• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penduduk Indonesia selama kurun 40 tahun sejak tahun 1970 mengalami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penduduk Indonesia selama kurun 40 tahun sejak tahun 1970 mengalami"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk Indonesia selama kurun 40 tahun sejak tahun 1970 mengalami perubahan struktur (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun mengalami perubahan menjadi mengecil walaupun jumlahnya masih tetap bertambah. Seiring dengan membaiknya kondisi kesehatan, struktur umur penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan sebagai dampak meningkatnya angka harapan hidup. Hal ini mempengaruhi jumlah dan persentase penduduk lanjut usia yang terus meningkat jumlahnya. Data Badan Pusat Statistika menunjukkan meningkatnya jumlah lansia setiap tahunnya. Pada tahun 1980 presentasi jumlah lanjut usia 5,45%, tahun 1990 sebanyak 6,29%, tahun 2000 sebanyak 7,18%, tahun 2010 sebanyak 9,77%, dan diperkirakan pada tahun 2020 presentasi populasi lanjut usia sebanyak 11,34%. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa harapan hidup manusia dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Berdasarkan kelompok umur, persentase penduduk lansia relatif kecil dibandingkan dengan penduduk usia dibawah 15 tahun (29,06 %), penduduk usia 15-35 tahun (34,53%), maupun penduduk dewasa usia 36-59 tahun (28,04%). Meskipun persentasenya relatif kecil dibandingkan kelompok umur lainnya, namun secara umum jumlah penduduk lansia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil Susenas yang menyajikan perkiraan jumlah dan proporsi

(2)

penduduk lansia pada tahun 2005, 2007 dan 2009. Pada tahun 2009, jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009. Kepedulian akan kesejahteraan lansia tertuang dalam UU No 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. UU tersebut mengamanatkan pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan perlindungan sosial bagi lansia agar mereka dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2009).

Sejalan dengan bertambahnya umur maka setiap manusia itu pun akan menjadi tua yang berarti akan mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan fisik maupun psikologis tertentu (Yudrik Jahja, 2001). Perubahan-perubahan sudah menjadi kodrat setiap manusia yang disebut dengan istilah “menua”. Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Namun demikian, kualitas hidup lansia harus diupayakan tetap terjaga sehingga dapat tetap sehat, aktif, dan mandiri. Perubahan yang terjadi akan memberikan berbagai efek terhadap lansia dalam menentukan hidup selanjutnya apakah mereka akan melakukan penyesuaian diri dengan baik atau buruk.

Lanjut usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia sering mengalami kecemasan. Padahal, masa lanjut usia adalah masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati

(3)

masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Namun, pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, kehilangan pasangan hidup atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Hurlock, 1996).

Perjalanan manusia dalam menjalani proses hidup yang cukup panjang, telah menyadarkan diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, adanya kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini memiliki respon yang berbeda-beda pada setiap orang atau kelompok orang (Hurlock, 1996). Bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa besarnya kesadaran akan datangnya kematian dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang menganggap kematian dapat diterimanya seperti seorang sahabat. Bagi seseorang atau sekelompok orang lainnya, kematian merupakan sesuatu yang sangat menakutkan atau mengerikan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan dan melakukan bunuh diri (Lalenoh, 1991).

Cara memandang kematian pada setiap tingkat usia mana pun berbeda-beda; sikap orang-orang merefleksikan kepribadian dan pengalaman mereka, sekaligus seberapa kuat mereka yakin bahwa mereka akan meninggal. Perubahan sikap terhadap kematian tergantung pada perkembangan kognitif dan timing of

(4)

event normative atau nonnormatif (Papalia, 1997). Diusia 5 dan 7 tahun sebagian besar anak memahami bahwa kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pada usia ini, anak-anak menyadari dua konsep penting tentang kematian: pertama, bahwa kematian bersifat universal dan tidak dapat dihindari; dan kedua, orang yang sudah meninggal tidak berfungsi. Sebelum usia tersebut, anak-anak yakin beberapa kelompok orang tidak meninggal, bahwa seseorang yang pintar atau beruntung dapat menghindari kematian dan mereka dapat hidup kekal abadi. Mereka percaya bahwa seorang yang meninggal dunia masih bisa berpikir dan merasa. Menurut Piaget (dalam Speece & Brent, 1984), terjadinya perubahan arti setiap konsep tentang kematian berhubungan dengan pemikiran anak-anak yang beralih dari pemikiran praoperasional menuju pemikiran operasional konkret.

Pada usia paruh baya, sebagian besar orang-orang menjadi lebih sadar sebelumnya bahwa mereka akan meninggal dunia. Tubuh mereka mengirim sinyal bahwa mereka tidak lagi semuda, secerdas, dan segairah dulu. Mereka akan lebih memikirkan beberapa tahun yang tersisa bagi mereka dan bagaimana memanfaatkan tahun-tahun tersebut semaksimal mungkin (Neugarten dam Papalia, 1997).

Pada lanjut usia, berbagai perasaan bercampur aduk mengenai kemungkinan proses menjelang kematian. Kemunduran fisik dan berbagai masalah lain yang serat dengan berbagai kemunduran pada usia tua, membuat mereka kehilangan kenikmatan mereka dalam kehidupan dan keinginan mereka untuk hidup (McCue, 1995). Perubahan-perubahan fisik yang dialami pada masa

(5)

lansia yang terlihat adanya kemunduran tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan terhadap kondisi psikologis.

Pada umumnya, lansia tergolong masa yang yang telah memasuki pensiun. Masa pensiun berarti lansia akan mengalami berbagai perubahan dalam kehidupannya sehari-hari. Perubahan-perubahan yang dirasakan membuat lansia harus menyesuaikan diri kembali dengan keadaan kehidupannya yang baru. Pada lansia yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik adalah lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985). Orang-orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch, 1984).

Permasalahan penyesuaian diri pada lansia bisa memunculkan rasa takut yang apabila tidak dapat diatasi akan mengalami yang namanya kecemasan. Kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut (Lazarus, 1969). Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia

(6)

mengalami kecemasan. Cluster (dalam Douglas, 1990) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan reaksi individu yang tertekan dalam menghadapi kesulitan sebelum kesulitan itu terjadi. Seperti yang diungkapkan dalam kamus psikologi oleh Chaplin (1989) bahwa kecemasan adalah perasaan campuran yang memuat ketakutan dan kekhawatiran akan masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Carlson (1992) menjelaskan kecemasan sebagai rasa takut dan antisipasi terhadap nasib buruk dimasa yang akan datang, kecemasan ini memiliki bayangan bahwa ada bahaya yang mengancam dalam suatu aktivitas dan obyek, yang jika seseorang melihat gejala itu maka ia akan merasa cemas. Kecemasan merupakan respon emosional yang tidak menentu terhadap suatu obyek yang tidak jelas.

Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian. Menurut Hurlock (1990), kecemasan yang dialami lansia tersebut merupakan kecemasan dari pikiran yang tidak menyenangkan, ditandai dengan adanya rasa khawatir, tidak tenang, dan tidak enak yang tidak dapat dihindari.

Banyak ahli yang memberikan pandangan tentang hal-hal yang mempengaruhi kecemasan. Atkinson (dalam Lestary, 2010) bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pendapat Lewin (dalam Irwanto, 1994), kecemasan disebabkan adanya konflik dalam diri individu. Disamping itu, dikatakan juga bahwa kecemasan bisa timbul

(7)

oleh adanya jarak yang lebar antara keinginan yang besar terhadap sesuatu yang ingin diraih dengan kenyataan yang ada.

Stuart & Sundeen (1998), mengidentifikasi kecemasan yang dialami seseorang dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan. Kecemasan ringan merupakan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan masih tergolong normal. Pada tingkat ini, individu akan menjadi waspada dan berhati-hati. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Kecemasan ringan diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Kecemasan sedang memungkinkan seorang unutuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan kedaan seperti sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, dapat gagal untuk menggali seseatu yang terjadi pada situasi, akan mengalami beberapa kesulitan beradaptasi dan menganalisa, peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung, dan gemetar. Kecemasan berat, individu cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Tingkat panik, persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

(8)

Menurut Freud (dalam Siswati, 2000) terjadinya kecemasan pada individu dapat dijelaskan melalui teori psikomotorik, teori kognitif, teori belajar, dan teori kepribadian. Teori psikomotorik menjelaskan bahwa kecemasan adalah hasil konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif dan seksual) yang melawan ego dan superego. Banyaknya impuls id memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena adanya penyimpangan cara berpikir (distorsi kognitif) pada seseorang. Individu mengalami gangguan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya, sehingga kecemasan ini lebih berpengaruh terhadaap proses berpikir individu. Kecemasan menurut teori belajar terjadi bukan berpusat pada konflik internal tetapi cara-cara ketika kecemasan dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar. Teori belajar menganggap bahwa kecemasan berkembang melalui belajar berasosiasi. Sehingga stimulus yang awalnya netral menjadi sesuatu yang mencemaskan karena kecenderungan terkondisi yang didasarkan pada hubungan dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Teori kepribadian menjelaskan bahwa kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan neurotisme. Adapun stressor yang menimbulkan kecemasan ini adalah ancaman terhadap integritas fisik (ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari) dan ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang.

(9)

Pada lansia yang sehat, kepribadian yang mereka miliki akan tetap berfungsi secara baik, kecuali jika lansia tersebut mengalami suatu gangguan jiwa. Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok dengan kategori yang ditetapkan (Chaplin, 2001). Tipe kepribadian diakui merupakan sesuatu yang penting dalam mempelajari manusia dengan segala tingkah lakunya, karena dengan mendalami dan memahami manusia berdasarkan tipe kepribadiannya, maka akan diperoleh keterangan yang jelas, langsung, dan lugas mengenai karakteristik kepribadian orang tersebut dan pada gilirannya dapat meramalkan tingkah laku (Feldmen dalam Handayani, 2006).

Umumnya, sifat kepribadian mengacu kepada pola konsistensi dalam cara individu berperilaku, merasa, dan berpikir. Menurut Eysenck (1990), kepribadian dapat dicirikan berdasarkan konsistensi dari individu dalam bertindak, merasa, atau berpikir dengan cara tertentu (misalnya, kecenderungan seseorang untuk berperilaku dengan cara yang ramah dan bersahabat, atau perasaan gugup dan khawatir, atau cakap dan teliti) (dalam Pervin, 2010). Secara singkat bahwa kecenderungan untuk bertindak dengan satu cara merupakan fondasi utama kepribadian.

Seperti yang dijelaskan di atas, berarti kecemasan menghadapi kematian yang dirasakan para lanjut usia salah satu bagian dari kepribadian yang mereka miliki. Kepribadian itu sendiri adalah sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan individu termasuk didalamnya usaha-usaha menyesuaikan diri yang

(10)

beranekaragam namun khas yang dilakukan oleh tiap individu (Hall & Lindzey, 1993). Dengan kata lain kepribadian adalah semua corak kebiasaan yang dilakukan oleh manusia yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Corak kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Sifat kepribadian seseorang saat muda diartikan sebagai cerminan dari kepribadian lansia, dengan memahami kepribadian lansia tentu akan memudahkan kaum muda atau masyarakat umum dan anggota keluarga dari lansia dalam memperlakukan lansia. Namun, pada kenyataannya tidak semua kepribadian lansia berfungsi secara baik. Bisa dilihat secara nyata, bagaimana lansia dalam menghadapi kematian. Berbagai hal yang lansia rasakan seperti khawatir, bingung, dan takut. Menurut Kuntjoro (2002), perkembangan kepribadian itu bersifat dinamis artinya selama individu masih tetap belajar dan bertambah pengetahuan, pengalaman serta keterampilannya, ia akan semakin matang dan mantap.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul Rosidah (2010) yang menguji hubungan antara tipe kepribadian dengan kecemasan wanita dalam menghadapi menopause di desa Podorejo Sumbergempol Tulungagung didapatkan bahwa hubungan kecemasan dan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert memiliki hubungan. Wanita dengan tipe kepribadian ekstrovert akan mengalami kecemasan ringan, sedangkan wanita dengan tipe kepribadian introvert akan mengalami kecemasan sedang atau berat. Tipe kepribadian memiliki hubungan yang kuat dengan kecemasan. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda sehingga

(11)

tidak ada yang akan memberikan reaksi yang sama mesipun tampaknya seolah-olah mereka akan bereaksi dengan cara yang sama.

Hasil penelitian Susanne Pedersen, dkk tahun 2004 (jurnal yang berjudul Type D Personality Is Associated With Increased Anxiety and Depressive Symptoms in Patients With an Implantable Cardioverter Defibrillator and Their Partners) menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan merupakan salah satu variable bebas yang mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien jika dibandingkan dengan jenis kelamin dan usia. Jenis kelamin dan usia juga memberikan kontribusi akhirnya pasien bisa mengalami kecemasan dan deprasi yang berbeda-beda dalam menghadapi suatu keadaan.

Ada juga Setyodi, Chusnul Chaluq Ar, dan Kristen Teguhwahyuni (2010) meneliti tentang hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan. Kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa tipe kepribadian (konstruktif, mandiri, tergantung, bermusuhan, dan kritik diri) memiliki hubungan dengan kejadian depresi yang dialami setiap lansia.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lanjut usia ditinjau dari tipe kepribadian. Adapun tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Ekstrovert adalah kecenderungan yang mengarahkan kepribadian lebih banyak keluar daripada ke dalam diri sendiri. Seorang ekstrover memiliki sifat social, lebih banyak berbuat daripada merenung dan berpikir. Ia juga adalah orang yang penuh

(12)

motif-motif yang dikoordinasi oleh kejadian-kejadian eksternal. Introvert adalah suatu orientasi kedalam diri sendiri. Secara singkat seorang introvert adalah orang yang cenderung menarik diri dari kontak social. Minat dan perhatiannya lebih terfokus pada pikiran dan pengalamannya sendiri. Seorang introvert cenderung merasa mampu dalam upaya mencukupi dirinya sendiri, sebaliknya orang ekstrover membutuhkan orang lain.

Diatas telah dikemukakan bahwa kematian telah menjadi bagian hidup setiap manusia yang tidak bisa dihindari, namun kadangkala menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin meneliti tentang perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian (ekstrovert dan introvert).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah diperlukan untuk memudahkan apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu apakah ada perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.

C. Tujan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan menghadapi kematian pada lansia ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.

(13)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Perkembangan terutama masa akhir kehidupan (lansia) khususnya tentang kecemasan menghadapi kematian. Selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi peneliti-peneliti lain yang akan meneliti tentang kecemasan menghadapi kematian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap setiap orang mengenai perbedaan kecemasan menghadapi kematian pada lansia dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. untuk dapat memperlakukan lansia yang semakin dekat dengan akhir hidupnya dengan baik.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Disini digambarkan tentang berbagai tinjauan literature dan hasil penelitian sebelumnya mengenai kecemasan menghadapi kematian. Dan juga

(14)

dijabarkan mengenai faktor kepribadian yang merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kecemasan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraokan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang lansia, kepribadian ekstrovert dan introvert, dan kecemasan. Bab ini juga mengemukakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan tingkan kecemasan antara tipe keptibadian ekstrovert dan introvert.

Bab III Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variable, definisi operasional variable, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji reabilitas dan validitas alat ukur serta rencana pengolahan data.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan penelitian, diskusi tentang hasil penelitian, dan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

Persentase campuran yang terdiri dari bahan/bahan-bahan dengan toksisitas akut yang tidak diketahui: 32.3% (mulut), 40.7% (kulit), 58.4% (Penghirupan).. Persentase campuran

Berdasarkan hasil validasi oleh ahli materi dan ahli media, dapat disimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan yaitu LKS fisika berbasis Problem Based Learning pada pokok bahasan

Dari keseluruhan dimensi yang dilibatkan dalam variabel input, yakni: program sekolah, kurikulum, sumber daya manusia, siswa, sarana dan prasarana, keuangan, semuanya

Penganut pendekatan ini berusaha mengidentifikasikan sifat- sifat kepribadian yang dimiliki oleh pemimpin yang berhasil dan yang tidak berhasil (Burhanuddin, 1994:

Pengalaman pelanggan yang telah dilakukan pembersihan karang gigi terhadap sense media informasi pelayanan mempunyai nilai rerata 3 kategori cukup baik, feel nilai rerata

Perbedaan antara kedua organisasi adalah pada orientasi tujuan yang dicapai, organisasi bisnis berorientasi pada profit, sedangkan organisasi perguruan tinggi berorientasi pada

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K – Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram, dapat

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar