paratuberculosis PADA SUSU FORMULA LANJUTAN YANG DIJUAL DI BOGOR
Abstrak
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) menjadi penting artinya bagi kesehatan masyarakat di negara maju karena terkait dengan penyakit Crohn (CD) pada manusia. Penyakit ini memiliki kemiripan gejala klinis dan gambaran patologis penyakit Johne’s Disease (JD) pada hewan ruminasia yang terinfeksi MAP. Beberapa peneliti di Eropa, Amerika Serikat dan Australia mendeteksi MAP pada produk susu sapi dan menunjukkan keterkaitan antara MAP, CD, dan JD. Sementara itu Indonesia mengimpor susu dan produk susu dari negara-negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan nasional. Situasi ini menyimpan potensi permasalahan MAP nasional bagi peternakan sapi perah dan kesehatan masyarakat di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan mendeteksi MAP pada susu formula lanjutan. Lima puluh contoh yang berasal dari 5 pabrik diambil dari supermarket di wilayah Bogor. Dua metode uji digunakan secara paralel yaitu reaksi polimer berantai (PCR) dengan menggunakan sekuen IS900 dan F57 sebagai primer, Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT), dan Herrold’s egg yolk medium diperkaya mycobactin j (HEYMj). Tidak ada bakteri MAP yang tumbuh pada media MGIT dan HEYMj setelah diinkubasi selama 20 minggu. Tidak terdeteksi contoh positif dengan menggunakan PCR konvensional menggunakan primer IS900 dan F57 namun 5 contoh positif pada pemeriksaan nested PCR F57. Meskipun tidak ada bukti pertumbuhan bakteri MAP dari contoh penelitian ini, kajian MAP secara menyeluruh dan berkelanjutan tetap harus dilakukan dengan jumlah contoh yang lebih besar dan bervariasi termasuk pada manusia untuk menyediakan data MAP yang lengkap di Indonesia.
Kata kunci: Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis, susu formula lanjutan, IS900, F57.
Abstract
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) becomes a public health concern in developed countries which associated with Crohn’s disease (CD) in human and Johne’s disease (JD) in ruminants. Some researchers in Europe, USA, and Australia detected MAP in the dairy products and showed the relationship among MAP, CD, and JD. Meanwhile Indonesia imported milk and milk products from those countries to cover national demand.
In the future it will be a potential problem to national dairy herd and human health. The aim of this study is to detect MAP in the growing up milk formula. Fifty samples from five established distributors were taken in Bogor. Some diagnostic methods were used parallel in this study, Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT), Herrold’s Egg Yolk enrichment with mycobactine-J (HEYMj) and polymerase chain reaction method (PCR) with insertion sequence IS900 and F57 as primer. Neither MAP grew up in MGIT and HEYMj after 20 weeks of incubation period. No positive samples were found by conventional PCR using IS900 and F57 either but 5 samples were detected positive by nested PCR F57.
Although there was no evidence of MAP grew from the samples in this study, the comprehensive and sustainable studies on MAP should be carried out with more
and varied samples, as well as in human to provide data on MAP and to anticipate it in Indonesia.
Key words: Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis, growing up milk formula, IS900, F57
Pendahuluan
Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) menjadi perhatian kesehatan masyarakat di Eropa dan Amerika. Bakteri ini berimplikasi pada kasus peradangan usus granulomatosa pada manusia yang dikenal sebagai Crohn's disease (CD) (Chiodini 1989; Bull et al. 2003). Tampilan peradangan ini memiliki banyak kemiripan dengan Johne’s disease (JD) pada ruminansia yang terinfeksi MAP (Harris & Barletta 2001).
Kedua penyakit tersebut berpengaruh pada ekonomi dan kesehatan manusia seperti yang dilaporkan Europe Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare bahwa di Swedia biaya pengobatan kasus CD pada tahun 1994 mencapai 4 juta € dan tingkat kejadian penyakit ini di Eropa mencapai 5.6 kasus per 100000 orang per tahun (SCAHAW 2000). Di sisi lain JD menimbulkan kerugian pada peternakan sapi perah di Amerika Serikat hingga $ 1.5 miliar pada tahun 1998 dan peternakan-peternakan yang mengalami kasus tersebut meningkat hingga 70% di beberapa negara Eropa, AS, dan Kanada (Stabel 1998).
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteriaceae, spesies Mycobacterium avium complex (Harris &
Barletta 2001). Mikroba ini merupakan bakteri yang dapat ditemui di alam, tergolong Gram positif, berbentuk batang dengan ukuran 0.2-0.7 X 1-10 μm, non motil, tahan asam dan alkohol, suhu pertumbuhuan 25-45 °C dan optimal pada suhu 39 °C, tumbuh lambat 4 -24 minggu (Holt et al. 1994; SCAHAW 2000; Sung
& Collins 2003). Bakteri MAP membutuhkan mycobactin J yaitu senyawa hidroksimat untuk mengikat besi, mampu tumbuh pada konsentrasi garam < 5%
pada pH 5.5 atau lebih (Griffiths 2003). Bakteri ini mampu bertahan dalam sel makrofag dan menjadi patogen intraseluler yang menyerang sel epitel sapi dan hewan mammalia lainnya serta mampu bertahan pada suhu tinggi yang merupakan faktor penting terkait dengan peran MAP dalam penyebaran penyakit melalui makanan (foodborne disease) (Bannantine & Stabel 2002).
Kemungkinan keterkaitan antara MAP, JD, dan CD memacu para peneliti untuk menggali informasi dalam rangka memahami dan mengantisipasi
permasalahan ini. Hewan penderita JD meskipun dalam kondisi subklinis dilaporkan dapat mengeluarkan MAP melalui susu, sehingga hal ini memungkinkan menjadi media penularan MAP ke manusia. Cara penularan ini menjadi perhatian serius meskipun belum ada bukti-bukti yang disepakati untuk mengaitkan bakteri ini dengan CD (Hermon-Taylor & Bull 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MAP ditemukan pada produk pasturisasi, keju, dan susu formula instan di Irlandia, Amerika, Republik Ceska (Stabel 1998, Grant et al. 2002, O’Reilly et al. 2004, Donaghy et al. 2004, Hruska et al. 2005, Ikonomopoulos et al. 2005), bahkan di Australia MAP dapat terdeteksi dalam air susu ibu (Whittington et al. 2000) sehingga fakta-fakta ini memperkuat dugaan penularan bakteri tersebut pada manusia dapat terjadi melalui makanan (Chamberlin et al. 2001).
Semua fakta di atas memperlihatkan infeksi/cemaran MAP terjadi di negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia yang merupakan pemasok bahan baku susu formula ke Indonesia. Hal ini menempatkan masyarakat Indonesia pada kondisi yang beresiko terinfeksi MAP. Bayi dan anak-anak merupakan target utama konsumen industri susu, sehingga resiko keterpaparan anak-anak oleh bakteri MAP sangat besar. Gejala penyakit akibat infeksi MAP tidak segera terlihat karena patogenesis penyakit ini berlangsung lambat. Gejala klinis baru terekspresi pada saat anak-anak tersebut menginjak usia remaja atau dewasa yang merupakan usia produktif. Ekspresi penyakit yang demikian akan menimbulkan kerugian yaitu gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi karena turunnya produktivitas sumber daya manusia.
Deteksi adanya bakteri MAP pada produk pangan khususnya susu formula lanjutan belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi MAP pada susu formula lanjutan yang dijual di pasar swalayan Bogor.
Bahan dan Metode
Pengumpulan Contoh
Lima puluh kotak susu formula (120-200 g/kotak) dikumpulkan selama bulan Agustus 2006. Contoh berupa susu formula lanjutan yang diperuntukkan bagi bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun, diproduksi oleh 5 produsen yang berbeda.
Seluruh contoh dibeli di pasar swalayan di wilayah Bogor. Pengujian contoh dilakukan di Laboratorium Kesehatan Susu Universitas Justus-Liebig, Jerman.
Penyiapan Contoh
Sebanyak 20 gram dari masing-masing contoh dilarutkan dalam 100 ml aquades steril dan dihomogenkan. Seluruh larutan setiap contoh kemudian dituang ke dalam 2 buah tabung gelas sentrifus steril (ukuran 50 ml) dan disentrifus (Hereaeus Multifuge 3-SR Centrifuge, Germany) pada kecepatan 2500 x g selama 15 menit. Fraksi krim dan whey dibuang sedangkan pelet pada masing-masing tabung diresuspensi dengan 1 ml aquades steril dan selanjutnya disatukan (dari asal contoh yang sama) dan diaduk hingga rata, 1 ml larutan diambil dan ditempatkan pada tabung Eppendorf 1.5 ml untuk analisis PCR sedangkan sisanya digunakan untuk analisis biakan.
Isolasi MAP
Satu mililiter suspensi seperti dijelaskan di atas dipindahkan ke dalam tabung gelas steril dan ditambahkan 10 ml 0.75% hexadecilpyridinium chloride (HPC) (Biomedical, USA) dan didiamkan pada suhu kamar selama 5 jam.
Suspensi disentrifus pada kecepatan 2500 X g selama 15 menit, selanjutnya supernatan dibuang dan pelet diresuspensi dengan 1250 µl PBS steril yang mengandung 0.05% Tween-20 (PBS-T) (Sigma, Germany). Masing-masing sebanyak 250 µl diinokulasikan ke dalam 2 tabung Mycobacterial growth indicator tube (MGIT) (Becton Dickinson, USA) dan 3 tabung Herrold’s egg yolk medium with mycobactin J (HEYMj) (Becton Dickinson, USA) diinkubasi pada suhu 37 °C selama 20 minggu untuk mendeteksi adanya pertumbuhan bakteri dalam media. Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai 4 minggu pertama menggunakan transluminator/sinar ultra violet (UV). Semua koloni terduga positif pada media MGIT atau HEYMj dibuat preparat ulas dan diwarnai dengan Ziehl- Neelsen acid fast stain (Becton Dickinson, USA) untuk konfirmasi spesies.
Deteksi MAP dengan Analisis PCR
Sebanyak 500 µl suspensi yang diperoleh dari tahap di atas, dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf 2 ml dan disentrifus pada kecepatan 10 000 x g selama 30 menit. Supernatan dibuang dan 400 ml larutan penyangga TE lysis ditambahkan pada pelet dan divortek hingga homogen. Selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam freezer -80 °C selama 5 menit dan segera dipindahkan ke dalam penangas air suhu 95 °C selama 1 menit, tahap ini diulang satu kali kemudian suspensi diinkubasi di dalam penangas air suhu 80 °C selama 20
menit. Selanjutnya suspensi didinginkan pada suhu 4 °C dan kemudian ditambahkan 35 µl proteinase K dan 400 µl AL Lysis buffer (Qiagen, Germany), dan dikocok rata menggunakan vortek selanjutnya diinkubasi pada suhu 56 °C selama satu malam. Tahap selanjutnya suspensi diekstraksi menggunakan DNeasy® Tissue Kit (Qiagen, Germany) sesuai petunjuk dari perusahaan.
Metode PCR dengan primer spesifik IS900 (TJ1-2) dan F57 (F57/R57) dan untuk F57 dilanjutkan dengan PCR nested menggunakan primer F57/ F57Rn (5’- TGG TGT ACC GAA TGT TGT TGT CAC-3’) seperti dijelaskan oleh Vansnick et al. (2004). Metode PCR dengan primer spesifik IS900 menggunakan primer oligonukleotida TJ1/TJ2 (Bull et al. 2003). Amplifikasi PCR dilakukan dengan memformulasikan 50 µl larutan reaksi yang tersusun dari:1.5 µl masing-masing primer (10 pmol/µl); 1.5 µl dNTP-mix (10 mmol) (MBI Fermentas, Germany); 5 µl GeneAmp 10x PCR Gold Buffer (150 mM Tris-HCL, 500 mM KCL; pH 8.0) (Applied Biosystem, Germany); 3.0 µl MgCl2 (25 mM) (Applied Biosystem); 0.35 µl AmpliTaq Gold® polymerase (5 U/µl) (Applied Biosystem, Germany), 32.15 µl aquades steril; dan ditambahkan 5.0 µl DNA template. Kondisi amplifikasi PCR putaran pertama yang digunakan adalah 1 siklus pada suhu 94 °C selama 10 menit kemudian 40 siklus pada suhu 94 °C selama 1 menit, 58 °C selama 1 menit, dan 72 °C selama 3 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72
°C selama 7 menit. Pada putaran kedua digunakan 1 siklus dengan suhu 94 °C selama 10 menit kemudian 30 siklus pada suhu 94 °C selama 1 menit, suhu 58 °C selama 1 menit, dan suhu 72 °C selama 3 menit, dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72 °C selama 7 menit. Amplifikasi dilakukan menggunakan mesin PCR iCycler-Biorad thermocycler (Biorad, Germany).
Produk PCR (13 µl) dicampur dengan 2 µl loading dye solution (MBI Fermentas, Germany) dan sebagai marker digunakan 100 bp DNA ladder atau mid range (MBI Fermentas, Germany) selanjutnya diseparasi menggunakan 2%
gel agarose elektroforesis (Biozym, Germany) pada tegangan 120 V di dalam larutan 1x TAE buffer (0.04 mol/l Tris; 0.001 mol/l EDTA; pH 7.8). Setelah dielektroforesis selama 50 menit, gel agarose direndam dalam larutan pewarna ethidium bromide 5 µl/ml (Sigma, Germany) selama 5 menit, dan gambar didokumentasikan dengan menggunakan UV (245 nm) trans-illuminator (Biorad, Germany).
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan terhadap contoh yang telah diinokulasikan ke dalam MGIT dan HEYMj yang diinkubasi selama 20 minggu memperlihatkan tidak adanya pertumbuhan bakteri MAP. Hal tersebut ditandai dengan tidak adanya media MGIT yang berpendar dalam tabung maupun pertumbuhan koloni pada HEYMj. Hasil analisis PCR konvensional menggunakan primer IS900 dan F57 menunjukkan tidak adanya pita DNA MAP dari semua contoh yang diperiksa.
Gambar 9 menunjukkan hasil PCR F57 konvensional. Contoh susu formula dari produsen 2 (Gambar 9A) dan produsen 3 (Gambar 9B). Tidak ditemukan adanya pita DNA dari seluruh contoh susu formula berdasarkan analisis PCR konvensional ini
A
B
Gambar 9 Hasil PCR F57 konvensional terhadap contoh susu formula lanjutan.
Tidak ada pita DNA pada contoh susu formula dari produsen 2 (A Kolom 2- 11) dan produsen 3 (B kolom 2-11), kontrol positif (kolom 12), blanko (kolom13), marker 100 bp (kolom14).
Amplikon hasil PCR konvensional dianalisis lanjut dengan PCR nested dan diperoleh hasil seperti pada Gambar 10. Pita DNA spesifik MAP dari 5 contoh susu formula tersebut berasal dari 3 produsen. Pada Gambar 10A terlihat pita
DNA pada contoh susu produsen 2 (kolom 2 dan 6) sedangkan Gambar 10B kolom 4 menunjukkan pita DNA target dari contoh susu formula dari produsen 3.
B A
Gambar 10 Hasil PCR F57 nested terhadap contoh susu formula lanjutan.
Ditemukan 2 pita DNA pada contoh susu dari produsen 2 (A Kolom 2 dan 6) dan satu pita DNA pada produsen 3 (B kolom 4), kontrol positif (A kolom 12 B kolom 11), blanko (kolom13), marker mid range (kolom14).
Hasil ini menunjukkan adanya jejak keberadaan bakteri MAP pada contoh susu formula yang bersangkutan. Selengkapnya hasil pemeriksaan laboratorik terhadap MAP dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil analisis MAP dengan berbagai metode pada susu formula lanjutan Metode uji
Produsen
(Jumlah contoh) HEYMj MGIT PCR IS900 PCR PCR F57
+ - + - + - + - + -
1 (10) 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10
2 (10) 0 10 0 10 0 10 0 10 2 8
3 (10) 0 10 0 10 0 10 0 10 1 9
4 (10) 0 10 0 10 0 10 0 10 2 8
5 (10) 0 10 0 10 0 10 0 10 0 10
Total (50) 0 50 0 50 0 50 0 50 5 45 Keterangan: HEYMj: Herrold’s egg yolk medium with mycobactin J, MGIT: mycobacterial
growth indicator tube.
Penelitian ini tidak menemukan pertumbuhan bakteri MAP pada media MGIT dan HEYMj akan tetapi dengan uji PCR F57 nested dapat ditemukan pita DNA MAP dari 5 contoh susu formula lanjutan. Hasil ini sedikit berbeda dengan
temuan di Republik Ceska yang menguji 51 contoh susu formula bayi dan terdeteksi 25 contoh yang mengandung MAP berdasarkan PCR menggunakan primer IS900 sedangkan hasil pengujian dengan primer F57 diperoleh 18 contoh yang positif (Hruska et al. 2005). Munculnya pita pada hasil PCR nested dalam penelitian ini memperlihatkan adanya fragmen DNA target. Keberadaan fragmen DNA ini membuktikan adanya jejak bakteri MAP pada contoh tersebut. Dapat dipahami bahwa bakteri MAP yang mencemari produk susu formula lanjutan tersebut dalam kondisi mati atau keberadaan bakteri sangat sedikit dan tidak dapat berkembang yang terbukti dengan tidak tumbuhnya bakteri pada media MGIT dan HEYMj.
Metode diagnosis MAP menggunakan PCR dapat meningkatkan kepekaan diagnosis, khususnya untuk pemeriksaan susu dan produk olahannya.
Berdasarkan metode PCR dan isolasi bakteri dapat terdeteksi MAP pada susu pasturisasi di United Kingdom (Grant et al. 2002), di Irlandia pada susu segar dan pasturisasi (O’Reilly et al. 2004) dan pada keju cheddar (Donaghy et al.
2004).
Penggunaan sekuen IS900 sebagai primer MAP dilaporkan oleh Green et al. (1989) dan diketahui meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnosis PCR terhadap MAP bahkan dapat membedakannya dengan subspesies lain dari M avium complex. Beberapa peneliti merancang primer dengan mengambil sekuen dari IS900 namun masih mendapatkan beberapa hasil positif palsu sehingga pengembangan primer untuk meningkatkan ketepatan diagnosis primer IS900 terhadap bakteri MAP tetap dilakukan (Semret et al. 2006). Bull et al.
(2003) memperlihatkan sekuen IS900 (primer TJ1-4) memiliki tingkat akurasi yang tinggi selain sehingga pemilihan sekuen IS900 untuk primer sangat mempengaruhi akurasi hasil. Primer F57 yang diperkenalkan oleh Cocito et al.
(1994) juga menjadi alternatif yang cukup baik untuk mendeteksi MAP. Primer F57 pada skala laboratorium menunjukkan kinerja yang sangat baik dengan kemampuan mendeteksi MAP hingga 1 CFU, namun untuk menguatkan hasil perlu dilakukan simulasi program PCR agar spesifisitasnya juga tinggi (Vansnick et al. 2004). Penerapan primer F57 dengan metode real-time PCR direkomendasikan sebagai salah satu metode rutin untuk mendeteksi MAP selain diparalelkan dengan primer IS900 (Tasara & Stephan 2005).
Kasus infeksi MAP pada manusia seringkali dikaitkan dengan produk pangan asal hewan khususnya susu dan hasil olahannya. Beberapa penelitian
memperlihatkan hal tersebut seperti yang dilaporkan Millar et al. (1996) yang menyebutkan 7% susu pasturisasi yang dijual di pasar swalayan di Inggris dan Wales terdeteksi mengandung MAP. Komite penasehat keamanan pangan Eropa juga melaporkan bahwa di Inggris, bakteri tersebut terdeteksi pada susu segar sebanyak 2%, pada susu pasturisasi 2.1%, dan 1.4% pada susu skim (Griffiths 2003). Banyak hasil survei lainnya yang memperlihatkan keberadaan MAP pada susu olahan meskipun sudah melalui proses pemanasan.
Grant et al. (1996) menguji daya tahan MAP terhadap panas dengan melakukan kajian terhadap susu yang telah dikontaminasi MAP dengan dosis 104–10 CFU/ml. Pasturisasi dilakukan dengan metode high temperature short 7 time (HTST) dan low temperature long time (LTLT). Hasil uji menunjukkan bahwa pasturisasi mampu mengurangi 50-58% MAP, hal ini membuktikan bahwa MAP mampu bertahan dalam lingkungan yang panas. Daya tahan MAP terhadap panas ini oleh Sung et al. (2004) diduga karena peran tiga protein yaitu GroES heat shock protein, antigen 85 complex B, dan alpha antigen. Informasi inilah yang sampai saat ini dapat menjelaskan beberapa penelitian yang masih menemukan adanya MAP pada beberapa produk susu olahan seperti susu pasturisasi, susu instan formula, dan lainnya.
Crohn’s disease adalah penyakit infeksi saluran pencernaan bagian bawah dengan penyebab multifaktor yang melibatkan kepekaan genetik, pemicu lingkungan yang kurang jelas, dan kelukaan jaringan yang merangsang kekebalan (Chamberlin et al. 2001). Di kalangan ilmu kedokteran dikenal adanya tiga teori penyebab CD yaitu teori autoimun, teori kelemahan sistem kekebalan, dan teori mikroba. Meskipun teori autoimun merupakan materi publikasi yang paling sering dirujuk sebagai penyebab CD pada saat ini (Chamberlin & Naser 2006) namun banyak peneliti dan publikasi yang menghubungkan kasus CD dengan MAP sejak ditemukannya bakteri tersebut pada penderita CD oleh Dalziel pada tahun 1913 (SCAHAW 2000). Hermon-Taylor et al. (1998) mengidentifikasi MAP dengan PCR IS900 dari kelenjar limfe leher seorang anak umur 7 tahun penderita scrofula dan 5 tahun kemudian menunjukkan tanda- tanda khas penderita CD. Whittington et al. (2000) mendapatkan MAP strain sapi yang berasal dari penderita CD di Australia, sementara Naser et al. (2000) dengan menggunakan metode PCR mendeteksi MAP pada air susu ibu dari 2 penderita CD dan tidak menemukannya dari 5 orang ibu yang sehat. Data
tersebut menunjukkan bukti yang sangat berarti mengenai peran bakteri MAP pada kasus CD.
Adanya jejak MAP dalam contoh susu formula lanjutan yang diuji dalam penelitian ini merupakan tanda awal yang sangat berarti bagi industri susu nasional untuk meningkatkan kualitas keamanan produk mereka. Hasil ini memiliki arti yang sama dengan deteksi tahun 2007-2008 yang memperoleh seropositif dan isolat MAP yang telah dikonfirmasi dengan PCR F57 juga. Hasil deteksi menunjukan peningkatan kasus pada peternakan sapi perah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bahkan ditemukan isolat yang teridentifkasi sebagai MAP setelah dikonfirmasi menggunakan PCR konvensional (Adji 2008).
Kedua data di atas walaupun tidak berkaitan secara langsung namun memberikan informasi bahwa masalah MAP di bidang usaha sapi perah, susu dan hasil olahannya adalah nyata dan sangat potensial berkembang di Indonesia. Kajian lanjut secara komprehensif terhadap keberadaan MAP ditinjau dari aspek kesehatan hewan dan ekonomi peternakan, keamanan pangan serta kesehatan manusia harus dilakukan dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Kajian lanjutan dapat dilakukan dengan mendeteksi/mengisolasi MAP dari hewan, produk pangan asal hewan seperti susu dan olahannya dengan memperbesar jumlah dan variasi jenis contoh seperti jenis komoditas, spesies hewan, lingkungan peternakan dan pabrik pengolahan, serta karyawan.
Kesimpulan dan Saran
Tidak ditemukan pertumbuhan Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis (MAP) dari susu formula lanjutan di wilayah Bogor meskipun ada indikasi keberadaan bakteri MAP di dalamnya.
Penelitian lanjutan untuk mendeteksi keberadaan bakteri Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis harus dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan komprehensif mengenai MAP di Indonesia dalam rangka mengantisipasi permasalahan ini di masa mendatang.
Paratuberkulosis dan Peternakan Rakyat Sapi Perah di Bogor
Hingga tahun 2004 hanya ada 3 laporan berkaitan dengan kasus JD di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor melaporkan serologi positif MAP pada tahun 1951, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Medan tahun pada tahun 1998, dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor pada tahun 2004 selain mendeteksi seropositif juga mendapat isolat bakteri yang diduga sebagai Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis (Adji 2004). Hasil uji konfirmasi dengan metode PCR terhadap isolat terduga MAP tersebut menunjukkan hasil negatif (Nugroho et al. 2008c). Pada penelitian ini tidak ditemukan isolat MAP dari sapi namun diperoleh 15 isolat Mycobacterium sp.
yang berasal dari 15 ekor sapi dan diidentifikasi bukan MAP ataupun M.tuberculosis. Penelitian lain yang hampir bersamaan waktu dengan penelitian ini mengidentifikasi keberadaan MAP baik secara serologis, isolasi, dan PCR konvensional dari sapi perah di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat (Adji 2008). Data ini menegaskan bahwa keberadaan MAP di Indonesia adalah nyata.
Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis dikenal sebagai patogen obligat pada ruminansia, namun bakteri memiliki kemampuan bertahan dalam lingkungan peternakan. Raizman et al. (2004) melaporkan frekuensi ditemukannya MAP pada lokasi tertentu di beberapa peternakan yaitu lorong/gang untuk jalan sapi mencapai 77%, pembuangan kotoran/pupuk sebasar 68%, kandang beranak 21%, kandang karantina hewan sakit 18%, selokan air limbah 3%, dan kandang penyapihan 3%. Diketahui adanya hubungan yang sangat kuat antara prevalensi ditemukannya MAP dalam feses dengan lorong/gang sapi dan penampungan kotoran/pupuk. Kemampuan MAP bertahan pada rumput dapat mencapai 24-55 minggu, selain itu pada lingkungan yang sangat terbatas/sulit baginya maka bakteri ini dapat bersifat dorman sebagai mekanisme bertahan (Whittington et al. 2004).
Sanitasi peternakan sapi perah di lokasi penelitian sangat berpotensi sebagai sumber penularan seperti disebutkan oleh Raizman et al. (2004) tersebut. Kebiasaan peternak yang membuang kotoran sapi ke kebun atau dalam suatu kolam terbuka menjadi sumber agen penyakit. Tidak tertanganinya kotoran kandang dengan baik selain berpotensi menimbulkan penyakit pada ternak juga pada manusia di sekitar lokasi peternakan langsung atau tidak langsung.
Pencemaran susu akibat sanitasi perkadangan yang jelek ini dapat terjadi melalui peralatan yang digunakan, melalui peternak/pegawai, atau ternak itu sendiri.
Perawatan peralatan perah seringkali terabaikan di kandang seperti menyimpan kan/tabung susu di dekat selokan kandang.
Penyimpanan kan susu dengan tutup terbuka atau ditengkurapkan sehingga terjadi kontak antara mulut dengan tanah/air kotor, peternak merokok saat memerah susu, baju kotor atau tanpa baju, perilaku-perilaku tersebut dapat mencemari susu hasil perahan dengan mikroba termasuk bakteri patogen. Hal ini terlihat dari hasil pengujian angka lempeng total (ALT) bakteri aerobik dari susu segar yang diperoleh yaitu rerata 2.28 x 105 CFU/ml masih lebih rendah dari ketentuan SNI nomor 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan yaitu 106 CFU/ml (BSN 2000). Rentang ALT dari contoh susu segar yang diperiksa dari 7.9 x 103 CFU/ml sampai 1.3 x 10 CFU/ml (data tidak ditampilkan). Hasil tersebut 7 menggambarkan sangat beragamnya tatacara para peternak mengelola peternakannya termasuk proses pemerahan. Dapat diprediksi apabila proses pengangkutan susu tersebut kurang tepat maka industri pengolah susu akan menerima susu segar dengan jumlah bakteri sangat tinggi.
Hasil tersebut berbeda dengan gambaran hubungan Mycobacterium sp.
dalam feses dengan kebersihan peternak/operator saat mengambil contoh yang dibuktikan dengan angka OR sebesar 0.3. Keterkaitan ini memperlihatkan bahwa kebersihan saat mengambil feses dari rektum sapi berpeluang sangat kecil untuk menimbulkan cemaran Mycobacterium sp. pada contoh feses. Para peternak menggunakan kaos tangan karet baru atau mencuci tangan mereka terlebih dahulu dengan sabun sehingga peluang pencemaran menjadi kecil.
Pemberian rumput yang tercemar MAP dapat menyebabkan ternak terinfeksi. Rute penularan MAP melalui mulut/sistem pencernaan. Mycobacterium lain seperti M. bovis penyebab tuberkulosis sapi juga dapat menular pada pedet melalui susu (Galllagher & Jenkins 1998). Mycobacterium pada umumnya termasuk MAP bersifat tahan asam sehingga akan dapat bertahan dalam pencernaan inang. Bakteri akan menembus mukosa usus halus dan menuju Peyer’ patch setelah masuk ke dalam makrofag (Kurade et al. 2004). Karakter MAP yang mampu menembus makrofag dan bermultipkiasi di dalamnya sangat berkaitan dengan sistem tanggap kebal inang. Bakteri selama berada di dalam
makrofag mampu menghindari mekanisme tanggap kebal humoral inang. Kondisi ini menyebabkan infeksi MAP dapat bersifat laten (Stabel 1996).
Perubahan fisiologis hewan yang sulit dideteksi dengan cepat, memberikan gambaran hubungan paradoksial antara penyakit dan produksi susu. Pada sapi berpotensi produksi tinggi dan beresiko terinfeksi MAP, apabila kemudian terinfeksi maka sapi tersebut masih akan memberikan produksi susu yang tinggi dari rerata produksi periode laktasi pertama dan mungkin juga yang kedua. Hal tersebut sering terjadi pada awal-awal infeksi yang tidak menimbulkan gejala klinis namun secara serologis ataupun biakan bakteri dapat ditemukan melalui feses. Pada periode laktasi selanjutnya akan terlihat kecenderungan produksi susu yang menurun (Johnson et al. 2001).
Reaksi serologi positif yang tidak dikuti temuan isolat MAP dari feses ataupun susu segar seringkali terjadi baik pada kasus subklinis bahkan klinis.
Sweeney et al. (2006) menyatakan fluktuasinya hasil ELISA dapat terjadi karena hasil positif palsu atau fluktuasi antibodi dari sapi penderita. Perkembangan penyakit yang cukup lama dan bervariasi juga berpengaruh pada hasil isolasi MAP. Penelitian Kurade et al. (2004) memperlihatkan uji serologi dengan ELISA diperoleh reaksi positif secara konsisten mulai hari ke-90 setelah infeksi (SI).
Biakan MAP baru dapat terisolasi dari organ maupun feses secara konsisten mulai hari ke-150 setelah infeksi namun hal ini tidak konsisten ditemukan pada setiap kasus. Faktor umur dan rute infeksi mempengaruhi ekspresi penyakit ini. Domba umur 3 bulan merupakan fase optimal menimbulkan gejala JD secara cepat dengan rute infeksi melalui saluran pencernaan (Begg et al. 2005).
Pengaruh infeksi MAP terhadap penurunan produksi susu masih menjadi kajian yang menarik mengingat banyaknya hasil yang kontradiksi. Laporan Benedictus et al. (1987) menyatakan pada sapi-sapi yang terinfeksi MAP secara subklinis mengalami penurunan produksi sebesar 15% dari rerata produksi pertahun. Hal senada juga dikemukakan Nardlund et al. (1996) bahwa sapi pederita JD subklinis mengalami penurunan produksi susu sebesar 4%.
Pendapat berbeda disampaikan beberapa peneliti seperti Buergelt dan Duncan (1978) yang menyatakan tidak ada perbedaan berarti pada produksi susu dari sapi-sapi afkir karena menderita MAP subklinis dibandingkan dengan sapi-sapi sehat dalam satu peternakan. Johnson et al. (2001) menegaskan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara produksi susu, kadar protein, dan kadar
lemak antara sapi penderita MAP subklinis dengan sapi sehat namun perbedaan antar kedua kelompok akan terlihat apabila dianalisis berdasarkan kelompok umur dan periode laktasi sapi. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh oleh McNab et al. (1991) dan Wilson et al. (1993) yang justru menemukan bahwa produksi susu penderita infeksi MAP subklinis lebih tinggi dibanding hewan sehat namun hal ini tergantung pada kedewasaan dan stadium laktasi sapi.
Berdasarkan informasi ini maka produksi susu dapat menjadi satu indikasi yang membantu mengarahkan diagnosis dan dugaan terjadinya JD. Penelitian ini memperlihatkan produksi susu di atas 13 liter per hari berpeluang 2 kali lebih besar akan ditemukan Mycobacterium sp. di dalam fesesnya.
Laporan Komite Ahli Kesehatan dan Kesejahteraan Hewan Komisi Eropa tahun 2000 menyatakan kerugian ekonomi peternak yang sapinya terinfeksi subklinis MAP pada tahun 1987 diperkirakan sebesar ₤ 209 dari setiap ekor karena hasil susu yang menurun. Diperkirakan kerugian tersebut karena penurunan produksi semakin meningkat berkisar $ 200-250 juta per tahun. Di Spanyol kerugian pada peternakan domba berkisar € 120 dan € 60 untuk kasus klinis pada domba perah dan pedaging. Selain itu kerugian juga disebabkan karena kekurusan dan kematian, adanya peningkatan infertilitas dan rentan terhadap berbagai penyakit lain (SCAHAW 2000).
Kerugian lain dari kasus paratuberkulosis adalah potensi penularan MAP ke manusia akibat mengkonsumsi susu yang tercemar. Meskipun peran MAP dalam kasus penyakit Crohn masih diteliti namun bukti keterkaitannya dengan produk susu sapi perlu diwaspadai. Keberadaan MAP dapat ditemukan pada susu sapi penderita JD klinis (Taylor et al. 1981) dan oleh Sweeney et al. (1992) disebutkan bahwa MAP dapat ditemukan pada susu segar dari sapi yang terinfeksi MAP subklinis dan akan semakin sering ditemukan bila sapi tersebut terinfeksi secara klinis.
Cemaran Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis pada Susu dan Penyakit Crohn
Tidak diperoleh isolat bakteri MAP dari susu segar, susu pasturisasi, maupun susu formula lanjutan di Bogor, namun berdasarkan uji PCR F57 nested ditemukan 5 contoh positif dari susu formula lanjutan. Hasil ini memberikan kelegaan mengingat cukup banyak produk susu olahan yang bahan bakunya diimpor dari beberapa negara yang diketahui memiliki masalah JD seperti
Australia dan Selandia Baru, serta negara-negara Eropa. Ditemukannya pita DNA MAP dari uji PCR nested membuktikan bahwa MAP masih memungkinkan bertahan di dalam produk susu meski telah diproses menggunakan pemanasan yang tinggi sekalipun. Temuan ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Hruska et al. (2005) yang memeriksa susu formula anak di Ceska dengan metode PCR konvensional menggunakan primer IS900 dan F57. Hasil pemeriksaan di Ceska tersebut menemukan 25 contoh susu formula terdeteksi menggunakan primer IS900 dan 18 contoh susu terdeteksi menggunakan primer F57. Isolat MAP juga pernah ditemukan pada makanan bayi selain terdeteksi dengan PCR (Akineden et al. 2006). Kemampuan deteksi alat diagnostik MAP dalam penelitian ini masih terbatas pada konsentrasi ≥103 CFU untuk metode PCR dan 101 CFU/ml untuk isolasi. Keterbatasan ini membuka kemungkinan adanya MAP yang tidak terdeteksi apabila jumlahnya kurang dari jumlah tersebut.
Faktor-faktor yang menyebabkan MAP mampu bertahan dalam susu olahan belum banyak diketahui. Sung et al. (2004) mengidentifikasai keberadaan beberapa protein yang diduga berperan dalam kemampuan tahan panas MAP yaitu GroES heat shock protein, antigen 85 complex B, dan alpha antigen.
Pemanasan susu segar, selain mempengaruhi komponen susu juga akan menyebabkan denaturasi protein membran sel bakteri. Pada MAP, denaturasi protein membran ini akan diperbaiki dengan segera oleh protein GroES. Antigen 85B dan antigen alfa diketahui berperan dalam proses pembentukan membran sel. Protein-protein tersebut diduga sebagai faktor yang menyebabkan MAP mampu tahan terhadap suhu tinggi pengolahan susu.
Banyak survei menemukan MAP dalam susu segar dan susu olahan. Pada pasturisasi skala komersial dengan kapasitas 2000 l/jam, pengaruh pasturisasi HTST susu sapi yang tercemar MAP secara alami ternyata sedikit sekali mengurangi kemampuan bakteri tersebut untuk bertahan dalam susu (Grant et al. 2002a). Grant et al. (2002b) selanjutnya menemukan 19 sampel susu segar dan 67 sampel susu pasturisasi dari total 241 sampel (segar dan pasturisasi) terdeteksi mengandung MAP. Sung dan Collins (2000) yang mengamati pengaruh pH, garam, dan pemanasan terhadap daya tahan MAP pada proses pembuatan keju. Mereka menginokulasikan bakteri MAP pada susu bahan baku yang akan diolah menjadi keju. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tingkat inaktivasi MAP lebih tinggi pada pH rendah yaitu 4, 5, dan 6 sedangkan kadar garam (NaCl) hanya sedikit mempengaruhi. Pada pemanasan yang kemudian
diikuti dengan masa pemeraman selama 60 hari akan mampu mengurangi jumlah MAP dalam keju hingga 2 log (102 CFU /ml). Donaghy et al. (2004) mendapatkan MAP setelah pasturisasi pada suhu 72 °C selama 15 detik memperlihatkan sekitar 4% bakteri tersebut didapatkan pada whey selama pembuatan keju.
Keberadaan MAP dalam susu dan produk olahannya seringkali dikaitkan dengan penyakit Crohn (CD). Penyebab penyakit Crohn sendiri masih dalam perdebatan. Chamberlin dan Naser (2006) mengelompokkan 3 penyebab CD yaitu teori autoimun, teori defisiensi imun, dan teori mikobakterial. Teori mikobakterial dimulai setelah Dalziel menemukan kemiripan perubahan klinis dan histopatologi antara sapi penderita paratuberkulosis, tuberkulosis usus, dan randang granulomatosa usus kronis pada manusia (CD). Diduga terjadi interaksi antara MAP dengan sistem kekebalan tubuh manusia seperti halnya infeksi mikobakterial patogen lainnya. Manifestasi penyakit yang terjadi dari bentuk kolonisasi kecil dan tidak menimbulkan gejala sampai terjadinya keradangan granulomatosa parah pada usus besar. Teori MAP sebagai salah satu penyebab CD dikuatkan oleh beberapa laporan kasus dan penelitian. Hermon-Taylor et al.
(1998) melaporkan seorang anak yang mengalami radang kelenjar limfe yang disebabkan MAP, lima tahun kemudian mengalami radang ileum terminal (terminal iIeitis) yang mirip kasus CD. Diduga dalam kasus ini penularan MAP terjadi melalui susu, kemudain bakteri masuk ke dalam kelenjar limfe leher dan ke ileum.
Naser et al. (2000) berhasil mengisolasi MAP dari air susu 2 orang ibu penderita CD sementara Richter et al. (2002) berhasil mengisolasi MAP dari penderita HIV di Jerman. Sebanyak 11 orang dari 13 pasien CD dapat diisolasi MAP dari darah mereka (Naser et al. 2004). Hasil pengujian Collins et al. (2000) berdasarkan pengujian IS 900 PCR, memperlihatkan bahwa MAP dideteksi pada 26.2% penderita UC dan 19% pada pasien CD sedangkan dari kelompok kontrol (sehat) hanya sebesar 6.3% yang dapat terdeteksi. Hasil uji serologi menunjukkan bahwa kelompok pasien CD memiliki seroprevalensi sebesar 20.7%, penderita UC 6.1% dan kelompok kontrol hanya 3.9%. Kondisi ini memperlihatkan adanya peran MAP baik sebagai agen penyebab utama ataupun sebagai infeksi sekunder dalam menimbulkan kasus IBD.
Kajian kasus-kontrol yang dilakukan Berstein et al. (2004) menyebutkan bahwa berdasarkan uji serologis (ELISA) untuk identifikasi MAP terhadap empat
kelompok observasi (pasien CD, ulcerativ colitis/UC, sehat, lain-lain) memperlihatkan prevalensi seropositif sebesar 35% dari seluruh kelompok.
Prevalensi pada setiap kelompok tidak berbeda nyata dan rentang prevalensi masing-masing kelompok berkisar antara 33.6-37.8%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa uji seropositif MAP tidak berbeda nyata di antara jenis kelamin, umur, sejarah radang usus (inflamatory bowel disease/IBD) dalam keluarga, asal kelahiran dari negara berkembang, penduduk asli atau pendatang, dan pernah tinggal di peternakan (unggas, sapi, babi) atau tidak. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kejadian CD dengan infeksi MAP.
Tindakan pasturisasi meskipun tidak menjamin mematikan MAP sepenuhnya namun hingga saat ini merupakan langkah pencegahan yang paling efisien. Belum ada perlakuan yang mampu mematikan secara total terhadap cemaran MAP dalam susu. Efektifitas pasturisasi mematikan MAP dipengaruhi oleh jumlah cemaran dalam susu (Grant et al. 1996) dan dalam pasturisasi skala komersial MAP masih mampu bertahan (Grant et al. 2002b). Penelitian Sung dan Collins (1998) menyebutkan bahwa D values (waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi bakteri sebanyak 1 log10) pada suhu pasturisasi 62 °C yaitu selama 228.8 detik; suhu 65 °C selama 47.8 detik, suhu 68 °C selama 21.8 detik dan pada suhu 71 °C selama 11.67 detik. McDonald et al. (2005) melakukan pasturisasi HTST dengan alat pasturisasi dengan aliran berputar (turbulent-flow pasteruizer) pada suhu 72 °C selama 15 detik, 75 °C selama 25 detik, dan 78 °C selama 15 detik cukup efektif mematikan MAP >104-106 CFU.
Pendapat McDonald ini dikuatkan oleh Rademarker et al. (2007) yang menyarankan melakukan pasturisasi HTST pada suhu ≥72 °C selama 15 menit, menurutnya metode ini mampu mengurangi MAP hingga 107 CFU. Teknik yang berbeda ditawarkan oleh Lopez-Pedemonte et al. (2005) yang menggunakan tekanan hidrostatik tinggi/high hydrostatic pressure (HHP) pada suhu sedang (5- 20 °C), dengan memberikan tekanan HHP sebesar 500MPa mampu mengurangi MAP sebanyak 104 CFU /ml. Beberapa metode alternatif ini merupakan upaya menurunkan jumlah MAP dalam susu dalam rangka menjamin keamanan pangan dari susu.
Potensi Kasus Infeksi Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis dan Kajian Terkait di Masa Mendatang di Indonesia
Tidak ditemukan isolat MAP maupun M. tuberculosis dari contoh feses sapi perah di Bogor. Keberadaan Mycobacterium sp. dalam feses merupakan satu peringatan dini berkaitan dengan penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan genus Mycobacterium. Sampai saat ini diketahui 54 spesies Mycobacterium dan hanya 14 yang menimbulkan penyakit pada manusia. Klasifikasi berdasar sifat patogennya dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu patogen obligat, patogen fakultatif, patogen oportunistik, dan saprofit. Mycobacterium fakultatif maupun oportunistik dapat ditemukan di lingkungan dan berpotensi menimbulkan penyakit bagi manusia maupun hewan. Mycobacterium yang tergolong oportunistik yang
dapat menyerang menimbulkan sakit pada manusia antar lain M. bovis, M. marinum, M. avium, M. avium, M. scrofulaeum. Mycobacterium yang termasuk
dalam kelompok oprtunistik antara lain M. smegmatis, M. gastri, M.fallax (Shanahan 1994).
Isolat Mycobacterium sp. yang ditemukan dalam penelitian ini belum diidentifikasi sehingga sifat patogennya belum diketahui. Di Eropa tengah diketahui beberapa tuberkulosis sapi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex seperti M. tuberculosis, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. pinnipedii, M. microti, M. canettii. M. bovis dan M. caprae merupakan spesies yang sering diisolasi dari hewan-hewan yang menderita tuberkulosis (Pavlick et al. 2002). Lima belas isolat Mycobacterium sp. yang ditemukan dalam penelitian ini perlu diidentifikasi untuk mengetahui spesiesnya namun demikian dengan temuan ini akan memberikan alasan yang kuat bagi pemerintah untuk lebih aktif melakukan pemantauan kasus tuberkulosis sapi di Indonesia.
Kondisi peternakan sapi perah Indonesia saat ini harus lebih diperhatikan karena meningkatnya animo beberapa pihak yang tertarik berinvestasi pada industri peternakan sapi perah. Kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat semakin banyak ditemukan sapi-sapi yang seropositif terhadap MAP dan juga temuan isolat yang teridentifikasi sebagai MAP. Keberadaan MAP pada ternak merupakan salah satu ancaman besar bagi keberlangsungan usaha peternakan sapi perah nasional. Penyakit yang ditimbulkan tidak hanya merugikan secara ekonomi namun juga mengancam kesehatan masyarakat.
Jejak keberadaan MAP pada susu formula yang dijual di Bogor terdeteksi dalam penelitian ini. Bahan baku susu olahan di Indonesia sebagian besar
diimpor dari negara-negara yang endemis JD seperti Australia dan New Zealand.
Prevalensi kasus JD di Australia mencapai 7%, New Zealand 60%, sedangkan Belanda 55% (Colllins & Manning 2004). Selama ini produk-produk olahan belum diuji status keberadaan MAP di dalamnya. Kondisi ini sangat berpotensi menjadi sumber masuk dan menyebarnya MAP baik kepada masyarakat dan ternak. Data penelitian ini menjadi informasi awal yang mengindikasikan untuk melakukan pengujian terhadap produk-produk susu olahan secara rutin. Beberapa fragmen protein MAP seperti protein 65 KDa (heat shock protein) yang bersifat imunogenik diduga juga dapat memicu proses autoimun dalan penyakit peradangan kronis (Hruska et al. 2005). Meskipun keterkaitan MAP terhadap kasus CD belum dapat disimpulkan secara tegas namun tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk menjamin kesehatan dan ketenteraman masyarakat Indonesia.
Temuan penelitian ini dan informasi peneliti lain berkaitan dengan MAP di Indonesia selayaknya ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih komprehensif.
Kajian ini bersifat deteksi dengan asumsi prevalensi 5%. Tidak ditemukannnya isolat MAP dapat disimpulkan bahwa prevalensi kasus MAP pada sapi perah di Bogor kurang dari 5%. Informasi ini dapat menjadi pedoman untuk kajian observasional untuk mengetahui prevalensi JD sebenarnya dan menganalisis faktor-faktor manajeman dan lingkungan yang mempengaruhinya. Data kajian ilmiah kasus JD yang komprehensif di Indonesia akan menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya seperti pengusaha, peternak, koperasi, lembaga penelitian untuk membuat kebijakan berkaitan dengan JD dan implikasinya. Prevalensi sebenarnya dari hasil kajian observasi di Indonesia merupakan dasar dalam menyatakan status Indonesia terhadap penyakit paratuberkolusis. Status ini akan berdampak pada kebijakan pemerintah terhadap strategi penanganan penyakit di dalam negeri dan aspek ekonomi industri persusuan nasional. Pedoman pencegahan, penanggulangan, dan pemberantasan penyakit perlu dipersiapkan sebagai langkah antisipatif terhadap kasus paratuberkulosis.
Hambatan media diagnosis terutama untuk isolasi yang tergantung dari luar negeri perlu dikurangi. Salah satu langkah dalam rangka menyediakan media isolasi secara mudah dan lebih murah adalah dengan mengembangkan media ogawa yang dimodifkasi (MOM) untuk MAP. Penelitian ini belum berhasil mendapatkan formula MOM yang tepat untuk pertumbuhan MAP namun sudah
diperoleh bukti bahwa MOM memiliki kemampuan yang sama dengan media standar HEYM untuk menumbuhkan Mycobacterium avium subspesies avium.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa MOM dapat digunakan sebagai media Mycobacterium namun perlu dikembangkan untuk kebutuhan MAP yang sangat membutuhkan mycobactin untuk pertumbuhannya. Teknik penambahan mycobactin yang tepat perlu dicari agar konsentrasi yang diperoleh dapat merata pada media dan daya kerjanya tidak berkurang akibat proses sterilisasi media.
Tempat pembuatan MOM harus disesuaikan dengan volume media yang akan dibuat. Penambahan mycobactin dan kuning telur dapat dilakukan setelah komponen-komponen lainnya telah disterilisasi (121 °C, 15 menit) kemudian suhu diturunkan dan dijaga pada suhu 45-50 °C dalam kondisi diaduk menggunakan magnetik streerer. Setelah penambahan kuning telur dan mycobactin, media tetap diaduk lebih kurang 5 menit untuk meyakinkan seluruh larutan tercampur dengan sempurna.
Selain dari mengembangkan media isolasi perlu juga mengembangkan alat deteksi serologis seperti purified protein derivate (PPD) Johnin dan enzyme- linked immunosorbent assay (ELISA) untuk keperluan uji lapangan. Coussens (2004) menggambarkan sebuah model tanggap kebal sapi yang terinfeksi MAP secara lengkap. Model tersebut menjelaskan perjalanan tanggap kebal hewan sejak permulaan infeksi, fase subklinis, dan fase klinis. Beberapa tanggap kebal spesifik genus ataupun spesies diharapkan dapat teridentifikasi dari model ini sehingga dapat dibuat suatu alat diagnosis MAP sedini mungkin. Waters et al.
(2004) mencoba menggunakan early secretory antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10) rekombinan untuk membedakan antara infeksi karena M. bovis atau MAP pada sapi. Hasil penelitian itu mengindikasikan bahwa rESAT-6:CPF-10 lebih spesifik mendeteksi M. bovis meskipun hewan juga terpapar MAV maupun MAP. Beberapa imunogenik yang teridentifikasi pada MAP, berpotensi dikembangkan untuk pelacakan metode ESAT tersebut mengingat tanggap kebal seluler lebih dominan pada awal infeksi MAP.
Meskipun alat diagnosis MAP memiliki beberapa kelemahan namun Collins (2007) memberikan beberapa saran penggunaan alat diagnosis untuk keperluan mengendalikan JD pada peternakan sapi perah maupun sapi pedaging. Pada tahap mengidentifikasi peternakan yang diduga terinfeksi sebaiknya dilakukan isolasi dari feses demikian pula untuk keperluan surveilen. Pada daerah yang telah diketahui terinfeksi disarankan untuk melakukan kontrol dengan ELISA
terhadap serum maupun susu. Konfirmasi peternakan yang belum pernah terinfeksi tanpa gejala klinis namun ada indikasi kasus disarankan dengan melakukan nekropsi, isolasi dari individu ternak dengan menggunakan media semi solid atau cair, serta PCR.
Selain kajian epidemiologi untuk mengetahui peta kasus dan situasi keparahan paratuberkulosis di Indonesia khususnya pada sentra-sentra produksi sapi perah maka perlu disiapkan pula pedoman penanganan kasus secara lengkap. Rekomendasi pengelolaan peternakan untuk pencegahan dan pengendalian paratuberkulosis meliputi beberapa lokasi yaitu area pengawinan (calving area), lokasi penyapihan, lokasi pemeliharaan hewan produksi, pengelolan pupuk, sapi, hewan lain yang ada di peternakan, pengujian rutin (tes johnin), dan pencatatan (Hansen et al. 2003). Pemerintah bekerjasama dengan kelompok usaha peternakan sapi perah, baik skala peternakan rakyat maupun industri perlu secara periodik melakukan pengendalian penyakit patogen pada umumnya dan paratuberkulosis khususnya. Pengelolaan sapi perah peternakan rakyat juga perlu melakukan pencatatan secara lengkap tidak hanya aspek produksi namun juga meliputi seluruh aspek termasuk kesehatan ternak.