• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan"

Copied!
318
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1

Kantor Staf Presiden dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2017

Tahap II

Bagian I Pendahuluan

Bab 1

Latar Belakang dan Tujuan

Bab 2

Ruang Kajian, Tahapan Kerja, dan Aspek Legal KLHS

Bab 3

Prosedur KLHS dan Konsep Pengaruh/Dampak KRP

Bagian II Ekosistem & Sistem Sosial Pegunungan Kendeng

Bab 4

Karakter Fisik

Bab 5

Keanekaragaman Hayati

Bab 6

Sosial, Ekonomi, dan Budaya

b

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan

Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan

(2)

KAJIAN LINGKUNGAN

HIDUP STRATEGIS

Kebijakan Pemanfaatan dan

Pengelolaan Pegunungan

Kendeng yang Berkelanjutan

• Kantor Staf Presiden

• Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

(3)

Tim Pelaksanaan KLHS

Surat Keputusan Menteri LHK nomor SK.242/Menlhk/Setjen/PLA.3/5/2017 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan dan Pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan, 19 Mei 2017.

Ketua Pengarah : Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Anggota Pengarah :

1. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

2. Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Hidup Kebijakan Wilayah dan Sektor 3. Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Hidup Usaha dan Kegiatan

4. Direktur Ekosistem Esensial

5. Direktur Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka 6. Direktur Kemitraan Lingkungan

Ketua Pelaksana : Dr. Soeryo Adiwibowo (Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan, IPB) Anggota Pelaksana:

1. Dr. Budi Brahmantyo (Geologi, ITB)

2. Dr. Ir. Endrawati Fatimah, MPSt (Perencanaan Ruang, Trisakti) 3. Dr. Chay Asdak (Hidrologi, UNPAD)

4. Dr. Liyantono (Hidrologi, IPB)

5. Dr. Mahawan Karuniasa (Ilmu Lingkungan, UI) 6. Dr. Ricardo Simarmata (Hukum Agraria, UGM) 7. Prof. Dr. Agus Maladi Irianto (Antropologi, UNDIP)

8. Prof (Ris) Dr. Riwanto Tirtosudarmo (Demografi Sosial, LIPI)

9. Dr. Ernan Rustiadi (Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan) 10. Prof. Dr. Rahayu (Hukum HAM, UNDIP)

11. Dr. Aviasti. MSc (Analisis Sistem, UNISBA Bandung) 12. Dr. Prabang Setyono, M.Si (Biologi, UNS Solo)

13. Dr. Andrea Emma Pravitasari (Kebijakan Penggunaan Tanah dan Ruang, IPB) 14. Dr. Hartuti Purnaweni (Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan, UNDIP) 15. Dr. Tjahyo Nugroho Adji (Geologi, UGM)

Nara Sumber: Wahyu Prasetyawan, PhD. Asisten Peneliti:

1. Ir. Soni Wibi Yulianto 2. Alvin Fatikhunnada, S.T. 3. Joihot Rizal Tambunan, S.T. 4. Nandra Eko Nugroho, ST, MT 5. Handian Purwawangsa, S.Hut, M.Si 6. Titik Setiyo W., S.St

7. Imelda Kusuma Wardani, SP 8. Yeni Selfia, SSi, M.Si

(4)

Tim Panel Pakar Penguji Hasil KLHS

Surat Keputusan Kepala Staf Presiden Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang

Berkelanjutan

Penanggung Jawab : Prof. Sudharto P. Hadi, MES, Ph. D (Manajemen Lingkungan, UNDIP) Anggota:

1. Prof. Dr. rer.nat. Imam Buchori (Perencanaan Ruang, UNDIP) 2. Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Kebijakan Pengelolaan Hutan, IPB)

3. Prof. Sari Bahagiarti Kusumayudha (Geohidrologi Karst, UPN Veteran Yogyakarta) 4. Prof. Dr. Achmad Sjarmidi (Biologi, ITB)

5. Prof. Dr. Ir. Darsono, M.Si (Ekonomi Pertanian, UNS Solo) 6. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. (Ekonomi Lingkungan, IPB) 7. Dr. Cahyo Rahmadi (Biologi Gua, LIPI)

8. Dr. Pujo Semedi H. Yuwono (Anthropologi, UGM) 9. Dr. Surono (Kebumian)

10. Dr. Poppy Ismalina (Ekonomi Lingkungan, UGM) 11. Dr. Harsanto Nursadi (Hukum Administrasi Negara, UI)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT, setelah menghadapi berbagai persoalan dan tantangan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan (yang selanjutnya disingkat sebagai KLHS Kendeng) Tahap II akhirnya dapat diterbitkan. Dengan telah diterbitkannya dokumen KLHS Kendeng Tahap I pada tahun 2017 silam dan kini KLHS Tahap II; maka amanat atau perintah Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2016 di Istana Negara, Jakarta, agar segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS telah selesai seluruhnya. Ekosistem Pegunungan Kendeng yang menjadi fokus telaahan KLHS ini terbentang di empat kabupaten Provinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, dan Blora; dan di tiga kabupaten Jawa Timur yaitu Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Lamongan. Semula KLHS untuk seluruh ekosistem Pegunungan Kendeng ini diselenggarakan sekaligus. Namun mengingat urgensi persoalan yang dihadapi, yakni perlunya segera dicari jalan keluar atas konflik pemanfaatan CAT Watuputih Rembang, serta luasnya cakupan wilayah yang dikaji; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutuskan KLHS Kendeng diselenggarakan dua tahap, yakni KLHS Kendeng Tahap I dan Tahap II.

Konsekuensi teknis dari dua tahap kerja KLHS Kendeng ini adalah, pertama, observasi dan pengumpulan data di lapangan, serta konsultasi publik (baik secara langsung maupun tidak langsung) dilakukan pada setiap tahap KLHS. Kedua, pembahasan hasil KLHS oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan instansi berkepentingan dilakukan pada setiap tahap KLHS. Ketiga, Tim Panel Pakar Penguji KLHS yang dibentuk oleh Kepala Staf Presiden melakukan pengujian dua kali, yakni terhadap hasil KLHS Tahap I dan II. Ketiga faktor teknis ini membawa implikasi penyelenggaraan KLHS berlangsung dua tahun dari target semula satu tahun.

Kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku Ketua Pengarah dan segenap anggota Pengarah KLHS; kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Pula kepada Ketua dan seluruh anggota Pelaksana KLHS, serta kepada Penanggung Jawab dan seluruh anggota Panel Pakar Penguji KLHS; kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya serta apresiasi yang tinggi atas kerja keras dan semangat yang dicurahkan.

Kami mohon maaf bila dalam dokumen KLHS ini dijumpai kekurangan-kekurangan. Akhir kata, semoga seluruh hasil KLHS Pegunungan Kendeng ini dapat digunakan untuk memperbaiki Kebijakan, Rencana, dan Program-program pembangunan yang termuat dalam RTRW dan RPJM Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, serta RTRW dan RPJM Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, Blora; Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Sehingga dalam jangka panjang terwujud

Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan.

Jakarta, 14 Mei 2018

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

(6)

DAFTAR ISI

TIM PELAKSANAAN KLHS I

TIM PANEL PAKAR PENGUJI HASIL KLHS II

KATA PENGANTAR III

DAFTAR ISI IV

DAFTAR TABEL VI

DAFTAR GAMBAR IX

I BAGIAN I. PENDAHULUAN I-1

1 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan KLHS I-1

1.1 Konteks dan Urgensi I-1

1.2 Amanat Pembangunan Berkelanjutan dalam Konteks Nasional dan Global I-4

1.3 Tujuan Pelaksanaan KLHS I-6

2 Ruang Kajian, Tahapan Kerja, dan Aspek Legal KLHS I-7

2.1 Ruang Kajian I-7

2.2 Tahapan Kerja KLHS Pegunungan Kendeng I-9

2.3 Aspek Legal KLHS I-10

3 Prosedur Penyelenggaraan KLHS I-16

3.1 Persiapan I-16

3.2 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan I-16 3.3 Identifikasi KRP yang Berpengaruh terhadap Lingkungan I-17 3.4 Observasi Lapang dan Pengumpulan Data I-18

3.5 Analisis Pengaruh I-21

3.6 Perumusan Alternatif Kebijakan, Rencana, Program I-22

3.7 Formulasi Rekomendasi I-22

3.8 Presentasi dan Diskusi Hasil KLHS I-22

3.9 Penjaminan Kualitas I-23

3.10 Pendokumentasian I-23

II BAGIAN II. EKOSISTEM & SISTEM SOSIAL PEGUNUNGAN KENDENG II-1

4 Karakter Fisik II-1

4.1 Letak dan Luas Pegunungan Kendeng Utara II-1

4.2 Geomorfologi II-2

4.3 Geologi II-3

4.4 Hidrogeologi II-12

4.5 Sistem Karst dan Batugamping (Batu Kapur) II-16

4.6 Speleologi II-22

4.7 Daerah Aliran Sungai, Hidrologi, dan Sumber Daya Air II-28 4.8 Cekungan Air Tanah, Mata Air dan Sumur II-36

4.9 Pemanfaatan Air II-49

(7)

5 Karakter Keanekaragaman Hayati II-75

5.1 Keanekaragaman Hayati di Eksokarst Pegunungan Kendeng dan Wilayah Tujuh

Kabupaten II-75

5.2 Keanekaragaman Hayati di Endokarst Pegunungan Kendeng dan Wilayah Tujuh

Kabupaten II-95

6 Sosial, Ekonomi, dan Budaya II-103

6.1 Demografi dan Rumah Tangga Usaha Pertanian II-103

6.2 Kondisi Perekonomian Daerah II-126

6.3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Kemiskinan II-228 6.4 Karakteristik Masyarakat Pedalaman dan Pesisir II-232

6.5 Tradisi dan Kearifan Lokal II-236

6.6 Institusi, Akses, dan Konflik Sumber Daya Alam II-242

DAFTAR PUSTAKA 1

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel I-1 Ruang Kajian dan Deskripsi Wilayah KLHS Pegunungan Kendeng I-8 Tabel I-2 Tahapan Kerja KLHS Pegunungan Kendeng menurut Fokus dan Kabupaten

Wilayah Kajian (Arahan Menteri LHK 14 September 2016). I-10 Tabel I-3 Peraturan Daerah RTRW), RPJPD, dan RPJMD menurut Provinsi dan

Kabupaten yang menjadi Wilayah KLHS Pegunungan Kendeng Tahap II I-17 Tabel II-1 Pemanfaatan debit sungai Kabupaten Tuban untuk air irigasi II-32 Tabel II-2 Nama, lokasi dan luas CAT di wilayah Pegunungan Kendeng II-38 Tabel II-3 Rekapitulasi potensi mata air di Wilayah Sungai Jratunseluna II-42 Tabel II-4 Sumber/mata air di Kabupaten Tuban II-44 Tabel II-5 Variasi Kedalaman Muka Air Tanah di Wilayah Studi II-50 Tabel II-6 Banyaknya rumah tangga menurut sumber utama air minum dan kecamatan

di Kabupaten Tuban, Tahun 2010 II-51

Tabel II-7 Pemanfaatan air oleh PDAM Kabupaten Tuban II-52 Tabel II-8 Ketersediaan air dan kebutuhan air tahun 2012 Kabupaten Tuban II-53 Tabel II-9 Status daya dukung air 2015 di tujuh kabupaten yang meliputi wilayah

Pegunungan Kendeng Utara II-55

Tabel II-10 Penjabaran generalisasi tutupan lahan II-57 Tabel II-11 Tutupan lahan dan luas agregat tujuh kabupaten di wilayah Pegunungan

Kendeng II-58

Tabel II-12 Tutupan lahan di Kabupaten Grobogan pada periode 1996 - 2016 II-62 Tabel II-13 Tutupan lahan di Kabupaten Pati pada periode 1996 - 2016 II-63 Tabel II-14 Tutupan lahan di Kabupaten Rembang pada periode 1996 - 2016 II-63 Tabel II-15 Tutupan lahan di Kabupaten Blora pada periode 1996 - 2016 II-63 Tabel II-16 Tutupan lahan di Kabupaten Bojonegoro pada periode 1996 - 2016 II-64 Tabel II-17 Tutupan lahan di Kabupaten Tuban pada periode 1996 - 2016 II-64 Tabel II-18 Tutupan lahan di Kabupaten Lamongan pada periode 1996 - 2016 II-64 Tabel II-19 Perubahan tutupan lahan ekosistem Pegunungan Kendeng periode 1996 -

2016 II-65

Tabel II-20 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Grobogan, Periode 1996 - 2016 II-69

Tabel II-21 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Pati, Periode 1996 - 2016 II-70

Tabel II-22 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Rembang, Periode 1996 - 2016 II-70

Tabel II-23 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Blora, Periode 1996 - 2016 II-70

Tabel II-24 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Bojonegoro, Periode 1996 - 2016 II-71

Tabel II-25 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Tuban, Periode 1996 - 2016 II-71

Tabel II-26 Perubahan Tutupan lahan Pegunungan Kendeng yang terletak di Kabupaten

Lamongan, Periode 1996 - 2016 II-71

Tabel II-27 Matriks logis perubahan penutupan lahan beserta luasan perubahan di 7

(9)

Tabel II-28 Matriks logis perubahan penutupan lahan beserta luasan perubahan di

Pegunungan Kendeng II-74

Tabel II-29 Luas dan persentase Kawasan Hutan menurut tujuh kabupaten di

Pegunungan Kendeng Utara, 2013 II-75

Tabel II-30 Jenis Kawasan Lindung menurut tujuh kabupaten di Pegunungan Kendeng

Utara II-75

Tabel II-31 Jenis Famili, Spesies, dan Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi di Kawasan Karst Kecamatan Sukolilo dan Tambakromo, Pati, menurut tinggi dari

permukaan laut II-77

Tabel II-32 Jenis tanaman menurut pemanfaatannya di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten

Pati II-79

Tabel II-33 Jenis tumbuhan peneduh dan tanaman budidaya menurut kecamatan di

Kabupaten Grobogan II-80

Tabel II-34 Jenis flora menurut nama ilmiah dan Status Terancam, Kabupaten

Grobogan, 2012 II-83

Tabel II-35 Spesies mangrove di Kabupaten Rembang, 2006 II-84 Tabel II-36 Hasil inventarisasi tanaman herba pada hutan jati Dander Bojonegoro II-86 Tabel II-37 Nama lokal dan nama ilmiah kelompok serangga menurut kelimpahannya di

Pegunungan Karst Kendeng, Sukolilo, Pati II-87 Tabel II-38 Nama lokal, nama ilmiah kelompok burung dan kelimpahannya di

Pegunungan Karst Kendeng, Sukolilo, Pati II-87 Tabel II-39 Jenis siput tanah (Land Snail) di Karst Sukolilo (Grobogan-Pati) II-89 Tabel II-40 Spesies makrofauna tanah di Karst Sukolilo II-90 Tabel II-41 Jenis kelelawar pada Gua Karst Kabupaten Pati II-91 Tabel II-42 Jenis kelelawar (Chiroptera) pada Gua Lawa Karst Dander Bojonegoro II-91 Tabel II-43 Jenis aves, mamalia, dan herpetofauna di Kawasan Lindung Randu Blatung II-93 Tabel II-44 Jumlah spesies berdasarkan gua di Pegunungan Kendeng II-98 Tabel II-45 Jumlah catatan setiap spesies di setiap kabupaten II-100 Tabel II-46 Kelompok kelelawar berdasarkan perannya di setiap kabupaten II-101 Tabel II-47 Jumlah penduduk menurut 7 kabupaten di Kawasan Kendeng Tahun 2016 II-103 Tabel II-48 Jumlah jenis rumah tangga usaha pertanian menurut Kecamatan di wilayah

Pegunungan Kendeng Utara II-122

Tabel II-49 Persentase total PDRB (ADHB) 7 kabupaten di Kawasan Pegunungan

Kendeng Tahun 2016 II-127

Tabel II-50 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku PDRB (ADHB)

menurut lapangan usaha di 7 kabupaten di Kawasan Pegunungan Kendeng II-128 Tabel II-51 Kontribusi sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada 7 kabupaten di

Kawasan Pegunungan Kendeng terhadap PDRB (ADHB) Tahun 2016 II-129 Tabel II-52 Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian pada 7 Kabupaten di

Kawasan Pegunungan Kendeng terhadap PDRB (ADHB) Tahun 2016 II-130 Tabel II-53 Kontribusi sektor industri pengolahan pada 7 kabupaten di Kawasan

Pegunungan Kendeng terhadap PDRB (ADHB) Tahun 2016 II-131 Tabel II-54 Multiplier Output Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang dan Blora Tahun

2015 II-210

Tabel II-55 Multiplier Pendapatan Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang dan Blora

Tahun 2015 II-211

(10)

Tabel II-57 Multiplier Output Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan Tahun 2015 II-214 Tabel II-58 Multiplier Pendapatan Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan Tahun

2015 II-215

Tabel II-59 Multiplier PDRB Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan Tahun 2015 II-216 Tabel II-60 Lapangan-lapangan usaha dengan LQ >1 dan DS > 0 menurut 7 kabupaten di

Kawasan Gunung Kendeng Tahun 2016 II-226 Tabel II-61 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut 7 kabupaten di Kawasan

Gunung Kendeng Tahun 2016 II-228

Tabel II-62 Tingkat kemiskinan menurut 7 kabupaten di Kawasan Gunung Kendeng

Tahun 2016 II-229

Tabel II-63 Perbedaan karakteristik masyarakat petani dan nelayan di Wilayah

Pegunungan Kendeng II-234

Tabel II-64 Luas Kawasan Hutan yang mengalami tukar menukar Kawasan Hutan

(TMKH) menurut Divisi Regional Perhutani di Jawa dan Pemohon TMKH II-244 Tabel II-65 Luas Hutan Produksi dan Hutan Lindung Perum Perhutani menurut Wilayah

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Kabupaten, dan Provinsi Studi KLHS

Pegunungan Kendeng. II-246

Tabel II-66 Luas Kawasan Hutan Perhutani yang mengalami konflik atau klaim

Lahan/Hutan menurut areal kerja dan strata penguasaan II-253 Tabel II-67 Jumlah dan luas klaim konflik lahan menurut Wilayah KPH dan Kabupaten,

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I-1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang Ditetapkan oleh UNDP. Tiga dari 17 Tujuan tersebut Relevan dengan Isu-isu

Pembangunan Berkelanjutan Pegunungan Kendeng (yakni Nomor 1, 6 dan 15). I-6 Gambar I-2 Wilayah Studi KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan

Kendeng yang Berkelanjutan I-9

Gambar I-3 Diagram Alir Keterkaitan antara KLHS, AMDAL, dan UKL/UPL dalam Konteks

Penentuan dan Perizinan Usaha/Kegiatan (Nursadi, 2017) I-15 Gambar II-1 Peta wilayah studi KLHS untuk kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan

Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan II-2 Gambar II-2 Pembagian zona fisiografi Jawa Tengah – Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949)

kotak merah adalah lokasi kajian KLHS II-3 Gambar II-3 Kolom stratigrafi Mandala Rembang (Pringgoprawiro, 1983) II-6 Gambar II-4 Stratigrafi Mandala Kendeng (Pringgoprawiro, 1983). II-9 Gambar II-5 Peta geologi regional Pegunungan Kendeng Utara (Badan Geologi) II-10 Gambar II-6 Keterangan tentang formasi batuan Pegunungan Kendeng Utara (Sumber:

Badan Geologi) II-11

Gambar II-7 Peta hidrogeologi Daerah Lamongan (Sumber: Badan Geologi) II-13 Gambar II-8 Peta hidrogeologi Daerah Tuban (Badan Geologi) II-14 Gambar II-9 Peta hidrogeologi Daerah Bojonegoro (Badan Geologi) II-14 Gambar II-10 Peta sebaran mata-air, ponor, gua, dan sumur gali Pegunungan Kendeng Utara II-15 Gambar II-11 Morfologi Positif Karst: Tower Karst, Cone (Kegel) Karst (Maslyn, 1977) II-17 Gambar II-12 Morfplogi Negatif Karst: Dolina, Uvala, Polje

(http://www.geographynotes.com/topography/karst-topography) II-17 Gambar II-13 Bentang alam karst di Daerah Guwoterus, Kecamatan Montong, Kabupaten

Tuban. (Dokumentasi: JM-PPK) II-19

Gambar II-14 Bentang alam karst di Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. (Dokumentasi:

JM-PPK) II-19

Gambar II-15 Bentang alam karst di Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. (Dokumentasi:

JM-PPK) II-20

Gambar II-16 Bentang alam karst di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. (Dokumentasi:

Nandra EN) II-20

Gambar II-17 Bentang alam karst di Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. (Dokumentasi: Giri

Bahama) II-21

Gambar II-18 Bentang alam karst di Daerah Kemantren, Kabupaten Lamongan II-21 Gambar II-19 Gua Manuk di Cagar Alam Gua Nglirip, Tuban (Foto: C. Rahmadi/2007) II-23 Gambar II-20 Jumlah gua di tujuh kabupaten di Pegunungan Kendeng (Sumber Data: ASC,

JMPKK, SCA, MAHIPAL UNIROW, LIPI) II-23 Gambar II-21 Lorong berair di Gua Urang (Grobogan) yang merupakan bagian dari sistem Gua

Urang-Jeblokan Kembang (Foto: C. Rahmadi) II-24 Gambar II-22 Sistem Gua Urang-Jemblong-Kembang di Desa Kemadoh Batur, Grobogan (ASC

2008) II-25

Gambar II-23 Kegiatan pelepasan pewarna di Gua Pari yang muncul di Sumber Kali Gede

(Sumber: Abidin/ISS: caves.or.id) II-26 Gambar II-24 Peta kondisi sungai bawah tanah di Gua Pari dan Sumber Kaligede (Sumber: ISS

(12)

Gambar II-25 Gua Ngerong yang keberadaannya semakin terancam oleh aktivitas

penambangan (Foto: C. Rahmadi/2017) II-27 Gambar II-26 Gua Srunggo yang memiliki sungai bawah tanah (Foto: Adhiasto 2008) II-28 Gambar II-27 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan air di Pulau Jawa selama musim

kemarau dan musim hujan tahun 2003 II-29 Gambar II-28 Beberapa wilayah DAS di Pegunungan Kendeng Utara Jawa Tengah dan Jawa

Timur II-31

Gambar II-29 Peta curah hujan tahunan rata-rata tahun 1993-2002 di Pulau Jawa (BMKG) II-33 Gambar II-30 Curah hujan Rembang tahun 1995-2015 (UPT Jembatan, Jalan dan Irigasi

Rembang Timur Dinas Pekerjaan Umum (2017)) II-34 Gambar II-31 Rata-rata curah hujan harian di Nganjuk tahun 2006 (Selatan Pegunungan

Kendeng) II-34

Gambar II-32 Kondisi suplai air pada musim kemarau di Bendung Nglirip II-35 Gambar II-33 Debit air irigasi di Kabupaten Tuban (Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tuban) II-35 Gambar II-34 Debit beberapa sungai di musim kemarau di Kabupaten Pati dan Kabupaten

Tuban II-36

Gambar II-35 Sebaran Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dan Madura (Sumber: Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan (Badan Geologi), Peta Cekungan Air Tanah P. Jawad dan P. Madura Skala 1:250.000) II-37 Gambar II-36 Sumber daya air dalam sistem Cekungan Air Tanah (Pusat Air Tanah dan Geologi

Lingkungan (2016)) II-39

Gambar II-37 (1) Singkapan batugamping terumbu, lubang pori akibat pelarutan batuan berfungsi sebagai saluran air meresap ke bawah permukaan; (2)

Memperlihatkan mata air yang keluar melalui sistim celah, dijumpai di desa

Betiharjo (D3TL Tuban, 2014) II-40

Gambar II-38 Sebaran mata air di Pegunungan Kendeng Utara ditunjukkan dengan kotak

berwarna hijau (Caves.or.id (ISS, 2017)) II-41 Gambar II-39 Grafik sebaran mata air di Pegunungan Kendeng Utara per Kabupaten

(Caves.or.id (ISS, 2017)) II-41

Gambar II-40 Sumber/mata air di Mabit, Kabupaten Tuban II-43 Gambar II-41 Mata air Kali Gede dan saluran irigasi sebagai muara dari beberapa mata air di

Desa Mbrati II-45

Gambar II-42 Mata air/sungai bawah tanah Gua Ngerong di Kabupaten Tuban II-46 Gambar II-43 Mata air panas Brumbung, Desa Krani, Kecamatan Paciran Lamongan II-47 Gambar II-44 Sendang Duwur Kecamatan Paciran, Lamongan II-47 Gambar II-45 Sendang Agung Kecamatan Paciran, Lamongan II-48 Gambar II-46 Sendanggede di Desa Sendangharjo dan mata air di Desa Pambon, Brondong II-48 Gambar II-47 Areal penambangan sumber daya “karst”/batu gamping di Kabupaten Tuban.

Gambar insight menunjukkan tipikal retakan/”sesar” yang menunjukkan alur masuknya air hujan ke dalam tanah. Proses inilah yang memosisikan pentingnya fungsi wilayah “karst”/batu gamping dari aspek hidrologi (air tanah) II-54 Gambar II-48 Status daya dukung air Pulau Jawa 2015 (KLHK, 2016) II-54 Gambar II-49 Status daya dukung air di tujuh kabupaten yang meliputi wilayah Pegunungan

Kendeng Utara (KLHK, 2016) II-55

Gambar II-50 Tren proporsi tutupan lahan di wilayah 7 kabupaten Tahun 1996-2016 II-59 Gambar II-51 Peta tutupan lahan di wilayah tujuh kabupaten Tahun 1996 II-59 Gambar II-52 Peta tutupan lahan wilayah di tujuh kabupaten Tahun 2000 II-60

(13)

Gambar II-53 Peta tutupan lahan di wilayah tujuh kabupaten Tahun 2006 II-60 Gambar II-54 Peta tutupan lahan di wilayah tujuh kabupaten Tahun 2009 II-61 Gambar II-55 Peta tutupan lahan di wilayah tujuh kabupaten Tahun 2011 II-61 Gambar II-56 Peta tutupan lahan di wilayah tujuh kabupaten Tahun 2016 II-62 Gambar II-57 Tren proporsi tutupan lahan di Pegunungan Kendeng tahun 1996-2016 II-65 Gambar II-58 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 1996 II-66 Gambar II-59 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 2000 II-67 Gambar II-60 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 2006 II-67 Gambar II-61 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 2009 II-68 Gambar II-62 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 2011 II-68 Gambar II-63 Peta tutupan lahan Pegunungan Kendeng Tahun 2016 II-69 Gambar II-64 Peta hasil analisis perubahan penutupan lahan di wilayah 7 kabupaten Tahun

2000 – 2016 II-73

Gambar II-65 Peta hasil analisis perubahan penutupan lahan di Ekosistem Pegunungan

Kendeng tahun 2000-2016 II-74

Gambar II-66 Data perbandingan jenis capung (odonata) di Menoreh, Pegunungan Gunung

Sewu, dan Pegunungan Kendeng Utara (Kupiyaningdyah, 2015) II-92 Gambar II-67 Persentase distribusi jasa ekosistem penyedia pangan di wilayah Pegunungan

Kendeng Utara (Peta D3TL KLHK) II-94

Gambar II-68 Persentase distribusi jasa ekosistem sumber daya genetik di wilayah

Pegunungan Kendeng Utara (Sumber: Peta D3TL KLHK) II-94 Gambar II-69 Jasa ekosistem dominan di Jawa Tengah II-95 Gambar II-70 Jumlah spesies berdasarkan famili II-96 Gambar II-71 Jumlah spesies berdasarkan perannya II-97 Gambar II-72 Jumlah spesies kelelawar di setiap kabupaten II-99 Gambar II-73 Grafik kepadatan penduduk tujuh kabupaten 2016 (BPS) II-104 Gambar II-74 Grafik laju pertumbuhan penduduk tujuh kabupaten 2013-2016 (BPS) II-104 Gambar II-75 Grafik kepadatan penduduk 7 kabupaten yang berada di Pegunungan Kendeng

2016 (Sumber, BPS) II-105

Gambar II-76 Grafik laju pertumbuhan penduduk 7 kabupaten yang berada di Pegunungan

Kendeng 2013-2016 (Sumber, BPS) II-105 Gambar II-77 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Grobogan 2016 (BPS) II-106 Gambar II-78 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kab. Grobogan 2013-2016 (BPS) II-107 Gambar II-79 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Grobogan yang berada di Pegunungan

Kendeng 2016 II-107

Gambar II-80 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Grobogan yang berada di

Pegunungan Kendeng 2013-2016 (BPS) II-108 Gambar II-81 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Pati 2016 (BPS) II-109 Gambar II-82 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Pati 2013-2016 (BPS) II-109 Gambar II-83 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Pati yang berada di Pegunungan

Kendeng 2016 (BPS) II-110

Gambar II-84 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Pati yang berada di Pegunungan

Kendeng 2013-2016 (BPS) II-110

Gambar II-85 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Rembang 2016 (BPS) II-111 Gambar II-86 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Rembang 2013-2016 (BPS) II-111 Gambar II-87 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Rembang yang berada di Pegunungan

(14)

Gambar II-88 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Rembang yang berada di

Pegunungan Kendeng 2013-2016 (BPS) II-112 Gambar II-89 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Blora 2016 (BPS) II-113 Gambar II-90 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Blora 2013-2016 (BPS) II-113 Gambar II-91 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Blora yang berada di Pegunungan

Kendeng 2016 II-114

Gambar II-92 Grafik laju pertumbuhan Penduduk Kabupaten Blora yang berada di

Pegunungan Kendeng 2013-2016 (BPS) II-114 Gambar II-93 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Bojonegoro 2016 (BPS) II-115 Gambar II-94 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bojonegoro 2013-2016 (BPS) II-116 Gambar II-95 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Bojonegoro yang berada di Pegunungan

Kendeng 2016 (BPS) II-116

Gambar II-96 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bojonegoro yang berada di

Pegunungan Kendeng 2013-2016 (BPS) II-117 Gambar II-97 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Tuban 2016 (BPS) II-117 Gambar II-98 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tuban 2013-2016 (BPS) II-118 Gambar II-99 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Lamongan 2016 (BPS) II-119 Gambar II-100 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan 2013-2015 (BPS) II-119 Gambar II-101 Grafik kepadatan penduduk Kabupaten Lamongan yang berada di Pegunungan

Kendeng 2016 (BPS) II-120

Gambar II-102 Grafik laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan yang berada di

Pegunungan Kendeng 2013-2015 (BPS) II-120 Gambar II-103 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-133

Gambar II-104 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-134 Gambar II-105 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Grobogan Tahun 2015 II-135

Gambar II-106 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-137 Gambar II-107 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-138 Gambar II-108 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-139 Gambar II-109 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Grobogan Tahun 2015 II-140 Gambar II-110 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Pati Tahun 2015 II-142

Gambar II-111 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Pati Tahun 2015 II-143 Gambar II-112 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Pati Tahun 2015 II-144

Gambar II-113 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Pati Tahun 2015 II-146 Gambar II-114 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

(15)

Gambar II-115 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Pati Tahun 2015 II-148 Gambar II-116 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Pati Tahun 2015 II-149 Gambar II-117 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-151

Gambar II-118 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-152 Gambar II-119 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Rembang Tahun 2015 II-153

Gambar II-120 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-155 Gambar II-121 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-156 Gambar II-122 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-157 Gambar II-123 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Rembang Tahun 2015 II-158 Gambar II-124 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Blora Tahun 2015 II-160

Gambar II-125 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Blora Tahun 2015 II-161 Gambar II-126 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Blora Tahun 2015 II-162

Gambar II-127 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Blora Tahun 2015 II-164 Gambar II-128 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Blora Tahun 2015 II-165 Gambar II-129 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Blora Tahun 2015 II-166 Gambar II-130 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Blora Tahun 2015 II-167 Gambar II-131 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Bojonegoro Tahun 2015 II-171 Gambar II-132 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Bojonegoro Tahun 2015 II-172 Gambar II-133 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Bojonegoro Tahun 2015 II-174

Gambar II-134 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Bojonegoro Tahun 2015 II-176 Gambar II-135 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten BojonegoroTahun 2015 II-177 Gambar II-136 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Bojonegoro Tahun 2015 II-179 Gambar II-137 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

(16)

Gambar II-138 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-185

Gambar II-139 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-186 Gambar II-140 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Tuban Tahun 2015 II-188

Gambar II-141 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-190 Gambar II-142 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-191 Gambar II-143 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-193 Gambar II-144 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Tuban Tahun 2015 II-195 Gambar II-145 Indeks kaitan langsung ke belakang (DBL) sektor-sektor perekonomian

Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-199

Gambar II-146 Indeks kaitan ke belakang langsung dan tidak langsung (IBL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-200 Gambar II-147 Indeks kaitan langsung ke depan (DFL) sektor-sektor perekonomian Kabupaten

Lamongan Tahun 2015 II-202

Gambar II-148 Indeks kaitan ke depan langsung dan tidak langsung (IFL) sektor-sektor

perekonomian Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-204 Gambar II-149 Nilai multiplier output wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-205 Gambar II-150 Nilai multiplier pendapatan wilayah hasil simulasi perkiraan output

sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-207 Gambar II-151 Nilai multiplier PDRB wilayah hasil simulasi perkiraan output sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Lamongan Tahun 2015 II-208 Gambar II-152 Sektor unggulan Kabupaten Grobogan dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-219 Gambar II-153 Sektor unggulan Kabupaten Pati dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-220 Gambar II-154 Sektor unggulan Kabupaten Rembang dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-221 Gambar II-155 Sektor unggulan Kabupaten Blora dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-222 Gambar II-156 Sektor unggulan Kabupaten Bojonegoro dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-223 Gambar II-157 Sektor unggulan Kabupaten Tuban dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-224 Gambar II-158 Sektor unggulan Kabupaten Lamongan dalam perspektif Provinsi Jawa Tengah II-225 Gambar II-159 Grafik pertumbuhan jumlah penduduk miskin Jawa Tengah 2013-2016 (BPS) II-230 Gambar II-160 Grafik pertumbuhan persentase penduduk miskin Jawa Tengah 2013-2016 (BPS) II-230 Gambar II-161 Grafik pertumbuhan jumlah penduduk miskin Jawa Timur 2013-2016 (BPS) II-231 Gambar II-162 Grafik pertumbuhan persentase penduduk miskin Jawa Timur 2013-2016 (BPS) II-231 Gambar II-163 Kejadian pencurian dan pengrusakan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani

(17)

I

Bagian I. Pendahuluan

1 Latar Belakang dan Tujuan Pelaksanaan KLHS

1.1 Konteks dan Urgensi

Di Pulau Jawa terdapat tiga rangkaian besar pegunungan dengan batuan kapur. Oleh warga masyarakat tiga pegunungan kapur tersebut diistilahkan sebagai Pegunungan Kapur Utara, Pegunungan Kapur Tengah, dan Pegunungan Kapur Selatan (Kidul). Ada pula warga masyarakat yang mengistilahkan sebagai Pegunungan Kendeng Utara, Pegunungan Kendeng Tengah, dan Pegunungan Kendeng Selatan. Namun dari sudut geologi istilah lokal tersebut tidak dikenal. Oleh van Bemmelen (1949) pegunungan dengan formasi batuan kapur ini tersebar (dari Utara ke Selatan) di Zona Rembang, Zona Randu Blatung, Zona Kendeng, Zona Solo, dan Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur (atau Pegunungan Sewu, istilah lokal). Khusus Zona Rembang, zona ini terbentang mulai Kabupaten Pati, Grobogan, Rembang, dan Blora di Jawa Tengah; hingga ke Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, dan Madura di Jawa Timur.

Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ini tidak semua Zona Rembang diteliti. Zona Rembang yang dikaji meliputi empat kabupaten di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Pati, Grobogan, Rembang, dan Blora) dan tiga kabupaten di Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan). Wilayah Gresik dan Madura tidak diteliti dalam KLHS ini. Oleh warga setempat pegunungan kapur yang membentang di tujuh kabupaten tersebut diistilahkan sebagai Pe gunungan Kendeng Utara atau Pegunungan Kendeng. Istilah lokal ini lebih akrab di telinga warga masyarakat; dan langsung menunjuk pada lokasi Pegunungan Kendeng Utara. Sehingga istilah lokal inilah yang digunakan dalam Surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan1 dan Surat Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.2

Pegunungan Kendeng yang menjadi fokus studi ini luasnya mencapai 275.581 ha, atau 22 persen dari total luas tujuh kabupaten. Dari luas tersebut, tutupan lahan yang dominan pada tahun 2016 adalah hutan (138.532 ha atau 50 %), menyusul kemudian sawah (79.417 ha atau 29 %), pertanian lahan kering (46.684 ha atau 17 %), ruang terbangun (9.705 ha atau 4 %), dan areal pertambangan (1.140 ha atau 0,4 %).3

Seiring dengan berlangsungnya proses pembangunan, pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan perkembangan populasi; kawasan Pegunungan Kendeng Utara menjadi ajang kontestasi akses yang tergolong tinggi. Kawasan ini selain sesuai

1 Keputusan Kepala Staf Kepresidenan Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan

Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan; yang kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Kepala Staf Kepresidenan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan.

2 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 789/MenLHK-PTKL/PLA.3/10/2016 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan

KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan; yang kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.242/Menlhk/Setjen/PLA.3/ 5/2017 untuk perihal yang sama.

(18)

untuk silvikultur hutan jati, juga kaya akan batu gamping, dan memiliki kandungan air bawah tanah yang besar yang kemudian muncul di permukaan sebagai mata air, sungai, sendang (danau), dan sumur di berbagai tempat; serta memiliki keanekaragaman hayati yang unik. Jasa ekosistem yang dipasok oleh pegunungan kapur ini beraneka: batu gamping sebagai bahan baku industri semen; kayu jati sebagai bahan baku furnitur, bangunan rumah, dan dek/lantai kapal; sumber daya air untuk kebutuhan domestik rumah tangga, dan produksi pertanian, serta keanekaragaman spesies yang esensial bagi kelangsungan budidaya pertanian.

Beberapa jasa ekosistem pegunungan kapur tersebut membangkitkan implikasi yang saling bertolak-belakang (mutually exclusive) ketika dimanfaatkan. Bila dimanfaatkan pada ruang yang sama eksploitasi batu gamping dapat bertolak belakang dengan keberlangsungan produksi pertanian dan kebutuhan air bersih rumah tangga. Pemanfaatan sumber daya alam yang saling tolak-belakang ini menjadi latar perbedaan kepentingan para pihak: kepentingan ekonomi industri (perusahaan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten), kepentingan ekonomi pertanian (petani), kepentingan konservasi (LSM/akademisi konservasi), dan kepentingan keadilan lingkungan (LSM/akademisi). Perbedaan cara pandang dan kepentingan para aktor yang tidak dijembatani ini memicu konflik yang berkepanjangan di Pegunungan Kendeng Utara, atau Zona Rembang.

Dalam dua dekade terakhir ini dapat dikatakan kawasan Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya tidak pernah sepi dari sengketa dan konflik yang berpangkal dari kontestasi akses pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya alam dimaksud adalah penambangan batu gamping, batu kapur, pasir, pasir kuarsa, dan tegakan kayu jati.4

Beberapa catatan penting secara ringkas adalah sebagai berikut.

a) Pertambangan batu gamping, batu kapur, pasir, dan pasir kuarsa yang berlangsung hampir di seluruh tujuh kabupaten Pegunungan Kendeng Utara; baik yang bersifat legal (memiliki Ijin Usaha Pertambangan, IUP) maupun ilegal. Penambangan legal dan ilegal ini tidak jarang menimbulkan sengketa dan protes antara warga dengan pelaku penambangan sebagai akibat dampak kumulatif dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

b) Konsumen utama bahan galian tersebut di atas adalah industri semen. Selama 10 tahun terakhir tercatat tiga sengketa dan konflik timbul antara warga dengan industri semen, yaitu dengan PT. Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), PT Semen Gresik di Kecamatan Kabupaten Pati; dan PT Semen Indonesia (PT SI) di Kabupaten Rembang. Warga menolak karena penambangan bahan baku akan berdampak negatif terhadap budidaya pertanian (pasokan air irigasi yang bersumber dari Pegunungan Kendeng akan berkurang), dan berdampak negatif terhadap kehidupan mereka sebagai petani. Berbagai jalur mediasi, kampanye, ekspresi budaya, aksi demonstrasi, hingga advokasi legal

(19)

ditempuh warga yang kemudian bereskalasi hingga ke tingkat provinsi, nasional, dan bahkan internasional.5

c) Sejak tahun 1997 hutan jati PT Perum Perhutani yang terletak di Kabupaten Blora, Pati, dan Rembang mengalami degradasi dan deforestasi yang masif akibat penjarahan dan perambahan. Di masa Orde Baru hutan jati tidak hanya merupakan man-made ecosystem tetapi juga telah menjadi political forest. Sistem tenurial Perhutani yang tidak adil dan didukung oleh bundle of power yang terdiri dari aparat pemerintahan daerah, aparat keamanan, dan militer; telah mengakibatkan timbulnya kantong-kantong kemiskinan di desa-desa hutan jati. Berakhirnya masa Orde Baru membuat bundle of power ini melemah. Sehingga muncul fenomena akses terbuka (open access) ke kawasan hutan produksi Perhutani. Warga yang melakukan tindakan penjarahan hanya merupakan ujung tombak dari mata rantai ilegal logging yang terdiri dari pemodal luar desa, aparat desa, aparat keamanan, bahkan aparat Perum Perhutani.

Sengketa dan konflik antara warga dan industri semen yang berlangsung dalam satu dekade terakhir mendorong beberapa akademisi UNDIP, IPB, UPN Veteran Yogyakarta, dan UGM berinisiatif menjembatani dialog antara warga dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Selama tahun 2013 sebanyak lima workshop/pertemuan telah digelar di Semarang (17 Januari, 30 Januari, 21 Februari, 6 Mei, dan 4 Juni 2013). Dari lima workshop tersebut disepakati perlunya digelar pertemuan “Workshop Pemangku Kepentingan: Pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”. Workshop ini direncanakan dihadiri seluruh pemangku kepentingan (Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, akademisi, perusahaan, warga masyarakat, dan LSM) yang berkepentingan dengan pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan dan berkeadilan. Namun karena satu dan lain hal workshop ini tidak kunjung terselenggara sampai sekarang.

Pasca 2013 alih-alih berlangsung proses sosial yang asosiatif, ruang dialog antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan perusahaan semen di satu pihak (pro semen), dengan warga penolak semen di lain pihak (kontra semen) semakin terbatas. Sengketa pro dan kontra semakin tajam dan meluas hingga ke kalangan akademisi, pegiat sosial, LSM, dan bahkan ulama. Kebuntuan dialog ini mendorong warga penolak semen menyalurkan aspirasinya ke tingkat Pusat (Jakarta) melalui tiga jalur. Pertama, jalur aksi berupa demonstrasi, konferensi pers, diskusi, dan gelar budaya. Kedua, jalur advokasi legal melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berujung hingga putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung. Ketiga, dialog langsung dengan elite nasional seperti Menteri LHK, LBH Jakarta, Komnas HAM, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan bahkan hingga ke Presiden Jokowi.

(20)

Pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan para petani yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) di Istana Negara Jakarta berlangsung pada tanggal 2 Agustus 2016. Pertemuan tersebut menghasilkan butir-butir sebagai berikut (Sumber: Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden):

a) Perlu segera dibuat analisa Daya Dukung dan Daya Tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis);

b) Pelaksanaan KLHS akan dikoordinasi oleh Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengingat masalah di Kendeng bersifat lintas kementerian dan lintas daerah (meliputi 5 Kabupaten, 1 Provinsi);

c) Dalam pelaksanaan KLHS nanti Kementerian LHK sebagai Ketua Panitia Pengarah;

d) Selama proses KLHS yang akan dilakukan selama 1 tahun, semua izin dihentikan;

e) Pemerintah menjamin proses dialog/rembuk multi pihak yang sehat selama proses KLHS berlangsung.

1.2 Amanat Pembangunan Berkelanjutan dalam Konteks Nasional dan Global

Dalam dekade terakhir ini pembangunan berkelanjutan telah menjadi amanat dan sekaligus visi baru pembangunan di hampir seluruh dunia. Saat ini boleh dikatakan nyaris tidak ada Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) pembangunan yang pengaruhnya sebatas di lokal saja. Demikian pula sebaliknya, nyaris tidak ada Konvensi, Perjanjian, dan Protokol internasional yang pengaruhnya hanya pada tatanan internasional saja. KRP di tingkat lokal akan berpengaruh pada tataran global. Demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan dipandang perlu tidak hanya dibingkai dalam amanat pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal (provinsi) dan nasional; tetapi juga harus diletakkan dalam konteks global, yakni dalam rangka pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). Sehingga melalui KLHS perbaikan KRP untuk pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng harus simultan dengan pencapaian SDGs.

Berkenaan dengan hal tersebut perlu diketahui beberapa prinsip atau landasan filosofis keberlanjutan pembangunan nasional, yaitu:

1. Prinsip keadilan sosial. Prinsip ini merupakan sila ke lima dari Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

(21)

dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ke IV.

3. Prinsip perpaduan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Dalam proses KLHS Pegunungan Kendeng teridentifikasi beberapa isu-isu strategis yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng Berkelanjutan.6 Isu-isu strategis dimaksud dapat menjadi penghambat atau, sebaliknya,

menjadi pendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan Pegunungan Kendeng. Agar sejalan dengan amanat di tingkat global, upaya pengendalian isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan Pegunungan Kendeng perlu berlangsung sejalan dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). TPB merupakan platform pembangunan masa depan dunia yang dituangkan dalam Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong seluruh negara di dunia mengadopsi TPB.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) terdiri atas 17 tujuan (lihat Gambar I-1). Masing-masing Tujuan memiliki sejumlah Target yang hendak dicapai. Kemudian setiap Target terdiri atas sejumlah indikator. Saat sesi pertemuan ke 48 The United Nations Statistical Commision (Maret 2017), disepakati dan ditetapkan 232 indikator global pembangunan berkelanjutan. Indikator tersebut dimuat di dalam The Inter-Agency and Expert Group on Sustainable Development Goal Indicators (E/CN.3/2017/2.

Untuk memenuhi komitmen TPB, Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Melalui Peraturan Presiden ini Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional perlu diselaraskan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals.

(22)

Gambar I-1 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang Ditetapkan oleh UNDP. Tiga dari 17 Tujuan tersebut Relevan dengan Isu-isu Pembangunan Berkelanjutan Pegunungan Kendeng (yakni Nomor 1, 6 dan 15).

1.3 Tujuan Pelaksanaan KLHS

KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng Berkelanjutan dibuat dengan tujuan untuk:

a. Merekomendasikan pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (pre-cautionary principle) dan pemulihan kondisi lingkungan hidup di wilayah-wilayah yang rentan lingkungan, serta menjadi ajang sengketa dan konflik akses sumber daya

(23)

b. Merekomendasikan perbaikan Kebijakan, Rencana, dan Program yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang (nasional, provinsi, dan kabupaten); dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi dan Kabupaten yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng berkelanjutan, serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals).

2 Ruang Kajian, Tahapan Kerja, dan Aspek Legal KLHS

2.1 Ruang Kajian

Ada tiga faktor yang menentukan ruang kajian bagi KLHS Pegunungan Kendeng, yakni faktor fisiografi-geologi, ekologi, dan sosial. Deskripsi tiga faktor ini diutarakan pada Tabel I-1 dan intersection ketiga faktor ini merupakan ruang studi KLHS Pegunungan Kendeng (lihat Gambar I-2).

Pertama, dari perspektif fisiografi-geologi. pegunungan Kendeng Utara memiliki karakteristik perbukitan karst dan merupakan bagian dari Zona Rembang (antiklinorium Rembang - Madura) (van Bemmelen 1949). Sebagaimana telah diutarakan, Zona Rembang membentang dari Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Blora di Jawa Tengah; hingga Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik dan Pulau Madura di Jawa Timur. Dalam KLHS Pegunungan Kendeng, wilayah Gresik dan Pulau Madura tidak termasuk wilayah yang dikaji.

Kedua, dari perspektif ekosistem. Pegunungan Kendeng merupakan ekosistem pegunungan kapur dengan ciri-ciri abiotik dan biotik yang berbeda dengan ekosistem lainnya. Sehingga dalam KLHS Pegunungan Kendeng tidak tepat digunakan pendekatan yang berbasis wilayah administratif seperti yang lazim digunakan dalam KLHS RTRW atau RPJP/RPJM Provinsi/Kabupaten/Kota. Pendekatan yang lebih tepat adalah pendekatan ekosistem, yakni memandang Pegunungan Kendeng sebagai ekosistem karst. Salah satu bagian dari ekosistem Pegunungan Kendeng ini adalah ekosistem Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang lokasinya berada di Kabupaten Rembang.

Ketiga, dari perspektif sosial. Bentang alam pegunungan kapur Kendeng Utara oleh masyarakat Jawa Tengah khususnya warga yang berdiam di sekitarnya dipandang sebagai kesatuan ruang hidup. Hal ini terungkap di dalam Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah. Warga sekitar khususnya yang menyandarkan nafkahnya di lapang usaha pertanian memandang Pegunungan Kendeng sebagai sandaran alam kehidupan mereka khususnya dalam hal air.

(24)

Tabel I-1 Ruang Kajian dan Deskripsi Wilayah KLHS Pegunungan Kendeng Perspektif Deskripsi Wilayah Pegunungan Kendeng (Kendeng Utara)

Geologi

• Fisiografi: terletak di Zona Rembang (Van Bemmelen) yang berbentuk

perbukitan memanjang dari Barat ke Timur mulai dari daerah Rembang, Tuban hingga Pulau Madura.

• Stratigrafi: antara lain Formasi Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, Paciran, Kerek, Kalibeng, Pucangan, Kabuh, danNotopuro.

• Hidrogeologi: akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir (di Lamongan, Tuban, Bojonegoro); akuifer dengan aliran melalui rekahan, kekar, saluran dan rongga (di Lamongan, Tuban, Bojonegoro); akuifer produktif kecil dan daerah air tanah langka (Bojonegoro).

• Speleologi: gua (di Pati 97 gua, Rembang 76 gua, Blora 57 gua, Tuban 97 gua) serta beberapa gua di Lamongan dan Bojonegoro.

• Sungai bawah tanah: sistem gua Urang-Kembang, sistem Gua Pari dan Sumber Kali Gede (Grobogan dan Pati), sistem sungai bawa tanah Gua Ngerong (Tuban).

Ekosistem

• Abiotik: fisiografi, stratigrafi, hidrogeologi, gua, sungai bawah tanah, mata air, curah hujan tahunan 1.630 mm/tahun periode 1995-2015. Curah hujan terendah 851 mm/tahun (2015), tertinggi 2.795 mm/tahun (2005). • Abiotik: sebagian besar wilayah Kendeng tidak masuk dalam wilayah CAT.

Lokasi CAT (termasuk di luar Pegunungan Kendeng): CAT Tuban, CAT Watuputih, CAT Pati-Rembang, CAT Lasem dan CAT Surabaya-Lamongan. • Abiotik: terdapat 241 mata air di Kabupaten Pati, 35 mata air di Grobogan, 135

mata air di Rembang, 53 mata air di Blora, dan 99 mata air di Tuban • Biotik-eksokarst: vegetasi pegunungan kapur, tanaman budidaya pertanian,

hutan tanaman (jati); Biotik-eksokarst: beberapa fauna berstatus langka dan terancam serta fauna endemik dijumpai di lokasi tertentu Kabupaten Grobogan. Di Cagar Alam Gunung Butak, dan Hutan Lindung Randu Blatung teridentifikasi beberapa kelompok mamalia, herpetofauna, serta beberapa spesies burung yang langka, dilindungi dan hampir punah.

• Biotik-endokarst: teridentifikasi 22 spesies kelelawar di pegunungan Kendeng (6 kabupaten), 19 spesies pemakan serangga (insectivorous), 2 spesies pemakan buah (frugivorous) dan 1 spesies pemakan nektar (nectrivorous).

Sosial

• Warga menyebut pegunungan kapur di 7 kabupaten sebagai Pegunungan Kendeng Utara atau Pegunungan Kendeng.

• Dalam dokumen RTRW Provinsi Jawa Tengah disebutkan CAT Watuputih sebagai bagian dari Pegunungan Kendeng Utara

• Pegunungan Kendeng merupakan ruang kehidupan warga masyarakat yang hidup dari pertanian (dalam arti luas)

• Pegunungan Kendeng (atau Kendeng Utara) di mata warga tani merupakan sumber pasokan air yang penting bagi budidaya pertanian.

Ketiga faktor pada Tabel I-1 membuat ruang kajian KLHS Pegunungan Kendeng tidak mengikuti batas administratif tetapi mengikuti batas fisik ekosistem pegunungan kapur Kendeng. Ekosistem ini melintasi tujuh wilayah administratif kabupaten Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Gambar I-2 diutarakan wilayah kajian dimaksud.

(25)

Gambar I-2 Wilayah Studi KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan

2.2 Tahapan Kerja KLHS Pegunungan Kendeng

Mengingat luasnya wilayah kajian dan urgensi persoalan yang timbul; KLHS Pegunungan Kendeng dilakukan dua tahapan (arahan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Rapat Koordinasi pada tanggal 14 September 2016). Pada Tabel I-2 dikemukakan hal dimaksud. KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I dan Tahap II merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan.

KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I disusun oleh Tim Pelaksana yang dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.789/MenLHK-PKTL/PLA.3/10/2016 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan dan Pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan, tanggal 12 Oktober 2016. Adapun proses penjaminan mutu terhadap KLHS dilakukan oleh Tim Panel Pakar Penguji Hasil KLHS yang dibentuk melalui Surat Keputusan Kepala Staf Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan tertanggal 30 September 2016.

(26)

Tabel I-2 Tahapan Kerja KLHS Pegunungan Kendeng menurut Fokus dan Kabupaten Wilayah Kajian (Arahan Menteri LHK 14 September 2016).

Uraian Tahapan Kerja KLHS Pegunungan Kendeng

Tahap I Tahap II

Fokus wilayah kajian

Ekosistem CAT Watuputih (bagian dari Ekosistem Pegunungan Kendeng Utara)

Ekosistem Pegunungan Kendeng Utara

Kabupaten wilayah

kajian Kabupaten Rembang, Jateng

• Kabupaten Pati, Jateng • Kabupaten Grobogan, Jateng • Kabupaten Blora, Jateng • Kabupaten Bojonegoro, Jatim • Kabupaten Tuban, Jatim • Kabupaten Lamongan, Jatim • Kabupaten Rembang

Laporan KLHS Pegunungan Kendeng Tahap 1 telah ditelaah oleh Tim Panel Pakar Penguji Hasil KLHS pada tanggal 8 April 2017. Selanjutnya pada tanggal 12 April 2017 dokumen KLHS dipresentasikan dan dibahas dalam Rapat Koordinasi yang dipimpin Kepala Staf Presiden. Pada akhir pertemuan Rapat menyimpulkan:

1) Laporan KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I dapat diterima dengan baik oleh seluruh peserta rapat koordinasi. Dengan keputusan ini KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I secara resmi dinyatakan selesai.

2) Peserta Rapat Koordinasi (tidak termasuk Ketua Tim Penyusun KLHS dan Ketua Penjaminan Mutu KLHS) selanjutnya membahas (dua) Alternatif Penyempurnaan KRP dan Rekomendasi yang tertuang pada Bab 11 dan 12 KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I. Rapat Koordinasi ditutup dengan menyepakati Rekomendasi yang tercantum di dalam dokumen KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I.7

Memasuki KLHS Pegunungan Kendeng Tahap II, Tim Pelaksanaan KLHS dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri LHK nomor SK.242/Menlhk/Setjen/PLA.3/5/2017 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan dan Pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan, 19 Mei 2017. Sementara Tim Panel Pakar Penguji Hasil KLHS dibentuk melalui Surat Keputusan Kepala Staf Presiden Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan tertanggal 30 Maret 2017.

2.3 Aspek Legal KLHS

KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan

(27)

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Oleh karena itu dari segi legalitas KLHS disusun dengan berlandaskan pada tiga kelompok regulasi, yaitu: (i) kelompok peraturan perundangan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (ii) kelompok peraturan perundangan tentang perencanaan pembangunan; dan (iii) kelompok peraturan perundangan tentang penataan ruang. Berikut adalah peraturan perundangan dimaksud,

I. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kehutanan, dan keanekaragaman hayati:

1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup;

2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

3) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;

4) PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;

5) PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan; 6) PP Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis;

7) Permenhut Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan;

8) Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/2010 tentang Tim Terpadu Dalam Rangka Penelitian Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. 9) Permenhut Nomor P.41/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan;

10) Permenhut Nomor P.27/Menhut-II/2014 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan

II. Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan penataan ruang: 1) UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

2) PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 3) PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; 4) Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang

Pulau Jawa dan Bali;

5) PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

6) Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst;

7) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029;

8) Perda Kabupaten Grobogan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Grobogan Tahun 2011 – 2031;

(28)

9) Perda Kabupaten Pati Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pati Tahun 2010-2030;

10) Perda Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang Tahun 2011-2031;

11) Perda Kabupaten Blora Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora Tahun 2011-2031;

12) Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2011—2031;

13) Perda Kabupaten Lamongan Nomor 15 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan Tahun 2011—2031;

14) Perda Kabupaten Tuban Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tuban Tahun 2012-2032;

15) Perda Kabupaten Bojonegoro Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2011-2031.

III. Peraturan Perundangan-undangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan nasional dan daerah:

1) UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

2) UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RJPN) Tahun 2005-2025;

3) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019;

4) Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan;

5) Peraturan Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah;

6) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2025;

7) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018;

8) Perda Kabupaten Grobogan Nomor 11 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Grobogan Tahun 2005-2025;

9) Perda Kabupaten Grobogan Nomor 10 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Grobogan Tahun 2016-2021;

(29)

11) Perda Kabupaten Pati Nomor 10 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Pati Tahun 2012-2017; 12) Perda Kabupaten Rembang Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2005– 2025;

13) Perda Kabupaten Rembang Nomor 2 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Rembang Tahun 2016-2021;

14) Perda Kabupaten Blora Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Blora Tahun 2005 – 2025; 15) Perda Kabupaten Blora Nomor 10 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Blora Tahun 2016 – 2021;

16) Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 – 2025;

17) Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Timur 2014-2019;

18) Perda Kabupaten Lamongan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2005-2025;

19) Perda Kabupaten Lamongan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2016-2021;

20) Perda Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2005-2025; 21) Perda Kabupaten Tuban Nomor 24 Tahun 2016 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2016-2021;

22) Perda Kabupaten Bojonegoro Nomor 6 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2005-2025;

23) Perda Kabupaten Bojonegoro Nomor 8 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2013-2018. IV. Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Pemerintahan Daerah:

1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

2) UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

(30)

3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

V. Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan pembangunan pertanian: 1) UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LPPB);

2) PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB).

Saat Undang-Undang 32 Tahun 2009 ditetapkan, instrumen pengelolaan lingkungan pada tingkat KRP seperti Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan KLHS belum ada. Di saat tersebut instrumen yang melakukan analisis daya dukung dan daya tampung baik -secara langsung maupun tidak langsung- adalah kajian pada tingkat proyek pembangunan, yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang tergolong menimbulkan dampak penting). Kajian AMDAL kemudian bermuara pada keputusan kelayakan lingkungan hidup rencana kegiatan dan/atau kegiatan; yang selanjutnya menjadi landasan hukum untuk penerbitan izin lingkungan hidup. Hal yang relatif serupa ditempuh untuk memperoleh izin lingkungan bagi rencana kegiatan atau usaha yang tidak tergolong menimbulkan dampak penting, yakni melalui proses penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). AMDAL dan UKL/UPL bermuara pada izin lingkungan; sementara KLHS dimaksudkan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam KRP pembangunan suatu wilayah. Gambar I-3 memaparkan hal dimaksud.

(31)

Gambar I-3 Diagram Alir Keterkaitan antara KLHS, AMDAL, dan UKL/UPL dalam Konteks Penentuan dan Perizinan Usaha/Kegiatan (Nursadi, 2017)

Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dibuat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah digunakan sebagai dasar untuk mengarus-utamakan pertimbangan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan ke dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) pembangunan. Di Indonesia, KLHS tergolong wajib dilaksanakan di dalam proses penyusunan atau evaluasi {Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2016}:

a) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional, RPJP daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, dan RPJP daerah; dan

b) Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Adapun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) huruf b) di atas meliputi: {Pasal 3 ayat (2)}

a) KRP pemanfaatan ruang dan/atau lahan yang ada di daratan, perairan, dan udara yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang meliputi:

1) Perubahan iklim

2) Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3) Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor,

kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; 4) Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; 5) Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;

6) Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau

(32)

b) KRP lain berdasarkan permintaan masyarakat.

Satu hal yang juga perlu diketahui, bila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terlampaui, maka usaha dan/atau kegiatan tidak diperbolehkan lagi, termasuk mengkaji ulang izin usaha dan/atau kegiatan yang sedang berjalan dengan kemungkinan membatalkan, memperbolehkan dengan perbaikan atau tetap dapat dilaksanakan.

Melihat riwayat kontestasi pemanfaatan dan pengaturan sumber daya alam di Pegunungan Kendeng Utara yang kemudian berujung pada pertemuan tanggal 2 Agustus 2016 di Istana Negara, dapat dikatakan bahwa KLHS Pegunungan Kendeng diselenggarakan oleh pemerintah dalam koridor norma hukum PP Nomor 46 Tahun 2016; yakni dibuat karena permintaan masyarakat {Pasal 3 ayat (2) huruf b}. Permintaan masyarakat yang dimaksud di sini adalah warga petani yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Permintaan warga masyarakat tersebut dilatari oleh motif bahwa KRP pemanfaatan ruang dan/atau lahan yang ada –dalam hal ini penambangan bahan baku industri di ekosistem karst Watuputih-- berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan yang meliputi: (i) kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; (ii) penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; dan (iii) terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat dalam hal ini golongan petani (unsur-unsur ini termuat di dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a).

3 Prosedur Penyelenggaraan KLHS

3.1 Persiapan

Memasuki KLHS Pegunungan Kendeng Tahap II, Tim Pelaksanaan KLHS dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri LHK nomor SK.242/Menlhk/Setjen/PLA.3/5/2017 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan dan Pemanfaatan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan, 19 Mei 2017. Sementara Tim Panel Pakar Penguji Hasil KLHS dibentuk melalui Surat Keputusan Kepala Staf Presiden Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan tertanggal 30 Maret 2017.

3.2 Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan

Isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan cara: i) menghimpun masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan melalui proses konsultasi publik dan diskusi; ii) memetakan isu dan menganalisis kepentingan dan posisi para aktor.

Gambar

Gambar I-2 Wilayah Studi KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan  Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan
Gambar I-3 Diagram Alir Keterkaitan antara KLHS, AMDAL, dan UKL/UPL dalam Konteks  Penentuan dan Perizinan Usaha/Kegiatan (Nursadi, 2017)
Gambar II-1 Peta wilayah studi KLHS untuk kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan  Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan
Gambar II-10 Peta sebaran mata-air, ponor, gua, dan sumur gali Pegunungan Kendeng Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang

PEMERINTAH KOTA SURABAYA DINAS LINGKUNGAN HIDUP LAPORAN TAHAPAN PROSES PEMBUATAN LAPORAN TAHAPAN PROSES PEMBUATAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS KLHS RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA