ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN
MAENA
DALAM
PESTA ADAT
FALÖWA
(PERKAWINAN) MASYARAKAT
NIAS DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ
NIM: 080707005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN
MAENA
DALAM
PESTA ADAT
FALÖWA
(PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS
DI KOTA MEDAN
OLEH:
NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ
NIM: 080707005
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 19 NIP 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni
dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai
upacarayang berkaitan dengan siklus atau pusingan hidupnya/ Di antaranya adalah
upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tikeban yaitu upacara tujuh bulanan
janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan upacara penyambutan
kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu. Kemudian dalam rangkaian ini
dibuat juga upacara pemebrian nama. Setelah itu diadakan lagi upacara memijak tanah
untuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan akan menjalani kehidupannya kelak sebagai
apa. Setelah itu dalam beberapa masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau
sunatan, termasuk dalam kebudayaan Nias.
Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara perkawinan, yang
berbeda-beda antara setiap suku bangsa, namun ini adalah fenomena yang universal
dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini bisa jadi
dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti meminang, kenduri, menghantar uang mahar,
pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca perkawinan. Demikian pula
yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka memiliki upacara perkawinan yang
disebut dengan fangowalu.
Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan dan
keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang
dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia
juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat,melakukan
kematian ini dalam kebudayaan manusia dipandang sebagai perpindahan dari alam
dunia ini ke alam dunia lain. Dalam kebudayaan manusia dalam menuju alam akhirat
atau alam berikutnya itu, ada yang menyertakan harta benda di samping jenazah yang
dikuburkan, ada pula yang tidak. Namun yang paling umum adalah menyertainya
dengan doa agar si jenazah diterima di sisi Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya,
terutama menerima segala kebaikannya semasa hidup dan Tuhan dapat memaafkan
segala dosanya. Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan suku (etnik) Nias.
Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku-suku
yang ada di Indonesia, yang berada di bagian barat Sumatera Utara, khususnya di Pulau
Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias ini dapat dikelompokkan ke
dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa religi Sanömba Adu mempercayai
sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur
tentang kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.
Namun demikian, salah satu dari urutan bosi ini ialah fangowalu atau pesta
perkawinan. Di dalam persta perkawinan ini ada tahap-tahap yang harus ditempuh
namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan
pada urutan perkawinan ini yaitu maena.
Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di
dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal)/ Tariannya dipolakan
dengan gerakan yang membenmtuk segi empat dan dalam pertunjukannya bermakna
kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik vokal adalah
musik yang dihasilkan oleh suara manuasia dimana musik tersebut diiringi alat musik
atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan
Maena tidak terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara nyanyian
dengan tari. Didalam tari ada gerakan, yang gerakannya membentuk segi empat (öfa
sagi) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan
ke belakang sehingga selama pertunjukan maena gerekan inilah yang terus di
ulang-ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada maena tidak terlalu
banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya harus memiliki
kekompakkan gerakkan tersebut walaupun dikatakan mudah namun dari sekian
banyaknya jumlah penyaji maena ini harus yang diperlukan ialah kekompakkan, selain
itu gerakan maena berputar kearah kiri.
Musik vokal pada maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau
disuarakan oleh sanutunö1 maena (pemimpin maena) yang dipimpin oleh satu atau dua orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang menjadi
pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua orang, maka yang
satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-duanya dipimpin oleh
perempuan
Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam tulisan ini yakni antara
sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe atau ono maena (peserta maena), dimana
sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe
atau ono maena tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan
orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap dan terus diulang-ulang oleh
peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan
pantun-pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Fanutunö maena (syair maena)
yaitu suatu lirik yang dibacakan oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair
maena). Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan dan syair
1
maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut dengan ono
maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi siapa-siapa saja
yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari2 maena
ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling bersahut-sahutan (call and respons)
dimana ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan oleh
penyaji maena.
Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah
tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat
Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional,
baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga
masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka,
dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu
yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang
selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).
Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal
(sinunö) seperti bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni
tidak menggunakan alat musik pengiring--hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun
dalam skripsi ini penulis menitikberatkan musik vokal pada maena, dimana maena
dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman
atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga
digunakan ensambel pengiring yang terdiri dari gong, gondra, faritia, dan ukulele.
Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam
penyediaannya, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.
2Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga
(2002:1378) tari ialah tarian gerakan badan serta tangan dan kaki berirama mengikuti rentak music. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan
Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang dinyanyikan oleh
sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome (syair yang berisi sapaan
atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya berisi tentang sapaan karena para
tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian
tersebut ialah tarian maena wangowai dome. Pada syair ini yang melakukan atau
melaksakannya ialah pihak perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi
sapaan kepada sowatö ). Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai
perempuan dengan cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang
melaksanakannya, (3) fanehe maena wangandrö sokona (syair meminta sokongan dari
pihak laki-laki). Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki
wajib memberikan uang,rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta
maena). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah pihak
perempuan.
Ketiga syair fanehe maena diatas sanutunö maena selalu berpisah dengan para
sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung bersama dengan sanehe
maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe maena tidak diikuti oleh
sanutunö maena namun pada umumnya sanutunö maena ikut juga menyanyikan syair
zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta maena).
Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias
(amaedola/duma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias. Namun
seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena
yang khas li nono niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak
Menurut Bapak A. Gunawan,3 sanutunö [sanutun∑] maena merupakan orang
yang sangat penting dalam pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian
maena tidak bisa berjalan apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada.
Itulah menjadi pertanyaan dan yang akan dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa
pentingkah sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara
sanutunö maena menyanyikan syair wanutuno maena tesebut?
Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita teliti lebih
dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak begitu
memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan karena kurangnya kepedulian
generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu juga minat
masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap lagu-lagu populer
(pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu
populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset rekaman (hasil wawancara
penulis dengan A. Gunawan Januari 2012).
Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang ini,
maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi kapan saja
karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat Nias terhadap
budaya-budaya yang sebelumnya ada. Hal inilah akhirnya dapat mengaburkan bentuk
asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat
menurut pelaksanaan suatu acara adat, (Elisian Waruwu, 1994:11).
Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis bahwa kesenian masyarakat Nias
tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya saja tetapi
tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang kesenian
masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan tersebut dapat
3
memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan ada rasa ingin
tahu lebih dalam. Karena pernyataan tersebut penulis memiliki alasan tersendiri
mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan yaitu karena kurangnya
masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang kesenian masyarakat Nias,
walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan sehingga penulis merasa sebagai
seorang etnomusikolog maka kewajiban penulis untuk menulis tentang salah satu
kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada maena apalagi penulis merupakan
salah satu orang yang akan melestarikan kesenian tradisional Nias sehingga penting
untuk di kaji dan dituangkan dalam satu tulisan berupa skripsi yang berjudul “Analisis
Musik Vokal pada Pertunjukan Maena Dalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan.”
1.2. Pokok Permasalahan
Aspek yang terkandung dalam musik vokal maena fanehe maena wangowai
dome, fanehe maena zowatö [zowat∑], dan fanehe maena wangandrö sokona yaitu
dapat diteliti seperti struktur teks, fungsi dan kegunaan, juga aspek musikalnya serta
konteks penggunaannya. Namun demikian dalam melakukan penelitian penulis
membatasi dalam dua hal yaitu:
1. Aspek musikalnya, yaitu bagaimana struktur melodi seperti bentuk, unsur-unsur
pola kadensa, kontur, dan unsur-unsur lain yang membentuk melodi pada musik
vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe
maena wangandrö sokona ?
2. Aspek tekstual, yaitu bagaimanakah struktur bahasa serta makna yang tersirat
dalam teks musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks dan melodi musik vokal maena
fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona dalam pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan
2. Untuk mengetahui makna syair yang terkandung dalam musik vokal maena
fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona yang dinyanyikan pada saat pesta perkawinan berlangsung.
3. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan masyarakat Nias yang dapat
menjadi masukan bagi Departemen Etnomusikologi dimana referensi tentang
kesenian tradisional Nias sangat minim.
1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep
Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut,
bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan
mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut. Musik vokal
dapat juga dikatakan nyanyian dimana kita dapat berpedoman pada pendapat yang
dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang
berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media
untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.
Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta
(1985:680 ) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi. Musik vokal dalam
nyanyian yang keluar dari alat ujar manusia tanpa ada iringan musik. Apabila dikatakan
sanunö (kb) berarti orang yang menyanyi. Sedangkan manunö berarti menyanyi (kk).
Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah tarian
yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari maena.
Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna masyarakat hadir
dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu maena. Padanan dari
kata maena yaitu fanehe maen. fanehe maena berarti syair maena.
Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut diatas makan dapat
dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian maena.
Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1) Fanehe
maena wangowai dome, (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3) Fanehe maena
wangandrö sokona.
Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada orang yang
menyambut tamu yang dinamakan Sowatö (keluarga perempuan) mengucapkan selamat
datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu menyapa mereka dengan tarian
wangowai dome. maena wangowai berarti penghormatan, tome berarti tamu sehingga
musik vokal pada tari ini dapat dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan
menyapa hormat para tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana
pesta perkawinan itu berlangsung.
Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari
fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa
hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda
halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam
masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. wangandrö
berdasarkan kemampuannya yang diberikannya kepada peserta maena. Jadi fanutunö
maena wangandrö sokona berarti keluarga pihak perempuan meminta dukungan, atau
pemberian sukarela dari pihak laki-laki dengan dipertunjukannya tarian ini.
Pertunjukan atau disiplinnya seni pertunjukan adalah satu bidang seni yang
terdiri dari pertunjukan seperti musik, tari, dan teater.
Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu keluarga
baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata perkawinan
bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu faelöwa [fael∑wa] atau fangowalu.
Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan marafule
[marafule] melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan suatu
pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan sangowalu
(ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam melaksanakan satu
pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan dilakukan sebelumnya
sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di acara puncaknya yaitu
fangowalu.
1.4.2. Kerangka Teori
Kalau kita memandang dari segi teks dan lagu (melodi) Dananjaya membagi
nyanyian rakyat menjadi dua yaitu: (1) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan
lagunya daripada liriknya, (2) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan liriknya
daripada lagunya (Dananjaya, 1986:145 )
Dalam menganalisis melodi musik vokal maena Malm (1964 :8)
mengemukakan bahwa ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk
formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-pengulangan keseluruhan
nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi penguangan pada frase
pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk
nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5)
progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan melodi yang
berbeda
Musik vokal juga dapat dilihat dari bentuknya dimana Bruno Nettl
(1964:145-155 ) mengemukakan bahwa dalam pendistribusian suatu musik ada beberapa yang
perlu dilihat yaitu, (1) materi nada, (2) ritem, (3) bentuk, (4) elemen lain seperti timber
dan dinamika.
Pembahasan hubungan teks dengan melodi musik vokal maena fanehe maena
wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe maena wangandrö sokona digunakan
tulisan Mallm (1977:8) yang mengatakan bahwa jika satu buah not dipakai satu suku
kata disebut silabis, dan jika beberapa buah not dalam satu suku kata disebut
melismatis. Selain itu juga. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk
menemukan antara aksen dalam ucapan bahasa dengan aksen dalam bahasa musik, serta
untuk melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarna
dalam puisi atau pantun (Malm, 1977:18). Demikian halnya juga dengan teks atau syair
musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe
maena wangandrö sokona memiliki susunan syair yang berbentuk pantun dimana cara
penyajiannya dinyanyikan.
Alan P. Marriam (1964:46) menyebutkan yang perlu dibahas hubungan
linguistik dengan bunyi musik apakah teks mempunyai arti sesuai dengan yang
diucapkan. Pada teks atau syair musik vokal maena fanehe maena wangowai dome,
Makna tersebut ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata
atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna
denotatif. Makna konotatif ialah makna kata yang terkandung arti tambahan, sedangkan
makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan
makna yang sebenarnya, ( Groce Kraft, 1991:25).
Pada pembahasan tentang aspek musikologis musik vokal maena fanehe maena
wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona
(melodinya) digunakan teori weighted scale Malm (1977:8) dimana ia mengatakan
bahwa dalam mendeskripsikan suatu melodi ada beberapa karekteristik yang harus
diperhatikan yaitu Tangga Nada, Nada Dasar, Wilayah Nada, Interval, Jumlah Nada,
Formula Melodi, Pola-pola Kadensa, Kontur.
1.5 Metode Penelitian
Dalam tulisan ini yang dilakukan oleh penulis ialah dengan melakukan
penelitian deskriptif. Nazir (1983:63) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif ialah
bertujuan untuk mencari fakta-fakta dengan mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat serta tata cara yang belaku dalam masyarakat dengan situasi tertentu yang
berhubungan dengan kegiatan, sifat, sikap, pandangan serta proses dan pengaruh suatu
fenomena. Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan tiga jenis yakni masing –
masing terdiri dari aspek-aspek berikut ini.
1.5.1 Studi Pustaka
Sebagai landasan untuk berfikir dalam tuisan ini penulis melakukan studi
kepustakaan dengan tujuan untuk menambah data atau sumber bacaan seperti Skripsi
Perkawinan Masyarakat Nias Di Kota Medan, Analisis Tekstual Dan Musikal Nyanyian
Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola
di Kota Medan”, untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penulisan dan
menyesuaikan pengamatan dari hasil penelitian lapangan. Di samping itu juga studi
kepustakaan yang dilakukan penulis juga dilakukan untuk menentukan pendekatan
dalam pengumpulan data serta mengetahui informasi tentang geografis daerah
penelitian.
1.5.2. Penelitian Lapangan
Untuk kebutuhan dan kepentingan penulis mengumpulkan data-data informasi,
penulis menentukan lokasi penelitian yaitu di Kota Medan yang terfokus terhadap lokasi
yang merupakan tempat menyelenggarakan pesta perkawinan masyarakat Nias. Dalam
konteks penelitian ini, penulis melakukan kerja lapangan dalam bentuk mengamati
pertunjukan musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö,
dan fanehe maena wangandrö sokona yang berlangsung. Mencatat dan merekam
tahap-tahap yang dilakukan terutama dalam pesta perkawinan adat Nias. Untuk mendapatkan
data-data geografis dan etnografi tentang budaya Nias baik yang ada diwilayah budaya
Nias maupun di kota Medan, penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada
tokoh budaya Nias.
1.5.2.1 Wawancara
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tentang musik
vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona ini, penulis melakukan wawancara kepada orang yang ahli dan
yang digunakan untuk memperoleh data tentang kejadian yang dapat diamati sendiri
secara langsung.
Dalam wawancara, penulis melakukan dengan tiga cara yaitu : (1) wawancara
terfokus (focused interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara
sambil lalu (casual interview) (Koentjaraningrat, 1990:140 ).
1.5.2.2 Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran
dengan menggunakan indera penglihatan, yang juga berarti tidak melakukan
pertanyaan-pertanyaan.(Soehartono, 1995:69). Selain itu juga Bregt (1989:77)
mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping
wawancara. Metode observasi sangat membantu proses pengumpulan data, di samping
observasi biasa penulis juga melakukan partisipas observasi pada lokasi dimana penulis
meneliti. Metode ini sangat membantu untuk mempererat antara penelitian dengan
informan sehingga informasi dapat diharapkan lebih lancar tanpa dibarengi rasa curiga.
1.5.2.3 Rekaman
Untuk merekam hasil wawancara pada pertunjukan musik vokal maena fanehe
maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona,
penulis menggunakan alat bantu rekam visual yaitu camera digital dengan merek
olympus untuk memotret sebagai dokumentasi gambar dan merekam pertunjukannya
1.5.2.4 Kerja Laboratorium
Untuk pentranskripsian dan penganalisis data serta informasi dilakaukan kerja
laboratorium. Semua data-data yang diperoleh dari lapangan dan studi kepustakaan akan
dianalisis untuk diseleksi sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam
melakukan penelitian. Dengan demikian penulis mengadakan evaluasi ulang, dan
penulis juga terkadang melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk
memperoleh data yang akurat.
Kerja laboratorium ini semua hasil dari penelitian lapangan baik dari perekaman
visual maupun audio penulis putar dan dengar secara berulang-ulang supaya dapat
dipahami dan dapat di transkripsikan dengan baik dan sesuai dengan fakta-fakta yang
BAB II
KEBERADAAN MASYARAKAT NIAS
DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98°
35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara
dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan
memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera
Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki
luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar
(www.wikipedia.com)
Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu
(Kabupaten Deli Serdang)
- Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang)
- Sebelah timur berbatasan dengan kecamtan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa
(Kabupaten Deli Serdang)
Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara lain :
Kecamatan Medan helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah,
Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,
Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas,
Kecamatan Medan Denai, Bandar Udara Polonia. Secara geografis Medan didukung
oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu,
Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan
lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan
berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling
memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.
Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan
memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang
dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi
geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub
pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan,
pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama
Medan Kanal Timur. Menurut stasiun Polonia pada tahun 2008 suhu udara berkisar
antara 22.9°C-32.8°C dan menurut stasion Sampali antara 23.1°-32,3°C, Kelembaban
udara: 82-84%, Curah hujan 176,08-203,5 mm
2.1.1 Demografi
Populasi Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku seperti: Melayu, Jawa,
Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola), Nias dan Tionghoa.
Berdasarkan data kependudukan Tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan
telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria. Sedangkan
penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah
penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain
itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis,
dengan latar belakang yang berbeda pula. Kondisi Kota Medan yang heterogen ini,
mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis.
2.1.2 Identifikasi Kecamatan Medan Tuntungan
Pada identifikasi tentang Kecamatan Medan Tuntungan ini menjadi pusat
perhatian penulis karena di daerah ini khususnya di daerah Simalingkar perumnas
masyarakat Nias kebanyakan telah lama bermukin didaerah ini terbukti dari
organisasi-organisasi seperti STM serta telah mendirikan gereja yang termasuk gereja besar
dibandingkan dengan daerah-daerah lain dimana masyarakat Nias tinggal di Kota
Medan. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota
Medan Sumatera Utara, Indonesia . Secara geografis kecamatan ini berbatasan dengan
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang.
Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 69.447 jiwa. Luasnya
adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian
besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang seperti: Tionghoa,
Minang, Batak, Aceh dan Jawa sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.Yang
terletak di kecamatan ini yaitu, (1) Kebun Binatang Medan, (2) RSU Adam Malik, (3)
2.2 Gambaran Umum Budaya Nias
Kabupaten Nias terdiri dari beberapa pulau yang mengelilinginya, pulau kecil
dan pulau besar yang jumlahnya mencapai 131 pulau. Pada awalnya pulau Nias
merupakan pulau yang hanya memiliki satu kabupaten saja. Namun pada saat ini pulau
Nias telah dimekarkan dan dibagi menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya. Pada
awalnya pulau Kota Gunungsitoli merupakan ibukota daripada pulau Nias itu sendiri
akan tetapi dengan adanya pemekaran sesuai dengan otonomi daerah di Indonesia, maka
Kota Gunungsitoli pada saat ini ialah ibukota Nias Utara sekaligus Kotamadya
sedangkan Nias Selatan beribukota Teluk Dalam dan Nias Barat beribukota Mandrehe.
Kabupaten Nias memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas
pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara 0,120LU – 1,32o LU dan 90o BT - 98o BT.
Pulau Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau
Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak
(Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai (Sumatera
barat) disebelah selatan.
Wilayahnya yang berbukit-bukit dan dataran rendah hanya terdapat di bagian
utara, barat, dan sepanjang pantai serta tepi-tepi hilir sungai. Sebagian besar wilayah
pulau Nias merupakan hutan karena belum adanya penggarapan secara menyeluruh
disebabkan karena kurangnya transportasi dan jauh dari daerah pemukiman, sebagian
lagi sebagai pemukiman dan lahan pertanian. Iklim di pulau Nias sama dengan iklim di
Indonesia yaitu tropis dengan curah hujan yang cukup besar dan berkisar 3000 sampai
2.3 Asal Usul Orang Nias
Pada dasarnya orang Nias yang tinggal di Kota Medan ini tidak terlepas dari
asalnya darimana dan tidak terlepas dari para leluhurnya yaitu asal usul ono niha (orang
Nias). Ono niha termasuk kedalam rumpun melayu yang berasal dari ras Mongoloid
dari daratan Asia di wilayah Hassir, Provinsi Yunan (Hunan), yang diperkirakan
meninggalkan negerinya sekitar 3000 tahun yang lalu. Baermukim disuatu tempat yang
disebut dengan nalawö sia,a mbanua yang kemudian membangun pemukiman baru di
sekitar Gomo, hingga disebut oleh orang Nias sebagai tempat pertama manusia
diturunkan yaitu mbanua niha (Bas Telaumbanua dalam Joni K. Manalu 2000:17).
Menurut S. Zebua (1984) suku Nias berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian
berpindah kearah timur melalui Semenanjung India dan Birma terus ke pulau Nias.
Menurut Bas Telaumbanua (2000 : 18) kedatangan orang Nias terjadi dua tahap,
yaitu pada abad ketiga masehi dan awal abad keempat masehi. Dimulai dengan
perjalanan rahib Fa Hien dengan rombongannya yang berawal dari Mongol menuju
India untuk menuntut ilmu agama. Setelah itu meneruskan pelayaran menuju Jawa
Dwipa (diperkirakan bisa saja Sumatera, Jawa, atau pulau-pulau lain di Asia tengga).
Saat mereka kembali ke negeri asal mereka, perahu yang mereka tumpangi
diterpa ombak kemudian hancur dan karama. Akan tetapi sebagian penumpangnya
selamat mencapai daratan, menelusuri sungai yang diduga adalah sungai nalawö yang
bermuara di pantai Nias sebelah timur.
Menurut masyarakat Nias, yang dipercayai melalui foklor yang diwariskan
secara turun-temurun melalui tradisi hoho, leluhur orang Nias berasal dari langit.
Awalnya diturunkan tiga orang masing-masing bernama Daeli, Hulu, dan Gösö. Ketiga
orang tersebut turun dalam disebuah tempat yang bernama Gomo dan dari ketiga orang
Menurut cerita tradisional, leluhur orang Nias berasal dari langit dan merupakan
keturunan Dewa yang disebut dengan Lowalangi yang berarti diatas langit. Menurut
mite tersebut asal-usul orang Nias adalah dari tempat yang disebut Sirao, di lapis langit
ke tujuh. Ditempat tersebut tingggallah seorang pria yang memiliki Sembilan orang
anak dan seorang kemenakan yang bernama Luomewöna. Ketika itu timbul niat dalam
diri raja untuk mewariskan kerajaan kepada salah seorang anak ataupun keponakannya.
Raja meminta untuk menunjukkan kebolehan masing-masing menari di atas tombak.
Ternyata ilmu kesaktian yang dimiliki keponakannya lebih tinggi dibandingkan dengan
ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Sembilan orang anaknya. Takhta diserahkan kepada
Luomewöna dan Sembilan anaknya diturunkan ke bumi.
Nias yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan bahasa asli ono
niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebutnya ono niha (anak
manusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha (tanah manusia). Istilah Nias
kemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa bangsa barat, yang
karena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas (Nias). Perubahan nama ini
juga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti Kota
Gunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut luaha. Nama Gunungsitoli
kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat
Gunungsitoli sekarang ini.
Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam garis keturunannya. Dalam
perkembangannya mereka membentuk marga (fam) yang sampai sekarang masih tetap
2.4 Sistem Religi dan Agama
Zaman dulu sebelum agama Kristen dan Islam masuk di tanah Nias, masyarakat
Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat
diterjemahkan sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari
kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan
manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali
börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu.
Dewa si’ai ialah dewa yang paling tinggi yang diyakini oleh para leluhur orang
Nias dan semua alam semesta ini di kuasai oleh dewa itu. Pada waktu tertentu orang
Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa yang orang Nias
yakini itu. Untuk menghormati dewa itu mereka berkumpul dan mengadakan sambua
alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu
mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon besar itu kemudian
menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga
mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta
alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu
gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu),
uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa
penguasa air.
Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan
bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung
serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para
leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya
akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang
terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu
dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian. Demikianlah
kepercayaan masyarakat Nias sebelum agama Kristen masuk di tanah Nias mulai abad
ke – 19.
Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun
1865, tepatnya di Kota Gunungsitoli dimana sebelumnya ia telah belajar banyak tentang
Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang sehingga
ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah mengetahui tentang Nias
termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasan,
adat-istiadat, dan kebudayaan Nias hingga Denninger tertarik untuk dating ke Nias,
mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas
yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah
antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa
dödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai di
bakar dan dihancurkan, poligama, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan,
penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sejenisnya
sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama
Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62). Setelah penyebaran injuli oleh misionaris ke Tanö Niha,
umat Kristen tumbuh dan berkembang. Khususnya di Kota Medan, masyarakat Nias
diperkirakan berjumlah 25.000 jiwa dihimpun berdasarkan data yang diperoleh dari
berbagai gereja-gereja yang ada di Kota Medan.
Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, dimana mereka
mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu,
fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias, umumnya
mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan masyarakat Nias pada umumnya.
Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan kegiatan ibadah Islam seperti Shalat,
zakat, puasa, wirid yasin, memeperingati isra mi’raj Nabi Muhammad.
2.4 Sistem Pemerintahan Tradisi
Selain sistem religi, masyarakat Nias juga memiliki sistem pemerintahan tradisi
yang dibagi dalam berdasarkan jabatan sebagai berikut yaitu, (1) tuhenöri-tuhe artinya
tunggal dan nöri atau öri artinya kumpulan dari beberapa banua (desa). Tuhenöri dipilih
antara pimpinan banua (desa) yang disebut salawa, (2) salawa artinya yang tinggi.
Salawa ini memimpin satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai
pengertian : fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani),
fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa), (3) satua
mbanua artinya penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan:
tambalinia (wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaöfa (orang
keempat).
2.4 Bosi (Tingkat Kehidupan)
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang
mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias
kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran
pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai
sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan
mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih
ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Pada masa awal religi sanömba [san∑mba] adu, masyarakat Nias mempercayai
sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistem penggolongan derajat
manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan
akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini
bosi ini nanti mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar
setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli [t et eh∑l i ] ana’a
(surga).
Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi
(memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4)
famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8)
fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat),
(10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua
(menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri),beberapa desa
(Dasa manaö 1998:195-196).
2.5 Kedatangan Orang Nias Di Kota Medan
Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara mereka bepergian
dari daerah asal ke daerah lain. Demikian juga halnya dengan orang Nias seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang Nias pergi dari pulau
Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi keberbagai daerah dengan tujuan dan
kepentingan yang bermacam-macam dan menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli,
Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka,
Perpindahan jumlah yang besar orang Nias diperkirakan sudah terjadi sejak abad
ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa
Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan menuju
Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan
untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan daerah
terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal dagang dari berbagai daerah
sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan perdagangan waktu
itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter
orang Nias ialah menghormati dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah
diorganisisr sebagai pelaku perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang
Nias mulai mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja
Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran tahun
tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit perang dan ada
juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di jadikan istri.
Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu)
banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah perkebunan di luar
pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah tersebut hinga sekrang.
Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur)
diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming perkebunan tembakau dan
perkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja di
perkebunan-perkebunan, pada waktu itu karet menjadi “primadona” oleh orang
Belanda. Sehingga pohon karet oleh orang Nias disebu hafea, yang tak lain adalah
penyebutan lain untuk HVA yang berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan
Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur kemudian berkembang menjadi
Kota Medan. Orang Nias terus melakukan proses perpindahan atau urbanisasi yang
dahulunya hanya kelompok kecil, semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku
Nias. Hidup berdampingan dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam
keterlibatan dalam berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan
aktifitas budaya masing-masing suku.
2.7 Proses Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan
Adaptasi masyarakat suku Nias terjadi saat berbaur berbagai macam etnik
lainnya yang ada di Kota Medan, dengan tetap melakukan aktifitas budaya yang mereka
pertahankan keberlangsungannya yang pada akhirnya tercipta Kota Medan yang
multikultural.
Suku Nias merupakan salah satu heterogenitas suku bangsa yang menetap di
Kota Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan terbagi,
(1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1990 : 84), dengan
alas an bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan,
(2) suku pendatang antara lain : Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah
teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur
pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya. Juga
etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis Nusantara lainnya
serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang dari Cina, India, dan yang
lain dalam jumlah kecil.
Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas
dan Kotamadya dimana sebelumnya pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja
namun saat ini pulau Nias telah menajdi empat kabupaten satu Kotamadya sehingga
semakin memudahkan untuk dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi
dialek bahasanya.
2.8 Mata Pencaharian
Ketertarikan masyarakat Nias di berbagai macam sumber daya alam yang ada di
Kota Medan baik di kawasan industri, perkantoran maupun disektor lainnya berawal
pada tahun 1960-an dan jumlahnya semakin bertambah. Kedatangan orang Nias di Kota
Medan berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para pemuda Nias
melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota
Medan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai
wilayah Kota Medan, bekerja di Pabrik, petani, nelayan, tukang becak, karyawan
swasta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, buruh lepas
juga ada yang berbaur lewat perkawinan antara orang Nias dengan orang dari etnis lain.
Dengan bertambahnya jumlah orang Nias yang menetap di Kota Medan
menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan perkumpulan
orang Nias dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan kepemudaan. Pada saat ini
diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan ± 25.000.
yang tersebar dalam wilayah Medan seperti, Daerah Belawan, Perumnas Mandala,
daerah Perumnas Simalingkar, daerah Padang Bulan, daerah Helvetia, serta daerah
lainnya dalam jumlah kecil namun khusus didaerah objek penelitian penulis
diperkirakan berdasarkan hasil yang di kumpulkan penulis dari Kecamatan Medan
2.9 Organisasi Sosial
Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan
kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang
saling berbeda. Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi dialeknya agak
berbeda disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Nias adalah huruf vocal
yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu ditandai dengan akhiran huruf
vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial antara sesame orang
Nias dengan daerah budaya yang berbeda.
Meskipun orang Nias telah berpindah di berbagai tempat akan tetapi secara
individual atau kelompok berusaha untuk tetap mempertahankan warisan budaya para
leluhurnya namun kebudayaan tersebut tidak seutuhnya dipertahankan, akan tetapi
terjadi perubahan, perkembangan sesuai dengan situaai lingkungan dimana kebudayaan
itu dilaksanakan atau tempat dimana ia tinggal.
Kebudayaan Nias dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau
perkumpulan-perkumpulan masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang membentuk
perkumpulan berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias seperti Persatuan
Masyarakat Gomo (PERMASGOM), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau Batu, Teluk
Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga Harefa, Persatuan
Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga Telaumbanua, Persatuan
Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan Marga Nazara. Selain itu juga
masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan berdasarkan dimana mereka tinggal di
Kota Medan berupa Serikat Tolong Menolong (STM), seperti STM Sehati, STM
Faomakhöda, STM Kasih Karunia, STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang
Medan, seperti Gerakan Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias
(FORMANISPE), KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.
2.10 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di Nias adalah menurut garis keturunan ayah
(patrilineal) dan mado (marga) menjadi perlambang aka nasal dan klasifikasi “keluarga”
seseorang dan selalu maarga (mado) ayah yang ditempatkan dibelakang nama lahir
untuk generasi dibawahnya. Marga-marga yang ada pada masyarakat Nias adalah
Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima,
Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i
menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fau,
Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa,
Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita,
Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia,
Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature,
Luahambowo, lazira, Lawolo,Lawelu, Laweni, lasara,laeru, Löndu go'o, lase, larosa,
Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya,
Möhö, Marundruri,Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru,
Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua,
Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe,
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö,
2.11 Kesenian
Dalam masyarakat Nias memilki beberapa kesenian daerah yang merupakan ciri
khas daeri daerah Nias yaitu seni musik. Adapun alat-alat musik Nias sebagai berikut :
(a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat
pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta
pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. (b) Aramba
(gong), alat musik jenis gong berpencu, teridiri dari gua gong yaitu aramba dan faritia.
Aramba lebih besar dari faritia.fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang
terjadi di Medan perang, misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, gendang yang
ukurannya lebih kecil dari göndra dan bagianluarnya tidak diikat oleh rotan tetapi
luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi
pengantin, laug dan tarian. (d) doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa
bilahan-bilahan yang diletakkan diatas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul terbuat
dari kayu. Alat musik ini kadang juga dikatakan gambang. (e) Suling adalah alat musik
tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua). (f) Ndruri dana adalah alat musik jew’s harp,
memiliki satu lidah yang disebut lela.
Selain dari seni musik, masyarakat Nias juga memiliki tari-tarian yaitu, (a) Tari
maena yaitu tari yang biasa dipertunjukkkan dalam acara pesta pernikahan, pesta
owasa, dan juga dilakukan untuk menyambut tetamu terhormat. Tari maena biasanya
dilaksanakan dilapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak
sulit untuk diikuti. Variasi gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segi
tiga (tölu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi empat (öfa sagi). (b) Tari moyo
adalah tarian yang menirukan gerakan burung elang yang sedang terbang. Biasanya
ditarikan oleh wanita. Tari ini digungsikan untuk acara terpenting misalnya penobatan
persatuan sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya
menggambarkan sekelompok tentara yang sedang berperang. Property tariannya adalah
pedang (balatu/ekhe), tombak (toho), dan tameng (baluse). (d) Tari Hombo batu atau
lompat batu merupakan tari yang berunsur olah raga latihan perang melompati batu
sebagai simbol budaya megalitikum. Sapaan Ya'ahowu. Dalam budaya Ono Niha (Nias)
terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam
“Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan
diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan
sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang
bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan
kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak
terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi
makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam
damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan
BAB III
PENYAJIAN MAENA DALAM KONTEKS PESTA ADAT PERKAWINAN MASYARKAT NIAS DI KOTA MEDAN
3.1 Gambaran Umum Upacara Perkawinan Adat Nias
Perkawinan (falöwa [f al ∑wa]) bagi masyarakat Nias merupakan pembentukan
suatu keluarga baru yang bernlai sacral, untuk melahirkan keturunan (regenerasi).
Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan adat yang berlaku dan disahkan oleh agama
(pihak gereja bagi yang beragama Kristen), serta memenuhi persyaratan hukum Negara
atau pemerintahan.
Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18 tahun
dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika beragama
Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak laki-laki
menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga pengantin wanita
(balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias tampak bahwa aturan agama
yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran penting dalam upacara adat
perkawinan suku Nias.
Jika calon pengantin adalah pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani
proses pemberkatan di gereja yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah
menurut agama kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi
yang telah ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga
pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik.
Sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan
rangkain pelaksanaan pesta perkawinannya sama dengan keadaan setelah Kristen masuk
di Nias.
3.2 Tata Cara Yang Umum Dilakukan
Upacara adat perkawinan masyarkat Nias memiliki struktur hierarki (tingkatan)
yang yang dalam mekanisme perencanaan dan pelaksanaanya tergantung pada bagian
daerah tempat upacara itu dilaksanakan. Mekanisme dan aturan adat Nias bagian utara
berbedan dengan Nias bagian selatan dan bagian barat atau tengah. Masing-masing
mempunyai karakter yang tersendiri. Namun pada masyarakat Nias memiliki kesamana
sesuatu yang umum dilakukan dalam pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Nias
salah satunya yaitu jujuran (böwö) yang dilakukan dalam ritual penentuan yang disebut
fondrako.
3.3 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias
Mahar (jujuran ) adalah keseluruhan prosedur pernyerahan yang oleh adat telah
ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan laposan dan
kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil
seorang perempuan Nias, Hans Daeng (dalam Lola Utama Sitompul, 2009 : 81),
sedangkan menurut Ariyono jujuran merupakan benda-benda berharga yang diberikan
kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara
khusus, menurut adat istiadat pernikahan Nias jujuran (böwö) dalam arti sebenarnya
adalah kasih atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain.
Secara umum menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri
dari kefe (uang kertas), bawi (babi),böra [b∑r a] (beras), firö (uang perak), dan ana’a
oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (jujuran) pada
masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya
suatu prosese pernikahan.
Pada pelaksanaan pesta perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak
laki-laki kepada perempuan berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung
dan babi30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga
dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta
pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau
berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta
sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi
perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang
diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan
seorang perempuan.
Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange (memberikan sesuatu dengan penuh
rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang dilakukan oleh mempelai pria kepada
orang-orang tertentu, yaitu orang-orang-orang-orang yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah
pada saat upacara dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman
untuk diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari
pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang paling
menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai wanita. Jika uang
salam tangan tersebut sesuai dengan keinginan penerima, maka serahterima dapat
3.4 Sistem Perkawinan Yang Di Anut Masyarakata Nias 3.4.1 Kawin Sedarah
Kawin sedarah merupakan perkawinan antara saudara sepupu jauh (setelah
Sembilan generasi) sebagai hasil keputusan fondrako bonio dan fondrako laraga yaitu,
(1) seorang calon pengantin pria dapat mengawini saudara sepupu jauh setelah
Sembilan generasi, hal ini dimungkinkan agar putra-putri keturunan bangsawan (si ulu
atau balugu) jangan sampai jatuh kepada pihak lain yang derajat bosi berbeda agar
hubungan kekeluargaan yang sudah mulai menjauh dapat menjadi lebih dekat kembali.
Namun sesuai dengan pengalaman penulis perkawinan sedarah juga bukan hanya
dilkukan oleh pihak balugu saja namun orang yang bosinya saling berbeda juga bisa
dilakukan jikalau kedua belah pihak memiliki kecocokan dan sebagaimana pesta
perkawinan pada umumny, (2) seorang pria menikahi putrid pamannya dari pihak
kerabat ibunya, yang lazim disebut sibaya atau uwu. Perkawinan seperti ini disebut
sangawuli ba zibaya atau sangawuli ba nuwu, (3) perkawinan antara sepupu dengan
ketentuan ibu calon pengantin pria bersaudara kandung dengan ibu calon pengantin
wanita, yang disebut dusanai atau gasiwa (pariban dalam istilah lain).
3.4.2 Perkawinan Ganti Tikar
Perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo, terjadi bila seorang istri yang
suaminya telah meninggal dunia, maka saudara kandung dari mendiang suaminya
berhak mengawininya. Demikian sebaliknya, jika seorang suami yang istrinya sudah
meninggal dunia dapat menikhai saudara kandung mendiang istrinya. Hal ini bertujuan
agar hubungan kekerabatan yang terjalin karena perkawinan sebelumnya tetap terjalin
3.5 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga
Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni Nias
selatan dan Nias utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa kabupaten di pulau
Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada masing-masing kabupaten.
Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik
masyarakat Nias yang ada di Kota Medan maupun masyarakat di Nias itu sendiri.
Böwö laraga ini merupakan acuan yang mempunyai pengaruh yang paling luas
dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang
tinggal di Kota Medan, dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya
yang berlainan sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang
kemudian disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang malangsungkan
upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya
perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di jodohkan
dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam penentuan mahar
perkawinan seluruhnya di atur oleh orang tua.
3.6 Jenjang Pelaksanaan Pesta Perkawinan
Jenjang yang ditempuh dalam pelaksanaan pesta perkawinan böwö laraga yaitu,
(1) famaigi niha (memilih gadis), keluarga pihak pengantin pria pergi menemui orang
tua calon pengantin wanita. Bila anak gadis hendak dipinang berkenan, maka ditentukan
langkah selanjutnya. Sisini terdapat idiom bahasa / kiasan yang disampaikan oleh
perwakilan pihak pria yaitu: