• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat (Nawir dan Santoso, 2005; Raymond dan Woof, 2006). Pembangunan hutan dengan permudaan buatan (umum dikenal sebagai hutan tanaman) diartikan sebagai tegakan hutan yang ditanam secara khusus dengan pohon berkayu jenis tertentu untuk keperluan penyediaan kayu bakar, dan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Jenis yang ditanam umumnya memiliki karakteristik khas, seperti cepat tumbuh, persyaratan pengelolaan tidak rumit dan produktivitas tinggi.

Food and Agriculture Organisation atau FAO (2005) melaporkan bahwa 34,1%

pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia juga ditujukan untuk keperluan non industri seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan (48,7%), konservasi tanah dan air (9,3%), dan fungsi lainnya yang belum tercatat (7,8%).

Pembangunan hutan dengan permudaan buatan di Indonesia umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi oleh kelompok masyarakat yang diberikan kewenangan oleh pemerintah. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu sehingga disebut hutan tanaman industri atau HTI (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 (PP No. 6/2007) jo PP No. 3/2008 khususnya Pasal 1). Berdasarkan data release Ditjen BPK Triwulan I Tahun 2009 (website http://www.dephut.go.id) tercatat 229 unit HTI sudah memperoleh Surat Keputusan (SK) definitif dengan luas konsesi 9.972.732 ha, tetapi realisasi tanamannya hanya seluas 3.970.958 ha atau sekitar 39,82% dibandingkan luas areal konsesinya.

Guna mengoptimalkan realisasi pembangunan hutan tanaman di Indonesia, sejak tahun 2006 pemerintah telah melakukan upaya percepatan pembangunan HTI. Upaya

(2)

pemerintah diantaranya adalah mengalokasikan kawasan hutan milik negara seluas 9 juta ha menjadi lahan hutan tanaman periode 2007–2010 (Pasaribu, 2006), dimana 40% atau 3,6 juta ha dibangun dengan pola Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK–HT), dan 60% atau 5,4 juta ha dengan pola Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK–HTR). Kebijakan pembangunan IUPHHK–HTR, yang mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai stakeholder pembangunan hutan, dituangkan dalam PP No.6/2007 jo PP No. 3/2008 dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.23/Menhut-II/2007 jo No. P.05/Menhut-II/2008. Berdasarkan Permenhut tersebut, maka salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan.

Kemitraan membangun hutan tanaman dilakukan IUPHHK–HT dengan melibatkan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan (forest dependent

communities). Kemitraan tersebut, seperti misalnya yang dilakukan oleh PT. Musi

Hutan Persada, PT. Wirakarya Sakti, PT. Finnantara Intiga, PT. Xylo Indah Pratama, PT. Arara Abadi, PT. Inti Indo Rayon, dan PT. Riau Andalan Pulp and Paper, telah banyak dikaji dan diungkap (Maturana et al., 2005; Nawir dan Santoso, 2005; Diyah, 2006; Yuwono, 2006; Prihadi dan Nugroho, 2007; Suwarno et al., 2009).

Di Pulau Jawa, pembangunan hutan tanaman di kawasan hutan negara seluas 2,4 juta ha dilakukan Perum Perhutani. Sedangkan pembangunan hutan non-HTI selama kurun waktu 2003-2007 adalah rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) seluas 224.208,6 ha dan rehabilitasi lahan (di luar kawasan) seluas 688.260 ha (Dephut, 2008).

Pembangunan hutan tanaman juga dilakukan pada lahan milik secara swadaya maupun kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya dengan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK)1 yaitu industri pengolahan kayu bundar2 (INPAK)

atau industri pengolahan kayu bahan baku serpih (pulp and paper). Informasi INPAK yang melakukan kemitraan bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan

1 IPHHK adalah industri hulu hasil hutan kayu yaitu industri pengolahan kayu bundar dan/atau kayu

bundar kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (Pasal 1), terdiri dari industri penggergajian kayu, industri serpih kayu (wood chip), industri veneer, industri kayu lapis/panel (plywood), dan laminated veneer lumber/LVL (Pasal 2). Industri primer adalah juga termasuk industri primer yang dibangun dengan industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu bundar dan/atau kayu bundar kecil (PP. No 6/2007; Permenhut No. P.35/Menhut-II/2008 jo P.9/Menhut-II/2009).

2 Standar Nasional Indonesia (SNI) mendefinisikan kayu bundar, kayu gelondongan, balak, dolok atau

log sebagai bagian batang dan atau cabang dari pohon, berbentuk bundar memanjang dengan ukuran dan sortimen tertentu. Berdasarkan besarnya diameter, kayu bundar (KB) digolongkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu kayu bundar besar/KBB, kayu bundar sedang/KBS, dan kayu bundar kecil/KBK (SNI 01-5010.4-2002 tentang Pendukung di bidang Kehutanan – Bagian 4: Tata nama hasil hutan).

(3)

(KIBARHUT) atau dikenal juga sebagai Hutan Rakyat pola kemitraan masih sangat terbatas. Sampai tahun 2008, Direktorat BPPHH (Dephut) mengidentifikasi adanya 10 unit INPAK (dengan kapasitas produksi > 6.000 m³/tahun dan tersebar di 4 provinsi) yang melakukan KIBARHUT di Pulau Jawa.

Kenyataannya, belum ada pola kemitraan yang dianggap optimal dalam pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005; Suwarno et al., 2009), walau klaim pelaksanaan umumnya dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat (Riyanto, 2005; Najiyati et al., 2005). Pendekatan kemitraan dalam upaya pemberdayaan dilakukan karena melibatkan penduduk lokal/masyarakat sekitar hutan dan pihak terkait lainnya adalah pilihan terbaik dibandingkan kebijakan pembangunan dengan menggunakan pendekatan otoriter (Suyanto et al., 2005; Sanginga et al., 2007). Bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, saling menghidupi, kesetaraan, partisipatif, adanya kepercayaan dan kemauan berbagi, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra (Korten, 1987; Eade, 1997; Sumardjo et al., 2004; Najiyati et al., 2005), sebagaimana juga termuat di Pasal 26 – 31 pada UU No. 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil.

Pemerintah telah menggariskan kebijakan yang tertuang dalam Pasal 99 PP No. 6/2007 jo No. 3/2008 bahwa pemberdayaan penduduk lokal atau setempat, dapat dilakukan melalui kemitraan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan atau hak pengelolaan dengan penduduk, berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Nawir (2006) menyatakan perlunya kemitraan dengan INPAK guna mendapatkan jaminan pasar bagi pengelola hutan atau pihak Hulu. Kemitraan juga merupakan solusi tepat untuk kesinambungan bahan baku kayu bundar bagi INPAK. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional yang komprehensif mengenai kemitraan pembangunan hutan antara rakyat dengan INPAK.

Kemitraan melibatkan dua atau lebih pihak yang bekerjasama dalam hal penggunaan lahan, modal, pengelolaan hutan dan jaminan pasar dengan tujuan memproduksi kayu bundar. Adanya hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat (pengelola hutan) memunculkan dugaan bahwa ada perubahan kinerja yang dicapai dalam rangka pembangunan hutan sehingga keberlanjutan pelaksanaannya menjadi relevan untuk didiskusikan. Keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka

(4)

pembangunan hutan berpengaruh terhadap upaya penyediaan pasokan bahan baku sesuai dengan kebutuhan industri, meningkatkan pendapatan dan/atau keuntungan rakyat selaku pengelola hutan yang terlibat, sekaligus keberlangsungan dan kelestarian pasokan bahan baku bagi INPAK.

Penelitian ini mendiskusikan hal-hal tersebut dengan menggunakan teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency relationship) antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan. Guna mencapai tujuan penelitian tersebut, pengungkapan fakta dan data kelembagaan KIBARHUT dilakukan dengan mengambil kasus penerapannya di Pulau Jawa.

B. Pernyataan Masalah Penelitian

Pengembangan usaha pembangunan hutan dengan permudaan buatan yang dilakukan secara komersial guna memasok kebutuhan bahan baku bagi INPAK di Pulau Jawa mempunyai potensi yang sangat besar (Hardjanto, 2003). Pada berbagai tempat dan lokasi, INPAK melakukan pendekatan intensif kepada rakyat sebagai petani pemilik lahan, secara perorangan ataupun kelompok, untuk bersedia bermitra dalam upaya membangun hutan dan mengelolanya.

Kemitraan membangun hutan dengan pihak luar lingkungan sosial petani dapat berlangsung sepanjang ada kesediaan rakyat dan/atau para pemilik lahan untuk bermitra. Secara tidak langsung, kemitraan menyebabkan terjadinya perubahaan budaya dan kelembagaan (Purnaningsih, 2006) sehingga memerlukan pertimbangan rasional para pelakunya, khususnya petani. Pemikiran ini penting karena Mayers dan Vermeuleun (2002) mengungkapkan tidak banyaknya fakta lapangan yang memperlihatkan kemitraan antara perusahaan dengan rakyat dalam pembangunan hutan, telah mampu mengatasi kemiskinan, meningkatkan kondisi kerja atau meningkatkan daya tawar (bargaining position).

Mekanisme pengaturan melalui kelembagaan kemitraan merupakan penataan, guna mendorong kesediaan pelaku bekerjasama dan berinvestasi membangun hutan. Mekanisme tersebut dipengaruhi berbagai faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi karakteristik dan pelaku KIBARHUT, sehingga menghasilkan keluaran yang dapat dipergunakan mengevaluasi keberlanjutan (arena aksi atau action arena) kelembagaan KIBARHUT. Kelembagaan KIBARHUT dapat terwujud dan berkelanjutan, jika mampu memberikan insentif positif bagi pelakunya

(5)

(actors). Selanjutnya, pelaku yang terlibat bersedia menginvestasikan kembali sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola hutan secara berkelanjutan. Dengan demikian, bagaimanakah karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa ?

Kelembagaan KIBARHUT tersebut diharapkan mempunyai kinerja yang mampu memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Para pelaku selanjutnya secara sukarela bersedia menginvestasikan kembali sebagian keuntungan yang diperolehnya, untuk membangun dan mengelola hutan KIBARHUT secara berkelanjutan. Dengan demikian, apakah kelembagaan KIBARHUT mempunyai kinerja yang dapat memberikan insentif positif bagi para pelakunya sehingga menjamin terwujudnya hubungan kemitraan yang berkelanjutan ?

Pembangunan hutan KIBARHUT tidak hanya mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) berupa ketersediaan input produksi, tetapi juga mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkages) berupa pasar produknya. Pasar kayu KIBARHUT dan jaminan pasar yang diberikan oleh INPAK merupakan salah satu daya tarik (arena aksi) kelembagaan KIBARHUT. Sehingga, bagaimanakah struktur pasar dan saluran pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa ?

Pemahaman terhadap permasalahan penelitian dimaksud diharapkan dapat mensintesa kelembagaan KIBARHUT yang mampu mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan hutan KIBARHUT di Pulau Jawa.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini mengkaji kelembagaan kemitraan yang mendukung terwujudnya kelembagaan KIBARHUT secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Menganalisis karakteristik kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 2. Menganalisis kinerja kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa 3. Menganalisis pemasaran kayu KIBARHUT di Pulau Jawa

4. Menganalisis peluang keberlanjutan kelembagaan KIBARHUT di Pulau Jawa D. Kegunaan Penelitian

Keluaran hasil penelitian ini diharapkan berguna dan dapat dimanfaatkan untuk: 1. menjadi bahan masukan dan informasi penting bagi pemerintah dalam

(6)

2. kalangan akademisi dan peneliti dalam mengembangkan penelitian lanjutan dan menjadi bahan pembanding tentang pola kemitraan, berdasarkan konsep atau teori kontrak kemitraan dan adopsinya di lapangan.

3. membantu masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha dan pihak lain dalam mengembangkan dan melaksanakan serta memberikan pendampingan pelaksanaan kemitraan untuk membangun hutan.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Analisis diarahkan pada penilaian tentang kelembagaan yang mendukung keberlanjutan hubungan kemitraan dalam rangka pembangunan hutan tanaman sehingga menghasilkan keluaran yang berdampak dan memberikan manfaat (insentif positif) bagi para pelakunya. Jalinan kerjasama ekonomi dan keterlibatan para pelaku tersebut dilakukan berdasarkan asas kemitraan, sehingga kajian dalam penelitian ini menggunakan konsep teori kemitraan (agency theory), khususnya tentang hubungan kelembagaan kemitraan antar para pelaku (agency relationship).

Cakupan penelitian adalah kegiatan kemitraan dalam rangka pembanguna hutan yang dilakukan INPAK bersama rakyat (KIBARHUT) yaitu (i) petani pemilik lahan, atau (ii) petani dan pemilik lahan (perorangan, perusahaan swasta, dan pemegang izin/kuasa pengelolaan hutan/lahan negara), dengan atau tanpa keterlibatan pelaku lain (mitra antara). Kegiatan kemitraan oleh institusi yang bukan INPAK adalah tidak termasuk cakupan penelitian ini.

F. Kebaruan (Novelty)

1. Kebaruan (fokus penelitian) dalam mengungkapkan jalinan hubungan pertukaran ekonomi antara INPAK dan rakyat, beserta implikasinya terhadap keberlanjutan usaha membangun hutan, serta secara tuntas (scholar) menganalisis dan mensintesis kelembagaan KIBARHUT dengan pendekatan teori kemitraan (agency theory) khususnya hubungan kemitraan (agency

relationship).

2. Kebaruan keilmuan terkini (advance) karena fokus penelitian, berdasarkan review hasil-hasil penelitian sebelumnya, menghasilkan fakta belum adanya penelitian mengenai hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan (KIBARHUT) dalam konteks analisis kelembagaan.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Untuk memiliki SPPT-SNI Minyak Goreng Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Produsen dan/atau Pengemas mengajukan permohonan penerbitan SPPT-SNI Minyak

Pada tahap pelaksanaan dalam program simpan pijam kegiatan yang dilakuakan adalah persiapan penyaluran dana dan pancairan. Pada kegiatan penyaluran, dana tersebut

Simplisia nabati yang dipergunakan sebagai bahan untuk memperoleh minyak atsiri, alcohol, glikosid atau zat berkhasiat lain, tidak perlu memenuhi semua persyaratan

Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut,

Bahwa obyek Permohonan a quo (objectum litis) adalah berkenaan dengan Perselisihan dan/atau Sengketa dan/atau Kesalahan Hasil Penghitungan Perolehan Suara yang

Singkatnya jika kalian mempunyai virtual server atau dedicated server, dan bingung dengan command line (bash), disini ada interface yang bisa membantu kalian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kemampuan memori mahasiswa Prodi Pendidikan Sains pada materi tata nama senyawa kompleks; 2) mengidentifikasi pengaruh kemampuan