• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT : Studi Kasus Pengembangan Model Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi pada Sekolah Dasar di Kota Malang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT : Studi Kasus Pengembangan Model Pendidikan Budi Pekerti Terintegrasi pada Sekolah Dasar di Kota Malang."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Program pendidikan untuk semua (for all education) harus diimplementasikan bagi semua lapisan masyarakat dari usia dini sampai lanjut usia, termasuk program pendidikan kecakapan hidup (life skills) bagi narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Pengembangan pendidikan kecakapan hidup merupakan tugas dan wewenang pendidikan luar sekolah sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia yang didasarkan kepada keterampilan/kecakapan hidup, pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan pendidikan tersebut sangat penting bagi narapidana, karena jumlah narapidana kian hari semakin meningkat di lembaga-lembaga pemasyarakatan, khususnya di lembaga-lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung.

(2)

Narapidana adalah orang yang telah melanggar norma kehidupan, mereka tidak tahan dan tidak kuat menghadapi situasi dan kondisi kehidupan yang serba sulit sehingga menimbulkan sifat frustrasi, apatisme, kehilangan pekerjaan, pengangguran, dan masalah-masalah lain seperti tidak terpenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan) di satu pihak, dan di pihak lain tidak sedikit pula narapidana yang berasal dari lapisan masyarakat yang tergolong mampu dari segi ekonomi bahkan dari kalangan elit, seperti pengusaha, politikus dan birokrat. Mereka nekat melakukan tindakan kejahatan, seperti penipuan, pencurian, penjambretan, pembunuhan, pemerkosaan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), dan korupsi, serta tindak pidana lainnya seperti illegal loging

(pembalakan/penebangan kayu milik negara).

(3)

Disadari bahwa pembinaan narapidana bukanlah suatu proses penanganan yang mudah, karena menyangkut berbagai faktor, seperti faktor dana, para instruktur, keamanan, sarana/prasarana, waktu, dan lain sebagainya. Atmasasmita (1984: 84) mengemukakakn bahwa:

“Disatu pihak lembaga pemasyarakatan dituntut untuk membina dan mengembalikan narapidana ke masyarakat dalam keadaan siap bermasyrakat, akan tetapi di lain pihak proses penyembuhan mental kejiwaanya yang sudah parah karena terbakar oleh proses penegakan hukum harus dilaksanakan dengan baik”.

Kutipan di atas menunjukan bahwa lembaga pemasyarakatan mengemban tugas dan tanggung jawab moral yang cukup berat, yakni tidak hanya sekedar memberi keterampilan/kecakapan hidup dalam rutinitas sehari-hari sebagai pengisi kekosongan waktu para narapidana, melainkan upaya pembinaan yang terprogram, dirancang secara sistematis dan terpadu dengan tujuan membina dan mengembalikan narapidana ke masyarakat dengan dibekali keterampilan hidup serta penyembuhan mental atau kejiwaannya yang sudah rusak.

(4)

keagamaan supaya berjalan dengan baik, efektif dan efisien perlu dipersiapkan program yang jelas, kurikulum dirancang sesuai dengan kebutuhan para narapidana sehingga materi pendidikannya mudah diserap, diterima, dan dipahami serta dapat diimplementasikan dalam kehidupan. Sampai saat ini kegiatan pendidikan termasuk kegiatan pendidikan keagamaan yang dikembangkan di berbagai lembaga pemasyarakatan, tidak terkecuali di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung belum memiliki kurikulum. Mulyasana (1993) pada salah satu kesimpulan dalam tesisnya menyatakan sebagai berikut:

“Semua kegiatan pendidikan di lembaga pemasyarakatan belum memiliki kurikulum, sehingga materi kependidikannya ditetapkan berdasarkan kebijakan pengajar. Sedangkan para peserta didiknya kebanyakan diambil dari mereka yang mendapatkan hukuman lama, sedangkan yang mendapatkan hukuman sebentar (hukuman kurungan) tidak resmi dilibatkan dalam kegiatan pendidikan luar sekolah.”

(5)

Sekaitan dengan hal tersebut, D. Sudjana S. (2004: 181) mengemukakan bahwa, penyelenggara dapat menggunakan tiga langkah kegiatan:

Pertama, melakukan identifikasi kebutuhan pendidikan dan atau kebutuhan belajar yang dirasakan dan dinyatakan oleh calon peserta didik... Kebutuhan yang diidentifikasi baik dari lembaga/organisasi maupun dari masyarakat berkaitan dengan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan belajar yang perlu dipenuhi oleh calon peserta didik.

Kedua, mengidentifikasi sumber-sumber, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia, dan kendala pada calon peserta didik, lembaga atau masyarakat. Sumber-sumber dan kendala ini perlu diperhitungkan sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Faktor pendukung dan penghambat kemungkinan berkaitan dengan pendidik (tutor, fasilitator, pelatih), pimpinan lembaga, tokoh masyarakat, bahan belajar, fasilitas, waktu, dana yang tersedia atau yang dapat disediakan, dan lain sebagainya.

Ketiga, menyusun program pendidikan non formal yang meliputi komponen-komponen: masukan lingkungan, masukan sarana, masukan mentah, proses, dan keluaran.

(6)

dan menyelamatkan narapidana di lembaga pemasyarakatan agar kelak setelah selesai menjalani hukuman dan kembali di tengah-tengah masyarakat dimana ia berada mampu mengaktualisasikan dirinya dan menjadi manusia yang berkualitas, bernilai, dan bermartabat, maka sistem pembinaan atau pengelolaan program keterampilan dan pendidikan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan perlu mengembangkan siklus kegiatan yang terdiri atas enam tahapan, sebagaimana dikembangkan oleh D. Sudjana S. (2004: 182), sebagai berikut:

Pertama; Tahap perencanaan (planning) yang meliputi kajian dan deskripsi tentang masalah yang dihadapi, tujuan, hasil yang diharapkan, dan lingkup kegiatan dalam melaksanakan program pendidikan non formal.

Kedua; Tahap pengorganisasian (organizing), meliputi upaya penyusunan ketenagaan, organisasi, fasilitas, dan daya dukung lainnya untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program pendidikan.

Ketiga; Tahap penggerakan (motivating), terdiri atas upaya motivasi yang dilakukan baik oleh pimpinan organisasi terhadap stafnya agar efisien dan efektif kegiatan tercapai maupun yang dilakukan oleh pendidik (tutor atau fasilitator) terhadap peserta didik agar proses belajar dapat berjalan sebagaimana yang telah direncanakan.

Keempat; Tahap pembinaan yang mencakup pengawasan (controlling) dan supervisi (supervizing). Yang pertama dilakukan dalam kelembagaan, yaitu pengawasan oleh pimpinan terhadap staf lembaga penyelenggara program. Yang kedua supervisi dilakukan terhadap pelaksana pendidikan, seperti pamong belajar atau pendidik (tutor/fasilitator).

Kelima; Tahap evaluasi (evaluating), meliputi kegiatan pengumpulan, pengolahan, penganalisaan, dan penyajian informasi mengenai perencanaan, pelaksanaan, hasil, dan pengaruh program untuk dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan. Keputusan itu dapat berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki atau untuk mengembangkan program. Dalam kegiatan pembinaan dan evaluasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemantauan (monitoring). Sebagai akibat adanya keputusan tentang pengembangan program pendidikan, maka dilakukan kegiatan tahap ke

(7)

B. Indetifikasi Masalah dan Fokus Penelitian 1. Identifikasi Masalah

Pendidikan luar sekolah (PLS) dalam konteks kehidupan sosial masyarakat sehari-hari telah terbukti dapat dirasakan peranannya oleh kalangan masyarakat luas, tidak terkecuali kelompok narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan luar sekolah yang dapat mengisi kebutuhan masyarakat, termasuk di lembaga pemasyarakatan.

Dalam tingkat nasional, dukungan terhadap eksistensi PLS lebih kuat sejak diundangkannya UUSPN No.2 tahun 1989 dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 27 tahun 1991 tentang latihan tenaga kerja, PP No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, PP No. 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, dan PP No. 39 tahun 1992 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional. Suatu hal yang menonjol dalam PLS adalah tidak mengenal adanya perjenjangan. Oleh karena itu, PLS merupakan pendidikan alternatif bagi orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan pada jalur sekolah, dan PLS juga bisa jadi pendidikan alternatif bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

(8)

yang minim serta keadaan sosial ekonomi yang sangat memprihatinkan. Sedangkan faktor eksternal, adalah disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak kondusif, salah bergaul/bebas bergaul, lemahnya pengawasan dari keluarga (orang tua), media cetak atau elektronik yang mengeksploitasi gambar sensual dan kekerasan, serta maraknya peredaran narkoba dan sejenisnya.

Secara umum, narapidana berasal dari kalangan masyarakat/keluarga yang status sosial ekonominya rendah/miskin dan sebagian kecil dari kalangan menengah ke atas, hidup dan besar dihabiskan di jalanan, tidak memiliki keterampilan yang dapat diandalkan, dan pesimis dalam menghadapi masa depan, serta tidak memiliki persepsi yang jelas dalam hidupnya.

Melihat kondisi umum narapidana tersebut baik dari aspek internal maupun eksternal, maka perencanaan dan pelaksanaan PLS di lembaga pemasyarakatan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, agar proses kegiatan keterampilan dan pendidikan dapat diikuti dengan rasa penuh kesadaran dan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya serta mejadi bekal bagi kepentingan narapidana di lembaga pemasyarakatan setelah bebas dan kembali ke masyarakat.

Berdasarkan gambaran tersebut dapat diasumsikan beberapa hal sebagai berikut:

(9)

menimbulkan kekacauan dan ketakutan baik terhadap individu atau masyarakat dan merupakan ancaman yang potensial bagi berlangsungnya keamanan dan ketertiban sosial. M.A Elliot (1952: 13) menyatakan “kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau suatu tingkah laku yang gagal, yang melanggar hukum dan dapat dijatuhi hukuman penjara, mati, denda, dan lain-lain”. Sedangkan menurut Sutherland (1960: 59), menyatakan: “Kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminal memang tidak ada teori ilmiah”.

Tindak kejahatan yang dilakukan oleh narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang staf bimpas, Heri mengamukakan yaitu pencurian dengan kekerasan, perampokan, penipuan, curanmor (pencurian kendaraan bermotor), penganiayaan, perkosaan/pelecehan seksual, dan pembunuhan serta korupsi dari kelas rendah sampai korupsi kelas kakap, sementara penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba) tidak ditangani di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.

(10)

yang perlu mendapatkan perhatian dari semua unsur yang terkait, juga karena narapidana yang unik, dan memiliki karakterisitik serta latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya.

3. Pendekatan keagamaan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. yaitu manusia yang dapat melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Pendidikan keagamaan tidak hanya mengajarkan tatacara ibadah shalat, puasa, zakat, haji dan pelaksanaan ritual lainnya, akan tetapi mengajarkan berbagai aspek yang menyangkut hajat dan kehidupan manusia untuk mengaktualisasikan seluruh potensi manusia secara utuh dalam praktek kehidupan sehari-hari, baik dalam melakukan hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan hidup.

4. Pembinaan narapidana melalui pendekatan keagamaan perlu direncanakan dan dikembangkan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait agar dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi keberhasilan pembinaan narapidana.

(11)

dengan anggota masyarakat dalam pembangunan, khususnya membangun dirinya dan keluarganya.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada sejumlah narapidana muslim yang sedang menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung dengan lamanya masa hukuman lima tahun ke atas melalui kegiatan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Dengan memadukan dan menerapkan kedua aspek diharapkan dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan wawasan pemahaman keagamaan sehingga memiliki tingkat kesadaran yang baik, sadar akan dirinya sebagai manusia yang perlu hidup wajar, normal, dan bergaul dengan sesamanya secara baik, sadar bagi dirinya untuk dapat berusaha mencari nafkah dengan cara yang baik dan halal, serta sadar untuk dirinya sebagai makhluk Tuhan yang harus taat dan beribadah kepada sang penciptanya, yakni Allah SWT.

C. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Perumusan Masalah

(12)

2. Pertanyaan Penelitian

1) Apakah tujuan mengadakan pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan?

2) Bagaimanakah cara pengembangan model pembelajaran life skills

berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana muslim di lembaga pemasyarakatan?

3) Jenis-jenis keterampilan apakah yang diberikan kepada narapidana selama menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan ?

4) Bagaimanakah faktor-faktor kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan uji lapangan tentang pengembangan model pembelajaran life skills

yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan?

D. Hipotesis

(13)

E. Definisi Operasional

Peneliti memandang perlu untuk menguraikan beberapa definisi operasional secara konseptual sebagai berikut:

1. Pengembangan merupakan suatu upaya maksimal secara terencana dan sistematis untuk menghasilkan suatu model yang berkualitas sebagai hasil proses dari pembinaan. Pengembangan yang dimaksud adalah meningkatkan proses pembelajaran life skills bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang dipadu dengan pendekatan keagamaan sebagai upaya pembentukan sikap, perilaku, budi pekerti, dan kesadaran serta nilai-nilai agama Islam.

2. Model adalah kerangka atau pola yang dirancang secara baik, mempunyai efisiensi dan efektifitas sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah dan praktis. Model dapat diartikan juga sebagai suatu sistem dalam mendeskripsikan sesuatu secara praktis. Abdul Latif (2006: 52) mengemukakan lima kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:

1) Sederhana; bentuk sederhana dan memudahkan kita untuk mengerti, mengikuti dan menggunakan;

2) Lengkap; suatu model pengembangan yang lengkap harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengadakan identifikasi, pengembangan, dan evaluasi;

3) Diterapkan; selain sederhana bentuk dan kelengkapan komponennya, juga hendaknya diterima (acceptabel) dan dapat diterapkan (applicabel) sesuai dengan situasi;

4) Luas; jangkauan model hendaknya luas, tidak saja berlaku untuk proses belajar mengajar yang konvensional tetapi juga proses belajar yang lebih luas, baik yang menghendaki kehadiran guru secara fisik maupun tidak;

(14)

Sekaitan dengan kriteria tersebut, maka model dalam konteks penelitian ini adalah suatu rancangan untuk membantu dan memberikan kontribusi dalam sistem pembelajaran keterampilan bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pendekatan keagamaan.

