Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Peningkatan Komunikasi Ekspresif melalui PECS (Picture Exchange Communication System) pada Anak dengan Autisme di SLB “X” Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain dengan menggunakan PECS.
Subyek penelitian ini adalah 3 orang anak autisme yang berusia antara 9 – 14 tahun, tidak dapat mengungkapkan keinginan / kebutuhannya secara verbal (autis nonverbal), dan memiliki keterampilan motorik halus yang cukup, yaitu dapat mengambil dan menggenggam dengan cukup baik. Alat ukur yang digunakan berupa observasi terhadap setiap fase PECS yang dilakukan kepada subyek penelitian untuk melihat apakah masing-masing anak autis mampu melakukan komunikasi ekspresif pada setiap fase. Validitas alat ukur menggunakan content validity.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain meningkat melalui pemberian PECS. Pemberian reinforcement berupa makanan atau mainan yang disukai anak autis selama pelaksanaan intervensi PECS turut berpengaruh terhadap kemudahan anak autisme dalam mempelajari PECS. Adanya pengulangan yang dilakukan dalam mempelajari PECS menyebabkan perilaku yang diajarkan selama treatment dapat tersimpan dalam long-term memory dan dilakukan kembali.
ABSTRACT
This study entitled Improved Expressive Communication through PECS (Picture Exchange Communication System) in Children with Autism in SLB "X" Bandung. The purpose of this study is to determine the increase in expressive communication in children with autism in SLB "X" Bandung in a way that can be understood others by using PECS.
The subjects of this study are 3 children with autism aged between 9-14 years old, can not disclose the desire / need verbal (autistic nonverbal), and has a sufficient fine motor skills, which can pick up and grasp quite well. Measuring instruments used in the form of observation of each phase of PECS made the subject of a study to see whether each autistic child is able to expressive communicate in every phase. The validity of the measuring instrument using content validity.
The results showed that the expressive communication in children with autism in SLB "X" Bandung in a way that can be understood by others increased through the provision of PECS. The provision of reinforcement in the form of a preferred food or toys of autistic children throughout the intervention PECS helped influence on the ease of children with autism in learning PECS. Repetition is done in studying PECS causes the behavior taught during treatment can be stored in long-term memory and re-do.
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ... ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian ... iii
Lembar Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian ... iv
Abstrak ... iii
Abstract ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... viii
Daftar Bagan ... xiii
Daftar Grafik ... xiv
Daftar Tabel ... xv
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian ... 10
1.3.1 Maksud Penelitian ... 10
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10
1.3.3 Kegunaan Penelitian ... 10
1.3.3.1 Kegunaan Praktis ... 10
1.4 Metodologi Penelitian ... 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Augmentative and Alternative Communication (AAC) ... 12
2.2 Picture Exchange Communication System (PECS) ... 16
2.3 Autisme ... 30
2.3.1 Definisi Autisme ... 30
2.3.2 Kriteria Autism Spectrum Disorder ... 33
2.4 Komunikasi pada Anak Autis ... 35
2.5 Kerangka Pikir ... 41
2.6 Asumsi ... 51
2.7 Hipotesis ... 51
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian/ Rancangan Penelitian ... 52
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 53
3.2.1 Variabel dalam Penelitian ... 53
3.2.2 Definisi Konseptual ... 53
3.2.2.1 Definisi Konseptual Independent Variable ... 53
3.2.2.2 Definisi Konseptual Dependent Variable ... 54
3.2.3 Definisi Operasional ... 54
3.2.3.1 Definisi Operasional Independent Variable ... 54
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
3.3 Pelaksanaan PECS ... 58
3.4 Alat Ukur ... 63
3.4.1 Alat Ukur Komunikasi ... 63
3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 67
3.4.2.1Validitas Alat Ukur ... 67
3.4.2.2Reliabilitas Alat Ukur ... 68
3.5 Populasi Penelitian dan Karakteristik Populasi... 68
3.5.1 Populasi Penelitian ... 68
3.5.2 Karakteristik Populasi ... 68
3.6 Teknik Analisa Data ... 68
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Kasus ... 69
4.1.1 Kasus Subyek 1 ... 69
4.1.1.1Identitas ... 69
4.1.1.2 Keluhan ... 70
4.1.1.3Status Praesens ... 70
4.1.1.4Hasil Penelitian ... 72
4.1.1.4.1 Hasil Pretest ... 72
4.1.1.4.2 Hasil treatment PECS ... 73
4.1.1.4.3 Hasil Posttest 1 ... 79
4.1.1.4.4 Hasil Posttest 2 ... 80
4.1.2 Kasus Subyek 2 ... 82
4.1.2.1Identitas ... 82
4.1.2.2Keluhan ... 82
4.1.2.3Status Praesens ... 83
4.1.2.4Hasil Penelitian ... 84
4.1.2.4.1 Hasil Pretest ... 84
4.1.2.4.2 Hasil treatment PECS ... 85
4.1.2.4.3 Hasil Posttest 1 ... 92
4.1.2.4.4 Hasil Posttest 2 ... 93
4.1.2.4.5 Hasil Posttest 3 ... 94
4.1.3 Kasus Subyek 3 ... 95
4.1.3.1Identitas ... 95
4.1.3.2Keluhan ... 95
4.1.3.3Status Praesens ... 96
4.1.3.4Hasil Penelitian ... 97
4.1.3.4.1 Hasil Pretest ... 97
4.1.3.4.2 Hasil treatment PECS ... 98
4.1.3.4.3 Hasil Posttest 1 ... 109
4.1.3.4.4 Hasil Posttest 2 ... 110
4.1.3.4.5 Hasil Posttest 3 ... 111
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 116
4.2.1 Pembahasan Hasil Penelitian Subyek 1 ... 116
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
4.2.3 Pembahasan Hasil Penelitian Subyek 3 ... 124
4.2.4 Perbandingan Hasil 3 Subyek ... 127
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 130
5.2 Saran ... 130
5.2.1 Saran Teoritis ... 130
5.2.2 Saran Praktis ... 131
Daftar Pustaka
Daftar Rujukan
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rancangan pelaksanaan PECS ... 60
Tabel 3.2 Panduan observasi pre-test mengenai komunikasi ekspresif anak autis... 64
Tabel 3.3 Panduan observasi post-test mengenai komunikasi ekspresif anak autis... 65
Tabel 4.1 Hasil Pre-test Subyek 1 ... 72
Tabel 4.2 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 1... 73
Tabel 4.3 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 1 ... 74
Tabel 4.4 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 1 ... 75
Tabel 4.5 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 1 ... 76
Tabel 4.6 Hasil Treatment PECS fase 5 Subyek 1 ... 77
Tabel 4.7 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 1 ... 78
Tabel 4.8 Hasil Post-test 1 Subyek 1 ... 79
Tabel 4.9 Hasil Post-test 2 Subyek 1 ... 80
Tabel 4.10 Hasil Post-test 3 Subyek 1 ... 81
Tabel 4.11 Hasil Pre-test Subyek 2 ... 84
Tabel 4.12 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 2 ... 85
Tabel 4.13 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 2 ... 86
Tabel 4.14 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 2 ... 87
Tabel 4.15 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 2 ... 88
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
Tabel 4.17 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 2 ... 90
Tabel 4.18 Hasil Post-test 1 Subyek 2 ... 92
Tabel 4.19 Hasil Post-test 2 Subyek 2 ... 93
Tabel 4.20 Hasil Post-test 3 Subyek 2 ... 94
Tabel 4.21 Hasil Pre-test Subyek 3 ... 97
Tabel 4.22 Hasil Treatment PECS fase 1 Subyek 3 ... 98
Tabel 4.23 Hasil Treatment PECS fase 2 Subyek 3 ... 102
Tabel 4.24 Hasil Treatment PECS fase 3 Subyek 3 ...102
Tabel 4.25 Hasil Treatment PECS fase 4 Subyek 3 ... 104
Tabel 4.26 Hasil Treatment PECS fase 5 Subyek 3 ... 106
Tabel 4.27 Hasil Treatment PECS fase 6 Subyek 3 ... 108
Tabel 4.28 Hasil Post-test 1 Subyek 3 ... 109
Tabel 4.29 Hasil Post-test 2 Subyek 3 ... 110
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Pikir ... 50
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Marnatha
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Hasil Pelaksanaan Setiap Fase PECS pada Ketiga Subyek ... 112
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu)
Lampiran A1 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) A
Lampiran A2 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) S
Lampiran A3 Hasil Heteroanamnesa terhadap Orangtua (Ibu) Z
Lampiran B Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru
Lampiran B1 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru A
Lampiran B2 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru S
Lampiran B3 Hasil Heteroanamnesa terhadap Guru Z
Lampiran C Hasil Observasi
Lampiran C1 Hasil Observasi A
Lampiran C2 Hasil Observasi S
Lampiran C3 Hasil Observasi Z
1
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Saat ini, jumlah kasus autisme mengalami peningkatan yang signifikan di
seluruh dunia. Pada awal tahun 1990-an, jumlah penyandang autisme diperkirakan
sekitar 4-6 per 10.000 kelahiran. Mendekati tahun 2000 angka ini mencapai 15-20
per 10.000 kelahiran. Data pada tahun 2000, angka ini meningkat drastis yaitu
sekitar 60 per 10.000 kelahiran atau 1 : 250 anak. Jumlah penduduk di Indonesia
lebih dari 237,5 juta (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar
1,14% sehingga diperkirakan jumlah penyandang autisme di Indonesia sekitar 2,4
juta orang, dan bertambah sekitar 500 orang penyandang baru tiap tahunnya.
Jumlah penyandang autisme dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan, dengan perbandingan 4:1 (Dr. Rudy Sutadi, Sp.A, MARS,
S.Pd.I. dalam Kompasiana, 2011).
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif (PDD – Pervasive Development Disorder) yang ditandai
oleh kelainan dalam perkembangan keterampilan sosial dan komunikasi timbal
balik, perkembangan bahasa yang abnormal, serta tingkah laku dan minat yang
terbatas. Menurut DSM V, kriteria autisme adalah hambatan dalam komunikasi
dan interaksi sosial, misalnya kurang dapat memulai atau merespon interaksi
2
minat terhadap teman sebaya, dan adanya pola tingkah laku, minat, atau aktivitas
yang berulang-ulang.
Anak autis biasanya bergantung pada bentuk komunikasi yang primitif, seperti
menarik tangan ibu untuk mengarahkan pada hal yang diinginkan. Kesulitan
utama anak dengan autisme untuk mengembangkan bahasa bukanlah suara,
kata-kata, dan tata bahasa atau arti suatu kata-kata, melainkan dalam penggunaan bahasa
dalam konteks sosial dan komunikatif yang tepat. Kurangnya kemampuan ini
menyebabkan anak autis memiliki kesulitan untuk menyesuaikan bahasa mereka
dengan situasi (Mash & Wolfe, 2005). Anak dengan autisme cenderung
mengandalkan sebuah kata untuk menentukan arti sebuah kalimat (Mash &
Barkley, 2003).
Apabila anak autis kurang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, mereka
akan mengalami kesulitan dalam perolehan bahasa, membangun relasi sosial, dan
mencapai target dalam pendidikan (Light, Collier, & Parnes, 1985 dalam Mirenda
& Iacono, 2009). Selain itu, tanpa komunikasi anak autis seringkali mengalami
masalah perilaku, seperti menyakiti diri sendiri, sebagai respon terhadap frustrasi
akibat ketidakmampuannya untuk berkomunikasi (National Research Council,
2001 dalam Mirenda & Iacono, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang praktisi yang bekerja di salah
satu rumah sakit ibu dan anak yang bernama Kang Ga Liedia Ayu, M.Psi.,
Psikolog, anak autis mengalami hambatan dalam kemampuan pragmatiknya, yaitu
hambatan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks yang tepat.
3
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
sulit untuk mengungkapkan keinginannya pada orang lain sehingga biasanya
mereka menunjuk pada hal yang diinginkan. Jika mereka tidak dapat
mengutarakan keinginannya atau orang lain tidak memahami keinginannya,
mereka menjadi marah, kesal, atau bahkan tantrum sebagai ungkapan
kefrustrasiannya.
Tidak semua anak autis dapat berbahasa verbal bahkan ada yang hanya dapat
berbahasa nonverbal hingga dewasa. Sebagian anak autis tidak berbicara
(nonverbal) atau sedikit bicara sampai usia dewasa. Oleh karenanya tidak
mengherankan jika sebagian besar anak autis mengalami kesulitan dalam
menggunakan bahasa dan berbicara sehingga mereka sulit untuk melakukan
komunikasi dengan orang lain. Sedangkan anak autis nonverbal adalah anak autis
yang tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa atau berbicara (Lenawaty, 2010).
Menurut Sattler (2002), anak autis jarang dapat memperoleh bahasa jika ia belum
melakukannya pada usia 6 tahun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang expert di bidang Psikologi
Klinis Anak, Dr. Yuspendi, M.Pd., M.Psi., Psikolog, anak autis terbagi 2 jenis,
yaitu non-verbal dan verbal. Anak autis memiliki hambatan dalam
komunikasinya, antara lain echolalia dan bahasa yang rigid. Mereka kurang dapat
melakukan interaksi dua arah dengan orang lain. Ketika orang lain bertanya pada
anak autis, seringkali mereka tidak menjawab yang disebabkan oleh 2
kemungkinan, yaitu kurang memiliki motivasi untuk berbicara dan mereka tidak
paham yang dikatakan orang lain karena mungkin perkataan tersebut berbeda dari
4
lebih sering menggunakan gesture atau menarik tangan orang dewasa ke arah
yang diinginkan. Hal ini diperkuat juga oleh perlakuan lingkungan yang seringkali
selalu menyediakan keperluan anak tanpa ada inisiatif dari anak untuk
mengungkapkan keinginannya.
Berdasarkan wawancara dengan seorang praktisi yang bekerja pada klinik
tumbuh kembang anak yang bernama Stefanie P., M. Psi., Psikolog, diketahui
bahwa seorang anak autis dikatakan nonverbal jika pada usia 7 tahun anak autis
tersebut belum dapat berbicara. Anak autis tersebut dapat bersuara, namun tidak
dapat mengucapkan kata apapun. Hal ini beliau ketahui dari informasi yang
diperolehnya dari seorang dokter yang bekerja sama dengannya di klinik tumbuh
kembang anak.
Anak autis nonverbal memiliki hambatan untuk berkomunikasi secara verbal
sehingga anak autis seringkali mengalami frustrasi karena
kebutuhan-kebutuhannya tidak dapat terpenuhi. Anak autis tidak dapat mengutarakan apa
yang diinginkan dan tidak diinginkan, mereka tidak dapat mengekspresikan diri
sehingga bertindak atau berperilaku negatif untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Perilaku negatif yang muncul misalnya marah-marah tanpa sebab
yang jelas, temper tantrum, menyerang atau merusak, bahkan menyakiti dirinya
sendiri (Lenawaty, 2010). Oleh karena itu, anak autis nonverbal memerlukan
intervensi yang dapat membantunya untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Peneliti melakukan wawancara awal kepada 3 orangtua yang memiliki anak
autis nonverbal yang bersekolah di SLB “X” dan wali kelas yang mengajar
5
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
mendapatkan keterangan bahwa Z (laki-laki, 10 tahun) didiagnosa autis ketika
berusia 3 tahun. Z sempat mengikuti terapi wicara tak lama setelah didiagnosa
autis. Namun karena Z belum dapat memfokuskan perhatiannya, terapi wicara pun
dihentikan. Z termasuk anak autis nonverbal karena hingga kini ia belum dapat
berbicara. Ia hanya dapat mengatakan “aaaa....” Z dapat memahami instruksi yang
sangat sederhana, seperti memberi salam dan mengambil benda yang spesifik. Z
jarang mengungkapkan keinginannya kepada orang lain, baik di rumah maupun di
sekolah. Ketika Z menginginkan sesuatu di rumah, biasanya ia mendekati orang
lain tanpa menunjuk ke arah sesuatu yang diinginkan sehingga orang lain
seringkali menebak-nebak maksud Z. Saat terjadi sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan Z, maka ia akan merengek dan memukul wajahnya. Jika sudah
demikian, orangtua baru menyadari ada sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginan Z. Orangtua Z merasa kesulitan untuk memahami keinginan anaknya
karena Z tidak mengutarakan keinginannya secara jelas.
S (perempuan, 13 tahun) didiagnosa autis saat berusia 3 tahun. S termasuk
anak autis nonverbal karena sejak kecil ia tidak dapat berbicara dan mengucapkan
kata. S sering menggumam. S cukup dapat memahami instruksi sederhana, seperti
mengambil barang, mencuci tangan, mematikan/menyalakan lampu. Di sekolah
ketika S tidak dapat mengerjakan sesuatu, ia menarik tangan gurunya ke arah
yang ia maksud. Ketika ada sesuatu yang tidak S suka, biasanya S akan menarik
baju atau mencakar orang lain yang ada di dekatnya. Ketika S menginginkan
sesuatu di rumah, ia mencolek ibunya kemudian berjalan ke arah yang diinginkan
6
S inginkan, S akan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai sambil sesekali
memukul kepalanya. Terkadang S pun memunculkan perilaku demikian secara
tiba-tiba, kemudian ibu menebak yang diinginkan oleh S.
A (laki-laki, 9 tahun) didiagnosa autis saat berusia 2 tahun. Di sekolah A
mengikuti bina bicara dimana dalam bina bicara daerah sekitar mulut A dipijat
dan A dilatih untuk mengeluarkan lidahnya. A termasuk anak autis nonverbal
karena ia tidak dapat berbicara. A sering mengatakan “bii....” tanpa ada maksud
yang jelas. A dapat memahami instruksi yang sangat sederhana, seperti memberi
salam dan mengambil barang yang familiar baginya. Ketika A menginginkan
sesuatu di sekolah, ia mendekati gurunya dan menunjuk ke arah yang ia inginkan.
Sedangkan di rumah ketika A ingin orang lain melakukan sesuatu untuknya, ia
memberikan benda/makanan tersebut kepada orang lain. Misalnya ketika ia
meminta orang lain untuk membukakan minuman kemasan untuknya. Terkadang
A tiba-tiba menangis ketika ia menginginkan sesuatu. Ibunya menebak-nebak apa
yang diinginkan A. Jika yang diberikan ibu tidak sesuai dengan keinginan A, A
akan memukul kepalanya, menangis, atau berguling-guling di lantai.
Dari hasil survei awal terhadap orangtua dan observasi perilaku anak di dalam
kelas, dapat disimpulkan bahwa ketiga anak autis tersebut termasuk anak autis
nonverbal dimana mereka tidak dapat berbicara. Mereka cukup dapat memahami
dan melakukan instruksi yang sangat sederhana. Namun, mereka memiliki
hambatan dalam melakukan komunikasi secara verbal. Mereka mengungkapkan
keinginannya dengan cara menunjuk, menarik tangan orang dewasa ke arah yang
7
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
maksud yang disampaikan mereka sehingga cenderung menebak-nebak keinginan
anak. Jika orang dewasa tidak melakukan yang diinginkan anak autis, mereka
akan memunculkan perilaku yang mengganggu seperti menangis atau memukul
kepalanya sendiri. Oleh karena itu anak autis yang mengalami hambatan dalam
melakukan komunikasi perlu diberikan penanganan yang tepat.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengajarkan komunikasi pada
anak autis adalah dengan memberikan AAC (Augmentative and Alternative
Communication). AAC meliputi semua bentuk komunikasi (selain komunikasi lisan) yang digunakan untuk mengekspresikan pemikiran, kebutuhan, keinginan,
dan ide (American Speech-Language-Hearing Association, 2014). Teknik AAC
dapat berupa unaided, yaitu teknik yang tidak memerlukan peralatan di luar
tubuh, dan aided, yaitu teknik yang menggunakan perangkat eksternal (seperti
buku komunikasi) dan melibatkan penggunaan benda nyata atau simbol grafis
seperti foto, garis, huruf, dan kata-kata tertulis. Teknik aided dapat menggunakan
low-tech berupa gambar tunggal atau simbol pada kartu atau serangkaian gambar yang dicetak maupun high-tech berupa perangkat canggih, meliputi perangkat
komputerisasi yang ditujukan untuk tujuan komunikasi, seperti komputer tablet
dan aplikasi komunikasi pada smart phone (Light et al, 1998). Menurut beberapa
peneliti, AAC (terutama simbol grafik) sangat cocok bagi individu dengan
autisme karena AAC memungkinkan bahasa ditampilkan dalam bentuk visual
yang statis dan dapat diprediksi, serta meminimalkan kebutuhan gerakan motorik
yang kompleks dan perencanaan motorik (National Research Council dalam
8
mengajarkan anak autis berkomunikasi adalah PECS (Picture Exchange
Communication System).
PECS termasuk salah satu AAC aided dengan menggunakan low-tech. PECS
berupa gambar atau simbol yang digunakan oleh anak autis untuk berkomunikasi.
Dalam PECS, anak autis memberikan gambar kepada communicative partner
untuk meminta, mengomentari, menjawab pertanyaan, atau terlibat dalam
percakapan. PECS didasarkan atas applied behavior analysis (ABA) dan
dirancang secara khusus untuk mengatasi kesulitan dalam berkomunikasi pada
anak dengan autisme dengan mendorong anak untuk menjadi pemrakarsa
komunikasi (Malhotra, et at., 2010). PECS menggunakan prinsip dasar behavioral
seperti shaping dan reinforcement untuk mengajarkan komunikasi fungsional
dengan menggunakan gambar (Charlop-Christy, et al., 2002).
PECS merupakan salah satu pendekatan yang populer untuk mengajarkan anak
autisme berkomunikasi dengan menggunakan simbol grafis visual (Mirenda &
Iacono, 2009:7). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, PECS
dapat meningkatkan komunikasi pada anak dengan autisme. Charlop-Christy, et al
melakukan penelitian mengenai PECS pada 3 orang anak autis yang berusia 3 –
12 tahun yang tidak berbicara atau jarang berbicara. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa PECS dapat meningkatkan kemampuan untuk berbicara
secara spontan dan menirukan kata (Charlop-Christy, et al, 2002). Selain itu,
penelitian lain dilakukan oleh Rahmaya Nova Handayani dan Murniati (2014) di
sebuah SD di Purbalingga. Kedua peneliti tersebut memberikan intervensi berupa
9
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
reseptif dan ekspresifnya. Penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan
pretest-posttest control group design. Intervensi dilakukan tiga kali dalam satu minggu dengan waktu 20 - 30 menit selama 2 bulan. Hasil yang diperoleh adalah
adanya perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan bahasa reseptif dan
ekspresif pada anak dengan autisme yang diberikan dan tidak diberikan intervensi
PECS. Selain itu, kemampuan bahasa reseptif dan ekspresifnya juga mengalami
peningkatan apabila dibandingkan dengan sebelum diberikan intervensi. Namun,
pada penelitian ini tidak disebutkan sampel yang digunakan apakah anak autis
verbal atau nonverbal dan kemampuan bahasa ekspresif yang dimaksud, apakah
melalui gambar atau verbal. Selain kedua penelitian tersebut, yang membuat
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai peningkatan komunikasi
ekspresif melalui pemberian PECS pada anak dengan autisme di SLB “X”
Bandung adalah SLB “X” belum pernah menerapkan PECS sehingga peneliti
ingin mengetahui apakah penggunaan PECS juga akan meningkatkan komunikasi
ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung.
Berdasarkan fakta dari lapangan yaitu adanya keterbatasan anak autis untuk
berkomunikasi secara verbal serta adanya harapan dari orangtua yang
menginginkan anaknya dapat berkomunikasi, khususnya dapat mengutarakan
keinginannya kepada orang lain, hal ini mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif melalui
10
1.2. Rumusan Masalah
Apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif melalui PECS pada anak
dengan autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain.
1.3. Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian
Untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan
autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui peningkatan komunikasi ekspresif pada anak dengan
autisme di SLB “X” Bandung dalam cara yang dapat dipahami orang lain dengan
menggunakan PECS.
1.3.3. Kegunaan Penelitian 1) Kegunaan Praktis
Memberikan masukan bagi SLB “X” berkaitan dengan penggunaan PECS
yang diberikan pada anak dengan autisme untuk meningkatkan
komunikasi ekspresif, khususnya pengungkapan keinginan yang dapat
dipahami orang lain.
Memberikan informasi, pemahaman, dan keterampilan mengenai
penggunaan PECS kepada orangtua dengan harapan dapat membantu
mereka mendidik anak-anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus
11
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Memberikan informasi bagi para praktisi dan terapis dalam bidang
Psikologi Klinis Anak mengenai kelebihan dan kekurangan PECS untuk
meningkatkan komunikasi ekspresif, khususnya pengungkapan keinginan
pada anak autis.
2) Kegunaan Teoretis
Memberikan sumbangan bagi pengembangan Psikologi Klinis Anak dalam
meningkatkan komunikasi ekspresif pada anak berkebutuhan khusus,
terutama bagi anak autis.
1.4. Metodologi
Penelitian ini berupa studi kasus dengan time-series design, dimana treatment
PECS diberikan pada waktu yang ditentukan pada anak autis yang berusia 9 – 13
tahun. Pada penelitian ini akan dilakukan pretest, pemberian treatment PECS, dan
posttest sebanyak 3 kali. Posttest 1 akan dilakukan setelah treatment PECS diberikan. Sedangkan posttest 2 dan 3 akan dilakukan setiap 1 minggu setelah
posttest 1 dilakukan. Kemudian hasil pretest dan posttest 1, 2, dan 3 akan dibandingkan untuk melihat apakah terdapat peningkatan komunikasi ekspresif
130
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui pengolahan data Peningkatan
Komunikasi Ekspresif melalui PECS pada Anak dengan Autisme di SLB “X”
Bandung, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Komunikasi ekspresif pada anak dengan autisme di SLB “X” Bandung
dalam cara yang dapat dipahami oleh orang lain meningkat melalui
pemberian PECS.
2. Reinforcement berupa makanan atau mainan yang disukai anak autis turut berpengaruh terhadap kemudahan anak autisme dalam mempelajari PECS.
3. Pengulangan yang dilakukan dalam mempelajari PECS menyebabkan
perilaku yang diajarkan selama treatment dapat tersimpan dalam long-term
memory dan dilakukan kembali.
5.2 Saran
Berdasarkan pembahasan hasil yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya,
dapat diajukan beberapa saran, yaitu:
5.2.1 Saran Teoritis
Untuk peneliti yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut disarankan:
1. Untuk mengontrol confounding variable pada responden, seperti tingkat
131
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
2. Untuk memastikan reinforcement yang digunakan efektif bagi subyek
penelitian.
5.2.2 Saran Praktis
1. Untuk SLB “X”, teknik PECS dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
diberikan kepada anak autisme guna memfasilitasi anak autisme dalam
melakukan komunikasi agar dapat dipahami oleh orang lain. Selain itu,
pihak SLB “X” juga dapat memberikan pelatihan mengenai PECS bagi
orangtua yang memiliki anak autisme yang terhambat dalam
berkomunikasi secara verbal agar orangtua dapat mengajarkan anak
mereka menggunakan PECS sebagai media untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
2. Untuk terapis atau praktisi yang menangani anak dengan autisme, teknik
PECS dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk memfasilitasi
anak autisme, khususnya anak autisme non verbal, dalam melakukan
komunikasi dengan orang lain sehingga maksud yang hendak disampaikan
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. USA: APA.
Charlop-Christy, Marjorie H., Carpenter, Michael and Le, Loc., Leblanc, Linda
A., and Kellet, Kristen, 2002. Using The Picture Exchange Communication
System (PECS) with Children With Autism: Assessment of PECS Acquisition,
Speech, Social-communicative Behavior, and Problem Behavior. Journal of
Applied Behavior Analysis. [7 November 2014]
Cherry, K. A. 2005. Operant conditioning. [12 Januari 2015]
Collet-Klingenberg, L. (2008). PECS: Steps for implementation. Madison, WI:
The National Professional Development Center on Autism Spectrum
Disorders, The Waisman Center, The University of Wisconsin.
Coyne, David. 2014. Augmentative and Alternative Communication (AAC):
Guidelines for Speech Pathologists who Support People with a Disability. [14 Desember 2014]
Duffy, 2011. Spontaneous communication in autism spectrum disorder: A review
of topographies and interventions. Research in Autism Spectrum Disorders 5.
[14 Desember 2014]
Ganz, Jennifer B. Simpson, Richard L. Effects on Communicative Requesting and
Speech Development of the Picture Exchange Communication System in
Children With Characteristics of Autism. Journal of Autism and
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Graziano, Anthony M. Raulin, Michael L. 2000. Research Methods: A Process of
Inquiry. USA: Allyn & Bacon A Pearson Education Company.
Kai-Chien Tien, 2008. Effectiveness of the Picture Exchange Communication
System as a Functional Communication Intervention for Individuals with Autism Spectrum Disorders: A Practice-Based Research Synthesis. Education and Training in Developmental Disabilities. [23 Oktober 2014]
Lenawaty, Veva. 2010. Efek Penerapan Compic terhadap Kemampuan
Komunikasi Anak Autis nonverbal. Jakarta: Universitas Tarumanegara.
Maddeppungeng, Martira. Soedjatmiko. 2007. Penilaian Early Language
Milestone Scale 2 (Elm Scale 2) Pada Anak dengan Keterlambatan Bicara. Sari
Pediatri, Volume 9, No. 2. [14 Januari 2015]
Malhotra, Shahzadi. Rajender, Gaurav. Bhatia, Manjeet S. Singh, Tej B., 2010.
Effects of Picture Exchange Communication System on Communication and
Behavioral Anomalies in Autism. Indian Journal Psychological Medicine. [17
November 2014]
Mash, Eric J. 1996. Child Psychopatology. New York: The Guilford Press.
Mash, Eric J. Barkley, Russell A. 2003. Child Psychopathology. 2nd edition. New
York: The Guilford Press.
Mash, Eric J. Wolfe, David A. 2005. Abnormal Child Psychlogy. 3rd
edition.USA: Wadsworth.
Mirenda, Pat. Iacono, Teresa. 2009. Autism Spectrum Disorder and AAC. USA:
Paul, Rhea , Ph.D., Prof. Yale Child Study Center. 2008. Interventions to Improve
Communication. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. [31 November 2014] Rafika, Pungky. 2012. Pemanfaatan Lambang dalam Kegiatan Belajar Anak
Autistik. Jurnal Communicare. Vol. 5 No. 1. [1 Desember 2014]
Ringdahl, Joel E. Kopelman, Todd. Falcomata, Terry S. 2009. Applied Behavior
Analysis and Its Application to Autism. Applied Behavior Analysis for Children with Autism Spectrum Disorders and Autism Related Disorders.
(Diakses pada tanggal 1 Desember 2014)
Sattler, Jerome M. 2002. Assessment of Children. 4th edition. California: Jerome
M. Sattler, Publisher, Inc.
Sibarani, RMH. 2014. Perbandingan Akurasi Diagnostik antara Cognitive
Performance Scale dan Mini Mental State Examination terhadap General Practioner Assessment of Cognition untuk Menilai Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.
Adam Malik.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
Wenar, Charles. Kerig, Patricia. 2011. Developmental Psychopathology: From
Infancy Through Adolescence. 5th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology. 9th edition. USA: Pearson
Education,Inc.
Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR RUJUKAN
http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/08/16/epidemiologi-autisme-388566.html [25 Agustus 2014]
Handayani, R.N. Murniati. 2014. Pengaruh Terapi Visual Teknik Picture
Exchange Communicatioin (PECS) terhadap Kemampuan Bahasa Reseptif dan Ekspresif pada Anak Autisme di SD Purba Adhi Suta Purbalingga. Semarang: