Studi Karat di Kalurahan Utan PanJang
Kacamatan Kamayoran Jakarta Pusat, Suatu Upaya
Pancarian Altarnatlf Modal Pangantasan Kamkkman
Dalam Parapakttf Pandfctfkan Umum
TESIS
Diajukan sabagal salah satu syarat
bag! parolahan galar Magistar Panrfidfflran
Bldang Studi Pandktfkan Umum
Olah Maaruktil
NDvf 9232 071/XXIV-16
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BANDUNG
TESIS INI DIBIMBING OLEH
Pembimbing II, Pembimbing T,
^ "^
berawal dari
parameter
ekonomi,
pada akhirnya menjadi
masalah yang kompleks.
Dia
melahirkan
budaya
tersendiri
sebagai refleksi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Kebuda-yaan kemiskinan ini begitu kental dengan masyarakat miskin.
sehingga keberadaannya menoadi
referensi
bagi
aktifitas-aktifitas mereka dalam berbagai bidang kehidupan.
Penelitian ini
mengungkap
moralitas
orang
miskin
perkotaan di Kelurahan
Utan
Panjang Kecamatan
Kemayoran
Jakarta Pusat, sebagai
upaya pencarian
alternatif model
pengentasan kemiskinan yang berperspektif Pendidikan
Umum.
Selain
itu hasil
penelitian
ini pun diharapkan dapat
memberikan alternatif pengembangan
perkuliahan
Pendidikan
Umum di Perguruan Tinggi,
dalam upaya menumbuhkembangkan
kepedulian sosial mahasiswa.
Moralitas merupakan salah
satu
aspek
kehidupan
orang miskin yang tercoraki oleh budaya kemiskinan.Meneliti
moralitas
berarti
meneliti
pengejawantahannya,
yaitu
perilaku mereka sehari-hari
beserta dengan
pertimbangan-pertimbangannya, meliputi perilaku dirinya sebagai makhluk
individu. makhluk sosial. dan makhluk Tuhan.
Selain
itu.
penelitian ini pun mengungkap pola pendidikan moral yang
ter.iadi di
lingkungan
keluarga
orang
miskin
perkotaan.
Perolehan informasi tentang moralitas mereka merupakan
hal
penting. sebagai pertimbangan terhadap pencarian alternatif
model pengentasan dalam perspektif Pendidikan Umum.
Karena
moralitas
berkenaan dengan
seluruh aspek
kehidupan manusia baik yang
teramati maupun
tidak,
maka
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
naturalistik.
dipertanggungjawabkan
secara
akademik,
proses
dilakukan
sesuai dengan tradisi naturalistik
yang
memadukan
proses
emic dengan proses etic.
Hasil
penelitian
menun.jukkan
bahwa
orang
miskin
perkotaan memiliki karakteristik moralitas
yang
cenderung
antipodi terhadap pembangunan. baik
dalam
posisi
dirinya
sebagai makhluk individu, makhluk
sosial.
maupun
makhluk
Tuhan. Selain
itu
terungkap
pula
indikasi
bahwa
orang
miskin perkotaan kurang memberikan
perhatian
yang
serius
terhadap pendidikan
moral
bagi
anaknya
di
lingkungan
keluarga.
Lebih
jauh
terungkap,
bahwa
karakteristik
moralitas mereka serta terabaikannya pendidikan moral
bagi
anak, adalah adalah sebagai imbas dari kebudayaan mereka.
Disimpulkan bahwa kebudayaan
kemiskinan
memberikan
warna secara dominan terhadap moralitas masyarakat miskin.
Karena budaya
ini
mengandung
nilai-nilai
yang
antipodi
terhadap pembangunan.
menjadikan
moralitas
mereka
tidak
selaras dengan moralitas pembangunan.
Implikasinya
adalah
upaya pengentasan kemiskinan
harus
pula
menyentuh
aspek
moralitas mereka tidak sekedar aspek ekonomi.
Akhirnya
penelitian
ini
merekomendasikan
model
pengentasan kemiskinan
yang
mengorientasikan
pada
upaya
memanusiawikan kembali
orang-orang
miskin
sesuai
dengan
fitrah penciptaan manusia. untuk menatap masa depan
secara
optimis. serta menemukan jati dirinya sebagai makhluk
yang
mulia (insan kamil). Operasionalisasinya melibatkan seluruh
sumber daya yang ada di Kelurahan Utan Panjang. Bagi pengem
bangan perkuliahan Pendidikan Umum diPerguruan Tinggi.
di-rekomendasikan pula agar disa.iikan realitas kemiskinan yang
bersifat problematik.kontekstual.dan
aktual.dengan
metode
perkuliahan yang
berkarakteristikkan
affective
oriented,
dalam rangka menumbuhkembangkan kepedulian sosial mahasiswa
ABSTRAK
1
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR ISI
v n
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB
I PENDAHULUAN
1
A. Dasar Pemikiran
1
B. Latar Belakang Masalah
13
C Masalah Utama Penelitian 18
D. Fokus Penelitian 23
E. Tu.iuan Penelitian 25
F. Manfaat Penelitian 26
BAB
II
MORALITAS DAN KEMISKINAN
29
A. Kajian tentang Moralitas 29
1.Moralitas dan Kompleksitasnya ... 29
2.Aspek-aspek Moralitas 40
3.Kedudukan Moralitas dalam Pendidik
an Umum 50
4.Pendidikan Moral dalam Keluarga 60
B. Kajian tentang Kemiskinan 76
l.Definisi dan Karakteristik
Kemiskin-an 76
2.Beberapa Teori Kemiskinan 81
3.Kemiskinan di Perkotaan 84
4.Kebudayaan Kemiskinan 87
BAB III PROSEDUR PENELITIAN 92
A. Pendekatan dan Metode Penelitian 92
B. Paradigma Penelitian 34
C. Sumber Data dan Responden 99
D. Instrumen Penelitian 101
E. Pengumpulan Data 105
F. Analisis dan Interpretasi Data 110
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 114
A. Hasil Penelitian 114
l.Gambaran Umum Kelurahan Utan Panjang .. 114
2.Identitas Responden 141
3.Moralitas Orang Miskin Perkotaan 149
B. Pembahasan Hasil Penelitian 205
l.Pola Kehidupan Orang Miskin Perkotaan.. 205
2.Moralitas Orang Miskin Perkotaan • 209
3.Pendidikan dalam Keluarga Orang Mis
kin Perkotaan 219
BAB V RESIMPULAN. IMPLIKASI. DAN REKOMENDASI 225
A. Kesimpulan 225
B. Implikasi 229
C. Rekomendasi 232
DAFTAR PUSTAKA • 241
IDENTITAS PENELITI 246
Tabel 1 Struktur Penduduk dan Penyebarannya 121
Tabel 2 Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Pen
didikan 122
Tabel 3 Struktur Penduduk Berdasarkan Mata
Penca-harian 123
Gambar 1 Denah Kelurahan Utan Panjang Kecamatan
Kemayoran Jakarta Pusat 118
Gambar 2 Struktur Organisasi Kelurahan Utan Panjang
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Proses pembangunan membutuhkan daya dukung yang
maksimal dari berbagai aspek, karena pada dasarnya
keberhasilan pembangunan merupakan resultante dari suatu
proses yang melibatkan banyak variabel terkait, baik fisik
maupun psikhis, material maupun spiritual, lokal maupun
nasional. Dalam kacamata budaya setidaknya ada empat
faktor dasar yang merupakan modal dalam proses
pembangunan, yaitu anthropos, oikos, teknos, dan ethos
(Poespowardojo, 1993:13).
Anthropos yang berarti manusia merupakan variabel
determinan dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan
kekhasan dan keistimewaan manusia itu sendiri dari makhluk
ciptaan Tuhan lainnya, yaitu mempunyai kemampuan yang
kreatif dalam mengolah dan memanfaatkan dunianya secara
manusiawi. Memang manusia hadir di dunia ini tidaklah
dengan sendirinya menjadi makhluk yang paripurna,
melainkan merupakan sosok yang sedang menjadi dengan cara
melakukan aktualisasi diri dan memberikan nilai
manusia tidak
saja
bertindak
sebagai
faktor
pendukung
melainkan lebih jauh sebagai pencipta dan sekaligus tujuan
dari pembangunan itu sendiri.
Selanjutnya adalah oikos yang berarti lingkungan.
Lingkungan di sini tidak sekedar berarti tempat dimana
manusia melakoni kelangsungan hidupnya, melainkan lebih merupakan lebenswelt atau medan yang di dalamnya manusia
berjuang untuk hidup melalui karya dan aktifitasnya.
Melalui lingkungan inilah manusia melakukan proses
pembudayaan sehingga pada akhirnya menjadikan dirinya
sebagai makhluk yang berbudaya. Oleh karena itu, atas
dasar hubungan yang intira antara manusia dengan
lingkungannya itulah, maka memelihara dan menjaga
lingkungan alam demi keselamatan dan kesejahteraan hidup
masyarakat, merupakan tuntutan moral yang berumberkan pada
suara hati nurani.
Faktor ketiga adalah teknos yang berarti alat. Alat
ini merupakan perpanjangan tangan manusia dalam mengolah
alam. Dengan kata lain alat ini mengatasi keterbatasan
fisik manusia dalam membudayakan alam untuk kepentingan
dan kesejahteraan hidupnya. Tingkat perkembangan tekne ini
mencerminkan perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri.
Bahkan Franklin menyebut manusia
sebagai
a
tool
making
digunakan untuk mengkaryakan dunianya.
Faktor keempat adalah ethnos yang berarti
komunitas, yaitu proses dan hasil interaksi dari para
individu anggota masyarakat. Faktor ethnos ini pun penting
mengingat bahwa kebermaknaan karya dan kreatifitas dari setiap orang akan terwujud manakala dikomunikasikan dan
diartikulasikan dalam jalinan dinamika komunitas, dan yang
pada gilirannya akan dijadikan sebagai milik bersama.
Itulah
sebabnya
keberhasilan-keberhasilan
yang
dicapai
melalui proses pembangunan harus dapat dirasakan dan dilestarikan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dari keempat faktor dasar pembangunan tersebut,
yang paling menentukan dari semuanya adalah manusia atau
yang dikenal sebagai sumber daya manusia. Manusia
merupakan perencana, pelaksana, dan tujuan dari
pembangunan itu sendiri. Hal ini terkait dengan potensi
kemanusiaan secara kodrati, yaitu mampu merasa,
berkehendak, berpikir, berimajinasi, berkreasi, berkarya;
tentang kehidupan pada taraf yang paling kompleks serta
dalam jangkauan ruang dan waktu yang panjang.
Referensi yang paling otentik tentang hal tersebut
adalah agama, misalnya Agama Islam (agama yang penulis
peluk). Di dalam Al Quran dikatakan bahwa kehadiran
dimanfaatkan untuk mengelola alam, serta menjadi khalifah
di muka bumi ini (QS, 2:30). Morteza Mutahhari
menggambarkan keunggulan manusia dalam empat dimensi
<Dawam Rahardjo,1985:126). Pertama bahwa manusia saja yang
memiliki pengenalan terhadap diri dan lingkungan, kedua,
manusia memiliki keinginan-keinginan yang menguasai
manusia itu sendiri, ketiga, adanya tingkat dimana manusia dipengaruhi oleh keinginan-keinginan tersebut,
serta keempat, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan
pilihan. Keunggulan-keunggulan itulah yang mengantarkan
manusia pada posisi khalifah di muka bumi.
Karakteristik sumber daya manusia yang dibutuhkan
oleh proses pembangunan nasional sudah tentu adalah
manusia yang berkualitas. Kualitas di sini tidak sekedar
menunjuk kepada karakteristik penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan menunjuk pula pada karakteristik mentalitas. Mentalitas ini berkenaan dengan sifat dan sikap dasar yang positif, seperti kejujuran,
etos kerja yang tinggi, rela berkorban, pengabdian, dan
sebagainya, juga kondisi yang peka terhadap kemajuan. dan
mampu raenghargai hal-hal baru. Hal terakhir ini
dengan demikiaii masyarakat tidak
sekedar
dapat
terlibat
dan berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional
melainkan lebih
jauh
dari
itu
dapat
menjadi
promoter
pembangunan.
Pembangunan nasional Indonesia yang dilaksanakan
secara bertahap. terencana, berkesinambungan, sejak Pelita
I sampai dengan Pelita V sekarang ini,
telah
menampakkan
hasil yang nyata dan terasakan oleh masyarakat. Tidak
hanya terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara luas,
tetapi juga tersedianya sarana dan prasarana
di
berbagai
bidang kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi sebab
terbukanya mobilitas usaha baik bagi sektor swasta
maupun
sektor pemerintah. Keseroua ini mengarah
pada
tercapainya
kekuatan struktur perekonomian nasional,
dengan
sejumlah
indikatornya seperti kenaikan
GNP,
berkembangnya
ekspor
dan perdagangan, tumbuh-kembangnya sektor industri.
meluasnya kesempatan kerja, serta terciptanya pertanian
yang maju.
Keberhasilan-keberhasilan pembangunan nasional
telah pula mampu menimbulkan dinamisasi dan peningkatan
kreatifitas
masyarakat.
Masyarakat
telah
mampu
memanfaatkan peluang-peluang yang ada dalam proses
pembangunan dan mampu membawa diri dalam spirit
kehidupan
mapan, serta melihat jangkauan kehidupan ke
depan
secara
pasti. Mereka menjadi
lincah
dalam
usaha
dan
perilaku,
serta memiliki kemampuan dan
kaya
akan
inisiatif
dalam
kehidupannya. Jadi memang ada hubungan timbal balik antara
keberhasilan
pembangunan
dengan
peningkatan
kualitas
sumber daya manusia.
Namun masalahnya sekarang adalah
apakah
perubahan
sikap, perilaku, dan mentalitas sebagai dampak
lain
dari
keberhasilan
pembangunan
terjadi
pada
semua
lapisan
masyarakat. Dengan kata
lain,
apakah
proses
dan
hasil
pembangunan nasional
telah
menyentuh
kehidupan
seluruh
masyarakat Indonesia.
Secara empirik tidak dapat dipungkiri, tampak bahwa
sentuhan keberhasilan pembangunan nasional
lebih
efektif
mengena pada kalangan tertentu,
khususnya
kalangan
elit
seperti
kalangan
terpelajar,
lapisan
atas.
dan
kaum
profesional. Kalangan elit ini dalam waktu singkat
dengan
memanfaatkan peluang dan modal yang ada dapat dengan mudah
melipatgandakan aset kekayaan mereka, sehingga dengan aset
kekayaan yang melimpah ini mereka mampu menyerap informasi
.sebanyak mungkin yang sangat menguntungkan bagi
Berbeda kondisinya dengan yang terjadi pada
kalangan masyarakat bawah.Pada kalangan lapisan masyarakat
bawah ini sentuhan-sentuhan tersebut belum terasakan
secara efektif, bahkan mungkin pula banyak di antara
mereka dari lapisan ini belum merasa tersentuh sama sekali
oleh keberhasilan pembangunan nasional. Itulah sebabnya
meskipun dinamika pembangunan nasional Indonesia tetap
berjalan dan keberhasilan-keberhasilan pembangunan pun
makin tampak, namun banyak pula masalah-masalah yang cukup
mendasar, yang belum dapat terpecahkan, seperti masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, masalah pengangguran, dan
sebagainya.
Memang disadari bersama bahwa pembangunan nasional
merupakan proses yang panjang, yang penuh dinamika dalam
mencapai cita-cita. Oleh karena itu fenomena-fenomena
sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan
sosial, dan semacamnya tidak dapat ditatap sebagai kondisi
yang berstatus quo dalam alam pembangunan yang sudah
selesai. Fenomena sosial tersebut merupakan bidang garap
pembangunan pula yang sedang menuju ke arah cita-cita yang
ideal yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata baik
material maupun spiritual. Hal ini tampak dalam pola dasar pembangunan nasional. dimana ditegaskan bahwa hakekat
MPR RI, tahun 1993).
Naroun meropercepat dinamika pembangunan nasional
mencapai cita-citanya yang ideal itu merupakan keharusan.
Bahkan hal ini merupakan kewajiban bagi setiap warga
negara Indonesia, dengan cara mewujudkannya melalui
karya-karya yang bermanfaat dalam profesinya masing-masing
dengan dilandasi oleh semangat pengabdian.
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang mendasar
dan belum terpecahkan di negeri ini. Kondisi masyarakat
miskin yang serba kurang , pendidikan yang rendah,
jangkauan komunikasi yang sangat terbatas, memudahkan
terjadinya involusi budaya yang kental. Mereka cenderung berpersepsi dan bersikap sempit serta eksklusif sebagai
manifestasi atas ketidakmampuannya menyerap nilai-nilai
yang melatarbelakangi industrialisasi, serta reaksi
negatif terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh
proses pembangunan nasional. Hal ini menggiring pada
terciptanya mentalitas yang statis, yaitu tiadanya
pengenalan kognitif yang tepat mengenai perkembangan dan
kemajuan serta adanya sikap tertutup dalam memandang
kebermaknaan nilai industrialisasi bagi kehidupan manusia.
Padahal dua hal terakhir itu merupakan unsur fundamental
dalam membentuk sikap dan mentalitas masyarakat baru yang
miskin tidak dapat berperan aktif dalam proses-proses
pembangunan dan tidak pula mendapatkan peluang untuk
mendinamisaikan kehidupannya, baik dalam arti materi
maupun non materi. Oleh karena itu tidak jarang mereka
seperti terpisah dari siklus kehidupan pada umumnya.
Mereka hanya bergaul antar sesama orang miskin dengan
budayanya yang mencerminkan kemiskinan. Jika keberadaan
mereka relatif abadi dalam kemiskinan, maka jelas hal ini
merupakan beban pembangunan nasional. Oleh karena itu
sejak pemerintahan Orde Baru melalui program-program
pembangunannya pemerintah telah memberikan perhatian yang
serius dalam upaya menangani masalah kemiskinan.
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang kompleks.
Kompleksitasnya tidak sekedar terkait dengan aspek
ekonomi, melainkan pula terkait dengan aspek budaya.
Artinya orang-orang miskin senantiasa hidup dengan budaya
kemiskinannya. Bahkan tampak ada benang merah bahwa
mengentalnya fenomena kemiskinan adalah karena faktor
intern dan ekstern, dimana antara keduanya terdapat
hubungan yang sangat berarti. Faktor ekstern berupa gejala
ketidakmerataan kekayaan dan kemakmuran akibat sistem
perekonomian dan kebijaksanaan yang ada (perspektif
ekonomi), sedangkan faktor intern merupakan faktor budaya,
mengentalkan kemiskinan itu sendiri, yang terbentuk
sebagai akibat negatif faktor ekstern.
Oleh karena itu maka melihat kemiskinan tidaklah
roemadai apabila dipandang dalam perspektif ekonomi saja.
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang multi
dimensional, sehingga upaya pengentasannya pun haruslah
merupakan usaha yang multi dimensional pula, di mana
pelaksanaannya dilakukan secara terpadu, terarah, dan
berkesinambungan.
Mengentaskan kemiskinan melalui perspektif budaya
berarti membina sikap mental dan moralitas mereka untuk
tidak miskin. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa budaya
kemiskinan merupakan pengejawantahan dari sikap mental
kemiskinan itu sendiri, seperti fatalistik, etos kerja
rendah, ketergantungan yang tinggi, rendah diri. dan
sejenisnya. Asumsi ini dilandaskan pada kebudayaan itu
sendiri yang timbul sebagai hasil hubungan dialogis antara
manusia dengan dunia sebagai wahana huniannya
(Poepowardojo, 1993:52). Budaya kemiskinan ini jika
berlangsung secara berlarut-larut akan menjadikan
masyarakat miskin menjadi kurang manusiawi. Demi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak mereka
dengan mudah melepaskan norma-norma kemanusiaannya. Dan
kondisi semacam ini menjadi lebih parah lagi manakala
nasibnya di masa-masa mendatang.
Dengan demikian upaya mengentaskan kemiskinan tidak
cukup jika hanya dilaksanakan dari sektor ekonomi saja,
seperti memberikan bantuan kebutuhan hidup, pinjaman
modal, dan sejenisnya, melainkan harus dibarengi dengan
pembinaan sikap, mental, dan moral, agar mereka kembali
menjadi manusia yang teguh memegang sendi-sendi
kemanusiaannya.
Dalam hal membina sikap mental dan moral masyarakat
miskin, Pendidikan Umum sangat peduli, karena memang
Pendidikan Umum merupakan program pendidikan yang
dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan secara menyeluruh dan seimbang, sehingga dapat
benar-benar menjadi manusia yang utuh dalam arti manusia
yang dapat mengenali jati dirinya serta mengenali martabat
kemanusiaannya. Manusia yang demikian sudah tentu adalah
manusia yang dapat membebaskan diri dari belenggu
kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Hal ini
selaras dengan apa yang ditegaskan oleh Wolfgang Klafki,
bahwa Pendidikan Umum mempunyai tujuan untuk (1) the
development of human power, (2) the comprehensive
education of man, the education of head, heart, and hand.
(3) general education for all (Nursid Suraaatraadja, 1992).
Hal ini berarti bahwa melalui Pendidikan Umum
menyentuh afeksi mereka, sehingga hati nurani mereka
tergugah untuk dapat menatap kehidupan secara positif. Pembinaan moral dan sikap mental bagi orang-orang miskin
sangat penting, karena hal ini merupakan dasar bagi
pembinaan sumber daya manusia. Mentalitas dan moralitas
yang khas orang miskin seperti inferioritas, fatalistis,
tidak percaya diri, dan sejenisnya dibina melalui proses Pendidikan Umum, sehigga menjadi manusia yang mempunyai moralitas dan mentalitas yang positif, yang selaras dengan
alam pembangunan.
Selain itu mereka pun perlu dilatih dengan sejumlah
keterampilan tertentu yang secara fisik dapat mereka
lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan
dimilikinya sejumlah keterampilan pada masyarakat miskin
dimana hal ini dapat digunakan untuk mempertahankan dan
meningkatkan taraf hidupnya, mereka akan lebih memiliki
harapan akan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.
Mereka memiliki rasa percaya diri untuk menyongsong hari
esok yang lebih cerah.
Dalam perspektif Pendidikan Umum, pembinaan dan
pelatihan yang diberikan kepada masyarakat miskin tersebut
tidaklah sekedar berhenti pada penguasaan ilmu pengetahuan
dan keterampilan tertentu saja, melainkan lebih jauh dari
itu adalah terbinanya kualitas moral yang tinggi seperti
mandiri, perencanaan hidup secara sistematis. dan
sebagainya sehingga masyarakat dapat terlepas dari budaya
kemiskinan. Paulo Freire (1985:32) menegaskan mengenai hal
ini sebagai berikut:
"Dari para pendidik, andil khusus yang diperlukan untuk masyarakat yang baru lahir ini adalah pendidik an kritis yang akan membantu terbentuknya sikap-sikap yang kritis, mengangkat kesadaran naif rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan
membuatnya mudah termakan irasionalitas. Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran
transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis yang
akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya, yang akan dapat
menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan
emosional dari masa transisi"
Bagi pengembangan program Pendidikan Umum di
pergu-ruan tinggi, penyajian fenomena kemiskinan merupakan hal
yang penting, agar mahasiswa memiliki kepedulian sosial
untuk berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan, baik
dalam posisi dirinya sebagai mahasiswa maupun sesuai de
ngan profesinya kelak. Ada kesan empirik, bahwa perkuliah
an PU selama ini, khususnya melalui perkuliahan IBD kurang
menyajikan fenomena kemiskinan ini secara memadai. Kemis
kinan lebih banyak disajikan secara teoritis belaka.
B. Latar Belakang Masalah
Masyarakat miskin merupakan komunitas manusia yang
hidup terbelakang. Mereka tidak dapat bersaing dengan
ketiadaan fasilitas baik fisik maupun psikhis, sehingga mereka selalu tertinggal dan tidak dapat menikmati hasil-hasil perkembangan kehidupan secara nyata.
Secara ekonomis, masyarakat miskin mendapatkan
penghasilan yang rendah, sekedar memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari bahkan sering kekurangan. Jam kerja mereka
tidak terbatas serta peluang kerjanya bersifat musiman
(tidak permanen). Mereka pada umumnya tergolong ke dalam kelompok tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled
labour)(Suparlan, 1984:14, Me.Gee dalam Manning dan
Effendi, 1985:85).
Ketertinggalan dalam bidang ekonomi ini menempatkan
mereka pada status sosial yang rendah. Pendidikan mereka
relatif rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama
sekali, karena ketiadaan dana dan peluang untuk
mendapatkannya. Pemukiman yang mereka huni pada umumnya
berupa pemukiman kumuh, dengan kondisi lingkungan yang
tidak memperhatikan segi kesehatan bahkan sering pula
mengabaikan segi keamanan. Bahkan terkadang mereka
menempati bangunan sementara pada lahan yang kosong dan
berstatus sebagai penghuni liar.
Kemiskinan merupakan standar tingkat hidup yang rendah. Pertama, dapat dipandang sebagai tingkat
kekurangan materi yang antara lain terlihat dalam hal
tangga, dan harta benda lainnya. Kedua, kemiskinan pun
dapat dipandang sebagai tingkat kekurangan non materi,
yaitu meliputi berbagai macam kekurangan untuk memperoleh
informasi, berpartisipasi dalam organisasi, serta
melakukan hubungan-hubungan sosial.
Kondisi-kondisi yang menyertai mereka sebagaimana
diuraikan di atas menjadikan tiadanya kesempatan pada diri
mereka untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial, baik
yang berkenaan dengan aspek ekonomi (pemenuhan kebutuhan
sandang-pangan), aspek politik (keikutsertaan dalam
organisasi sosial politik), maupun jaringan sosial yang
dapat menciptakan pekerjaan yang layak, pembinaan
keterampilan yang memadai, serta perolehan informasi yang
berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka.
Kemiskinan di daerah perkotaan menjadi lebih
kompleks lagi permasalahannya. Hal ini disebabkan pada
kedudukan kota itu sendiri yang tersusun dalam suatu
jaringan yang bertingkat-tingkat serta merupakan pusat
pemerintahan dan pendominasian bagi pengaturan
kesejahteraan kehidupan warga masyarakat secara luas.
Mekanisme ini tidak sekedar melibatkan aspek-aspek politik
dan administrasi saja, melainkan menyertakan pula
aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan
transportasi. Kenyataan inilah yang menjadikan banyak
perkotaan daripada tinggal di daerah pedesaan. Maka dapat
diduga bahwa penduduk kota jauh lebih banyak dibandingkan
dengan penduduk yang berada di daerah pedesaan.
Daerah perkotaan memang tampak dinamis dan memiliki
potensi yang besar untuk menampung berbagai macam tenaga
kerja, dari yang kasar sampai yang halus, dari yang bersih
sampai yang kotor, dan dari yang bermoral sampai kepada
yang tidak bermoral (Suparlan, 1984:18). Namun demikian
tidak berarti bahwa mereka yang hidup di daerah perkotaan
semuanya dapat memperoleh kamajuan dan menikmati
kesejahteraan. Di antara mereka banyak yang kalah dalam
bersaing sehingga terpelanting dari dinamika kehidupan
kota. Mereka ini adalah masyarakat marginal yang
berkarakteristik miskin. Nuansa individualistik dari
kehidupan masyarakat kota lebih menjadikan antar anggota
masyarakat yang satu dengan lainnya tidak perduli. Hal ini
memperkokoh jurang pemisah antara si kaya dengan si
miskin, baik dalam konteks sosial, politik, maupun budaya.
Mereka terbelah dan merasa asing antara satu dengan lainnya. Tidak jarang juga diantara kedua kelompok ini
terdapat rasa saling mencurigai.
Komunitas miskin perkotaan dengan warna
kehidupannya melahirkan kebudayaan tersendiri. Kebudayaan
mereka ini muncul sebagai perwujudan dari adaptasi mereka
hadapi. Dalam kondisi serba kurang mereka tidak mampu
memperoleh kebutuhan-kebutuhan kehidupan secara layak,
yang primer sekalipun. Itulah sebabnya, mereka pada
umumnya hidup di daerah kumuh dengan kondisi yang penuh
sesak dengan penghuni. Kebutuhan-kebutuhan yang selalu
mendesak untuk dipenuhi, memaksa perilaku-perilaku negatif
dilakukan oleh mereka. Peristiwa pencurian merupakan hal
yang mereka anggap biasa. Beberapa wanita pun rela
menjajakan dirinya secara murah sekedar mendapatkan
sedikit uang, tidak terkecuali mereka yang bersuami. Dalam
kehidupan mereka pun banyak dijumpai adanya praktek hidup
bersama tanpa nikah, sebagai akibat ketidaktahuan dan
ketidakmampuan mereka mengikuti norma-norma kehidupan
masyarakat pada umumnya. Hidup secara keras bagi mereka merupakan hal yang biasa, sehingga perkelahian,
pencopetan, curiga-mencurigai, bukan merupakan hal aneh.
Pola-pola kelakuan dan sikap-sikap yang ditunjukkan
oleh orang-orang miskin perkotaan sebagaimana diuraikan di
atas memang merupakan suatu cara yang tepat untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan mereka yang penuh derita
itu. Cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi
terbentuknya kebudayaan kemiskinan. Seperti ditegaskan
oleh Lewis (1984:37), bahwa kebudayaan kemiskinan
mereka hadapi.
Kebudayaan kemiskinan dengan karakteristiknya
sendiri mengejawantahkan sub moralitas tersendiri pula,
yang berbeda karakteristiknya dengan moralitas pada
masyarakat umum.
Moralitas merupakan kualitas dalam perbuatan
manusia yang dengan itu dapat dikatakan bahwa perbuatan
tersebut benar atau salah, baik atau buruk, dalam ukuran
nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu moralitas inilah
yang merupakan ukuran manusia sebagai manusia. Robert
H.Libert menegaskan, morality always concerned with
interpersonal, duty, propriety, and expediency (Kosasih
Djahiri, 1992:6).
Terdapat indikasi bahwa sub moralitas masyarakat
miskin ini cenderung leastari, karena selalu diwariskan
dari generasi orang tua kepada generasi anak-anaknya. Hal
ini terjadi melalui proses sosialisasi baik yang terjadi
dalam lingkungan kehidupan keluarga, maupun sosialisasi
yang terjadi dalam komunitas mereka.
C. Masalah Utama Penelitian
Orang miskin kota hidup dengan tata nilai dan
budaya tersendiri yang cenderung eksklusif di
tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Bahkan antara
kemiskinan semakin mengentalkan tata nilai dan budaya
mereka. sementara sebaliknya tata nilai mereka pun akan
banyak berpengaruh terhadap pola pikir dan pola laku
mereka untuk tetap bertahan pada kondisi miskin.
Namun demikian, meskipun kehadiran mereka tampak
eksklusif baik dari segi fisik dan penampilan maupun tata
nilai
di
tengah
masyarakat
pada
umumnya,
orang-orang
miskin kota adalah tetap merupakan bagian dari kesatuan masyarakat kota secara keseluruhan. Apalagi secara
politis, pemerintah telah dan akan terus mengupayakan agar
kesenjangan antara si miskin dan si kaya tidak terlalu
menyolok, sebagai upaya dalam rangka menciptakan
masyarakat adil dan makmur. Oleh pemerintah setempat juga
diupayakan agar antara
orang
miskin
dengan
orang
yang
tidak miskin sering bertemu dan terlibat dalam kegiatan
sosial secara bersama-sama, seperti melalui kerja bakti,
kenduri, pengajian, dan semacamnya.
Sebagai makhluk sos'ial, memang mau tidak mau mereka
elakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak lain di
luar komunitas mereka. Hal ini mereka lakukan baik dalam
rangka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka maupun dalam
mengupayakan rasa aman terhadap diri dan keluarganya.
Namun derita yang panjang dan tiada henti-hentinya
yang mereka alami akibat kemiskinan, serta
ketidakmenentuan akan aharapan di hari esok, menjadikan
mereka tetap mencerminkan dirinya sebagai orang miskin,
dengan tata nilai dan moral serta budaya yang khas sebagai
orang miskin.
Salah satu hal yang menarik bagi peneliti adalah
mengetahui moralitas mereka. Hal ini penting agar dapat
dicarikan alternatif model pengentasan kemiskinan secara
memadai, tidak hanya berperspektif ekonomi tetapi juga
berperspektif Pendidikan Umum, mengingat bahwa fenomena
kemiskinan mengejawantahkan tata nilai tertentu. Yang
dimaksud moralitas di sini adalah kualitas perbuatan
manusia sebagai manusia. Seperti dikatakan oleh Magnis
Suseno (1991:19) moral selalu mengacu pada baik-buruknya
manusia sebagai manusia, bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari kebaikannya sebagai
manusia, bukan sebagai pelaku peran tertentu.
Mengungkap moralitas merupakan pekerjaan yang tidak
mudah. Hal ini terkait dengan karakteristik moralitas itu
sendiri yang tidak sekedar terartikulasikan dalam
perilaku-perilaku individu yang teramati, melainkan pula
berkenaan dengan aspek-aspek yang terdapat dalam. diri
individu yang melatarbekalangi perilaku tersebut. Oleh
karena itu upaya mengungkap moralitas seseorang haruslah
dilakukan secara komprehensif, jeli, dan mendaiam terhadap
kehidupan seseorang itu.
ini seperti ditegaskan
oleh
Kurtines
(1992:88)
sebagai
berikut
"... banyak
ahli
filsafat
moral
maupun
mereka
yang menganalisis bahasa moral, kompetensipertumbuhan
moral
merupakan
suatu
keharusan
bagi
lahirnya tindakan moral. Sebelum suatu tindakan dapat
dipandang sebagai suatu tindakan moral,
alasan
atau
motivasi si pelaku melakukan" tindakan tersebut harus terlebih dahulu diuji".Antara pertimbangan moral dengan perilaku moral
tidak dapat
dipisahkan
sama
sekali
untuk
menuju
pada
pengungkapan moral secara sebenarnya. Kedudukan
pertimbangan moral terhadap perilaku moral merupakan kunci
awal bagi perbuatan tersebut, apakah
dapat
dikategorikan
sebagai perilaku moral ataukah tidak. Sedangkan kedudukan
perilaku moral
terhadap
pertimbangan
moral
merupakan
manifestasi berupa
evidensi
akan
apa
yang
dipikirkan,
dirasakan, dan dipahami
oleh
seseorang
terhaddap
suatu
keharusan.
Secara operasional,
pertimbangan
moral
merupakan
segala
hal
yang
dijadikan
sebagai
alasan.
dorongan,
tujuan, sehingga seseorang berbuat sesuatu. Dan
perbuatan
moral
merupakan
aktifitas-aktifitas
yang
tampak
dalam
segala aspek kehidupan. yang bermanfaat bagi
kemaslahatan
umum dan didasari oleh tanggung jawab untuk melakukannya.
terbina melalui jaringan interaksi dan komunikasi antar
sesama manusia dan lingkungan sosialnya. Melalui
jaringan-jaringan tersebut individu melakukan apresiasi,
peniruan, penolakan, pemantapan, dan sebagainya, khususnya
terhadap orang-orang tertentu yang oleh individu yang
bersangkutan dianggap sebagai figur. Proses-proses psikhis
tersebut pada dasarnya merupakan proses sosialisasi
moralitas, yang jika disertai dengan sentuhan-sentuhan
kesengajaan, sadar tujuan, perencanaan, pengawasan, dan
semacamnya akan menjadi proses pendidikan moral.
Bagi individu yang masih dalam taraf kanak-kanak
dimana pada dirinya sedang terjadi proses sosialisasi
moral, maka "figur yang dijadikan rujukan utamanya adalah
orang-orang yang terdekat dengannya, yaitu orang dewasa
yang berada dalam lingkungan keluarganya, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, dan sebagainya. Begitu juga jaringan lingkungan sosial bagi dirinya adalah lingkungan keluarganya. Haj. ini sejalan dengan kemampuan dirinya yang
masih kanak-kanak sehingga kemampuan untuk terlibat dalam
jaringan interaksi dan komunikasi sosial yang efektif
hanya sebatas lingkungan keluarga.
Bagi pihak orang tua sendiri sesuai dengan naluri
tujuan dan terencana dengan didasari oleh rasa kasih
sayang dari orang tua kepada anak-anaknya agar mereka
memiliki moralitas yang baik, sebagai
dasar
bagi
mereka
dalam
menjalani
kehidupan
di
masa
yang
akan
datang.
Manifestasinya dapat berupa
upaya
yang
bersifat
verbal
maupun yang bersifat perbuatan (keteladanan). Itulah
sebabnya dalam keluarga jenis apa pun; kaya
atau
miskin,
terjadi proses pendidikan moral.
Dalam kehidupan keluarga miskin sudah tentu iklim
pendidikan
moralnya
akan
banyak
diwarnai
oleh
budaya
kemiskinan itu sendiri. Di sinilah sisi lain yang menarik,
yang hendak diungkap melalui penelitian ini.
Ada tiga pertanyaan penelitian yang diajukan di
sini.
l.Bagaimanakah
kualitas
perilaku
moral
orang
miskin
perkotaan ?.
2.Bagaimanakah motivasi, tujuan, dan alasa yang mendasari
perilaku moral orang miskin perkotaan ?
3.Bagairoanakah proses pendidikan moral yang terjadi dalam
keluarga orang miskin perkotaan ?.
D. Fokus Penelitian
Sebagaimana telah ditegaskan terdahulu bahwa
manusia. bukan berkenaan dengan baik-buruk sebagai peiaku
peran tertentu dan terbatas. Oleh karena itu bidang ini
berkenaan dengan bidang kehidupan manusia dilihat dari
segi kebaikannya sebagai manusia dalam kehidupannya.
Dengan demikian pengungkapan moralitas akan
raengalami kesulitan manakala sekedar ditelusuri melalui
informasi verbal belaka. Memang informasi verbal jika
penggaliannya dilakukan secara cermat dan hati-hati akan
dapat mengungkapkan pertimbangan moral seseorang. Namun
hal ini baru merupakan bagian dari moralitas. Moralitas
mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan manusia,
secara wajar dan alami.
Pengungkapan moralitas yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah melibat secara langsung kehidupan
masyarakat miskin, hidup di tengah-tengah mereka,
menelusuri sepak terjang yang menggambarkan moralitas
mereka. Penelusurannya didasarkan pada titik fokus
penelitian berikut :
1. Perilaku sebagai makhluk individu, yaitu terkait dengan
tanggung jawab akan perilaku dirinya, tanggung jawab
terhadap keluarganya, tanggung jawab terhadap
pekerjaan .
Perilaku hubungan antar sesama manusia, meliputi
kebersamaan (solidaritas sosial), kepedulian sosial,
tanggung jawab sosial, serta partisipasi dalam kegiatan
kemasyarakatan.
3. Perilaku sebagai warga negara. yaitu kepatuhan terhadap
peraturan perundangan yang berlaku.
4. Perilaku pelaksanaan ajaran agama, yang dalam hal ini
dikhususkan pada ajaran yang bersifat ritual serta
partisipasi dalam organisasi keagamaan.
5. Perilaku hubungan dengan alam sekitar, yaitu meliputi pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan lingkungan
sekitar untuk kesejahteraan kehidupan bersama.
Selanjutnya untuk mengungkap proses pendidikan
moral yang terjadi di kalangan keluarga masyarakat miskin
perkotaan, yang dijadikan titik fokus penelitian adalah
perilaku dan peran anggota keluarga yang telah dewasa,
yaitu;
1. peran sang ayah, sebagai kepala keluarga,
2. peran sang ibu, sebagai ibu rumah tangga,
3. peran anak di atas usia 17 tahun (jika ada),
4. peran kakek dan atau nenek (jika ada).
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuah untuk
mendapatkan gambaran tentang moralitas orang miskin
perkotaan yang terjadi di Kelurahan Utan Panjang Kecamatan
Kemayoran Jakarta Pusat, sehingga nantinya akan dapat
memadai. dalam perspektif Pendidikan Umum. Selain itu.
penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan alternatif
bagi pengembangan perkuliahan Pendidikan Umum di perguruan
tinggi yang dapat menumbuhkerobangkan kepedulian sosial
yang tinggi dari mahasiswa terhadap fenomena kemiskinan.
Sedangkan secara khusus, penelitian
ini
bertujuan
untuk :
1. Mendapatkan deskripsi mengenai kualitas perilaku moral
orang miskin perkotaan di Kelurahan Utan Panjang Keca
matan Kemayoran Jakarta Pusat.
2. Mendapatkan deskripsi mengenai
motivasi,
tujuan,
dan
alasan yang mendasari perilaku moral orang miskin
perkotaan di Kelurahan Utan Panjang Kecamatan Kemayoran
Jakarta Pusat.
3. Mendapatkan deskripsi mengenai proses pendidikan moral
dari generasi orang tua kepada anak-anaknya yang ter
jadi di kalangan keluarga miskin perkotaan di Kelurah
an Utan Panjang Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
membantu pihak-pihak pengambil kebijakan (pemerintah
setempat) khususnya
dan
pihak-pihak
lain
pada
umumnya
dalam mengenali secara cermat karakteristik moralitas
moralnya, sehingga
dalam
merumuskan
kebijaksanaan
bagi
mereka sebagai upaya pengentasannya dapat dilakukan secara
komunikatif dan integratif,
tanpa
mengabaikan
segi-segi
normatifnya (signifikansi praktis).Penelitian ini pun diharapkan pula dapat memberikan
pemahaman yang mendaiam bagi
mahasiswa
tentang
perilaku
moral
beserta
pertimbangan-pertimbangannya
di
kalangan
masyarakat
miskin
perkotaan,
dengan
memperhitungkan
faktor-faktor kontekstual secara mendaiam
dan
sistematis
(signifikansi teoritis).
Bagi
program
Pendidikan
Umum,
penelitian
ini
merupakan upaya pengembangan
dan
pendalaman
salah
satu
aspek
kajian
Pendidikan
Umum
yaitu
moralitas,
dalam
realitas kehidupan masyarakat, yang dalam hal
ini
adalah
realitas
masyarakat
miskin.
Dengan
pengenalan
secara
mendaiam akan realita moralitas masyarakat miskin , dapat
disusun strategi
pembinaannya
dalam
rangka
ikut
serta
mengentaskan kemiskinan secara komunikatif. Hal iniselaras dengan substansi Pendidikan Umum sebagai pendidik
an bagi semua orang dalam rangka membebaskan
mereka
dari
belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Konsekuensi dari substansi Pendidikan
Umum
adalah
terciptanya kepedulian yang
tinggi
dari
para
mahasiswa
pengentas-an kemiskinan melalui pembinaan moralitas orang-orang
miskin. Dengan demikian perkuliahan program Pendidikan Umum di perguruan tinggi perlu memikirkan alternatif
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode dan Pendekatan Penelitian
Permasalahan yag diungkap dalam penelitin ini
berkenaan dengan hal-hal yang sedang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini tidak
dimaksudkan untuk
melakukan
pengujian
terhadap
suatu
hipotesis
ataupun
teori
tertentu,
melainkan
merupakan
upaya penelusuran bagi penemuan pemahaman baru tentang
fenomena yang dikaji.
Melihat permasalahan yang diteliti, maka cara kerjanya bergerak dari induksi ke deduksi. Oleh karena itu
penelitian
ini
menggunakan
metode
deskriptif
dengan
pendekatannya naturalistik, atau sering disebut juga
dengan kualitatif naturalistik, karena pada umumnya data
yang dikumpulkan pada penelitian naturalistik ini bersifat
kualitatif.
Penelitian naturalistik pada hakekatnya ialah
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya. berinteraksi
dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Dengan kata lain
penelitian ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural
setting). Oleh karena itu pendekatan penelitian ini
memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya
dari
pendekatan-pendekatan
lain.
Guba
dan
lincoln
(1987)
menyebut
karakteristik
ini
dalam
hal
asumsi
terhadap
realitas, peran peneliti, serta
mekanisme
kerjanya
yang
bersifat fenomenologis dan holistik.
Bagi pendekatan kualitatif
naturalistik,
realitas
harus dipandang dan dimaknakan secara holistik, karena
di
dalamnya terdapat saling keterkaitan antara
satu
situasi
dengan situasi lainnya.
Asumsi
pendekatan
ini
terhadap
relitas meliputi; (1) the
nature
of
realilty,
(2)
the
inquirer-respondent
relationships,
(3)
the
nature
of
statements, (4) causality, (5) relation
to
values
(Guba
dan Lincoln, (1981).
Asumsi tersebut memberikan gambaran bahwa
realitas
merupakan fenomena kompleks yang utuh, dan oleh
karenanya
antara
peneliti
dengan
yang
diteliti
harus
terdapat
hubungan yang
intim
( situasi terhayati). Kesimpulan
yang
diperoleh
akan
dapat
diberlakukan
hanya
pada
setting
dengan peristiwa yang
serupa.
Di
dalam
suatu
realitas
senantiasa terkait dengan sejumlah tata nilai. Oleh karena
itulah pendekatan naturalistik
memandang
dan
memaknakan
suatu realitas secara holistik.
Selanjutnya karena
asumsi kualitatif
naturalistik
pelaksanaan penelitiannya, sang peneliti tidak sekedar
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dipolakan secara
pasti sebelumnya. melainkan harus mampu mengangkat
masalah-masalah yang bersifat esensial yang ditemukan
selama penelitian. Itulah sebabnya, selama proses
penelitian, peneliti perlu sering melakukan modifikasi,
terhadap konsep-konsep yang telah disusun manakala dia
menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu pada umumnya
dikatakan
bahwa
penelitian
naturalistik
dikembangkan
setelah peneliti berada di lokasi penelitian. Hal ini semua membutuhkan mekanisme kerja tersendiri, yang berbeda
dengan
pendekatan
penelitian
lain.
Adalah
Taft (1987)
mengemukakan kekhasan mekanisme kerja pendekatan ini,
yaitu dalam hal (1) prefered methods, (2) source of
theory, (3) knowledge types used, (4) instrument, (5)
design, (6) setting.
B. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan kumpulan longgar dari sejumlah
asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Bogdan dan
Biklen. 1982:32).
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif naturalistik, maka
(naturalistic paradigma).
Paradigma
ini
tidak
menerima
adanya pandangan hanya satu kebenaran, kebenaran itu lebih
kompleks dari pada yang diduga (Nasution,
1988:4),
serta
beranggapan bahwa
kebenaran
itu
bergantung
pada
dunia
realitas empirik dan konsensus
dalam
masyarakat
ilmuwan
(Nasution, 1988:6). Kebenaran dalam hal ini yang
dimaksud
adalah kebenaran
ilmiah,
yaitu
bahwa
teori
lama
akan
tumbang manakala ditemukan teori baru
melalui
penelitian
ilmiah, serta terbukti bahwa teori lama kurang tepat.
Secara
rinci
paradigma
yang
dipegang
dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Realitas
Moralitas suatu masyarakat akan senantiasa terkait
dengan
kondisi
budaya
masyarakat.
Hal
ini
disebabkan
moralitas ini tidak lahir secara spontan melainkan melalui
proses-proses psikhologis yang panjang. Dalam proses-proses psikhologis ini tatanan nilai yang terdapat
dalam diri seseorang merupakan faktor determinan.
Sedangkan tata nilai yang terdapat
dalam
diri
seseorang
pada dasarnya merupakan hasil internalisasi dari
tatanan nilai budaya yang ada dalam masyarakat, dimana ia
hidup.
Masyarakat miskin perkotaan, sesuai dengan kondisi
kemiskinan, dimana penampakannya akan merupakan sub budaya tersendiri di tengah budaya masyarakat pada umumnya. Tata nilai mereka adalah tata nilai yang khas miskin, seperti fatalistik, inferioritas, konsumtif, dan sejenisnya. Hal
ini semua akan membentuk moralitas masyarakat miskin itu
sendiri.
Upaya pengentasan kemiskinan melalui perspektif ekonomi telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Namun hasil yang dicapai belum
memuaskan. Hal ini terbukti dengan masih kentalnya
masyarakat miskin dengan tata nilai kemiskinannya yang menjadikan keberadaan mereka relatif abadi, dan juga
masih banyak warga mayarakat kota yang hidup dalam kondisi
miskin.
Upaya pengentasan kemiskinan selain melalui
perspektif ekonomi, perlu juga dilakukan melalui
perspektif pendidikan, yaitu merubah sikap, mental, dan
moral mereka agar keluar dari tata nilai kemiskinan. Dalam
kaitan ini, maka mengenali moralitas mereka dan
sosialisasi moral yang terjadi di lingkungan keluarga
masyarakat miskin merupakan hal yang esensial.
2. Peluang Generalisasi
Hasil penelitian ini diharapkan tidak berhenti
setting yang ditelaah dari kasus penelitian ini akan
diangkat esensinya yang dapat berlaku umum untuk
selanjutnya dilakukan penyingkapan terhadap makna yang
dikandungnya. Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk
dilakukan generalisasi terhadap kasus-kasus serupa, yaitu
yang konteks dan settingnya sama.
3. Peluang Hubungan Kausalitas
Upaya pengentasan kemiskinan hendaknya merupakan upaya yang bersifat komprehensip. Selain upaya yang
berperspektif ekonomi seperti pemberian bantuan kebutuhan
hidup, pinjaman modal berusaha, dan sejenisnya, tidak kalah pentingnya adalah upaya yang berperspektif pendidikan, yaitu membina dan mengarahkan sikap mental,
tata nilai, dan tata moral mereka, agar tidak mengkristal menjadi sub moralitas miskin yang terjiwai oleh kebudayaan kemiskinan melainkan agar selaras dengan sikap mental,
tata nilai, dan tata moral pembangunan seperti yang
terdapat pada masyarakat umumnya.
Ada kecenderungan bahwa antara karakteristik
moralitas orang miskin dengan kondisi kemiskinannya
terdapat hubungan kausalitas. Hal ini terbukti dengan
adanya kenyataan dalam kehidupan mereka sehari-hari, bahwa
meskipun mereka mendapatkan peluang untuk dapat melakukan
namun jarang diantara mereka yang memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Padahal peluang-peluang tersebut sengaja
diadakan dan diciptakan oleh pemerintah dalam rangka
memeratakan kemakmuran, sesuai dengan amanat konstitusi
negara Indonesia.
Ketidakmampuan atau ketidakmauan mereka
memanfaatkan peluang tersebut adalah karena mereka
senantiasa mengambil referensi mentalitas dan moralitas
kemiskinan (Tjetjep Rohendi Rohidi, 1993:124), yang pada
umumnya bersifat berlawanan arah dengan mental dan moral
pembangunan. Oleh karena itu dalam konteks demikian,
moralitas lebih bertindak sebagai faktor sebab dan kondisi
kemiskinan lebih bertindak sebagai faktor akibat, meskipun
dapat terjadi posisi yang sebaliknya.
Oleh karena itu mendapatkan informasi yang
sebanyak-banyaknya tentang moralitas orang miskin
perkotaan, memahami, mengkaji, dan mengarahkannya;
merupakan langkah awal bagi sisi lain upaya pengentasan
kemiskinan.
4. Keterlibatan Peneliti dengan Obyek Penelitian
Dalam hal keterlibatan antara peneliti dengan obyek
penelitian, dirasakan tidak ada kendala apapun. Hal ini
didasarkan pada alasan-alasan berikut:
yaitu pihak kelurahan, berupa ijin dan dorongan untuk
dilakukannya penelitian di kalangan warganya yang
terkategori sebagai warga miskin.
2) Ada dukungan dari para informan penelitian, yaitu berupa pemberian keterangan dan bantuan yang dibutuhkan
selama dilaksanakannya penelitian ini.
3) Mudah dijangkaunya tempat penelitian, karena daerah ini
banyak dilalui oleh kendaraan umum dari berbagai
jurusan di Jakarta Pusat.
4) Peneliti merasa mudah untuk membaur dan hidup bersama
dengan orang-orang miskin di Kelurahan Utan Panjang ini, untuk mengikuti aktifitas-aktifitas kehidupan
sehari-harinya.
Atas hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa
optimis untuk dapat memahami dan mengkaji moralitas orang
miskin perkotaan yang terdapat di kalangan Kelurahan Utan
Panjang Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.
C. Sumber Data dan Responden Penelitian
Ada dua macam sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah sumber yang memberikan data secara
langsung sebagai tangan pertama (dalam hal ini adalah
responden itu sendiri). Sedangkan sumber sekunder adalah
mengenai sumber pertama, yang bersifat melengkapi.
Yang dijadikan sumber data primer adalah tiga buah
keluarga miskin. Dijadikannya tiga keluarga miskin sebagai
sumber primer penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan berikut.
a.Kemudahan dalam menjangkau lokasi penelitian.
b.Kesediaan
ketiga
keluarga
tersebut
untuk
dijadikan
sebagai sumber data primer penelitian.
c.Keterbukaan ketiga keluarga
tersebut
dalam
memberikan
data dan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
Ketiga pertimbangan di atas, peneliti dapatkan atas
saran dari Kaur Kesra
Kelurahan
Utan
Panjang
dan
atas
pengamatan peneliti sendiri, ketika melakukan studi
pendahuluan.
Sedangkan yang dijadikan sumber data sekunder
addalah
para
tokoh
masyarakat
yang
berada
di
lokasi
penelitian, teman akrab responden, Ketua RT setempat,
dan
Kaur Kesra Kelurahan Utan
Panjang.
Data
yang
diperoleh
dapat berupa
human orally
data
maupun.
catatan
mengenai
kasus-kasus yang
terjadi
di
kalangan
komunitas
miskin
khususnya yang berkenaan dengan responden penelitian.
anggota
keluarga
yang
relatif
besar,
mempunyai
latar
belakang mata pencaharian yang
berbeda.
Perbedaan
latar
belakang mata pencaharian
ini
merupakan
hal
lain
yang
menarik untuk diteliti.
D- Instrumen Penelitian
Dalam
melaksanakan
penelitian
ini,
peneliti
bertindak sebagai
instrumen
(human
instrumen).
Istilah
peneliti sebagai
instrumen
memberikan
pengertian
bahwa
peneliti menceburkan diri
secara
intensif
dalam
kancah
penelitian
tanpa
mengambil
jarak
dengan
obyek
yang
diteliti (Bogdan, 1982; Guba, 1985). Oleh karena itu dalam
hal ini peneliti turut melibatkan diri
secara
aktif
dan
intensif
dalam
medan
penelitian,
serta
mengadakan
pembauran
khususnya dengan orang-orang yang akan diteliti.
Untuk
memantapkan
posisi
diri
peneliti
sebagai
instrumen
penelitian,
beberapa
hal
berikut
merupakan
pedoman dalam pelaksanaaannya.
1) Melakukan adaptasi
terhadap
kondisi
dan
kehidupan
orang miskin perkotaan, sehingga dapat dikumpulkan
beraneka ragam data dan informasi.
2)
Melihat
situasi
kehidupan
orang
miskin
secara
kontekstual dan menyeluruh (secara totalitas).
kepedulian
yang
tinggi
akan
dapat
memperkuat
kredibilitas penelitian ini.
4) Peneliti
menyelami
secara
seksama
dan
mendaiam
segala
aktifitas
kehidupan
orang
miskin
perkotaan,
sehingga dapat
memahami
dan
merasakan
perilaku
dan
makna yang dikandungnya.
Sedangkan teknik pengumpulan
data
yang
digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik
observasi,
wawancara,
dan studi dokumenter. Hal
ini
selaras
dengan
apa
yang
dikemukakan oleh Guba (1978) bahwa penelitian naturalistik
senantiasa berkenaan dengan gejala-gejala yang
khas
yang
keberadaannya meliputi
sesuatu
yang
tersembunyi
(tacit
knowledge),
dan
hal
ini
tidak
akan
terjamah
secara
kuantitatif. Oleh karena
itu,
teknik-teknik
di
ataslah
yang digunakan.
1. Teknik Observasi
Kedua macam jenis observasi yaitu observasi
non partisipatorik dan observasi partisipatorik
digunakan
dalam penelitian ini. Jenis yang pertama dilakukan
ketika
mengawali proses-proses observasi. Hal ini dimaksudkan
untuk tidak mengundang curiga dari para responden terhadap
kehadiran peneliti. Pada taraf ini peneliti
lebih
banyak
melakukan sosialisasi
diri
di
dalam
kehidupan
mereka.
dengan masyarakat yang ditelitinya.
Setelah
terbina
hubungan
baik
antara
peneliti
dengan
masyarakat,
selanjutnya
peneliti
beralih
pada
penggunaan
teknik
observasi
partisipatorik,
yaitu
mengambil bagian langsung dalam kegiatan-kegiatan
bersama
di
kalangan
masyarakat
miskin.
Peneliti
menelusuri
perilaku-perilaku mereka, yang mengejawantahkan
moralitas
dalam kegiatan kehidupan sehari-hari, baik perilaku
dalam
kedudukannya sebagai individu, anggota masyarakat, sebagai
warga negara, maupun sebagai orang yang
beragama.
Selain
itu yang menjadi sasaran observasi adalah lingkungan fisik
daan lingkungan alam di lokasi penelitian. Oleh karena itu
peneliti
tidak
sekedar
bergabung
dengan
mereka
dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat formal, tetapi
juga
pada
kegiatan-kegiatan yang yang bersifat santai, seperti duduk
sambil ngobrol dan bergurau, dan sebagainya.
Setiap data dan informasi
yang
diperoleh
melalui
teknik
observasi
ini
(baik
yang
berjenis
observasi
partisipatorik maupun observasi non partisipatorik),
akan
selalu
dikaitkan
dengan
konteksnya,
agar
data
dan
informasi
tersebut
tidak
kehilangan
maknanya.
Konteks
dalam hal
ini
terkait
dengan
sembilan
hal
(Nasution.
1988:64), yaitu;
a.Ruang (tempat) dalam aspek fisik.
c.Kegiatan, yaitu apa yang dilakukan orang
dalam
situasi
itu.
d.Obyek, yaitu benda-benda yang terdapat di tempat itu.
e.Perbuatan, yaitu perilaku-perilaku tertentu.
f.Kejadian atau peristiwa, yaitu rangkaian kegiatan.
g.Waktu, yaitu urutan kronologis kegiatan.
h.Tujuan, yaitu apa yang ingin dicapai orang
serta
makna
perbuatan orang.
i.Perasaan, yaitu emosi yang dirasakan dan dinyatakan.
Sudah
tentu
teknik
observasi
ini
mengandung
kelemahan. Diantaranya adalah bahwa teknik
observasi
ini
tidak mampu mengungkap
intensi-intensi
di
balik
perilaku
yang dikerjakannya. Untuk mengungkap
intensi
atas
suatu
perilaku (motivasi, tujuan dan alasan yang
mendasarinya),
peneliti melakukan wawancara.
2.Teknik Wawancara
Teknik wawancara
ini
dilakukan
untuk
menghimpun
data
penelitian
yang
bersifat
non perilaku.
Seperti
dikatakan
oleh
Nasution
bahwa
teknik
wawancara
ini
dikandung maksud
untuk
mengetahui
apa
yang
ada
dalam
Pikiran dan hati
responden
(Nasution,
1988:73).
Dengan
demikian, jika dengan observasi
peneliti
memasuki
dunia
kehidupan sosial orang-orang miskin, maka dengan wawancara
Pada tahap-tahap awal dari proses wawancara, digunakan teknik wawancara tidak berstruktur. Hal ini disebabkan agar terbina hubungan baik terlebih dahulu
dengan responden, dan memang dari pertemuan-pertemuan awal
ini yang diharapkan baru sekitar data dan informasi yang
beraneka ragam dan bersifat umum. Selanjutnya untuk
menspesifikkan perolehan data dan informasi agar sesuai
dengan fokus penelitian, dan juga setelah terjalin
hubungan baik antara peneliti dengan responden, dilakukan
teknik wawancara berstruktur.
3. Teknik Studi Dokumenter
Teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang
dijaring melalui teknik observasi dan wawancara. Yang
dihimpun melalui teknik studi dokumenter ini adalah data
otentik yang tersimpan dalam dokumentasi, baik di tingkat
RT, RW, maupun Kelurahan. Data ini antara lain berisi
tentang peta lokasi penelitiaan, struktur penduduk di
kalangan masyarakat miskin di Kelurahan Utan Panjang,
catatan-catatan khusus tentang aktifitas masyarakat miskin
oleh pihak pemerintah setempat, struktur keluarga
masyarakat miskin. dan informasi lain yang relevan.
E. Pengumpulan Data
lima langkah mulai dari tahap orientasi. tahap ekspl<
tahap member check, tahap triangulasi, sampai kepada tahap
Lorasi.
audit trail
1. Tahap Orientasi
Tahap orientasi
ini
merupakan
tahap
awal
dalam
mendekati responden. Melalui tahap
ini diharapkan dapat
diperkirakan
faktor pendukung dan faktor penghambat,
sehingga dapat diperhitungkan
pelaksanaan
penelitian
secara cermat. Pada tahap ini
pula
dilakukan
pendekatan
dengan para sumber data, baik yang bersifat primer maupun
sumber data sekunder, sehingga terbina rasa persahabatan
dan saling percaya.
Pertama-tama peneliti mendatangi
kepala
kelurahan
beserta
dengan
para
stafnya
untuk
mendapatkan
penjelasan-penjelasan yang
penting
berkenaan
dengan
kondisi masyarakat miskin yang terdapat di daerahnya.
Selanjutnya peneliti mengunjungi
para Ketua RT
yang
berkategori sebagai
komunitas
miskin,
tokoh masyarakat
yang
ada di
dalamnya.
dan
mendatangi
pula
beberapa
keluarga dalam komunitas
tersebut.
Dalam
kunjungan
ini
Peneliti mengemukakan maksud
kedatangannya,
berdialog
dengan mereka, mengadakan pengamatan secara umum terhadap
lokasi penelitian, sehingga dapat disusun strategi bagi
2.Tahap Eksplorasi
Setelah mendapatkan gambaran
secara
umum
tentang
lokasi penelitian serta telah terbina hubungan baik dengan
para nara sumber data, selanjutnya kegiatan meningkat pada
tahap eksplorasi. Peneliti terjun
secara
langsung
dalam
kancah
penelitian
dan
melakukan
penelitian
secara
intensif.
Secara rinci, kegiatan yang dilakukan
pada
tahap
eksplorasi ini adalah:
a.Menggali data dan informasi yang diperlukan.
b.Menentukan sumber data yang dapat dipercaya.
c.Menyusun pedoman umum bagi perolehan data dan informasi,
baik
yang
dilaksanakan
secara
observasi,
wawancara,
maupun studi dokumenter.
d.Mendapatkan dan mengumpulkan data
sesuai
dengan
fokus
penelitian.
e.Mendokumentasikan
data
dan
informasi
dalam
bentuk
catatan lapangan,
laporan
lapangan,
dan
buku
harian
lapangan.
Catatan
lapangan
merupakan
catatan
yang
dibuat
ketika peneliti berada di lapangan, yang berfungsi untuk
membantu daya ingat peneliti pada saat
membuat
laporan
kelak.
Untuk
keperluan
catatan
lapangan
ini
dapat
Sedangkan
laporan
lapangan
atau
field
note
merupakan manuskrip sebagai hasil observasi,
wawancara,
dan studi dokumenter.
Laporan lapangan inilah yang
merupakan inti dari data
penelitian.
Oleh karena
itu
pembuatannya dilakukan
segera setelah
pulang
dari
lokasi penelitian.
Adapun
kesan-kesan
peneliti
selama
berada
di
lapangan dituangkan dalam buku harian
lapangan.
Oleh
•karena itu buku harian lapangan ini berisikan catatan
menganai pengalaman, perasaan, kesulitan, buah pikiran,
pertimbangan-pertimbangan, dan
keputusan
yang diambil
ketika menghadapi suatu masalah.
3. Tahap Member Check
Data yang diperoleh dan dikumpulkan melalui tahap
eksplorasi selanjutnya dilakukan pengujian secara kritis.
Kegiatan ini dilakukan dalam tahap member check.
Ada dua
cara yang dapat ditempuh, yaitu meminta
tanggapan
kepada
responden
untuk
mencek
kebanaran
data,
dan
melakukan
koreksi serta melengkapi
terhadap
hal-hal
yang dirasa
masih kurang sesuai atau kurang lengkap.
juga diyakinkan kepada para responden bahwa peneliti akan
senantiasa menjaga nama baik mereka,
serta
menjaga
kerahasiaan data. Oleh karena itu identitas mereka tidak
dicantumnkan secara jelas, melainkan hanya diberikan tanda
inisialnya saja.
4. Tahap Triangulasi
Triangulasi merupakan
proses pengujian
terhadap
keabsahan data, yang dilakukan dengan cara menggunakan
sesuatu yang lain untuk keperluan pengujian, atau
sebagai
pembanding terhadap data yang ada.
Ada beberapa
cara
melakukan
pengujian
keabsahan
data
dengan
triangulasi
ini,
dimana
semua cara * ini
dilakukan dalam penelitian ini.
a.Membandingkan hasil wawancara, 'antara yang dilakukan
ke