

4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan termasuk yang pada hakikatnya merupakan kompensasi kepada korban dan/atau kepada yang berhak.

Sangat disadari bahwa dalam strategi pemberantasan korupsi, upaya pemidanaan bukan merupakan satu-satunya jalan efektif, tetapi perlu disusun strategi yang lebih progresif. Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular di antara pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP) memang dapat memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan.

Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.27

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting dalam pemberantasan tindak pidana

27 Dave Akbarshah Fikarno Laksono, “Hari Antikorupsi dan Etos Pengembalian Aset Korupsi,” Okezone.com, terakhir diubah tahun 2016, https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/opini-hari-antikorupsi- dan-etos-pengembalian-aset-korupsi.

(35)

korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak pidana korupsi dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku. Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai lembaga negara.28

B. Landasan Teori

1. Teori Negara Hukum

Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara hukum. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Dalam kepustakaan Indonesia istilah rechtsstaat dan the rule of law sering diterjemahkan dengan negara hukum. Secara historis kedua istilah rechtsstaat dan the rule of law lahir dari sistem hukum yang berbeda. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada.29 Sedangkan istilah rule of the law mulai populer dengan

28 Ibid.

29 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara (Surabaya: Bina Ilmu, 1987). Hlm. 72.

(36)

terbitnya sebuah buku dari Albert Van Diceytahun 1885, dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitution.30

Paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner dan bertumpu pada Civil law system dengan karakteristik administratif. Sebaliknya paham the rule of law berkembang secara evolusioner dan bertumpu pada Common law sistem dengan karakteristik judisial.31 Perbedaan karakteristik tersebut disebabkan karena pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan- pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Sebaliknya di Inggris kekuasaan utama dari Raja adalah memutus perkara. Peradilan oleh Raja kemudian berkembang menjadi suatu sistem peradilan sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, akan tetapi bukan melaksanakan kehendak Raja. Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangan selanjutnya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.32

Pada konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.33 Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang

30 Ibid.

31 Ibid.

32 Ibid, hlm.72-73.

33 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007). Hlm. 297

(37)

bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara. Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.34

Hakikat negara hukum adalah menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.35

Sri Soemantri Martosoewignjo menyebutkan empat unsur Negara hukum yaitu: Pertama, pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; Kedua, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

Ketiga, adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan Keempat, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan

34 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: UII Press, 2003). Hlm.

238-239

35 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983). Hlm. 3

(38)

(rechtsterlijke controle).36 Adapun Bagir Manan tentang ciri suatu negara berdasarkan atas hukum, yaitu :37

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);

d. Ada pembagian kekuasaan.

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Tidaklah sah dan bertentangan dengan esensi negara hukum, bilamana terdapat suatu kejahatan yang tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan pengaturannya (khususnya pemidanaannya) tetapi dilakukan penghukuman terhadapnya.

Pada asasnya, menjatuhkan pidana secara sewenang-wenang atau berlebihan merupakan suatu kekejian terhadap hak asasi manusia38 dan sangat bertentangan dengan nilai negara hukum.

Ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.39 Olehnya diperlukan terlebih dahulu penetapan proses kriminalisasi yang mengandung pertimbangan politik hukum berupa kebijakan hukum pidana.

36 Sri Soemantri Martosoewignjo, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 (Bandung: Alumni, 1992). Hlm. 29

37 Bagir Manan, “Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945” (Bandung, 1994). Hlm. 19

38 Bagir Manan dan Susi Harijanti, Dwi, Memahami Konstitusi: Makna Dan Aktualisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). Hlm.164-165

39 H.R. Abdussalam and Andri Desasfuryanto, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: PTIK, 2012). Hlm.389

(39)

Termasuk dalam hal penanggulangan korupsi, kebijakan atau upaya penanggulangannya melalui hukum pidana sangat strategis. Pada dasarnya penanggulangan kejahatan korupsi melalu kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah ”perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.40 Wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian ”sosial policy” sekaligus tercakup di dalamnya ”sosial welfare” dan

”sosial defence policy”.41

Ditinjau dari sudut politik hukum, menjalankan politik hukum pidana juga mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.42 Selain itu usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakkan hukum (law enforcement policy).

40 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Indonesia (Bandung: CV Utomo, 2004). Hlm 142

41 Ibid

42 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1977). Hlm. 161

(40)

A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechtpolitiek) adalah garis kebijakan untuk menentukan yaitu:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan

3. Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan43.

Dalam perspektif kebijakan, penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan bukan suatu keharusan.

Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam memilih sebuah kebijakan orang dihadapkan pada berbagai macam alternatif.44 Namun apabila hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka kebijakan penal harus dibuat secara terencana dan sistematis ini berarti bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya dan bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.45

Masalah kebijakan kriminal menurut Sudarto46 harus memperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

43 Yesmil Anwar and Adang, Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di Indonesia) (Jakarta: Grasindo, 2008). Hlm. 59.

