• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pitih Japuik dalam Perkawinan Adat Minangkabau Pariaman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pitih Japuik dalam Perkawinan Adat Minangkabau Pariaman"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Corresponding Author : *ao_hidayat@yahoo.co.id

Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Pitih Japuik dalam Perkawinan Adat Minangkabau Pariaman

Miftahunir Rizka, Asep Ramdan*

Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Universitas Islam Bandung, Indonesia.

A R T I C L E I N F O Article history :

Received : 5/4/2022 Revised : 5/7/2022 Published : 9/7/2022

Creative Commons Attribution- NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Volume : 2 No. : 1 Halaman : 43 - 48 Terbitan : Juli 2022

A B S T R A K

Perkawinan adat Minangkabau merupakan perkawinan yang mempunyai tradisi perkawinan yang cukup unik diantara perkawinan pada umumnya.

Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan diantaranya Pertama, bagaimana konsep pitih japuik dalam tradisi perkawinan minangkabau pariaman? Kedua, bagaimana tinjauan hukum islam terhadap tradisi pitih japuik dalam perkawinan adat minangkabau Pariaman?

Ketiga, Bagaimana dampak yang terjadi apabila pitih japuik tidak diberikan pada pihak laki-laki dalam pelaksanaan perkawinan adat minangkabau Pariaman di Ujung Berung Kota Bandung? Hasil penelitian menunjukan, (1) Bahwa tradisi pitih japuik ini hanya dilakukan oleh orang Pariaman saja. Pitih japuik yaitu sejumlah uang pemberian seorang perempuan kepada laki-laki ketika ingin menikah dengan nya. Status sosial laki-laki sangan menetukan besaran pitih japuik yang akan diberikan oleh pihak perempuan namun kembali lagi pada kesepakatan kedua belah pihak. (2) Dalam hukum Islam atau tradisi ini tidak bertentangan, seperti filsafah Minangkabau mengatakan “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah” yang mana artinya “adat berpedoman kepada syariat agama, agama berpdoman pada al-qur’an”. Dimana dijelaskan bahwa sudah menggambarkan adanya keselaraan antara hukum Islam dengan adat di Minangkabau. (3) Setelah melakukan penelitian terhadap pelaksaan tradisi ini dan jika tradisi ini dilanggar atau tidak dilaksanakan maka sanksi yang akan didapat tidak begitu berat.

Kata Kunci : Perkawinan; Minangkabau; Pitih Japuik.

A B S T R A C T

Minangkabau traditional marriage was a which has a tradition of marriage that is quite unique among marriage in general. Thus, this study aims to answer several questions including the First, how the concept of pitih japuik in the tradition of marriage minangkabau pariaman? Second, how the law review islamic tradition pitih japuik in marriage adat minangkabau Pariaman? Third, how does the impact of what happens if pitih japuik not given to the men in the implementation of the marriage of traditional minangkabau Pariaman in Ujung Berung Bandung? The results showed, (1) That the tradition of pitih japuik this is only done by people Pariaman course. Pitih japuik i.e. the amount of money of giving a female to male when want to get married with her. The social Status of the male partner to determine the magnitude of pitih japuik which will be given by the women but come back again on the agreement of both parties. (2) In Islamic law or tradition is not opposed, such as philosophy Minangkabau say

“adat basandi syarak syarak basandi kitabullah” which means “the customary reference to the laws of religion, religious berpdoman on al-qur'an”. Where it is explained that already describe the keselaraan between the law of Islam by indigenous peoples in Minangkabau. (3) After conducting research on the implementation of this tradition and if this tradition is violated or not implemented then the sanctions that will be obtained is not so heavy.

Keywords : Marriage; Minangkabau; Pitih Japuik.

@ 2022 Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam Unisba Press. All rights reserved.

(2)

A. Pendahuluan

Secara bahasa, nikah artinya menghimpun. Nikah juga berarti bersetubuh dan akad. Menurut ahli usul dan bahasa, bersetubuh ialah makna hakiki dari nikah, sedangkan akad adalah makna dari majāzī. Dengan demikian, jika dalam ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi timbul lafaz nikah dengan tanpa diringi penanda apa pun, berarti maknanya merupakan bersetubuh (Muzammil, 2019).

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih disebut dengan dua kata, yaitu “nikah” dan “zawaj”, kedua kata ini yang terpakai dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.(Hidayatullah, 2019) Kata “nakaha” banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin.

Perkawinan secara umum diartikan akad zawaj, yaitu pemilikan sesuatu melalui jalan yang disyari’atkan dalam agama.(Puniman, 2018) Tujuannya, menurut tradisi manusia dan menurut syara’ adalah menghalalkan sesuatu tersebut. Akan tetapi ini bukanlah tujuan perkawinan (zawaj) yang tertinggi dalam syari’at Islam.

Tujuan tertinggi adalah memelihara regenerasi, memelihara gen manusia dan masing-masing suami-istri mendapatkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih sayangnya dapat disalurkan. Demikian juga pasangan suami-istri sebagai tempat peristirahatan disaat-saat lelah dan tegang, keduanya dapat melampiaskan kecintaan dan kasih sayangnya layaknya sebagai suami-istri.

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, Definisi perkawinan juga sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yang berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Santoso, 2016) Kata miitsaaqan ghaliidhan ini ditarik dari firman Allah SWT:

"Dan bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaaqan ghaliizhan)".

Berkenaan dengan tujuan perkawinan tersebut dimuat dalam pasal berikutnya yaitu pasal 3 yang berbunyi: "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (tenteram, cinta dan kasih sayang)".

Tujuan dalam islam, menikah merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama. Dengan menikah maka separuh agama telah terpenuhi. Adapun tujuan perkawinan diantaranya; (1) Membentuk yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membanu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil. (2) Membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah. (3) Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dsar cinta kasih, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.

Rukun dan Syarat perkawinan dalam Islam dianggap sah apabila memenuhi rukun syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqaha. Rukum perkawinan yaitu: Calon suami, Calon Isteri, Wali, Dua orang saksi, Ijab qabul. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut; (1) Syarat calon mempelai pria adalah beragama islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan peresetujuan, dan tidak terdapat halangan perkawinan. (2) Syarat calon mempelai wanita adalah beragama islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuannya, dan tidak terdapat halangan perkawinan. (3) Syarat wali nikah adalah laki-laki, dewasa, dan mempunyai hak perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya. (4) Syarat saksi adalah minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, islam, dan dewasa.

Syarat ijab-qabul adalah adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan perkawinan dari calon mempelai pria, dan memakai kata-kata nikah (tazwij).

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, perkawinan adalah suatu akad yang secara keseluruhan terdapat aspek yang dikandung didalamnya ada kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan yang sakral.

Dalam sistem peminangan Minangkabau di Pariaman disini dijelaskan dimana peminangan dilakukan oleh pihak perempuan dengan mendatangi rumah pihak laki-laki untuk menanyakan mengenai proses

(3)

peminangan atau khitbah. Mempelai laki-laki dijemput secara adat dalam suatu perkawinan merupakan hal yang lumrah dan umum terjadi pada masyarakat Pariaman, akan tetapi, mempelai lak-laki dijemput dengan mensyaratkan adanya pitih japuik (jemputan) adalah ciri khas masyarakat Pariman.

Pada dasarnya khitbah dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, akan tetapi hukum syara’

menetapkan perempuan boleh meminang laki-laki berdasarkan hadis dalam kitab shahih Al-Bukhori.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Marhum bin Abdul Aziz bin Mihran ia berkata: Aku mendengar Tsabit Al-Bunani berkata: Aku pernah berada di tempat Anas, sedang ia memiliki anak wanita. Anas berkata: “Ada seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu menghibahkan dirinya kepada beliau. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, adakah Anda berhasrat padaku?” Lalu anak wanita Anas pun berkomentar: “Alangkah sedikitnya rasa malunya.” Anas berkata:

“Wanita lebih baik daripada kamu, sebab ia suka pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, hingga ia menghibahkan dirinya pada beliau” (HR. Bukhari).

Sebagaimana Islam telah mengatur tata cara peminangan. Hal ini penting dilakukan agar kehidupan keluarga nanti berjalan dengan baik, penuh kasih sayang dan diikuti rasa kebahagian. Kata hitbah berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah meminang atau melamar. Kata peminangan berasal dari dari kata “pinang”, meminang. Menurut etmologi, meminang atau melamar artinya adalah meminang atau melamar meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain).

Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan merupakan perikatan adat “dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan ketetanggaan”. Didalam hukum adat perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem contohnya di “perkawinan semanda” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri, (Minangkabau Sumatera Barat).

Hukum Islam juga mengatur tentang adat kebiasaan dan kemaslahatan bagi pemeluk agama Islam.(Sulistiani, 2018) Adat bisa dijadikan sandaran hukum, di jelaskan dalam qoidah fiqih yaitu “ ”.

Maksud dari kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syar’i. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan sumber hukum”. Adat biasa disebut dengan

‘urf (kebiasaan) menurut hukum Islam yang mempunyai arti yaitu “sebagai sesuatu yang diketahui dan dilakukan oleh masyarakat pada umumnya baik berupa perkataan, perbuatan, atau menginggalkan suatu perbuatan”.

Urf menurut bahasa adalah “adat”, kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus. Sesuatu yang sudah terbiasa (dikalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muammalat dan telah melihat dalam diri- diri mereka dalam beberapa hal secara terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat. Hakikat adat dan ‘urf itu adalah sesuatu yang sama-sama dikenal oleh masyarakat dan telah berlaku secara terus menerus sehingga diterima keberadaannya di tengah-tengah ummat.

Ada pun yang mendefinisikan ‘urf merupakan sesuatu yang dibiasakan oleh masyarakat adat dan dijalankan terus menerus baik berupa perbuatan maupun perkataan. Imam Al-Ghazali dalam karyanya al- Mustashfa, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Fahmi Abu Sunah ‘urf adalah “sesuatu (baik perkataan maupun perbuatan) yang telah menjadi kemantapan jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan dapat diterima oleh orang banyak”.

Minangkabau adalah sekelompok masyarakat yang tangguh dan penuh dinamika yang mendiami dataran tinggi Sumatera Barat. Semasa dalam pengaruh zaman Hindu, Minangkabau telah menjadi kerajaan terbesar Hindu Melayu yang dapat menguasai sebagian besar wilayah dataran tinggi dan telah mengirim para perantau ke pantai barat Semenanjung Malaysia (Negeri Sembilan).

Setelah Islam masuk dan menguasai Minangkabau orang Minangkabau sepenuhnya berubah menjadi Islam, namun mereka tetap mempertahankan sistem Matrilineal dimana kaum perempuan menduduki posisi yang tinggi yaitu diartikan bahwa kaum perempuan di Minang mempunyai kedudukan yang khusus atau unik

(4)

dibandingkan dengan laki-lakinya. Unit terkecil dari sistem matrilineal ini adalah Rumah gadang. Rumah gadang disini yaitu diartiakan sebagai tempat tinggal seorang bundo kanduang, dunsanak perempuannya, anak- anak perempuan dan semua anak-anak hidup tinggal bersama. Beberapa buah rumah gadang ini membentuk diri menjadi sebuah suku, dimana perkawinan antar orang-orang yang sesuku itu tidak diperbolehkan, karena menurut orang Minang perkawinan sesuku itu masih ada hubungan saudara dan oleh karena itulah perkawinan tersebut tidak boleh atau dilarang. Anak-anak lelaki tetap dianggap sebagai anggota keluarga Rumah Gadang dari Ibunya, namun mereka hanya dianggap sebagai tamu atau pendatang sebagai orang sumando dirumah isteri-isteri mereka, dan tidak punya tempat dirumah gadang ibunya. Anggota pria dari sebuah suku tinggal di surau tidak diam di rumah.

Perkawinan di adat Minangkabau adalah salah satu dari sekian banyak perkawinan di Indonesia yang mempunyai tata upacara adat yang unik. Sistem adat yang paling menonjol dalam suku Minangkabau ialah sistem kekeluargaan melalui garis keturunan perempuan atau matrilineal. Selain aturan adat yang khas, suku Minangkabau juga memipunyai hukum adat turun-temurun. Salah satunya merupakan hukum adat yang mengatur tentang perkawinan. Perkawinan adat minang terdapat Tradisi Bajapuik (dijemput) dimana laki laki sebagai tamu, dan pihak perempuan akan menjemput pihak laki-laki untuk datang ke rumah gadang perempuan.

Dalam perkawinan di masyarakat Pariaman disebut dengan manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria). Di daerah Pariaman, tradisi ini cukup unik karena diikuti dengan tradisi bajapuik dimana pihak perempuan memberikan sesuatu kepada pihak laki-laki berupa uang japuik (uang jemput), kebanyakan pitih japuik ditentukan dari status sosial marapulai (pengantin pria). Uang jemputan biasanya diserahkan kepada pihak laki-laki pada waktu upacara Manjapuik Marapulai. Selain manjapuik marapulai adat Minangkabau yang ada di daerah Pariaman juga masih mempertahankan adat “membeli lelaki”. Adat membeli dengan sejumlah uang ini kerap disebut “uang jemputan” yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga mempelai pria dan wanita (Amelia, 2019).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai (1) Untuk mengetahui konsep pitih japuik dalam tradisi minangkabau Pariaman. (2) Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap tradisi pitih japuik dalam perkawinan adat minangkabau Pariaman. (3) Untuk mengetahui dampak yang terjadi apabila pitih japuik tidak diberikan pada pihak laki-laki dalam pelaksanaan perkawinan adat Minangkabau Kota Pariaman di Ujungberung.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang meneliti tentang tradisi pitih japuik dalam perkawinan adat Minangkabau Pariaman di Ujung berung Kota Bandung. Dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris yang dilakukan dengan langsung turun kelapangan melihat mengenai prilaku yang terjadi dalam masyarakat adat Minangkabau Pariaman yang ada di Umung berung Kota Bandung, serta melakukan wawancara terhadap objek yang akan diteliti.

C. Hasil dan Pembahasan

Mengenai budaya masyarakat Minangkabau maka dapat di lihat pada adat perkawinan. Salah satu bentuk budaya Minangkabau yang mengatur kehidupan masyarakatnya adalah budaya pada adat perkawinan.

Perkawinan di Minangkabau sarat akan makna. Dimana Perkawinan yang dilakukan akan membentuk hubungan kekerabatan baru dan erat dalam suku atau kaum yang akan melangsungkan perkawinan.

Terbentuknya keluarga baru dalam kaum tidak hanya menjalankan aturan adat tetapi juga melakasankan aturan agama islam yaitu menikah. Hal ini sesuai dengan landasan hukum adat Minangkabau yaitu, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, bahwa adat di Minang kabau itu merujuk pada syara dan syara merujuk pada agama islam dan tidak bertentangan dengan islam.

Adat Minangkabau berlandaskan pada aturan agama islam. Dalam hal ini, perkawinan di Minangkabau juga dilandasi pada aturan islam yaitu kewajiban umatnya yang mampu untuk menikah. Dalam pelaksanaannya, perkawinan di Minangkabau juga dilaksanakan dengan aturan adat dan aturan agama islam.

(5)

Dalam agama islam pada akad nikah mempelai pria wajib membeikan mahar kepada mempelai perempuan.

Dalam adat Minangkabau pada saat mempelai pria mendatangi rumah mempelai perempuan, mempelai pria wajib memberikan kebutuhan pribadi istrinya yang sering disebut dengan panibo. Panibo merupakan pemberian mempelai pria kepada mempelai wanita dalam bentuk kebutuhan pribadi calon istrinya. Panibo merupakan salah satu dari bagian persyaratan adat dalam perkawinan di Minangkabau.

Tradisi pemberian harta perkawinan atau seserahan apabila ditinjau dari hukum Islam dan Undang- Undang Perkawinan, tradisi ini sesungguhnya tidaklah relevan dan tidak tercantum dalam syarat maupun rukun perkawinan yang terdapat dalam hukum Islam, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Sandi, 2022).

Tradisi pitih japuik atau yang biasa disebut bajapuik sudah ada sejak dahulu bermulai dengan kedatangan Islam ke Nusantara Mayoritas orang Minangkabau adalah penganut agama Islam, sumber adat yang dipakai yaitu Al-Qur’an. Pepatah minang mengatakan “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Bahwa semua yang ada di minang bukan saja perkawinan berasal dari ajaran Islam dan mengikut pada Pedoman Al-Qur’an.

Tradisi yang dilaksanakan oleh orang Minangkabau khusunya Pariaman ini diintrepertasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, dimana melibatkan barang yang bernilai seperti uang dan dalam bahasa minang pitih japuik atau uang jamputan. Pada tradisi ini pihak dari keluarga perempuan mendatangi rumah keluarga dari laki-laki yang akan dipinang nya dimana disini dibicarakan mengenai besaran pitih japuik yang mensyaratkan perkawinan orang Pariaman.

Status sosial seorang laki-laki bisa menjadi patokan terhadap besarnya jumlah pitih japuik yang akan diberikan oleh calon mempelai wanita. Semakin tinggi gelar atau pekerjaan yang dimiliki oleh seorang laki- laki ini maka semakin tinggi pula pitih japuik tersebut, namun kembali lagi dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga perempuan dan laki-laki.

Besar kecilnya pitih japuik memang dilihat dari status sosial dan ini sangat menetukan, apa yang telah dijelaskan diatas (Sabiq, 2014) dimana mamak (paman) sangat berperan penting dalam pelaksanaan tradisi ini dan dimana atas kehendak mamak (paman) juga. Dalam pepatah Minangkabau disebutkan “sabalum kandak diagiah pintak dipalakuan” jadi segala sesuatu mamak yang menentukan. Dari mamak sendiri ada syarat- syarat yang harus di penuhi, misalkan seorang mamak mempertimbangkan calon suami yang pantas untuk kemenakan perempuannya

Oleh karena itu apabila ada seorang laki-laki yang sudah mapan dari segi materi dan non materi, maka mamak dan keluarga besar kerabat perempuan tidak segan untuk memberikan pitih japuik yang lebih untuk laki-laki yang nantinya menjadi suami dari kemenakannya itu. Apalagi jika calon suaminya itu mempunya profesi seperti Polisi, TNI, Dokter, PNS biasanya pitih japuik akan diberikan sekitar 15-50 Juta. Bahkan ada yang sampai 100 Juta itu kembali lagi pada status sosial atau pekerjaan calon suaminya.

Setiap adat dan tradisi yang ada di Minangkabau termasuk perkawinannya itu tidak bertentangan dengan syariat Islam karena sudah diatur dalam aturan adat yang pada umumnya masyarakat mengatakan “syarak mangato adat mamakai, syarak babuhua mati adat babuhua sentak”.

Dalam hukum Islam tradisi memberikan pitih japuik kepada calon laki-laki itu diperbolehkan dan tidak ada larangannya dalam Islam. Menurut pandangan hukum Islam hal pemberian itu dapat dikatakan dengan hibah, karena dalam istilahnya calon mempelai wanita memberikan hibahnya kepada calon mempelai laki-laki secara sukarela. Maksud dari sukarela disini yaitu disebut dengan hibah tidak adanya keterpaksaan yang terjadi, karena disini sudah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dari keluarga mempelai itu sendiri.

Sebagimana ayat mengenai hibah, Allah Swt berfirman dalam (Q.S Al-Baqarah (2): ayat 262)

"Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.

(6)

Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa konsep pertama hibah adalah pemberian secara ikhlas tanpa adanya untuk mendapatkan timbal balik. Pada pelaksanaan tradisi pitih japuik ini sebagaimana telah diungkapkan diatas konsepnya masuk pada pelaksanaan hibah. Dengan demikian pelaksanaan tradisi pitih japuik dalam perkawinan Minangkabau di Pariaman tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dengan demikian tradisi pitih japuik ini dapat dikatakan tidak bertentangan sama sekali dengan syariat Islam atau hukum Islam, tradisi ini merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di Pariaman dan dobolehkan dalam Islam. Dalam pelaksanaan tradisi ini tidak ada yang merasa dirugikan sama sekali karena memang sudah sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Kaidah fiqh menjelaskan perihal adat yang dapat dijadikan pedoman hukum yang berbunyi: “Al- adah Muhakamah” Adat kebiasaan Dapat dijadikan hukum dalam kaidah ini dijelaskan bahwa adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat dapat dipakai apabila tidak bertentangan. Ini dilakukan di Kota Pariaman langsung dengan masyarakat yang ada disana.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil penelitian.

Konsep tradisi pitih japuik dalam perkawinan adat Minangkabau Pariaman, harus diikuti oleh masyarakat yang berasal dari Kota Pariaman, tradisi ini hanya ada di Pariaman saja. Di Pariaman laki-laki harus dijemput dengan barang yang bernilai seperti uang dalam bahasa minang disebut pitih japuik. Pitih japuik akan diberikan oleh pihak keluarga perempuan yang akan menikah dengan laki-laki Pariaman, biasanya besaran pitih japuik yang akan diberikan kepada pihak laki-laki dapat ditentukan dari status sosial laki-laki tersebut, namun kembali lagi kepada kesepakatan kedua belah pihak laki-laki maupun perempuan mengenai besaran pitih japuik ini.

Dalam hukum Islam tradisi Pitih japuik ini dikatakan tidak bertentagan dengan agam Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya falsafah Minang Menagatakan Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah yang artinya yaitu “Adat Bersendi Kepada Syariat Agama, Agama Bersendi Pada Al-Qur’an”, disini dijelaskan bahwa sudah menggambarkan adanya keselaraan antara hukum islam dengan Adat Minangkabau. Kemudian dalam konsep ‘Urf pun ternyata pitih japuik ini masuk kedalam ‘urf shahih yang berlaku dalam masyarakat adat dan tidak bertentangan dengan Islam.

Apabila tradisi pitih japuik ini tidak dilaksanakan maka dampak atau sanksi yang akan di dapat yaitu beruba sanksi sosial yakni pihak yang bresangkutan atau pihak laki-laki akan mendapat hinaan atau cemooh dari saudra-suadara dan kerabat terdekat, dianggap tidak beradat, tidak dianggap dari anggota keluarga tersebut, tidak diikutserakan dalam acara-acara adat lainnya dan dikucilkan. Sanksi yang di dapat tidak begitu berat karena tradisi ini pelaksanaan nya dilakukan di tanah rantau jadi tidak ada sanksi yang terlalu berat.

Daftar Pustaka

Amelia, R. (2019). Budaya Hukum Perkawinan Bajapuik. Jurnal LexJurnalica, 16(2).

Hidayatullah. (2019). Fiqh Ibadah, Fiqh muamalah, Fiqh Munakahat, Fiqh Mawaris, Fiqih Jinayah, Fiqh Sinayah. Universitas Islam Banjarmasin.

Muzammil, I. (2019). Fiqih Munakahat. Tira Smart.

Puniman, A. (2018). Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang. Jurnal Yusttia, 19(1), 87.

Sabiq, S. (2014). Fiqh Sunnah. Al-Ilam Al-Arabi.

Sandi, A. (2022). Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Praktik Perkawinan Adat Sihit/Panjar. Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam, 1(2), 104–111.

https://doi.org/10.29313/jrhki.v1i2.580

Santoso. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang. Jurnal Yudisian.

Sulistiani, S. L. (2018). Hukum Perdata Islam. Sinar Geafika.

Referensi

Dokumen terkait

Syekh Burhanudin manpu Mensinkronisasikan ajaran Islam dengan adat Minangkabau melalui tradisi dan permainan yang berkembang dalam masyarakat.Integrasi agama dan adat

Puji Syukur kepada Tuhan YESUS KRISTUS atas berkat pertolongan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul : KONFIRMASI

Pentingnya lingkungan tidak hanya dijadikan sebagai tempat belajar melainkan lingkungan juga dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang mereka peroleh dari lingkungan tersebut,

Hasil estimasi parameter model kebutuhan transportasi yang dihasilkan pada kondisi pemilihan rute keseimbangan (equilibrium assignment) dan pemilihan rute

Perusahaan akan melaporkan uang muka penjualan setelah diselesaikannya perikatan jual beli (AJB) dan pelanggan telah menyelesaikan pembayaran kewajiban Pajak

9 Mardani, Hukum Perkawinan Islam, hlm.. pernikahan, yaitu tradisi dendan. Tradisi ini diselenggarakan apabila yang mempunyai hajat menikahkan anaknya atau yang mau

Hasil ini lebih besar dari penelitian Ichsani (2020) yang memperoleh nilai aktivitas pepsin dari lambung tuna sirip kuning 523,5 U/mL, dengan nilai konsentrasi protein 0,29

Penelitian ini berjudul Tradisi Badoncek Dalam Perkawinan Minangkabau Adat Pariaman Di Kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tradisi Badoncek di