• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA( PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA( PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN

MAENA

DALAM

PESTA ADAT

FALÖWA

(

PERKAWINAN) MASYARAKAT

NIAS DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ

NIM: 080707005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(2)

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN

MAENA

DALAM

PESTA ADAT

FALÖWA

(PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS

DI KOTA MEDAN

OLEH:

NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ

NIM: 080707005

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 19 NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,

untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni

dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(3)
(4)
(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai

upacarayang berkaitan dengan siklus atau pusingan hidupnya/ Di antaranya adalah

upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tikeban yaitu upacara tujuh bulanan

janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan upacara penyambutan

kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu. Kemudian dalam rangkaian ini

dibuat juga upacara pemebrian nama. Setelah itu diadakan lagi upacara memijak tanah

untuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan akan menjalani kehidupannya kelak sebagai

apa. Setelah itu dalam beberapa masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau

sunatan, termasuk dalam kebudayaan Nias.

Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara perkawinan, yang

berbeda-beda antara setiap suku bangsa, namun ini adalah fenomena yang universal

dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini bisa jadi

dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti meminang, kenduri, menghantar uang mahar,

pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca perkawinan. Demikian pula

yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka memiliki upacara perkawinan yang

disebut dengan fangowalu.

Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan dan

keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang

dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia

juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat,melakukan

(6)

kematian ini dalam kebudayaan manusia dipandang sebagai perpindahan dari alam

dunia ini ke alam dunia lain. Dalam kebudayaan manusia dalam menuju alam akhirat

atau alam berikutnya itu, ada yang menyertakan harta benda di samping jenazah yang

dikuburkan, ada pula yang tidak. Namun yang paling umum adalah menyertainya

dengan doa agar si jenazah diterima di sisi Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya,

terutama menerima segala kebaikannya semasa hidup dan Tuhan dapat memaafkan

segala dosanya. Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan suku (etnik) Nias.

Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku-suku

yang ada di Indonesia, yang berada di bagian barat Sumatera Utara, khususnya di Pulau

Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias ini dapat dikelompokkan ke

dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa religi Sanömba Adu mempercayai

sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur

tentang kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.

Namun demikian, salah satu dari urutan bosi ini ialah fangowalu atau pesta

perkawinan. Di dalam persta perkawinan ini ada tahap-tahap yang harus ditempuh

namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan

pada urutan perkawinan ini yaitu maena.

Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di

dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal)/ Tariannya dipolakan

dengan gerakan yang membenmtuk segi empat dan dalam pertunjukannya bermakna

kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik vokal adalah

musik yang dihasilkan oleh suara manuasia dimana musik tersebut diiringi alat musik

atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan

(7)

Maena tidak terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara nyanyian

dengan tari. Didalam tari ada gerakan, yang gerakannya membentuk segi empat (öfa

sagi) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan

ke belakang sehingga selama pertunjukan maena gerekan inilah yang terus di

ulang-ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada maena tidak terlalu

banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya harus memiliki

kekompakkan gerakkan tersebut walaupun dikatakan mudah namun dari sekian

banyaknya jumlah penyaji maena ini harus yang diperlukan ialah kekompakkan, selain

itu gerakan maena berputar kearah kiri.

Musik vokal pada maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau

disuarakan oleh sanutunö1 maena (pemimpin maena) yang dipimpin oleh satu atau dua orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang menjadi

pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua orang, maka yang

satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-duanya dipimpin oleh

perempuan

Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam tulisan ini yakni antara

sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe atau ono maena (peserta maena), dimana

sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe

atau ono maena tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan

orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap dan terus diulang-ulang oleh

peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan

pantun-pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Fanutunö maena (syair maena)

yaitu suatu lirik yang dibacakan oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair

maena). Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan dan syair

1

(8)

maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut dengan ono

maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi siapa-siapa saja

yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari2 maena

ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling bersahut-sahutan (call and respons)

dimana ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan oleh

penyaji maena.

Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah

tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat

Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional,

baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga

masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka,

dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu

yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang

selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).

Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal

(sinunö) seperti bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni

tidak menggunakan alat musik pengiring--hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun

dalam skripsi ini penulis menitikberatkan musik vokal pada maena, dimana maena

dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman

atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga

digunakan ensambel pengiring yang terdiri dari gong, gondra, faritia, dan ukulele.

Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam

penyediaannya, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.

2Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga

(2002:1378) tari ialah tarian gerakan badan serta tangan dan kaki berirama mengikuti rentak music. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan

(9)

Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang dinyanyikan oleh

sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome (syair yang berisi sapaan

atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya berisi tentang sapaan karena para

tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian

tersebut ialah tarian maena wangowai dome. Pada syair ini yang melakukan atau

melaksakannya ialah pihak perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi

sapaan kepada sowatö ). Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai

perempuan dengan cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang

melaksanakannya, (3) fanehe maena wangandrö sokona (syair meminta sokongan dari

pihak laki-laki). Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki

wajib memberikan uang,rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta

maena). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah pihak

perempuan.

Ketiga syair fanehe maena diatas sanutunö maena selalu berpisah dengan para

sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung bersama dengan sanehe

maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe maena tidak diikuti oleh

sanutunö maena namun pada umumnya sanutunö maena ikut juga menyanyikan syair

zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta maena).

Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias

(amaedola/duma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias. Namun

seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena

yang khas li nono niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak

(10)

Menurut Bapak A. Gunawan,3 sanutunö [sanutun∑] maena merupakan orang

yang sangat penting dalam pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian

maena tidak bisa berjalan apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada.

Itulah menjadi pertanyaan dan yang akan dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa

pentingkah sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara

sanutunö maena menyanyikan syair wanutuno maena tesebut?

Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita teliti lebih

dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak begitu

memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan karena kurangnya kepedulian

generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu juga minat

masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap lagu-lagu populer

(pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu

populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset rekaman (hasil wawancara

penulis dengan A. Gunawan Januari 2012).

Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang ini,

maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi kapan saja

karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat Nias terhadap

budaya-budaya yang sebelumnya ada. Hal inilah akhirnya dapat mengaburkan bentuk

asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat

menurut pelaksanaan suatu acara adat, (Elisian Waruwu, 1994:11).

Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis bahwa kesenian masyarakat Nias

tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya saja tetapi

tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang kesenian

masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan tersebut dapat

3

(11)

memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan ada rasa ingin

tahu lebih dalam. Karena pernyataan tersebut penulis memiliki alasan tersendiri

mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan yaitu karena kurangnya

masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang kesenian masyarakat Nias,

walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan sehingga penulis merasa sebagai

seorang etnomusikolog maka kewajiban penulis untuk menulis tentang salah satu

kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada maena apalagi penulis merupakan

salah satu orang yang akan melestarikan kesenian tradisional Nias sehingga penting

untuk di kaji dan dituangkan dalam satu tulisan berupa skripsi yang berjudul “Analisis

Musik Vokal pada Pertunjukan Maena Dalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan.”

1.2. Pokok Permasalahan

Aspek yang terkandung dalam musik vokal maena fanehe maena wangowai

dome, fanehe maena zowatö [zowat∑], dan fanehe maena wangandrö sokona yaitu

dapat diteliti seperti struktur teks, fungsi dan kegunaan, juga aspek musikalnya serta

konteks penggunaannya. Namun demikian dalam melakukan penelitian penulis

membatasi dalam dua hal yaitu:

1. Aspek musikalnya, yaitu bagaimana struktur melodi seperti bentuk, unsur-unsur

pola kadensa, kontur, dan unsur-unsur lain yang membentuk melodi pada musik

vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe

maena wangandrö sokona ?

2. Aspek tekstual, yaitu bagaimanakah struktur bahasa serta makna yang tersirat

dalam teks musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena

(12)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks dan melodi musik vokal maena

fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena

wangandrö sokona dalam pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan

2. Untuk mengetahui makna syair yang terkandung dalam musik vokal maena

fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena

wangandrö sokona yang dinyanyikan pada saat pesta perkawinan berlangsung.

3. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan masyarakat Nias yang dapat

menjadi masukan bagi Departemen Etnomusikologi dimana referensi tentang

kesenian tradisional Nias sangat minim.

1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep

Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut,

bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan

mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut. Musik vokal

dapat juga dikatakan nyanyian dimana kita dapat berpedoman pada pendapat yang

dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang

berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media

untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.

Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta

(1985:680 ) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi. Musik vokal dalam

(13)

nyanyian yang keluar dari alat ujar manusia tanpa ada iringan musik. Apabila dikatakan

sanunö (kb) berarti orang yang menyanyi. Sedangkan manunö berarti menyanyi (kk).

Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah tarian

yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari maena.

Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna masyarakat hadir

dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu maena. Padanan dari

kata maena yaitu fanehe maen. fanehe maena berarti syair maena.

Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut diatas makan dapat

dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian maena.

Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1) Fanehe

maena wangowai dome, (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3) Fanehe maena

wangandrö sokona.

Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada orang yang

menyambut tamu yang dinamakan Sowatö (keluarga perempuan) mengucapkan selamat

datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu menyapa mereka dengan tarian

wangowai dome. maena wangowai berarti penghormatan, tome berarti tamu sehingga

musik vokal pada tari ini dapat dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan

menyapa hormat para tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana

pesta perkawinan itu berlangsung.

Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari

fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa

hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda

halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam

masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. wangandrö

(14)

berdasarkan kemampuannya yang diberikannya kepada peserta maena. Jadi fanutunö

maena wangandrö sokona berarti keluarga pihak perempuan meminta dukungan, atau

pemberian sukarela dari pihak laki-laki dengan dipertunjukannya tarian ini.

Pertunjukan atau disiplinnya seni pertunjukan adalah satu bidang seni yang

terdiri dari pertunjukan seperti musik, tari, dan teater.

Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu keluarga

baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata perkawinan

bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu faelöwa [fael∑wa] atau fangowalu.

Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan marafule

[marafule] melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan suatu

pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan sangowalu

(ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam melaksanakan satu

pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan dilakukan sebelumnya

sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di acara puncaknya yaitu

fangowalu.

1.4.2. Kerangka Teori

Kalau kita memandang dari segi teks dan lagu (melodi) Dananjaya membagi

nyanyian rakyat menjadi dua yaitu: (1) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan

lagunya daripada liriknya, (2) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan liriknya

daripada lagunya (Dananjaya, 1986:145 )

Dalam menganalisis melodi musik vokal maena Malm (1964 :8)

mengemukakan bahwa ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk

(15)

formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-pengulangan keseluruhan

nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi penguangan pada frase

pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk

nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5)

progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan melodi yang

berbeda

Musik vokal juga dapat dilihat dari bentuknya dimana Bruno Nettl

(1964:145-155 ) mengemukakan bahwa dalam pendistribusian suatu musik ada beberapa yang

perlu dilihat yaitu, (1) materi nada, (2) ritem, (3) bentuk, (4) elemen lain seperti timber

dan dinamika.

Pembahasan hubungan teks dengan melodi musik vokal maena fanehe maena

wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe maena wangandrö sokona digunakan

tulisan Mallm (1977:8) yang mengatakan bahwa jika satu buah not dipakai satu suku

kata disebut silabis, dan jika beberapa buah not dalam satu suku kata disebut

melismatis. Selain itu juga. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk

menemukan antara aksen dalam ucapan bahasa dengan aksen dalam bahasa musik, serta

untuk melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarna

dalam puisi atau pantun (Malm, 1977:18). Demikian halnya juga dengan teks atau syair

musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe

maena wangandrö sokona memiliki susunan syair yang berbentuk pantun dimana cara

penyajiannya dinyanyikan.

Alan P. Marriam (1964:46) menyebutkan yang perlu dibahas hubungan

linguistik dengan bunyi musik apakah teks mempunyai arti sesuai dengan yang

diucapkan. Pada teks atau syair musik vokal maena fanehe maena wangowai dome,

(16)

Makna tersebut ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata

atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna

denotatif. Makna konotatif ialah makna kata yang terkandung arti tambahan, sedangkan

makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan

makna yang sebenarnya, ( Groce Kraft, 1991:25).

Pada pembahasan tentang aspek musikologis musik vokal maena fanehe maena

wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona

(melodinya) digunakan teori weighted scale Malm (1977:8) dimana ia mengatakan

bahwa dalam mendeskripsikan suatu melodi ada beberapa karekteristik yang harus

diperhatikan yaitu Tangga Nada, Nada Dasar, Wilayah Nada, Interval, Jumlah Nada,

Formula Melodi, Pola-pola Kadensa, Kontur.

1.5 Metode Penelitian

Dalam tulisan ini yang dilakukan oleh penulis ialah dengan melakukan

penelitian deskriptif. Nazir (1983:63) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif ialah

bertujuan untuk mencari fakta-fakta dengan mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat serta tata cara yang belaku dalam masyarakat dengan situasi tertentu yang

berhubungan dengan kegiatan, sifat, sikap, pandangan serta proses dan pengaruh suatu

fenomena. Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan tiga jenis yakni masing –

masing terdiri dari aspek-aspek berikut ini.

1.5.1 Studi Pustaka

Sebagai landasan untuk berfikir dalam tuisan ini penulis melakukan studi

kepustakaan dengan tujuan untuk menambah data atau sumber bacaan seperti Skripsi

(17)

Perkawinan Masyarakat Nias Di Kota Medan, Analisis Tekstual Dan Musikal Nyanyian

Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola

di Kota Medan”, untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penulisan dan

menyesuaikan pengamatan dari hasil penelitian lapangan. Di samping itu juga studi

kepustakaan yang dilakukan penulis juga dilakukan untuk menentukan pendekatan

dalam pengumpulan data serta mengetahui informasi tentang geografis daerah

penelitian.

1.5.2. Penelitian Lapangan

Untuk kebutuhan dan kepentingan penulis mengumpulkan data-data informasi,

penulis menentukan lokasi penelitian yaitu di Kota Medan yang terfokus terhadap lokasi

yang merupakan tempat menyelenggarakan pesta perkawinan masyarakat Nias. Dalam

konteks penelitian ini, penulis melakukan kerja lapangan dalam bentuk mengamati

pertunjukan musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö,

dan fanehe maena wangandrö sokona yang berlangsung. Mencatat dan merekam

tahap-tahap yang dilakukan terutama dalam pesta perkawinan adat Nias. Untuk mendapatkan

data-data geografis dan etnografi tentang budaya Nias baik yang ada diwilayah budaya

Nias maupun di kota Medan, penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada

tokoh budaya Nias.

1.5.2.1 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tentang musik

vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena

wangandrö sokona ini, penulis melakukan wawancara kepada orang yang ahli dan

(18)

yang digunakan untuk memperoleh data tentang kejadian yang dapat diamati sendiri

secara langsung.

Dalam wawancara, penulis melakukan dengan tiga cara yaitu : (1) wawancara

terfokus (focused interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara

sambil lalu (casual interview) (Koentjaraningrat, 1990:140 ).

1.5.2.2 Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran

dengan menggunakan indera penglihatan, yang juga berarti tidak melakukan

pertanyaan-pertanyaan.(Soehartono, 1995:69). Selain itu juga Bregt (1989:77)

mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping

wawancara. Metode observasi sangat membantu proses pengumpulan data, di samping

observasi biasa penulis juga melakukan partisipas observasi pada lokasi dimana penulis

meneliti. Metode ini sangat membantu untuk mempererat antara penelitian dengan

informan sehingga informasi dapat diharapkan lebih lancar tanpa dibarengi rasa curiga.

1.5.2.3 Rekaman

Untuk merekam hasil wawancara pada pertunjukan musik vokal maena fanehe

maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona,

penulis menggunakan alat bantu rekam visual yaitu camera digital dengan merek

olympus untuk memotret sebagai dokumentasi gambar dan merekam pertunjukannya

(19)

1.5.2.4 Kerja Laboratorium

Untuk pentranskripsian dan penganalisis data serta informasi dilakaukan kerja

laboratorium. Semua data-data yang diperoleh dari lapangan dan studi kepustakaan akan

dianalisis untuk diseleksi sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam

melakukan penelitian. Dengan demikian penulis mengadakan evaluasi ulang, dan

penulis juga terkadang melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk

memperoleh data yang akurat.

Kerja laboratorium ini semua hasil dari penelitian lapangan baik dari perekaman

visual maupun audio penulis putar dan dengar secara berulang-ulang supaya dapat

dipahami dan dapat di transkripsikan dengan baik dan sesuai dengan fakta-fakta yang

(20)

BAB II

KEBERADAAN MASYARAKAT NIAS

DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98°

35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara

dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan

memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera

Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki

luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar

(www.wikipedia.com)

Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu

(Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah timur berbatasan dengan kecamtan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa

(Kabupaten Deli Serdang)

Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara lain :

Kecamatan Medan helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah,

(21)

Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,

Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas,

Kecamatan Medan Denai, Bandar Udara Polonia. Secara geografis Medan didukung

oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu,

Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan

lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan

berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling

memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan

memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang

dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi

geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub

pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan,

pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama

Medan Kanal Timur. Menurut stasiun Polonia pada tahun 2008 suhu udara berkisar

antara 22.9°C-32.8°C dan menurut stasion Sampali antara 23.1°-32,3°C, Kelembaban

udara: 82-84%, Curah hujan 176,08-203,5 mm

2.1.1 Demografi

Populasi Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku seperti: Melayu, Jawa,

Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola), Nias dan Tionghoa.

Berdasarkan data kependudukan Tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan

telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria. Sedangkan

(22)

penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah

penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain

itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis,

dengan latar belakang yang berbeda pula. Kondisi Kota Medan yang heterogen ini,

mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis.

2.1.2 Identifikasi Kecamatan Medan Tuntungan

Pada identifikasi tentang Kecamatan Medan Tuntungan ini menjadi pusat

perhatian penulis karena di daerah ini khususnya di daerah Simalingkar perumnas

masyarakat Nias kebanyakan telah lama bermukin didaerah ini terbukti dari

organisasi-organisasi seperti STM serta telah mendirikan gereja yang termasuk gereja besar

dibandingkan dengan daerah-daerah lain dimana masyarakat Nias tinggal di Kota

Medan. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota

Medan Sumatera Utara, Indonesia . Secara geografis kecamatan ini berbatasan dengan

- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,

- Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor,

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,

- Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang.

Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 69.447 jiwa. Luasnya

adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian

besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang seperti: Tionghoa,

Minang, Batak, Aceh dan Jawa sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.Yang

terletak di kecamatan ini yaitu, (1) Kebun Binatang Medan, (2) RSU Adam Malik, (3)

(23)

2.2 Gambaran Umum Budaya Nias

Kabupaten Nias terdiri dari beberapa pulau yang mengelilinginya, pulau kecil

dan pulau besar yang jumlahnya mencapai 131 pulau. Pada awalnya pulau Nias

merupakan pulau yang hanya memiliki satu kabupaten saja. Namun pada saat ini pulau

Nias telah dimekarkan dan dibagi menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya. Pada

awalnya pulau Kota Gunungsitoli merupakan ibukota daripada pulau Nias itu sendiri

akan tetapi dengan adanya pemekaran sesuai dengan otonomi daerah di Indonesia, maka

Kota Gunungsitoli pada saat ini ialah ibukota Nias Utara sekaligus Kotamadya

sedangkan Nias Selatan beribukota Teluk Dalam dan Nias Barat beribukota Mandrehe.

Kabupaten Nias memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas

pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara 0,120LU – 1,32o LU dan 90o BT - 98o BT.

Pulau Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau

Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak

(Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai (Sumatera

barat) disebelah selatan.

Wilayahnya yang berbukit-bukit dan dataran rendah hanya terdapat di bagian

utara, barat, dan sepanjang pantai serta tepi-tepi hilir sungai. Sebagian besar wilayah

pulau Nias merupakan hutan karena belum adanya penggarapan secara menyeluruh

disebabkan karena kurangnya transportasi dan jauh dari daerah pemukiman, sebagian

lagi sebagai pemukiman dan lahan pertanian. Iklim di pulau Nias sama dengan iklim di

Indonesia yaitu tropis dengan curah hujan yang cukup besar dan berkisar 3000 sampai

(24)

2.3 Asal Usul Orang Nias

Pada dasarnya orang Nias yang tinggal di Kota Medan ini tidak terlepas dari

asalnya darimana dan tidak terlepas dari para leluhurnya yaitu asal usul ono niha (orang

Nias). Ono niha termasuk kedalam rumpun melayu yang berasal dari ras Mongoloid

dari daratan Asia di wilayah Hassir, Provinsi Yunan (Hunan), yang diperkirakan

meninggalkan negerinya sekitar 3000 tahun yang lalu. Baermukim disuatu tempat yang

disebut dengan nalawö sia,a mbanua yang kemudian membangun pemukiman baru di

sekitar Gomo, hingga disebut oleh orang Nias sebagai tempat pertama manusia

diturunkan yaitu mbanua niha (Bas Telaumbanua dalam Joni K. Manalu 2000:17).

Menurut S. Zebua (1984) suku Nias berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian

berpindah kearah timur melalui Semenanjung India dan Birma terus ke pulau Nias.

Menurut Bas Telaumbanua (2000 : 18) kedatangan orang Nias terjadi dua tahap,

yaitu pada abad ketiga masehi dan awal abad keempat masehi. Dimulai dengan

perjalanan rahib Fa Hien dengan rombongannya yang berawal dari Mongol menuju

India untuk menuntut ilmu agama. Setelah itu meneruskan pelayaran menuju Jawa

Dwipa (diperkirakan bisa saja Sumatera, Jawa, atau pulau-pulau lain di Asia tengga).

Saat mereka kembali ke negeri asal mereka, perahu yang mereka tumpangi

diterpa ombak kemudian hancur dan karama. Akan tetapi sebagian penumpangnya

selamat mencapai daratan, menelusuri sungai yang diduga adalah sungai nalawö yang

bermuara di pantai Nias sebelah timur.

Menurut masyarakat Nias, yang dipercayai melalui foklor yang diwariskan

secara turun-temurun melalui tradisi hoho, leluhur orang Nias berasal dari langit.

Awalnya diturunkan tiga orang masing-masing bernama Daeli, Hulu, dan Gösö. Ketiga

orang tersebut turun dalam disebuah tempat yang bernama Gomo dan dari ketiga orang

(25)

Menurut cerita tradisional, leluhur orang Nias berasal dari langit dan merupakan

keturunan Dewa yang disebut dengan Lowalangi yang berarti diatas langit. Menurut

mite tersebut asal-usul orang Nias adalah dari tempat yang disebut Sirao, di lapis langit

ke tujuh. Ditempat tersebut tingggallah seorang pria yang memiliki Sembilan orang

anak dan seorang kemenakan yang bernama Luomewöna. Ketika itu timbul niat dalam

diri raja untuk mewariskan kerajaan kepada salah seorang anak ataupun keponakannya.

Raja meminta untuk menunjukkan kebolehan masing-masing menari di atas tombak.

Ternyata ilmu kesaktian yang dimiliki keponakannya lebih tinggi dibandingkan dengan

ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Sembilan orang anaknya. Takhta diserahkan kepada

Luomewöna dan Sembilan anaknya diturunkan ke bumi.

Nias yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan bahasa asli ono

niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebutnya ono niha (anak

manusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha (tanah manusia). Istilah Nias

kemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa bangsa barat, yang

karena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas (Nias). Perubahan nama ini

juga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti Kota

Gunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut luaha. Nama Gunungsitoli

kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat

Gunungsitoli sekarang ini.

Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam garis keturunannya. Dalam

perkembangannya mereka membentuk marga (fam) yang sampai sekarang masih tetap

(26)

2.4 Sistem Religi dan Agama

Zaman dulu sebelum agama Kristen dan Islam masuk di tanah Nias, masyarakat

Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat

diterjemahkan sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari

kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan

manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali

börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu.

Dewa si’ai ialah dewa yang paling tinggi yang diyakini oleh para leluhur orang

Nias dan semua alam semesta ini di kuasai oleh dewa itu. Pada waktu tertentu orang

Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa yang orang Nias

yakini itu. Untuk menghormati dewa itu mereka berkumpul dan mengadakan sambua

alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu

mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon besar itu kemudian

menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga

mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta

alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu

gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu),

uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa

penguasa air.

Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan

bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung

serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para

leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya

akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang

(27)

terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu

dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian. Demikianlah

kepercayaan masyarakat Nias sebelum agama Kristen masuk di tanah Nias mulai abad

ke – 19.

Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun

1865, tepatnya di Kota Gunungsitoli dimana sebelumnya ia telah belajar banyak tentang

Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang sehingga

ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah mengetahui tentang Nias

termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasan,

adat-istiadat, dan kebudayaan Nias hingga Denninger tertarik untuk dating ke Nias,

mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas

yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah

antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa

dödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai di

bakar dan dihancurkan, poligama, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan,

penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sejenisnya

sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama

Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62). Setelah penyebaran injuli oleh misionaris ke Tanö Niha,

umat Kristen tumbuh dan berkembang. Khususnya di Kota Medan, masyarakat Nias

diperkirakan berjumlah 25.000 jiwa dihimpun berdasarkan data yang diperoleh dari

berbagai gereja-gereja yang ada di Kota Medan.

Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, dimana mereka

mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu,

fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias, umumnya

(28)

mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan masyarakat Nias pada umumnya.

Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan kegiatan ibadah Islam seperti Shalat,

zakat, puasa, wirid yasin, memeperingati isra mi’raj Nabi Muhammad.

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisi

Selain sistem religi, masyarakat Nias juga memiliki sistem pemerintahan tradisi

yang dibagi dalam berdasarkan jabatan sebagai berikut yaitu, (1) tuhenöri-tuhe artinya

tunggal dan nöri atau öri artinya kumpulan dari beberapa banua (desa). Tuhenöri dipilih

antara pimpinan banua (desa) yang disebut salawa, (2) salawa artinya yang tinggi.

Salawa ini memimpin satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai

pengertian : fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani),

fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa), (3) satua

mbanua artinya penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan:

tambalinia (wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaöfa (orang

keempat).

2.4 Bosi (Tingkat Kehidupan)

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan

kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang

mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias

kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran

pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai

sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan

(29)

mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih

ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Pada masa awal religi sanömba [san∑mba] adu, masyarakat Nias mempercayai

sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistem penggolongan derajat

manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan

akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini

bosi ini nanti mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar

setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli [t et eh∑l i ] ana’a

(surga).

Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi

(memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4)

famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8)

fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat),

(10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua

(menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri),beberapa desa

(Dasa manaö 1998:195-196).

2.5 Kedatangan Orang Nias Di Kota Medan

Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara mereka bepergian

dari daerah asal ke daerah lain. Demikian juga halnya dengan orang Nias seiring

berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang Nias pergi dari pulau

Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi keberbagai daerah dengan tujuan dan

kepentingan yang bermacam-macam dan menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli,

Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka,

(30)

Perpindahan jumlah yang besar orang Nias diperkirakan sudah terjadi sejak abad

ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa

Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan menuju

Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan

untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan daerah

terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal dagang dari berbagai daerah

sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan perdagangan waktu

itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter

orang Nias ialah menghormati dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah

diorganisisr sebagai pelaku perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang

Nias mulai mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja

Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran tahun

tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit perang dan ada

juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di jadikan istri.

Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu)

banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah perkebunan di luar

pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah tersebut hinga sekrang.

Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur)

diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming perkebunan tembakau dan

perkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja di

perkebunan-perkebunan, pada waktu itu karet menjadi “primadona” oleh orang

Belanda. Sehingga pohon karet oleh orang Nias disebu hafea, yang tak lain adalah

penyebutan lain untuk HVA yang berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan

(31)

Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur kemudian berkembang menjadi

Kota Medan. Orang Nias terus melakukan proses perpindahan atau urbanisasi yang

dahulunya hanya kelompok kecil, semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku

Nias. Hidup berdampingan dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam

keterlibatan dalam berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan

aktifitas budaya masing-masing suku.

2.7 Proses Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan

Adaptasi masyarakat suku Nias terjadi saat berbaur berbagai macam etnik

lainnya yang ada di Kota Medan, dengan tetap melakukan aktifitas budaya yang mereka

pertahankan keberlangsungannya yang pada akhirnya tercipta Kota Medan yang

multikultural.

Suku Nias merupakan salah satu heterogenitas suku bangsa yang menetap di

Kota Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan terbagi,

(1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1990 : 84), dengan

alas an bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan,

(2) suku pendatang antara lain : Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,

Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah

teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur

pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya. Juga

etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis Nusantara lainnya

serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang dari Cina, India, dan yang

lain dalam jumlah kecil.

Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas

(32)

dan Kotamadya dimana sebelumnya pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja

namun saat ini pulau Nias telah menajdi empat kabupaten satu Kotamadya sehingga

semakin memudahkan untuk dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi

dialek bahasanya.

2.8 Mata Pencaharian

Ketertarikan masyarakat Nias di berbagai macam sumber daya alam yang ada di

Kota Medan baik di kawasan industri, perkantoran maupun disektor lainnya berawal

pada tahun 1960-an dan jumlahnya semakin bertambah. Kedatangan orang Nias di Kota

Medan berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para pemuda Nias

melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota

Medan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai

wilayah Kota Medan, bekerja di Pabrik, petani, nelayan, tukang becak, karyawan

swasta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, buruh lepas

juga ada yang berbaur lewat perkawinan antara orang Nias dengan orang dari etnis lain.

Dengan bertambahnya jumlah orang Nias yang menetap di Kota Medan

menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan perkumpulan

orang Nias dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan kepemudaan. Pada saat ini

diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan ± 25.000.

yang tersebar dalam wilayah Medan seperti, Daerah Belawan, Perumnas Mandala,

daerah Perumnas Simalingkar, daerah Padang Bulan, daerah Helvetia, serta daerah

lainnya dalam jumlah kecil namun khusus didaerah objek penelitian penulis

diperkirakan berdasarkan hasil yang di kumpulkan penulis dari Kecamatan Medan

(33)

2.9 Organisasi Sosial

Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan

kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang

saling berbeda. Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi dialeknya agak

berbeda disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Nias adalah huruf vocal

yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu ditandai dengan akhiran huruf

vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial antara sesame orang

Nias dengan daerah budaya yang berbeda.

Meskipun orang Nias telah berpindah di berbagai tempat akan tetapi secara

individual atau kelompok berusaha untuk tetap mempertahankan warisan budaya para

leluhurnya namun kebudayaan tersebut tidak seutuhnya dipertahankan, akan tetapi

terjadi perubahan, perkembangan sesuai dengan situaai lingkungan dimana kebudayaan

itu dilaksanakan atau tempat dimana ia tinggal.

Kebudayaan Nias dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau

perkumpulan-perkumpulan masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang membentuk

perkumpulan berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias seperti Persatuan

Masyarakat Gomo (PERMASGOM), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau Batu, Teluk

Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga Harefa, Persatuan

Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga Telaumbanua, Persatuan

Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan Marga Nazara. Selain itu juga

masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan berdasarkan dimana mereka tinggal di

Kota Medan berupa Serikat Tolong Menolong (STM), seperti STM Sehati, STM

Faomakhöda, STM Kasih Karunia, STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang

(34)

Medan, seperti Gerakan Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias

(FORMANISPE), KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.

2.10 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan yang berlaku di Nias adalah menurut garis keturunan ayah

(patrilineal) dan mado (marga) menjadi perlambang aka nasal dan klasifikasi “keluarga”

seseorang dan selalu maarga (mado) ayah yang ditempatkan dibelakang nama lahir

untuk generasi dibawahnya. Marga-marga yang ada pada masyarakat Nias adalah

Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima,

Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i

menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fau,

Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa,

Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita,

Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia,

Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature,

Luahambowo, lazira, Lawolo,Lawelu, Laweni, lasara,laeru, Löndu go'o, lase, larosa,

Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya,

Möhö, Marundruri,Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru,

Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua,

Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe,

Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö,

(35)

2.11 Kesenian

Dalam masyarakat Nias memilki beberapa kesenian daerah yang merupakan ciri

khas daeri daerah Nias yaitu seni musik. Adapun alat-alat musik Nias sebagai berikut :

(a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat

pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta

pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. (b) Aramba

(gong), alat musik jenis gong berpencu, teridiri dari gua gong yaitu aramba dan faritia.

Aramba lebih besar dari faritia.fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang

terjadi di Medan perang, misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, gendang yang

ukurannya lebih kecil dari göndra dan bagianluarnya tidak diikat oleh rotan tetapi

luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi

pengantin, laug dan tarian. (d) doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa

bilahan-bilahan yang diletakkan diatas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul terbuat

dari kayu. Alat musik ini kadang juga dikatakan gambang. (e) Suling adalah alat musik

tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua). (f) Ndruri dana adalah alat musik jew’s harp,

memiliki satu lidah yang disebut lela.

Selain dari seni musik, masyarakat Nias juga memiliki tari-tarian yaitu, (a) Tari

maena yaitu tari yang biasa dipertunjukkkan dalam acara pesta pernikahan, pesta

owasa, dan juga dilakukan untuk menyambut tetamu terhormat. Tari maena biasanya

dilaksanakan dilapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak

sulit untuk diikuti. Variasi gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segi

tiga (tölu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi empat (öfa sagi). (b) Tari moyo

adalah tarian yang menirukan gerakan burung elang yang sedang terbang. Biasanya

ditarikan oleh wanita. Tari ini digungsikan untuk acara terpenting misalnya penobatan

(36)

persatuan sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya

menggambarkan sekelompok tentara yang sedang berperang. Property tariannya adalah

pedang (balatu/ekhe), tombak (toho), dan tameng (baluse). (d) Tari Hombo batu atau

lompat batu merupakan tari yang berunsur olah raga latihan perang melompati batu

sebagai simbol budaya megalitikum. Sapaan Ya'ahowu. Dalam budaya Ono Niha (Nias)

terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam

Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti

Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan

diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan

sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang

bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan

kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan

kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak

terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi

makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam

damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan

(37)

BAB III

PENYAJIAN MAENA DALAM KONTEKS PESTA ADAT PERKAWINAN MASYARKAT NIAS DI KOTA MEDAN

3.1 Gambaran Umum Upacara Perkawinan Adat Nias

Perkawinan (falöwa [f al ∑wa]) bagi masyarakat Nias merupakan pembentukan

suatu keluarga baru yang bernlai sacral, untuk melahirkan keturunan (regenerasi).

Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan adat yang berlaku dan disahkan oleh agama

(pihak gereja bagi yang beragama Kristen), serta memenuhi persyaratan hukum Negara

atau pemerintahan.

Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18 tahun

dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika beragama

Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak laki-laki

menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga pengantin wanita

(balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias tampak bahwa aturan agama

yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran penting dalam upacara adat

perkawinan suku Nias.

Jika calon pengantin adalah pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani

proses pemberkatan di gereja yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah

menurut agama kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi

yang telah ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga

pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik.

Sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan

(38)

rangkain pelaksanaan pesta perkawinannya sama dengan keadaan setelah Kristen masuk

di Nias.

3.2 Tata Cara Yang Umum Dilakukan

Upacara adat perkawinan masyarkat Nias memiliki struktur hierarki (tingkatan)

yang yang dalam mekanisme perencanaan dan pelaksanaanya tergantung pada bagian

daerah tempat upacara itu dilaksanakan. Mekanisme dan aturan adat Nias bagian utara

berbedan dengan Nias bagian selatan dan bagian barat atau tengah. Masing-masing

mempunyai karakter yang tersendiri. Namun pada masyarakat Nias memiliki kesamana

sesuatu yang umum dilakukan dalam pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Nias

salah satunya yaitu jujuran (böwö) yang dilakukan dalam ritual penentuan yang disebut

fondrako.

3.3 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias

Mahar (jujuran ) adalah keseluruhan prosedur pernyerahan yang oleh adat telah

ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan laposan dan

kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil

seorang perempuan Nias, Hans Daeng (dalam Lola Utama Sitompul, 2009 : 81),

sedangkan menurut Ariyono jujuran merupakan benda-benda berharga yang diberikan

kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara

khusus, menurut adat istiadat pernikahan Nias jujuran (böwö) dalam arti sebenarnya

adalah kasih atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain.

Secara umum menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri

dari kefe (uang kertas), bawi (babi),böra [b∑r a] (beras), firö (uang perak), dan ana’a

(39)

oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (jujuran) pada

masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya

suatu prosese pernikahan.

Pada pelaksanaan pesta perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak

laki-laki kepada perempuan berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung

dan babi30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga

dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta

pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau

berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta

sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi

perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang

diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan

seorang perempuan.

Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange (memberikan sesuatu dengan penuh

rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang dilakukan oleh mempelai pria kepada

orang-orang tertentu, yaitu orang-orang-orang-orang yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah

pada saat upacara dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman

untuk diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari

pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang paling

menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai wanita. Jika uang

salam tangan tersebut sesuai dengan keinginan penerima, maka serahterima dapat

(40)

3.4 Sistem Perkawinan Yang Di Anut Masyarakata Nias 3.4.1 Kawin Sedarah

Kawin sedarah merupakan perkawinan antara saudara sepupu jauh (setelah

Sembilan generasi) sebagai hasil keputusan fondrako bonio dan fondrako laraga yaitu,

(1) seorang calon pengantin pria dapat mengawini saudara sepupu jauh setelah

Sembilan generasi, hal ini dimungkinkan agar putra-putri keturunan bangsawan (si ulu

atau balugu) jangan sampai jatuh kepada pihak lain yang derajat bosi berbeda agar

hubungan kekeluargaan yang sudah mulai menjauh dapat menjadi lebih dekat kembali.

Namun sesuai dengan pengalaman penulis perkawinan sedarah juga bukan hanya

dilkukan oleh pihak balugu saja namun orang yang bosinya saling berbeda juga bisa

dilakukan jikalau kedua belah pihak memiliki kecocokan dan sebagaimana pesta

perkawinan pada umumny, (2) seorang pria menikahi putrid pamannya dari pihak

kerabat ibunya, yang lazim disebut sibaya atau uwu. Perkawinan seperti ini disebut

sangawuli ba zibaya atau sangawuli ba nuwu, (3) perkawinan antara sepupu dengan

ketentuan ibu calon pengantin pria bersaudara kandung dengan ibu calon pengantin

wanita, yang disebut dusanai atau gasiwa (pariban dalam istilah lain).

3.4.2 Perkawinan Ganti Tikar

Perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo, terjadi bila seorang istri yang

suaminya telah meninggal dunia, maka saudara kandung dari mendiang suaminya

berhak mengawininya. Demikian sebaliknya, jika seorang suami yang istrinya sudah

meninggal dunia dapat menikhai saudara kandung mendiang istrinya. Hal ini bertujuan

agar hubungan kekerabatan yang terjalin karena perkawinan sebelumnya tetap terjalin

(41)

3.5 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga

Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni Nias

selatan dan Nias utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa kabupaten di pulau

Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada masing-masing kabupaten.

Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik

masyarakat Nias yang ada di Kota Medan maupun masyarakat di Nias itu sendiri.

Böwö laraga ini merupakan acuan yang mempunyai pengaruh yang paling luas

dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang

tinggal di Kota Medan, dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya

yang berlainan sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang

kemudian disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang malangsungkan

upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya

perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di jodohkan

dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam penentuan mahar

perkawinan seluruhnya di atur oleh orang tua.

3.6 Jenjang Pelaksanaan Pesta Perkawinan

Jenjang yang ditempuh dalam pelaksanaan pesta perkawinan böwö laraga yaitu,

(1) famaigi niha (memilih gadis), keluarga pihak pengantin pria pergi menemui orang

tua calon pengantin wanita. Bila anak gadis hendak dipinang berkenan, maka ditentukan

langkah selanjutnya. Sisini terdapat idiom bahasa / kiasan yang disampaikan oleh

perwakilan pihak pria yaitu:

Gambar

Tabel Interval Syair Maena Wangowai Dome
Tabel Interval Syair Maena Wangowai Zowatö

Referensi

Dokumen terkait

Teknik Vokal dan Makna Lagu Maena dalam Acara Pernikahan Adat Nias di Desa Hilimbosi Kecamatan Sitolu Ori Kabupaten Nias Utara.. Fakultas Bahasa Dan

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

pesta adat perkawinan yang merupakan bagian dari adat budaya Tapanuli Selatan. Pakaian adat ini memiliki ciri khas

Bab IV :Pakaian Adat Pada Pesta Perkawinan Masyarakat Sumando Pesisir Sebagai Atraksi Wisata Di Kabupaten Tapanuli Tengah. Bab IV ini menguraikan asal usul adat

Berdasarkan data sensus kependudukan pada tahun 2010 yang dilakukan oleh pemerintah kota Medan, penduduk kota Medan diperkirakan telah mencapai 2.097.610 jiwa, dengan jumlah

Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Medan:

Adaptasi ini dilakukan oleh masyarakat Nias yang tinggal di Kota Padang dikarenakan mayoritas masyarakat Kota Padang adalah muslim dengan suku Minangkabau, sehingga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertunjukan musik lagu pop mandarin pada pesta pernikahan etnis Tionghoa di Semarang merupakan salah satu ragam pertunjukan musik Mandopop