44 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992).Hlm 89.

45 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hlm 37.

46 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 1997). Hlm 30.

(41)

a) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;

c) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost-benefit principle). Untuk itu perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan dicapai;

d) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (over blasting).

3. Teori Asset Recovery

Perspektif kebijakan kriminal menegaskan bahwa dalam hal penanggulangan kejahatan, sangat penting untuk mempertimbangkan hal utama terkait perbaikan dampak dari kejahatan serta bentuk pencegahan yang efektif dan ekonomis.

Termasuk dalam hal penanggulangan Tipikor, pertimbangan kebijakan berkaitan pemulihan dampak kejahatan berupa pengembalian kerugian Negara harus diakselerasikan dalam proses kriminalisasi. Merupakan tugas dan Tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial dipandang dari sudut

(42)

teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil Tipikor.47

Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu pencegahan, pemberantasan dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi pengembalian aset Tipikor.

Tetapi, jika kegagalan terjadi dalam pengembalian aset hasil Tipikor, maka dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor.48 Dalam konteks ini Romli Atmasasmita mengemukakan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara yang ditandai dengan hilangnya aset hasil Tipikor merupakan bagian penting dan strategis dalam upaya pemberantasan Tipikor.49

Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui Tipikor cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya. Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri dilakukan. Bagi

47 Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Hlm. 101

48 Sanusi, “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi.”

Hlm. 25-26

49 Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Hlm. 21

(43)

negara-negara berkembang untuk menembus pelbagai permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan- ketentuan hukum negara-negara besar akan terasa teramat sulit, apalagi negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan.50

Brenda Grantland menjelaskan bahwa perampasan aset (asset forfeiture) adalah suatu proses dimana pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perampasan aset merupakan suatu perbuatan permanen yang berbeda dengan penyitaan yang merupakan perbuatan sementara, karena barang yang disita akan ditentukan dalam putusan apakah akan dikembalikan pada yang berhak, dirampas atau untuk negara dimusnahkan atau akan digunakan bagi pembuktian perkara lain.51

Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata “rampas” yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang

50 Isra, Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional.

51 Hangkoso Satrio W., “Perampasan Aset Penangan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.

1454K/Pid.Sus/2011 Dengan Terdakwa Bahasuim Assifie)” (Universitas Indonesia, 2012). Hlm. 21

(44)

bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Marjono Reksodiputro bahwa konsep hukum (Legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah tindakan perampasan bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok.52

Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 013/A/JA/06/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, menyatakan bahwa perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan penyitaan aset para pelaku korupsi merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan. Sehingga proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap penyidikan, berkekuatan hukum tetap (in kracht).

Terdapat dua jenis perampasan aset dalam kaitannya dengan upaya pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana, yaitu perampasan aset dengan mekanisme hukum perdata (inrem) dan perampasan aset secara pidana yang mendasar dalam hal prosedur dan penerapannya dalam melakukan perampasan aset yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Kedua jenis perampasan aset tersebut mempunyai dua tujuan yang sama, pertama : mereka yang melakukan pelanggaran hukum tidak

52 Mardjono Reksodiputro, Masukan Terhadap RUU Tentang Perampasan Aset, Sosialisasi RUU (Jakarta, 2009).

(45)

diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari pelanggaran hukum yang ia lakukan. Hasil dan instrumen dari suatu tindak pidana harus dirampas dan digunakan untuk korban (negara atau subjek hukum). Kedua, pencegahan pelanggaran hukum dengan cara menghilangkan keuntungan ekonomi dari kejahatan dan mencegah perilaku jahat.

(46)
(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada dasarnya, penelitian hukum terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan fokus penelitiannya diantaranya yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif-empiris, dan penelitian hukum empiris.53 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang

“Urgensi dan Mekanisme Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara” ini adalah metode penelitian hukum normatif

Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji rancangan undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang.

Penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in konreto, sistematika hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.54

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan memahami pengetahuan yang

53 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004). Hlm. 52

54 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila terpidana tidak membayar pembayaran uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita

Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman

- laporan pencarian harta benda milik terpidana dengan lampiran surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa bahwa terpidana tidak mempunyai harta benda yang

Fokus pembahasan pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur wewenang kejaksaan dalam menuntut perkara tipikor di Pengadilan Tipikor, kemudian tentang pelaksanaan

bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya

Tahun 2001 memberikan celah hukum bagi terpidana untuk tidak mem- bayar uang pengganti, ii ketentuan pidana tambahan itu bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidaklah

Harta kekayaan yang nantinya akan diputus oleh pengadilan, apakah nantinya harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa