• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Konsep

2.1.7 Merantau

Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Di dalam Kato (2005) merantau dapat dibedakan menjadi tiga jenis cara merantau atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau yaitu merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler) dan merantau Cino (merantau secara Cina). Migrasi bukanlah prilaku acak, sebab itu orang-orang yang memutuskan untuk bermigrasi dapat dianggap orang-orang terpilih dari antara populasi (Guillet dan Uzzel dalam Pelly, 1994). Merantau bagi orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang lama. Konsep rantau bagi masyarakat Minangkabau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga

berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan serta menjadi kawasan perdagangan.

Struktur sosial masyarakat Minangkabau sendiri mendorong kaum laki-lakinya untuk merantau. Bagi masyarakat Minangkabau seorang laki-laki yang belum menikah ‘bujang’ mempunyai status sosial yang rendah dan tidak sempurna.

Navis (1986) menyebutkan bahwa merantau merupakan produk kebudayaan masyarakat Minangkabau, dimana setiap anak muda diharuskan merantau. Dalam sebuah pantun disebutkan :

Karatau madang di hulu Pohon meranti tumbuh di hulu Babuah babungo balun Berbuah berbunga belum Marantau bujang daulu Merantau laki-laki dulu

Di rumah baguno balun Di rumah (di kampong) belum berguna

Dari pantun di atas ditujukan bahwa kepada orang laki-laki muda (bujang) untuk pergi merantau karena dikampungnya ia dianggap dewasa dan belum berguna. Yang dimaksud dengan ‘baguno balun’, adalah belum diperlukan sebagai pasangan hidup oleh wanita, atau belum bisa kawin, kerena belum mempunyai pekerjaan atau menghasilan tetap. Untuk membebaskan diri dari posisi ini salah satunya adalah merantau. Merantau menjadi pilihan sebab status anak laki-laki di Minang yang pada dasarnya tak punya apa-apa. Dia bisa berusaha di kampungnya di atas harta pusaka yang ada, akan tetapi harta itu jatuhnya kepada anak yang perempuan. Anak laki-laki tak akan dapat mewariskan harta itu untuk anaknya sendiri, sebab anaknya itu adalah suku lain atau orang lain.

Kato (2005) menemukan bahwa ketika gerakan merantau semakin popular terdapat pula ada pola baru dalam tradisi merantau orang Minangkabau setelah Perang Dunia II. Setelah perang, merantau terkait eksklusif pada keluarga inti.

Para lelaki atau suami yang merantau akan membawa sekaligus istri dan anaknya, atau merantau terlebih dahulu baru kemudian menjemput istri dan anak-anaknya untuk tinggal bersama di rantau. Pola merantau seperti ini disebut juga rantau cina “rantau cino”. Kaum perantau ini akan cenderung tinggal lebih lama di tempat-tempat yang lebih jauh dari tempat asalnya, bisa mencapai kota-kota besar seperti Medan, Jakarta dan lain-lain.

Namun esensi dari merantau tersebut belum berubah, bahwa suku Minangkabau selalu memakai kesempatan mengunjungi daerah asal sebagai saat untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan dan prestise. Alam rantau adalah untuk memperkaya dan menguatkan alam Minangkabau; gagasan ini merupakan dasar dari ‘misi’ budaya yang menggerakkan orang Minangkabau untuk merantau (Pelly, 1994). Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik.

Merantau dipandang sebagai sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Ketika mereka kembali dari daerah rantau mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Pola ini tidak hanya memperkaya dunia Minangkabau dengan benda-benda material dan investasi tetapi juga memperkuat adat matrilineal Minangkabau dengan gagasan-gagasan dan pengetahuan yang dibawa oleh perantau yang kembali. Harta dan pengetahuan yang di bawa ke kampung halaman oleh para perantau yang sukses akan sangat dihargai oleh penduduk kampung. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal:

mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999).

2.1.7.1 Pariaman : Daerah Rantau Yang Unik

Minangkabau tidak selalu identik dengan Sumatera Barat. Sumatera Barat merupakan sebuah wilayah territorial, salah satu propinsi menurut administrasi Indonesia, yang batas-batas wilayahnya diatur oleh undang-undang. Sementara Minangkabau adalah sebuah wilayah yang mengacu pada sistem budaya, kultur, yang daerahnya jauh lebih luas dari Sumatera Barat sebagai propinsi. Sebaliknya tidak semua wilayah Sumatera Barat identik dengan Minangkabau secara kultural, misalnya kepulauan Mentawai.

Dari kisah tambo banyak kalangan dari kaum adat para peneliti yang berpendapat bahwa batas wilayah Minangkabau mencakup sebagian besar wilayah Sumatera Barat, sebahagian Riau Bengkulu dan Jambi (Hakimy, 1997).

Bahkan bila ditinjau dari sudut dialek bahasa dan sistem budaya, ada yang berpendapat bahwa wilayah Minangkabau meliputi Negeri Sembilan di Malaysia sekarang (Navis, 1984). sebutan Minangkabau secara adat lebih menekankan pada aspek kultural, bukan territorial administratif.

Wilayah Minangkabau terbagi pada luhak nan tigo dan daerah rantau.

Luhak secara adat dipandang sebagai daerah asal Minangkabau, yang terdiri dari tiga daerah, yaitu luhak Tanah Datar, luhak Agam dan luhak Lima Puluh Kota.

Kini ketiga luhak ini menjadi nama masing-masing kabupaten di Sumatera Barat.

Sementara daerah rantau mengandung dua makna, pertama daerah baru yang dibuka oleh orang Minangkabau dari tiga luhak yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan kepentingan ekonomi. Kedua, daerah pernah menjadi

bawahan kerajaan Pagaruyung. Pariaman termasuk pada daerah rantau dalam kategori pertama.

Pada masa pemerintahan Pagaruyung antara luhak dengan rantau memiliki sistem pemerintahan yang berbeda, luhak bapanghulu dan rantau barajo. Artinya pemerintahan tertinggi pada masing-masing nagari di wilayah luhak berada di tangan panghulu (datuk) nagari. Sedangkan para wilayah rantau kekuasaan berada ditangan raja yang berpusat di Paguruyung. Sebagai daerah bawahan kerajaan, maka pimpinan nagari diangkat oleh kerajaan. Kekuasaan itu dijabat turun temurun secara partilineal dengan menyandang gelar-gelar tertentu sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Seperti rangkayo di pesisir timur (pesisir selatan sekarang) dan bagindo di pantai barat (Pariman). Bahkan ada yang bergelar rajo (raja), sebagai simbol dari orang-orang bangsawan keturunan kerajaan Pagaruyung (Navis,1984;105-7). Sampai sekarang panggilan untuk orang laki-laki di Pariaman dikenal dengan Ajo, yang berasal dari kata rajo. Sebab secara dialek bahasa orang Pariaman tidak mengenal huruf r.

Salah satu keunikan Pariaman sebagai daerah rantau yang tidak dipunyai oleh daerah lain di Minangkabau, terutama dengan daerah yang tiga Luhak, adalah sampai sekarang kedua pola kekerabatan, patrilineal dan matrilineal, masih dipertahankan. Sistem patrilineal tercermin dalam pemberian gelar kebangsawanan dan sistem matrilineal untuk garis keturunan kesukuan yang berpengaruh pada hak waris harta pusaka. Sama halnya dengan daerah lain di Minangkabau, setiap laki-laki dewasa yang sudah menikah diwariskan gelar adat, Konsekuensi sosiologinya adalah bahwa dirantau terjadi perubahan hirarkis yang tegas dalam masyarakat, antara golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.

ketek banamo-gadang bagala (kecil punya nama, besar punya gelar), namun gelar suku ibu tidak mencerminkan strata. Lain halnya dengan Pariaman, gelar adatnya diwariskan secara patrilineal artinya tergantung pada gelar ayah dan mencerminkan strata sosial. Yang selanjutnya gelar adat ini berpengaruh pada prestise dan perlakuan sosial masyarakat terhadap gelar yang disandang, terutama pada tradisi dan proses perkawinan. Inilah salah satu identitas Pariaman yang paling dikenal di Minangkabau, dengan tradisi bajapuik-nya.

Tradisi uang japuik ini juga terdapat di Padang yang sampai sekarang masih dilakukan. Di dalam tradisi Bajapuik biasanya ada uang atau benda berharga lain yang diberikan kerabat perempuan kepada kerabat laki-laki. Besar kecilnya nilai jemputan itu biasanya dikaitkan dengan status sosial si calon laki-laki, yang ditandai oleh gelar keturunan seperti sidi, sutan dan bagindo.

Sementara didaerah Padang gelar kebangsawanan adalah sutan dan marah. Marah berasal dari kata meurah, bahasa Aceh, yang artinya raja kecil. Selain tradisi bajapuik, Pariaman juga terkenal dengan upacara rakyat pesta tabuik yang merupakan menjadi tradisi tahunan Upacara tabuik adalah pesta keagamaan yang dilakukan untuk memperingati kematian Hasan dan Husein, yang terbunuh pada perang Karbala. Saat ini pesta tabuik telah berubah menjadi pesta yang bernuansa ekonomis, menjadi komoditi pariwisata yang paling banyak menarik wisatawan lokal dan mancanegara.

2.1.7.2 Orang Minang di Kota Medan

Sejak pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1956, keadaan dipedalaman Sumatera Barat

menjadi tidak aman, sehingga mendorong orang Minangkabau untuk merantau, selain ke kota Padang mereka juga menuju ke kota-kota di Sumatera Timur dan Utara. Pada saat itu Medan menjadi kota tujuan bagi para perantau. Medan menjadi pusat interaksi bagi penduduk dari berbagai kelompok etnik sejak akhir abad kesembilanbelas termasuk orang Minangkabau yang masuk ke Kota Medan tatkala perkebunan-perkebunan besar dibuka oleh Belanda. Pelly (1989) menyebutkan bahwa kedatangan orang Minangkabau ke Medan bukanlah untuk jadi kuli atau buruh di berbagai perkebunan tersebut, melainkan untuk berdagang dengan cara menjajakan barang dagangannya dari satu perkebunan ke perkebunan yang lain atau menetap di kota untuk berdagang.

Nasution (2002) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa Orang Minangkabau yang merantau pada tahun 1930-an, khususnya yang ke Medan, sebagian besar memilih “Kota Matsum” (suatu bagian wilayah kota Medan) sebagai tempat tinggal mereka, karena daerah ini dekat dengan “Pajak Sentral”

(Pusat Pasar) sebagai pusat kegiatan perdagangan di kota Medan. Baru pada awal tahun 1950-an ketika terjadi gelombang para perantau Minangkabau, maka Sukaramai mulai menjadi tempat bermukim bagi perantau yang tidak memiliki keluarga di Kota Medan.

Saat ini salah satu wilayah pemukiman orang Minang di Medan adalah Kecamatan Medan Denai. Pada umumnya mereka yang menetap di kelurahan ini bekerja sebagai pedagang yang usahanya dapat digolongkan sebagai pedagang kelas menengah ke bawah. Usaha mereka grosir, membuka usaha rumah makan atau restoran, usaha percetakan, tukang jahit, sampai berdagang eceran. Saat ini masyarakat Minang di Kecamatan Medan Denai banyak mengalami perubahan,

tidak hanya bergerak di bidang perdagangan saja, tetapi mereka telah menduduki hampir semua posisi, baik itu dalam bidang pemerintahan maupun di sektor-sektor swasta yang saat ini sedang berkembang pesat.

Pola perantauan (migrasi) masyarakat Minangkabau saat ini telah mengalami banyak perubahan, jika dulunya secara berkelompok, kini telah beralih secara individual. Hal ini telah disebabkan telah semakin majunya sarana transportasi. Setelah mereka merasa mampu selama beberapa tahun berdiri sendiri, mulailah mereka mengajak anggota keluarga di kampung untuk hidup di perantauan dan di akhir1970-an orang Pariaman di kelurahan ini hidup menetap dan tidak kembali lagi ke kampung halamannya atau sering disebut juga dengan istilah merantau cino.

Dokumen terkait