• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGEMBANGAN SNI DALAM RANGKA PENGAWASAN BARANG BEREDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGEMBANGAN SNI DALAM RANGKA PENGAWASAN BARANG BEREDAR"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2013

ANALISIS PENGEMBANGAN SNI

DALAM RANGKA PENGAWASAN

(2)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar belakang

Dalam era perdagangan bebas, peraturan teknis yang terkait dengan peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus mengacu dan memenuhi standar internasional. Dengan pemenuhan standar, produk lokal diharapkan bisa menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang lebih tingi. Selain itu, pemenuhan standar juga dapat menguntungkan konsumen dalam hal kualitas, harga barang yang kompetitif, serta keamanan penggunaan barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.

Instrumen perdagangan non-tariff mengedepankan pemenuhan komitmen dalam World Trade Organization (WTO) yang disepakati dalam Technical Barriers to Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: peraturan teknis atau regulasi, standar dan penilaian kesesuaian (Standards and Conformity Assesment atau SCA). Instrumen tersebut bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen agar memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu, namun juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan (K3L).

Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan instrumen Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang impor.

Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.

(3)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ii

Hasil Pengawasan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31% dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang yang melanggar ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat listrik, 20% barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta sisanya adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan Barang Tekstil (TPT).

Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L, pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI Wajib, dengan memperhatikan kepentingan pelaku usaha dalam negeri. Terkait hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan pengawasan barang beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap tahunnya sebagai upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen. Hal tersebut juga bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang pemberlakuan SNI secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk.

Namun, hingga saat ini pemberlakuan SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta ini dirasakan kurang memadai untuk menghambat laju produk impor, sehingga untuk mempercepat pelaksanaan pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan difokuskan pada upaya untuk pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI yang diberlakukan secara wajib.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam analisis ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Analisis deskriptif akan digunakan untuk mengkaji kesiapan sarana pendukung, khususnya lembaga laboratorium uji serta respon dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-SNI yang beredar di pasaran. Analisis kuantitatif akan dipakai secara khusus untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam nenerapkan SNI wajib dengan menggunakan model penilaian kesiapan (assessment model of Standard Readiness Survey - SRS). Model ini merupakan aplikasi model e-Learning Readiness Survey (e-LRS) yang dikembangkan oleh

(4)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iii

Aydin dan Tasci (2005) yang dipakai untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam menerapkan e-learning.

Pembahasan dan Kesimpulan

1. Secara keseluruhan terdapat sekitar 400 laboratorium yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dari 400 laboratorium , sebanyak 71 buah merupakan laboratorium uji produk industri (KAN, 2008) yang terdiri dari laboratorium uji milik pemerintah, 7 milik BUMN dan 12 dikelola swasta (BPPKI, 2012). Di sektor industri, lembaga yang membina dan mengawasi adalah Kementerian Perindusrian c/q Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri khususnya untuk standar yaitu pada Pusat Standarisasi Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian. Pustan ini mempunyai tugas pokok yaitu penyiapan dan perumusan RSNI, penerapan dan pengawasan SNI Wajib, pembinaan standarisasi serta kerjasama standarisasi di bidang industri.

2. Dari 71 buah laboratorium uji, teridentifikasi sebanyak 9 (Sembilan) buah laboratorium yang memungkinkan dapat menguji dan mensertifikasi produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin yaitu terdiri dari 5 buah milik pemerintah, 1 buah milik BUMN dan 3 buah dikelola oleh swasta. Dari 9 laboratorium ini hanya dua yang berfungsi hanya sebagai laboratorium uji yaitu PT. Panasonic Gobel dan PT. Polytron. Namun belum semua laboratorium tersebut mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk menguji semua parameter uji ketiga produk elektronik yang akan diberlakukan wajib tersebut. Selain itu, belum semua laboratorium tersebut sudah terakreditasi oleh KAN untuk produk tersebut, hal ini karena belum diberlakukannya SNI secara wajib dan menganggap bahwa untuk akreditasi tidak membutuhkan waktu yang lama.

3. Wilayah keberadaan laboratorium yang mempunyai prospek menguji tiga produk tersebut berada di beberapa wilayah, namun berpusat di pulau Jawa. Sementara itu, keberadaan industri Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin mayoritas berlokasi di Jabodetabek khususnya di wilayah Cikarang-Bekasi. Berikut ini gambaran mengenai 5 (lima) laboratorium untuk mengetahui

(5)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iv

kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin:

a) Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan merupakan tempat penerbitan sertifikat: pengujian produk ekpor & impor, SNI, serta tempat pengurusan SPB & NPB (impor produk) dan NRP (lokal produk). Penetapan SNI Wajib dilakukan oleh Instansi Teknis terkait dalam hal ini adalah Menteri Perindustrian yang selanjutnya pengawasannya dilakukan oleh Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan sesuai dengan Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007. b) Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI) memiliki tugas pokok melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program Metrology, Standard, Testing and Quality (MSTQ), pelaksanaan penelitian sistem mutu dan pelayanan pengujian serta evaluasi dan penyusunan laporan. P2SMTP LIPI juga menyediakan jasa laboratorium uji produk kepada industri. P2SMTP LIPI telah memiliki akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan pengujian terhadap produk-produk elektronika dan mekanika. Khusus untuk jenis produk elektronika yang akan diberlakukan SNI wajib, P2SMTP LIPI menyatakan mampu dan siap untuk mengadakan pengujian terhadap produk Mesin cuci, namun masih belum mampu untuk melakukan pengujian terhadap produk Air Conditioner (AC), dikarenakan belum lengkapnya fasilitas peralatan uji yang dimiliki oleh laboratorium P2SMTP LIPI, seperti alat double chamber.

c) Balai Besar Bahan dan Barang Teknik ( B4T ) No LPK : LP 007 IDN sebagai salah satu Institusi Penelitian dan Pengembangan di bawah Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian RI. B4T-LSPro telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Jumlah seluruh pegawai di B3T sebanyak 70 orang dan di bidang elektronik sebanyak 20 orang yang telah mempunyai kompetensi dibidangnya, serta jumlah auditor sebanyak 15 orang. Infrastruktur yang dimiliki B4T untuk menguji ke tiga produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin sudah cukup memadai dan siap apabila diberlakukan wajib. Terkait waktu dan biaya pengujian dan sertfikasi

(6)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar v

adalah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada PP N0 47 tahun 2011.

d) PT. Sucofindo merupakan Lembaga Peniliaian Kesesuaian milik BUMN yang memberikan jasa terhadap pelayanan dalam sertifikasi produk dan pengujian produk. Lembaga ini mempunyai 7 (tujuh) laboratorium besar, salah satunya untuk pengujian produk elektronika termasuk produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin. Jumlah produk yang sudah terakreditasi sebanyak 55 produk termasuk tiga produk elektronik tersebut. Sucofindo menyatakan kesiapannya jika Produk Mesin cuci diberlakukan wajib. SDM yang dimiliki berjumlah 20 orang dan memiliki kompetensi di bidangnya. Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin secara normal masing-masing berkisar antara 10-15 hari. Proses untuk melakukan sertifikasi produk untuk mendapatkan SPPT SNI, tergantung pada produk lokal atau produk impor. Kebijakan pengenakan tariff atau biaya uji dan sertifikasi pada PT. Sucofindo yag merupakan milik BUMN berbeda dengan milik pemerintah. LPK milik pemerintah mengacu pada PP N0. 45 Tahun 2010 , sedangkan PT. Sucofindo mempunyai kebijakan sendiri dimana biayanya relatif lebih mahal dibandingkan milik pemerintah.

e) Laboratorium PT Panasonic telah terakreditasi 17025 merupakan laboratorium yang dikelola oleh swasta dan berpotensi utuk melakukan pengujian produk elektronik termasuk Lampu Swabalas dan Balast elektronik. Dari hasil indept interview, pihak perusahaan telah mengetahui akan diberlakukan SNI wajib untuk produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin dan menyatakan kesiapannya dalam pengujian produk tersebut. Walaupun kendalanya adalah belum dimilikinya alat dual chamber. Disamping itu dari sisi SDM yang kompeten sudah mencukupi.

4. Kebijakan pemberlakuan dan pengawawan terhadap produk ber-SNI telah tersedia pengaturannya, namun belum banyak barang yang beredar yang sudah diberlakukan SNI wajib. Saat ini jumlah SNI wajib yang diawasi oleh Kementerian Perdagangan sebanyak 91 produk. Untuk produk atau barang yang beredar di pasaran harus juga di dukung dengan Petunjuk Teknis setiap produk. Hal ini mengingat setiap produk mempunyai karakteristik yang

(7)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vi

berbeda-beda sehingga penanganan pengawasan produk yang satu berbeda dengan komoditi lainnya. Kondisi tersebut masih perlu ditambah dengan dukungan infrastruktur laboratorium uji, pendanaan dan sumber daya manusia pelaksana sistem baik di pusat maupun di daerah.

5. Proses pengembangan SNI Wajib bagi produk elektronik seperti mesin cuci, Pendingin Udara, dan lemari pendingin sudah menerapkan prinsip transparansi seperti kejelasan parameter dan national differences yang mengakomodasi kepentingan produsen dalam negeri. Selain itu, rencana penerapan SNI Wajib juga didasarkan pada kebutuhan pasar dalam negeri di mana tuntutan konsumen terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan, dan Lingkungan (K3L) produk menjadi hal utama yang telah dipertimbangkan.

6. Total nilai produk elektronik yang diimpor selama tahun 2008 – 2012 sebesar US$ 76,76 miliar dengan pertumbuhan tren sebesar 6,28% di mana sebesar 33,67% berasal dari Cina. Lebih rinci, produk elektronik seperti mesin cuci, Pendingin Udara, dan lemari pendingin memiliki tren impor antara 0,87% hingga 113% pada periode yang sama.

7. Responden produsen menilai bahwa pemberlakuan SNI Wajib dapat menjadi media untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap konsumen dalam negeri karena SNI Wajib akan menetapkan sejumlah ketentuan yang harus dilakukan oleh produsen dan importir untuk menjamin keandalan mutu dan pemenuhan unsur K3L bagi konsumen.

8. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen, selain harga adalah standar mutu produk yang dibeli khususnya produk mesin cuci, lemari pendingin, dan pendingin ruangan (AC).Konsumen menilai bahwa produk mesin cuci, lemari pendingin (Lemari Pendingin), dan pendingin ruangan (AC) perlu SNI wajib. Beberapa atribut yang perlu diperhatikan dalam penentuan standar mutu pada produk elektronik dimaksud, antara lain faktor keamanan, keselamatan, kesehatan, dan ramah lingkungan, kualitas bahan, faktor penggunaan daya listrik, dan faktor model.

9. Konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang ditunjukkan dengan skor likert sebesar 3,7. Konsumen juga memperhatikan keberadaan label pada produk yang sudah mendapatkan SNI yang didukung dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor 3,7. Kemudian, ada atau

(8)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vii

tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup penting bagi konsumen untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu yang diindikasikan oleh skor 3,7. Konsumen menganggap bahwa ada tidaknya label SNI pada produk akan mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Dengan demikian, label SNI dapat merepresentasikan standar kualitas yang baik dari suatu produk. Hal ini dibuktikan dengan skor Likert sebesar 3,7.

10. Produsen sudah menerapkan standar perusahaan dalam sistem produksi dan inovasinya dimana secara normatif, responden juga memiliki persepsi bahwa standar yang digunakan dalam pengembangan produknya memiliki pengakuan di pasar internasional. Sementara itu, SNI dipersepsikan sebagai standar minimal yang harus dipenuhi produsen yang pada umumnya merupakan hasil adopsi dari standar internasional. Dengan demikian, responden produsen mengasosiasikan kepatuhan terhadap standar internasional akan mudah diterapkan pada SNI.

11. Beberapa aspek yang dianalisa seperti: Penerapan Teknologi, Sumber Daya Manusia, Self-Development, dan Pengawasan memperoleh nilai likert di atas 4,2, sehingga berdasarkan Assessment Model of Standard Readiness Survey, responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan pemberlakuan SNI Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara lain melalui investasi peralatan yang mendukung produksi dan inovasi, penentuan supplier komponen yang dapat mendukung penerapan SNI, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta optimasi anggaran terkait pengembangan mutu produk.

12. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih memiliki nilai likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan beberapa perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal responden produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah akan menunjuk laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI sehingga sumber daya yang akan melakukan pengujian akan didukung oleh Laboratorium Uji dan LSPro.

13. Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci, lemari pendingin, dan Pendingin Udara, belum seluruh responden perusahaan mengetahui kepastian penerapannya, walaupun sudah pernah

(9)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar viii

memperoleh informasi tentang parameter yang harus dipenuhi. Hal ini sejalan dengan nilai likert pengetahuan responden produsen tentang penerapan SNI Wajib tersebut yang bernilai 3,5 hal ini dapat diartikan bahwa responden produsen tidak memperoleh kepastian informasi mengenai penerapan SNI Wajib tersebut. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar responden produsen sudah tidak mendapatkan informasi mengenai penerapan SNI Wajib setelah tahun 2010.

14. LSPro dan Laboratorium Uji memiliki tantangan dalam hal biaya, waktu sertifikasi, dan waktu uji jika diberlakukan SNI Wajib. Sebanyak 75% responden produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki dampak terhadap pelayanan proses SPPT-SNI. Kemudian, Waktu Sertifikasi dan Waktu Uji juga dianggap sebagai permasalahan di mana 62,5% responden produsen mengeluhkan waktu uji dan sertifikasi. Sementara untuk lokasi, responden produsen tidak mengeluhkan keberadaan LSPro dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam satu lokasi atau kawasan industri.

15. Untuk LSPro dan Laboratorium Uji, beberapa aspek yang diteliti seperti tenaga penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam penerapan SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap dalam pemberlakuan SNI Wajib. Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan peningkatan kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh tenaga uji. Selain itu, kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga sudah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten dan adaptif terhadap pengetahuan standar internasional. Dukungan pihak lain seperti pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta komunikasi antar LSPro dan Laboratorium uji juga sudah dilakukan melalui pembentukan Forum Komunikasi Standardisasi.

16. Beberapa kriteria dengan nilai likert yang masih di bawah 4,2 yaitu ketersediaan sarana dan prasarana standar dengan nilai likert 4,0 yang berarti belum memiliki kesiapan yang optimal dalam penerapan SNI Wajib di mana perluasan laboratorium dan penambahan alat uji (misal double chamber untuk uji AC) belum sepenuhnya dilakukan. Menurut responden,

(10)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ix

kepastian waktu pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan apakah akan dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana laboratorium. Hal tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait penyediaan anggaran yang belum disesuaikan karena belum mendapat kepastian tentang pemberlakuan SNI Wajib.

Rekomendasi kebijakan

1. Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI wajib atas produk lemari pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu dilakukan harmonisasi biaya pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI. Hal ini dikarenakan tingginya variabilitas biaya pengujian oleh masing-masing laboratorium uji dan biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing-masing-masing LSPro.

2. Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI, perlu juga dilakukan penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan SPPT SNI oleh Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.

3. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengujian SNI dapat diatasi melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam hal ini, skema pinjaman yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijakdikan referensi untuk pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala nasional. Hal ini juga perlu didkukung dengan kejelasan waktu penerapan SNI wajib, termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.

4. Penyeragaman standar dan persepsi antar laboratorium uji dan LSPro perlu dillakukan agar tidak menimbulkan bias terhadap hasil uji. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memastikan bahwa forum komunikasi antara LSPro dan Lab uji berjalan dengan baik.

5. Dari sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus dijadikan landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu berlakunya peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib atas produk mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara. Selain itu, petugas pengawas juga harus memahami juknis mengenai ketentuan produk

(11)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar x

yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS masing-masing produk agar tidak terjadi kesalahpahaman.

6. Edukasi konsumen terhadap pentingnya mengkonsumsi produk-produk ber-SNI perlu dilakukan. Hal ini disamping konsumen dapat terlindung dari produk-produk berbahaya, juga dapat membatasi peredaran produk-produk illegal, untuk itu produsen perlu untuk mencantumkan tanda logo SNI pada tempat yang mudah dibaca oleh konsumen

(12)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga laporan analisis “Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar” dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi bahwa masih banyak ditemukan barang yang beredar dipasar yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI. Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31% dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%.

Terkait masih banyaknya produk yang beredar di pasar, baik produk dalam negeri maupun impor yang tidak memenuhi ketentuan, maka perlu diupayakan langkah-langkah yang bertujuan melindungi konsumen dari gangguan kesehatan, keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L) dimana salah satunya melalui pengembangan SNI.

Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Bagus Wicaksena sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Heny Sukesi, Yudha Hadian Nur dan Budi Kristiyanto

Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang pengawasan distribusi bahan berbahaya.

Jakarta, Juli 2013

(13)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xii DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ... i

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Analisis ... 4

1.3 Keluaran Analisis ... 4

1.4 Ruang Lingkup ... 4

1.5 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pengertian SNI ... 8

2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) ... 8

2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI ... 16

2.4.Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI ... 22

2.5 Perkembangan Impor Produk Elektronik ... 25

2.6 Parameter Pengujian SNI Produk Elektronik ... 26

2.7 Kajian Terdahulu ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32

3.1 Kerangka Pemikiran... 32

3.2 Metodologi ... 33

3.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 33

3.2.2 Rancangan Penelitian ... 34

3.2.3 Lokasi Penelitian ... 34

3.3 Metode Analisis ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4. 1 Pemahaman Konsumen Terhadap Standard dan SNI ... 38

4.1.1 Penilaian Tentang Penerapan SNI Wajib Untuk Produk Mesin

Cuci, Pengatur Udara, dan Lemari Pendingin ... 39

4.1.2

Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Mesin Cuci

Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ... 39

4.1.3

Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Pengatur

Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ... 40

4.1.4

Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Lemari

Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ... 41

(14)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiii

4.2 Kesiapan Pelaku Usaha Terhadap Pemberlakuan SNI ... 42

4.2.1

Pandangan Produsen Terhadap Konsumen Tentang Standard ... 42

4.2.2

Kesiapan Produsen Terhadap Pemberlakuan SNI Wajib ... 44

4.2.3

Pandangan Produsen Terhadap Pihak Pendukung Dalam

Pemberlakuan SNI Wajib ... 47

4.3 Kesiapan LsPro dan Laboratorium Pengujian ... 51

4.3.1 Ketersedian Laboratorium dan Kemampuan Uji ... 52

4.3.2 Kesiapan LSPro dan Laboratorium Uji Terhadap Pemberlakuan

SNI Secara Wajib ... 58

4.4. Kebijakan Pemberlakuan dan Pengawasan Terhadap SNI ... 60

4.4.1 Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk ber-SNI ... 60

4.4.2 Pengawasan Produk Elektronik ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 64

5. 1 Kesimpulan ... 64

5.2 Rekomendasi ... 67

(15)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiv DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tarif Sertifikasi Produk di Kementerian Perindustrian ... . 20 Tabel 2.2 Perkembangan Impor Produk Pendingin Udara, Mesin Cuci, dan Lemari

Pendingin... 26 Tabel 2.3 Parametr Pengujian dan Alat Ukur SNI Produk Elektronik ……… 28 Tabel 3.1 Analsis Data... 35 Tabel 3.2 Faktor dan Item Penyusun (Construct) dalam Penilaian Kesiapan

Penerapan SNI (Perusahaan dan Laboratorium Uji)... ... 36 Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam Menilai

Produk yang ber-SNI... ... 36 Tabel 4.1 Pemahaman dan Pengetahuan Konsumen tentang SNI ... ... 39 Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib... ... 39 Tabel 4.3 Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar

Menurut Konsumen... 40 Tabel 4.4 Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam

Standar Menurut Konsumen... 41 Tabel 4.5 Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam

Standar Menurut Konsumen... 42 Tabel 4.6 Persepsi Responden Produsen Tentang Pemahaman Konsumen

Terhada Standar... 44 Tabel 4.7 Nilai Kesiapan Responden Terhadap Penerapan SNI Wajib Mesin Cuci,

Pendingin Udara dan Lemari Pendingin ... 45

Tabel 4.8 Pengetahuan Tentang Penerapan SNI Wajib... 47 Tabel 4.9 Laboratorium Uji dan LsPro Untuk Produk Mesin Cuci, AC, dan

Lemari Pendingin ……… 58

(16)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xv DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pilar-Pilar Standarisasi Nasional ... 12

Gambar 2.2. Alur Pengembangan SNI ... 13

Gambar 2.3. Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesusaian SNI ... 16

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ... 33

Gambar 3.2. Assesment Model of Standard Readiness Survey ... 37

Gambar 4.1. Skema Umum Sertifikasi Produk ... 48

Gambar 4.2. Permasalahan Dalam Kemitraan Dengan LSPro dan Laboratorium Uji ... 50

Gambar 4.3. Pengawasan Terhadap Produk Yang Ber SNI Wajib ... 61

(17)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam era perdagangan bebas, aliran barang dan/atau jasa tidak lagi dapat dibatasi oleh letak geografis suatu negara. Bahkan, peraturan teknis yang terkait dengan peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus mengacu dan memenuhi standar internasional. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya akses pasar barang dan/atau jasa impor ke dalam pasar domestik seiring dengan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan seperti tariff impor yang merupakan salah satu komitmen yang berlaku dalam perdagangan bebas. Di sisi lain dengan pemenuhan standar, produk kita juga diharapkan bisa menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang lebih tingi. Secara umum, kondisi yang demikian pada satu sisi akan menguntungkan konsumen dalam hal kebebasan untuk memilih jenis, kualitas dan harga barang sesuai dengan kebutuhan (needs) (Herjanto, 2008).

Konsumen juga akan diuntungkan dengan memperoleh manfaat ekonomis berupa harga yang kompetitif dan sesuai dengan kemampuan daya belinya (Pugel, 2008). Namun demikian, konsumen tetap harus memperoleh perlindungan dengan jaminan bahwa barang yang dikonsumsinya sudah sesuai dengan kebutuhan dan tidak menimbulkan kerugian. Konsumen tidak hanya mendapatkan keuntungan secara ekonomis berupa harga yang kompetetif namun juga keamanan penggunaan barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.

Terkait dengan pengawasan barang beredar di beberapa negara, instrumen perdagangan non-tariff (non-tariff measures) sudah menjadi prioritas mengingat pada saat ini semua tariff perdagangan bebas akan mengarah menjadi nol (Zero Tax), seperti pada Free Trade Area Agreements ASEAN – China, ASEAN-India, ASEAN-Korea, ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ), Indonesia-European Union (EU) dan FTA yang lainnya. Instrumen perdagangan non-tariff akan mengedepankan pemenuhan komitmen dalam World Trade Organization (WTO) yang disepakati dalam Technical Barriers to Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: peraturan teknis atau regulasi, standar dan penilaian kesesuaian (Standards and Conformity Assesment atau SCA). Pada sisi lain, ketentuan dalam

(18)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 2

WTO juga mengatur Sanitary and Phyto-sanitary (SPS) sebagai bagian yangtak terpisahkan atas standar mutu untuk produk pertanian dan olahannya. Instrumen tersebut secara jelas bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen agar memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu, namun juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan , keselamatan, keamanan dan lingkungan (K3L).

Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan Undangan-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan instrumen Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang impor. Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.

Dari hasil pelaksanaan pengawasan terhadap barang yang beredar dipasar, ditemukan adanya pelanggaran yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI. Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31% dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang yang melanggar ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat listrik, 20% barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta sisanya adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan Barang Tekstil (TPT).

Melihat dominasi produk impor yang belum sesuai dengan ketentuan, Herjanto (2008) menjelaskan bahwa, standarisasi yang dalam konteks lain disebut sebagai standar dan penilaian kesesuaian (standards and conformity assessment), dapat juga berfungsi sebagai alat kontrol teknis dalam melindungi kepentingan domestik. Standar dapat dipergunakan sebagai persyaratan teknis (spesifikasi

(19)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 3

teknis) minimum yang harus dipenuhi oleh barang impor untuk memasuki pasar domestik, sekaligus berfungsi sebagai alat perlindungan konsumen, khususnya bagi barang-barang yang menyangkut kesehatan, keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L).

Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L, pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI Wajib. Namun dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan kepentingan pelaku usaha dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), mengingat ketentuan terkait standar tidak boleh melanggar ketentuan national treatment dalam the World Trade Organization (WTO), dimana standar tidak boleh bersifat diskriminatif antara industri dalam negeri dan importir.

Terkait hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan pengawasan barang beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap tahunnya sebagai upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen. Hal tersebut juga bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang pemberlakuan SNI secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk. Sebagai dasar hukum untuk mendorong pengembangan SNI, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dimana dalam Pasal 12 ayat (3) dijelaskan “Dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L) dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam Standar Nasional Indonesia.”

Berdasarkan latar belakang tersebut, yaitu masih banyaknya produk yang beredar di pasar, baik produk dalam negeri maupun impor yang tidak memenuhi ketentuan, maka perlu diupayakan langkah-langkah yang bertujuan melindungi konsumen dari K3L dimana salah satunya melalui pengembangan SNI antara lain pemberlakuan SNI secara wajib.

Oleh karena itu, dengan menurunnya bea masuk impor sebagai dampak FTA, hambatan teknis melalui pemberlakuan SNI secara wajib merupakan salah satu cara untuk menghambat laju produk impor. Namun, sampai saat ini pemberlakuan SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta ini dirasakan kurang memadai untuk menghambat laju produk impor, sehingga untuk mempercepat pelaksanaan pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan difokuskan pada upaya untuk

(20)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 4

pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI yang diberlakukan secara wajib.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian tentang pengembangan SNI ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

a. Bagaimana pemahaman dan penilaian konsumen terhadap penerapan SNI suatu produk secara wajib?

b. Bagaimana kemampuan dan kesiapan industri dalam negeri dalam memenuhi parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI?

c. Bagaimana kesiapan sarana pendukung dalam pemberlakuan SNI secara wajib?

1.2 Tujuan Analisis

a. Mengidentifikasi pemahaman dan penilaian konsumen terhadap pemberlakuan SNI pada produk yang beredar di pasaran.

b. Mengidentifikasi kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI

c. Mengidentifikasi kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan Laboratorium pengujian dalam pemberlakuan SNI secara wajib.

d. Merumuskan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang beredar.

1.3 Keluaran Analisis

a. Gambaran pemahaman dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-SNI.

b. Gambaran tentang kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI

c. Kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan Laboratorium pengujian dalam pemberlakuan SNI secara wajib

d. Rumusan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang beredar

1.4 Ruang Lingkup a. Produk yang diteliti :

(21)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 5

Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa tentang persyaratan khusus untuk Pengatur Udara dan mesin cuci dengan SNI sebagai berikut :

SNI IEC 60335-2-40:2009 Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa-keselamatan-bagian 2-40: Persyaratan khusus untuk Pengatur Udara

SNI IEC 60335-2-7:2009 Peranti listrik rumah tangga dan sejenis - Keselamatan - Bagian 2-7: Persyaratan khusus untuk mesin cuci SNI IEC 60335-2-

24-2009

Peranti listrik rumah tangga dan sejenisnya - Keselamatan - Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti pendingin, peranti es krim dan pembuat es

Alasan pemilihan komoditi adalah (1) Produk-produk tersebut mengandung unsur K3L; (2) meningkatnya impor produk elektronik; dan (3) Kebutuhan masyarakat banyak. Berikut justifikasi lainnya terkait produk yang dianalisis.

1) Impor produk elektronika selama tahun 2008 – 2012 meningkat dengan tren sebesar 6,28% dan nilai total mencapai US$ 76 miliar. Jika diperinci, produk elektronik dengan kode Harmonized System (HS) yang tercantum dalam konsep Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pemberlakuan SNI Pendingin Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci Secara Wajib, tren impor produk elektronik seperti mesin cuci, lemari pendingin, dan Pendingin Udara memiliki rentang dari hanya 5,03% hingga 95,32% (BPS, 2013).

2) Sebanyak 33,67% produk impor tersebut berasal dari Cina yang dikhawatirkan belum memenuhi ketentuan di Indonesia.

b. Aspek Kebijakan: peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi dan pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi

Nasional

3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan

4) Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.

5) Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri

(22)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 6

6) Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2012 tentang Jenis Jenis Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perdagangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2011 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Perindustrian

c. Aspek kinerja standar termasuk infrastruktur meliputi antara lain prosedur, parameter-parameter SNI, kompetensi SDM, ketersediaan dan kemampuan laboratorium penguji, lembaga sertifikasi produk.

d. Aspek Kelembagaan: instansi dan lembaga yang terlibat dalam perumusan dan pengawasan SNI, pelaku usaha dan asosiasi.

e. Daerah Kajian akan dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Tangerang, Bandung dan Bekasi. Pertimbangan pemilihan daerah penelitian adalah keberadaan produsen elektronik, LsPro, Laboratorium pengujian dan konsumen.

f. Responden Penelitian

Responden penelitian adalah: Pelaku usaha/produsen, konsumen, laboratorium uji, LsPro dan key person dari Dinas Perindag, Direktorat Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional, dan Komite Akreditasi Nasional.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan analisis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang akan digunakan sebagai referensi dalam analisis ini meliputi Pengertian standar, Pengembangan standar di Indonesia, Pengawasan SNI pada Barang Beredar di Pasar dan best practices.

BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran, metode analisis data, serta sumber data dan teknik pengumpulan data.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini memuat hasil temuan lapangan, analisis deskriptif dan assessment model

(23)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 7 of standard readiness survey.

BAB V : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan dan saran untuk usulan kebijakan pengembangan SNI dalam hal pemberlakuan SNI Wajib bagi produk mesin cuci, Pendingin Udara, dan lemari pendingin.

(24)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian SNI

Standar adalah dokumen yang memuat ketentuan dan/atau karakteristik dari suatu produk yang dibuat secara konsensus dan ditetapkan oleh lembaga berwenang (BSN, 2000). Sedangkan dalam PP No. 102 Tahun 2000, yang dimaksud standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standar Nasional Indonesia (SNI) dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai standar nasional hasil consensus para pemangku kepentingan. SNI ini ditetapkan oleh Badan Standar Nasional (BSN).

Pada prinsipnya standar dilakukan secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internal atau untuk kepentingan promosi bahwa produk yang diproduksi memiliki kualitas baik dan terjamin. Penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia secara wajib terhadap produk apabila dipandang bahwa produk menyangkut dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian lingkungan (K3l) .

SNI bertujuan untuk memperlancar transaksi perdagangan dan melindungi kepentingan konsumen serta meningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global, karena pasar global menekankan pentingnya menerapkan standar mutu produk (BSN, 2005).

2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Adanya kerjasama di bidang ekonomi antara negara-negara di dunia, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan World Trade Organization (WTO), telah menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas (free trade). Sistem ini nantinya akan memperluas dan mempermudah gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu

(25)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 9

negara. Sehingga pasar nasional nantinya akan bersifat terbuka terhadap barang dan atau jasa impor.

Untuk mendukung pasar nasional dalam menghadapi proses globalisasi perdagangan tersebut, maka dipersiapkan perangkat hukum nasional di bidang standardisasi (PP No 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional) yang tidak saja mampu menjamin perlindungan terhadap masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, di dalam Perjanjian World Trade Organization (WTO), sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, khususnya mengenai Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur mengenai standardisasi ditegaskan bahwa negara anggota, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi.

Standardisasi dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup, serta untuk membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan. Di samping itu, Drajad Irianto (2013), juga mengemukakan bahwa penerapan standardisasi juga dimaksudkan untuk membendung arus barang impor yang masuk ke Indonesia. Menurut Drajad, jumlah SNI untuk produk-produk yang diterapkan di Indonesia masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Jepang, dan Singapura yang cenderung lebih ketat dalam masalah standardisasi. Akibatnya, barang Indonesia sulit masuk ke luar negeri (ekspor), sementara barang-barang luar negeri lebih mudah untuk masuk ke Indonesia, terlebih barang-barang-barang-barang tersebut adalah produk tidak berkualitas.

Sasaran utama dalam pelaksanaan standardisasi adalah meningkatnya ketersediaan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mampu memenuhi kebutuhan industri dan pekerjaan instalasi guna mendorong daya saing produk dan jasa dalam negeri. Dengan adanya standardisasi nasional maka akan ada acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(26)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 10

Hal serupa juga dikemukakan oleh Bambang Prasetya (2013),. Menurut Bambang, SNI membuat produk yang dihasilkan menjadi efisien dan proses produksi yang optimal seperti mereduksi limbah serta menghemat biaya. Cara ini membuat produk yang dihasilkan berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Setiadi (2011), juga menambahkan bahwa standard juga membantu perusahaan melalui: (1) penghubung penting rantai pasokan global, (2) underpin international trade and access to market, (3) mengurangi hambatan dan mendukung perdagangan internasional, (4) membangkitkan kepercayaan nasional dalam pemulihan ekonomi, (5) mempengaruhi budaya bisnis, (6) membantu perusahaan mengadopsi environmental management, social responsibility, life cycle assessment for products, energy efficiency and management, etc, (7) membantu alokasi sumber daya lebih efisien, serta (8) menjadi jembatan untuk kesenjangan pengetahuan dan inovasi.

Terkait dengan besarnya peranan penerapan standardisasi bagi pembangunan nasional tersebut, Dewi Odjar Ratna Komala mengatakan bahwa menerapkan standardisasi bukan diharuskan, tapi dibutuhkan. Oleh karena itu, industri yang ada di Indonesia harus menyadari betapa dibutuhkannya standar untuk meningkatkan kualitas mutu dari produk. Hal ini dilakukan agar produk industri tersebut bisa bersaing dengan negara lain.

Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas dan melindungi produk lokal, Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI) diluncurkan. Program yang diprakarsai oleh lembaga pemerintah non kementerian, Badan Standardisasi Nasional (BSN), ini berwujud pencantuman sertifikasi produk tanda SNI pada suatu produk, termasuk produk pelayanan jasa dan proses. Sertifikasi produk tanda SNI adalah kegiatan oleh pihak ketiga yang independen dalam memberikan jaminan tertulis yang menyatakan bahwa suatu produk (termasuk proses dan jasa) telah memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI). Tanda ini dibubuhkan pada barang, kemasan barang dan/atau label (Kemenristek, 2010).

BSN menyatakan bahwa pembubuhan tanda SNI pada sebuah produk memberikan manfaat tak hanya bagi produsen saja tetapi juga bagi konsumen, pelaku bisnis dan pemerintah yang antara lain sebagai berikut:

 Memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu produk bahwa produk tersebut telah memenuhi SNI;

 Untuk mengatasi kekhawatiran konsumen, pengguna dan semua pihak yang berkepentingan akan kualitas suatu produk;

(27)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 11  Meningkatkan keberterimaan produk oleh konsumen; serta

 Meningkatkan daya saing suatu produk karena kualitas produk tersebut lebih terjamin

Penerapan SNI, seperti halnya standar lain, pada prinsipnya dilakukan secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internasional, atau untuk kepentingan promosi bahwa produk terkait memiliki kualitas yang baik/terjamin. Penerapan standar dapat bersifat wajib manakala menyangkut keselamatan, kesehatan, keamanan, atau kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemberlakuan standar secara wajib ditetapkan oleh Menteri teknis terkait dengan mempertimbangkan berbagai factor, yaitu kesiapan standar yang bersangkutan, kesiapan industri dalam negeri, kesiapan infrastruktur teknis penilaian kesesuaian, dan kesiapan pengawasan oleh pemerintah, serta tidak bertentangan dengan kesepakatan internasional (Herjanto dan Rahmi, 2010).

Proses perumusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan terutama yang terkait dengan kepentingan public tidak lepas dari peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta berbagai pihak yang terikat dan merasakan dampak penerapan SNI Wajib. Peran masing-masing stakeholders yang terlibat dalam standardisasi secara garis besar dibagi beberapa fungsi utama, yaitu: (1) Fungsi Regulator, yaitu lembaga perumus berbagai kebijakan nasional maupun lembaga yang menyusun regulasi teknis terkait dengan aturan dan prosedur pelaksanaan kebijakan, contoh: Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN); (2) Fungsi Implementor, yaitu pelaksana kebijakan baik untuk instansi teknis maupun produsen dan berbagai pihak terkait untuk melaksanakan kebijakan standardisasi, contoh: Pusat Standardisasi Kementerian Teknis dan Ditjen Bea dan Cukai; (3) Fungsi Pembina, yaitu lembaga atau berbagai pihak yang terlibat dalam pembinaan, pengawasan, maupun bertugas untuk mengevaluasi kebijakan yang diterapkan, contoh: Instansi Teknis dan Lembaga Pelatihan (Herjanto dan Rahmi, 2010).

Sementara itu, untuk mendukung peningkatan daya saing produk nasional, sistem standardisasi nasional harus terus dikembangkan mengikuti standar internasional yang juga terus berkembang. Setiadi (2011) menjelaskan bahwa pengembangan sistem standardisasi nasional tersebut meliputi tiga pilar dasar infrastruktur mutu, yaitu metrologi, standardisasi, dan penilaian kesesuaian. Pilar metrologi antara lain meliputi metrologi ilmiah, terapan, dan legal. Sementara itu

(28)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 12

pilar standardisasi meliputi pengembangan dan penerapan SNI. Sedangkan pilar penilaian kesesuaian mencangkup akreditasi, sertifikasi, pengujian, dan inspeksi.

Dalam penerapannya, pengembangan ketiga pilar tersebut membutuhkan adanya kerjasama antar stakeholders, sosialisasi kepada pelaku usaha, serta adanya penelitian dan pengembangan mengenai standar produk tersebut yang juga didukung oleh peraturan perundangan yang berlaku untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik itu tujuan bisnis (perdagangan, mutu, keuntungan, distribusi, pembelian, penggunaan, spesifikasi, dan kontrak) maupun tujuan sosial (kesehatan, keamanan, keselamatan, kelestarian lingkungan hidup, ekonomi yang maju, perdagangan yang adil, serta perlindungan konsumen). Pilar-pilar pengembangan infrastruktur mutu tersebut digambarkan dalam gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1.

Pilar-Pilar Infrastruktur Mutu Nasional

Sumber: Setiadi, 2011

Dalam Gambar 2.1 terlihat bahwa pilar standardisasi merupakan pilar utama dalam hal pengembangan dan penerapan standard. Menurut Setiadi (2011), proses pengembangan standardisasi meliputi lima tahapan, yakni dimulai dari pemrograman, perancangan, konsensus nasional dan finalisasi, penetapan, dan pemeliharaan. Pada tahapan pemrograman meliputi kegiatan melihat kebutuhan pasar, mengajukan usulan program SNI, serta penetapan program SNI. Tahap

(29)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 13 drafting meliputi kegiatan verifikasi data dan perumusan program yang kemudian

akan dilakukan kegiatan konsensus nasional dan perumusan final. Selanjutnya, akan dilakukan kegiatan penetapan SNI dan publikasi kepada masyarakat. Pada tahap akhir (pemeliharaan), akan dilakukan kaji ulang terhadap SNI yang telah diterapkan oleh para pelaku usaha untuk mengetahui kelemahan maupun keunggulan produk yang telah beredar di masyarakat. Alur pengembangan SNI dapat dilihat berdasarkan gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2. Alur Pengembangan SNI

Sumber: Setiadi (2011)

Sesuai dengan PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, pengembangan SNI yang juga mencakup kelembagaan dan proses yang berkaitan dengan perumusan, penetapan, publikasi dan pemeliharaan SNI harus memenuhi kaidah dalam WTO code of good practice agar memperoleh keberterimaan yang luas diantara para stakeholder. Kaidah-kaidah tersebut meliputi dimensi:

(30)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 14 Keterbukaan:

Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat berpartisipasi dalam pengembangan SNI;

Transparansi :

Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai ke tahap penetapannya. Selain itu, semua stakeholder juga dapat dengan mudah memperoleh semua informasi yang berkaitan dengan pengembangan SNI;

Konsensus dan tidak memihak :

Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara adil;

Efektif dan Relevan :

Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Koheren :

Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan memperlancar perdagangan internasional; serta

Dimensi Pembangunan :

Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Selain itu, dalam perumusan SNI juga harus mempertimbangkan kepentingan usaha kecil dan menengah dan juga daerah dengan memberikan peluang untuk dapat ikut berpartisipasi di dalamnya.

Pengembangan SNI akan berhasil jika standar tersebut diterapkan oleh pelaku usaha. Dewasa ini, penerapan standar menjadi sangat penting guna mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personil sehingga memberi kepercayaan pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi, individu, barang dan/atau jasa yang diberikan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan. Selain itu, penerapan standar juga dilakukan untuk menjamin peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap

(31)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 15

konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan (BSN, 2013).

Setiadi (2012), juga menjelaskan bahwa pengembangan dan penerapan SNI perlu didukung oleh pilar penilaian kesesuaian yang mencakup kelembagaan dan proses penilaian untuk menyatakan kesesuaian suatu kegiatan atau suatu produk terhadap SNI tertentu. Penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh pihak pertama (produsen), pihak kedua (konsumen), atau pihak ketiga (pihak selain produsen dan konsumen), sejauh pihak tersebut memiliki kompetensi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BSN.

Sesuai dengan PP No. 102 tahun 2000, pelaksanaan tugas BSN di bidang penilaian kesesuaian ditangani oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang dibentuk oleh pemerintah untuk keperluan menjamin kompetensi pelaksana penilaian kesesuaian melalui proses akreditasi. KAN sebagai Badan Akreditasi Nasional mempunyai tugas untuk memberikan akreditasi kepada lembaga penilaian kesesuaian (Lembaga Inspeksi, Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi dan Lembaga Sertifikasi). Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah diakreditasi oleh KAN mempunyai hak untuk menerbitkan sertifikat sesuai dengan lingkup akreditasinya, yaitu yang berkaitan dengan sistem manajemen, produk, dan personel. Laboratorium penguji dan laboratorium kalibrasi mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian terhadap sampel/peralatan. Sementara itu, Lembaga Inspeksi akan melakukan pengawasan terhadap barang, jasa, proses, dan sistem. Mekanisme pelaksanaan penilaian kesesuaian yang ditangani oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dapat dilihat melalui gambar 2.4 di bawah ini.

Seperti halnya dengan pengembangan SNI, penilaian kesesuaian juga harus memenuhi sejumlah norma sebagai berikut (BSN, 2013):

a. terbuka bagi semua pihak yang berkeinginan menjadi lembaga pelaksana penilaian kesesuaian;

b. transparan agar semua persyaratan dan proses yang diterapkan dapat diketahui dan ditelusuri oleh pemangku kepentingan;

c. tidak memihak dan kompeten agar pelaksanaan penilaian kesesuaian dapat dipercaya dan berwibawa;

d. efektif karena memperhatikan kebutuhan pasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

(32)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 16 Gambar 2.3.

Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesesuaian SNI

Sumber: Setiadi, 2011

Suatu produk atau komoditi dianggap siap untuk diberlakukannya penerapan SNI secara wajib jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi, 2010).

a. Standar (atau dokumen teknis) yang akan diacu telah ada, tersedia dalam Bahasa Indonesia, dan mudah untuk diakses.

b. Mayoritas produsen domestik mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang terdapat dalam dokumen yang diacu.

c. Lembaga Penilaian Kesesuaian, khususnya laboratorium uji, lembaga sertifikasi, lembaga penilaian system mutu, dan lembaga sertifikasi produk tersedia dan diperkirakan mampu untuk memenuhi permintaan industri.

2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI

Regulasi teknis dibuat oleh suatu Negara agar persyaratan yang mencakup suatu produk atau ketentuan teknis yang berhubungan dengan suatu produk diterapkan secara efektif di suatu Negara. Regulasi teknis dapat dibuat oleh Pemerintah atau berdasarkan suatu standar nasional yang telah disepakati oleh pelaku usaha terkait. Artikel 20 GATT (General Agreement on Tariff and Trade)

(33)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 17

mengijinkan Pemerintah menggunakan standar dalam regulasi teknis dalam rangka melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan, dengan tidak membeda-bedakannya dengan produk yang berasal dari luar negeri (Herjanto dan Rahmi, 2010).

Berdasarkan ketentuan di atas, maka pokok-pokok pikiran penerapan SNI secara wajib dapat diuraikan sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi, 2010).

a. Suatu kebijakan yang mengikat banyak pihak akan berlaku efektif bila kebijakan tersebut dirumuskan dalam suatu aturan yang jelas dan pasti tidak berpihak pada kepentingan tertentu.

b. Hukum dan peraturan yang mengikat sangat penting sebagai dasar untuk pijakan semua pihak dalam mengemban sebuah tugas serta membagi hak dan wewenang sebagai pihak yang terikat dalam peraturan tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk kebijakan penerapan dan pemberlakuan SNI Wajib terhadap suatu produk.

Kebijakan standardisasi nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah No 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan implementasinya diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan RI No: 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Kebijakan pengawasan terhadap standar barang yang beredar atas dasar pertimbangan kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan (K3L). Dengan demikian pelaksanaan pengawasan tersebut didasarkan pada UU perlindungan konsumen, serta UU lainnya seperti UU pangan, UU kesehatan, UU Jasa Kelistrikan, UU Pertanian, UU Jasa Telekomunikasi dan lainnya.

Peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi dan pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

UU No. 8 Tahun 1999 ini mengatur tentang segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UU ini lahir bahwa meskipun pasar nasional semakin terbuka sebagai akibat dari adanya proses globalisasi ekonomi, namun harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar. Dengan demikian, perlindungan konsumen ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

(34)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 18

kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (2) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; (3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; (4) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; (5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; serta (6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sehubungan dengan berbagai tujuan dalam rangka perlindungan konsumen tersebut, disamping membahas mengenai poin-poin yang menjadi hak dan kewajiban bagi konsumen serta pelaku usaha, UU ini juga membahas mengenai larangan bagi pelaku usaha, berbagai ketentuan yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban pelaku usaha, dan juga kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi pada dasarnya mengatur tentang kelembagaan yang melakukan pengembangan dan pembinaan standardisasi, perumusan, penerapan dan pengawasan SNI untuk mencapai tujuan: (i) Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya untuk kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan; (ii) Membantu kelancaran perdagangan; (iii) Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga yang dibentuk dengan Keppres bertanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaan dibidang standardisasi nasional. Perumusan rancangan standar nasional maupun revisi dilakukan oleh Panitia Teknis dan konsensus standar yang disepakati ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh BSN.

Standar Nasional Indonesia yang telah ditetapkan berlaku untuk seluruh Indonesia. SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan,

(35)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 19

kesehatan, lingkungan hidup dan pertimbangan ekonomis dapat diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis. Pemberlakuan SNI wajib dinotifikasikan BSN kepada organisasi Perdagangan Dunia setelah memperoleh persetujuan instansi teknis. SNI yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama terhadap barang atau jasa produksi dalam negeri maupun impor. Kemudian SNI yang bersifat sukarela diterapkan oleh pelaku usaha.

Pembinaan terhadap pelaku usaha yang menyangkut konsultasi, pendidikan, pelatihan dan pemasyarakatan standardisasi dan pengawasan pelaku usaha yang memperoleh SNI dilakukan oleh pimpinan instansi teknis atau Pemerintah Daerah. Kemudian pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh lembaga sertifikat produk yang menerbitkan sertifikat dimaksud.

3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.

Permendag ini mengatur tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Dalam kebijakan tersebut pada dasarnya mengatur tentang pengawasan, lembaga kesesuaian, pembinaan dan sanksi. Pengawasan SNI wajib terhadap barang yang diperdagangkan dilakukan terhadap barang produksi dalam negeri maupun impor. Pengawasan terhadap barang tersebut dilakukan melalui pengawasan pra pasar dan di pasar. Pengawasan pra pasar dilakukan terhadap barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah dinotifikasikan ke organisasi perdagangan dunia.

Pengawasan prapasar dilakukan terhadap barang sebelum beredar di pasar dan pengawasan di pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar. Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang.

Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang menerbitkan sertifikat kesesuaian merupakan Lembaga Sertifikasi Produk di dalam negeri maupun di luar negeri yang didukung oleh laboratorium penguji dan/atau lembaga inspeksi terakreditasi. LPK di dalam negeri diakreditasi oleh KAN. LPK yang belum terakreditasi oleh KAN, dapat melakukan Penilaian Kesesuaian apabila ditunjuk oleh Pimpinan Instansi Teknis.

Gambar

Tabel 2.1 Tarif Sertfikasi Produk di Kementerian Perindustrian
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam menilai  Produk yang ber-SNI
Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu contohnya adalah Daspal (Damar Aspal) yang merupakan campuran dengan bahan utamanya getah damar sebagai bahan pengikat dari serbuk bata yang dilebur

Pernafasan pertama pada bayi baru lahir terjadi normal dalam waktu 30 detik setelah kelahiran,tekanan rongga pada bayi,pada saat melalui jalan lahir,pervagina

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 14/M-DAG/PER/3/2007 TENTANG STANDARDISASI JASA BIDANG PERDAGANGAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) WAJIB TERHADAP BARANG DAN

1) Auditor harus merencanakan pekerjaan secara memadai dan mengawasi semua asisten sebagaimana mestinya. 2) Auditor harus memperoleh pemahaman yang cukup mengenai

Berdasarkan uji hedonik atau uji kesukaan antara Selai tape ketan hitam dengan Selai tape ketan kuningan konsumen lebih menyukai produk Selai tape ketan

Direktur Teknik dan Pengembangan secara garis besar mempunyai wewenang ialah merencanakan penelitian dalam rangka inovasi-inovasi produk perusahaan dan pengembangan dari

1. Meningkatnya ekspor produk-produk tanaman yang mengakibatkan meningkatnya permintaan pengujian laboratorium dalam rangka memenuhi standarisasi yang diterapkan dalam

Yaitu diberikan untuk produk penalti yang dibagi dalam 2 bulan tersebut, gratis pasang, pipa, dan siku untuk AC, cicilan kartu kredit untuk lemari es CBU, AC, dan mesin cuci 1