3. Pembelajaran merupakan proses yang membuat seseorang atau sejumlah orang (peserta didik) melakukan proses belajar sesuai dengan rencana pengajaran yang telah diprogramkan. Pembelajaran berpusat kepada tujuan yang hendak dicapai berdasakan perencanaan. Pembelajaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah pembelajaran bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan agar memperoleh sejumlah keterampilan dan pengetahuan sebagai modal untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

4. Life skills adalah “kecakapan seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi, sehingga mampu mengatasinya” (Tim BBE Depdiknas).

(15)

penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang lain yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian” (1997: 218). Adapun keagamaan berarti: “berhubungan dengan agama”. (1997: 10). Menurut Juhaya S. Praja (1997: 32) “hidup keagamaan berarti praktek-praktek menjalankan ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif, dengan demikian hidup keagamaan meliputi 1) perilaku individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. 2) perilaku masyarakat atau suatu komunitas baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya sebagai penganut suatu agama, dan 3) ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama”.

6. Narapidana adalah orang yang terpidana dan menjalani pidana atau hukuman di lembaga pemsayarakatan, akibat melakukan tindak kejahatan (kriminalitas). Narapidana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah narapidana muslim yang terpidana lima tahun ke atas yang berjumlah 132 orang pada saat penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data September 2008 (Kepala Registrasi Enceng Suherman).

7. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat bagi narapidana untuk menjalani hukuman. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai pelindung dan pengaman. Pelindung dan pengaman yang dimaksud dalam konteks ini adalah: Pertama; narapidana memperoleh perlindungan hak-haknya sebagai manusia yang perlu mendapat pembinaan dan keamanan baik fisik,

(16)

tentram sehingga dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari dapat terlaksana dengan baik. Lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan para narapidana di lembaga pemasyarakatan ke jalan yang benar sesuai dengan norma-norma, baik norma agama, hukum, dan adat istiadat maupun norma susila sehingga mampu berpartisipasi dengan anggota masyarakat lainnya dalam melakukan pembangunan.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang model pembelajaran life skills yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan sebagai upaya pembinaan terhadap narapidana dengan mensinergikan basis pendekatan keagamaan bagai narapidana muslim. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Mengetahui secara signifikan mengenai tujuan pengembangan model pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

b. Memperoleh gambaran secara empiris tentang cara mengembangkan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

c. Mengetahui jenis-jenis keterampilan yang dikembangkan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang berbasis pendekatan keagamaan. d. Mengetahui faktor-faktor kendala yang dihadapai dalam pelaksanaan uji

(17)

pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua unsur kegunaan yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Kegunaan teoritis adalah untuk memperkaya wacana dan khasanah ilmu bagi masyarakat kampus (akademik) tentang pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan kegunaan praktis adalah : a. Sebagai bahan kajian bagi pihak-pihak yang berkompeten khususnya bagi

pihak pendidikan luar sekolah (PLS) untuk turut memberikan kontribusi dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan dengan pengembangan penelitian dalam bentuk dan model yang lain.

b. Model yang dihasilkan dari penelitian ini tentu sangat berguna bagi pihak lembaga pemasyarakatan khususnya lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung untuk dijadikan bahan atau sumber referensi dalam upaya mengembangkan pembinaan narapidana di lingkungan masing-masing.

(18)

G. Kerangka Berfikir

Pembangunan nasional adalah mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia dengan upaya sekuat tenaga melakukan perubahan ke arah perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai cara. Dua jalur utama yang paling signifikan dalam membangun bangsa yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Kaitannya dengan pendidikan luar sekolah (PLS), pembinaan sumber daya manusia dalam hal ini adalah narapidana yang berada di lembaga pemsyarakatan sebagai kelompok manusia yang memiliki hak untuk memperoleh pembelajaran agar mempunyai bekal pengetahuan, keterampilan, dan wawasan serta pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan luar sekolah (PLS) merupakan garda candra dimuka, wahana dan sarana yang sangat tepat bagi narapidana untuk menjadi manusia yang mampu mengikuti kehidupan global.

(19)

Pengembangan konsep tersebut sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi dua segmen, yaitu pengembangan sumber daya manusia secara perorangan dan pengembangan sumber daya manusia secara organisasi. Namun dalam konteks penelitian ini adalah difokuskan pada pengembangan perorangan yang dilakukan dengan usaha pendidikan dan pelatihan (education and training) melalui pelatihan keterampilan dan pendidikan keagamaan sehingga diharapkan memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan baik untuk masa sekarang maupun untuk masa depan.

Untuk mengatasi hal tersebut, tepatlah jalur PLS dalam mempersiapkan sumber daya manusia dengan konsep; pendidikan seumur hidup, belajar sepanjang hayat, pendidikan untuk semua, pendidikan berkelanjutan, dan lain-lain. Tidak hanya sejalan dengan konsep pendidikan keagamaan seperti terungkap dalam hadits Nabi Muhammad Saw. yang artinya “carilah ilmu sejak lahir sampai menjelang ajal menjemput”, tetapi juga terbukti PLS yang telah diterapkan di berbagai negara telah menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, sangat tepat organisasi badan dunia PBB di bawah UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) dengan mengembangkan empat pilar pendidikan sepanjang hayat (life long education), yaitu: 1) Belajar mengetahui (learning to know). 2) Belajar berbuat (learning to do). 3) Belajar hidup bersama (learning to life together) dan 4) Belajar menjadi seseorang (learning to be).

(20)

menjadi garapan pendidikan luar sekolah (PLS) termasuk kegiatan pendidikan di lembaga pemasyarakatan hendaknya dikembangkan di atas prinsip-prinsip pendidikan. D. Sudjana S. (2004: 225-226) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pendidikan tersebut sebagai berikut:

1. Pendidikan hanya berakhir apabila manusia telah meninggalkan dunia fana ini.

2. Pendidikan sepanjang hayat merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisir dan sistematis.

3. Kegiatan belajar ditujukan untuk memperoleh, memperbaharui, dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah dimiliki dan yang mau atau tidak mau harus dimiliki oleh peserta didik atau masyarakat berhubung dengan perubahan yang terus menerus sepanjang kehidupan.

4. Pendidikan memilki tujuan-tujuan berangkai dalam memenuhi kebutuhan belajar dan dalam mengembangkan kepuasan diri setiap insan yang melakukan kegiatan belajar

5. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk memotivasi diri maupun untuk meningkatkan kemampuannya, agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

6. Pendidikan nonformal mengakui eksistensi dan pentingnya pendidikan formal serta dapat menerima pengaruh dari pendidikan formal, karena kehadiran kedua jalur pendidikan ini untuk saling melengkapi dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.

Keenam prinsip tersebut memberikan gambaran akan pentingnya jalur pendidikan luar sekolah (PLS) dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang semakin terbuka dan bergerak melalui berbagai sektor, terlebih setelah diberlakukan otonomi daerah telah terjadi perubahan-perubahan mendasar, termasuk dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, peluang PLS semakin leluasa untuk bergerak dan berkembang secara signifikan.

(21)

aktualisasi atau pengembangan diri yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan individu. Untuk mempertegas konsep pemberdayaan (empowering) dapat dikemukakan pendapat Mertens dan Yarger (1988:35) bahwa pemberdayaan adalah “a route to enhancing the teaching professions the authority to teach with the profesional standars that pertain to teir work” (suatu rute untuk menambah pengajaran profesi kewenangan untuk mengajar dengan standar profesional termasuk kerjanya). Goodman (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah “a more active and critical approach to words teaching” (suatu pendekatan yang lebih aktif dan kritis terhadap pengajaran). Glickman (1989) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah “internal control and individually divergent practices, solving problems indepentdently” (kontrol internal dan praktek pemisahan secara individual memecahkan problem secara bebas). Sedangkan menurut Weissglas (1990) pemberdayaan adalah “a process of supporting people to construck new meanings and exercise their freedom to choose” (suatu proses mendorong seseorang untuk membentuk arti-arti baru dan melatih kebebasan mereka untuk memilih). Sementara Irwin (1995) mengemukakan bahwa “empowering other people means giving them a chance to make their special constribution ... your contribution may be a particular insight, a particular talent,

(22)

interactive and highly subjective realtionship of individuals and their

environment, it demmans innovation in qualitative/ ethnographic methodologis

and a special strategy to capture in the intense experience of human stragle an

transformation” (pemberdayaan adalah suatu hubungan individu yang interaktif dan sangat subjektif dan lingkungannya, pemberdayaan itu menuntut inovasi dalam metodologi etnografi yang kualitatif dan strategi khusus yang mencaku pengalaman perjuangan dan transformasi manusia yang intensif). Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan yaitu “empowerment is a personal an social process, a liberating sense of one’s own strengths, competens, creativity,

and freedom of actio, to be empowerd is to feal power surging into one from other

people and from from inside, specifically the power to act and grow, to become, in

Paolo Freire terms, “more fully human” (proses perseorangan dan sosial, suatu reaksi yang bebas dari kekuatan seseorang yang dimilikinya, kecakapan, kreativitas dan kebebasan tindakan, jadi memperdayakan itu adalah merasakan gejolak yang kuat pada seseorang dari orang lain dan dari dalam, secara khusus kekuatan beraksi dan tumbuh untuk menjadi manusia yang lebih sempurna). Proses pemberdayaan bukan saja berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, ekonomi atau sosial, tetapi juga meliputi politik, seperti yang dikemukakan oleh Kreisberg (1992) bahwa “empowerment involves individuals gaining control of their lives and fulfilling their need in part,

as a result of developing competencies, skills and abilities necessary to effectively

(23)

sebagai hasil pengembangan kompetensi-kompetensi keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara efektif dalam sosial dan dunia politik).

Pendapat para ahli tersebut dapat memberikan gambaran bahwa proses pemberdayaan menjadi amat penting baik untuk perseorangan atau kelompok yang diupayakan secara terencana dan sistematis serta berkesinambungan guna mengembangkan daya atau potensi dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu dan kelompok sehingga mampu melakukan transformasi sosial, kehidupan masyarakat perlu dikondisikan melalui aktivitas sehari-hari, saling belajar sehingga terjadi saling interaksi dan komunikasi antara sesama yang saling mendorong guna mencapai pemenuhan kebutuhan hidup baik yang mencakup kebutuhan fisik material maupun kebutuhan mental spiritual. Atas dasar inilah PLS dalam pemberdayaan masyarakat termasuk masyarakat penghuni lembaga pemasyarakatan sebagai bagian integral dalam upaya membangun bangsa sehingga menjadi kreatif dan mandiri.

Upaya pemberdayaan masyarakat termasuk narapidana perlu mengetengahkan sejumlah pendekatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kindervatter (1979) dengan lima macam pendekatan, yaitu: 1) need oriented (suatu pendekatan yang berdasarkan pada kebutuhan); 2) endogenous (pendekatan yang berorientasi pada apa yang terdapat pada masyarakat itu sendiri); 3) selftreliant (pendekatan yang memgutamakan terciptanya rasa percaya diri dan sikap mandiri); 4) ecological sound

(24)

Ginanjar Kartasasmita (1995: 19) mengemukakan bahwa:

“Upaya memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara.

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakekat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan bahwa rakyat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemandirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada proses kemandirian tiap individu yang kemudian meluas ke keluarga serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan prasarana dan sarana baik fisik dan sosial yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di pedesaan. Dalam upaya memberdayakan rakyat ini yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.

Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah”.

(25)

lembaga pemasyrakatan melalui pendidikan keagamaan dan pendidikan life skills

atau keterampilan hidup. Dengan cara ini narapidana diharapkan baik selama menjalani masa hukuman maupun setelah selesai dapat menjadi orang yang memiliki harga diri, semangat hidup yang positif dan taat pada norma-norma baik norma adat, agama, susila dan hukum. Departemen Kehakiman RI. (1990: 10) bahwa pembinaan narapidana ditujukan agar:

1. Berhasil mamantapkan kembali harga diri dan kepercayaan diri serta bersikap optimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada prilakunya yang tertib, disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial.

4. Berhasil memupuk jiwa dan semangat pengabdian terhdap bangsa dan negara.

(26)

skills ini bertujuan; 1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapi; 2) memberikan kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan; dan 3) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia termasuk yang berada di lingkungan lembaga pemasyarakatan.

Berkaitan dengan pemberdayaan narapidana di lembaga pemasyarakatan akan memberikan percepatan perubahan secara menyeluruh, yakni dengan menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi narapidana dapat berkembang kemandiriannya dan keberdayaannya baik secara individu atau kelompok, sebab proses pemberdayaan berakar kuat pada suatu proses kemandirian tiap individu.

Memberdayakan narapidana di lembaga pemasyarakatan perlu dilindungi dan dicegah agar jangan sampai terpinggirkan. Melindungi dan membela mereka merupakan upaya mendasar untuk mengembalikan citranya di tengah-tengah masyarakat sehingga potensinya berkembang dan dapat membangun kehidupan yang lebih baik.

(27)

27 Ide Narapidana Manusia makhluk Tuhan yang memiliki akal, nafsu, hati dan hati nurani yang berada dalam lembaga pemasyarakatan. Input Hakikat Manusia yang memiliki Need for Achieve ment Potens i Pemba waan pendidi kan dan lingkun gan Pengembangan

[image:27.1008.18.826.97.574.2]

Model Life Skill Berlandaskan pada potensi seseorang secara utuh dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan holistik yaitu manusia sebagai pemilik dan pembina tiga potensi (kognitif, afektif, dan psikomotor) Penerapan Berbasis Pendekatan Keagamaan Pendidikan yang terpadu akan tercipta dan hasilnya akan sempurna apabila mampu membentuk nilai atau sistem keyakinan, mengakses jamani denga kebutuhan dan kondisi serta aktivitas narapidana Hasil Output Narapidana yang siap bermasyarakat, menjadi terdidik dan membawa sejumlah harapan baru Target/Goal Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat mampu membiayai kehidupan keluarga dan pendidikan putra/putrinya. Interaksi Edukatif Out Come Narapidana yang memiliki keterampilan, disiplin, mandiri, jujur, bertanggungjaw ab, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Gambar 1.1

Alur Ide-ide Kerangka Dasar Pemikiran

2

(28)
(29)

139 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Pendekatan ini dipandang sesuai karena digunakan untuk mengkaji permasalahan dan memperoleh makna yang lebih mendalam dari lapangan baik yang menyangkut perbuatan dan atau kata-kata responden khususnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skill yang berbasis pendekatan keagamaan. Penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau pandangan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. S. Nasution (1992: 5) menegaskan bahwa “penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang di dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”. Sedangkan data yang dihasilkan melalui kuantitatif akan diolah secara statistik. Dengan demikian upaya untuk memperoleh data secara lengkap, akurat dan signifikan berkaitan dengan kajian ini perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

(30)

b. Untuk memperoleh makna yang lebih mendalam mengenai pelaksanaan pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan dan untuk mengembangkan model yang efektif. Penelitian dan pengembangan ini hanya dilakukan di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung.

c. Setelah menetapkan lokasi penelitian, peneliti mengadakan hubungan formal dan informal dengan pihak-pihak terkait untuk memudahkan melaksanakan kegiatan penelitian sehingga dapat memperoleh data secara baik dan akurat serta kemungkinan upaya melakukan pengembangannya.

d. Mengidentifikasi pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang akan dijadikan sumber informasi, antara lain kepala lembaga pemasyarakatan, pembimbing pemasyarakatan, narapidana dan fasilitator serta pengelola pendidikan/ pembelajaran baik yang berkaitan dengan life skills maupun yang berkaitan dengan pendekatan keagamaan.

e. Mencatat segala sesuatu yang terjadi di lokasi penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, khususnya pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. f. Peneliti berupaya mendeskripsikan data baik dari dokumen, hasil pengamatan

dan wawancara dengan melakukan pencatatan secara wajar dan apa adanya. g. Mengembangkan model pembelajaran life skills berdasarkan kondisi aktual di

(31)

Pendekatan kualitatif maupun kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan karakteristik penelitian dalam pengembangan pembelajaran. Sebagaimana diungkapkan oleh S. Nasution (1992: 9-12), yaitu:

1. Sumber data ialah situasi wajar atau “natural setting”. 2. Peneliti sebagai instrumen penelitian

3. Sangat deskriptif.

4. Mementingkan proses maupun produk.

5. Mencari makna di belakang kelakuan atau perbuatan sehingga dapat memahami masalah atau situasi.

6. Mengutamakan data langsung atau “first hand”.

7. Data atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan memperoleh data itu dari sumber lain (triangulasi).

8. Menonjolkan rincian kontekstual.

9. Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti. 10.Mengutamakan perspektif emie, artinya mementingkan pandangan

responden.

11.Verivikasi antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif. 12.Sampling yang purposif.

13.Menggunakan “audit trail” untuk mengetahui apakah laporan peneliti sesuai dengan data yang dikumpulkan.

14.Partisipasi tanpa menggangu untuk memperoleh situasi yang wajar. 15.Mengadakan analisis sejak awal dan sepanjang melakukan penelitian. 16.Disain penelitian tampil dalam proses penelitian.

(32)

untuk menganalisis dan menafsirkan suatu fakta, gejala dan peristiwa yang berkaitan dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung, melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Ketiga, kajian penelitian ini berkenaan dengan suatu proses dan kegiatan pembelajaran dalam konteks pendidikan luar sekolah yang di dalamnya terdapat interaksi antara bimpas dengan narapidana sebagai warga belajar, dimana narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya dan antara narapidana dengan lingkungannya dapat berlangsung proses pembelajaran meskipun dalam lingkungan waktu dan ruang yang terbatas disamping itu peneliti mengolah data tersebut dengan kuantitatif untuk memperkuat hasil penelitian secara signifikan.

(33)
[image:33.595.115.507.158.602.2]

GAMBAR 3.1.

PARADIGMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

B. Tahap-tahap dan Prosedur Penelitian 1. Tahap-tahap Penelitian

a. Tahap orientasi

Tahap orientasi dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai rancangan penelitian untuk mempertajam fokus penelitian. Pada tahap ini peneliti mendatangi dan mengamati serta melakukan wawancara pendahuluan di sekitar pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Kegiatan ini untuk mempertajam fokus guna dilakukan penelitian secara mendalam dan terinci.

Pengembangan Model Pembelajaran Life Skiils Berbasis Pendekatan Keagamaan bagi Pembinaan

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung

Sistem Nilai Berdasarkan Konsep Islam: Terampil, Kerja keras, Mandiri, dan

Amal Saleh

Pembelajaran Life Skills Berbasis pendekatan keagamaan bagi Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Pembina Fasilitator Pendidikan Life Skills Tujuan Pembelajaran

Life Skills

Berbasis Pendekatan Keagamaan

Terbentuknya nilai, perilaku, derajat kemanusiaan, terampil, kerja keras,

mandiri, melaksanakan perintah ajaran agama Islam

Tujuan Pembelajaran

Life Skills

(34)

b. Tahap eksplorasi

Berdasarkan hasil informasi pada tahap orientasi diperoleh suatu gambaran dan paradigma yang semakin terarah sehingga memberikan teknik pengumpulan data, baik melalui wawancara, observasi maupun dokumentasi.

(35)

c. Tahap member check

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh tingkat kredibilitas hasil penelitian sehingga informasi yang diperoleh mendapatkan keabsahan dari subjek penelitian. Tahap ini meliputi kegiatan penyusunan hasil penelitian yang diperoleh dari tahap eksplorasi dan melakukan pengecekan ulang secara cermat untuk diketahui kebenarannya.

d. Tahap triangulasi

Tahap ini merupakan pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh dengan cara memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang ada. Tahap ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara; 2) membandingkan informasi yang diperoleh dari pihak pembina narapidana di lembaga pemasyarakatan, misalnya para pembina, fasilitator/bimpas, dengan tokoh mayarakat, para narapidana tertentu dan pejabat terkait.

e. Tahap audit trail

Tahap ini dilakukan guna membuktikan keabsahan dan kebenaran data yang ditampilkan dalam penulisan ini, dan setiap data yang diperoleh dan ditampilkan disertai dengan keterangan yang menunjukan sumber sehingga data itu mudah ditelusuri.

2. Prosedur Penelitian

(36)

1) Penelitian dan pengumpulan informasi dalam bentuk: a. penelitian pendahuluan;

b. penelitian kualitatif dan kuantitatif; c. kajian teoritis.

2) Pengembangan model awal (model hipotetik) berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan informasi.

3) Uji kelayakan melalui analisis kualitas model dan penilaian para ahli. 4) Revisi I dan II

Revisi tahap I dilakukan selama dan setelah analisis kualitas model. Sedangkan revisi II dilakukan setelah penilaian ahli.

5) Uji lapangan.

6) Revisi III dan IV dilakukan selama dan setelah uji lapangan dan dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan masukan pada setiap tahapan uji lapangan.

7) Model akhir, yaitu model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagai pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

(37)
[image:37.595.83.566.220.693.2]

ahli maupun melalui uji lapangan. Untuk memudahkan mengetahui langkah-langkah penelitian dan pengembangan model ini dapat dilihat dalam gambar berikut:

GAMBAR 3.2.

ALUR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KAJIAN TEORITIS

PENELITIAN PENDAHULUAN

STUDI DESKRIPTIF

Karakteristik, situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan Kondisi aktual penbinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan

PENGEMBANGAN PRODUK AWAL MODEL PEMBELAJARAN LIFE SKILL BERBASIS PENDEKATAN KEAGAMAAN BAGI PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

UJI KELAYAKAN

ANALISIS KUALITAS MODEL PENILAIAN AHLI

UJI LAPANGAN

UJI LAPANGAN II

MODEL AKHIR

MODEL TERUJI MODEL AWAL REVISI

(38)

a. Studi deskriptif dan kajian teoritis

Studi deskriptif dalam penelitian ini digunakan dengan maksud untuk mengidentifikasi kondisi lembaga pemasyarakatan, menggambarkan aspek-aspek yang diteliti sesuai dengan disain dan tujuan penelitian. Studi deskriptif yang digunakan untuk menjabarkan, menguraikan dan menafsirkan kondisi, peristiwa dan proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan. Studi deskriptif dalam penelitian dan pengembangan ini dimaksudkan untuk memperoleh sejumlah masukan dan informasi dari lapangan yang berkaitan dengan kondisi aktual, karakteristik, sistem pembinaan narapidana, dan hal lain yang berkaitan dengan penelitian dan pengembagan model.

Kajian teoritis dilakukan untuk mengkaji konsep-konsep yang sesuai dengan berbagai sumber sebagai bahan dalam memperkuat pandangan. Kajian teorits penelitian dan pengembangan model ini bertitik tolak dari konsep dan kajian tentang perlunya pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, sehingga diharapkan mereka memiliki keterampilan/kecakapan hidup, pemahaman agama Islam, dan kesadaran atau perubahan mental yang baik melalui proses belajar. b. Pengembangan model awal

(39)

kemudian mendiskusikannya dengan para fasilitator atau pembimbing pemasyarakatan di lapangan.

Model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian konseptual, dan hasil penelitian deskriptif menunjukan perlunya meningkatkan sistem pembinaan yang selama ini kurang berjalan ke arah yang lebih optimal, efektif dan efisien.

c. Pengujian model

Pengujian model dilakukan melaui uji kelayakan dalam bentuk analisis kualitas model, penilaian ahli, dan uji lapangan sehingga dihasilkan suatu model pembelajaran life skills yang efektif yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Analisis kualitas model dilakukan secara terus menerus dari awal pengembangan model sampai dihasilkannya model akhir.

(40)

tingkat penerimaan fasilitator atau pembimbing dalam menerapkan model, dan juga dampaknya terhadap pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan melalui pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan.

Berdasarkan hasil pengujian dilakukan revisi model. Kegiatan revisi model (produk pengembangan) ini dilakukan sekurang-kurangnya tiga kali yaitu; revisi tahap pertama setelah analisis kualitas model, revisi tahap kedua sesudah penilaian ahli, dan revisi tahap ketiga sesudah uji lapangan. Meskipun demikian, ternyata dalam pelaksanaannya revisi dilaksanakan secara terus menerus sampai dihasilkannya model akhir yang diharapkan dan tentunya dapat bermanfaat.

Prosedur penelitian tersebut ditempuh untuk mengetahui kelayakan, efektif dan efisien serta kemenarikan model pembalajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan yang dikembangkan di lembaga pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin Bandung. Demikian pula prosedur penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berbagai kendala yang muncul dilapangan.

d. Penelitian Kuantitatif

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tes kai kuadrat dengan langkah-langkah :

1) Pengelompokkan data antara data observasi dan data teoritik

2) Penentuan besarnya prosentase data untuk memperoleh gambaran secara umum.

(41)

4) Pengujian hipotesis.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dirancang tiga tahap yaitu tahap pertama adalah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Tahap kedua dan ketiga adalah tahap pengembangan dan pengujian model yaitu melalui diskusi kelompok, dan teknik respon terinci. Ketiga teknik ini digunakan secara berlapis dan berulang selama proses pengumpulan data di lapangan guna memperoleh informasi lebih mendalam, akurat, dapat dipercaya dan signifikan. Untuk memperoleh data yang relevan, objektif, akurat, dan signifikan, maka peneliti selama melakukan pengumpulan data, menyusun dan menyiapkan rambu-rambu pertanyaan dan jenis data atau instrumen sesuai kebutuhan melalui pedoman penelitian yang berisi garis besar pertanyaan dan objek yang akan diobservasi dan diwawancarai serta dokumen yang berkaitan dengan kepentingan penelitian. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dijelaskan secara bertahap.

1. Teknik Pengumpulan Data Tahap Pertama a. Observasi

(42)

Observasi merupakan salah satu teknik untuk menghasilkan data dari lapangan penelitian secara objektif, karena: 1) dapat melakukan pencatatan secara langsung sebagaimana apa adanya; 2) dapat mengungkap suatu peristiwa yang berkaitan atau yang menjadi sasaran penelitian; 3) dapat menghindari atau menghilangkan sikap keraguan tentang data yang diperoleh; 4) memungkinkan untuk memahami situasi yang rumit dan berbagai perilaku dalam suatu peristiwa yang kompleks; dan 5) dapat mengungkap suatu kasus tertentu yang mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan teknik lain.

Berkaitan dengan penelitian dan pengembangan model pembelajaran

(43)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengumpulkan sejumlah informasi tentang situasi dan kondisi di lapangan dari sejumlah subjek yang berkaitan. Dalam hal ini adalah tentang pembelajaran life skills

bagi pembinaan narapidana termasuk sistem pembinaannya dari berbagai sumber, seperti bimpas, sejumlah narapidana, kepala lembaga pemasyarakatan, kepala sub bidang keagamaan, dan fasilitator.

Wawancara dilakukan untuk menemukan informasi yang tepat tentang pelaksanaan pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan. Wawancara ini tentu menjadi sumber data yang original, karena berasal dari pusat sumber yakni dengan sejumlah orang yang dianggap dapat mewakili dalam memberikan informasi yang akurat dan signifikan. Dengan wawancara sebagai bentuk komunikasi dua arah diharapkan dapat memberi kemudahan bagi sejumlah responden untuk memberi jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diajukan dan diinginkan oleh pewawancara secara baik, apa adanya dan jujur serta dapat dipertanggungjawabkan.

(44)

Wawancara informal berlangsung dalam situasi alamiah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada spontanitas pewawancara, rileks, dan penuh keakraban. Pada wawancara mendalam, pewawancara terlebih dahulu menyiapkan kerangka dan garis besar pokok-pokok yang berisi sejumlah pertanyaan dan telah dikelompokan pertanyaan-pertanyaan tersebut sesuai dengan karakteristik dan telah jelas pula bagi responden yang akan menerima pertanyaan tersebut. Langkah ini dimaksudkan agar hal-hal yang hendak diakses dapat dihimpun dan diketahui secara keseluruhan. Oleh karena itu, kata-kata yang digunakan dan urutan pertanyaan dibuat secara garis besar, kemudian disesuaikan dengan keadaan responden di lapangan. Pada wawancara terstruktur, sejumlah pertanyaan, kata-kata yang digunakan dan cara penyajiannya disiapkan secara baku dan diberlakukan bagi semua narapidana yang menjadi responden penelitian.

Berkaitan dalam penelitian dan pengembangan model pembelajaran

(45)

c. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk menelusuri dan menemukan informasi tentang pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Dokumen-dokumen yang diperlukan tentu yang ada relevansinya dengan penelitian. Seperti buku daftar narapidana, jadwal kegiatan pembinaan narapidana, jadwal pembagian tugas bimbingan/ bimpas, materi/bahan ajar kelompok belajar, program-program pembinaan, pemateri/narasumber, laporan bulanan, dan data-data lain yang diperlukan.

Penelusuran tersebut dilakukan secara berulang-ulang sampai dihasilkannya informasi dan data yang lengkap sebagai bahan untuk mengembangkan model pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Sejumlah dokumen yang berhasil dihimpun akan dikaji secara mendalam dan dianalisis kemudian dijabarkan.

2. Teknik Pengumpulan Data Tahap Kedua dan Ketiga

Teknik pengumpulan data tahap kedua dan ketiga ini adalah tahap pengmbangan dan pengujian model yaitu diskusi kelompok dan teknik respon terinci.

a. Diskusi

(46)

narapidana berkaitan dengan pembelajaran life skills di lembaga pemasyarakatan, sehingga dicapai kecocokan dan kesepakatan pandangan. Hal ini penting untuk memperoleh pandangan yang jelas sehingga dalam menentukan kesimpulan yang akan diambil dapat terhindar dari hal-hal yang tidak sesuai dengan persoalan yang sedang dibahas.

Diskusi digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang berkaiatan dengan konsep yang sedang dikembangkan dalam penelitian yakni pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, melalui kegiatan diskusi diharapkan dapat terungkap atau tergali berbagai masalah yang diperlukan di satu sisi, dan sisi lain dapat meningkatkan pemahaman para bimpas tentang model yang dikembangkan sehingga mereka siap melakukan uji lapangan dan memberikan masukan tentang model yang sedang dikembangkan. Dengan demikian hasil pengembagan model yang diharapkan dapat diterapkan dan bermanfaat bagi lembaga pemasyarakatan.

b. Teknik Respon Terinci

(47)

Melalui teknik respon terinci ini, para bimpas (fasilitator), kepala lembaga pemasyarakatan, dan para ahli dari berbagai bidang seperti, PLS, sosiologi, kriminologi, keagamaan, psikologi sosial, komunikasi teknologi pembelajaran, kurikulum, dan ahli bahasa (Bahasa Indonesia), yang berkepentingan dengan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Mereka diminta untuk mengevaluasi model dengan cara mengisi kolom pada lembaran yang telah disediakan. Lembaran tersebut berisi dua kolom, kolom sebelah kiri berkaitan dengan hal-hal yang telah dianggap baik, dan kolom sebelah kanan berkaitan dengan hal-hal yang masih perlu diperbaiki dan dikembangkan. Sebagai alat evaluasi, teknik ini dapat mengembangkan diskusi dan menumbuhkan iklim yang memungkinkan terjadinya pertukaran gagasan secara bebas di antara para bimpas. Kedua kolom tersebut dapat dilihat dalam format sebagai berikut.

FORMAT PENILAIAN MODEL DENGAN TEKNIK RESPON TERINCI

Hal-hal yang dianggap baik Hal-hal yang masih perlu dikembangkan 1.

2. 3. n. dst.

1. 2. 3. n. dst. Sumber: D. Sudjana (1993b)

D. Teknik Analisis Data

(48)

menelusuri data tentang narapidana di lembaga pemasyarakatan untuk melihat kemungkinan keteraturan pola, tema atau topik yang berkaitan denganpembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang berbasis pendekatan keagamaan, (2) mencatat kata-kata, ungkapan-ungkapan para narapidana, bimpas, dan kepala lembaga pemasyarakatan, serta berbagai peristiwa yang terjadi guna menampilkan pola, tema atau topik tentang pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Pengolahan data selanjutnya adalah pengorganisasian data dengan cara memilah dan mengelompokkan data berdasarkan klasifikasi data. Mencatat kata-kata, ungkapan-ungkapan dalam menelusuri data guna menampilkan pola, tema/topik yang berkaitan dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, dengan mengembangkan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan.

(49)

E. Subjek Penelitian

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa produk akhir yang diharapkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini adalah pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan karakteristik, situasi, dan kondisi aktual pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan serta konsep-konsep tentang life skills dalam kaitannya dengan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran life skills dengan memperhatikan faktor pendukung, penghambat, peluang dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi dalam penelitian dan pengembangan model di lapangan.

(50)

307 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Pembelajaran Life Skills berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas 1 Sukamiskin Bandung setelah dikembangkan, diujicobakan, dan diimplementasikan melalui perngorganisasian yang dilakukan dengan cara melibatkan narapidana khususnya yang menganut agama Islam, meliputi identifikasi kebutuhan belajar, perumusan tujuan belajar dan penyusunan program pembelajaran, yang pelaksanaannya disetting dengan mengembangkan pembinaan terpadu, kekeluargaan/keakraban, pembentukan kelompok, pengembangang pembelajaran yang sarat nilai-nilai religious serta mengembangkan kecakapan hidup (Life Skills) dan diikutsertakan sebagian narapidana dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar terbukti memberikan pengaruh yang positif.

(51)

memberikan pengaruh secara signifikan terhadap narapidana yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga meningkatnya kesadaran beragama, seperti rajin melaksanakan ibadah sholat lima waktu, rajin baca Al Qur’an, dan rajin berpuasa. Juga semakin menunjukkan kepatuhan dan ketaatan pada aturan serta norma-norma yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan. Dari hasil uji penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa model ini berlaku untuk semua narapidana dari yang memperoleh masa hukuman yang terrendah sampai kepada yang memperoleh hukuman tertinggi/terberat. Artinya tidak ada perbedaan antara narapidana yang memperoleh masa hukuman terrendah dengan narapidana yang memperoleh masa hukuman tertinggi / terberat. 3. Pengembangan model ini mendapat apresiasi dan dukungan yang kuat

(52)

evaluasi proses dan evaluasi hasil belajar ternyata model ini memiliki tingkat keefektifan yang cukup tinggi.

4. Kendala-kendala yang terdapat dalam implementasi model ini antara lain masalah sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses pembelajaran, adanya sebagian narapidana yang masih rendah motivasi belajarnya, dan masih terpaksa dalam mengikuti pembelajaran, kurangnya tenaga ahli (ahli pendidikan, ahli pendidikan agama Islam, dan ahli pendidikan luar sekolah) yang siap mengembangkan pembinaan di lembaga pemasyarakatan dan minimnya anggaran biaya operasional pembinaan, belum memiliki kurikulum yang dirancang dengan baik dan refresentatif, terbatasnya waktu untuk melakukan wawancara dengan para narapidana dan tidak diperkenankannya untuk melakukan pemotretan dan rekaman.

B. Implikasi

(53)

dan adat istiarat. Salah satu yang dirasa paling tepat dan penting yang dapat dijadikan solusi untuk mengantarkan para narapidana agar kembali menjadi orang yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai di atas adalah perlu menerapkan model pembelajaran life skills yang berbasis pendekatan keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. 2. Pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan

keagamaan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ini memiliki ciri utama yang khas, yaitu berorientasi pada kecakapan hidup (pengembangan keterampilan sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing narapidana), pembekalan pendidikan keagamaan, sebagai sentral pelibatan narapidana baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam evaluasi, dan penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif. Keempat unsur tersebut mengandung implikasi, bahwa para narapidana yang telah memperoleh keterampilan yang cukup dan juga pendidikan keagamaan yang cukup, komunikasi dan jalinan ukhuwah islamiyah serta ukhuwah insaniyah terbangun dengan baik, insya Allah mereka akan mampu mengembangkan kecakapan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, sebagai anggota masyarakat dan warga negara serta sebagai bagian dari lingkungan, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri kepada hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.

(54)

sosial untuk berlaku toleran, saling kasih dan menyayangi. Demikian pula memiliki kecakapan kesadaran akan potensi dirinya yang terdorong untuk mengembangkan dan memanfaatkannya seoptimal mungkin kepada hal-hal yang positif.

4. Bagi para bimpas/fasilitator agar memperoleh feed back dari hasil pembinaannya, dan kemungkinan untuk melakukan langkah-langkah peningkatan kualitas dalam pembinaan untuk mencapai tujuan yang telah dirancang dalam model, termasuk kemungkinan mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para bimpas/fasilitator agar memiliki kompetensi yang diperlukan.

(55)

C. Rekomendasi

Bahwa pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan di lembaga pemasyarakatan terbukti dapat dimpelmentasikan dengan baik, efektif dan efisien. Atas dasar tersebut, pihak lembaga pemasyarakatan khususnya kepala lapas, para bimpas/fasilitator, dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembinaan hendaknya berkomitmen untuk mengimplementasikan model tersebut sebagai salah satu model bagi pembinaan narapidana khususnya bagi yang beragama Islam di lembaga pemasyarakatan.

Mengingat implementasi pengembangan model ini menunjukkan hasil yang signifikan bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas I Sukamiskin Bandung, maka perlu untuk dikembangkan diberbagai lembaga pemasyarakatan secara lebih luas. Sekaitan dengan hal tersebut direkomendasikan kepada berbagai pihak untuk menindaklanjuti hasil penelitian dan pengembangan ini.

Pertama, kepada kepala lembaga pemasyarakatan berikut jajarannya dalam mengimplementasikan model ini hendaknya memantapkan tekad dan komitmen agar menghasilkan pembinaan narapidana yang memiliki “kesadaran” keterampilan, “kesadaran” menjalankan ajaran agama Islam, “kesadaran” pentingnya hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta “ kesadaran” menaati hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

(56)

perguruan tinggi yang lain. Kerjasama ini untuk membantu sosialisasi model di lembaga pemasyarakatan, sekaligus kemungkinan untuk menjadi tenaga-tenaga ahli di lembaga pemasyarakatan masing-masing.

Ketiga, kepada jurusan/program studi pendidikan luar sekolah (PLS), hendaknya turut aktif memberikan sumbangan ide-ide, konsep atau program yang efektif dan efisien bagi pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan. Misalnya melalui kegiatan penelitian dan pengabdian yang dilakukan oleh para dosen atau melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN), dan lain sebagainya yang dilakukan oleh mahasiswa. Bagi pihak program studi PLS hendaknya mengembangkan berbagai perencanaan strategis pembelajaran yang mampu mempercepat peningkatan kesadaran dan rehabilitas narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Keempat, kepada para bimpas atau fasilitator dalam pengembangan model pembelajaran life skills berbasis pendekatan keagamaan ini senantiasa melibatkan sejumlah narapidana baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi serta melakukan upaya-upaya pengembangan seoptimal mungkin, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan narapidana, sekaligus tuntutan lembaga pemasyarakatan.

(57)
(58)

315

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. (1987). Sosiologi Kriminalitas, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Abdulhak, I. (1995). Metodologi Pembelajaran pada Pendidikan Orang Dewasa,

Bandung : Cipta Intelektual.

Abdullatief, (2006). Perencanaan Sistem Pengajaran PAI, Bandung: Bani Quraisy.

Abdoerraoef. (1970). Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta : Bulan Bintang.

Akademi Ilmu Pemasyarakatan, (2000/2001). The Standard Minimum Rules (SMR), Jakarta: AKIP.

Al Askolany, H. (Tanpa Tahun). Bulughul Maram, Mesir: Al Maktabah Al Tijariyah Al Kubro.

Al-Djamaly, M.F. (1967). Tarbiyah Al Insan Al Jadid; Matbaah Al Ittihad Al Aam Al Tunisiyah Al Syghly.

Al Gozaly, I. (Tanpa Tahun). Ihya Ulumuddin III (Terjemahan), Semarang : Usaha Keluarga.

Alkumayi, S (2005) Kecerdasan 99 Buku II, Bandung : Mizan Publika

An Nawawi, S.M. (Tanpa Tahun). Riyadhus Shalihin, Surabaya : Syirkah Maktabah Ahmad bin Said

Apeldorn, Van L.J. (1954). Inleinding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

Atmasasmita, R. (1984). Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni.

Arifin, M. (2000). Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Arsyad, A. (1997). Media Pengajaran, Jakarta : Raja Grafinfo Persada.

Brookfield, S.D. (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning, San Francisco and London : Jossey - Bass Publisher.

(59)

Bogdan dan Biklen. (1982). Qualitative Research for Education, Boston : Alyn and Bacon.

Bonger, W.A. (1962). Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta : Pustaka Sarjana. Bukhori, I. (1997). Shaheh Al Bukhori, Riyadh : Syarikah Baromij AL Islamiyah

Ad Dauliyah.

Chaedar, A. (2009). Pokoknya Kualitatif, Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

Daradjat, Z. (1985). Kesehatan Mental, Jakarta : PT. Gunung Agung.

Daradjat, Z. dkk. (1996). Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara.

Departemen Agama. (1976). Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Bumi Restu ………… (2000). Pembelajaran yang Efektif, Jakarta : Direktorat Jendral

Kelembagaan Agama Islam.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kesembilan, Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. (2001). Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), Tim Broad Based Education (BBE).

Departemen Kehakiman, (1965). Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan Depkeh Nomor Kp. 10/13/III/1965 tentang Pembinaan Narapidana, Jakarta: Departemen Kehakiman.

………… (1990). Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman.

Dirdjosisworo, S. (1984). Sosio Kriminologi, Bandung: Sinar Baru.

Dimyati dan Mudjiono, (1999). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta.

Elliot, M.A. (1952). Crime in Modern Society, First Edition, New York: Harvper & Brtoher Publisher.

(60)

Gay, L.R. (1987). Educational Research: Competencies for Analysis and Aplication, Third Edition, Colombus Toronto, London and Melbourne: Merril Publishing Company.

Glickman, C.D. (1989). Has Sam and Samantha’s Time Come at Last, Education Leadership.

Goodman, J. (1987). Key Factor in Becoming an Empowerd Elementary School Teacher, A Preliminary Study of Slected Novices Eric Documents.

Harahap, S dan Nasution, H.B. (2003). Ensiklopedi Aqidah Islam, Jakarta : Prenada Media.

Hasan, M.T. (2000). Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta : Listafariska Putra. Ibrahim, M.D. (2005). Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan,

Jakarta: MHMMD Production.

Irwin, R.L. (1995). A Circel of Enpowerment; Women, Education and Leadership,

New York : State University of New York.

Kartasasmita, G. (1995). Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjaun Administrasi, Buletein Alumni SESPA, Edisi Keempat.

Kartono, K. (1981). Hygiene Mental, Bandung : CV. Mandar Maju.

Kindervatter, S. (1979). Nonformal Education as An Empowering Process, Massachusetts : Center for International Education University of Massachusetts.

Kieffer, C.H. (1981). The Emergence of Empowerment; The Development of Participatory Competence Among Individuals

Gambar

Gambar 1.1 Alur Ide-ide Kerangka Dasar Pemikiran
GAMBAR 3.1.
GAMBAR 3.2.

Referensi

Dokumen terkait