• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN DI KOTA MEDAN"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN

DI KOTA MEDAN

TESIS

OLEH:

LIA KHALISA 117009025/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016

(2)

TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN

DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh :

LIA KHALISA 117009025/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(3)
(4)

Telah diuji pada Tanggal : 25 Juni 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Deliana, M.Hum.

2.Dr. T. Thyrhaya Zein

, M.A.

3. Dr. Muhammad Takari, M.Hum.

(5)

PERNYATAAN Judul Tesis

TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN

DI KOTA MEDAN

Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagaian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2016 Penulis,

Lia Khalisa

(6)

TRADISI BADONCEK DALAM ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN

DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Tradisi Badoncek Dalam Perkawinan Minangkabau Adat Pariaman Di Kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tradisi Badoncek di dalam perkawinan orang Minangkabau khususnya orang Pariaman yang ada di Kota Medan dan mencari kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi tersebut. Tradisi Badoncek di kota Medan dilaksanakan pada malam hari setelah azan Isya sebagai penutup setelah ‘alek’ di pagi hari. Teori yang digunakan adalah teori Struktur Wacana oleh Van Dijk.

Penelitian ini dilakukan dengan tehnik pengumpulan data merekam dan mewawancarai narasumber. Struktur teks pada tradisi badoncek ini menggunakan teori struktur.Teks di dalam penelitian Tradisi Badoncek ini terdiri dari tiga yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Koteks yang muncul bersamaan dengan teks diantaranya proksemik, kinetik dan paralinguistik dan unsur-unsur material dapat ditemukan dalam penelitian ini. Di dalam mengkaji bahasa, interpretasi yang berfokus pada teks harus memperhatikan konteks. Dalam penelitian Tradisi Badoncek ini konteks yang ditemukan adalah konteks situasi dan budaya. Kearifan lokal di dalam Tradisi badoncek ini dikelompokkan menjadi 1). Gotongroyong, 2). Keharmonisan, 3). Musyawarah untuk mufakat, 4).

Meningkatkan persatuan kaum

Kata Kunci: Antropolinguistik, Tradisi Badoncek, Koteks, Konteks, Kearifan lokal

(7)

ABSTRACT

The title of this research is Badoncek Dalam Perkawinan Minangkabau Adat Pariaman Di Kota Medan. The purpose of this study is to describe the tradition of Badoncek in the Minangkabau marriage especially Pariaman people in Medan and to find local wisdom in the tradition. The tradition of Badoncek in Medan is held at night after Azan Isya and after 'alek' wedding ceremony in the morning. The theory used is discourse structure theory by Van Dijk. This research is conducted by recording data collection technique and interviewing resource person. The text structure of this badoncek tradition uses structural theory. The text in this Badoncek Tradition study consists of three macro structures, superstructures and microstructures. Koteks that appear along with text such as proxemic, kinetic and paralinguistic and material elements can be found in this study. In the study of language, text-focused interpretations must take account of the context. In this Badoncek Tradition research the context found is the context of situation and culture.Local wisdom in this Badoncek tradition is grouped into 1). Gotongroyong, 2). Harmony, 3). Deliberation for consensus, 4). Increase unity ofpeople

Keywords: Anthropolinguistics, Badoncek Tradition, Cotext, Context, Local Wisdom

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….i

ABSTRACT ...ii

KATA PENGANTAR...iii

RIWAYAT HIDUP...iv

DAFTAR ISI……….v

DAFTAR GAMBAR………vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

BAB I PENDAHULUAN………..………...…1

1.1 Latar Belakang Masalah……….….... 1

1.2 Perumusan Masalah………...10

1.3 Tujuan Penelitian………....…....10

1.4 Manfaat Penelitian………....……..11

1.5 Klarifikasi Istilah………...11

. BAB II KONSEP, KAJIAN TEORETIS DAN KAJIAN YANG RELEVAN...13

2.1 Konsep ……….……... 13

2.1.1 Tradisi Lisan …….……….... 13

2.1.2 Performansi………... 15

2.1.3 Teks………...16

2.1.4 Koteks………...17

2.1.5 Konteks………...18

2.1.6 Kearifan Lokal………...19

2.1.7 Merantau………...20

2.1.7.1 Pariaman: Daerah Rantau Yang Unik………...23

2.1.7.2 Orang Minang Di Kota Medan ………....26

2.1.8 Sistem Kekerabatan Orang Minangkabau………28

2.1.9 Perkawinan Adat Minangkabau Wilayah Pariaman………….32

2.1.9.1 Tahap Sebelum Perkawinan……….35

2.1.9.2 Tahap Pelaksanaan Perkawinan………....36

2.1.9.3 Badoncek………...39

2.2 Kajian Teoretis………....40

2.2.1 Antropolinguistik………...40

2.2.2 Analisis Struktur Wacana..………....42

2.3 Kajian Yang Relevan………...45

2.4 Konstruk Analisis………...48

BAB III METODE PENELITIAN……….... 49

3.1 Lokasi Penelitian……….. 49

3.2 Data dan Sumber data………... 51

3.3 Teknik Pengumpulan data………...52

(9)

3.4 Tehnik Analisis data………...53

3.5 Triangulasi Data………...55

BAB IV PERFORMANSI TRADISI BADONCEK PADA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU WILAYAH PARIAMAN….... 57

4.1 Tahap SebelumPerkawinan………... 57

4.2 Tahap Pelaksanaan Perkawinan……… 65

4.3 Badoncek……….. 69

BAB V ANALISIS STRUKTUR WACANA TEKS, KOTEKS, DAN KONTEKS TRADISI BADONCEK ...………...75

5.1 Teks Tradisi Badoncek……...………...75

5.1.1 Struktur Makro………76

5.1.2 Superstruktur (struktur alur) ………...76

5.1.3 Struktur Mikro……….77

5.2 Koteks Tradisi Badoncek………...78

5.2.1 Proksemik, Kinetik, Paralinguistik……….78

5.3 Konteks Tradisi Badoncek………...83

5.3.1 Konteks Budaya Tradisi Badoncek...………..84

5.3.2 Konteks Situasi Tradisi Badoncek ...………...85

BAB VI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI BADONCEK…………....88

6.1 Gotongroyong ………... 88

6.2 Keharmonisan……….... 90

6.3 Musyawarah dan Mufakat………..………...93

6.4 Menjaga Persatuan Kaum………... 93

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………...96

7.1 Simpulan……….... 96

7.2 Saran……….… ...99

DAFTARPUSTAKA………...100

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 2.1 Tradisi Badoncek Dalam Masyarakat Minangkabau Adat Pariaman

Di Kota Medan………...51

4.1 Sirih Pinang………...61

4.2 Batuka Tando………64

4.3 Hantaran Untuk Anak Daro ………...65

4.4 Mengantar Mempelai Pria……….70

4.5 Memulai Acara Badoncek ………...72

4.6 Perwakilan Pengurus PKDP ………...74

5.1 Meja Panjang Badoncek ………...80

5.2 Penyerahan Sumbangsih (amplop) 1………...82

5.3 Penyerahan Sumbangsih (amplop) 2...82

5.4 Wadah tempat uang………...87

5.5 Dendeng Balado ………...89

(11)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Tradisi Badoncek dalam Adat Perkawinan Minangkabau Wilayah Pariaman di Kota Medan”.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof .DR.Runtung Sitepu, SH, M.Hum 2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Dr. Budi Agustono,

MS

3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Pembimbing I. Terimakasih untuk kesabaran dan kebaikan hati yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan arahan kepada penulis sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu Dr. Deliana, M.Hum., selaku Pembimbing II, terimakasih pada ibu yang juga telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, dan masukan kepada penulis dalam penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan dalam urusan administrasi sehingga dapat berjalan dengan baik.

7. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. dan Dr. Muhammad Takari, M.Hum.

8. Seluruh dosen dan staf pengajar di Program Studi Magister Linguistik yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat

selaku penguji yang telah memberikan masukan dan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tesis ini untuk menjadi lebih baik lagi.

9. Serta seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi Linguistik yang telah memberikan pelayanan administrasi serta pertemanan yang baik selama perkuliahan sampai terselesaikannya tesis ini.

10. Keluarga besar Akademi Pariwisata Nusantara Medan selaku instansi tempat penulis bekerja yang telah memberikan izin belajar kepada penulis untuk mengikuti jenjang pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara.

11. Suami tercinta yang baik hati, Nasrul Hamdani, terimakasih untuk kesabaran dan dukungan yang luar biasa menghadapi istri yang moody-an ini, (maaf untuk

‘keterlambatan’ ini). Teruntuk anak-anak tersayang, Rayzal Barraq Mataniari, Annisa Reno Bulan, Rully Malik Aldebaran dan Aisha Cornelia Nasrukh

(12)

12. Mama Murni dan Ayahanda Alm dr. Suhaimi Bakri, pilu karena permintaan papa terlalu lama terwujud, buat, Mama Asni, Ibu Djasniar, Tek Ris, terima kasih banyak karena telah memeberi banyak waktu serta memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk terus bersemangat dalam menyelesaikan tesis ini.

13. Seluruh teman seangkatan S2 Linguistik, kak Dara Srimahyuni, Euis Qomariah, Sarma Panggabean, Rahmayani, Lisa, secara khusus kepada kak Fita Delia Gultom dan yang terpenting terimakasih kepada Ernawati Surbakti (adek tersayang yang selalu ‘memaksa’ kakaknya yang super lambat ini) terimakasih untuk dukungan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini, terima kasih untuk kebersamaan yang penuh manfaat.

15. Tak lupa buat sahabat yang selalu senang di ajak jalan dan mendengarkan dengan sabar keluh kesah saya Rini D.F Hasibuan,

Penulis menyadari bahwa tesis ini memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak demi perbaikan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Terima kasih.

Medan, Juni 2016 Penulis,

Lia Khalisa

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kegiatan badoncek di Sumatera Barat telah lama dipopulerkan oleh masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman dan di daerah perantauan yang banyak didiami oleh orang Pariaman. Di dalam kegiatan tersebut ada acara berupa menggalang dana untuk menopang kegiatan publik ataupun sebagai wujud solidaritas sosial terhadap warga lain yang sedang ditimpa musibah, lebih spesifik lagi pada sanak famili yang hendak melangsungkan pesta perkawinan, mereka pun melakukan badoncek.

Badoncek merupakan tradisi lama yang awalnya dilakukan untuk mengumpulkan dana guna membiayai perhelatan perkawinan, namun kini berkembang menjadi untuk pembangunan masjid, sekolah, dan lain-lain.

Badoncek berasal dari kata doncek yang artinya lompat atau lempar, yaitu melompatkan atau melemparkan uang ke dalam wadah yang diselenggarakan panitia badoncek. Di rantau Badoncek terdiri atas tiga bagian, yang pertama adalah alek tewa atau alek bebas, yaitu menyorakkan nama dan nominal uang yang telah diserahkan sebelumnya oleh peserta doncek kepada panitia, yang kedua adalah doncek dari perkumpulan/organisasi yang diikuti oleh si pangka, dan yang ketiga adalah masuak ka pangka dahan yaitu doncek dari dunsanak atau pihak keluarga. Aktifitas badoncek tersebut adalah memandu pencarian dana dari pengunjung dan undangan yang hadir untuk disumbangkan atau diberikan kepada pihak penyelenggara alek melalui panitia badoncek.

(14)

Kegiatan badoncek di Sumatera Barat telah lama dipopulerkan oleh masyarakat, khususnya di Kabupaten Padang Pariaman. Untuk acara-acara tertentu seperti menggalang dana untuk menopang kegiatan publik ataupun sebagai wujud solidaritas sosial terhadap warga lain yang sedang ditimpa musibah, lebih spesifik lagi pada sanak famili yang hendak melangsungkan pesta perkawinan, mereka pun melakukan badoncek. Hal ini kemudian dibawa oleh para perantau ke tempat mereka bermukim.

Acara badoncek biasanya yang dilaksanakan pada malam hari setelah shalat isya atau pada malam penutupan pesta perkawinan. Pada malam ini berkumpul semua kaum kerabat, ninik mamak, dan penghulu adat. Pada seluruh yang hadir, diumumkanlah semua pembiayaan pesta perkawinan dan dikurangkan dengan besar pendapatan yang diperoleh dari siang hari, sisanya merupakan hutang atau jumlah yang diharapkan dapat diperoleh melalui badoncek. Namun sekarang, kebiasaan di rantau, berapa jumlah pembiayaan pesta tidak lagi dan berapa lagi kekurangan yang dibutuhkan tidak lagi diumumkan. Mengumumkan jumlah hutang mulai dianggap tabu. Maka protokol hanya mengumumkan jumlah sumbangsih yang telah terkumpul, selanjutnya si protokol akan menanyakan pada tuan rumah sudah cukup atau belum. Kepandaian seorang protokol untuk berkata- kata atau kepiawaian berbicara sangat dibutuhkan. Seorang harus mampu memprovokasi dan membujuk penontonnya, mampu mengikat perhatian, perasaan dan emosi para hadirin untuk saling bersaing dalam memberikan sumbangan sehingga jumlah yang dibutuhkan akan tercapai bahkan lebih. Biasanya karena diadakan pada malam hari, tamu-tamu yang tertinggal biasanya keluarga, kaum

(15)

kerabat maupun urang sakampuang. Maka pada saat inilah bujukan dan rayuan ditujukan pada para tamu yang tersisa.

Tradisi badoncek lahir dari perasaan akan kebutuhan bersama, saling tolong menolong dan gotongroyong; barek samo dipikua ringan samo dijinjiang, itulah muncul tradisi Badoncek ini. Rasa kebersamaan dan gotong-royong ini tumbuh kuat dan berakar pada masyarakat Minangkabau. MS, Amir (1997) menyebutkan sifat dasar orang Minangkabau adalah kepemilikan bersama (komunalbezit). Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya.

Sebaliknya tiap kelompok itu (suku) menjadi milik semua individu yang yang menjadi anggota kelompok itu. Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempatnya hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati.

Hal ini melahirkan rasa kesetiakawanan, rasa kebersamaan dan tolong menolong yang tinggi. Sehingga apabila ada kerabat yang akan mengadakan pesta, ada yang mengalami musibah ataupun kegiatan-kegiatan lainnya maka kerabat lainnya akan ikut bergotongroyong memberikan bantuan baik berupa uang, tenaga, maupun barang.

Tradisi badoncek banyak dilakukan orang Pariaman dimanapun mereka berada diseluruh Indonesia. Di kota Medan tradisi badoncek ini lahir ketika orang Pariaman yang merantau berkumpul dan menjadi komunitas, selanjutnya membentuk organisasi-organisasi berdasarkan kampung asal mereka yang berasal dari wilayah administrasi Kabupaten Padang Pariaman. Para perantau yang menggalakkan tradisi ini awalnya adalah untuk menolong anggotanya yang hendak mengadakan pesta (baralek).

(16)

Tradisi badoncek masih dilakukan para perantau Minangkabau asal Pariaman di Kota Medan namun badoncek di rantau sudah mengalami pergeseran dari kampung asalnya. Di Pariaman tradisi ini sangat meriah dan kental dengan nuansa hiburan, sementara di Kota Medan unsur hiburan mulai berkurang, para peserta doncek yang hadir telah lebih dahulu mempersiapkan sumbangsihnya, terutama yang dikoordinir oleh kelompok organisasi, unsure spontanitas sangat jauh berkurang. Para peserta doncek tidak lagi memandang penting unsur hiburan di dalam badoncek. Pada tahun 70an di Kota Medan tradisi badoncek masih sangat meriah dan menjadi hiburan masyarakat pariaman di Medan, namun menjelang akhir tahun 90an fungsi hiburan tidak lagi penting di dalam badoncek.

Di dalam bukunya Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Orang Minang, M.S Amir (1999) menyebutkan bahwa tujuan hidup yang ingin dicapai oleh orang Minang adalah bumi sanang padi manjadi, taranak bakambang biak. Maksudnya adalah ingin mencapai masyarakat yang damai, makmur, dan berkah sesuai dengan ajaran Islam yaitu Baldatun Toyyibatun wa Robbun Gafuur, yaitu suatu masyarakat yang aman, damai, dan selalu dalam lindungan allah SWT. Untuk mencapai hal itu perlulah adanya corak masyarakat idaman yaitu masyarakat nan sakato, hal ini tercermin dalam pribahasa sebagai berikut

Bumi sanang padi manjadi Bumi senang padi menjadi Padi masak jaguang maupie Padi masak jagung mengupil Anak buah sanang santoso Anak buah senang sentosa Taranak bakambang biak Teranak berkembang biak Bapak kayo mandeh batuah Ayah kaya ibu bertuah Mamak disambah urang pulo Paman disembah orang juga

Masyarakat nan sakato dapat terwujud jika empat unsur terpenuhi yaitu saiyo sakato, sahino samalua, anggo tango, serta sapikue sajinjing. Keempat unsur

(17)

tersebut akan menumbukan perasaan bersama yang menimbulkan suatu perasaan tanggungjawab dan gotong royong, yang berat sama dipikul ringan sama dijinjing.

Tradisi badoncek merupakan bagian dari kebudayaan Pariaman yang pewarisannya perlu dikenal secara turun temurun oleh generasi penerus karena tradisi ini merupakan milik bersama anggota masyarakat Pariaman yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi dilakukan melalui proses belajar yang penjang. Perwujudan tradisi ini diciptakan oleh masyarakat Pariaman karena berbudaya, berperilaku, dan memiliki kehidupan sosial, religi, seni, dan lain-lain, semuanya ditujukan untuk melangsungkan kehidupan mereka bermasyarakat. Tradisi tersebut perlu dipelihara dan diajarkan kepada setiap generasi dalam masyarakatnya agar tetap dilakukan oleh generasi seterusnya sehingga menjadi tradisi bagi suatu masyarakat dalam kehidupannya.

Penelitian ini mempunyai tujuan agar dapat mendokumentasikan dan mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi badoncek yang dianggap dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat pariaman. Kegiatan budaya tradisional seperti badoncek masih memiliki komunitas sehingga untuk menurunkan dengan media lisan masih dapat dilakukan. Merujuk pada Finnegan (1992) bahwa tradisi lisan bersifat verbal, lisan (non-written), milik masyarakat, mendasar dan bernilai (fundamental and valued), diturunkan dari generasi ke generasi maka tradisi badoncek merupakan tradisi lisan yang menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa depan dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan.

(18)

Perkawinan merupakan siklus terpenting bagi masyarakat Minangkabau.

Baik laki-laki maupun perempuan akan melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang disebut daur hidup. Masa-masa daur hidup ini dimulai dari sejak lahir, memasuki masa balita, remaja, dewasa, masa berkeluarga dan kemudian menjadi tua. Tiap masa merupakan saat-saat yang istimewa, akan tetapi masa berkeluarga atau menikah menjadi suatu masa yang dianggap paling istimewa karena setiap laki-laki maupun perempuan mulai memasuki babak baru dalam hidup. Sinar (2011) mengatakan bahwa perkawinan merupakan salah satu tahap inisiasi dalam daur kehidupan manusia yang sangat penting. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status, yakni dari status bujangan menjadi berkeluarga.

Dengan demikian, pasangan tersebut akan diakui dan diperlakukan sebagai anggota penuh dalam masyarakat. Dalam sistem kekerabatan, perkawinan seseorang juga memengaruhi sifat dan hubungan kekeluargaannya, bahkan dapat pula menggeser hak serta kewajiban untuk sementara anggota kerabat lainnya.

Misalnya seorang ayah yang tadinya bertanggung jawab atas anak gadisnya, tetapi dengan terjadinya ikatan tali perkawinan maka hak dan kewajiban tersebut berpindah kepada suami sang anak.

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan pengaruh adat dan agama menjadi pola yang mempengaruhi seluruh prosesi upacara perkawinan. Pandangan hidup Minangkabau “adat basandi syrarak, syarak basandi kitabullah” dilaksanakan dalam segala kegiatan perkawinan. Bagi laki-laki disamping diakui sudah dewasa, perkawinan juga akan mengangkat status sosial, derajat dan martabatnya. Laki- laki Minangkabau yang sudah menikah akan memiliki hak suara dan otomatis sudah dilibatkan dalam rapat-rapat keluarga luas. Perkawinan menimbulkan

(19)

hubungan baru tidak saja antara dua pribadi yang bersangkutan akan tetapi juga kedua keluarga masing-masing pihak. Perkawinan tidak berarti seseorang akan meninggalkan kelompok awalnya namun lebih kepada memekarkan kelompoknya. Latar belakang antara kedua belah pihak yang berbeda seperti kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial dan tata krama haruslah dipahami dan kesediaan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak akan membantu mengurangi konflik-konflik baik yang terjadi sebelum hingga sesudah upacara perkawinan dan diharapkan perkawinan menjadi langgeng. Perkawinan juga menuntut suatu tanggung jawab diantaranya menyangkut nafkah lahir batin, jaminan hidup dan tanggung jawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.

Sesuai dengan adat istiadat perkawinan di Minangkabau umumnya yang menganut sistem matrilineal maka yang harus menyelenggarakan pesta perkawinan adalah pihak perempuan sehingga masalah dana akan menjadi tanggungan pihak pengantin perempuan. Oleh karena biaya yang besar untuk perhelatan perkawinan maka perkawinan menjadi masalah seluruh keluarga dan masalah suku yang menyangkut raso jo pareso yakni penyelidikan yang mendalam segala segi baik secara material maupun menurut pikiran yang masuk akal menyangkut alur dan patut (pantas atau tidaknya) sesuai dengan keadaan.

Tradisi Badoncek merupakan salah satu solusi kegiatan yang dapat membantu perhelatan pernikahan pada masyarakat Minangkabau khususnya yang berdomisili di wilayah kabupaten Pariaman. Performansi tradisi badoncek dilakukan setelah perhelatan perkawinan yangbertujuan untuk membantu pelaksanaan perhelatan, mengurangi beban tuan rumah dan membangun

(20)

kedekatan dengan sesama anggota keluarga, jiran-tetangga, masyarakat sesuku dan lain suku.

Dalam prosesnya, teks, koteks dan konteks dalam badoncek ini memprovokasi supaya para pengunjung acara termotivasi untuk menyumbang yang lebih banyak. Sumbangan awal biasanya diawali oleh kaum kerabat yang ada di tinggal di rantau ataupun di kampong, selanjutnya teman-teman dari perkumpulan dan biasanya di penghujung acara ditutup oleh keluarga inti pengantin. Sambil berjalannya proses badoncek, panitia badoncek menghitung perolehan dana sumbangan. Bila dirasa kurang maka panitia terus-menerus memprovokasi pengunjung untuk terus menambah donasinya. Model provokasi ini, terkadang dibumbui dengan kata-kata bujukan, ungkapan bahkan sindiran- sindiran. Kepandaian si pembicara dalam mengolah kata sehingga para peserta

‘doncek’ rela hati untuk menyumbang tidak terlepas dari keahlian si pembicara menguasai budaya masyarakat setempat serta memahami fenomena yang ada.

Tidak ada target jumlah yang harus dicapai, semuanya tergantung pada keluwesan paergaulan dari keluarga pelaksana alek.

Diasumsikan bahwa nilai dan norma yang tergambar dalam penyelenggaraan badoncek misalnya niniak mamak dan urang tuo-tuo yang dihormati dan dituakan. Panitia-panitia yang dipilih merupakan orang-orang yang dianggap kompeten, dikenal baik oleh masyarakat sekitar, jujur dan cermat. Untuk protokol atau orang yang meneriakkan nama pemberi sumbangsih haruslah orang yang pandai bicara, paham situasi, pandai membujuk dan humoris. Adapun di rantau, khususnya di Kota Medan, penyelenggaraan badoncek biasanya diserahkan kepada suatu organisasi yang menaungi para perantau yang ada di kota

(21)

Medan dalam hal ini adalah pihak PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman).

