EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT)
DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN
TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA
FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT
011
Komang Dhyanayuda P.
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN
TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA
FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT
Laporan Penelitian ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA FISIOTERAPI
011
Oleh :
Komang Dhyanayuda P.
1202305008
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
RNYATAAN PERSETUJUAN
Nama : Komang Dhyanayuda P.
NIM : 1202305008
Judul Skripsi : “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT)
Dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan
terhadap Penurunan Komposisi Tubuh pada Mahasiswa
Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
dengan Kategori IMT Overweight”
Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa oleh Dosen Pembimbing Skripsi untuk
diajukan ke Sidang Skripsi.
Denpasar, 14 Juni 2016
Komisi Pembimbing
Pembimbing I,
(Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis)
Pembimbing II
v
PANITIA SIDANG SKRIPSI
vii
EFEKTIFITAS PEMBERIAN BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT)
DIBANDINGKAN DENGAN LATIHAN AEROBIK INTENSITAS RINGAN
TERHADAP PENURUNAN KOMPOSISI TUBUH PADA MAHASISWA
FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENGAN KATEGORI IMT OVERWEIGHT
ABSTRAK
Perubahan komposisi tubuh disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik dan tingginya pola makan yang menyebabkan penumpukan energi dalam bentuk lemak. Peningkatan berat badan, IMT, persentase lemak, dan penurunan BMR yang disertai dengan rendahnya aktivitas fisik akan menyebabkan perubahan komposisi tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pemberian burpee interval training dibandingkan dengan latihan aerobik intensitas ringan terhadap penurunan komposisi tubuh.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Randomized Pre Test and Post Test with Control Group Design. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Sampel penelitian berjumlah 14 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I yang diberikan pelatihan burpee interval training dan kelompok II yang diberikan pelatihan latihan aerobik dengan intensitas ringan. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur perubahan komposisi tubuh menggunakan timbangan dan bioelectrical impedance analysis sebelum dan setelah pelatihan pada setiap kelompok. Uji normalitas dan homogenitas data diuji dengan menggunakan Saphiro-Wilk Test dan Levene’s Test.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan berat badan, IMT, persentase lemak, dan peningkatan BMR pada kelompok I masing-masing sebesar 1,68; 0,62; 3,157; dan 118,71. Pada kelompok II terjadi penurunan berat badan, IMT, persentase lemak, dan peningkatan BMR masing-masing sebesar 0,3; 0,077; 0,471; dan 26,57. Hasil uji paired sample t-test dan Wilcoxon match pair test pada berat badan, persentase lemak, IMT, dan BMR didapatkan perbedaan yang signifikan dengan masing-masing nilai p=0,001; 0,003; 0,018; dan 0,018 (p<0,05) pada kelompok I dan nilai p=0,619; 0,462; 0,611; dan 0,235 (p>0,05) pada kelompok II. Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II dimana untuk IMT, persentase lemak, dan BMR masing-masing nilai p=0,027; 0,011; dan 0,001 (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian burpee interval training lebih efektif dalam menurunkan komposisi tubuh daripada latihan aerobik dengan intensitas ringan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT overweight.
viii
EFFECTIVENESS OF BURPEE INTERVAL TRAINING (BIT)
COMPARED WITH AEROBIC EXERCISE WITH LOW INTENSITY ON
DECREASING BODY COMPOSITION IN UDAYANA FACULTY OF MEDICINE
STUDENT WITH OVERWEIGHT BMI CATEGORY
ABSTRACT
Alteration of body composition is caused by low physical activity and uncontrolled dietary habit that causes a buildup of energy in the form of fat. Increased of weigh, BMI, fat percentage and decreased BMR accompanied by low physical activity will cause a changes of body composition. The purpose of this study was to determine the provision of effectiveness Burpee interval training to improve body composition compared with the aerobic exercise with low intensity.
This study is an experimental research using randomized designs Pre Test and Post Test with Control Group Design. The sampling technique in this research is simple random sampling. These samples included 14 people who were divided into 2 groups. The first group was given training Burpee interval training and the second group was given a low-intensity aerobic exercise. Each group consisted of 7 people. The data collection was done by measuring body composition using weigher and bioelectrical impedance analysis before and after the training in each group. Normality and homogeneity test data is tested using the Shapiro-Wilk test and Levene's Test.
The results showed an decrease in weigh, BMI, fat percentage, and increase BMR of 1,68; 0,62; 3,157; and 118,71 in group I, and 0,3; 0,077; 0,471; and 26,57 in group II. Results of paired samples t-test and Wilcoxon match pair test found are significant difference in decrease in weigh, BMI, fat percentage, and increase BMR with p = 0,001; 0,003; 0,018; and 0,018 (p<0,05) in group I and the value of p=0,619; 0,462; 0,611; dan 0,235 (p>0,05) in group II. Different test difference with independent t-test showed a significant difference between group I and group II where p=0,027; 0,011; dan 0,001 (p<0,05).
Based on these results we can conclude that Burpee training interval
training is better in improving body composition than the aerobic exercise with
low intensity in Udayana University Faculty of Medicine students with overweight
BMI category.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT) Dibandingkan
dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap Penurunan Komposisi Tubuh
pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan
Kategori IMT Overweight”.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk
itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan
skripsi ini, yaitu kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Ketua Program Studi
Fisioterapi Universitas Udayana.
3. Ibu Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus
pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. dr. I Putu Adiartha Griadhi, M.Fis selaku pembimbing II sekaligus pengajar
yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan
vi
5. Bapak, Ibu, adik dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan
memberi dukungan serta motivasi tanpa hentinya agar penulis berjuang dan
berusaha menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya hingga terselesaikannya
skripsi ini. Terimakasih banyak atas cinta tulus tanpa syarat yang selalu kalian
berikan untuk saya.
6. Reza Dharana, Jery Yasa, dan Febrina Ambara Dewi yang selalu menemani,
membantu serta mendukung saya dalam pembuatan skripsi ini
7. Seluruh teman - teman AXOPLASMIC, Fisioterapi FK Unud 2012 yang
selalu membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu
melalui tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat.
Terimakasih banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama
berjuang. Thank you guys!
8. Para Sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak
sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan memberikan semangat
walaupun kita terbatas ruang dan waktu.
9. Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
10.Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Denpasar, Mei 2016
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
2.2.2 Jaringan Adiposa Cokelat ... 16
2.2.3 Lipid Hati ... 18
2.3Sintesis Lipid ... 19
2.3.1 Pembentukan Adenosin Trifosfat dari Trigliserida... 21
2.3.2 Sintesis Trigliserida dari Karbohidrat ... 23
vii
2.4Komposisi Tubuh ... 23
2.4.1 IMT ... 25
2.4.2 Persentase Lemak Tubuh ... 29
2.4.3 BMR ... 30
2.4.4 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) ... 32
2.5Peningkatan Lemak Tubuh terhadap Patogenesis Penyakit ... 35
2.6Faktor Penyebab Penumpukan Lemak Berlebih ... 38
2.7Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh ... 42
2.7.1 Skinfold Thickness atau Skinfold Calliper... 43
2.7.2 Lingkar Perut (Waist Circumference) ... 43
2.7.3 Teknik Dua Komponen Model ... 44
2.7.4 Multikomponen Model ... 48
2.8Burpee Interval Training ... 48
2.8.1 Definisi Burpee Interval Training ... 48
2.8.2 Fungsi Burpee Interval Training ... 53
2.8.3 Bentuk Latihan Burpee Interval Training ... 54
2.9Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 55
2.9.1 Definisi Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 55
2.9.2 Fungsi Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 57
2.9.3 Bentuk Latihan Aerobik Intensitas Rendah ... 58
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS ... 59
viii
4.3Populasi dan Sampel ... 65
4.3.1 Populasi ... 65
4.3.2 Sampel ... 65
4.3.3 Besar Sampel ... 66
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel... 68
4.4Variabel Penelitian ... 68
4.5Definisi Operasional Variabel ... 69
4.6Instrumen Penelitian ... 71
4.7Prosedur Penelitian ... 71
4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 71
4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 73
4.8Alur Penelitian ... 80
4.9Teknik Analisis Data... 81
BAB V HASIL PENELITIAN ... 85
5.1Data Karakteristik Sampel ... 85
5.2Uji Analisis pada Perubahan Berat Badan ... 86
5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 86
5.2.2 Uji Beda Rerata Berat Badan Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 88
5.2.3 Uji Hipotesis Penurunan Berat Badan dengan Paired Sample t-test ... 88
5.2.4 Uji Beda Rerata Penurunan Berat Badan Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 90
5.2.5 Uji Beda Selisih Penurunan Berat Badan Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 91
5.3Uji Analisis pada Perubahan IMT ... 92
5.3.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 92
ix
5.3.3 Uji Hipotesis Penurunan IMT dengan Wilcoxon Match Pair test... 93
5.3.4 Uji Beda Rerata Penurunan IMT Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 95
5.3.5 Uji Beda Selisih Penurunan IMT Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 96
5.4Uji Analisis pada Perubahan Persentase Lemak ... 97
5.4.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 97
5.4.2 Uji Beda Rerata Persentase Lemak Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 99
5.4.3 Uji Hipotesis Penurunan Persentase Lemak dengan Paired Sample t-test ... 99
5.4.4 Uji Beda Rerata Penurunan Persentase Lemak Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 101
5.4.5 Uji Beda Selisih Penurunan Persentase Lemak Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 102
5.5Uji Analisis pada Perubahan BMR ... 104
5.5.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 104
5.5.2 Uji Beda Rerata BMR Sebelum Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 105
5.5.3 Uji Hipotesis Peningkatan dengan Wilcoxon Match Pair test ... 105
5.5.4 Uji Beda Rerata Peningkatan BMR Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 107
5.5.5 Uji Beda Selisih Peningkatan BMR Setelah Diberikan Latihan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 108
5.6Uji Korelasi Antar Variabel ... 109
5.7Analisa Cut-point Pola Makan terhadap Penelitian ... 110
5.7.1 Uji Normalitas dan Homogenitas ... 110
x
5.7.3 Analisa Cut-point pada Pola Makan per Kelompok ... 113
5.7.4 Uji Beda Rerata Pola Makan Cut-point antar Kelompok... 114
5.7.5 Analisa Perubahan Komposisi Tubuh Setelah Penerapan Cut-point ... 114
5.7.6 Analisa Beda Perubahan Komposisi Tubuh Setelah Penerapan Cut-point ... 115
BAB VI PEMBAHASAN ... 116
6.1Karakteristik Sampel ... 116
6.2Distribusi dan Varians Sampel Penelitian ... 118
6.3Burpee Interval Training (BIT) efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 118
6.4Latihan Aerobik Intensitas Ringan tidak efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 123
6.5Adanya perbedaan efektifitas antara pelatihan Burpee Interval Training (BIT) dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan dalam menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT Overweight ... 126
BAB VI PEMBAHASAN ... 132
7.1 Simpulan ... 132
7.2 Saran ... 132
Daftar Pustaka
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.Asam Stearat ... 8
Gambar 2.2. Jaringan Adiposa Putih... 15
Gambar 2.3. Jaringan Adiposa Coklat ... 17
Gambar 2.4. Komponen pengeluaran energi ... 31
Gambar 2.5. Posisi Awal Berdiri ... 49
Gambar 2.6. Squat Down ... 50
Gambar 2.7. Planck ... 51
Gambar 2.8. Fase Berjalan ... 56
Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 62
Gambar 4.1. Desain Penelitian ... 64
Gambar 4.2. Posisi Awal Berdiri ... 75
Gambar 4.3. Posisi Kedua Squat Down ... 75
Gambar 4.4. Posisi Ketiga Planck... 76
Gambar 4.5. Kembali ke Posisi Squat Down ... 76
Gambar 4.6. Diakhiri dengan Posisi Berdiri Kembali ... 77
Gambar 4.7. Alur Penelitian... 80
Gambar 5.1. Grafik Rerata Nilai Berat Badan Sebelum dan Sesudah Latihan ... 90
Gambar 5.2. Grafik Rerata Nilai IMT Sebelum dan Sesudah Latihan ... 95
Gambar 5.3. Grafik Rerata Nilai Persentase Lemak Sebelum dan Sesudah Latihan... 101
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO ... 27
Tabel 2.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik ... 28
Tabel 2.3. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI ... 29
Tabel 2.4. Klasifikasi Rata-rata Persentase Lemak Berdasar Kategori menurut American Council on Exercise ... 30
Tabel 5.1. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Umur, IMT ... 85
Tabel 5.2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Latihan ... 86
Tabel 5.3. Hasil Uji Beda Rerata Berat Badan Sebelum Latihan ... 87
Tabel 5.4. Hasil Uji Hipotesis Penurunan Berat Badan ... 88
Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Berat Badan Setelah Latihan ... 90
Tabel 5.6. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan Berat Badan Setelah Latihan ... 90
Tabel 5.7. Persentase Penurunan Berat Badan Sesudah Latihan ... 91
Tabel 5.8. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan IMT Sebelum dan Sesudah Latihan ... 92
Tabel 5.9. Hasil Uji Beda Rerata IMT Sebelum Latihan ... 93
Tabel 5.10. Hasil Uji Hipotesis Penurunan IMT ... 94
Tabel 5.11. Hasil Uji Beda IMT Setelah Latihan ... 96
Tabel 5.12. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan IMT Setelah Latihan ... 96
xiii
Tabel 5.14. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan Persentase
Lemak Sebelum dan Sesudah Latihan ... 98
Tabel 5.15. Hasil Uji Beda Rerata Persentase Lemak Sebelum Latihan ... 99
Tabel 5.16. Hasil Uji Hipotesis Penurunan Persentase Lemak ... 100
Tabel 5.17. Hasil Uji Beda Persentase Lemak Setelah Latihan ... 102
Tabel 5.18. Hasil Uji Beda Selisih Penurunan Persentase Lemak Setelah Latihan ... 102
Tabel 5.19. Persentase Penurunan Persentase Lemak Sesudah Latihan ... 103
Tabel 5.20. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Perubahan BMR Sebelum dan Sesudah Latihan ... 104
Tabel 5.21. Hasil Uji Beda Rerata BMR Sebelum Latihan ... 105
Tabel 5.22. Hasil Uji Hipotesis Peningkatan BMR ... 106
Tabel 5.23. Hasil Uji Beda Rerata BMR Setelah Latihan... 108
Tabel 5.24. Hasil Uji Beda Selisih Peningkatan BMR Setelah Latihan ... 108
Tabel 5.25. Persentase Peningkatan BMR Sesudah Latihan ... 109
Tabel 5.26. Korelasi Variabel Komposisi Tubuh... 110
Tabel 5.27. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Pola Makan dan Aktivitas Fisik ... 111
Tabel 5.28. Hasil Uji Beda Rerata Pola Makan dan Aktivitas Fisik ... 112
Tabel 5.29. Karakteristik berdasar Pola Makan ... 113
Tabel 5.30. Hasil Uji Beda Rerata Pola Makan dengan Nilai Cut-Point ... 114
xiv
Tabel 5.32. Uji Rerata Penurunan IMT dan Peningkatan BMR di Bawah 55 ... 115
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah para pemuda
yang memasuki usia kategori dewasa dan memiliki karakteristik aktivitas yang
cenderung sama sebagai pelajar. Jadwal perkuliahan yang padat disertai
beragamnya aktivitas organisasi kemahasiswaan membuat para mahasiswa
melupakan gaya hidup sehat yang berakibat perubahan pola bentuk tubuh.
Penelitian pada tahun 2014 di FK Unud terhadap 127 responden mahasiswa
semester lima didapatkan hasil yaitu yang mengalamioverweightsebesar 19 orang
atau 15% dari total responden. Dan yang mengalami obesitas, baik obese kelas satu
maupun dua, sebesar 21 orang atau 16,8%. (Pemayun, 2014).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Nutrition Report untuk
wilayah Indonesia pada tahun 2014, 10% dari total populasi mengalamioverweight
serta sebesar 2% penduduk mengalami obesitas. Data prevalensi juga
menunjukkan, wanita dewasa yangoverweight sebesar 25% dan obesitas sebesar
7%. Angka yang lebih kecil ditunjukkan pada populasi dewasa pria, dimana
prevalensi untukoverweightsebesar 16% dan yang obesitas sebesar 3% dari total
populasi (WHO,2014). Prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun)
menunjukkan kecendrungan peningkatan. Pada tahun 2013 angka prevalensi
Khususnya Provinsi Bali, angka prevalensi obesitas sebesar 19% dari total
penduduk bali pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014).
Meningkatnya indeks massa tubuh overweight dan obesitas terjadi oleh
karena ketidakseimbangan antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang
dikeluarkan (Sulistyoningsih, 2011). Tingginya asupan makanan padat energi
seperti lemak dan gula, serta rendahnya aktivitas fisik dikarenakan sifat sedentary
/ kurang beraktivitas dari berbagai jenis pekerjaan, perubahan model transportasi
dan urbanisasi. (WHO, 2015). Di seluruh dunia, 2,8 juta penduduk meninggal setiap
tahunnya sebagai akibat dari kondisi overweight, termasuk obesitas (Icks A, et al,
2009), dan diperkirakan 35,8 juta (2,3%) dari populasi total menderita DALYs
(Disability Adjusted Life Year) yang disebabkan oleh overweight dan obesitas
(WHO, 2009). Berat badan berlebih dan obesitas menyebabkan efek metabolik
yang buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida dan resistensi insulin.
Resiko dari penyakit jantung koroner, stroke iskemik dan diabetes mellitus tipe 2
meningkat secara bertahap sejalan dengan peningkatan nilai IMT (WHO, 2009).
Peningkatan resiko terjadi secara bervariasi dikarenakan perbedaan demografi antar
populasi dunia, dimana Indonesia termasuk dalam kawasan Asia-Pasifik yang
memiliki rentang IMT overweight lebih rendah dari penerapan WHO global yaitu
23,0-24,9 kg/m2(WHO, 2000).
Komposisi tubuh terdiri dari massa lemak, dan massa bebas lemak.
Rendahnya aktivitas fisik menyebabkan perubahan massa lemak dalam tubuh. Bila
hal ini terus berlanjut terus-menerus akan menyebabkan peningkatan IMT (Pamela,
deposit. Jaringan lemak subkutan putih tersimpan hanya di bawah kulit, menyimpan
sekitar 80-90% dari total lemak tubuh, sedangkan penumpukan lemak
intrabdominal oleh jaringan adiposa viseral. Jaringan adiposa viseral sebesar 6-20%
dari total lemak tubuh, dengan jumlah yang lebih tinggi pada pria daripada wanita
(Ludescher B,et al., 2007; Haupt A,et al., 2010). Penumpukan lemak viseral yang
berlebih secara medis lebih berbahaya dari lemak subkutan, dimana akan
meningkatkan resiko untuk terserang penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus
tipe 2, kanker kolorektal, dan sleep apnea. Ini jelas berbahaya bagi sebagian pria
yang memiliki lemak berlebih pada perutnya (Whitlock G,et al., 2007; Canoy D,
et al., 2007; Després JP, 2007; Pischon T,et al., 2008).
Latihan aerobik merupakan jenis latihan aktivitas fisik (disebut juga sebagai
ketahanan endurance atau aktivitas kardio) dengan penggunaan otot-otot besar
tubuh yang bergerak secara berirama dalam jangka waktu yang berkelanjutan,
contoh, jalan cepat, berlari, bersepeda, lompat tali dan berenang (Anonim, 2008).
Sesuai dengan kriteria MHR, latihan aerobik dapat dibagi menjadi : latihan aerobik
intensitas ringan (60-69% MHR), latihan aerobik intensitas sedang (70-79% MHR),
dan latihan aerobik intensitas tinggi (80-89%) (ACSM, 2010; Sari, 2013). Durasi
latihan aerobik memberikan dampak baik bila dilakukan selama 20-60 menit, pada
intensitas rendah dilakukan paling sedikit selama 30 menit dan berlanjut. Latihan
intensitas rendah 3-5 kali perminggu dapat menurunkan massa lemak subkutan dan
lemak visceral, dengan intensitas tersebut mampu mengurangi persentase lemak
tubuh sebesar 20,46% dibandingkan intensitas tinggi yang hanya 4,63% selama 6
Burpee Interval Training (BIT)merupakan latihan kombinasi antaraSprint
Interval Trainingdengan gerakkanBurpeeyang melibatkan serangkaian intensitas
rendah ke tinggi dengan diselingi waktu istirahat (Heyward, Vivian H, 2006).
Periode intensitas tinggi biasanya mendekati kondisi anaerobik, sedangkan periode
pemulihan merupakan aktivitas aerobik (Kerr, Hamish, 2011). BIT bisa dilakukan
hingga intensitas maksimal (>150% dari puncak VO2) dengan durasi 30 detik
disertai istirahat selama 4 menit dengan repetisis hingga 6 kali pengulangan, 3 kali
seminggu selama 2-6 minggu (Gibala, et al., 2006; Burgosmaster, et al., 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Perry, et al., tahun 2008 menyebutkan bahwa
interval training dalam satu sesi latihan, mampu membakar lemak sebanyak 36%
dibandingkan dengan latihan kardiovaskuler yang hanya 13%. Kondisi ini
berdampak pada penurunan masa lemak dan penurunan IMT secara signifikan.
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas maka peneliti tertarik
untuk mengetahui “Efektifitas Pemberian Burpee Interval Training (BIT)
Dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan terhadap Penurunan
Komposisi Tubuh pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana dengan Kategori IMTOverweight”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang
disampaikan sebagai berikut:
1. Apakah pemberian Burpee Interval Training (BIT) efektif menurunkan
komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran
2. Apakah pemberian Latihan Aerobik Intensitas Ringan efektif menurunkan
komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight?
3. Apakah ada perbedaan efektifitas pemberian Burpee Interval Training
(BIT) dalam menurunkan komposisi tubuh dibandingkan dengan pemberian
Latihan Aerobik Intensitas Ringan pada mahasiswa Fisioterapi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMToverweight?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas pemberian Burpee Interval Training (BIT)
dan Latihan Aerobik Intensitas Ringan dalam menurunkan komposisi tubuh
pada mahasiswa.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan
khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk membuktikan bahwa pemberianBurpee Interval Training(BIT)
efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT
overweight.
2. Untuk membuktikan bahwa pemberian Latihan Aerobik Intensitas
Ringan efektif menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa
Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori
3. Untuk mengetahui perbedaan efektifitas pemberian Burpee Interval
Training(BIT) dibandingkan dengan Latihan Aerobik Intensitas Ringan
dalam menurunkan komposisi tubuh pada mahasiswa Fisioterapi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan kategori IMT
overweight.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
1. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian
selanjutnya yang akan membahas hal yang sama.
2. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya
dan fisioterapi pada khususnya.
1.4.2 Praktis
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi
dalam menjaga dan menyeimbangkan perubahan struktur komposisi
tubuh
2. Sebagai upaya promotif dan preventif kepada masyarakat untuk
7
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Metabolisme Lipid
Beberapa senyawa kimia di dalam makanan dan tubuh diklarifikasikan
sebagai lipid. Lipid ini meliputi : 1) lemak netral, yang dikenal sebagai trigliserida,
2) fosfolipid, 3) kolesterol, dan 4) beberapa lipid lain yang kurang penting. Secara
kimia, sebagian lipid dasar dari trigliserida dan fosfolipid adalah asam lemak, yang
hanya merupakan asam organik hidrokarbon rantai panjang. Rumus kimia asam
lemak yang khas, yaitu asam palmitat, adalah CH3(CH2)14COOH (Campbell &
Reece, 2010).
Sejauh ini yang paling banyak dalam diet adalah lemak netral atau
trigliserida, yang setiap molekulnya tersusun dari sebuah inti gliserol dan rantai
panjang tiga asam lemak. Tiga asam lemak yang paling sering terdapat dalam
trigliserida di tubuh manusia adalah 1. Asam stearat yang mempunyai 18 rantai
karbon dan sangat jenuh dengan atom hidrogen, 2. Asam oleat yang juga
mempunyai 18 rantai karbon tetapi mempunyai satu ikatan ganda di bagian tengah
rantai, dan 3. Asam palmitat yang mempunyai 16 atom karbon dan sangat jenuh
Gambar 2.1 Asam Stearat Sumber : Guyton & Hall 2007
Lemak ini merupakan unsur utama dalam bahan makanan yang berasal dari
hewan dan sangat sedikit ada dalam makanan berasal dari tumbuhan. Dalam diet
lemak yang biasa juga mengandung sejumlah kecil fosfolipid, kolesterol, dan ester
kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol terdiri atas asam lemak dan oleh karena
itu dapat dianggap sebagai lemak. Walaupun kolesterol tidak mengandung asam
lemak, inti sterolnya disintesis dari gugus molekul asam lemak, ditambah lagi
kolesterol merupakan turunan lemak, sehingga kolesterol memiliki banyak sifat
fisik dan kimia dari zat lipid lainnya (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece,
2010; Pearce, 2011).
Trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi bagi
berbagai proses metabolik, suatu fungsi yang hampir sama dengan fungsi
karbohidrat. Akan tetapi, beberapa lipid, terutama kolesterol, fosfolipid, dan
sejumlah kecil trigliserida, dipakai untuk membentuk semua membran sel dan
melakukan fungsi-fungsi sel yang lain (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece,
2010).
Sejumlah kecil trigliserida dicernakan dalam lambung oleh lipase lingual
saliva. Jumlah pencernaan pada lambung kurang dari 10 persen. Tahap pertama
dalam pencernaan lemak adalah secara fisik memecahkan gumpalan lemak menjadi
ukuran sangat kecil, sehingga enzim pencernaan yang larut air dapat bekerja pada
permukaan gumpalan lemak. Proses ini disebut emulsifikasi lemak, dan dimulai
melalui pergolakan di dalam lambung untuk mencampur lemak dengan produk
pencernaan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).
Selanjutnya, kebanyakan proses emulsifikasi terjadi di dalam duodenum di
bawah pengaruh empedu, sekresi dari hati yang tidak mengandung enzim
pencernaan apapun. Akan tetapi, empedu mengandung sejumlah besar garam
empedu juga fosfolipid lesitin, yang sangat penting untuk emulsifikasi lemak.
Gugus-gugus polar (titik terjadinya ionisasi di dalam air) dari garam empedu dan
molekul-molekul lesitin sangat larut air, sedangkan sebagian besar sisa
gugus-gugus molekul keduanya sangat larut lemak. Oleh karena itu, gugus-gugus yang larut
lemak dari sekret hati ini terlarut dalam lapisan permukaan gumpalan lemak,
sedangkan gugus polarnya menonjol. Penonjolan gugus polar, selanjutnya, terlarut
dalam cairan berair di sekitarnya, sehingga sangat menurunkan tegangan
antar-permukaan lemak dan membuat lemak tersebut ikut terlarut (Guyton & Hall, 2007;
Pearce, 2011).
Bila tegangan antar permukaan gumpalan cairan yang tidak tercampur ini
rendah, cairan yang tidak bercampur ini, melalui pengadukan, dapat dipecah
menjadi banyak partikel yang sangat halus secara jauh lebih mudah daripada bila
tegangan antar permukaanya tinggi. Akibatnya, fungsi utama garam empedu dan
untuk dipecah oleh pengadukan dengan air di dalam usus halus. Setiap kali diameter
gumpalan lemak secara signifikan diturunkan sebagai akibat pengadukan pada usus
halus, daerah permukaan lemak total meningkat berlipat-lipat. Karena diameter
rata-rata partikel lemak dalam usus setelah terjadinya emulsifikasi hanya kurang
dari 1 mikrometer, ukuran ini menggambarkan peningkatan sebanyak 1000 kali
lipat pada daerah permukaan lemak total yang disebabkan oleh proses emulsifikasi
(Guyton & Hall, 2007).
Enzim lipase merupakan senyawa yang larut air dan dapat menyerang
gumpalan lemak hanya pada permukaannya. Enzim lipase pankreas merupakan
enzim paling penting untuk pencernaan trigliserida dan terdapat dalam jumlah
sangat banyak di dalam getah pancreas. Enzim ini cukup dengan waktu 1 menit
untuk mencernakan semua trigliserida yang dicapainya. Produk akhir dari
pencernaan lemak ialah asam lemak bebas dan 2-monogliserida yang merupakan
pemecahan dari trigliserida oleh getah pankreas (Guyton & Hall, 2007; Campbell
& Reece, 2010; Pearce, 2011).
Hidrolisis trigliserida merupakan proses yang sangat reversibel, oleh karena
itu, akumulasi monogliserida dan asam lemak bebas di sekitar lemak yang dicerna
sangat cepat menghambat pencernaan lebih lanjut. Namun garam empedu memiliki
peran tambahan yang penting dalam memindahkan monogliserida dan asam lemak
bebas dari lingkungan pencernaan gelembung lemak hampir secepat pembentukan
produk akhir pencernaan ini (Campbell & Reece, 2010; Pearce, 2011).
Garam empedu, saat berada pada konsentrasi yang cukup tinggi di dalam
silinder sferis kecil, berdiameter 3 sampai 6 nanometer, dan terdiri dari 20 sampai
40 molekul garam empedu. Misel-misel ini terbentuk karena setiap molekul garam
empedu tersusun dari sebuah inti sterol yang sangat larut lemak, dan satu gugus
polar yang sangat larut air. Inti sterol ini melingkupi lemak yang dicernakan,
membentuk gumpalan lemak kecil di tengah misel yang telah terbentuk, dengan
gugus-gugus polar garam empedu yang menonjol ke luar untuk menutupi
permukaan misel. Karena bermuatan negatif, gugus polar ini memungkinkan
seluruh gumpalan misel larut di dalam air cairan pencernaan dan tetap dalam bentuk
larutan yang stabil sampai lemak tersebut diabsorbsi ke dalam darah (Guyton &
Hall, 2007; Campbell & Reece, 2010).
Misel garam empedu juga bertindak sebagai medium transport untuk
mengangkut monogliserida dan asam lemak bebas, keduanya relatif tidak larut
tanpa misel tersebut, menujubrush ordersel-sel epitel usus. Di sana monogliserida
dan asam lemak bebas diabsorbsi ke dalam darah, sedangkan garam empedu itu
sendiri dilepaskan kembali ke dalam kismus untuk dipakai berulang-ulang dalam
proses pengangkutan ini (Guyton & Hall, 2007).
Selain trigliserida, kolesterol dan fosfolipid juga mengalami proses
hidrolisis. Kolesterol, dalam makanan sebagian besar berbentuk ester kolesterol,
dan fosfolipid dihidrolisis oleh dua lipase yang berbeda dalam sekresi pankreas
yang untuk membebaskan asam lemak, enzim hidrolase ester kolesterol untuk
menghidrolisis ester kolesterol dan fosfolipase A2 untuk menghidrolisis fosfolipid.
Dan tentu saja dalam pengangkutanya memerlukan peranan misel (Guyton & Hall,
Selanjutnya, asam lemak bebas dan monogliserid yang terlarut dalam misel,
akan ditranspor ke permukaan mikrovilibrush ordersel usus halus dan kemudian
menembus ke dalam ceruk di antara mikrovili yang bergolak dan bergerak. Di sini,
keduanya akan segera berdifusi keluar misel dan masuk ke dalam sel epitel yang
dapat terjadi karena lipid juga larut dalam membran sel epitel. Proses ini
meninggalkan misel empedu tetap dalam kimus, yang selanjutnya akan melakukan
fungsinya berkali-kali untuk membantu mengabsorbsi lebih banyak monogliserida
dan asam lemak lagi (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).
Fungsi misel sangat penting untuk absorbsi lemak. Adanya misel empedu
dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lebih kurang 97% lemak
diabsorbsi, bila tidak ada misel empedu, normalnya hanya 40 sampai 50 persen
lemak yang dapat diabsorbsi. Setelah memasuki sel epitel, asam lemak bebas dan
monogliserida diambil oleh sel retikulum endoplasma halus, yang akan digunakan
untuk membentuk trigliserida yang baru yang selanjutnya dilepaskan dalam bentuk
kilomikron melalui bagian basal sel epitel, mengalir ke atas melalui duktus limfe
torasikus dan menuju aliran darah (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece,
2010).
Kemudian, sewaktu melalui sel epitel usus, monogliserida dan asam lemak
disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang masuk ke dalam limfe
dalam bentuk kilomikron. Kilomikron ini berdiameter 0,8 sampai 0,6 mikron.
Sejumlah apoprotein B diabsorbsi ke permukaan luar kilomikron. Keadaan ini
membuat sisa molekul protein menonjol ke dalam air di sekitarnya dan karena itu,
mencegah perlekatan kilomikron ke dinding pembuluh limfe (Guyton & Hall, 2007;
Campbell & Reece, 2010).
Kurang lebih satu jam setelah makan makanan mengandung lemak,
konsentrasi kilomikron dalam plasma dapat meningkat 1 sampai 2 persen dari total
plasma, dan membuat warna plasma menjadi keruh. Namun, waktu paruh
kilomikron kurang dari 1 jam sehingga plasma akan menjadi jernih kembali.
Setelah dalam sirkulasi darah, kilomikron akan dipindahkan melalui kapiler
jaringan adiposa dan hati. Kedua jaringan tersebut mengandung banyak enzim
lipoprotein lipase. Enzim ini terutama aktif pada endotel kapiler tempat enzim
menghidrolisis trigliserida dari kilomikron begitu trigliserida melekat pada dinding
endotel, sehingga asam lemak dan gliserol dapat dilepaskan (Guyton & Hall, 2007;
Campbell & Reece, 2010).
Asam lemak, yang sangat menyatu dengan membran sel, segera berdifusi
ke dalam sel lemak jaringan adiposa dan ke dalam sel hati. Begitu berada di dalam
sel-sel ini, asam lemak disintesis kembali menjadi trigliserida, dengan gliserol baru
yang disuplai oleh proses metabolism sel penyimpan (Guyton & Hall, 2007).
2.2 Deposit Lipid
Sebagian besar lemak disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, yaitu jaringan
adiposa (biasa disebut sebagai deposit lemak atau jaringan lemak) dan hati (Guyton
& Hall, 2007; Mescher, 2011).
Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai
diperlukan untuk membentuk energi dalam tubuh. Fungsi tambahan adalah untuk
merupakan jenis jaringan ikat khusus, yang terutama terdiri atas sel-sel lemak atau
adiposit. Sel ini dapat tersebar sendiri-sendiri atau berupa kelompok di dalam
jaringan ikat irregular atau longgar, sering dalam kelompok besar tempat sel-sel ini
menjadi komponen utama jaringan adiposa. Karena terdapat di banyak area di
tubuh, pada pria dengan berat badan normal, memiliki jaringan adiposa 15-20%
dari berat badannya, sedangkan pada wanita dengan berat badan normal, mencapai
20-25% dari berat badannya (Mescher, 2011)
Setelah sekian lama dianggap sebagai massa inert simpanan energi sebagai
lemak, adiposit kini dikenal sebagai regulator utama metabolisme energi tubuh.
Jaringan adiposa merupakan gudang energi terbesar ( dalam bentuk trigliserida) di
tubuh. Organ lain yang menimbun energi, terutama hati dan otot rangka,
melakukannya dalam bentuk glikogen. Namun, pasokan glikogen memiliki
keterbatasan dan sejumlah besar kalori harus dimobilisasi di antara waktu-waktu
makan. Karena densitas trigliserida lebih rendah daripada glikogen dan memiliki
nilai kalori yang lebih tinggi (9,3 kkal/g untuk trigliserida berbanding 4,1 kkal/g
untuk karbohidrat), jaringan adiposa telah berkembang menjadi suatu jaringan
penimbun yang sangat efisien. Jaringan adiposa juga mengisi ruang antara jaringan
lain dan membantu menahan sejumlah organ di tempatnya (Mescher, 2011; Pearce,
2011). Terdapat dua jenis jaringan adiposa dengan lokasi, struktur, warna dan ciri
patologi yang berbeda. Jaringan adiposa putih dan jaringan adiposa coklat.
2.2.1 Jaringan Adiposa Putih
Merupakan jenis tersering, terdiri atas sel-sel yang mengandung satu tetes
sitoplasmanya bila berkembang sempurna. Dikhususkan untuk penyimpanan energi
dalam jangka panjang. Hampir semua jaringan adiposa pada orang dewasa terdapat
dalam jenis jaringan ini dan ditemukan dalam banyak organ di seluruh tubuh.
Jaringan adiposa putih adalah depot energi yang besar bagi organisme. Lipid yang
tersimpan dalam sel adiposa terutama trigliserida, yaitu ester dari asam lemak dan
gliserol. Trigliserida yang ditimbun sel-sel ini berasal dari lemak makanan yang
dibawa ke adiposit dalam bentuk kilomikron, dalam bentuk trigliserida yang
disintesis dalam hati dan dibawa ke sel-sel adiposa dalam bentuk VLDL (very low
density lipoprotein), dan dihasilkan oleh sintesis asam lemak bebas dan gliserol
setempat dari glukosa untuk membentuk trigliserida (Mescher, 2011).
Gambar 2.2 Jaringan Adiposa Putih Sumber : Mescher, 2011
Meskipun semua jaringan adiposa putih serupa secara histologis dan
(abdomen) dan deposit lemak putih subkutan. Perbedaan semacam itu penting
untuk penentuan resiko medis obesitas; peningkatan jaringan adiposa viseral
diyakini meningkatkan resiko diabetes dan penyakit kardiovaskular, sedangkan
peningkatan lemak subkutan tidak demikian. Pelepasan produk lemak viseral secara
langsung ke sirkulasi portal dan hati juga dapat memengaruhi kepentingan medis
bentuk obesitas ini (Mescher, 2011).
Jaringan adiposa subkutan (putih) tersimpan hanya di bawah kulit,
menyimpan sekitar 80-90% total lemak tubuh, terutama di daerah perut (sekitar
pinggang), lengan atas (triceps),subscapularis, glutealdanfemoral(Ludescher B,
et al., 2007; Haupt A, et al., 2010). Oleh karena itu, jaringan adiposa subkutan
membantu membentuk permukaan tubuh (Mescher, 2011). Dan jaringan adiposa
viseral pada daerah intraabdominal yang berada di antara dengan organ pencernaan
dan menyimpan sekitar 6-20% total lemak tubuh (Ludescher B,et al., 2007; Haupt
A,et al., 2010).
2.2.2 Jaringan Adiposa Cokelat
Terdiri atas sel-sel yang mengandung banyak tetes lipid di antara sejumlah
besar mitokondria, yang membuat sel ini tampak gelap. Warna jaringan adiposa
cokelat atau lemak cokelat timbul karena banyaknya mitokondria (yang
mengandung sitokrom berwarna) yang tersebar dalam adiposit dan banyaknya
kapiler darah pada jaringan ini. Adiposit lemak cokelat mengandung banyak inklusi
Gambar 2.3 Jaringan Adiposa Coklat Sumber : Mescher, 2011
Fungsi utama sel adiposa multilokular adalah menghasilkan panas melalui
thermogenesis tanpa menggigil. Pada manusia baru lahir yang terpapar lingkungan
lebih dingin daripada rahim ibu, impuls saraf akan melepaskan norepinefrin ke
dalam jaringan adiposa cokelat. Seperti pada lemak putih, neurotransmitter ini
mengaktifkan lipase peka-hormon yang terdapat dalam sel adiposa, yang
meningkatkan hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Namun, tidak
seperti lemak putih, asam lemak yang dibebaskan akan cepat dimetabolisme, yang
menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi panas, yang menaikkan
suhu jaringan dan menghangatkan darah yang melaluinya (Mescher, 2011; Pearce,
2011).
Sejumlah besar lipase terdapat dalam jaringan adiposa. Beberapa dari enzim
lipase ini mengatalisis deposit trigliserida sel dari kilomikron dan lipoprotein.
Lipase yang lain, bila diaktifkan oleh hormon, menyebabkan pemecahan
trigliserida sel lemak untuk melepaskan sel lemak bebas. Karena perubahan asam
sampai 3 minggu, yang berarti bahwa lemak yang disimpan di dalam jaringan hari
ini tidak sama dengan lemak yang disimpan bulan lalu, yang menunjukkan
dinamika penyimpanan lemak (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).
2.2.3 Lipid Hati
Fungsi utama hati dalam metabolisme lipid adalah untuk memecahkan asam
lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, menyintesis
trigliserida, terutama dari karbohidrat tetapi juga dari protein dalam jumlah yang
lebih sedikit, dan menyintesis lipid lain dari asam lemak, terutama kolesterol dan
fosfolipid. Sejumlah besar trigliserida terdapat di hati selama stadium awal
kelaparan, pada diabetes mellitus, dan pada beberapa keadaan lain ketika lemak
dipakai untuk energi bukannya karbohidrat. Pada keadaan ini, sejumlah besar
trigliserida dimobilisasi dari jaringan adiposa, yang ditranspor sebagai asam lemak
dalam darah, dan ditimbun kembali sebagai trigliserida di hati, tempat dimulainya
tahap awal dari sejumlah besar degradasi lemak. Dalam keadaan fisiologis normal,
jumlah total trigliserida di hati sangat ditentukan oleh kecepatan penggunaan lipid
sebagai sumber energi secara keseluruhan (Guyton & Hall, 2007; Pearce, 2011).
Sel hati, selain mengandung trigliserida, juga mengandung sejumlah besar
fosfolipid dan kolesterol, yang secara kontinu disintesis oleh hati. Juga, sel hati
lebih mampu mendesaturasi asam lemak daripada jaringan lain sehingga trigliserida
hati secara normal lebih tidak jenuh daripada trigliserida dari jaringan adiposa.
Kemampuan hati untuk mendesaturasi asam lemak secara fungsional penting untuk
jumlah lemak tak jenuh yang cukup banyak, dan sumber utamanya adalah hati.
Desaturasi ini dilakukan oleh suatu dehidrogenasi di sel hati (Guyton & Hall, 2007).
2.3 Sintesis Lipid
Bila lemak yang telah disimpan dalam jaringan adiposa hendak digunakan
dalam tubuh untuk menghasilkan energi, pertama, lemak harus ditranspor dari
jaringan adiposa ke jaringan lain. Lemak yang ditranspor terutama berbentuk asam
lemak bebas. Keadaan ini dicapai dengan hidrolisis trigliserida kembali menjadi
asam lemak dan gliserol. Transpor asam lemak bebas dalam darah dilakukan dalam
bentuk gabungan dengan albumin (Guyton & Hall, 2007; Campbell & Reece,
2010).
Ada dua jenis rangsangan berperan penting dalam meningkatkan hidrolisis
ini. Pertama, bila sediaan glukosa pada sel lemak tidak adekuat, salah satu hasil
pemecahan glukosa,α-gliserofosfat, juga tidak tersedia dalam jumlah yang cukup.
Karena zat ini dibutuhkan untuk mempertahankan gugus gliserol dari trigliserida
yang baru disintesis, hidrolisis trigliserida akan terjadi. Kedua, sel lipase peka
hormon dapat diaktifkan oleh beberapa hormon dari kelenjar endokrin, dan hormon
ini juga meningkatkan hidrolisis trigliserida dengan cepat (Guyton & Hall, 2007;
Powers & Howley, 2009).
Sewaktu meninggalkan sel lemak, asam lemak mengalami ionisasi kuat
dalam plasma dan gugus ioniknya segera bergabung dengan molekul albumin
protein plasma. Asam lemak yang berikatan dengan cara ini disebut asam lemak
lain dalam plasma yang terdapat dalam bentuk : ester gliserol, kolesterol, dan zat
lainnya (Guyton & Hall, 2007).
Konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma pada keadaan istirahat
kira-kira 15 mg/dl, yang seluruhnya hanya mencapai 0,45 gram asam lemak dalam
seluruh sistem sirkulasi. Jumlah sekecil ini berperan penting dalam keseluruhan
sistem transport asam lemak antara berbagai bagian. Ini dikarenakan, pertama,
kecepatan penggantianya (turn over) sangatlah cepat, dimana separuh asam lemak
plasma akan digantikan oleh asam lemak baru setiap 2 sampai 3 menit. Pada
kecepatan ini, semua kebutuhan energi normal tubuh dapat disediakan oleh oksidasi
asam lemak bebas yang ditranspor tanpa menggunakan karbohidrat atau protein
sebagai sumber energi (Guyton & Hall, 2007).
Kedua, semua keadaan yang meningkatkan kecepatan pemakaian lemak
untuk energi sel juga meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dalam darah,
bahkan, konsentrasi ini terkadang meningkat sampai lima hingga delapan kali.
Peningkatan yang besar ini terjadi pada kasus kelaparan dan diabetes utamanya,
dikarenakan sedikitnya atau tidak sama sekali memproleh energi dari metabolisme
karbohidrat (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
Pada keadaan normal, hanya sekitar 3 molekul asam lemak yang bergabung
dengan setiap molekul albumin, namun sebanyak 30 molekul asam lemak dapat
bergabung dengan satu molekul albumin bila kebutuhan transpor asam lemak
sangat besar. Ini menunjukkan bervariasinya kecepatan transport lipid pada
2.3.1 Pembentukan Adenosin Trifosfat dari Trigliserida
Pemakaian lemak sebagai sumber energi sama pentingnya dengan
pemakaian karbohidrat karena jumlah energi yang dibebaskan dari setiap gram
karbohidrat setelah oksidasi menjadi karbon dioksida dan air adalah 4,1 kalori, dan
yang dibebaskan dari lemak adalah 9,3 kalori, sedangkan, dari protein sebesar 4,35
kalori. Selain itu, banyak karbohidrat yang ditelan bersama makanan diubah
menjadi trigliserida, kemudian disimpan, dan kemudian dipakai dalam bentuk asam
lemak yang dilepaskan dari trigliserida sebagai sumber energi (Powers & Howley,
2009).
Untuk memproleh energi dari lemak netral, lemak pertama-tama dipecah
menjadi gliserol dan asam lemak. Asam lemak kemudian dipecah oleh oksidasi beta
mitokondria menjadi radikal asetil berkarbon 2 yang membentuk asetil-koenzim A
(asetil-KoA). Asetil-KoA dapat memasuki siklus asam sitrat dan dioksidasi untuk
membebaskan sejumlah energi yang sangat besar. Oksidasi beta dapat terjadi di
semua sel tubuh, namun terutama terjadi dengan cepat dalam sel hati. Hati sendiri
tidak dapat menggunakan semua asetil-KoA yang dibentuk, sebaliknya, asetil-KoA
diubah menjadi asam asetoasetat, yaitu asam dengan kelarutan tinggi yang lewat
dari sel hati masuk ke cairan ekstrasel dan kemudian ditranspor ke seluruh tubuh
untuk diabsorbsi oleh jaringan lain. Jaringan ini kemudian mengubah kembali asam
asetoasetat menjadi asetil-KoA dan kemudian mengoksidasinya dengan cara biasa
(Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
Jumlah ATP yang dihasilkan dari proses oksidasi asam lemak bila
stearat dipecah untuk membentuk 9 molekul asetil-KoA dan dikeluarkan 32 atom
hidrogen ekstra. Lalu, untuk 9 molekul asetil-KoA yang didegradasi oleh siklus
asam sitrat, 8 atom hidrogen dikeluarkan per molekul asetil-KoA, sehingga
membentuk tambahan 72 hidrogen. Jumlah tersebut menghasilkan total 104 atom
hidrogen yang akhirnya dilepaskan oleh degradasi setiap molekul asam stearat. Dari
jumlah ini, 34 dikeluarkan dari pemecahan asam lemak oleh flavoprotein dan 70
dikeluarkan oleh nikotinamid adenine dinukleotida (NAD+) sebagai NADH dan H+
(Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
Kedua kelompok ini dioksidasi di mitokondria, namun, atom hidrogen
tersebut memasuki sistem oksidasi pada tempat yang berbeda-beda, sehingga 1
molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 34 hidrogen flavoprotein dan 1,5
molekul ATP disintesis untuk setiap hidrogen dari 70 hidrogen NADH dan H+.
Hasilnya adalah 34 dan 105, atau total 139 molekul ATP dibentuk melalui oksidasi
hidrogen yang berasal dari 1 molekul asam stearat. Sembilan molekul ATP lainnya
dibentuk dalam siklus asam sitrat itu sendiri (tidak termasuk ATP yang dilepaskan
oleh oksidasi hidrogen), satu untuk masing-masing dari 9 molekul asetil-KoA yang
dimetabolisme. Jadi, 148 molekul ATP dibentuk selama oksidasi lengkap dari 1
molekul asam stearat. Tetapi, dua ikatan berenergi tinggi dipakai dalam kombinasi
awal dari koenzim A dengan molekul asam stearat, membentuk hasil akhir 146
molekul ATP (Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009; Campbell & Reece,
2.3.2 Sintesis Trigliserida dari Karbohidrat
Setiap kali karbohidrat yang memasuki tubuh lebih banyak dari yang dapat
dipakai sebagai energi atau disimpan dalam bentuk glikogen, kelebihan karbohidrat
tersebut dengan cepat diubah menjadi trigliserida dan kemudian disimpan dalam
bentuk ini dalam jaringan adiposa. Pada manusia, kebanyakan sintesis trigliserida
terjadi di hati, tetapi sejumlah kecil juga dibentuk di jaringan adiposa itu sendiri.
trigliserida yang dibentuk di hati terutama ditranspor oleh lipoprotein berdensitas
sangat rendah ke jaringan adiposa tempat zat tersebut disimpan (Guyton & Hall,
2007; Powers & Howley, 2009)
2.3.3 Sintesis Trigliserida dari Protein
Banyak asam amino dapat diubah menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA
kemudian dapat disintesis menjadi trigliserida. Oleh karena itu, bila seseorang
mengonsumsi protein dan makanannya melebihi jumlah protein yang dapat
digunakan jaringannya, sejumlah besar kelebihan ini akan disimpan sebagai lemak
(Guyton & Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
2.4 Komposisi Tubuh
Kompartemen tubuh terdiri atas massa bebas lemak atau fat free mass
(FFM) dan massa lemak ataufat mass(FM). FFM yang lazim disebut sebagailean
body massmerupakan komponen yang terdiri dari air, protein, mineral, cairan intra
dan ekstraseluler, otot, organ-organ vital, komponen protein dari sel adiposa dan
tulang. Sedangkan FM merupakan berat lemak tubuh yang bisa diukur dalam satuan
Sedangkan komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari
jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Pengukuran ini penting
untuk menilai keadaan fisiologi tubuh individu dan menentukan korelasinya dengan
kejadian penyakit yang mungkin akan timbul (ACSM, 2010). Pengukuran
komposisi tubuh dapat dilakukan dengan mengukur keseluruhan lemak tubuh
dikarenakan jaringan otot menempati sedikit ruang dalam tubuh dibandingkan
dengan jaringan lemak, serta relasi dari peningkatan lemak tubuh terhadap
komorbiditas penyakit (Anonim, 2014). Lemak dalam tubuh seperti yang sudah
dibahas sebelumnya, disimpan dalam jaringan adiposa dan hati. Penyebaran lokasi
penyimpanan lemak dibagi menjadi 2, yaitu, lemak subkutan dibawah kulit dan
viseral yang berada disekitar organ pencernaan. Akumulasi lemak tubuh dilakukan
dengan 2 cara, yaitu, hipertropi, dan hiperplasia dari sel lemak. Hipertropi
disebabkan oleh membesarnya ukuran sel karena jumlah adiposit yang meningkat.
Sedangkan hiperplasia merupakan pembentukan sel lemak yang baru. Proses ini
terjadi secara alami dari lahir menuju dewasa (Vella & Kravitz, 2002). Umumnya,
wanita memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dari pria. Tempat
penyimpanan lemak pada wanita lebih banyak pada area gluteal-femoral,
sedangkan pria pada area viseral atau abdomen. Ini disebabkan oleh faktor
hormonal yang menonjol antara keduanya, yaitu jumlah hormon estrogen yang
lebih banyak dan cenderung fluktuatif pada wanita (Canoy D,et al., 2007).
Perbedaan ini juga menyebabkan perbedaan bentuk tubuh yang berbeda
antara pria dan wanita. Bila adipositas tubuh terus meningkat, tubuh wanita akan
disebabkan pembesaran dari regio hip dan paha. Pada pria, akan terjadi
pembentukan pola android atau buah apel (apple-shaped body type)
(Regitz-Zagrosek,et al., 2006).
Pengukuran komposisi tubuh yang berkaitan langsung dengan adipositas
dan paling banyak digunakan adalah dengan persentase lemak tubuh dan IMT, serta
pengukuran Basal Metabolic Rate (BMR) sebagai kompartemen penunjang
terhadap perubahan aktivitas fisik dan pola makan (Guyton & Hall, 2007).
2.4.1 IMT
a. Definisi IMT
Indeks massa tubuh atau body mass index merupakan alat ukur
antropometri yang paling sering digunakan dengan membandingkan antara
berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat (Guyton & Hall, 2007). IMT
tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, namun adanya korelasi
dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater
weighingdandual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn, 2009).
IMT adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi
tinggi dengan lemak tubuh dan untuk mengidentifikasi pasien obesitas
dengan risiko mendapat komplikasi medis (Pudjiadi et al., 2010).
Keunggulan menggunakan teknik IMT yaitu bisa menggambarkan keadaan
lemak tubuh yang berlebihan, paling sederhana, dapat digunakan pada skala
populasi besar dan hanya membutuhkan 2 variabel, berat badan dan tinggi
dengan IMT tinggi karena besar massa otot (Guyton & Hall, 2007;
Paramurthi, 2014). Rumus perhitungan IMT sebagai berikut :
Berat Badan (Kg)
IMT =
---Tinggi Badan (m) x ---Tinggi Badan (m)
b. Klasifikasi IMT
1) MenurutWorld Health Organization (WHO)
IMT diintrepetasikan menggunakan kategori status berat badan
standar yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita dewasa yang
berusia 18 tahun ke atas (juga bisa dimulai dari usia 20 tahun ke atas) (CDC,
2009). Secara umum, skor nilai IMT diatas 25 kg/m2 didefinisikan sebagai
kategori obesitas dan dibawah 18,5 kg/m2 didefinisikan sebagai
Tabel 2.1Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Principal cut-off points Additional cut-off points
Severe thinness <16,00 <16,00
Moderate thinness 16,00–16,99 16,00–16,99
Mild thinness 17,00–18,49 17,00–18,49
Underweight <18,50 <18,50
Normal range 18,50–24,99 18,50–22,99
23,00–24,99
Overweight ≥ 25,00 ≥ 25,00
Pre-obese 25,00–29,99 25,00–27,49
27,50–29,99
Obese ≥ 30,00 ≥ 30,00
Obese class I 30,00–34,99 30,00–32,49
32,50–34,99
Obese class II 35,00–39,99 35,00–37,49
37,50–39,99
Obese class III ≥ 40,00 ≥ 40,00
Sumber: adaptasi dari WHO, 1995, WHO, 2000 dan WHO 2004.
2) Menurut Kriteria Asia Pasifik
Kriteria Asia Pasifik digunakan untuk orang-orang yang berada di
daerah Asia, karena IMT orang Asia lebih kecil 2-3 kg/m2 dibandingkan
dengan orang Afrika, Eropa, Amerika ataupun Australia (Ekky, 2013).
Dijelaskan lebih lanjut dalam buku Sugondo (2006), dijelaskan bahwa
meta-analisis beberapa kelompok etnik sungguh berbeda. Dengan
etnik Amerika kulit hitam memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik
Polinesia, dan etnik Polinesia memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik
Kaukasia. Sedangkan untuk Indonesia memiliki nilai IMT berbeda 3,2
kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia. Kriteria Asia Pasifik diperuntukkan
untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Asia, karena Index Massa
Tubuh orang Asia lebih kecil sekitar 2-3 kg/m2 dibanding orang Afrika,
orang Eropa, orang Amerika, ataupun orang Australia (Sugondo, 2006).
Tabel 2.2Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)
Kurang dari normal < 18,5
Kisaran normal 18,5–22,9
Berat badan lebih ≥ 23
Beresiko 23–24,9
Obese I 25–29,9
Obese II ≥ 30
Sumber : Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III
3) Menurut Departemen Kesehatan RI
Menurut Depkes RI, kategori dewasa yang digunakan ialah diatas
18 tahun dan kriteria IMT berdasarkan Depkes RI sama dengan kriteria Asia
Pasifik dikarenakan kesamaan demografis penduduk dan berdasar pula
penelitian yang telah dirangkum oleh Center for Obesity Research and
Tabel 2.3Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI
Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) (kg/m2)
Kurang dari normal < 18,5
Kisaran normal 18,5–22,9
Berat badan lebih ≥ 23
Beresiko 23–24,9
Obese I 25–29,9
Obese II ≥ 30
Sumber :Center for Obesity Research and Education, 2007.
2.4.2 Persentase Lemak Tubuh
Kelemahan IMT yang tidak dapat digunakan pada individu dengan massa
otot besar, disolusikan dengan menggunakan pengukuran persentase lemak tubuh (
body fat percentage/ BF%) yang lebih baik dalam mendefinisikan kelebihan lemak
total hingga mencapai kondisi obesitas (Guyton & Hall, 2007). Lemak tubuh terdiri
dari lemak tubuh esensial dan lemak tubuh cadangan. Lemak tubuh esensial
digunakan untuk menjaga kehidupan dan fungsi reproduksi. Persentase lemak
esensial pada wanita lebih banyak daripada pria, dikarenakan proses kehamilan dan
fungsional hormon. Pada pria, persentase lemak esensial sebanyak 3-5%,
sedangkan pada wanita 8-12%. Jumlah lemak esensial yang menurun akan
berdampak pada kondisi kesehatan fisik dan psikologik (Muth, 2009).
Persentase lemak tubuh dihitung dari massa lemak dibagi total massa
dikalikan 100 untuk seluruh tubuh, regionandroiddangynoid. Saat ini, tidak ada
yang sehat maupun berlebihan. Nilai persentase lemak tubuh sebesar 25 persen atau
lebih sudah dikatakan sebagai obesitas pada pria dan sebesar 35 persen atau lebih
pada wanita. Dengan demikian, titik potong ini digunakan sebagai ukuran obesitas
pada penelitian saat ini (Guyton & Hall, 2007; Romero, et al., 2008; Peltz,et al.,
2010). Persentase lemak tubuh dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kebugaran, dikarenakan merupakan satu-satunya pengukuran tubuh yang langsung
menghitung proporsi relatif komposisi tubuh tanpa melihat besaran tinggi atau berat
badan. (Muth, 2009). Pengukuran persentase lemak tubuh dapat menggunakan alat
bio electrical impedance(BIA) yang akan dibahas subab selanjutnya.
Tabel 2.4
Klasifikasi Rata-rata Persentase Lemak Berdasar Kategori menurutAmerican
Council on Exercise
Deskripsi Wanita Pria
Essensial Fat 10-13% 2-5%
Athlete 14-20% 6-13%
Fitness 21-24% 14-17%
Average 25-31% 18-24%
Obese 32%+ 25%+
Sumber :American Council on Exercise, 2009.
2.4.3 BMR
Tingkat energi minimum yang diperlukan untuk bertahan hidup saat
keadaan tubuh sedang beristirahat dinamakan kecepatan metabolik basal ataubasal
metabolic rate (BMR). BMR mencakup sekitar 50-70% dari energi harian yang
dipakai pada individu tidak aktif (sedentary) (Guyton & Hall, 2007; Powers &
Gambar 2.4 Komponen Pengeluaran Energi Sumber : Guyton & Hall, 2007
Karena tingkat aktivitas fisik sangat bervariasi di antara individu yang
berbeda, pengukuran BMR dapat berfungsi sebagai perangkat yang berguna dalam
membandingkan kecepatan metabolisme seseorang dengan orang lain (Guyton &
Hall, 2007; Powers & Howley, 2009). Metode yang biasa digunakan untuk
menentukan BMR adalah dengan mengukur kecepatan penggunaan oksigen selama
waktu yang ditentukan di bawah kondisi-kondisi berikut :
a. Seseorang tidak boleh makan paling sedikit 12 jam terakhir.
b. Kecepatan metabolisme basal ditentukan setelah tidur penuh semalaman
c. Tidak melakukan pekerjaan berat selama setidaknya 1 jam sebelum
pengujian
d. Semua faktor fisik dan psikis yang menimbulkan rangsangan harus
dihilangkan.
f. Selama pengujian, tidak diijinkan melakukan aktivitas fisik apapun (Guyton
& Hall, 2007)
Nilai BMR normalnya berkisar antara 65 sampai 70 kalori per jam pada
laki-laki kebanyakan yang berat badannya 70 kilogram. Walaupun kebanyakan
BMR terpakai dalam aktivitas esensial sistem saraf pusat, jantung, ginjal, dan organ
lainnya, variasi dalam BMR di antara individu yang berbeda terutama terkait pada
perbedaan jumlah otot rangka dan ukuran tubuh (Guyton & Hall, 2007; Powers &
Howley, 2009).
Otot rangka, bahkan dalam keadaan istirahat, mencakup 20 sampai 30
persen dari BMR. Karenanya, BMR biasanya dikoreksi untuk perbedaan yang
berasal dari ukuran tubuh dengan menyatakannya dalam Kalori per jam per meter
persegi luas permukaan tubuh, yang dihitung dari tinggi dan berat badan (Guyton
& Hall, 2007; Powers & Howley, 2009).
Sebagian besar penurunan BMR akibat penambahan usia terkait juga
dengan penambahan jaringan adiposa yang menggantikan massa otot yang hilang,
yang mempunyai kecepatan metabolisme lebih rendah. Berbanding lurus dengan
perbandingan kelamin dimana wanita kecepatan metabolisme lebih rendah
dibandingkan dengan pria dikarenakan massa otot yang lebih rendah dan jumlah
jaringan adiposa yang lebih tinggi (Guyton & Hall, 2007).
2.4.4 Bioelectrical Impedance Analysis(BIA)
BIA adalah suatu metode pengukuran komposisi tubuh dengan menerapkan
konsep konduksi listrik tubuh. Mesin BIA akan menciptakan arus yang melewati
dasarnya untuk mengukur “apa” yang menyebabkan tubuh resisten dan reaktif
terhadap arus tersebut. Semakin besar jumlah air dan cairan dalam tubuh, semakin
mudah arus melintas dari tangan hingga kaki. Bila semakin sedikit, maka semakin
sulit arus untuk menjalar. Konduktivitas pada darah dan urin tinggi, pada otot
sedang, dan pada tulang, lemak dan udara, rendah (TNC-CDAAR, 2003).
BIA menggabungkan berbagai model teori. Model yang paling sederhana,
yang melibatkan tangan-kaki atau pengukuran kaki-kaki pada frekuensi 50 KHz.
Publikasi dari data BIA pada populasi sangat spesifik namun buruk pada individu
yang sehat, dengan tingkat kesalahan lemak individual ± 8%. Data pediatri yang
telah dipublikasikan digunakan untuk menunjukkan kondisi penyakit seperti
obesitas, kista fibrosis, dan HIV. Namun, akurasi pada individu tetap buruk dan
hasil pengukuran dapat dikacaukan oleh status klinis (Wells & Fewtrell, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BIA memiliki penilaian yang baik
untuk mengukurlean atau massa lemak pada manusia. Bila dibandingkan dengan
IMT, antropometri, dan metodeskin fold, BIA menunjukkan hasil terpercaya untuk
mengukur adipositas pada jaringan tubuh (Khalil,et al., 2014)
BIA menyediakan penempatan elektroda yang konsisten, dan karenanya
cocok untuk menilai perubahan jangka pendek pada TBW individual. Mengingat
bahwa pertumbuhan relatif konsisten selama jangka waktu yang singkat,
pengukuran dengan BIA memiliki indikasi yang dapat menunjukkan arah
perubahan FFM, tapi tidak cukup akurat untuk mengukur nilai besarannya (Wells