• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot ( Achatina Fulica ) Meningkatkan Jumlah Kolagen Dermis Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet- B.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot ( Achatina Fulica ) Meningkatkan Jumlah Kolagen Dermis Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet- B."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

LINDA TRIHASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

2

TESIS

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

LINDA TRIHASTUTI NIM 1390761025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

TESIS

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

LINDA TRIHASTUTI NIM 1390761025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

4

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL: 25 Februari 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd,FAACS Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K).,FINSDV,FAADV NIP. 194612131971071001 NIP. 195609121984121001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal: 25 Februari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 158/H14.4.9/DT/2016

Tertanggal:

Ketua : Prof. DR.dr.Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Anggota :

1. DR. dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV 2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK

(6)

6

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Linda Trihastuti

Program Studi : S2 Ilmu Biomedik –Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana

NIM : 1390761025

No Telp : +62 81316097970

Email : linda_dr96097@yahoo.com

Judul Proposal : Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Meningkatkan Jumlah Kolagen Dermis Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

Merupakan hasil karya yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan tidak mengandung unsur plagiatisme. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku.

Denpasar, 25 Februari 2016 Yang membuat pernyataan,

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis senantiasa mengucapkan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Meningkatkan Jumlah Kolagen Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat, dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

(8)

8

kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine.

4. Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku pembimbing pertama penulis yang senantiasa membimbing dan mendukung selama penulis mengikuti program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

5. DR. dr. A.A.G.P .Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV, selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dorongan serta meluangkan waktu dan pemikiran dengan sabar dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

6. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK, Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes., dr.AAA.N.Susraini, Sp.PA (K) selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

7. Seluruh dosen Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

8. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil., Drs. Ketut Tunas, M.Si, Gede Wiranatha, S.Si, Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes., Dra. Merry Sianipar, Apt., dr. Rockland Parulian Sitorus, AIFM, yang telah membantu penulis sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik.

(9)

10. Kepada ibunda tercinta Yetty Rawung dan ayah Ir. Djoko Moeljanto, Bsc (Alm) yang sudah mengasuh dan menyayangi serta memberikan dukungan kepada penulis, kepada ibu mertua tercinta Nontje Sarah Josephine Manoppo dan ayah mertua Suleman Pangindo (Alm) yang sudah menyayangi penulis serta memberikan dukungan. Suami tercinta Andries Abraham Manoppo, ST yang dengan penuh perhatian dan kesabaran mendampingi penulis selama ini. Kakak tersayang Theresia Inggrid Pangindo, BBA dan adik – adik tersayang Dr. Yudhie Kurnia Moeljanto, ST., MT., PMP, dr. Monika Tenden Tissia Kawatu, dr. Novita Pangindo Manoppo, MKes., Reinald pangindo, yang selalu mendukung penulis selama ini.

11. Kepada semua pihak, sahabat, rekan sejawat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan Program Magister Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, 25 Februari 2016

(10)

10

ABSTRAK

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR

SINAR ULTRA VIOLET-B

Paparan sinar UV-B pada kulit secara terus menerus menyebabkan kerusakan

kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif. Ekstrak lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan yang memiliki fungsi mengisi ruang, proliferasi sel, adhesi, migrasi, diferensiasi, respon inflamasi, proses penyembuhan luka melalui reseptornya CD44 dan reseptor untuk HA-mediated motility. Glikosaminoglikan berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Fibroblast growth factor (FGF) merupakan protein ekstraselular yang berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas pemberian krim ekstrak lendir bekicot dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB.

Penelitian animal eksperimental dengan menggunakan post-test only control group design ini menggunakan 28 ekor tikus yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol diolesi krim plasebo dan kelompok perlakuan diolesi krim ekstrak lendir bekicot 20%, 50%, 70%. Semua kelompok dipapar sinar UV- B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu, pada minggu ke-6 masing-masing kelompok diberi perlakuan selama 1 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan jumlah kolagen dermis.

Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥ 0,05. Hasil analisis komperatif dengan uji One Way Anova menunjukkan jumlah kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

(11)

ABSTRACT

TOPICAL APPLICATION OF MUCUS SNAIL EXTRACT CREAM (Achatina Fulica) INCREASE OF DERMIS COLLAGEN ON WISTAR

RATS (Rattus Norvegicus) EXPOSED TO ULTRAVIOLET B

Exposure UV-B rays continuously can damage collagen in the skin because of increased levels of MMP-1, decreased synthesis of collagen due to high levels of 8-OHdG, inflammation and oxidative stress. Snail slime extract containing glycosaminoglycans which has the function of filling the space, cell proliferation, adhesion, migration, differentiation, inflammatory response, wound healing process through the receptors CD44 and receptors for HA-mediated motility. Glycosaminoglycan take the role of a code specific information in every process that occurs in the extracellular matrix. Fibroblast growth factor ( FGF ) is an extracellular protein that serves as a signal to stimulate cell division . FGF will be bound to heparan sulfate on sydecan , then bring to the FGF receptors on the plasma membrane that will trigger cell division . This process affects the dermis collagen synthesis. The research objective is to prove the effectiveness of the cream of snail slime extract can increase the amount of collagen in the dermis Wistar rats that were exposed to UVB rays.

Experimental animal study with post-test only control group design used 28 rats divided into 4 groups. The control group was smeared with plasebo cream and the treatment group was smeared with cream snail slime extract 20%, 50%, 70%. All groups were exposed to UV-B with a total dose of 840 mJ / cm² for 4 weeks, at week 6 of each group were treated for 1 week, then an excision was carried out for examination of dermis collagen.

Shapiro-Wilk test results and Levene'test showed that the normal distribution of data and variants homogeneous with p ≥ 0.05. The results of the comparative analysis with One Way Anova test showed the amount of collagen in the four groups after given different treatment was significantly (p <0.05).

The conclusions of this study was application cream snail slime extract 20 % did not increase the amount of collagen in the dermis significantly Wistar rats that were exposed to UVB. Application cream snail slime extract 50 % increase the amount of collagen in the dermis significantly (20,82%) Wistar rats that were exposed to UVB. Application cream snail slime extract 70 % increase the amount of collagen in the dermis significantly (80,66%) Wistar rats that were exposed to UVB . This means that application cream snail slime extract 50 % and 70 % was significantly different (P < 0.05) increase the amount of collagen in the dermis of Wistar rats .It should be done before clinical trials on the mechanisms applied to humans as well as other effects of the extract cream slime Snail.

(12)

12

DAFTAR ISI

PRASYARATAN GELAR ……….. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI PENELITIAN …………... iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………. v

ABSTRAK ………. viii

ABSTRACT ……….. ix

DAFTAR ISI ……….… x

DAFTAR TABEL ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……… xvi

DAFTAR SINGKATAN ………..……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Umum ... 10

1.3.2 Tujuan Khusus ... 10

1.4 Manfaat penelitian ... 11

1.4.1 Manfaat Ilmiah ... 11

(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Penuaan (Aging) ... 12

2.1.1 Teori Penuaan ……… 12

2.1.1.1 Teori Wear And Tear ……….. 13

2.1.1.2 Teori Radikal Bebas ……… 13

2.1.1.3 Teori Kerusakan DNA ……… 14

2.1.1.4 Teori Program Genetik ……… 15

2.1.1.5 Teori Endokrin ……… 15

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan ……… 16

2.2 Kulit ... 17

2.2.1 Histologi Kulit ... 18

2.2.1.1 Lapisan Epidermis ... 18

2.2.1.2 Lapisan Dermis ... 19

2.2.1.2.1 Extracellular Matrix ... 20

2.2.1.2.2 Kolagen ... 22

2.2.1.3 Lapisan Subkutan ... 26

2.2.2 Fungsi Kulit ... 27

2.2.3 Penuaan Kulit ……… 28

2.3 Ultraviolet ... 28

2.3.1 Sinar Ultraviolet B ... 30

2.3.1.1 Efek ultraviolet ... 30

2.3.1.2 Radikal Bebas ...……… 32

(14)

14

2.3.2.1 Mekanisme Photoaging ... 35

2.3.2.2 Perubahan Klinis Kulit pada Photoaging 39 2.3.2.3 Perubahan Histopatologi pada Kulit…... 40

2.3.2.4 Pencegahan dan Pengobatan Photoaging 42 2.4 Bekicot (Achatina fulica) ... 43

2.4.1 Anatomi Bekicot ... 45

2.4.2 Karakterisasi Lendir Bekicot ... 47

2.5 Glikosaminoglikan ... 49

2.5.1 Biosintesis Glikosaminoglikan ... 50

2.5.2 Fungsi Glikosaminoglikan ... 53

2.5.3 Pengaruh Glikosaminoglikan Terhadap Kolagen .. 55

2.6 Krim ……….. 57

2.7 Tikus (Rattus Novergicus) Galur Wistar ……….. 58

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 61

3.1 Kerangka Berpikir ... 61

3.2 Konsep Penelitian ... 62

3.3 Hipotesis Penelitian ... 63

BAB IV METODE PENELITIAN ... 64

4.1 Rancangan Penelitian ... 65

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65

4.3 Sampel, Kriteria Sampel dan Besar Sampel ... 65

4.3.1 Sampel Penelitian ... 65

(15)

4.3.3 Besaran Sampel ... 66

4.4 Variabel Penelitian ... 67

4.4.1 Klasifikasi Variabel ... 67

4.4.2 Hubungan Antar Variabel ... 67

4.4.3 Definisi operasional variabel ... 68

4.5 Bahan, Instrumen Penelitian dan Hewan Percobaan ... 70

4.5.1 Bahan Penelitian ... 70

4.5.2 Instrumen Percobaan ... 70

4.5.3 Hewan Percobaan ... 70

4.6 Prosedur Penelitian ... 71

4.6.1 Pengumpulan Lendir Bekicot ... 71

4.6.2 Pembuatan Ekstrak Lendir Bekicot ... 71

4.6.3 Pemeliharaan Terhadap Tikus Percobaan ... 72

4.6.4 Pelaksanaan Penelitian ... 72

4.6.5 Pembuatan Sediaan Histologis ... 74

4.6.6 Pengamatan Histopatologi ... 76

4.7 AlurPenelitian ... 78

4.8 Analisis Data ... 79

BAB V HASIL PENELITIAN ………...……. 80

5.1 Uji Statistik ………...……….. 80

5.1.1 Uji Normalitas Data ………...…..….. 80

5.1.2 Uji Homogenitas Data ………...………. 80

5.1.3 Jumlah Kolagen ………..………....……... 81

(16)

16

BAB VI PEMBAHASAN ……… 85

6.1 Subjek Penelitian ………..………… 85

6.2 Pengaruh Krim Ekstrak Lendir Bekicot terhadap Kolagen.. 85

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 90

7.1 Simpulan ………. 90

7.2 Saran ……… 90

DAFTAR PUSTAKA………. 91

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bekicot ... 47

Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Daging Bekicot ... 47

Tabel 4.1 Jadwal dan Waktu Penyinaran UVB ... 73

Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Dermis ... 78

Tabel 5.2 Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan ... 79

Tabel 5.3 Perbedaan Rerata Kolagen Antar Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Lendir Bekicot... 79

(18)

18

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit ... 18

Gambar 2.2 Extracellular Matrix ... 22

Gambar 2.3 Serat Kolagen ... 24

Gambar 2.4 Biosintesis kolagen ... 26

Gambar 2.5 Gambar Sinar Ultraviolet ... 29

Gambar 2.6 Mekanisme Photoaging ... 39

Gambar 2.7 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging ... 42

Gambar 2.8 Bekicot (Achatina fulica)... 44

Gambar 2.9 Bagian Tubuh Bekicot ... 47

Gambar 2.10 Biosintesis Glikosaminoglikan ... 53

Gambar 2.11 Asam Hialuronat ... 54

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian ... 62

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian ... 64

Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel ... 67

Gambar 4.3 Alur Penelitian ... 78

Gambar 5.1 Perbandingan Kolagen Antar Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan. ... 82

(19)

DAFTAR SINGKATAN

AP-1 : Activator Protein 1

DEJ : Dermoepidermal junction DNA : Deoxyribonucleic acid ECM : Extracellular matrix FGF : Fibroblast growth factor GAG : Glikosaminoglikan

HSPGs : Heparan sulphate-containing Proteoglycans

IL-1 : Interleukin-1

IL-6 : Interleukin-6

LAPs : Large Aggregated Proteoglycans MAP kinase : Mitogen-activated Protein Kinase MED : Minimal Erythema Dose

MMP-1 : Matriks Metalloproteinase-1 MMP-13 : Matriks Metalloproteinase-13 MMP-8 : Matriks Metalloproteinase-8 MMPs : Matriks Metalloproteinases

PG : Proteoglikan

pH : Pangkat hidrogen

RHAMM : Reseptor of HA-mediated motility ROS : Reactive Oxygen Species

(20)

20

SOD : Superoksid Dismutase

TGF-b : Transforming Growth Factor-beta

UV : Ultra Violet

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

(22)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tidak ada seorangpun ingin menjadi tua dan tidak berdaya karena usia terus bertambah. Menjadi tua akan selalu terkesan dengan segala kelemahan, kekurangan dan mudah terkena penyakit. Seluruh manusia dimuka bumi pasti akan berusaha untuk selalu terlihat muda dan sehat. Pertambahan usia menjadi tua atau aging adalah suatu keadaan yang tidak dapat dihindari. Proses menua merupakan suatu proses di dalam sel dan jaringan yang mengalami perubahan patologis secara bertahap seiring berjalannya waktu. Keluhan-keluhan yang timbul akibat proses penuaan pun tidak dapat dihindari. Mengetahui penyebab dari setiap keluhan akibat proses penuaan tersebut, dapat dilakukan berbagai cara untuk mencegah dan memperlambat proses penuaan berdasarkan ilmu pengetahuan terkini. Manusia tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka dapat menjalani kehidupan dengan kualitas hidup yang lebih baik. Apabila upaya ini tercapai, maka mereka akan terlihat lebih sehat dan tetap muda dibandingkan dengan orang seusianya.

(23)

Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Beberapa teori menjelaskan mengapa seseorang menjadi tua. Salah satu teori penuaan yang sangat berkembang adalah teori radikal bebas. Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas secara kimiawi merupakan molekul reaktif dengan gangguan elektron yang membuat mereka tidak stabil dan mampu bereaksi dengan mudah dengan berbagai macam molekul. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah desoxyribonucleicacid (DNA), lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Pada kulit, radikal bebas dapat mempengaruhi produksi kolagen dan elastin, komponen utama dari matriks ekstraseluler (ECM). Reaksi ini memberikan kontribusi terhadap penuaan kulit.

(24)

3

ultraviolet menurut Young (2000) dapat menghancurkan struktur protein seperti kolagen dan elastin dalam jaringan ikat.

Paparan sinar ultraviolet yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan suatu keadaan perubahan pada struktur dan fungsi kulit sehingga mempercepat terjadinya proses penuaan pada kulit. Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen, menurunnya sintesis kolagen, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses ini disebut penuaan dini kulit atau disebut juga dengan photoaging (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).

Radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 100-400 nm merupakan 5% dari seluruh radiasi sinar yang ada. Radiasi ultraviolet terbagi atas tiga golongan yaitu UVA (320-400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (100-280nm). Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UVB, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi (Fisher et al., 2004).

(25)

Paparan sinar UV yang mengenai kulit menyebabkan timbulnya radikal bebas khususnya anion superoksida dan hidrogen peroksida. Melalui reaksi Haber-Weis dan Fenton akan membentuk radikal hidroksil. Senyawa ini dikenal sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menurunkan kadar antioksidan enzimatis dan non enzimatis dalam kulit serta merusak membran sel dan DNA (Kregel dan Zhang, 2007). ROS memiliki peranan penting terhadap sinyal transduksi yang dimediasi oleh MAP-kinase yang kemudian menginduksi faktor transkripsi AP-1 pada fibroblas. Pajanan sinar UVB juga mengakibatkan penurunan ekspresi dari TGF-b2, anggota dari kelompok TGF-b. TGF-b berfungsi memacu pembentukan kolagen, sehingga penurunan dari TGF-b menyebabkan penurunan produksi kolagen. Penelitian menunjukan terjadi penurunan sintesis kolagen dalam 8 jam setelah paparan UV.

ROS yang dihasilkan oleh radiasi sinar UV mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1, keratinocyte growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim protein-tyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF. Aktivasi reseptor mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1), membentuk C-Jun dan C-Fos. (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2008).

(26)

5

produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen. AP-1 bersifat antagonis asam retinoat yang memiliki efek stimulus terhadap sintesis kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2008).

(27)

Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses tersebut akan menimbulkan penuaan dini kulit (photoaging) (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).

Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang, tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul. Kurang lebih 80% daripada jaringan kulit terdiri dari kolagen. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya usia menjadi stabil dan keras. Fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan merupakan komponen pembentuk struktur kolagen. Jenis kolagen terbanyak di kulit adalah kolagen tipe 1, kolagen terdiri dari 3 polipeptida (rantai α) seperti rantai helix dan kaku. Perubahan

(28)

7

epidermal rete pegs. Pemisahan ini yang menyebabkan kulit berkerut dan kehilangan elastisitas.

Sampai saat ini belum ada substansi yang sangat efektif untuk meningkatkan jumlah kolagen kulit. Sekarang muncul perhatian dalam menemukan ekstrak hewani untuk meningkatkan jumlah kolagen kulit. Kandungan dari hewani yang dapat memicu produksi kolagen adalah lendir bekicot (Achantina fulica). Achatina fulica merupakan hewan lunak (Mollusca) dari kelas Gastropoda yang semula berasal dari Afrika Timur masuk di Indonesia lewat Kalimantan sejak tahun 1939 dan menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia akibat terbawa dalam perdagangan. Bekicot tersebar ke arah Timur sampai di kepulauan Mauritius, India, Malaysia, akhirnya ke Indonesia. Hewan ini mudah dipelihara dan di beberapa negara bahkan dikonsumsi, termasuk di Indonesia. Sampai saat ini, budidaya bekicot jenis Achatina fulica banyak terdapat di Kediri (Jawa Timur), Solo (Jawa Tengah), Bogor (Jawa Barat), Sumatera Utara, dan Bali (Rohmad, 2012).

(29)

dari lendir bekicot ini sudah sejak lama diyakini berkhasiat untuk menyembuhkan luka, antibakteri (Berniyanti, 2007).

Lendir bekicot sangat berpotensi sebagai bahan obat yang mudah didapatkan di berbagai tempat di Indonesia. Tetapi pemanfaatannya di bidang farmasi masih jarang. Penggunaan lendir bekicot dalam pengobatan juga masih bersifat lokal. Produk topikal dengan bahan lendir bekicot sudah banyak beredar tanpa penelitian yang jelas. Penelitian yang dilakukan laboratorium Lissia Colombia, menjelaskan bahwa ekstrak lendir bekicot 20-80% dapat mengatasi penuaan kulit dengan melembabkan dan mengencangkan kulit (Jasmine, 2011).

Achatina fulica merupakan hewan yang kaya akan sulfat polisakarida. Penelitian terbaru yang dilakukan Gesteira et al. (2011) telah mengidentifikasi karakterisasi lendir bekicot yang mengandung glikosaminoglikan dan proteoglikan yang berperan penting dalam memelihara jaringan ikat penghubung antar sel dan menjaga kekuatan mekanik kulit sehingga kulit selalu kencang, kenyal dan lembab. Demikian pula, menurut Lee et al. (2002), lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan (GAG) dan proteoglikan (PG) yang terlibat dalam fungsi struktural dan fisiologis kulit.

(30)

9

galaktosamin). Glikosaminoglikan yang heterogen berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Heparan sulfat yang merupakan glikosaminoglikan mengikat ligand ekstraselular dan membantu interaksi dengan reseptor di permukaan sel. Matriks proteoglikan sangat penting untuk respon sel terhadap extracellular growth factor. Proteoglikan, faktor pertumbuhan, dan reseptor spesifik harus ada pada setiap permukaan sel agar faktor pertumbuhan dapat mengaktifasi sel. Fibroblast growth factor (FGF) merupakan protein ekstraselular yang berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis (Ornitz and Itoh, 2001).

(31)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dibuat rumusan masalah adalah: 1. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20%

dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

2. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 50% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

3. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 70% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20%, 50% dan 70% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20% meningkatkan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B. 2. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 50%

(32)

11

3. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 70% meningkatkan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

1.4MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Ilmiah

1. Memberi informasi ilmiah mengenai ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) dalam meningkatan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

2. Sebagai dasar untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut pada manusia.

3. Menghasilkan bahan obat yang berpotensi dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis.

1.4.2 Manfaat Praktis

(33)

12 2.1 PENUAAN (AGING)

Aging adalah tahap kehidupan semua organisme hidup dan tidak dapat dihindari. Proses menua merupakan suatu proses akumulasi progresif di dalam sel dan jaringan yang mengalami perubahan patologis secara bertahap seiring berjalannya waktu (Harman, 2001). Aging tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup. Penuaan dapat terjadi lebih cepat atau lambat tergantung kesehatan dari masing – masing individu (Fowler, 2003).

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua dan kemudian menjadi sakit. Penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolisasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). 2.1.1 Teori Penuaan

(34)

13

pengetahuan, tetapi masih ada hal tersisa yang tidak dapat dijelaskan mengenai penyebab penuaan.

Berikut beberapa teori penyebab penuaan yang telah mendapatkan perhatian diantara teori – teori yang sudah dipublikasikan sebelumnya:

2.1.1.1 Teori Wear and Tear

Teori ini menerangkan bahwa tubuh manusia juga akan mengalami penuaan akibat kerusakan yang terakumulasi pada organ tubuh beserta sel-selnya karena penyalahgunaan dan pengunaan yang berlebihan untuk waktu yang lama sehingga tubuh menjadi lemah kemudian meninggal (Park et al., 2013).

Paparan sinar ultraviolet, gaya hidup tidak sehat seperti halnya diet yang salah, mengkonsumsi makanan yang banyak lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin maupun stress emosional sangat berkaitan dan dapat menentukan cepat lambatnya proses penuaan tersebut terjadi. Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai berpengaruh pada perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011)

Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu memperlambat proses penuaan dengan cara merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).

2.1.1.2 Teori Radikal Bebas

(35)

dari elektron yang mempunyai susunan tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak stabil. Agar menjadi stabil, elektron yang tidak mempunyai pasangan akan mencari elektron lain untuk dijadikan pasangan, maka radikal bebas ini akan menyerang molekul terdekatnya untuk mendapatkan elektron dan terjadilah reaksi berantai menyebabkan kehancuran molekul lain yang semakin lama merusak jaringan luas. Bila mengenai DNA terutama pada mitokondria didalam sel, radikal bebas tersebut akan menggangu metabolisme sel dan memicu terjadinya mutasi sel yang menimbulkan perilaku menyimpang dari sel. Kerusakan karena radikal bebas ini membuat tubuh menua dan memicu timbulnya berbagai macam penyakit keganasan yang berujung pada kematian.

Molekul dalam tubuh yang diketahui dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Pada kulit, radikal bebas akan merusak kolagen dan elastin yang merupakan suatu protein pelindung kulit agar tetap fleksibel, elastis, lembab, dan halus. Jaringan kulit terutama pada daerah wajah yang paling sering mengalami kerusakan akibat radikal bebas, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama dan terus menerus oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.1.3 Teori Kerusakan DNA

(36)

15

Sebuah studi melaporkan bahwa tikus albino memiliki umur lebih pendek daripada manusia dan peningkatan kerusakan DNA otak karena proses penuaan juga mendukung hipotesis. Selain itu, telah diketahui bahwa kemampuan tubuh manusia untuk memperbaiki sel normal yang terganggu dan kerusakan DNA akibat penuaan berhubungan dengan usia manusia itu sendiri (Park, 2013).

2.1.1.4 Teori Program Genetik

Menurut teori program genetik, proses penuaan telah terprogram sejak manusia itu terlahir sampai menjadi tua dan akhirnya meninggal. Teori ini didukung oleh fakta bahwa usia rata-rata manusia terus menerus meningkat dalam 100 tahun terakhir tanpa perubahan besar pada usia maksimum manusia. Teori ini berpendapat bahwa penuaan terjadi karena adanya perpanjangan sinyal genetik kehidupan dari telur yang dibuahi ke tahap dewasa. Orang-orang yang mendukung teori ini percaya bahwa gen penuaan mengontrol proses penuaan itu sendiri dengan memperlambat atau menghentikan jalur metabolisme biokimia. Gen penuaan ini diungkapkan pada periode waktu yang berbeda tergantung pada jenis sel. Selama pertumbuhan, banyak sel yang berkembang sementara banyak pula sel yang tidak perlu menghilang pada waktu yang sama (Troen, 2003; Hasty et al., 2002).

2.1.1.5 Teori Endokrin

(37)

pertumbuhan, metabolisme, suhu, peradangan, dan stres. Teori ini didukung oleh beberapa penelitian pada hewan, yang menunjukan bahwa umur hewan dengan menopause, andropause, dan somatopause dapat diperpanjang dengan pemberian hormon yang sesuai. Sistem endokrin mengambil bagian dalam pengendalian fungsi organ tubuh dan manusia berperan penting pada terapi sulih hormon, maka proses penuaan dapat diperlambat atau bahkan dicegah (Tatar et al., 2003).

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011).

Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.

Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun)

(38)

17

menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.

Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011).

2.2 KULIT

(39)

2.2.1 Histologi Kulit

Secara histologi kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu: lapisan epidermis, lapisan dermis, lapisan subkutan (lapisan hipodermis). Lapisan epidermis dan dermis dibatasi oleh dermoepidermal junction. Sedangkan lapisan dermis dan subkutan ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak.

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit (Krieg et al., 2011)

2.2.1.1 Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis adalah lapisan kulit yang dapat langsung kita sentuh. Secara histopatologi lapisan epidermis tersusun atas:

(40)

19

Stratum lusidum terdapat langsung dibawah stratum korneum, merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut elidin.

Stratum granulosum (lapisan keratohialin), merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya, butiran kasar tersebut terdiri dari keratohialin.

Stratum spinosum (stratum malpighi), terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan bermacam ukuran akibat proses mitosis. Protoplasma jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak ditengah. Semakin dekat ke permukaan kulit bentuk sel semakin gepeng. Diantara sel-sel terdapat sel langerhans dan jembatan antarsel yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.

Stratum basalis, terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal dan pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan kulit paling dasar. Terdapat dua jenis sel pada lapisan ini, yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik, inti lonjong besar, dan sel melanosit dengan sitoplasma basofilik, inti gelap, mengandung melanosom.

2.2.1.2 Lapisan Dermis

(41)

Pars papilaris, bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

Pars retikularis, bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutan terdiri atas serabut kolagen, elastin, retikulin, dan pada dasar lapisan ini terdapat cairan asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan sel-sel fibroblas.

2.2.1.2.1 Extracellular Matrix

Extracellular Matrix (ECM) dermis memainkan peran penting dalam dukungan struktural, kekebalan, sirkulasi, dan persepsi sensorik. ECM membantu mengatur sel dalam jaringan dan mengkoordinasikan fungsi seluler mereka

dengan mengaktifkan jalur sinyal intraselular yang mengontrol pertumbuhan sel,

proliferasi, dan ekspresi gen. ECM mendukung epidermis dan sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I fibril, yang disintesis oleh fibroblas. Sebagai protein struktural yang paling melimpah di dermis, kolagen tipe I memberikan kekuatan dan ketahanan kulit (Fisher et al., 2008). Extracellular Matrix diperkuat oleh serat padat kolagen yang merupakan jaringan stabil dan padat, tertanam dalam cairan proteoglikan konsentrasi tinggi.

(42)

21

Pada penuaan, fibril kolagen dermal menjalani enzyme-catalyzed cleavage. Proses degeneratif ini, mempengaruhi lingkungan mikro mekanik dermis dan mengganggu proses fibroblast ke ECM, sehingga kekuatan mekanik berkurang. Akibatnya, fibroblas kulit berusia memperlihatkan sitoplasma runtuh dan bentuk bulat, yang kontras dengan penyebaran bentuk fibroblast pada kulit muda. Jalur sinyal TGF-β dipengaruhi oleh kekuatan mekanik dan penting untuk fungsi fibroblast dermal. TGF-β merupakan sitokin multifungsi yang bertindak melalui reseptor kompleks yang terdiri dari tipe I, II, dan III reseptor TGF-β. TGF-β menginduksi faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF / CCN2), mengatur fungsi fibroblast, termasuk sintesis prokolagen tipe I dan protein ECM lainnya. Fibroblas pada penuaan, penurunan sinyal TGF-β-mediated dan CTGF / CCN2 menyebabkan penurunan produksi kolagen (Quan et al., 2013).

Secara klinis, gangguan fungsi fibroblas dan penurunan sintesis kolagen, menyebabkan atrofi, kerutan, dan kerapuhan pada kulit menua. Penelitian menunjukkan bahwa fungsi fibroblast pada penuaan kulit bisa dirangsang dengan meningkatkan dukungan struktural ECM yaitu mengisi ruang dengan asam hialuronat, yang merupakan komponen dari matriks ekstraselular dalam semua jaringan. Asam hialuronat terdiri dari rantai disacharide dengan berat molekul mulai dari 500,000-6,000,000 yang membuat ikatan silang dengan butanadiol diglisidil eter (Quan et al., 2013).

Extracellular Matrix terbuat dari:

(43)

3. Proteoglikan, protein inti, >90% oligosakarida. 4. Hyaluronan yang merupakan polisakarida anionik. Extracellular Matrix berfungsi sebagai:

1. Lapisan dasar yang menghubungkan sel epitelial/sel endotel. 2. Jaringan ikat penghubung antar sel.

3. Sebagai signal ke sel-sel untuk bergerak dan/atau bertumbuh.

Gambar 2.2 Extracellular Matrix (Cummings, 2004)

2.2.1.2.2 Kolagen

(44)

23

tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul.

Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya usia menjadi stabil dan keras. Kolagen merupakan suatu protein fibrous, 70-80% berat dari dermis, komponen terpenting dari dermis. Fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan merupakan komponen pembentuk struktur kolagen. Jenis kolagen terbanyak di kulit adalah kolagen tipe 1, kulit juga mengandung kolagen (III, V, VI), elastin, proteoglikan dan fibronektin. kolagen terdiri dari 3 polipeptida (rantai α) dengan konformasi poliprolin yang panjang seperti rantai helix dan kaku. Setiap rantai polipeptida memiliki pengulangan Gly-X-Y triplet dimana residu glycyl menempati setiap posisi ketiga dan posisi X dan Y ditempati oleh prolin dan 4-hidroksiprolin. Ketiga rantai α saling berikatan melalui ikatan rantai hidrogen (Kadler et al., 2007). Sintesis kolagen dirangsang oleh asam retinoat dan dihambat oleh IL-1, glukokortikoid, D-penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012).

(45)

Gambar 2.3 Serat Kolagen (Myllyharju et al., 2001)

Struktur kolagen terbagi menjadi beberapa tipe. Kolagen tipe I adalah kolagen dominan pada kulit manusia terdapat 85-90% total dermis kulit dan tendon. Kolagen ini memiliki dua rantai α (α1 dan α2). Kolagen tipe II banyak ditemukan pada vitreus humour dan kartilago. Kolagen tipe I dan tipe II berfungsi untuk kelenturan dermis. Kolagen tipe III hanya 10% terdapat pada dermis, selebihnya terdapat pada gastrointestinal, vaskuler dan fetal skin. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Kolagen tipe IV terdapat

pada DEJ terutama pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2,

heterotrimer dan homopolimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai beda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VI yang banyak terdapat pada aorta dan plasenta memiliki 3 rantai α, ujungnya merupakan bagian globuler. Kolagen tipe

VI berfungsi untuk stabilisasi susunan serat kolagen. Kolagen tipe VII terletak sebagai anchoring fibril DEJ, yang terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan

disulfide dalam rantai. Kolagen tipe VIII terdiri dari dua rantai α, yang terdapat

(46)

25

Biosintesis Kolagen

Pembentukan rantai pro α yang merupakan prekursor kolagen diawali dengan sintesis rantai prepro α, sebuah polipeptida yang mengandung sekuen signal amino terminal. Rantai prepro α dirubah menjadi rantai pro α pada retikulum

endoplasma kasar (RER), kemudian akan terjadi proses hidroksilasi residu prolyl dan lysyl yang dimulai saat rantai pro α terbentuk, dengan bantuan enzim prolyl hydroxylase dan Lysil hydroxylase dan sebagai kofaktor adalah O2, Fe, α -ketoglutarat dan asam askorbat.

Proses selanjutnya adalah glikosilasi. Kolagen adalah glikoprotein yang mengandung residu galaktosil dan glukosilgalaktosil, glikosilasi terjadi setelah sintesis hidroksilisin sampai dengan terbentuk tripel helix pada RER, proses ini terjadi dengan bantuan enzim galactosyl-transferase dan glucosyl-transferase, namun fungsi dari residu gula ini belum diketahui. Kemudian akan terjadi proses assembly dan sekresi dimana tiga rantai pro α berikatan menjadi prokolagen,

(47)

oxydase lysyl. Struktur cross link ini akan membentuk kolagen matur (Yaar dan Gilchrest, 2008).

Gambar 2.4 Biosintesis kolagen (Albert et al., 1994)

2.2.1.3 Lapisan Subkutan

(48)

27

di bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).

2.2.2 Fungsi Kulit

Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah : a. Fungsi proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau mekanik, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman maupun jamur. Hal ini dikarenakan kulit memiliki bantalan lemak yang tebal dan jaringan penunjangnya yang berperan terhadap gangguan yang bersifat fisik. Terdapatnya melanosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur.

b. Fungsi ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6,5.

c. Fungsi persepsi

Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

d. Fungsi pengaturan suhu tubuh

(49)

2.2.3 Penuaan Kulit

Kulit manusia, seperti semua organ, akan mengalami kerusakan secara kumulatif yang mengakibatkan penurunan fungsi karena pertambahan usia. Faktor dari kulit itu sendiri yang memiliki peran dalam penuaan adalah aliran darah, ph kulit, ketebalan kulit, rambut, kepadatan pori, struktur protein kulit, GAG, air, dan lemak. Faktor dominan pada kerusakan kulit secara kumulatif adalah sinar UV yang akan menimbulkan photoaging pada kulit yang terpapar langsung dan berlangsung lama. Penuaan kulit pada orang dewasa akibat menurunnya kolagen akan menyebabkan peningkatan jumlah pigmen, kulit keriput, rapuh dan kendur karena fleksibilitas kulit menurun (Konda et al., 2012).

Paparan lingkungan terutama merokok dan sinar UV juga mempengaruhi stres oksidatif karena keduanya meningkatkan spesies oksigen radikal bebas dan mengurangi aktivitas enzim antioksidan. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan mekanisme selular seperti: disfungsi mitokondria, kerusakan protein yang penting untuk mempertahankan homeostasis dan fungsi otot, stres retikulum endoplasma, apoptosis sel, senescense sel, dan sinyal selular yang abnormal. Efek penuaan pada fungsi kulit tidak hanya timbul pada orang tua, namun dapat dimulai sejak usia 30 atau bahkan usia lebih muda (Wu et al., 2014).

2.3 ULTRAVIOLET

(50)

29

yang berdampak pada jumlah sel langerhans di epidermis mengakibatkan kegagalan fungsi penghalang pelindung kulit dan hilangnya elastisitas. Perubahan ini, akan terus berlangsung seiring berjalannya usia dan cenderung menjadi suatu keganasan.

Kemampuan radiasi sinar UV yang merupakan suatu energi elektromagnetik akan mempengaruhi biologi kulit tergantung dari penyerapan energi oleh molekul dalam kulit. Makromolekul termasuk asam nukleat, protein dan lipid mampu menyerap radiasi sinar UV. Radiasi ultra violet terbagi atas tiga golongan yaitu UVA (320-400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (100-280nm). UVC biasanya tidak sampai ke permukaan bumi kecuali pada dataran tinggi sekali dimana UVC ini diserap oleh lapisan ozon pada atmosfer. Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UVB, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi. Energi yang diserap dapat langsung mengubah sifat kimia molekul, menyerap atau dapat ditransfer ke molekul lain. Misalnya, DNA dapat bermutasi dengan menyerap langsung sinar UV, dan energi dapat ditransfer ke molekul oksigen untuk membuat reactive oxygen spesies (ROS) (Fisher et al., 2004).

(51)

2.3.1 Sinar Ultraviolet B

Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultra violet dengan panjang gelombang 290-320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B lebih sering berdampak pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB yang banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Pada pajanan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema.

2.3.1.1 Efek ultraviolet

a. Eritema

Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung pada panjang gelombang. Panjang gelombang dari ultraviolet yang paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. UVA dapat dibedakan menjadi dua kategori oleh karena memiliki perbedaan eritemogenik, yang di mana UVA2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan UVA1. Eritema yang diinduksi oleh UVB terjadi dalam waktu 3-5 jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang dalam 72 jam.

(52)

31

akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, namun lama dan dosisnya yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif dalam mengakibatkan efek timbulnya kemerahan dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit, dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004). Radiasi sinar ultraviolet B secara langsung juga memengaruhi keratinosit di epidermis untuk menghasilkan sitokin spesifik seperti interleukin-1 (1) dan IL-6 yang mengakibatkan inflamasi pada epidermis kulit.

b.Pigmentasi

Respon pigmentasi kulit yang mengikuti paparan sinar matahari terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung pada panjang gelombang radiasi. Eritema yang diinduksi UVB akan diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA terletak lebih basal. Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam satu bulan (Rigel et al., 2004). c. Kerusakan DNA

(53)

akanmengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi masih terhitung kurang jika dibandingkan dengan radiasi oleh UVB (Rigel et al., 2004).

d. Penekanan sistem imun

Paparan sinar ultraviolet dapat menekan sistem imunitas dan biasa disebut dengan photoimmunosuppresion. Photoimmunosuppresion berperan penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit infeksi dan virus, serta menurunnya efektifitas vaksin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80% (Rigel et al., 2004).

2.3.1.2 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, dan mudah bereaksi dengan bahan kimia anorganik dan organik, selain itu radikal bebas memiliki kecenderungan untuk menarik elektron dan dapat merubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain (Mitchell, 2013).

(54)

33

1. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas.

2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal

bebas.

3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007).

Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa radikal bebas juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker (Winarsi, 2007).

Terdapat 3 tahap reaksi pembentukan radikal bebas, yaitu Tahap inisiasi yang merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal, dan tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi, 2007).

(55)

Reactive Oxygen Species (ROS) adalah jenis oksigen yang diturunkan oleh radikal bebas. ROS memiliki gugus fungsional dengan atom oksigen bermuatan elektron lebih yang berperan pada cedera sel. ROS terbentuk secara terus menerus, baik memalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar UV, asap rokok, dan lain – lain (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). ROS dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Proses cascade dari asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin dipacu oleh enzim liposigenase dan siklooksigenase serta oksidase yang selanjutnya akan membentuk radikal anion superoksida atau hidroperoksida. Enzim sitokrom P 450-dependen oksidase, yang berperan dalam reaksi biotransformasi dan detoksifikasi senyawa intermediate metabolit dan xenobiotik juga akan menghasilkan senyawa peroksida atau ROS. Aktivasi makrofag dan netrofil yang merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme juga akan membentuk berbagai radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorid (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus maupun bakteri. Namun, di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013).

(56)

35

bertambahnya usia. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah ROS pada tubuh (Winarsi, 2007).

2.3.2 Photoaging

Radiasi UV mengaktivasi reseptor permukaan sel yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor transkripsi, protein inti yang berikatan dengan DNA untuk meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor transkripsi yang secara cepat dan prominen terinduksi oleh radiasi UV adalah AP-1. AP-1 memengaruhi gen transkripsi kolagen pada fibroblas, menurunkan level prokolagen I dan III, selain itu AP-1 merangsang gen transkripsi yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase (Rigel et al., 2004; Gilchrest et al., 2006).

2.3.2.1 Mekanisme Photoaging

UV secara tidak langsung berperan pada pembentukan ROS. UVB dapat mengakibatkan terbentuknya ROS dengan berinteraksi langsung dengan DNA melalui induksi kerusakan DNA, berupa cross-linking basa pirimidin yang berdekatan.

(57)

asam amino aromatik. Hal ini mengakibatkan provokasi radikal bebas dan penurunan antioksidan kulit, dan merusak kemampuan kulit untuk melindungi diri dari radikal bebas. Interaksi tidak langsung UVB menyebabkan ROS melalui fotosensitisasi yang akan merubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron sehingga terjadi produksi radikal bebas. Fotosensitisasi juga memproduksi superoksida anion yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida dengan bantuan kation logam (Fe dan Cu) akan menghasilkan gugus hidroksil yang bersifat radikal bebas. Hidrogen peroksida membentuk ikatan ROS lain dengan cepat seperti radikal hidroksil, hal ini menyebabkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, membran sel dan mengaktivasi jalur seluler (Taylor, 2005; Svobodova et al., 2006).

Pendapat lain mengemukakan terbentuknya hidrogen peroksida setelah paparan UV jelas terlihat dari fotokimia terbentuknya ROS. Hidrogen peroksida kemudian dengan cepat membentuk ROS lain, seperti radikal hidroksil. Keratinosit menunjukan terbentuknya NADPH oksidase, yang mengkatalisasi reduksi molekul oksigen menjadi anion superoksid. Hidrogen peroksida dan anion superoksid kemudian mengakibatkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, dan membran sel dan mengaktivasi jalur seluler sehingga menyebabkan stress oksidatif yang merupakan penyebab photoaging (Fisher et al., 2002).

(58)

37

enzimatis dan non enzimatis dalam kulit serta merusak membran sel dan DNA (Kregel dan Zhang, 2007). ROS memiliki peranan penting terhadap sinyal transduksi yang dimediasi oleh MAP-kinase yang kemudian menginduksi faktor transkripsi AP-1 pada fibroblas. Pajanan sinar UVB juga mengakibatkan penurunan ekspresi dari TGF-b2, anggota dari kelompok TGF-b. TGF-b berfungsi memacu pembentukan kolagen, sehingga penurunan dari TGF-b menyebabkan penurunan produksi kolagen. Penelitian menunjukan terjadi penurunan sintesis kolagen dalam 8 jam setelah paparan UV.

(59)

Peningkatan transkripsi AP-1 menginduksi jumlah kolagenase MMPs (MMP-1), stromelisin I (MMP-3) yang memblokir transforming growth factor (TGF)-β, sitokin yang meningkatkan transkripsi kolagen, yang berakibat menurunkan produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen. AP-1 bersifat antagonis asam retinoat yang memiliki efek stimulus terhadap sintesis kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007).

(60)

39

matriks ekstraselular dermis. Selain itu AP-1 dapat menekan ekspresi gen prokolagen fibroblas sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen (Helfrich et al., 2009).

Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses tersebut akan menimbulkan penuaan dini kulit (photoaging) (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).

Gambar 2.6 Mekanisme Photoaging (Rabe et al., 2006)

2.3.2.2 Perubahan Klinis Kulit pada Photoaging

(61)

faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Proses menua kulit berlangsung secara lambat tetapi pasti, dimulai dari tampak adanya keriput pada wajah, lipatan kulit dan garis ekspresi lebih nampak serta penurunan kulit (kendur) terutama pada dagu. Kulit muka akan menjadi kering, tipis dan kasar serta penurunan elastisitas, tidak jarang disertai bercak-bercak hiperpigmentasi dan tumor jinak kulit sehingga akan sangat mempengaruhi penampilan seseorang (Kochevar et al., 2008).

2.3.2.3 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging

(62)

41

penuaan intrinsik akan memperlihatkan berkurangnya kolagen tipe I dan III, namun hal yang sama akan terjadi lebih cepat pada daerah yang terpapar sinar matahari (Fisher et al., 2001).

Jumlah serat elastin akan semakin menurun seiring bertambahnya usia, namun pada kulit yang terpapar matahari, jumlah serat elastin meningkat secara proporsional. Elastin yang terakumulasi pada kulit abnormal akan menempati daerah yang seharusnya ditempati serat-serat kolagen. Suatu teori yang diajukan menyatakan bahwa peningkatan elastin yang abnormal merupakan akibat dari proses bifasik yang berawal dari hiperplasia jaringan elastik normal. Elastin menjadi abnormal dalam penampilannya karena efek peradangan kronis (Fisher et al., 2002; Chung et al., 2004).

Pada kulit yang mengalami photoaging, serat kolagen mengalami disorganisasi. Penelitian mendapatkan bahwa pada kulit yang mengalami photoaging didapatkan penurunan jumlah precursor kolagen tipe I dan III dan crosslink (Pinnel, 2003; Gilchrest dan Krutmann, 2006).

(63)

Gambar 2.7 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging (Naylor, 2011)

2.3.2.4 Pencegahan dan Pengobatan Photoaging

(64)

43

2.4 Bekicot (Achatina fulica)

Pada tahun 1847, Benson seorang kolektor yang mengunjungi Mauritius membawa beberapa spesimen hidup di Calcuta. Disitu Achatina fulica berkembang baik dan tersebar luas tanpa ada musuhnya. Pada tahun 1900, Achatina fulica telah mencapai Cylon dan menjadi hama pertanian. Tahun 1911 sudah tersebar di Singapura dan selanjutnya ke Kalimantan. Di Sumatera dan Jawa, hewan ini telah merusak perkebunan karet. Pada tahun itu juga telah mencapai Taiwan, dan disambut hangat oleh orang-orang Jepang sebagai makanan yang menarik dan berkhasiat obat (Radiopoetro, 1995).

Bekicot (Achatina fulica) adalah golongan binatang lunak yang biasa disebut Mollusca dan termasuk dalam subkelas Pulmonata dari kelas Gastropoda atau berkaki perut, hal ini karena bekicot bergerak menggunakan perutnya. Meskipun didalam subkelas ini sudah terdapat spesialisasi untuk hidup di daratan kering, tetapi masih menunjukkan banyak sifat pokok kelas Gastropoda sebagai keseluruhannya. Habitat bekicot terutama tempat-tempat yang memiliki kelembaban tinggi. Pada musim hujan populasi bekicot akan meningkat pesat, karena makin banyak tempat untuk menempel dengan kadar air yang tinggi. Aktifitas bekicot lebih banyak dilakukan pada malam hari seperti bergerak dan makan, sedangkan pada siang hari bekicot biasanya akan bersembunyi dibawah rumput, tanah atau kayu.

(65)

fariegata warna garis-garis pada cangkangnya tebal dan berbuku-buku. Saat ini diketahui ada tiga subspecies Achatina fulica, yaitu: Achatina fulica rodatzi, Achatina fulica sinistrosa, Achatina fulica umbilicata (Rohmad, 2012).

Bekicot yang diternakkan umumnya jenis Achatina fulica, karena bekicot jenis ini banyak mengandung daging dan lendir. Daging bekicot jenis ini banyak digunakan sebagai bahan baku makanan yang disebut Escargot, sedangkan lendir bekicot sering digunakan untuk pengobatan luka ringan dengan meneteskan langsung lendir yang keluar melalui cangkang yang telah dipecahkan (Rohmad, 2012).

Gambar 2.8 Bekicot (Achatina fulica)

(66)

45

Kelas : Gastropoda Subkelas : Pulmonata Ordo : Stylomatophora Family : Achatinidae Genus : Achatina

Spesies : Achatina fulica (Ravikumara et al., 2007)

2.4.1 Anatomi bekicot

Secara garis besar tubuh bekicot terdiri atas dua bagian yaitu cangkang bekicot dan badan bekicot.

Cangkang bekicot

(67)

Badan bekicot

Tidak seperti hewan lain yang mempunyai anggota badan lengkap dari kepala, badan, kaki, ekor, bekicot hanya mempunyai dua bagian tubuh yaitu kepala dan kaki (perut).

Kepala bekicot terletak di ujung depan badan dan sangat mudah untuk diketahui. Pada kepala bekicot terdapat dua pasang tanduk. Sepasang tanduk yang besar berada di bagian atas, sedangkan sepasang lagi yang lebih kecil terletak di bawah tanduk yang besar. Pada ujung bagian atas tanduk besar terdapat mata hanya berupa bintik hitam. Sepasang tanduk kecil yang berada di bagian bawah berfungsi sebagai antena yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan suhu, dan sebagai alat perasa.

(68)

47

Gambar 2.9 Bagian Tubuh Bekicot

2.4.2 Karakterisasi Lendir Bekicot

Bekicot sangat berpotensi sebagai bahan obat karena kandungan protein, karbohidrat, vitamin, kalsium, dan fosfor yang tinggi.

Tabel 2.1

Komposisi Kimia Bekicot (Kompiang, 1979)

Komposisi Bekicot mentah Bekicot rebus

Air 7,59 7,54

Protein 59,27 57,72

Lemak 3,62 4,6

Kalsium 6,4 7,83

Fosfor 0,85 0,95

Serat kasar 2,47 0,08

(69)

kalsium yang terkandung di cangkang. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa daging bekicot mengandung asam amino esensial yang tinggi. Sifat ini menguntungkan sekali mengingat asam amino esensial merupakan penentu dari protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh.

Tabel 2.2

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit (Krieg et al., 2011)
Gambar 2.2 Extracellular Matrix (Cummings, 2004)
Gambar 2.3 Serat Kolagen (Myllyharju et al., 2001)
Gambar 2.4 Biosintesis kolagen (Albert et al., 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siklus pertama perencanaan tindakan kegiatan yang dilaksanakan pada tahap perencanaan tindakan adalah observasi pembelajaran di kelas, sesuai dengan temuan masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem yang cocok untuk institusi pendidikan tempat pengambilan data, menganalisis data yang diambil, serta

Data akhir kadar asam urat serum tikus pada hari ke-22 menunjukkan adanya perbedaan kadar asam urat dari variasi dosis pemberian teh asam daun tin terhadap kadar asam

Sedangkan sub sistem jaringan pada lapisan transpor yang bekerja di atas protokol TCP/IP, yang berfungsi untuk menjamin sinkronisasi serta pembentukan

kelas XII SMA Citra Kasih Jakarta, pada bulan November sampai Januari yang berada di bawah nilai 70 (kategori C). Padahal sebelumnya nilai rerata UN Biologi yaitu

Segala puji dan syukur penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk merasakan dan mengikuti

Nyeri akut adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual, potensial, digambarkan dalam istilah

Oleh karena nilai p&lt;0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling tidak terdapat 2 kelompok yang memiliki perbedaan gambaran histopatologi