Peserta badoncek di rantau biasanya adalah sanak-famili, jiran tetangga yang sama-sama berasal dari Pariaman, dan teman-teman dalam satu perkumpulan.

Orang Minangkabau yang merantau membentuk perkumpulan yang biasanya didasarkan pada daerah asal mereka. Selanjutnya organisasi tersebut akan menginduk kepada PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Piaman). Organisasi ini yang akan biasanya dipilih sebagai panitia penyelenggara aktivitas badoncek. Di kampung (Pariaman) pelaksanaan badoncek lebih ramai dan dan lebih lama prosesnya karena orang yang datang biasanya orang yang langsung memberikan sumbangsihnya sehingga suasananya lebih terasa akrab. Disinilah publik bisa menilai apakah si penyelenggara alek adalah orang yang memiliki atau pergaulan luas dan bagaimana kekompakan dalam bersaudara. Di rantau meskipun tetap ramai namun karena alasan waktu dan efektifitas beberapa peserta hanya mengirimkan amplop atau menyerahkan amplop setelah dibacakan yang bersangkutan langsung pulang.

Tradisi badoncek sekarang ini sudah tidak banyak dilakukan lagi.

Sebahagian masyarakat menganggap hal ini tidak diperlukan lagi karena itu hanya dilakukan oleh urang tuo-tuo dulu, tidak efektif dijalankan di kota terlebih apabila sio perantau tidak bergabung dalam suatu perkumpulan serta beranggapan menyebutkan berapa jumlah yang nominal yang diberikan pada orang lain adalah hal yang kurang baik, dan bahwa kegiatan itu hanya cocok dilangsungkan di kampung. Maka penelitian ini hendak mengetahui apakah Orang Pariman di rantau masih memandang penting tradisi Badoncek ini dalam pelaksanaan upacara perkawinan dan apakah acara badoncek ini masih dilaksanakan, jika eksistensinya

(22)

masih berlangsung bagi masyarakat Minang perantauan maka penelitian ini juga akan membuktikan bahwa kearifan lokal yang dibawa dari daerah asal masih berfungsi dan dijalankan oleh mereka yang tinggal di rantau.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah performansi pada Tradisi Badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman di Kota Medan?

2. Bagaimana representasi Teks, Koteks, dan Konteks tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman?

3. Bagaimana bentuk kearifan lokal tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan performansi tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman

2. Menjelaskan Teks, Kotek dan Konteks yang terjadi dalam tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman

3. Mendeskripsikan bentuk kearifan lokal tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman

(23)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam beberapa hal:

1. Sebagai sumber informasi atau rujukan untuk memahami tentang fungsi badoncek dalam masyarakat Pariaman

2. Menginformasikan dan melestarikan tradisi badoncek kepada masyarakat luas.

3. Menambah khasanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang linguistik dan budaya

1.5 Klarifikasi Istilah

Di dalam penelitian ada beberapa istilah yang menjadi bagian penting;

1. Badoncek, Kata badoncek dari asal kata doncek (lompat/lempar). Kegiatan badoncek ini merupakan suatu kegiatan tolong menolong dalam pesta perkawinan dan dilaksanakan pada malam hari sebagai penutup alek

2. Ninik-mamak, pihak keluarga yang dituakan dan dianggap bijaksana, biasanya menjadi tempat untuk dimintai pendapat dan memutuskan suatu permasalahan 3. Malam Babako, aktivitas yang dijalani calon pengantin sebelum pernikahan

yang diselenggarakan oleh pihak bako (keluarga dari pihak ayah mempelai berasal) dengan memberikan bantuan dan melepas anak pusaka/anak pisang menuju jenjang pernikahan ini

4. Batuka Tando, secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Tando sendiri merupakan arti simbolis, bahwa telah diikat perjanjian antara kedua belah pihak, dan ini merupakan simbol antara ninik mamak dua keluarga yang

(24)

berhubungan. Batuka tando bertujuan untuk mengikat masing-masing pihak agar tidak bertindak lain (berubah pikiran).

5. Marapulai, pengantin laki-laki 6. Anak daro, pengantin perempuan

(25)

BAB II

KONSEP, KAJIAN TEORETIS, DAN KAJIAN YANG RELEVAN

2.1 Konsep

Ada beberapa pengertian dan konsep yang perlu dijelaskan dalam menganalisis tradisi badoncek dalam perkawinan Minangkabau adat Pariaman.

Konsep-konsep penting berkaitan dengan variabel dalam pengertian tradisi badoncek, konsep teori yang digunakan adalah konsep tradisi lisan, teks, koteks, konteks, dan kearifan lokal. Variabel konsep tradisi badoncek yang digunakan adalah merantau, masyarakat pariaman, perkawinan adat dan badoncek.

2.1.1 Tradisi Lisan

Tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam kehidupannya. Kebiasaan tersebut dipelihara dan diajarkan kepada setiap generasi dalam masyarakatnya agar tetap dilakukan oleh generasi seterusnya. Tradisi lisan merupakan sebagai sesuatu yang disampaikan dalam masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya.

Menurut Hoed (2008), tradisi lisan adalah sebagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Tradisi lisan juga dapat diartikan sebagai kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan selisan (non-verbal) (Sibarani, 2012). Djuweng (dalam Pudentia, 2008) mengatakan tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu,

(26)

sekarang, dan masa depan. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan.

Menurut Pudentia (2008) tradisi lisan bukan hanya mengandung cerita mitos dan dongeng, akan tetapi juga mengandung berbagai hal-hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya,seperti kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan (religi), hasil seni dan upacara adat, seperti adat perkawinan yang dimiliki komunitas adat sebagai pemilik tradisi lisan tersebut adalah bagian dari tradisi lisan.Sibarani (2012) menyebutkan ada beberapa ciri tradisi lisan, yaitu ; 1.Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan,

sebagian lisan, dan bukan lisan.

2.Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya. Oleh karena tradisi lisan terkait pada konteks peristiwa, tradisi lisan memiliki tempat kejadian dan situasi kejadian

3.Dapat diamati dan ditonton orang atau dipertunjukkan dalam suatu konteks peristiwa tertentu.

4.Bersifat tradisional, untuk mengidentifikasi sebuah kebiasaan apakah termasuk tradisi lisan atau tidak. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan harus mengandung warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun kreasi baru yang ada unsur etnisnya.

5.Diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi lain.

6.Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”. Ciri inilah yang menjadikan kebiasaan atau budaya bukan lisan (non-verbal culture) tergolong tradisi lisan

(27)

karena budaya bukan lisan itu, seperti adat-istiadat, disampaikan orang tua dari mulut melalui berbicara sampai ke telinga anak-anaknya melalui mendengar.Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya, berupa kearifan lokal atau kearifan yang bermanfaat untuk masyarakat setempat.

8.Memiliki versi-versi atau varian, yaitu bentuk-bentuk yang berbeda. Kalau perbedaan itu kecil disebut varian, tetapi kalau perbedaan itu besar, bahkan melampaui bahasa dan bentuk, disebut versi.

9.Milik bersama komunitas tertentu atau masyarakat secara kolektif karena sifatnya yang lisan dan anonim.

10.Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya

2.1.2 Performansi

Finnegan (1992) mengemukakan bahwa secara global sastra lisan (oral poetry) dapat dibedakan atas sastra/ tradisi tertulis dan ini berarti bahwa berbeda dengan sastra tertulis, penyebaran, komposisi, maupun pertunjukan sastra lisan dilakukan dari mulut ke mulut, dan bukan melalui kata-kata yang tertulis atau tercetak. Finnegan menegaskan bahwa karya dapat disebut sastra/tradisi lisan dengan melihat ketiga aspeknya, yaitu komposisi, cara penyampaiannya, dan pertunjukannya. Sehubungan dengan itu maka dalam penelitian tradisi lisan, satu hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti tradisi lisan dalam performansi atau pementasan tradisi lisan adalah aspek bahan atau alat yang digunakan. Menurut Finnegan performance melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan, audiens, dan partisipan (orang yang terlibat pertunjukan), serta media atau benda-benda yang digunakan baik verbal maupun material. Finnegan (1991)

(28)

mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah) dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda,budaya, dan genre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsur khalayak atau penikmat yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi.

2.1.3 Teks

Teks merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar pada sebuah performansi. Van Dijk (dalam Eriyanto,2005) menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna global atau makna umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu teks. Tema teks bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Super struktur atau struktur alur adalah kerangka suatu teks yang mencakup struktur dan elemen teks dalam pembentukan teks secara utuh. Sebuah teks termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen, yaitu pendahuluan, bagian tengah, dan penutup. Kajian struktur alur tradisi lisan akan menghasikan skema tradisi lisan mulai dari permulaan,

(29)

bagian tengah, dan penutup. Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis, mencakup tataran bunyi, kata, kalimat, wacana, makna, dan gaya bahasa.

Tataran tersebut dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji (Sibarani, 2012).

2.1.4 Koteks

Dalam komunikasi, pada umumnya teks sebagai tanda verbal akan didampingi oleh tanda lain yang bersama-sama digunakan dengan teks itu. Tanda- tanda tersebut adalah koteks. Koteks adalah tanda-tanda yang ada dalam teks tradisi lisan berupa paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material yang berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna suatu teks (Sibarani, 2012). Unsur material yang ada dalam tradisi badoncek ini adalah barang dan benda yang disediakan untuk perangkat kelengkapan acara tersebut. Perangkat tersebut merupakan benda-benda simbolik yang mengandung makna tertentu. material

Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan, dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaan warna dengan beragam pilihanny, penataan properti, lokasi dan dekoarasi semunya memiliki fungsi masing-masing. Semua itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji dari sudut semiotic untuk memperkaya unsur-unsur tradisi lisan. Itulah alasannya teks tidak dapat dipisahkan dari konteks. Dengan kata lain, analisis struktur makro dalam teks tradisi lisan merupakan analisis teks yang dipadukan dengan koteks dan konteksnya untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral.

(30)

2.1.5 Konteks

Sistem konteks sosial berada pada tingkat semiotik konotatif bahasa yang terdiri dari konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi (Sinar, 2010).

Sedangkan menurut Saragih (2002), yang dimaksud dengan konteks merupakan tempat peristiwa terjadinya teks. Konteks berfungsi menentukan makna suatu ujaran, tuturan, dan teks/wacana. Artinya bila terjadi perubahan konteks, mengakibatkan perubahan makna. Sibarani (2012) mengatakan ada empat jenis konteks dalam kajian tradisi lisan, yaitu konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi, untuk memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi tradisi lisan, dan untuk memahami nilai dan norma budayanya serta kearifan lokal yang diterapkan.

Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu teks, yakni peristiwa budaya apa yang melibatkan tradisi lisan itu. Sebuah tradisi lisan dalam konteks budaya yang berbeda akan memiliki makna, pesan, dan fungsi yang berbeda. Konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang memengaruhi atau menggunakan teks, yakni siapa saja yang terlibat dalam teks itu, seperti pelaku, pengelola, penikmat, dan komunitas pendukungnya. Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan cara penggunaan teks, yakni kapan, dimana, dan bagaimana suatu teks dituturkan. Konteks ideologi mengacu pada kekuasaan atau kekuatan apa yang memengaruhi dan mendominasi suatu teks, seperti paham, aliran, kepercayaan, keyakinan, dan nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Ideologi merupakan suatu konsep sosial yang menyatakan apa yang harus atau tidak dikerjakan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, konteks ideologi menyangkut nilai dan sudut pandang yang dianut

(31)

2.1.6 Kearifan Lokal

Dalam setiap tradisi lisan pasti terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang dijadikan masyarakat membentuk budaya dan tradisinya masing-masing sebab kearifan lokal dibangun di atas nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Kearifan lokal juga dapat didefenisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Secara substansial kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, merupakan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat

Menurut Sinar (2011) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir, mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri, meningkatkan martabat bangsa dan negara. Pembelajarannya tidak memerlukan pemaksaan. Keterlibatan masayarakat dalam penghayatan kearifan lokal sangat kuat. Adapun kearifan lokal tradisi masyarakat menurut Sibarani (2012) menunjukkan kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong- royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan, kedamaian, sopan santun, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan, wawasan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur. Keraf (2002) menyatakan bahwa kearifan lokal (tradisional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis

(32)

Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).

Di dalam masyarakat kita kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, papatah, pantun ataupun semboyan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Merupakan hal yang dilakukan secara turun temurun kepada generasi berikutnya.

2.1.7 Merantau

Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Di dalam Kato (2005) merantau dapat dibedakan menjadi tiga jenis cara merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau yaitu merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler) dan merantau Cino (merantau secara Cina). Migrasi bukanlah prilaku acak, sebab itu orang-orang yang memutuskan untuk bermigrasi dapat dianggap orang-orang terpilih dari antara populasi (Guillet dan Uzzel dalam Pelly, 1994). Merantau bagi orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang lama. Konsep rantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga

(33)

berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan serta menjadi kawasan perdagangan.

Struktur sosial masyarakat Minangkabau sendiri mendorong kaum laki-lakinya untuk merantau. Bagi masyarakat Minangkabau seorang laki-laki yang belum menikah ‘bujang’ mempunyai status sosial yang rendah dan tidak sempurna.

Navis (1986) menyebutkan bahwa merantau merupakan produk kebudayaan masyarakat Minangkabau, dimana setiap anak muda diharuskan merantau. Dalam sebuah pantun disebutkan :

Karatau madang di hulu Pohon meranti tumbuh di hulu Babuah babungo balun Berbuah berbunga belum Marantau bujang daulu Merantau laki-laki dulu

Di rumah baguno balun Di rumah (di kampong) belum berguna

Dari pantun di atas ditujukan bahwa kepada orang laki-laki muda (bujang) untuk pergi merantau karena dikampungnya ia dianggap dewasa dan belum berguna. Yang dimaksud dengan ‘baguno balun’, adalah belum diperlukan sebagai pasangan hidup oleh wanita, atau belum bisa kawin, kerena belum mempunyai pekerjaan atau menghasilan tetap. Untuk membebaskan diri dari posisi ini salah satunya adalah merantau. Merantau menjadi pilihan sebab status anak laki-laki di Minang yang pada dasarnya tak punya apa-apa. Dia bisa berusaha di kampungnya di atas harta pusaka yang ada, akan tetapi harta itu jatuhnya kepada anak yang perempuan. Anak laki-laki tak akan dapat mewariskan harta itu untuk anaknya sendiri, sebab anaknya itu adalah suku lain atau orang lain.

Kato (2005) menemukan bahwa ketika gerakan merantau semakin popular terdapat pula ada pola baru dalam tradisi merantau orang Minangkabau setelah Perang Dunia II. Setelah perang, merantau terkait eksklusif pada keluarga inti.

(34)

Para lelaki atau suami yang merantau akan membawa sekaligus istri dan anak- anaknya, atau merantau terlebih dahulu baru kemudian menjemput istri dan anak- anaknya untuk tinggal bersama di rantau. Pola merantau seperti ini disebut juga rantau cina “rantau cino”. Kaum perantau ini akan cenderung tinggal lebih lama di tempat-tempat yang lebih jauh dari tempat asalnya, bisa mencapai kota-kota besar seperti Medan, Jakarta dan lain-lain.

Namun esensi dari merantau tersebut belum berubah, bahwa suku Minangkabau selalu memakai kesempatan mengunjungi daerah asal sebagai saat untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan dan prestise. Alam rantau adalah untuk memperkaya dan menguatkan alam Minangkabau; gagasan ini merupakan dasar dari ‘misi’ budaya yang menggerakkan orang Minangkabau untuk merantau (Pelly, 1994). Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik.

Merantau dipandang sebagai sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Ketika mereka kembali dari daerah rantau mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Pola ini tidak hanya memperkaya dunia Minangkabau dengan benda-benda material dan investasi tetapi juga memperkuat adat matrilineal Minangkabau dengan gagasan-gagasan dan pengetahuan yang dibawa oleh perantau yang kembali. Harta dan pengetahuan yang di bawa ke kampung halaman oleh para perantau yang sukses akan sangat dihargai oleh penduduk kampung. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal:

mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999).

(35)

2.1.7.1 Pariaman : Daerah Rantau Yang Unik

Minangkabau tidak selalu identik dengan Sumatera Barat. Sumatera Barat merupakan sebuah wilayah territorial, salah satu propinsi menurut administrasi Indonesia, yang batas-batas wilayahnya diatur oleh undang-undang. Sementara Minangkabau adalah sebuah wilayah yang mengacu pada sistem budaya, kultur, yang daerahnya jauh lebih luas dari Sumatera Barat sebagai propinsi. Sebaliknya tidak semua wilayah Sumatera Barat identik dengan Minangkabau secara kultural, misalnya kepulauan Mentawai.

Dari kisah tambo banyak kalangan dari kaum adat para peneliti yang berpendapat bahwa batas wilayah Minangkabau mencakup sebagian besar wilayah Sumatera Barat, sebahagian Riau Bengkulu dan Jambi (Hakimy, 1997).

Bahkan bila ditinjau dari sudut dialek bahasa dan sistem budaya, ada yang berpendapat bahwa wilayah Minangkabau meliputi Negeri Sembilan di Malaysia sekarang (Navis, 1984). sebutan Minangkabau secara adat lebih menekankan pada aspek kultural, bukan territorial administratif.

Wilayah Minangkabau terbagi pada luhak nan tigo dan daerah rantau.

Luhak secara adat dipandang sebagai daerah asal Minangkabau, yang terdiri dari tiga daerah, yaitu luhak Tanah Datar, luhak Agam dan luhak Lima Puluh Kota.

Kini ketiga luhak ini menjadi nama masing-masing kabupaten di Sumatera Barat.

Sementara daerah rantau mengandung dua makna, pertama daerah baru yang dibuka oleh orang Minangkabau dari tiga luhak yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan kepentingan ekonomi. Kedua, daerah pernah menjadi

(36)

bawahan kerajaan Pagaruyung. Pariaman termasuk pada daerah rantau dalam kategori pertama.

Pada masa pemerintahan Pagaruyung antara luhak dengan rantau memiliki sistem pemerintahan yang berbeda, luhak bapanghulu dan rantau barajo. Artinya pemerintahan tertinggi pada masing-masing nagari di wilayah luhak berada di tangan panghulu (datuk) nagari. Sedangkan para wilayah rantau kekuasaan berada ditangan raja yang berpusat di Paguruyung. Sebagai daerah bawahan kerajaan, maka pimpinan nagari diangkat oleh kerajaan. Kekuasaan itu dijabat turun temurun secara partilineal dengan menyandang gelar-gelar tertentu sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Seperti rangkayo di pesisir timur (pesisir selatan sekarang) dan bagindo di pantai barat (Pariman). Bahkan ada yang bergelar rajo (raja), sebagai simbol dari orang-orang bangsawan keturunan kerajaan Pagaruyung (Navis,1984;105-7). Sampai sekarang panggilan untuk orang laki-laki di Pariaman dikenal dengan Ajo, yang berasal dari kata rajo. Sebab secara dialek bahasa orang Pariaman tidak mengenal huruf r.

Salah satu keunikan Pariaman sebagai daerah rantau yang tidak dipunyai oleh daerah lain di Minangkabau, terutama dengan daerah yang tiga Luhak, adalah sampai sekarang kedua pola kekerabatan, patrilineal dan matrilineal, masih dipertahankan. Sistem patrilineal tercermin dalam pemberian gelar kebangsawanan dan sistem matrilineal untuk garis keturunan kesukuan yang berpengaruh pada hak waris harta pusaka. Sama halnya dengan daerah lain di Minangkabau, setiap laki-laki dewasa yang sudah menikah diwariskan gelar adat, Konsekuensi sosiologinya adalah bahwa dirantau terjadi perubahan hirarkis yang tegas dalam masyarakat, antara golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.

(37)

ketek banamo-gadang bagala (kecil punya nama, besar punya gelar), namun gelar suku ibu tidak mencerminkan strata. Lain halnya dengan Pariaman, gelar adatnya diwariskan secara patrilineal artinya tergantung pada gelar ayah dan mencerminkan strata sosial. Yang selanjutnya gelar adat ini berpengaruh pada prestise dan perlakuan sosial masyarakat terhadap gelar yang disandang, terutama pada tradisi dan proses perkawinan. Inilah salah satu identitas Pariaman yang paling dikenal di Minangkabau, dengan tradisi bajapuik-nya.

Tradisi uang japuik ini juga terdapat di Padang yang sampai sekarang masih dilakukan. Di dalam tradisi Bajapuik biasanya ada uang atau benda berharga lain yang diberikan kerabat perempuan kepada kerabat laki-laki. Besar kecilnya nilai jemputan itu biasanya dikaitkan dengan status sosial si calon laki- laki, yang ditandai oleh gelar keturunan seperti sidi, sutan dan bagindo.

Sementara didaerah Padang gelar kebangsawanan adalah sutan dan marah. Marah berasal dari kata meurah, bahasa Aceh, yang artinya raja kecil. Selain tradisi bajapuik, Pariaman juga terkenal dengan upacara rakyat pesta tabuik yang merupakan menjadi tradisi tahunan Upacara tabuik adalah pesta keagamaan yang dilakukan untuk memperingati kematian Hasan dan Husein, yang terbunuh pada perang Karbala. Saat ini pesta tabuik telah berubah menjadi pesta yang bernuansa ekonomis, menjadi komoditi pariwisata yang paling banyak menarik wisatawan lokal dan mancanegara.

2.1.7.2 Orang Minang di Kota Medan

Sejak pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1956, keadaan dipedalaman Sumatera Barat

(38)

menjadi tidak aman, sehingga mendorong orang Minangkabau untuk merantau, selain ke kota Padang mereka juga menuju ke kota-kota di Sumatera Timur dan Utara. Pada saat itu Medan menjadi kota tujuan bagi para perantau. Medan menjadi pusat interaksi bagi penduduk dari berbagai kelompok etnik sejak akhir abad kesembilanbelas termasuk orang Minangkabau yang masuk ke Kota Medan tatkala perkebunan-perkebunan besar dibuka oleh Belanda. Pelly (1989) menyebutkan bahwa kedatangan orang Minangkabau ke Medan bukanlah untuk jadi kuli atau buruh di berbagai perkebunan tersebut, melainkan untuk berdagang dengan cara menjajakan barang dagangannya dari satu perkebunan ke perkebunan yang lain atau menetap di kota untuk berdagang.

Nasution (2002) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa Orang Minangkabau yang merantau pada tahun 1930-an, khususnya yang ke Medan, sebagian besar memilih “Kota Matsum” (suatu bagian wilayah kota Medan) sebagai tempat tinggal mereka, karena daerah ini dekat dengan “Pajak Sentral”

(Pusat Pasar) sebagai pusat kegiatan perdagangan di kota Medan. Baru pada awal tahun 1950-an ketika terjadi gelombang para perantau Minangkabau, maka Sukaramai mulai menjadi tempat bermukim bagi perantau yang tidak memiliki keluarga di Kota Medan.

Saat ini salah satu wilayah pemukiman orang Minang di Medan adalah Kecamatan Medan Denai. Pada umumnya mereka yang menetap di kelurahan ini bekerja sebagai pedagang yang usahanya dapat digolongkan sebagai pedagang kelas menengah ke bawah. Usaha mereka grosir, membuka usaha rumah makan atau restoran, usaha percetakan, tukang jahit, sampai berdagang eceran. Saat ini masyarakat Minang di Kecamatan Medan Denai banyak mengalami perubahan,

(39)

tidak hanya bergerak di bidang perdagangan saja, tetapi mereka telah menduduki hampir semua posisi, baik itu dalam bidang pemerintahan maupun di sektor- sektor swasta yang saat ini sedang berkembang pesat.

Pola perantauan (migrasi) masyarakat Minangkabau saat ini telah mengalami banyak perubahan, jika dulunya secara berkelompok, kini telah beralih secara individual. Hal ini telah disebabkan telah semakin majunya sarana transportasi. Setelah mereka merasa mampu selama beberapa tahun berdiri sendiri, mulailah mereka mengajak anggota keluarga di kampung untuk hidup di perantauan dan di akhir1970-an orang Pariaman di kelurahan ini hidup menetap dan tidak kembali lagi ke kampung halamannya atau sering disebut juga dengan istilah merantau cino.

2.1.8 Sistem Kekerabatan Orang Minangkabau

Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatan matrilinealnya, dimana garis keturunan ditarik dari pihak ibu serta dan hak milik harta pusaka diberikan kepada perempuan. Implikasinya masyarakat Minangkabau secara emosional lebih dekat dengan kerabat pihak ibu daripada dengan kerabat pihak ayah. Dalam sistem materilineal, ada tiga unsur yang sangat dominan, yakni;

1. Garis keturunan melalui garis keturunan ibu.

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami-Matrilokal.

3. Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, keagamaan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

4. Kekuasaan dalam suku “secara teori” berada di Pihak perempuan. Namun realitasnya yang berkuasa adalah saudara laki-lakinya.

(40)

5. Harta pusaka diwariskan mamak kepada kemenakan

Orang Minangkabau berpandangan bahwa sistem matrilineal yang mereka pertahankan bertujuan memperkuat posisi perempuan. Perempuan dilindungi oleh sistem pewarisan matrilineal, dimana rumah dan tanah diperuntukkan bagi perempuan akan tetapi hak kontrol tetap berada ditangan laki-laki yaitu, mamak.

Nenek menjadi pucuk dalam kerabat. Apabila turunan nenek berkembang maka ikatan kekerabatan tersebut disebut sapayuang, dan nenek sebagai payuang.

Sementara laki-laki tua disebut tungganai. Kemudian jika nenek mempunyai beberapa saudara perempuan dan masing-masing mempunyai keturunan, maka masing-masing keturunan itu disebut saparuiuak atau samande dan cabang dari pariuak disebut pariuk. Kumpulan dari beberapa paruik ini yang selanjutnya disebut sapayuang dikepalai oleh seorang penghulu atau datuk. Datuk berasal dari bahasa sanksekerta; da artinya yang mulia dan to artinya orang. Jadi datuak (datuk) artinya orang yang mulia (Navis, 1984).

Penghulu di ranah Minang mempunyai tugas utama memelihara kemenakan disamping tugas-tugas penting lainnya dalam nagari. Memimpin kemenakan dan masyarakat kearah kesempurnaan hidup. Itu pulalah sebabnya penghulu diangkat dan dibesarkan oleh kaumnya. Termasuk menjaga harta pusaka kaum, dan tidak berhak membawa hasil harta kaum ke rumah istrinya (Hakimy, 1997).

Dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, ayah bukan merupakan anggota dari kerabat anak-anaknya. Dia dianggap dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga kerabat, yang disebut sumando. Posisinya berada

(41)

dalam kerabat ibunya dimana dia memiliki peran dan tanggung jawab terhadap anggota kaumnya, walau dia tidak bisa menuntut bagian untuk dirinya. Sementara di rumah hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan.

Beberapa tradisi mulai mengalami pergeseran, salah satunya system menetap bagi laki-laki yang telah menikah, setelah prosesi penikahan mempelai laki-laki biasanya menetap di rumah istrinya, namun sekarang setelah prosesi pernikahan menetap di rumah istri kebanyakan hanya sementara setelah itu suami membawa isterinya menetap di tempat lain. Perubahan lain yang mulai kelihatan adalah sistem exogami, yaitu dilarang terjadinya pernikahan antara sesama suku walau payuang-nya berbeda, apabila masih dianggap memiliki pertalian darah dan berasal dari satu nenek moyang. Akan tetapi di beberapa daerah dan beberapa suku hak ini mulai diperbolehkan asal tidak berada dalam satu payuang.

Terjadinya perubahan ini sangat dipahami oleh orang Minangkabau, karena menurut mereka adat itu bersifat dinamis, yang bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan tidak menyalahi aturan-aturan yang prinsip. Sifat adat yang seperti ini disebutkan dalam pepatah;

Adat dipakai baru (adat dipakai baru)

Kain dipakai usang (kain dipakai usang)

Bacupak sepanjang batuang (bercupak sepanjang betung) Baadat sepanjang jalan (beradat sepanjang jalan) Maliek tuah kan nan manang (Melihat tuah pada yang menang) Mancaliak contoh ka nan sudah (ambil contoh pada yang sudah ada) Manuladan ka nan nyato (teladani yang nyata-nyata benar)

Sekali aie gadang (sekali air besar)

Salaki tapian barasak (sekali tepian beralih)

(42)

Satu hal yang masih tetap bertahan adalah matrilineal discent,yaitu garis keturunan di tarik dari ibu dan hak-hak pewarisan harta pusaka diberikan pada pihak perempuan.

Hubungan kekerabatan dalam sistem matrilineal minangkabau dapat diklasifikasikan pada empat bentuk (Navis, 1984), yaitu:

1. Hubungan kerabat mamak-kemenakan, yaitu hubungan antara anak-anak dengan saudara laki-laki ibunya; atau hubungan anak laki-laki dengan anak saudara perempuannya.

2. Hubungan kerabat suku-sako, yaitu hubungan kerabat yang berdasarkan pada system geneologis matrineal. Dalam kehidupan sosial mulai dari rumah sampai nagari disebut suku.

3. Hubungan induak bako-anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya atau antara seorang perempuan dengan anak saudara laki-lakinya. Artinya seorang perempuan merupakan induak bako dari anak saudara laki-lakinya dan sekaligus merupakan anak pisang dari saudara perempuan bapaknya. Secara sosial hubungan ini lebih mencerminkan peran perempuan di tengah kerabatnya.

Seorang perempuan disamping merupakan kemenakan saudara laki-laki ibunya, ia juga merupakan anak pisang dan induak bako. Dengan demikian perempuan dalam hal ini memerankan dua fungsi, fungsi intern dimana ia adalah anak-anaknya, dan fungsi eksteren sebagai bako dari anak-anak saudara laki-lakinya.

4. Hubungan kerabat andan-pasumandan, yaitu hubungan antara satu rumah dengan rumah, kampung dengan rumah atau kampung yang lain yang

(43)

disebabkan oleh hubungan perkawinan salah satu anggotanya. Hubungan kerabat ini bersifat horizontal, kedua belah pihak mempunyai status yang sama. Hubungan ini mempunyai konsekuensi sosial yang berbeda antar sesamanya, terutama dalam peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian yang dialami oleh ahli rumah masing-masing. Tali kerabat pasumandan member konsekuensi dalam bentuk moral dan material sedangkan tali kerabat andan memiliki konsekuensi dalam hal moral saja. Dukungan moral dan material sebagai konsekuensi hubungan kerabat akan lebih terfokus pada keturunan atau anak-anak yang dari hubungan perkawinan itu. Empat bentuk hubungan kekerabatan matrilineal Minangkabau inilah yang menjadi pengikat masin-masing individu dalam jaringan yang kompleks.

2.1.9 Perkawinan Minangkabau Adat Pariaman

Dalam perjalanan hidupnya, manusia akan melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang biasanya kita sebut daur hidup. Masa-masa daur hidup ini dimulai dari sejak lahir, memasuki masa balita, remaja, dewasa, masa berkeluarga kemudian menjadi tua. Meskipun tiap masa merupakan saat-saat yang istimewa akan tetapi masa berkeluarga atau menikah menjadi suatu masa yang dianggap memasuki babak baru dalam hidup. Peralihan siklus hidup dari remaja dan memasuki tingkat hidup berkeluarga merupakan masa atau peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

Bagi orang Minagkabau tujuan berumah tangga adalah sebagai cara untuk meneruskan garis keturunan ibunya. Sistem kehidupan komunal yang dianut oleh

(44)

orang Minangkabau menempatkan perkawinan menjadi persoalan kaum kerabat konsekuensinya pernikahan bukan hanya menjadi masalah pasangan insan yang hendak menikah, Perkawinan bukan semata-mata hubungan antara dua orang individu, tetapi juga hubungan antara dua kerabat. Hal ini akan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara dua pribadi yang bersangkutan tetapi juga antara dua keluarga. MS Amir (1997) mengatakan bahwa pada umumnya fungsi perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat, agama serta undang-undang negara

2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak 3. Memenuhi kebutuhan manusia akanteman hidup-sattus sosial dan untuk

memperoleh ketentraman batin

4. Memelihara kelangsungan hidup ‘kekerabatan’ untuk mencegah kepunahan Pola perkawinan orang Minang bersifat eksogami (Navis;1985) dimana kedua belah pihak atau salah satu dari pasangan yang menikah tersebut tidak lebur ke dalam kerabat pasangannya. Dengan demikian setiap orang adalah warga kaum dan suku mereka masing-masing serta tidak dapat dialihkan. Perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah antara “awak samo awak”. Pola perkawinan awak samo awak itu berlatar belakang sistem komunal dan kolektivisme yang dianutnya. Bagi masyarakat Sumatera Barat, terutama sekali masyarakat Minangkabau, tujuan perkawinan itu dapat dibagi atas beberapa tujuan, salah satunya adalah untuk memenuhi adat itu sendiri, oleh karena itu harus ditempuh oleh setiap masyarakat dan perkawinan itu sendiri merupakan suatu keharusan.

(45)

Upacara perkawinan Minangkabau mempunyai sistem perkawinan yang sesuai dengan sistem hukum keibuan atau matrilokal. Dalam adat Minangkabau pasangan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kerabat isteri dengan demikian seorang laki-laki/suami datang “dijampuik ka rumah perempuan”, artinya suami /laki-laki menjadi orang yang bertamu disitu dan dia tetap anggota klan ibunya dan tetap bertanggung jawab atas sukunya itu (MS Amir,1987).

Sistem matrilokal memposisikan (suami) sebagai orang asing di atas rumah istrinya, yang disebut dengan sumando. Posisi ayah bukan merupakan anggota dari kerabat anak-anaknya. Posisi laki-laki dalam keluarga sering dikiaskan dengan dramatis abu di ateh tunggua karena apabila sewaktu-waktu angin bertiup kencang maka abu akan beterbangan diterpa angin. Dengan posisi itu bukan berarti pihak semenda tidak diperhatikan karena dianggap tamu ia diposisikan sebagai tamu terhormat. Layanan terhadapnya bagai manatiang minyak panuah (menating minyak penuh) yang artinya harus hati-hati karena orang semenda itu harus dijaga perasaannya agar tidak tersinggung. Ibaratnya membawa minyak yang penuh harus hati-hati membawanya (Navis,1986).

Meskipun dalam adat Minangkabau pihak laki-laki yang pindah bermukim ke pihak perempuan tidak serta merta pihak lelaki berpindah suku. Ia tetap milik sukunya. Jika pada pihak istrinya ia adalah semenda, suami dan ayah maka di sukunya ia adalah mamak (paman). Peran laki-laki dalam adat Minangkabau memikul tanggung jawab ganda, dalam sukunya ia adalah mamak yang bertanggung jawab di rumah kemanakannya dan sekaligus ayah bertanggung jawab di rumah istrinya. Terhadap anak kemanakan perempuan bimbingan mamak meliputi persiapan untuk membuat warisan dan untuk melajutkan garis

(46)

keturunan. Seorang mamak juga harus sanggup juga menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di dalam kaum anak-kemanakan tanpa menyerahkannya pada orang ketiga dan mampu mengatasi setiap kesulitan yang timbul dalam keluarga materilinealnya (Hakimy, 1984).

Perkawinan orang Minangkabau selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat perkawinan adat Minangkabau adalah sebagai berikut;

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau berasal dari suku yang sama, kecuali persukuan itu berasal dari Nagari atau luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

4. Calon suami (mempelai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Fenomena budaya orang Minangkabau pada upacara perkawinan banyak terdapat variasi, baik di Ranah Minang maupun yang berada di perantauan. Ada beberapa tahapan perkawinan di dalam tradisi perkawinan adat Minangkabau.

Tahapan-tahapan ini secara garis besar hampir sama di seluruh wilayah Minangkabau, tetapi di beberapa daerah memiliki teknis berbeda seperti pada orang Pariaman.Secara umum upacara perkawinan Minangkabau dapat digolongkan dalam tiga tahap:

(47)

2.1.9.1 Tahap Sebelum Perkawinan

Di dalam tahap sebelum perkawinan, ada beberapa kegiatan yang berlangsung, diantaranya;

1. Acara perkenalan, karena pada umumnya tidak terdapat perkenalan antara bujang dan gadis sebelum mereka kawin. Hal ini menyatakan bahwa kawin bukanlah masalah sepasang manusia saja, tetapi berkenaan dengan seluruh warga masyarakat Nagari itu.

2. Perminangan, yang juga dilakukan bertahap seperti; penjajakan (maresek- resek), perminangan resmi dan batuka tando. Pada peminangan resmi dikenal dengan istilah menilangkai (mengirim utusan untuk membicarakan peminangan secara resmi)

3. Batuka tando, yaitu bertukar barang-barang tertentu seperti cicin, gelang, kain, keris, atau tidak ada sama sekali.

4. Manjapuik tunangan, yaitu menjemput calon anak dara oleh gadis-gadis dari keluarga calon mertua dan dibawa kerumah calon mertuanya. Pulangnya diantar oleh gadis-gadis yang menjemputnya dulu (malapeh tunangan).

5. Manjalang(menjelang), maksudnya mengantar makanan yang biasa disebut bawaan yang dilakukan pada hari-hari baik / bulan baik.

6. Menentukan hari, maksudnya untuk menentukan kapan hari perkawinan akan dilaksanakan.

7. Mengundang, maksudnya mengundang orang datang pada pesta perkawinan.

2.1.9.2 Tahap Pelaksanaan Perkawinan :

Pada tahap pelaksanaan perkawinan, prosesi acaranya adalah sebagai berikut;

(48)

1. Upacara babako, Upacara dilakukan di rumah bako masing-masing (rumah

keluarga dari pihak ayah mempelai berasal masing-masing). Pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako.

Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara itu, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan kerumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Hakikat dari acara ini ialah bahwa pada peristiwa penting semacam itu, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan merasa harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka. Setelah mendoa, mempelai dilepas dengan membawa pemberian dari bako. Biasanya pemberian ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing bako.

2. Malam bainai (ber-inai) dan batagak gala (pemberian gelar), malam

bainai adalah artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Biasanya acara dilakukan pada malam hari dirumah masing-masing sebelum pengantin laki-laki dijemput untuk di bawa ke rumah pengantin wanita, setelah berinai dilakukan pemberian gelar atau batagak gala untuk calon pengantin laki-laki, misalnya sutan, sidi, dan

Gambar

Gambar 5.2 Penyerahan sumbangsih
Gambar 5.4 wadah-wadah uang
Gambar 5.5 dendeng balado

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang dipakai pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan, ada tiga permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian ini, pertama,

Tujuan penelitian ini untuk menginventarisasi kata sapaan bahasa Minangkabau dialek Pariaman, dan melestarikan bahasa daerah sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional.. Data

Kedudukan perkawinan adat bajampuik daerah Pariaman Sumatera Barat dihubungkan dengan syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jenis-jenis dan tingkat kepentingan budaya dari tumbuhan yang digunakan dalam tradisi balimau di Kota Pariaman.. Penelitian

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Makna Upacara Adat Kematian Pada Masyarakat Minangkabau Di Kabupaten Padang Pariaman seiring dengan berkembang zaman, eksistensi hukum adat mulai memudar diharapkan kepada

Penelitian tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan salah satu rangkaian acara yang terdapat pada upacara perkawinan adat besar Angkola yakni acara marosong-osong

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA (PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA