• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Konsep

2.1.8 Sistem Kekerabatan Orang Minangkabau

Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatan matrilinealnya, dimana garis keturunan ditarik dari pihak ibu serta dan hak milik harta pusaka diberikan kepada perempuan. Implikasinya masyarakat Minangkabau secara emosional lebih dekat dengan kerabat pihak ibu daripada dengan kerabat pihak ayah. Dalam sistem materilineal, ada tiga unsur yang sangat dominan, yakni;

1. Garis keturunan melalui garis keturunan ibu.

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami-Matrilokal.

3. Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, keagamaan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

4. Kekuasaan dalam suku “secara teori” berada di Pihak perempuan. Namun realitasnya yang berkuasa adalah saudara laki-lakinya.

5. Harta pusaka diwariskan mamak kepada kemenakan

Orang Minangkabau berpandangan bahwa sistem matrilineal yang mereka pertahankan bertujuan memperkuat posisi perempuan. Perempuan dilindungi oleh sistem pewarisan matrilineal, dimana rumah dan tanah diperuntukkan bagi perempuan akan tetapi hak kontrol tetap berada ditangan laki-laki yaitu, mamak.

Nenek menjadi pucuk dalam kerabat. Apabila turunan nenek berkembang maka ikatan kekerabatan tersebut disebut sapayuang, dan nenek sebagai payuang.

Sementara laki-laki tua disebut tungganai. Kemudian jika nenek mempunyai beberapa saudara perempuan dan masing-masing mempunyai keturunan, maka masing-masing keturunan itu disebut saparuiuak atau samande dan cabang dari pariuak disebut pariuk. Kumpulan dari beberapa paruik ini yang selanjutnya disebut sapayuang dikepalai oleh seorang penghulu atau datuk. Datuk berasal dari bahasa sanksekerta; da artinya yang mulia dan to artinya orang. Jadi datuak (datuk) artinya orang yang mulia (Navis, 1984).

Penghulu di ranah Minang mempunyai tugas utama memelihara kemenakan disamping tugas-tugas penting lainnya dalam nagari. Memimpin kemenakan dan masyarakat kearah kesempurnaan hidup. Itu pulalah sebabnya penghulu diangkat dan dibesarkan oleh kaumnya. Termasuk menjaga harta pusaka kaum, dan tidak berhak membawa hasil harta kaum ke rumah istrinya (Hakimy, 1997).

Dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, ayah bukan merupakan anggota dari kerabat anak-anaknya. Dia dianggap dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga kerabat, yang disebut sumando. Posisinya berada

dalam kerabat ibunya dimana dia memiliki peran dan tanggung jawab terhadap anggota kaumnya, walau dia tidak bisa menuntut bagian untuk dirinya. Sementara di rumah hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga yang perempuan.

Beberapa tradisi mulai mengalami pergeseran, salah satunya system menetap bagi laki-laki yang telah menikah, setelah prosesi penikahan mempelai laki-laki biasanya menetap di rumah istrinya, namun sekarang setelah prosesi pernikahan menetap di rumah istri kebanyakan hanya sementara setelah itu suami membawa isterinya menetap di tempat lain. Perubahan lain yang mulai kelihatan adalah sistem exogami, yaitu dilarang terjadinya pernikahan antara sesama suku walau payuang-nya berbeda, apabila masih dianggap memiliki pertalian darah dan berasal dari satu nenek moyang. Akan tetapi di beberapa daerah dan beberapa suku hak ini mulai diperbolehkan asal tidak berada dalam satu payuang.

Terjadinya perubahan ini sangat dipahami oleh orang Minangkabau, karena menurut mereka adat itu bersifat dinamis, yang bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan tidak menyalahi aturan-aturan yang prinsip. Sifat adat yang seperti ini disebutkan dalam pepatah;

Adat dipakai baru (adat dipakai baru)

Kain dipakai usang (kain dipakai usang)

Bacupak sepanjang batuang (bercupak sepanjang betung) Baadat sepanjang jalan (beradat sepanjang jalan) Maliek tuah kan nan manang (Melihat tuah pada yang menang) Mancaliak contoh ka nan sudah (ambil contoh pada yang sudah ada) Manuladan ka nan nyato (teladani yang nyata-nyata benar)

Sekali aie gadang (sekali air besar)

Salaki tapian barasak (sekali tepian beralih)

Satu hal yang masih tetap bertahan adalah matrilineal discent,yaitu garis keturunan di tarik dari ibu dan hak-hak pewarisan harta pusaka diberikan pada pihak perempuan.

Hubungan kekerabatan dalam sistem matrilineal minangkabau dapat diklasifikasikan pada empat bentuk (Navis, 1984), yaitu:

1. Hubungan kerabat mamak-kemenakan, yaitu hubungan antara anak-anak dengan saudara laki-laki ibunya; atau hubungan anak laki-laki dengan anak saudara perempuannya.

2. Hubungan kerabat suku-sako, yaitu hubungan kerabat yang berdasarkan pada system geneologis matrineal. Dalam kehidupan sosial mulai dari rumah sampai nagari disebut suku.

3. Hubungan induak bako-anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya atau antara seorang perempuan dengan anak saudara laki-lakinya. Artinya seorang perempuan merupakan induak bako dari anak saudara laki-lakinya dan sekaligus merupakan anak pisang dari saudara perempuan bapaknya. Secara sosial hubungan ini lebih mencerminkan peran perempuan di tengah kerabatnya.

Seorang perempuan disamping merupakan kemenakan saudara laki-laki ibunya, ia juga merupakan anak pisang dan induak bako. Dengan demikian perempuan dalam hal ini memerankan dua fungsi, fungsi intern dimana ia adalah anak-anaknya, dan fungsi eksteren sebagai bako dari anak-anak saudara laki-lakinya.

4. Hubungan kerabat andan-pasumandan, yaitu hubungan antara satu rumah dengan rumah, kampung dengan rumah atau kampung yang lain yang

disebabkan oleh hubungan perkawinan salah satu anggotanya. Hubungan kerabat ini bersifat horizontal, kedua belah pihak mempunyai status yang sama. Hubungan ini mempunyai konsekuensi sosial yang berbeda antar sesamanya, terutama dalam peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian yang dialami oleh ahli rumah masing-masing. Tali kerabat pasumandan member konsekuensi dalam bentuk moral dan material sedangkan tali kerabat andan memiliki konsekuensi dalam hal moral saja. Dukungan moral dan material sebagai konsekuensi hubungan kerabat akan lebih terfokus pada keturunan atau anak-anak yang dari hubungan perkawinan itu. Empat bentuk hubungan kekerabatan matrilineal Minangkabau inilah yang menjadi pengikat masin-masing individu dalam jaringan yang kompleks.

2.1.9 Perkawinan Minangkabau Adat Pariaman

Dalam perjalanan hidupnya, manusia akan melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang biasanya kita sebut daur hidup. Masa-masa daur hidup ini dimulai dari sejak lahir, memasuki masa balita, remaja, dewasa, masa berkeluarga kemudian menjadi tua. Meskipun tiap masa merupakan saat-saat yang istimewa akan tetapi masa berkeluarga atau menikah menjadi suatu masa yang dianggap memasuki babak baru dalam hidup. Peralihan siklus hidup dari remaja dan memasuki tingkat hidup berkeluarga merupakan masa atau peristiwa penting dalam kehidupan manusia.

Bagi orang Minagkabau tujuan berumah tangga adalah sebagai cara untuk meneruskan garis keturunan ibunya. Sistem kehidupan komunal yang dianut oleh

orang Minangkabau menempatkan perkawinan menjadi persoalan kaum kerabat konsekuensinya pernikahan bukan hanya menjadi masalah pasangan insan yang hendak menikah, Perkawinan bukan semata-mata hubungan antara dua orang individu, tetapi juga hubungan antara dua kerabat. Hal ini akan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara dua pribadi yang bersangkutan tetapi juga antara dua keluarga. MS Amir (1997) mengatakan bahwa pada umumnya fungsi perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat, agama serta undang-undang negara

2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak 3. Memenuhi kebutuhan manusia akanteman hidup-sattus sosial dan untuk

memperoleh ketentraman batin

4. Memelihara kelangsungan hidup ‘kekerabatan’ untuk mencegah kepunahan Pola perkawinan orang Minang bersifat eksogami (Navis;1985) dimana kedua belah pihak atau salah satu dari pasangan yang menikah tersebut tidak lebur ke dalam kerabat pasangannya. Dengan demikian setiap orang adalah warga kaum dan suku mereka masing-masing serta tidak dapat dialihkan. Perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah antara “awak samo awak”. Pola perkawinan awak samo awak itu berlatar belakang sistem komunal dan kolektivisme yang dianutnya. Bagi masyarakat Sumatera Barat, terutama sekali masyarakat Minangkabau, tujuan perkawinan itu dapat dibagi atas beberapa tujuan, salah satunya adalah untuk memenuhi adat itu sendiri, oleh karena itu harus ditempuh oleh setiap masyarakat dan perkawinan itu sendiri merupakan suatu keharusan.

Upacara perkawinan Minangkabau mempunyai sistem perkawinan yang sesuai dengan sistem hukum keibuan atau matrilokal. Dalam adat Minangkabau pasangan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kerabat isteri dengan demikian seorang laki-laki/suami datang “dijampuik ka rumah perempuan”, artinya suami /laki-laki menjadi orang yang bertamu disitu dan dia tetap anggota klan ibunya dan tetap bertanggung jawab atas sukunya itu (MS Amir,1987).

Sistem matrilokal memposisikan (suami) sebagai orang asing di atas rumah istrinya, yang disebut dengan sumando. Posisi ayah bukan merupakan anggota dari kerabat anak-anaknya. Posisi laki-laki dalam keluarga sering dikiaskan dengan dramatis abu di ateh tunggua karena apabila sewaktu-waktu angin bertiup kencang maka abu akan beterbangan diterpa angin. Dengan posisi itu bukan berarti pihak semenda tidak diperhatikan karena dianggap tamu ia diposisikan sebagai tamu terhormat. Layanan terhadapnya bagai manatiang minyak panuah (menating minyak penuh) yang artinya harus hati-hati karena orang semenda itu harus dijaga perasaannya agar tidak tersinggung. Ibaratnya membawa minyak yang penuh harus hati-hati membawanya (Navis,1986).

Meskipun dalam adat Minangkabau pihak laki-laki yang pindah bermukim ke pihak perempuan tidak serta merta pihak lelaki berpindah suku. Ia tetap milik sukunya. Jika pada pihak istrinya ia adalah semenda, suami dan ayah maka di sukunya ia adalah mamak (paman). Peran laki-laki dalam adat Minangkabau memikul tanggung jawab ganda, dalam sukunya ia adalah mamak yang bertanggung jawab di rumah kemanakannya dan sekaligus ayah bertanggung jawab di rumah istrinya. Terhadap anak kemanakan perempuan bimbingan mamak meliputi persiapan untuk membuat warisan dan untuk melajutkan garis

keturunan. Seorang mamak juga harus sanggup juga menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di dalam kaum anak-kemanakan tanpa menyerahkannya pada orang ketiga dan mampu mengatasi setiap kesulitan yang timbul dalam keluarga materilinealnya (Hakimy, 1984).

Perkawinan orang Minangkabau selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat perkawinan adat Minangkabau adalah sebagai berikut;

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau berasal dari suku yang sama, kecuali persukuan itu berasal dari Nagari atau luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

4. Calon suami (mempelai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Fenomena budaya orang Minangkabau pada upacara perkawinan banyak terdapat variasi, baik di Ranah Minang maupun yang berada di perantauan. Ada beberapa tahapan perkawinan di dalam tradisi perkawinan adat Minangkabau.

Tahapan-tahapan ini secara garis besar hampir sama di seluruh wilayah Minangkabau, tetapi di beberapa daerah memiliki teknis berbeda seperti pada orang Pariaman.Secara umum upacara perkawinan Minangkabau dapat digolongkan dalam tiga tahap:

2.1.9.1 Tahap Sebelum Perkawinan

Di dalam tahap sebelum perkawinan, ada beberapa kegiatan yang berlangsung, diantaranya;

1. Acara perkenalan, karena pada umumnya tidak terdapat perkenalan antara bujang dan gadis sebelum mereka kawin. Hal ini menyatakan bahwa kawin bukanlah masalah sepasang manusia saja, tetapi berkenaan dengan seluruh warga masyarakat Nagari itu.

2. Perminangan, yang juga dilakukan bertahap seperti; penjajakan (maresek-resek), perminangan resmi dan batuka tando. Pada peminangan resmi dikenal dengan istilah menilangkai (mengirim utusan untuk membicarakan peminangan secara resmi)

3. Batuka tando, yaitu bertukar barang-barang tertentu seperti cicin, gelang, kain, keris, atau tidak ada sama sekali.

4. Manjapuik tunangan, yaitu menjemput calon anak dara oleh gadis-gadis dari keluarga calon mertua dan dibawa kerumah calon mertuanya. Pulangnya diantar oleh gadis-gadis yang menjemputnya dulu (malapeh tunangan).

5. Manjalang(menjelang), maksudnya mengantar makanan yang biasa disebut bawaan yang dilakukan pada hari-hari baik / bulan baik.

6. Menentukan hari, maksudnya untuk menentukan kapan hari perkawinan akan dilaksanakan.

7. Mengundang, maksudnya mengundang orang datang pada pesta perkawinan.

2.1.9.2 Tahap Pelaksanaan Perkawinan :

Pada tahap pelaksanaan perkawinan, prosesi acaranya adalah sebagai berikut;

1. Upacara babako, Upacara dilakukan di rumah bako masing-masing (rumah

keluarga dari pihak ayah mempelai berasal masing-masing). Pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako.

Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara itu, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan kerumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Hakikat dari acara ini ialah bahwa pada peristiwa penting semacam itu, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan merasa harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka. Setelah mendoa, mempelai dilepas dengan membawa pemberian dari bako. Biasanya pemberian ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing bako.

2. Malam bainai (ber-inai) dan batagak gala (pemberian gelar), malam

bainai adalah artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Biasanya acara dilakukan pada malam hari dirumah masing-masing sebelum pengantin laki-laki dijemput untuk di bawa ke rumah pengantin wanita, setelah berinai dilakukan pemberian gelar atau batagak gala untuk calon pengantin laki-laki, misalnya sutan, sidi, dan

lain-lain. Gelar yang diberikan tergantung pada gelar ayah dari pengantin laki-laki.

3. Nikah, adalah perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang wanita

untuk hidup bersama sesuai dengan ajaran agama Islam.

4. Malapeh/manjapuik marapulai, maksudnya adalah melepas atau

menjemput pengantin laki-laki kerumah pengantin wanita untuk menemui mertuanya. Selesai mengucapkan akad nikah dan kedua belah pihak telah sah berstatus suami istri maka pihak pria (marapulai) akan kembali ke rumah kerabatnya. Kemudian marapulai akan dijemput untuk dibawa kembali ke rumah anak daro (perempuan). Pada waktu itulah segala adat-istiadat yang telah disepakati sebelumnya harus dipenuhi.

5. Baralek, atau pesta pernikahan, adalah upacara yang dilakukan untuk

memeriahkan perkawinan dan merupakan hari yang paling berkesan dan penting bagi calon mempelai.

2.1.9.3 Badoncek

Dalam masyarakat Pariaman, malam penutupan perhelatan perkawinan ada aktivitas yang dikenal dengan nama badoncek. Di malam hari setelah pesta perkawinan adalah masa untuk berhitung.. Kata badoncek dari asal kata doncek (lompat/lempar). Kegiatan badoncek ini merupakan suatu kegiatan tolong menolong dalam pesta perkawinan dan tidak dilaksanakan secara spontan.

Orang Minangkabau memiliki pepatah kaba baik diimbauan, kaba buruak diambauan. Pepatah tersebut masudnya bahwasanya jika ada kabar baik umumkanlah kepada orang banyak, sedangkan kabar buruk tidak diberitahukan

namun bersifat spontan. Acara Pernikahan merupakan acara yang penting dan merupakan suatu kabar baik sehingga sudah kewajiban bagi kaum kerabat untuk mengundang kaum kerabat lain, jiran tetangga, urang sakampuang, dan sa-nagari agar datang dicara pernikahan dan acara badoncek.

Acara badoncek dalam pesta perkawinan biasanya diadakan pada malam hari, setelah shalat isya. Kegiatan ini tidaklah bersifat spontan karena ada panitia yang dipilih untuk pelaksanaan badoncek ini. Pada bagian tertentu dalam acara tersebut, ada pihak yang memandu pencarian dana dari pengunjung dan undangan yang hadir. Pancingan awal biasanya dilakukan oleh pembawa acara dengan menjadi penyumbang pertama dengan menyebutkan nilai donasi. Biasanya karena diadakan pada malam hari, tamu-tamu yang tertinggal biasanya keluarga, kaum kerabat maupun urang sakampuang.

Awalnya target yang hendak dicapai akan diumumkan pada hadirin setelah dihitung berapa uang yang telah terpakai dan dihitung juga berapa kekurangannya, selanjutnya pembawa acara menyapa pengunjung atau undangan lain kemudian barulah dilanjutkan dengan undangan untuk turut memberikan sumbangan. Pada masyarakat Minang perantauan peserta badoncek selain sanak famili biasanya adalah teman-teman dalam satu perkumpulan, orang Minang yang merantau membentuk perkumpulan yang biasanya didasarkan pada daerah asal mereka atapun marga.

Badoncek biasanya dibawakan oleh seorang protokol. Si pembawa acara ini haruslah orang yang pandai bicara, mampu mengikat hadirin dalam acara tersebut, serta mampu memikat perasaan atau emosi penonton agar berlomba-lomba menyumbang lebih banyak. Hal ini disebabkan dalam proses

acara badoncek ini, penonton diprovokasi agar termotivasi untuk menyumbang yang lebih banyak. Sambil berjalannya proses badoncek, panitia badoncek menghitung perolehan dana sumbangan. Bila dirasa kurang, maka panitia terus-menerus memprovokasi pengunjung untuk terus menambah donasinya. Model provokasi ini, terkadang dibumbui dengan kata-kata bujukan, ungkapan pantun bahkan sindiran-sindiran.

Masyarakat Minangkabau sendiri banyak menggunakan ungkapan-ungkapan untuk menyampaikan maksudnya. Bahwa cara berfikir orang minangkabau bersifat metaforikal, yaitu sifat dan ciri alam dimetaforakan ke sifat dan prilaku manusia. Kecermatan orang Minangkabau mengabstraksi alam tempat tinggalnya memperkaya pengetahuan mereka sehingga melahirkan berbagai bentuk ungkapan, peribahasa ataupun kata-kata yang mengandung kias yang menjadi salah satu petunjuk keminangan mereka.

2.2 Kajian Teoretis 2.2.1 Antropolinguistik

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan, dan kekerabatan.

Antropolinguistik (anthropolinguistics) merupakan bidang ilmu interdisipliner yang mempelajari hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia. Dalam berbagai literatur, terdapat jugaistilah antropologi linguistik (linguistic anthropology), linguistik antropologi (anthropological linguistics), linguistik budaya (cultural linguistics), dan etnolinguistik (ethnolinguistics) untuk mengacu pada acuan yang hampir sama. Istilah yang lebih sering digunakan

adalah antropologi linguistik (linguistic anthropology), tetapi istilah yang lebih netral dapat digunakan antropo-linguistik dengan beranalogi pada sosiolinguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, dan neurolinguistik (Sibarani, 2012).

Sibarani (2004) menyebutkan bahwa dari sudut antropolinguistik, semua ragam bahasa menggambarkan cara berfikir masyarakatnya dan berbicara sesuai dengan cara berfikirnya termasuk cara-cara dalam seluk-beluk kebudayaannya.

Hal ini antropolinguistik tepat digunakan untuk mengkaji tradisi lisan. Sebagai bidang ilmu interdisipliner, ada tiga bidang kajian antropolinguistik, yakni studi bahasa, studi budaya, dan studi aspek lain kehidupan manusia, yang ketiga bidang kajian itu dipelajari dari kerangka kerja linguistik dan antropologi. Ketiga bidang kajian itu pada hakikatnya dianalisis secara satu kesatuan yang holistik: bidang bahasa dalam kajian teks (unsur lingual) dan ko-teks paralinguistik, proksemik atau kinetik, bidang budaya dalam kajian konteks budaya atau ko-teks unsur material, dan aspek-aspek lain kehidupan manusia dalam kajian konteks sosial, situasi, dan ideologi.

Melalui pendekatan antropolinguistik, dari ketiga bidang itu akan ditemukan nilai-norma dan kearifan lokal, yang pada akhirnya direvitalisasi dan dilestarikan supaya dapat bermanfaat untuk membentuk karakter sebagai identitas bangsa

2.2.2 Analisis Struktur Wacana

Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.

Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian

kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren. Kress (1985) mengungkapkan bahwa istilah wacana cenderung digunakan dalam hal-hal yang berdasar/berorientasi kepada bahasa. Maka apabila materi, bentuk dan struktur bahasa yang dikemukakan, penekanannya cenderung kepada tekstualitas dan apabila yang dikemukakan adalah isi, fungsi dan kepentingan sosial bahasa maka itu cenderung kepada wacana.

Erianto (2001) memaparkan tentang para ahli yang mengembangkan analisis wacana, salah satunya adalah Van Dijk. Penelitian teks pada tradisi badoncek ini menggunakan konsep struktur wacana Van Dijk. Tiga dimensi wacana oleh Van Dijk dimana teks dibagi menjadi 3 (tiga) yakni struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro adalah struktur luar pembentuk wacana. Superstruktur berkaitan dengan skematik wacana. Struktur mikro mencakup elemen-elemen kebahasaan yang digunakan dalam wacana.

Teks tidak hanya didefenisikan mencerminkan suatu pandangan tertentu atau topik tertentu tetapi suatu pandangan umum yang koheren. Dalam teori Van Dijk terdapat tiga kerangka struktur teks yakni struktur makro, superstruktur dan struktur mikro dimana ketiga struktur ini saling membangun di dalam sebuah teks.

Oleh karena itu, kajian tiga kerangka struktur teks tersebut dianggap penting untuk memahami teks tradisi lisan.

Van Dijk (1980) melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan. Pertama, struktur makro yang merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Struktur makro merupakan makna keseluruhan dari sebuah

teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Kedua, superstruktur yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh.

Superstruktur atau alur merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Superstruktur secara garis besar tersusun atas tiga elemen yakni pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus mendukung secara koheren. Ketiga adalah struktur mikro,

Superstruktur atau alur merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Superstruktur secara garis besar tersusun atas tiga elemen yakni pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion) yang masing-masing harus mendukung secara koheren. Ketiga adalah struktur mikro,

Dokumen terkait