I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan terluas setelah Papua. Secara umum hutan memberikan manfaat ganda yaitu manfaat secara langsung (tangible) dan tidak langsung (intangible). Manfaat secara langsung yaitu berupa kemampuan hutan di dalam menyediakan produk-produk hasil hutan (kayu maupun nonkayu), sedangkan manfaat tidak langsungnya antara lain berupa penyedia oksigen, pengatur tata air, pencegah erosi dan sebagai sumber plasma nutfah. Data penyebaran luas hutan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penyebaran Luas Hutan di Indonesia Tahun 2004
No. Pulau Luas Hutan (Juta Ha)
1 Papua 42,22
2 Kalimantan 36,49
3 Sumatera 22,98
4 Sulawesi 10,90
5 Maluku 7,27
6 Jawa 2,17
7 Bali dan Nusa Tenggara 1,40
Sumber : Departemen Kehutanan (2007).
Menurut fungsinya hutan dibagi menjadi tiga yaitu hutan lindung, hutan
produksi, dan hutan konversi. Luas hutan produksi Indonesia pada Tahun 2004
yaitu sebesar 35,957 juta ha untuk produksi tetap dan 22,923 juta ha untuk
produksi terbatas pada Tahun 2004. Dan pada Tahun 2005 menjadi 35,812 jta ha
untuk produksi tetap dan 21,722 juta ha untuk produksi terbatas. Bedasarkan data
Tabel 2. Luas Hutan (ribu ha) Indonesia Menurut Fungsinya Tahun 2004-2005
Fungsi Hutan 2004 2005
Hutan Lindung 31,685 31,782
Suaka Alam dan Pelestarian Hutan 23,149 23,596
Hutan Produksi Terbatas 22,923 21,722
Hutan Produksi Tetap 35,957 35,812
Hutan Produksi Yang dapat dikonversi 22,996 14,657
Total Luas Hutan 139,710 126,969
Sumber : Departemen Kehutanan (2007).
Produksi kayu hutan menurut jenisnya ada tiga yaitu kayu bulat, kayu
olahan, dan kayu gergajian. Produksi kayu bulat sempat mengalami penurunan
pada Tahun 2000 dan 2002, tetapi kemudian mengalami peningkatan pada Tahun
2003 hingga Tahun 2005. Pada Tahun 2001 produksi kayu gergajian merosot
tajam yaitu sekitar 75,81 persen dari Tahun 2000, dan cenderung menurun pada
tahun berikutnya. Mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada Tahun
2005, walaupun tidak setinggi produksi pada Tahun 2000. Demikian halnya
dengan produksi kayu lapis sempat mengalami penurunan pada tahun 2002 dan
produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2003 yaitu sebesar 6.110.556 m
3.
Peningkatan produksi kayu hutan juga diikuti dengan pengurangan luas hutan
produksi yaitu pada Tahun 2004-2005. Hal ini menunjukkan tidak adanya
pembaharuan hutan produksi untuk terus menopang industri kayu. Semakin
berkurangnya luas hutan tentunya akan berpengaruh pada industri yang
produksinya sangat tergantung pada hasil hutan, salah satunya yaitu industri
mebel. Selain itu, hal ini semakin memperketat pemerintah didalam melakukan
pengawasan terhadap kegiatan penebangan hutan untuk menghindari penebangan
huta secara liar. Data produksi kayu hutan menurut jenisnya dari Tahun 2000-
2005 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi Kayu Hutan Menurut Jenis Produksi (m
3) di IndonesiaTahun 2000-2005
Tahun Kayu Bulat Kayu Gergajian Kayu Lapis
2000 13.798.240 2.789.543 4.442.735
2001 11.155.400 674.868 2.101485
2002 9.064.105 623.495 1.694.405
2003 11.423.501 762.602 6.110.556
2004 13.548.938 432.967 4.514.392
2005 24.222.638 . 471.614 4.533.749
Sumber : Departemen Kehutanan (2007)
Pengusahaan sektor kehutanan antara lain dilakukan dengan mengembangkan industri hasil hutan. Pengembangan industri hasil hutan dilakukan untuk mendorong upaya pencapaian pembangunan ekonomi, antara lain peningkatan penerimaan devisa, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan nilai tambah. Industri kayu olahan mulai berkembang setelah adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1986 dan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian pada tahun 2001. Kedua kebijakan tersebut membuat industri kayu olahan menjadi industri yang penting untuk dikembangkan. Pada tahun 2001-2006 industri kayu olahan memberikan pemasukan devisa paling besar dibandingkan dengan industri kayu bulat dan industri kayu gergajian.
Ekspor kayu olahan yang turun pada tahun 2005, disebabkan karena tahun
2004 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Kehutanan dan Menteri Perindustrian yang mengatur pelarangan ekspor kayu
olahan dengan ukuran dan ketebalan melebihi 6 mm. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah tersebut
diantaranya untuk memacu peningkatan ekspor dari pengolahan kayu industri hilir
Tabel 4. Devisa Ekspor Hasil Hutan Indonesia Tahun 2001-2006
Tahun Kayu Bulat
(juta US $)
Kayu Gergajian (juta US $)
Kayu Olahan (juta US $)
2001 5,62 89,48 2.486,26
2002 2,59 124,75 2.540,86
2003 0,24 85,84 2.535,03
2004 0,33 26,88 2.277,15
2005 0,19 3,41 2.401,66
2006 0,17 37,00 2.089,44
Sumber : Departemen Kehutanan (2007).
Kondisi kawasan hutan saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas areal hutan di Indonesia menurun dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar. Laju pengurangan hutan sangat cepat dari 1 juta hektar di tahun 1980 menjadi 1,7 juta hektar per tahun pada 1990, bahkan meningkat pengurangan luas hutan menjadi 2 juta hektar per tahun sejak 1996 .
1Indonesia bahkan dijuluki sebagai negara tercepat di dunia menghabiskan hutannya, karena setiap tahunnya luas hutan Indonesia berkurang 2,8 juta hektar.
Selama tahun 1997 hingga tahun 2000, setiap tahunnya Indonesia bahkan kehilangan hutan dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan seluas 3,5 juta hektar. Salah satu cara untuk mengurangi tingkat deforestasi hutan tersebut adalah dengan cara menghindari ekpor kayu bulat serta meningkatkan produksi kayu olahan.
Salah satu produk kayu olahan adalah mebel, mebel atau furnitur adalah kata benda massa yang mencakup semua barang seperti kursi, meja, dan lemari.
Dalam kata lain, mebel atau furnitur adalah semua benda yang ada di rumah dan
digunakan oleh penghuninya untuk duduk, berbaring, ataupun memuati benda
kecil seperti pakaian atau cangkir. Mebel terbuat dari kayu, papan, kulit, sekrup,
dll. Menurut data BPS, ekspor mebel dari Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun. Data ekspor tahun 2005 menunjukkan total volume ekpor mebel dari
Indonesia sebanyak 1.800 ton dengan nilai US$ 1.800 juta. Namun demikian,
kontribusi terhadap total pertumbuhan hanya berkisar 2,6 persen yang membuat peringkat Indonesia no.11 jauh di bawah Cina yang menempati urutan pertama dari 20 besar ekportir mebel dunia. Pada tahun 2004 tingkat utilisasi kapasitas produksi mebel masih mencapai 75,22 persen, lalu menurun menjadi 68,51 persen pada 2005, dan pada 2006 merosot lagi menjadi 66,41 persen. Sementara itu, volume produksi mebel kayu pada 2004 mencapai 2.483.067 meter kubik (m
3) lalu menurun menjadi 2.330.389 m
3pada 2005, dan setahun kemudian pada 2006 anjlok menjadi 2.258.882 m
3. Hal yang sama juga dialami produk rotan olahan yang mengalami penurunan pada periode sama. Pada 2004 produksinya mencapai 386.180 ton/tahun lalu menurun menjadi 384.165 ton pada 2005 dan pada 2006 produksinya tinggal 372.761 ton. Meskipun volume dan utilisasi kapasitas produksi mengalami penurunan signifikan, nominal ekspor mengalami peningkatan. Pada 2005 nilai ekspor mebel US$ 2,49 miliar dan pada 2006 meningkat 9,5 persen menjadi US$ 2,38 miliar.
2Data perkembangan industri mebel nasional di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Industri Mebel Nasional Tahun 2006 - 2007 Tahun Kapasitas (m
3) Produksi (m
3)
2006 3.411.554 2.258.882
2007 3.411.554 2.265.660
2008 3.411.554 1.835.185
Sumber : http://www.surabayapost.co.id/
Peningkatan nilai ekspor mebel pada Tahun 2006 disebabkan karena
adanya kenaikan harga untuk produk olahan dan komponen furnitur. Mebel kayu
memberi kontribusi terbesar ekspor nasional dengan volume 672.311 ton senilai
US$ 1,32 miliar, sedangkan komponen mebel volume ekspornya mencapai
907.158 ton senilai US$ 746,08 juta. Menurunnya produksi, utilisasi kapasitas
produksi, dan volume ekspor disebabkan kurangnya pasokan bahan baku kayu dan
Menghadapi kondisi itu, pemerintah akan terus mendorong mebel nasional dengan kebijakan yang diharapkan memberi keleluasaan pengusaha, misalnya dengan dibangunnya terminal bahan baku, dan menggelar pameran di luar negeri.
Nilai perdagangan mebel dunia sangat besar, yakni mencapai US$ 76 miliar pada 2005 dan pada 2006 meningkat menjadi US$ 80 miliar. Negara yang menjadi pengekspor mebel terkemuka di dunia yaitu Italia yang menguasai pangsa pasar 14,18 persen, disusul Cina (13,69 persen), Jerman (8,43 persen), Polandia (6,38 persen), Kanada (5,77 persen), AS (3,48 persen), sedangkan pangsa pasar mebel Indonesia saat ini hanya mencapai 2,9 persen atau senilai 2,2 miliar dolar.
3Kinerja produksi industri furniture dan kerajinan sepanjang Januari-Maret 2009 turun menjadi 30 persen dari sekitar 458.796,25 meter kubik (m
3) pada kuartal I/ 2008 menjadi hanya 321.157,38 m
3. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh terpotongnya ekspor pada periode tersebut dengan kisaran yang sama. Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) melaporkan penurunan produksi mebel dan kerajinan secara nasional mulai terjadi sejak memasuki kuartal IV tahun 2008 seiring dengan dampak resesi ekonomi global yang mengurangi ekspor. Penurunan tersebut semakin parah pada kuartal I/2009.
Dari sekitar 950 unit usaha, pemanfaatan kapasitas terpasang (utilisasi) kini tersisa 30persen-35persen dari posisi kuartal I/2008 yang masih berada di level 60 persen. Pada tahun 2008, produksi mebel dan kerajinan masih mencapai sekitar 1,835 juta m
3dengan nilai ekspor sekitar 1,542 miliar dollar AS. Penurunan produksi tersebut menyebabkan nilai ekspor pada kuartal I/2009 menurun 30 persen dari 540 juta dollar AS menjadi 378 juta dollar AS. Pasar ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa mengalami penurun paling drastis. Sepinya permintaan dari luar negeri menyebabkan cash flow sejumlah perusahaan mebel berkurang signifikan.
4Salah satu masalah krusial yang sering dihadapi oleh perusahaan mebel adalah menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, hal ini karena lemahnya penguasaaan teknologi. Produk berupa mebel dan kerajinan selalu dituntut harus
3