• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Komunitas Dibo-dibo: studi tentang aktivitas sosio-ekonomi komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat T2 092006104 BAB I"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Studi Tentang Komunitas

Studi tentang komunitas merupakan upaya yang tidak dapat dipisahkan dari usaha untuk memaparkan karakteristik dasar dari sebuah komunitas dalam interaksi dan eksitensinya dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cohen (2001) bahwa studi tentang sebuah komunitas merupakan salah satu upaya klasik, yang diarahkan untuk menangkap hakikat utama dari setiap individu yang bergabung dan terikat bersama dengan orang lain untuk satu kepentingan atau tujuan yang sama. Akan tetapi bahwa studi semacam itu (yang bisa dilihat dari berbagai pendekatan), selama ini terjebak pada studi yang mengedepankan unsur morfologis dari komunitas itu sendiri.

Akibatnya, studi semacam itu akan berkutat pada perdebatan tentang apakah komunitas itu hanya merupakan aktivitas struktural, yang didasarkan pada persamaan kepentingan, tempat tinggal bahkan ideologi? Perdebatan tersebut akan dengan sendirinya menggiring pemahaman yang bisa saja mereduksi hakikat terdalam dari komunitas itu sendiri.

Dalam garis pemahaman ini, Cohen (2001) mencoba untuk mengkonstruksikan pendekatan terhadap komunitas dengan melandasi pada pemahaman mendasar bahwa komunitas merupakan aktivitas simbolik1 yang di dalamnya terdapat sistem nilai, norma, dan juga

1 Menurut Cohen bahwa aktivitas simbolik merupakan keseluruhan aktivitas pada

(2)

aturan moral yang membimbing bahkan membatasi setiap anggota yang tergabung dalam komunitas tersebut. Pendekatan simbolik ini akan bermuara pada upaya untuk melihat berbagai aktivitas komunitas, yang tidak lain dari bagian pemaknaan setiap individup dalam derap langkah perubahan lingkungan sekitarnya. Karena aktivitas simbolik, yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas struktural individu dalam masyarakat akan juga mengalami perubahan- perubahan yang berarti jika setiap individu melakukan perubahan-perubahan seturut dengan kebutuhan dan tuntutan (baik eksternal maupun internal).

Terkait dengan perubahan-perubahan yang bisa saja terjadi dalam komunitas, menurut pandangan Dewey (1916) bahwa perubahan itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wujud nyata hakikat sebuah komunitas. Interaksi yang intensif (komunikasi tatap muka)2 yang tidak terlepas dari perubahan perilaku setiap individu

akan juga turut mempengaruhi kualitas dari hakikat indivifu itu sendiri. Media perantara komunikasi antar pribadi tersebut (dalam masyarakat yang sering berubah) akan dengan sendirinya juga akan memengaruhi tingkat partisipasi bersama dalam komunitas. Karena bagi Dewey bahwa partisipasi merupakan salah satu hakikat yang paling esensial terbangun sebuah komunitas. Tanpa partisipasi maka komunitas tidak mungkin ada.

Dalam perspektif semacam itu, PBB (2005) menegaskan bahwa studi mengenai komunitas-komunitas lokal merupakan studi yang tidak pernah berhenti. Karena komunitas merupakan prototipe dari masyarakat yang lebih luas. Di samping itu pula, signifikansi dari komunitas itu sendiri, dengan mana memiliki nilai yang menunjang kehidupan secara bersama dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam sebuah

terakumulasi menjadi norma, aturan moral, etika dan juga sistem nilai dalam sebuah komunitas.

2 Dalam pandangan Dewey bahwa komunitas dibangun berdasarkan dari ikatan-ikatan

(commonalities) yang secara rumit saling terkait melalui komunikasi. Komunikasi dan cara-cara di mana komunikasi dilakukan adalah krusial bagi pembentukan

komunitas, dan kita bisa menyimpulkan juga bahwa „kualitas‟ komunikasi menyatu

(3)

komunitas dibangun atas dasar kesadaran bersama, yang kemudian menjamin kelangsungan kehidupan bersama itu. Inilah yang kemudian menjadi modal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu pula, kohesifitas yang terbangun di dalamnya merupakan titik tolak dalam mendesain masyarakat yang lebih baik lagi.

Jika mengkaitkan signifikansi dari komunitas tersebut di atas, bagaimana dengan keberadaan komunitas di Halmahera3 saat ini ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, nampaknya akan melibatkan perspektif historis, yang mana Halmahera merupakan fakta masyarakat yang plural. Perspektif ini tidak dapat disangkal, termasuk juga orang yang lahir, besar dan tinggal di Halmahera. Fakta plural seperti itu kemudian dikemas dalam kesatuan nilai yang dinamakan

“Moloku Kie Raha”.4

Namun begitu, perspektif kebersamaan dalam Moloku Kie Raha kemudian terusik dengan konflik sosial yang terjadi pada akhir tahun 1999 silam. Konflik yang secara serempak merebak ke seluruh tanah Halmahera ini kemudian memunculkan segregasi baru dalam kehidupan komunitas di Halmahera. Komunitas-komunitas yang tercipta saat ini terperangkap pada dasar agama. Masyarakat kemudian mulai mengelompokkan diri dalam komunitas yang anggotanya lebih seragam, terutama dari perspektif agama. Sudah jarang ditemui komunitas yang melampaui batas- batas geografi dan terutama entitas keagamaan.

3 Penulis lebih memilih kata Halmahera dibandingkan dengan Maluku Utara. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa kata Halmahera lebih mengacu pada entitas etnik yang di dalamnya terdapat 32 suku yang mendiami pulau Halmahera. Sedangkan kata Maluku Utara lebih mengacu pada pembagian wilayah secara administratif, yang secara tidak langsung menghancurkan otoritas wilayah kesukuan masyarakat di Halmahera (hal ini masih terlihat pada konflik internal masyarakat terkait dengan batas wilayah kabupaten, seperti kasus antara Kab. Halmahera Barat dan Utara yang hingga kini belum selesai). Dengan demikian, penggunaan kata Halmahera ketimbang Maluku Utara diletakkan pada perseptif semacam itu.

4 Kata ini merupakan wujud nyata dari kesatuan nilai yang menjamin kelangsungan

(4)

Seakan-akan masyarakat Halmahera sudah tidak memiliki modal yang kuat dalam membangun dasar kehidupan bersama, layaknya dalam perspektif nilai Moloku Kie Raha. Namun begitu, apakah demikian ? Hemat penulis bahwa masih ada komunitas-komunitas yang terbangun selama ini, yang masih bisa dikatakan melampuai batas-batas struktural, sebagaimana yang dikhawatirkan banyak orang. Komunitas ini adalah komunitas pedagang tradisional, yang mempunyai jaringan luas, di mana jaringan tersebut dibuat berdasarkan kepentingan bersama, yang melintasi batas-batas struktural.

Komunitas Dibo-dibo

Sekitar pukul 06:30 WIT, dengan langkah kaki yang pasti, seorang ibu keluar dari rumahnya, sambil menggandeng tas kecil yang berisi beberapa perlengkapan sederhana, seperti bedak, lipstik, sisir, dan juga beberapa catatan kecil atau nota. Terkadang mengendarai motor (ojek) atau juga memakai mobil pengangkut barang. Namun hari itu, sang ibu ini lebih memilih untuk mengendarai motor ojek yang lewat di depan rumahnya. Adapun tujuan utamanya adalah pelabuhan penyeberangan. Ketika sampai di Pelabuhan Penyeberangan, dirinya mulai sibuk untuk memastikan posisi barang-barang bawaannya di dek bagian bawah motor laut yang akan ke Ternate (hari itu dirinya membawa 4 karung5 sayur kacang

panjang, 10 karung singkong, 2 karung ubi jalar serta satu karung cabai merah). Ketika sang ibu telah memastikan posisi barang yang telah dimuat pada pukul 03:00 WIB tersebut, dirinya mulai bertemu sapa dengan beberapa teman. sambil menunggu keberangkatan motor laut KM. Halbar Pratama yang akan ditumpangi. Terlihat sang ibu saling menyapa, baik dalam bahasa lokal seperti bahasa Jailolo-Ternate,

5 Ukuran karung biasanya dipakai untuk memastikan isi. Artinya bahwa ukuran ini

(5)

maupun bahasa Sahu, namun terkadang juga mereka memakai bahasa Melayu Maluku Utara.6

Demikian adalah kisah kecil dari aktivitas sehari-hari seorang ibu yang berprofesi sebagai dibo-dibo. Dibo-dibo merupakan salah satu bahasa yang lazim dipakai masyarakat Halmahera untuk menunjuk pada sebuah komunitas yang membeli hasil kebun seperti pisang, singkong, ubi jalar, rempah-rempah (tomat, cabai), sayur-sayuran dan juga buah-buahan (durian, rambutan, langsat, cempedak) dari masyarakat (selanjutnya penulis memakai hasil panen masyarakat untuk mengacu pada keseluruhan hasil kebun tersebut). Mereka adalah kelompok yang dalam bahasa daerah diartikan sebagai pembeli atau tengkulak. Mereka merupakan kelompok yang memiliki jaringan yang sangat luas untuk mendistribusikan barang hasil panen masyarakat suku Sahu7-Jailolo8 ke

Ternate9.

Salah satu ciri mereka adalah membeli hasil panen masyarakat suku Sahu dengan harga yang sangat rendah sekali. Hal ini diakibatkan oleh ketergantungan yang mereka ciptakan bagi masyarakat suku Sahu. Berbagai pertimbangan, diantaranya pertimbangan kekerabatan dan pertimbangan ekonomis, telah mengkondisikan masyarakat suku

6 Bahasa Melayu Maluku Utara mengacu pada bahasa sehari-hari yang dipakai selain

bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang diucapkan dengan menggunakan dialek dan kebiasaan di wilayah Halmahera.

7 Sahu yang dipakai dalam penelitian ini menunjuk pada masyarakat suku Sahu yang

berada di Kab. Halmahera Barat. Saat ini masyarakat suku Sahu sudah dibagi menjadi 2 kecamatan, yakni kecamatan Sahu dan Sahu Timur. Saat ini, struktur masyarakatnya pun sudah terdiri dari berbagai macam suku, namun suku yang terbesar adalah suku Sahu dan Wayoli. Oleh karena itu, penggunaan masyarakat suku Sahu lebih dibatasi pada suku Sahu dan Wayoli sebagai suku yang terbesar di Kecamatan Sahu dan Kec. Sahu Timur.

8 Jailolo merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Halmahera Barat.

Kecamatan ini merupakan pusat ibukota Kabupaten Halmahera Barat. Struktur masyarakatnya pun terdiri dari berbagai macam suku, diantaranya adalah suku Ternate, Makean, Wayoli, Sahu dan juga suku-suku pendatang, seperti Jawa, Bugis, Sangihe dan Gorontalo.

9 Ternate yang dipakai dalam penelitian ini menunjuk pada salah satu kotamadya yang

(6)

Sahu untuk memposisikan komunitas dibo-dibo sebagai kelompok yang sangat penting.

Dengan mengidentifikasikan berbagai pola yang terjadi dalam jaringan mereka, diketahui juga bahwa ada kelompok yang terbuka dan juga tertutup. Sifat tersebut didorong oleh determinasi kultural. Maksudnya batasan kultur, menyebabkan orang yang tidak menguasai corak hidup sekelompok masyarakat, akan lebih cenderung untuk membuka hubungan lain. Oleh karena itu. kultur sebagai salah satu determinator pola hubungan manusia, mengkondisikan seseorang untuk terbuka pada kelompok yang memiliki pola yang sama dengan dirinya. Demikian juga berlaku bagi kelompok dibo-dibo.

Ada diantara mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dan ada juga yang tidak. Demikian juga ada mereka yang tidak berhadapan langsung dengan jaringan di Ternate, ada juga dari mereka yang tidak. Namun begitu, masing-masing memiliki hubungan yang berkesinambungan sebagai rantai pemasok.

Dalam konteks rantai pemasok, setiap individu dalam komunitas dibo-dibo dikondisikan untuk membangun relasi yang tidak hanya didasarkan pada etnisitas agama, melainkan hanya didasarkan pada tujuan secara bersama. Pemaknaan seperti sangat mengkondisikan diri mereka untuk lebih terbuka antara yang satu terhadap yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra (2003), bahwa kepemilikan secara bersama merupakan hakikat terdalam dari sebuah komunitas. Pemaknaan terhadap kepemilikan bersama tersebut biasanya akan terus menghidupi jaringan-jaringan yang tercipta, baik di dalam komunitas maupun antar komunitas.

(7)

waktu, kesamaan rangkaian rutinitas, aturan-aturan perilaku tersirat dan pengetahuan. Dalam kerangka konseptual mengenai aktivitas komunitas dibo-dibo, terlihat bahwa kesepakatan antar anggota merujuk pada dinamika jaringan komunikasi (pertemuan bahasa lokal setiap anggota, yang tunduk pada kesepakatan bersama mengenai media komunikasi), usaha bersama merujuk pada kesamaan tujuan, dan rangkaian rutinitas pada koordinasi perilaku dan penciptaan pengetahuan bersama.

Dengan begitu, komunitas Dibo-dibo bisa menjadi komunitas yang terus menghargai kenyataan historik bahwa Halmahera merupakan fakta sosial yang plural. Karena kesamaan dan pemaknaan diri pada kenyataan tujuan bersama menggiring anggotanya untuk tidak lagi memikirkan apa yang membatasi mereka, baik itu secara sosial, kultural maupun geografis. Akan tetapi aktivitas rutinitas di antara mereka lebih diupayakan untuk melakukan koordinasi usaha mereka sendiri. Akibatnya, komunitas dibo-dibo tetap eksis di

tengah-tengah „runtuhnya‟ komunitas-komunitas yang pluralis sifatnya di Halmahera, sebagai akibat dari segregasi sosial berdasarkan agama pada pasca konflik saat ini.

Komunitas Dibo-dibo dalam Konteks Masyarakat Suku Sahu

Dengan tidak bermaksud untuk berlebihan, dapat dikatakan bahwa masyarakat suku Sahu adalah salah satu dari sekian masyarakat suku di Halmahera yang masih memelihara lambang-lambang dan simbol adat. Hal ini bisa dilihat dari pemeliharaan rumah adat pada setiap kampung yang sampai sekarang masih bertahan. Pemeliharaan ini dikaitkan dengan praktek Pesta Adat Makan Bersama yang sampai saat ini sering dilakukan di setiap kampung.

(8)

masyarakat suku Sahu dengan komunitas dibo-dibo.

Ketergantungan ini masih bertahan, baik secara langsung maupun tidak.

Dengan tipe sebagai masyarakat penghasil, telah

mengkondisikan komunitas dibo-dibo sebagai komunitas yang penting dalam masyarakat suku Sahu. Keberadaan mereka dilihat sebagai pelengkap dalam mendistribusikan hasil kebun ke Ternate. Dampak dari ketergantungan ini, masyarakat suku Sahu seakan-akan tidak memiliki pilihan lain untuk menjual hasil kebun mereka kepada komunitas dibo-dibo. Karena tidak adanya pilihan ini, juga menggiring komunitas dibo-dibo untuk memperoleh hasil kebun dari masyarakat dengan harga yang sangat murah.

Pada taraf tertentu masyarakat di Halmahera, sebagaimana juga masyarakat-masyarakat lainnya di Indonesia, sedang mengalami perubahan dan perkembangan memasuki masyarakat modern10.

Modernisasi sebagai sebuah proses perubahan mencakup dimensinya yang luas.

Salah satunya adalah pragmatis11, yang mana mulai

menekankan hal-hal yang pratis. Kecenderungan seperti ini kemudian bermuara pada tindakan masyarakat yang lebih cenderung untuk

10 Modern sebagai sebuah zaman dimulai pada era Pencerahan. Arnold Toynbee,

seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera secara ekstensif. Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dankematangan manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan telah memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern.

11 Istilah pragmatis merupakan salah satu istilah filsafat yang mengacu pada

(9)

memilih sesuatu yang lebih praktis dan mudah. Akibatnya, tidak jarang mereka juga sering menghilangkan pertimbangan-pertimbangan praktis.

Kondisi ini kemudian menjadi kekuatan tersembunyi komunitas dibo-dibo. Dikatakan tersembunyi karena kekuatan tersebut menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh bagi keberadaan jaringan

dibo-dibo. Dan kemudian, kekuatan tersebut tidak terang-terangan diangkat, melainkan menjadi kekuatan baru yang semakin menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap komunitas dibo-dibo. Dengan begitu, tipe masyarakat penghasil seperti masyarakat suku Sahu tidak akan eksis ketika komunitas dibo-dibo tidak berperan.

Hal ini juga didukung oleh kekuatan tatap muka dalam berinteraksi yang masih saja diberlakukan, baik antara sesama dibo-dibo, maupun dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu. Intensitas tatap muka dalam interaksi semacam itu merupakan salah satu modal sosial yang kuat dalam menopang kehidupan secara bersama, terutama rasa kepemilikan terhadap komunitas itu sendiri. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Putnam (2001), dalam kajian menyeluruhnya tentang menurunnya rasa komunitas dalam masyarakat Amerika, menemukan bahwa hilangnya hubungan interpersonal dalam dua generasi terakhir, didorong oleh pengaruh yang makin dalam dan makin impersonal dari komunikasi berperantara, menghasilkan efek bola-salju, yaitu setiap generasi

berikutnya semakin “kurang” berhubungan satu sama lain ketimbang

generasi sebelumnya. Kecenderungan ini mengakibatkan

meningkatnya perasaan kesepian, depresi, dan ketakbermaknaan. Tatkala ikatan hubungan interpersonal menurun, maka rasa percaya satu sama lain, ketimbalbalikan, dan perasaan empati juga akan ikut melemah.

Pada titik ini, walau barangkali tidak selalu seperti itu halnya dalam kehidupan masyarakat Barat pos-industrial, ketika melihat kasus

Indonesia, komunikasi tatap muka lebih memiliki “bobot” komunikatif

(10)

mukalah integritas orang diuji, rasa percaya dibentuk, dan kontrak sosial dibuat dan dipelihara. Dewey (1927) anggap sebagai prasyarat esensial bagi keberlangsungan komunitas, kesempatan interaksi tatap muka adalah mengapa keluarga dan kehidupan bertetangga, dengan segala kekurangannya, selalu menjadi tempat persemaian, yang dengannya sifat-sifat terbentuk secara stabil dan gagasan-gagasan diperoleh yang kemudian menjadi akar dari karakter.

Dengan penjelasan di atas, maka komunitas dibo-dibo yang diteliti akan diletakan dalam perspektif keberadaannya dengan masyarakat suku Sahu sebagai masyarakat penghasil. Oleh karena itu, penelitian ini dibangun dalam persoalan bagaimana aktivitas sosio-ekonomi dari komunitas dibo-dibo serta bagaimana dinamika hubungan mereka dengan masyarakat suku Sahu.

Masalah Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka masalah penelitian yang akan dikaji adalah :

1. Bagaimana aktivitas sosio-ekonomi komunitas dibo-dibo di Sahu?

2. Bagaimana relasi komunitas dibo-dibo dalam masyarakat suku Sahu?

3. Bagaimana strategi usaha yang dijalankan oleh komunitas

dibo-dibo?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang diuraikan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan pada tujuan untuk :

(11)

2. Menggambarkan relasi komunitas dibo-dibo dalam konteks kehidupan masyarakat suku Sahu.

3. Mendeskripsikan strategi komunitas dibo-dibo dalam

menjalankan usahanya, terutama dalam perjumpaannya dengan masyarakat suku Sahu dan juga dengan jaringan di Ternate.

Manfaat Penelitian

Dengan penelitian terhadap komunitas dibo-dibo, diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Memberikan pemahaman terhadap keberadaan komunitas

dibo-dibo, baik itu aktivitas mereka maupun hubungannya dengan masyarakat suku Sahu.

2. Memberikan masukan terhadap tema penelitian mengenai komunitas-komunitas lokal, terutama dalam kaitannya dengan peran komunitas lokal dalam pembangunan.

Sistimatika Penyajian Penelitian

Sistimatika penyajian penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) bab, yang mana masim-masing bab disusun dalam kerangka menjawab persoalan penelitian ini. Adapun bab 1 (satu) merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistimatika penyajian penelitian.

Bab 2 (dua) adalah bagian yang berisi tentang perspektif mengenai komunitas. Dalam pembahasan tentang komunitas, akan dimulai dengan aktivitas komunitas, kemudian trust dalam komunitas, budaya komunitas, komunikasi serta jaringan dalam komunitas.

(12)

penelitian yang dipakai untuk menjawab masalah penelitian dan teknik pengambilan data lapangan

Bab 4 (empat) merupakan gambaran tentang hasil penelitian, yang mencoba mengulas persoalan penelitian yang pertama, yakni aktivitas sosial dan ekonomis dari komunitas dibo-dibo. Untuk upaya ini, akan dijabarkan tentang dunia keseharian komunitas dibo-dibo

yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas sosial dan ekonomis. Untuk menjawab persoalan penelitian yang kedua, maka akan diurai mengenai konteks perjumpaan komunitas dibo- dibo dengan masyarakat suku Sahu, sebagaimana yang akan diulas pada Bab 5 (lima). Dalam membahasa mengenai hal ini, akan diorientasikan untuk menggambarkan kedudukan dan fungsi ekonomis dari komunitas dibo-dibo kepada masyarakat suku Sahu.

Referensi

Dokumen terkait

Sorotan Prediksi Kebutuhan Pangan Hewani Asal Hewan (Daging dan Telur) Menghadapi HBKN di Jawa Barat Tahun 2009 - 2010. 6

Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.05/2014 tentang Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, dengan ini kami mengajukan permohonan

Hasil penelitian ialah bahwa ritual ibadah kebaktian adalah kegiatan ibadah rutin setiap Selasa malam, dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang

Persyaratan peserta sebagaimana tercantum dalam dokumen kualifikasi yang dapat diperoleh dengan mengakses aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) pada

Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository

[r]

Kopi merupakan salah s digemari karena memiliki manfaat dalam merangs antioksidan dominan yang memberikan aroma khas memiliki zat yang mengu Salah satu jenis kopi

[r]