• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORALITAS ORANG MISKIN PERKOTAAN : Studi Karat di Kalurahan Utan PanJang Kacamatan Kamayoran Jakarta Pusat, Suatu Upaya Pancarian Altarnatlf Modal Pangantasan Kamkkman Dalam Parapakttf Pandfctfkan Umum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MORALITAS ORANG MISKIN PERKOTAAN : Studi Karat di Kalurahan Utan PanJang Kacamatan Kamayoran Jakarta Pusat, Suatu Upaya Pancarian Altarnatlf Modal Pangantasan Kamkkman Dalam Parapakttf Pandfctfkan Umum."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Karat di Kalurahan Utan PanJang

Kacamatan Kamayoran Jakarta Pusat, Suatu Upaya

Pancarian Altarnatlf Modal Pangantasan Kamkkman

Dalam Parapakttf Pandfctfkan Umum

TESIS

Diajukan sabagal salah satu syarat

bag! parolahan galar Magistar Panrfidfflran

Bldang Studi Pandktfkan Umum

Olah Maaruktil

NDvf 9232 071/XXIV-16

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

BANDUNG

(2)

TESIS INI DIBIMBING OLEH

Pembimbing II, Pembimbing T,

^ "^

(3)

berawal dari

parameter

ekonomi,

pada akhirnya menjadi

masalah yang kompleks.

Dia

melahirkan

budaya

tersendiri

sebagai refleksi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Kebuda-yaan kemiskinan ini begitu kental dengan masyarakat miskin.

sehingga keberadaannya menoadi

referensi

bagi

aktifitas-aktifitas mereka dalam berbagai bidang kehidupan.

Penelitian ini

mengungkap

moralitas

orang

miskin

perkotaan di Kelurahan

Utan

Panjang Kecamatan

Kemayoran

Jakarta Pusat, sebagai

upaya pencarian

alternatif model

pengentasan kemiskinan yang berperspektif Pendidikan

Umum.

Selain

itu hasil

penelitian

ini pun diharapkan dapat

memberikan alternatif pengembangan

perkuliahan

Pendidikan

Umum di Perguruan Tinggi,

dalam upaya menumbuhkembangkan

kepedulian sosial mahasiswa.

Moralitas merupakan salah

satu

aspek

kehidupan

orang miskin yang tercoraki oleh budaya kemiskinan.Meneliti

moralitas

berarti

meneliti

pengejawantahannya,

yaitu

perilaku mereka sehari-hari

beserta dengan

pertimbangan-pertimbangannya, meliputi perilaku dirinya sebagai makhluk

individu. makhluk sosial. dan makhluk Tuhan.

Selain

itu.

penelitian ini pun mengungkap pola pendidikan moral yang

ter.iadi di

lingkungan

keluarga

orang

miskin

perkotaan.

Perolehan informasi tentang moralitas mereka merupakan

hal

penting. sebagai pertimbangan terhadap pencarian alternatif

model pengentasan dalam perspektif Pendidikan Umum.

Karena

moralitas

berkenaan dengan

seluruh aspek

kehidupan manusia baik yang

teramati maupun

tidak,

maka

penelitian

ini

menggunakan

pendekatan

naturalistik.

(4)

dipertanggungjawabkan

secara

akademik,

proses

dilakukan

sesuai dengan tradisi naturalistik

yang

memadukan

proses

emic dengan proses etic.

Hasil

penelitian

menun.jukkan

bahwa

orang

miskin

perkotaan memiliki karakteristik moralitas

yang

cenderung

antipodi terhadap pembangunan. baik

dalam

posisi

dirinya

sebagai makhluk individu, makhluk

sosial.

maupun

makhluk

Tuhan. Selain

itu

terungkap

pula

indikasi

bahwa

orang

miskin perkotaan kurang memberikan

perhatian

yang

serius

terhadap pendidikan

moral

bagi

anaknya

di

lingkungan

keluarga.

Lebih

jauh

terungkap,

bahwa

karakteristik

moralitas mereka serta terabaikannya pendidikan moral

bagi

anak, adalah adalah sebagai imbas dari kebudayaan mereka.

Disimpulkan bahwa kebudayaan

kemiskinan

memberikan

warna secara dominan terhadap moralitas masyarakat miskin.

Karena budaya

ini

mengandung

nilai-nilai

yang

antipodi

terhadap pembangunan.

menjadikan

moralitas

mereka

tidak

selaras dengan moralitas pembangunan.

Implikasinya

adalah

upaya pengentasan kemiskinan

harus

pula

menyentuh

aspek

moralitas mereka tidak sekedar aspek ekonomi.

Akhirnya

penelitian

ini

merekomendasikan

model

pengentasan kemiskinan

yang

mengorientasikan

pada

upaya

memanusiawikan kembali

orang-orang

miskin

sesuai

dengan

fitrah penciptaan manusia. untuk menatap masa depan

secara

optimis. serta menemukan jati dirinya sebagai makhluk

yang

mulia (insan kamil). Operasionalisasinya melibatkan seluruh

sumber daya yang ada di Kelurahan Utan Panjang. Bagi pengem

bangan perkuliahan Pendidikan Umum diPerguruan Tinggi.

di-rekomendasikan pula agar disa.iikan realitas kemiskinan yang

bersifat problematik.kontekstual.dan

aktual.dengan

metode

perkuliahan yang

berkarakteristikkan

affective

oriented,

dalam rangka menumbuhkembangkan kepedulian sosial mahasiswa

(5)

ABSTRAK

1

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI

v n

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB

I PENDAHULUAN

1

A. Dasar Pemikiran

1

B. Latar Belakang Masalah

13

C Masalah Utama Penelitian 18

D. Fokus Penelitian 23

E. Tu.iuan Penelitian 25

F. Manfaat Penelitian 26

BAB

II

MORALITAS DAN KEMISKINAN

29

A. Kajian tentang Moralitas 29

1.Moralitas dan Kompleksitasnya ... 29

2.Aspek-aspek Moralitas 40

3.Kedudukan Moralitas dalam Pendidik

an Umum 50

4.Pendidikan Moral dalam Keluarga 60

B. Kajian tentang Kemiskinan 76

l.Definisi dan Karakteristik

Kemiskin-an 76

2.Beberapa Teori Kemiskinan 81

3.Kemiskinan di Perkotaan 84

4.Kebudayaan Kemiskinan 87

(6)

BAB III PROSEDUR PENELITIAN 92

A. Pendekatan dan Metode Penelitian 92

B. Paradigma Penelitian 34

C. Sumber Data dan Responden 99

D. Instrumen Penelitian 101

E. Pengumpulan Data 105

F. Analisis dan Interpretasi Data 110

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 114

A. Hasil Penelitian 114

l.Gambaran Umum Kelurahan Utan Panjang .. 114

2.Identitas Responden 141

3.Moralitas Orang Miskin Perkotaan 149

B. Pembahasan Hasil Penelitian 205

l.Pola Kehidupan Orang Miskin Perkotaan.. 205

2.Moralitas Orang Miskin Perkotaan • 209

3.Pendidikan dalam Keluarga Orang Mis

kin Perkotaan 219

BAB V RESIMPULAN. IMPLIKASI. DAN REKOMENDASI 225

A. Kesimpulan 225

B. Implikasi 229

C. Rekomendasi 232

DAFTAR PUSTAKA • 241

IDENTITAS PENELITI 246

(7)
[image:7.595.121.498.77.802.2]

Tabel 1 Struktur Penduduk dan Penyebarannya 121

Tabel 2 Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Pen

didikan 122

Tabel 3 Struktur Penduduk Berdasarkan Mata

Penca-harian 123

(8)
[image:8.595.75.499.64.806.2]

Gambar 1 Denah Kelurahan Utan Panjang Kecamatan

Kemayoran Jakarta Pusat 118

Gambar 2 Struktur Organisasi Kelurahan Utan Panjang

(9)

PENDAHULUAN

A. Dasar Pemikiran

Proses pembangunan membutuhkan daya dukung yang

maksimal dari berbagai aspek, karena pada dasarnya

keberhasilan pembangunan merupakan resultante dari suatu

proses yang melibatkan banyak variabel terkait, baik fisik

maupun psikhis, material maupun spiritual, lokal maupun

nasional. Dalam kacamata budaya setidaknya ada empat

faktor dasar yang merupakan modal dalam proses

pembangunan, yaitu anthropos, oikos, teknos, dan ethos

(Poespowardojo, 1993:13).

Anthropos yang berarti manusia merupakan variabel

determinan dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan

kekhasan dan keistimewaan manusia itu sendiri dari makhluk

ciptaan Tuhan lainnya, yaitu mempunyai kemampuan yang

kreatif dalam mengolah dan memanfaatkan dunianya secara

manusiawi. Memang manusia hadir di dunia ini tidaklah

dengan sendirinya menjadi makhluk yang paripurna,

melainkan merupakan sosok yang sedang menjadi dengan cara

melakukan aktualisasi diri dan memberikan nilai

(10)

manusia tidak

saja

bertindak

sebagai

faktor

pendukung

melainkan lebih jauh sebagai pencipta dan sekaligus tujuan

dari pembangunan itu sendiri.

Selanjutnya adalah oikos yang berarti lingkungan.

Lingkungan di sini tidak sekedar berarti tempat dimana

manusia melakoni kelangsungan hidupnya, melainkan lebih merupakan lebenswelt atau medan yang di dalamnya manusia

berjuang untuk hidup melalui karya dan aktifitasnya.

Melalui lingkungan inilah manusia melakukan proses

pembudayaan sehingga pada akhirnya menjadikan dirinya

sebagai makhluk yang berbudaya. Oleh karena itu, atas

dasar hubungan yang intira antara manusia dengan

lingkungannya itulah, maka memelihara dan menjaga

lingkungan alam demi keselamatan dan kesejahteraan hidup

masyarakat, merupakan tuntutan moral yang berumberkan pada

suara hati nurani.

Faktor ketiga adalah teknos yang berarti alat. Alat

ini merupakan perpanjangan tangan manusia dalam mengolah

alam. Dengan kata lain alat ini mengatasi keterbatasan

fisik manusia dalam membudayakan alam untuk kepentingan

dan kesejahteraan hidupnya. Tingkat perkembangan tekne ini

mencerminkan perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri.

Bahkan Franklin menyebut manusia

sebagai

a

tool

making

(11)

digunakan untuk mengkaryakan dunianya.

Faktor keempat adalah ethnos yang berarti

komunitas, yaitu proses dan hasil interaksi dari para

individu anggota masyarakat. Faktor ethnos ini pun penting

mengingat bahwa kebermaknaan karya dan kreatifitas dari setiap orang akan terwujud manakala dikomunikasikan dan

diartikulasikan dalam jalinan dinamika komunitas, dan yang

pada gilirannya akan dijadikan sebagai milik bersama.

Itulah

sebabnya

keberhasilan-keberhasilan

yang

dicapai

melalui proses pembangunan harus dapat dirasakan dan dilestarikan dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Dari keempat faktor dasar pembangunan tersebut,

yang paling menentukan dari semuanya adalah manusia atau

yang dikenal sebagai sumber daya manusia. Manusia

merupakan perencana, pelaksana, dan tujuan dari

pembangunan itu sendiri. Hal ini terkait dengan potensi

kemanusiaan secara kodrati, yaitu mampu merasa,

berkehendak, berpikir, berimajinasi, berkreasi, berkarya;

tentang kehidupan pada taraf yang paling kompleks serta

dalam jangkauan ruang dan waktu yang panjang.

Referensi yang paling otentik tentang hal tersebut

adalah agama, misalnya Agama Islam (agama yang penulis

peluk). Di dalam Al Quran dikatakan bahwa kehadiran

(12)

dimanfaatkan untuk mengelola alam, serta menjadi khalifah

di muka bumi ini (QS, 2:30). Morteza Mutahhari

menggambarkan keunggulan manusia dalam empat dimensi

<Dawam Rahardjo,1985:126). Pertama bahwa manusia saja yang

memiliki pengenalan terhadap diri dan lingkungan, kedua,

manusia memiliki keinginan-keinginan yang menguasai

manusia itu sendiri, ketiga, adanya tingkat dimana manusia dipengaruhi oleh keinginan-keinginan tersebut,

serta keempat, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan

pilihan. Keunggulan-keunggulan itulah yang mengantarkan

manusia pada posisi khalifah di muka bumi.

Karakteristik sumber daya manusia yang dibutuhkan

oleh proses pembangunan nasional sudah tentu adalah

manusia yang berkualitas. Kualitas di sini tidak sekedar

menunjuk kepada karakteristik penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan menunjuk pula pada karakteristik mentalitas. Mentalitas ini berkenaan dengan sifat dan sikap dasar yang positif, seperti kejujuran,

etos kerja yang tinggi, rela berkorban, pengabdian, dan

sebagainya, juga kondisi yang peka terhadap kemajuan. dan

mampu raenghargai hal-hal baru. Hal terakhir ini

(13)

dengan demikiaii masyarakat tidak

sekedar

dapat

terlibat

dan berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional

melainkan lebih

jauh

dari

itu

dapat

menjadi

promoter

pembangunan.

Pembangunan nasional Indonesia yang dilaksanakan

secara bertahap. terencana, berkesinambungan, sejak Pelita

I sampai dengan Pelita V sekarang ini,

telah

menampakkan

hasil yang nyata dan terasakan oleh masyarakat. Tidak

hanya terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat secara luas,

tetapi juga tersedianya sarana dan prasarana

di

berbagai

bidang kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi sebab

terbukanya mobilitas usaha baik bagi sektor swasta

maupun

sektor pemerintah. Keseroua ini mengarah

pada

tercapainya

kekuatan struktur perekonomian nasional,

dengan

sejumlah

indikatornya seperti kenaikan

GNP,

berkembangnya

ekspor

dan perdagangan, tumbuh-kembangnya sektor industri.

meluasnya kesempatan kerja, serta terciptanya pertanian

yang maju.

Keberhasilan-keberhasilan pembangunan nasional

telah pula mampu menimbulkan dinamisasi dan peningkatan

kreatifitas

masyarakat.

Masyarakat

telah

mampu

memanfaatkan peluang-peluang yang ada dalam proses

pembangunan dan mampu membawa diri dalam spirit

kehidupan

(14)

mapan, serta melihat jangkauan kehidupan ke

depan

secara

pasti. Mereka menjadi

lincah

dalam

usaha

dan

perilaku,

serta memiliki kemampuan dan

kaya

akan

inisiatif

dalam

kehidupannya. Jadi memang ada hubungan timbal balik antara

keberhasilan

pembangunan

dengan

peningkatan

kualitas

sumber daya manusia.

Namun masalahnya sekarang adalah

apakah

perubahan

sikap, perilaku, dan mentalitas sebagai dampak

lain

dari

keberhasilan

pembangunan

terjadi

pada

semua

lapisan

masyarakat. Dengan kata

lain,

apakah

proses

dan

hasil

pembangunan nasional

telah

menyentuh

kehidupan

seluruh

masyarakat Indonesia.

Secara empirik tidak dapat dipungkiri, tampak bahwa

sentuhan keberhasilan pembangunan nasional

lebih

efektif

mengena pada kalangan tertentu,

khususnya

kalangan

elit

seperti

kalangan

terpelajar,

lapisan

atas.

dan

kaum

profesional. Kalangan elit ini dalam waktu singkat

dengan

memanfaatkan peluang dan modal yang ada dapat dengan mudah

melipatgandakan aset kekayaan mereka, sehingga dengan aset

kekayaan yang melimpah ini mereka mampu menyerap informasi

.sebanyak mungkin yang sangat menguntungkan bagi

(15)

Berbeda kondisinya dengan yang terjadi pada

kalangan masyarakat bawah.Pada kalangan lapisan masyarakat

bawah ini sentuhan-sentuhan tersebut belum terasakan

secara efektif, bahkan mungkin pula banyak di antara

mereka dari lapisan ini belum merasa tersentuh sama sekali

oleh keberhasilan pembangunan nasional. Itulah sebabnya

meskipun dinamika pembangunan nasional Indonesia tetap

berjalan dan keberhasilan-keberhasilan pembangunan pun

makin tampak, namun banyak pula masalah-masalah yang cukup

mendasar, yang belum dapat terpecahkan, seperti masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, masalah pengangguran, dan

sebagainya.

Memang disadari bersama bahwa pembangunan nasional

merupakan proses yang panjang, yang penuh dinamika dalam

mencapai cita-cita. Oleh karena itu fenomena-fenomena

sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan

sosial, dan semacamnya tidak dapat ditatap sebagai kondisi

yang berstatus quo dalam alam pembangunan yang sudah

selesai. Fenomena sosial tersebut merupakan bidang garap

pembangunan pula yang sedang menuju ke arah cita-cita yang

ideal yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata baik

material maupun spiritual. Hal ini tampak dalam pola dasar pembangunan nasional. dimana ditegaskan bahwa hakekat

(16)

MPR RI, tahun 1993).

Naroun meropercepat dinamika pembangunan nasional

mencapai cita-citanya yang ideal itu merupakan keharusan.

Bahkan hal ini merupakan kewajiban bagi setiap warga

negara Indonesia, dengan cara mewujudkannya melalui

karya-karya yang bermanfaat dalam profesinya masing-masing

dengan dilandasi oleh semangat pengabdian.

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang mendasar

dan belum terpecahkan di negeri ini. Kondisi masyarakat

miskin yang serba kurang , pendidikan yang rendah,

jangkauan komunikasi yang sangat terbatas, memudahkan

terjadinya involusi budaya yang kental. Mereka cenderung berpersepsi dan bersikap sempit serta eksklusif sebagai

manifestasi atas ketidakmampuannya menyerap nilai-nilai

yang melatarbelakangi industrialisasi, serta reaksi

negatif terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh

proses pembangunan nasional. Hal ini menggiring pada

terciptanya mentalitas yang statis, yaitu tiadanya

pengenalan kognitif yang tepat mengenai perkembangan dan

kemajuan serta adanya sikap tertutup dalam memandang

kebermaknaan nilai industrialisasi bagi kehidupan manusia.

Padahal dua hal terakhir itu merupakan unsur fundamental

dalam membentuk sikap dan mentalitas masyarakat baru yang

(17)

miskin tidak dapat berperan aktif dalam proses-proses

pembangunan dan tidak pula mendapatkan peluang untuk

mendinamisaikan kehidupannya, baik dalam arti materi

maupun non materi. Oleh karena itu tidak jarang mereka

seperti terpisah dari siklus kehidupan pada umumnya.

Mereka hanya bergaul antar sesama orang miskin dengan

budayanya yang mencerminkan kemiskinan. Jika keberadaan

mereka relatif abadi dalam kemiskinan, maka jelas hal ini

merupakan beban pembangunan nasional. Oleh karena itu

sejak pemerintahan Orde Baru melalui program-program

pembangunannya pemerintah telah memberikan perhatian yang

serius dalam upaya menangani masalah kemiskinan.

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang kompleks.

Kompleksitasnya tidak sekedar terkait dengan aspek

ekonomi, melainkan pula terkait dengan aspek budaya.

Artinya orang-orang miskin senantiasa hidup dengan budaya

kemiskinannya. Bahkan tampak ada benang merah bahwa

mengentalnya fenomena kemiskinan adalah karena faktor

intern dan ekstern, dimana antara keduanya terdapat

hubungan yang sangat berarti. Faktor ekstern berupa gejala

ketidakmerataan kekayaan dan kemakmuran akibat sistem

perekonomian dan kebijaksanaan yang ada (perspektif

ekonomi), sedangkan faktor intern merupakan faktor budaya,

(18)

mengentalkan kemiskinan itu sendiri, yang terbentuk

sebagai akibat negatif faktor ekstern.

Oleh karena itu maka melihat kemiskinan tidaklah

roemadai apabila dipandang dalam perspektif ekonomi saja.

Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang multi

dimensional, sehingga upaya pengentasannya pun haruslah

merupakan usaha yang multi dimensional pula, di mana

pelaksanaannya dilakukan secara terpadu, terarah, dan

berkesinambungan.

Mengentaskan kemiskinan melalui perspektif budaya

berarti membina sikap mental dan moralitas mereka untuk

tidak miskin. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa budaya

kemiskinan merupakan pengejawantahan dari sikap mental

kemiskinan itu sendiri, seperti fatalistik, etos kerja

rendah, ketergantungan yang tinggi, rendah diri. dan

sejenisnya. Asumsi ini dilandaskan pada kebudayaan itu

sendiri yang timbul sebagai hasil hubungan dialogis antara

manusia dengan dunia sebagai wahana huniannya

(Poepowardojo, 1993:52). Budaya kemiskinan ini jika

berlangsung secara berlarut-larut akan menjadikan

masyarakat miskin menjadi kurang manusiawi. Demi untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak mereka

dengan mudah melepaskan norma-norma kemanusiaannya. Dan

kondisi semacam ini menjadi lebih parah lagi manakala

(19)

nasibnya di masa-masa mendatang.

Dengan demikian upaya mengentaskan kemiskinan tidak

cukup jika hanya dilaksanakan dari sektor ekonomi saja,

seperti memberikan bantuan kebutuhan hidup, pinjaman

modal, dan sejenisnya, melainkan harus dibarengi dengan

pembinaan sikap, mental, dan moral, agar mereka kembali

menjadi manusia yang teguh memegang sendi-sendi

kemanusiaannya.

Dalam hal membina sikap mental dan moral masyarakat

miskin, Pendidikan Umum sangat peduli, karena memang

Pendidikan Umum merupakan program pendidikan yang

dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan secara menyeluruh dan seimbang, sehingga dapat

benar-benar menjadi manusia yang utuh dalam arti manusia

yang dapat mengenali jati dirinya serta mengenali martabat

kemanusiaannya. Manusia yang demikian sudah tentu adalah

manusia yang dapat membebaskan diri dari belenggu

kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Hal ini

selaras dengan apa yang ditegaskan oleh Wolfgang Klafki,

bahwa Pendidikan Umum mempunyai tujuan untuk (1) the

development of human power, (2) the comprehensive

education of man, the education of head, heart, and hand.

(3) general education for all (Nursid Suraaatraadja, 1992).

Hal ini berarti bahwa melalui Pendidikan Umum

(20)

menyentuh afeksi mereka, sehingga hati nurani mereka

tergugah untuk dapat menatap kehidupan secara positif. Pembinaan moral dan sikap mental bagi orang-orang miskin

sangat penting, karena hal ini merupakan dasar bagi

pembinaan sumber daya manusia. Mentalitas dan moralitas

yang khas orang miskin seperti inferioritas, fatalistis,

tidak percaya diri, dan sejenisnya dibina melalui proses Pendidikan Umum, sehigga menjadi manusia yang mempunyai moralitas dan mentalitas yang positif, yang selaras dengan

alam pembangunan.

Selain itu mereka pun perlu dilatih dengan sejumlah

keterampilan tertentu yang secara fisik dapat mereka

lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan

dimilikinya sejumlah keterampilan pada masyarakat miskin

dimana hal ini dapat digunakan untuk mempertahankan dan

meningkatkan taraf hidupnya, mereka akan lebih memiliki

harapan akan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.

Mereka memiliki rasa percaya diri untuk menyongsong hari

esok yang lebih cerah.

Dalam perspektif Pendidikan Umum, pembinaan dan

pelatihan yang diberikan kepada masyarakat miskin tersebut

tidaklah sekedar berhenti pada penguasaan ilmu pengetahuan

dan keterampilan tertentu saja, melainkan lebih jauh dari

itu adalah terbinanya kualitas moral yang tinggi seperti

(21)

mandiri, perencanaan hidup secara sistematis. dan

sebagainya sehingga masyarakat dapat terlepas dari budaya

kemiskinan. Paulo Freire (1985:32) menegaskan mengenai hal

ini sebagai berikut:

"Dari para pendidik, andil khusus yang diperlukan untuk masyarakat yang baru lahir ini adalah pendidik an kritis yang akan membantu terbentuknya sikap-sikap yang kritis, mengangkat kesadaran naif rakyat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan

membuatnya mudah termakan irasionalitas. Hanya pendidikan yang memperlancar pergeseran kesadaran

transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis yang

akan mengembangkan kemampuan manusia untuk melihat tantangan-tantangan dari zamannya, yang akan dapat

menyiapkan rakyat untuk melawan kecenderungan

emosional dari masa transisi"

Bagi pengembangan program Pendidikan Umum di

pergu-ruan tinggi, penyajian fenomena kemiskinan merupakan hal

yang penting, agar mahasiswa memiliki kepedulian sosial

untuk berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan, baik

dalam posisi dirinya sebagai mahasiswa maupun sesuai de

ngan profesinya kelak. Ada kesan empirik, bahwa perkuliah

an PU selama ini, khususnya melalui perkuliahan IBD kurang

menyajikan fenomena kemiskinan ini secara memadai. Kemis

kinan lebih banyak disajikan secara teoritis belaka.

B. Latar Belakang Masalah

Masyarakat miskin merupakan komunitas manusia yang

hidup terbelakang. Mereka tidak dapat bersaing dengan

(22)

ketiadaan fasilitas baik fisik maupun psikhis, sehingga mereka selalu tertinggal dan tidak dapat menikmati hasil-hasil perkembangan kehidupan secara nyata.

Secara ekonomis, masyarakat miskin mendapatkan

penghasilan yang rendah, sekedar memenuhi kebutuhan makan

sehari-hari bahkan sering kekurangan. Jam kerja mereka

tidak terbatas serta peluang kerjanya bersifat musiman

(tidak permanen). Mereka pada umumnya tergolong ke dalam kelompok tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled

labour)(Suparlan, 1984:14, Me.Gee dalam Manning dan

Effendi, 1985:85).

Ketertinggalan dalam bidang ekonomi ini menempatkan

mereka pada status sosial yang rendah. Pendidikan mereka

relatif rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama

sekali, karena ketiadaan dana dan peluang untuk

mendapatkannya. Pemukiman yang mereka huni pada umumnya

berupa pemukiman kumuh, dengan kondisi lingkungan yang

tidak memperhatikan segi kesehatan bahkan sering pula

mengabaikan segi keamanan. Bahkan terkadang mereka

menempati bangunan sementara pada lahan yang kosong dan

berstatus sebagai penghuni liar.

Kemiskinan merupakan standar tingkat hidup yang rendah. Pertama, dapat dipandang sebagai tingkat

kekurangan materi yang antara lain terlihat dalam hal

(23)

tangga, dan harta benda lainnya. Kedua, kemiskinan pun

dapat dipandang sebagai tingkat kekurangan non materi,

yaitu meliputi berbagai macam kekurangan untuk memperoleh

informasi, berpartisipasi dalam organisasi, serta

melakukan hubungan-hubungan sosial.

Kondisi-kondisi yang menyertai mereka sebagaimana

diuraikan di atas menjadikan tiadanya kesempatan pada diri

mereka untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial, baik

yang berkenaan dengan aspek ekonomi (pemenuhan kebutuhan

sandang-pangan), aspek politik (keikutsertaan dalam

organisasi sosial politik), maupun jaringan sosial yang

dapat menciptakan pekerjaan yang layak, pembinaan

keterampilan yang memadai, serta perolehan informasi yang

berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

Kemiskinan di daerah perkotaan menjadi lebih

kompleks lagi permasalahannya. Hal ini disebabkan pada

kedudukan kota itu sendiri yang tersusun dalam suatu

jaringan yang bertingkat-tingkat serta merupakan pusat

pemerintahan dan pendominasian bagi pengaturan

kesejahteraan kehidupan warga masyarakat secara luas.

Mekanisme ini tidak sekedar melibatkan aspek-aspek politik

dan administrasi saja, melainkan menyertakan pula

aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, komunikasi dan

transportasi. Kenyataan inilah yang menjadikan banyak

(24)

perkotaan daripada tinggal di daerah pedesaan. Maka dapat

diduga bahwa penduduk kota jauh lebih banyak dibandingkan

dengan penduduk yang berada di daerah pedesaan.

Daerah perkotaan memang tampak dinamis dan memiliki

potensi yang besar untuk menampung berbagai macam tenaga

kerja, dari yang kasar sampai yang halus, dari yang bersih

sampai yang kotor, dan dari yang bermoral sampai kepada

yang tidak bermoral (Suparlan, 1984:18). Namun demikian

tidak berarti bahwa mereka yang hidup di daerah perkotaan

semuanya dapat memperoleh kamajuan dan menikmati

kesejahteraan. Di antara mereka banyak yang kalah dalam

bersaing sehingga terpelanting dari dinamika kehidupan

kota. Mereka ini adalah masyarakat marginal yang

berkarakteristik miskin. Nuansa individualistik dari

kehidupan masyarakat kota lebih menjadikan antar anggota

masyarakat yang satu dengan lainnya tidak perduli. Hal ini

memperkokoh jurang pemisah antara si kaya dengan si

miskin, baik dalam konteks sosial, politik, maupun budaya.

Mereka terbelah dan merasa asing antara satu dengan lainnya. Tidak jarang juga diantara kedua kelompok ini

terdapat rasa saling mencurigai.

Komunitas miskin perkotaan dengan warna

kehidupannya melahirkan kebudayaan tersendiri. Kebudayaan

mereka ini muncul sebagai perwujudan dari adaptasi mereka

(25)

hadapi. Dalam kondisi serba kurang mereka tidak mampu

memperoleh kebutuhan-kebutuhan kehidupan secara layak,

yang primer sekalipun. Itulah sebabnya, mereka pada

umumnya hidup di daerah kumuh dengan kondisi yang penuh

sesak dengan penghuni. Kebutuhan-kebutuhan yang selalu

mendesak untuk dipenuhi, memaksa perilaku-perilaku negatif

dilakukan oleh mereka. Peristiwa pencurian merupakan hal

yang mereka anggap biasa. Beberapa wanita pun rela

menjajakan dirinya secara murah sekedar mendapatkan

sedikit uang, tidak terkecuali mereka yang bersuami. Dalam

kehidupan mereka pun banyak dijumpai adanya praktek hidup

bersama tanpa nikah, sebagai akibat ketidaktahuan dan

ketidakmampuan mereka mengikuti norma-norma kehidupan

masyarakat pada umumnya. Hidup secara keras bagi mereka merupakan hal yang biasa, sehingga perkelahian,

pencopetan, curiga-mencurigai, bukan merupakan hal aneh.

Pola-pola kelakuan dan sikap-sikap yang ditunjukkan

oleh orang-orang miskin perkotaan sebagaimana diuraikan di

atas memang merupakan suatu cara yang tepat untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan mereka yang penuh derita

itu. Cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi

terbentuknya kebudayaan kemiskinan. Seperti ditegaskan

oleh Lewis (1984:37), bahwa kebudayaan kemiskinan

(26)

mereka hadapi.

Kebudayaan kemiskinan dengan karakteristiknya

sendiri mengejawantahkan sub moralitas tersendiri pula,

yang berbeda karakteristiknya dengan moralitas pada

masyarakat umum.

Moralitas merupakan kualitas dalam perbuatan

manusia yang dengan itu dapat dikatakan bahwa perbuatan

tersebut benar atau salah, baik atau buruk, dalam ukuran

nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu moralitas inilah

yang merupakan ukuran manusia sebagai manusia. Robert

H.Libert menegaskan, morality always concerned with

interpersonal, duty, propriety, and expediency (Kosasih

Djahiri, 1992:6).

Terdapat indikasi bahwa sub moralitas masyarakat

miskin ini cenderung leastari, karena selalu diwariskan

dari generasi orang tua kepada generasi anak-anaknya. Hal

ini terjadi melalui proses sosialisasi baik yang terjadi

dalam lingkungan kehidupan keluarga, maupun sosialisasi

yang terjadi dalam komunitas mereka.

C. Masalah Utama Penelitian

Orang miskin kota hidup dengan tata nilai dan

budaya tersendiri yang cenderung eksklusif di

tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Bahkan antara

(27)

kemiskinan semakin mengentalkan tata nilai dan budaya

mereka. sementara sebaliknya tata nilai mereka pun akan

banyak berpengaruh terhadap pola pikir dan pola laku

mereka untuk tetap bertahan pada kondisi miskin.

Namun demikian, meskipun kehadiran mereka tampak

eksklusif baik dari segi fisik dan penampilan maupun tata

nilai

di

tengah

masyarakat

pada

umumnya,

orang-orang

miskin kota adalah tetap merupakan bagian dari kesatuan masyarakat kota secara keseluruhan. Apalagi secara

politis, pemerintah telah dan akan terus mengupayakan agar

kesenjangan antara si miskin dan si kaya tidak terlalu

menyolok, sebagai upaya dalam rangka menciptakan

masyarakat adil dan makmur. Oleh pemerintah setempat juga

diupayakan agar antara

orang

miskin

dengan

orang

yang

tidak miskin sering bertemu dan terlibat dalam kegiatan

sosial secara bersama-sama, seperti melalui kerja bakti,

kenduri, pengajian, dan semacamnya.

Sebagai makhluk sos'ial, memang mau tidak mau mereka

elakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak lain di

luar komunitas mereka. Hal ini mereka lakukan baik dalam

rangka memenuhi kebutuhan ekonomi mereka maupun dalam

mengupayakan rasa aman terhadap diri dan keluarganya.

Namun derita yang panjang dan tiada henti-hentinya

yang mereka alami akibat kemiskinan, serta

ketidakmenentuan akan aharapan di hari esok, menjadikan

(28)

mereka tetap mencerminkan dirinya sebagai orang miskin,

dengan tata nilai dan moral serta budaya yang khas sebagai

orang miskin.

Salah satu hal yang menarik bagi peneliti adalah

mengetahui moralitas mereka. Hal ini penting agar dapat

dicarikan alternatif model pengentasan kemiskinan secara

memadai, tidak hanya berperspektif ekonomi tetapi juga

berperspektif Pendidikan Umum, mengingat bahwa fenomena

kemiskinan mengejawantahkan tata nilai tertentu. Yang

dimaksud moralitas di sini adalah kualitas perbuatan

manusia sebagai manusia. Seperti dikatakan oleh Magnis

Suseno (1991:19) moral selalu mengacu pada baik-buruknya

manusia sebagai manusia, bidang moral adalah bidang

kehidupan manusia dilihat dari kebaikannya sebagai

manusia, bukan sebagai pelaku peran tertentu.

Mengungkap moralitas merupakan pekerjaan yang tidak

mudah. Hal ini terkait dengan karakteristik moralitas itu

sendiri yang tidak sekedar terartikulasikan dalam

perilaku-perilaku individu yang teramati, melainkan pula

berkenaan dengan aspek-aspek yang terdapat dalam. diri

individu yang melatarbekalangi perilaku tersebut. Oleh

karena itu upaya mengungkap moralitas seseorang haruslah

dilakukan secara komprehensif, jeli, dan mendaiam terhadap

kehidupan seseorang itu.

(29)

ini seperti ditegaskan

oleh

Kurtines

(1992:88)

sebagai

berikut

"... banyak

ahli

filsafat

moral

maupun

mereka

yang menganalisis bahasa moral, kompetensi

pertumbuhan

moral

merupakan

suatu

keharusan

bagi

lahirnya tindakan moral. Sebelum suatu tindakan dapat

dipandang sebagai suatu tindakan moral,

alasan

atau

motivasi si pelaku melakukan" tindakan tersebut harus terlebih dahulu diuji".

Antara pertimbangan moral dengan perilaku moral

tidak dapat

dipisahkan

sama

sekali

untuk

menuju

pada

pengungkapan moral secara sebenarnya. Kedudukan

pertimbangan moral terhadap perilaku moral merupakan kunci

awal bagi perbuatan tersebut, apakah

dapat

dikategorikan

sebagai perilaku moral ataukah tidak. Sedangkan kedudukan

perilaku moral

terhadap

pertimbangan

moral

merupakan

manifestasi berupa

evidensi

akan

apa

yang

dipikirkan,

dirasakan, dan dipahami

oleh

seseorang

terhaddap

suatu

keharusan.

Secara operasional,

pertimbangan

moral

merupakan

segala

hal

yang

dijadikan

sebagai

alasan.

dorongan,

tujuan, sehingga seseorang berbuat sesuatu. Dan

perbuatan

moral

merupakan

aktifitas-aktifitas

yang

tampak

dalam

segala aspek kehidupan. yang bermanfaat bagi

kemaslahatan

umum dan didasari oleh tanggung jawab untuk melakukannya.

(30)

terbina melalui jaringan interaksi dan komunikasi antar

sesama manusia dan lingkungan sosialnya. Melalui

jaringan-jaringan tersebut individu melakukan apresiasi,

peniruan, penolakan, pemantapan, dan sebagainya, khususnya

terhadap orang-orang tertentu yang oleh individu yang

bersangkutan dianggap sebagai figur. Proses-proses psikhis

tersebut pada dasarnya merupakan proses sosialisasi

moralitas, yang jika disertai dengan sentuhan-sentuhan

kesengajaan, sadar tujuan, perencanaan, pengawasan, dan

semacamnya akan menjadi proses pendidikan moral.

Bagi individu yang masih dalam taraf kanak-kanak

dimana pada dirinya sedang terjadi proses sosialisasi

moral, maka "figur yang dijadikan rujukan utamanya adalah

orang-orang yang terdekat dengannya, yaitu orang dewasa

yang berada dalam lingkungan keluarganya, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, dan sebagainya. Begitu juga jaringan lingkungan sosial bagi dirinya adalah lingkungan keluarganya. Haj. ini sejalan dengan kemampuan dirinya yang

masih kanak-kanak sehingga kemampuan untuk terlibat dalam

jaringan interaksi dan komunikasi sosial yang efektif

hanya sebatas lingkungan keluarga.

Bagi pihak orang tua sendiri sesuai dengan naluri

(31)

tujuan dan terencana dengan didasari oleh rasa kasih

sayang dari orang tua kepada anak-anaknya agar mereka

memiliki moralitas yang baik, sebagai

dasar

bagi

mereka

dalam

menjalani

kehidupan

di

masa

yang

akan

datang.

Manifestasinya dapat berupa

upaya

yang

bersifat

verbal

maupun yang bersifat perbuatan (keteladanan). Itulah

sebabnya dalam keluarga jenis apa pun; kaya

atau

miskin,

terjadi proses pendidikan moral.

Dalam kehidupan keluarga miskin sudah tentu iklim

pendidikan

moralnya

akan

banyak

diwarnai

oleh

budaya

kemiskinan itu sendiri. Di sinilah sisi lain yang menarik,

yang hendak diungkap melalui penelitian ini.

Ada tiga pertanyaan penelitian yang diajukan di

sini.

l.Bagaimanakah

kualitas

perilaku

moral

orang

miskin

perkotaan ?.

2.Bagaimanakah motivasi, tujuan, dan alasa yang mendasari

perilaku moral orang miskin perkotaan ?

3.Bagairoanakah proses pendidikan moral yang terjadi dalam

keluarga orang miskin perkotaan ?.

D. Fokus Penelitian

Sebagaimana telah ditegaskan terdahulu bahwa

(32)

manusia. bukan berkenaan dengan baik-buruk sebagai peiaku

peran tertentu dan terbatas. Oleh karena itu bidang ini

berkenaan dengan bidang kehidupan manusia dilihat dari

segi kebaikannya sebagai manusia dalam kehidupannya.

Dengan demikian pengungkapan moralitas akan

raengalami kesulitan manakala sekedar ditelusuri melalui

informasi verbal belaka. Memang informasi verbal jika

penggaliannya dilakukan secara cermat dan hati-hati akan

dapat mengungkapkan pertimbangan moral seseorang. Namun

hal ini baru merupakan bagian dari moralitas. Moralitas

mengejawantah dalam seluruh aspek kehidupan manusia,

secara wajar dan alami.

Pengungkapan moralitas yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah melibat secara langsung kehidupan

masyarakat miskin, hidup di tengah-tengah mereka,

menelusuri sepak terjang yang menggambarkan moralitas

mereka. Penelusurannya didasarkan pada titik fokus

penelitian berikut :

1. Perilaku sebagai makhluk individu, yaitu terkait dengan

tanggung jawab akan perilaku dirinya, tanggung jawab

terhadap keluarganya, tanggung jawab terhadap

pekerjaan .

Perilaku hubungan antar sesama manusia, meliputi

kebersamaan (solidaritas sosial), kepedulian sosial,

tanggung jawab sosial, serta partisipasi dalam kegiatan

(33)

kemasyarakatan.

3. Perilaku sebagai warga negara. yaitu kepatuhan terhadap

peraturan perundangan yang berlaku.

4. Perilaku pelaksanaan ajaran agama, yang dalam hal ini

dikhususkan pada ajaran yang bersifat ritual serta

partisipasi dalam organisasi keagamaan.

5. Perilaku hubungan dengan alam sekitar, yaitu meliputi pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan lingkungan

sekitar untuk kesejahteraan kehidupan bersama.

Selanjutnya untuk mengungkap proses pendidikan

moral yang terjadi di kalangan keluarga masyarakat miskin

perkotaan, yang dijadikan titik fokus penelitian adalah

perilaku dan peran anggota keluarga yang telah dewasa,

yaitu;

1. peran sang ayah, sebagai kepala keluarga,

2. peran sang ibu, sebagai ibu rumah tangga,

3. peran anak di atas usia 17 tahun (jika ada),

4. peran kakek dan atau nenek (jika ada).

E. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuah untuk

mendapatkan gambaran tentang moralitas orang miskin

perkotaan yang terjadi di Kelurahan Utan Panjang Kecamatan

Kemayoran Jakarta Pusat, sehingga nantinya akan dapat

(34)

memadai. dalam perspektif Pendidikan Umum. Selain itu.

penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan alternatif

bagi pengembangan perkuliahan Pendidikan Umum di perguruan

tinggi yang dapat menumbuhkerobangkan kepedulian sosial

yang tinggi dari mahasiswa terhadap fenomena kemiskinan.

Sedangkan secara khusus, penelitian

ini

bertujuan

untuk :

1. Mendapatkan deskripsi mengenai kualitas perilaku moral

orang miskin perkotaan di Kelurahan Utan Panjang Keca

matan Kemayoran Jakarta Pusat.

2. Mendapatkan deskripsi mengenai

motivasi,

tujuan,

dan

alasan yang mendasari perilaku moral orang miskin

perkotaan di Kelurahan Utan Panjang Kecamatan Kemayoran

Jakarta Pusat.

3. Mendapatkan deskripsi mengenai proses pendidikan moral

dari generasi orang tua kepada anak-anaknya yang ter

jadi di kalangan keluarga miskin perkotaan di Kelurah

an Utan Panjang Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

membantu pihak-pihak pengambil kebijakan (pemerintah

setempat) khususnya

dan

pihak-pihak

lain

pada

umumnya

dalam mengenali secara cermat karakteristik moralitas

(35)

moralnya, sehingga

dalam

merumuskan

kebijaksanaan

bagi

mereka sebagai upaya pengentasannya dapat dilakukan secara

komunikatif dan integratif,

tanpa

mengabaikan

segi-segi

normatifnya (signifikansi praktis).

Penelitian ini pun diharapkan pula dapat memberikan

pemahaman yang mendaiam bagi

mahasiswa

tentang

perilaku

moral

beserta

pertimbangan-pertimbangannya

di

kalangan

masyarakat

miskin

perkotaan,

dengan

memperhitungkan

faktor-faktor kontekstual secara mendaiam

dan

sistematis

(signifikansi teoritis).

Bagi

program

Pendidikan

Umum,

penelitian

ini

merupakan upaya pengembangan

dan

pendalaman

salah

satu

aspek

kajian

Pendidikan

Umum

yaitu

moralitas,

dalam

realitas kehidupan masyarakat, yang dalam hal

ini

adalah

realitas

masyarakat

miskin.

Dengan

pengenalan

secara

mendaiam akan realita moralitas masyarakat miskin , dapat

disusun strategi

pembinaannya

dalam

rangka

ikut

serta

mengentaskan kemiskinan secara komunikatif. Hal ini

selaras dengan substansi Pendidikan Umum sebagai pendidik

an bagi semua orang dalam rangka membebaskan

mereka

dari

belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Konsekuensi dari substansi Pendidikan

Umum

adalah

terciptanya kepedulian yang

tinggi

dari

para

mahasiswa

(36)

pengentas-an kemiskinan melalui pembinaan moralitas orang-orang

miskin. Dengan demikian perkuliahan program Pendidikan Umum di perguruan tinggi perlu memikirkan alternatif

(37)

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode dan Pendekatan Penelitian

Permasalahan yag diungkap dalam penelitin ini

berkenaan dengan hal-hal yang sedang terjadi dalam

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini tidak

dimaksudkan untuk

melakukan

pengujian

terhadap

suatu

hipotesis

ataupun

teori

tertentu,

melainkan

merupakan

upaya penelusuran bagi penemuan pemahaman baru tentang

fenomena yang dikaji.

Melihat permasalahan yang diteliti, maka cara kerjanya bergerak dari induksi ke deduksi. Oleh karena itu

penelitian

ini

menggunakan

metode

deskriptif

dengan

pendekatannya naturalistik, atau sering disebut juga

dengan kualitatif naturalistik, karena pada umumnya data

yang dikumpulkan pada penelitian naturalistik ini bersifat

kualitatif.

Penelitian naturalistik pada hakekatnya ialah

mengamati orang dalam lingkungan hidupnya. berinteraksi

dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Dengan kata lain

penelitian ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural

setting). Oleh karena itu pendekatan penelitian ini

(38)

memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya

dari

pendekatan-pendekatan

lain.

Guba

dan

lincoln

(1987)

menyebut

karakteristik

ini

dalam

hal

asumsi

terhadap

realitas, peran peneliti, serta

mekanisme

kerjanya

yang

bersifat fenomenologis dan holistik.

Bagi pendekatan kualitatif

naturalistik,

realitas

harus dipandang dan dimaknakan secara holistik, karena

di

dalamnya terdapat saling keterkaitan antara

satu

situasi

dengan situasi lainnya.

Asumsi

pendekatan

ini

terhadap

relitas meliputi; (1) the

nature

of

realilty,

(2)

the

inquirer-respondent

relationships,

(3)

the

nature

of

statements, (4) causality, (5) relation

to

values

(Guba

dan Lincoln, (1981).

Asumsi tersebut memberikan gambaran bahwa

realitas

merupakan fenomena kompleks yang utuh, dan oleh

karenanya

antara

peneliti

dengan

yang

diteliti

harus

terdapat

hubungan yang

intim

( situasi terhayati). Kesimpulan

yang

diperoleh

akan

dapat

diberlakukan

hanya

pada

setting

dengan peristiwa yang

serupa.

Di

dalam

suatu

realitas

senantiasa terkait dengan sejumlah tata nilai. Oleh karena

itulah pendekatan naturalistik

memandang

dan

memaknakan

suatu realitas secara holistik.

Selanjutnya karena

asumsi kualitatif

naturalistik

(39)

pelaksanaan penelitiannya, sang peneliti tidak sekedar

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dipolakan secara

pasti sebelumnya. melainkan harus mampu mengangkat

masalah-masalah yang bersifat esensial yang ditemukan

selama penelitian. Itulah sebabnya, selama proses

penelitian, peneliti perlu sering melakukan modifikasi,

terhadap konsep-konsep yang telah disusun manakala dia

menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu pada umumnya

dikatakan

bahwa

penelitian

naturalistik

dikembangkan

setelah peneliti berada di lokasi penelitian. Hal ini semua membutuhkan mekanisme kerja tersendiri, yang berbeda

dengan

pendekatan

penelitian

lain.

Adalah

Taft (1987)

mengemukakan kekhasan mekanisme kerja pendekatan ini,

yaitu dalam hal (1) prefered methods, (2) source of

theory, (3) knowledge types used, (4) instrument, (5)

design, (6) setting.

B. Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan kumpulan longgar dari sejumlah

asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang

mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Bogdan dan

Biklen. 1982:32).

Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif naturalistik, maka

(40)

(naturalistic paradigma).

Paradigma

ini

tidak

menerima

adanya pandangan hanya satu kebenaran, kebenaran itu lebih

kompleks dari pada yang diduga (Nasution,

1988:4),

serta

beranggapan bahwa

kebenaran

itu

bergantung

pada

dunia

realitas empirik dan konsensus

dalam

masyarakat

ilmuwan

(Nasution, 1988:6). Kebenaran dalam hal ini yang

dimaksud

adalah kebenaran

ilmiah,

yaitu

bahwa

teori

lama

akan

tumbang manakala ditemukan teori baru

melalui

penelitian

ilmiah, serta terbukti bahwa teori lama kurang tepat.

Secara

rinci

paradigma

yang

dipegang

dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Realitas

Moralitas suatu masyarakat akan senantiasa terkait

dengan

kondisi

budaya

masyarakat.

Hal

ini

disebabkan

moralitas ini tidak lahir secara spontan melainkan melalui

proses-proses psikhologis yang panjang. Dalam proses-proses psikhologis ini tatanan nilai yang terdapat

dalam diri seseorang merupakan faktor determinan.

Sedangkan tata nilai yang terdapat

dalam

diri

seseorang

pada dasarnya merupakan hasil internalisasi dari

tatanan nilai budaya yang ada dalam masyarakat, dimana ia

hidup.

Masyarakat miskin perkotaan, sesuai dengan kondisi

(41)

kemiskinan, dimana penampakannya akan merupakan sub budaya tersendiri di tengah budaya masyarakat pada umumnya. Tata nilai mereka adalah tata nilai yang khas miskin, seperti fatalistik, inferioritas, konsumtif, dan sejenisnya. Hal

ini semua akan membentuk moralitas masyarakat miskin itu

sendiri.

Upaya pengentasan kemiskinan melalui perspektif ekonomi telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Namun hasil yang dicapai belum

memuaskan. Hal ini terbukti dengan masih kentalnya

masyarakat miskin dengan tata nilai kemiskinannya yang menjadikan keberadaan mereka relatif abadi, dan juga

masih banyak warga mayarakat kota yang hidup dalam kondisi

miskin.

Upaya pengentasan kemiskinan selain melalui

perspektif ekonomi, perlu juga dilakukan melalui

perspektif pendidikan, yaitu merubah sikap, mental, dan

moral mereka agar keluar dari tata nilai kemiskinan. Dalam

kaitan ini, maka mengenali moralitas mereka dan

sosialisasi moral yang terjadi di lingkungan keluarga

masyarakat miskin merupakan hal yang esensial.

2. Peluang Generalisasi

Hasil penelitian ini diharapkan tidak berhenti

(42)

setting yang ditelaah dari kasus penelitian ini akan

diangkat esensinya yang dapat berlaku umum untuk

selanjutnya dilakukan penyingkapan terhadap makna yang

dikandungnya. Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk

dilakukan generalisasi terhadap kasus-kasus serupa, yaitu

yang konteks dan settingnya sama.

3. Peluang Hubungan Kausalitas

Upaya pengentasan kemiskinan hendaknya merupakan upaya yang bersifat komprehensip. Selain upaya yang

berperspektif ekonomi seperti pemberian bantuan kebutuhan

hidup, pinjaman modal berusaha, dan sejenisnya, tidak kalah pentingnya adalah upaya yang berperspektif pendidikan, yaitu membina dan mengarahkan sikap mental,

tata nilai, dan tata moral mereka, agar tidak mengkristal menjadi sub moralitas miskin yang terjiwai oleh kebudayaan kemiskinan melainkan agar selaras dengan sikap mental,

tata nilai, dan tata moral pembangunan seperti yang

terdapat pada masyarakat umumnya.

Ada kecenderungan bahwa antara karakteristik

moralitas orang miskin dengan kondisi kemiskinannya

terdapat hubungan kausalitas. Hal ini terbukti dengan

adanya kenyataan dalam kehidupan mereka sehari-hari, bahwa

meskipun mereka mendapatkan peluang untuk dapat melakukan

(43)

namun jarang diantara mereka yang memanfaatkan dengan

sebaik-baiknya. Padahal peluang-peluang tersebut sengaja

diadakan dan diciptakan oleh pemerintah dalam rangka

memeratakan kemakmuran, sesuai dengan amanat konstitusi

negara Indonesia.

Ketidakmampuan atau ketidakmauan mereka

memanfaatkan peluang tersebut adalah karena mereka

senantiasa mengambil referensi mentalitas dan moralitas

kemiskinan (Tjetjep Rohendi Rohidi, 1993:124), yang pada

umumnya bersifat berlawanan arah dengan mental dan moral

pembangunan. Oleh karena itu dalam konteks demikian,

moralitas lebih bertindak sebagai faktor sebab dan kondisi

kemiskinan lebih bertindak sebagai faktor akibat, meskipun

dapat terjadi posisi yang sebaliknya.

Oleh karena itu mendapatkan informasi yang

sebanyak-banyaknya tentang moralitas orang miskin

perkotaan, memahami, mengkaji, dan mengarahkannya;

merupakan langkah awal bagi sisi lain upaya pengentasan

kemiskinan.

4. Keterlibatan Peneliti dengan Obyek Penelitian

Dalam hal keterlibatan antara peneliti dengan obyek

penelitian, dirasakan tidak ada kendala apapun. Hal ini

didasarkan pada alasan-alasan berikut:

(44)

yaitu pihak kelurahan, berupa ijin dan dorongan untuk

dilakukannya penelitian di kalangan warganya yang

terkategori sebagai warga miskin.

2) Ada dukungan dari para informan penelitian, yaitu berupa pemberian keterangan dan bantuan yang dibutuhkan

selama dilaksanakannya penelitian ini.

3) Mudah dijangkaunya tempat penelitian, karena daerah ini

banyak dilalui oleh kendaraan umum dari berbagai

jurusan di Jakarta Pusat.

4) Peneliti merasa mudah untuk membaur dan hidup bersama

dengan orang-orang miskin di Kelurahan Utan Panjang ini, untuk mengikuti aktifitas-aktifitas kehidupan

sehari-harinya.

Atas hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa

optimis untuk dapat memahami dan mengkaji moralitas orang

miskin perkotaan yang terdapat di kalangan Kelurahan Utan

Panjang Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat.

C. Sumber Data dan Responden Penelitian

Ada dua macam sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.

Sumber primer adalah sumber yang memberikan data secara

langsung sebagai tangan pertama (dalam hal ini adalah

responden itu sendiri). Sedangkan sumber sekunder adalah

(45)

mengenai sumber pertama, yang bersifat melengkapi.

Yang dijadikan sumber data primer adalah tiga buah

keluarga miskin. Dijadikannya tiga keluarga miskin sebagai

sumber primer penelitian ini didasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan berikut.

a.Kemudahan dalam menjangkau lokasi penelitian.

b.Kesediaan

ketiga

keluarga

tersebut

untuk

dijadikan

sebagai sumber data primer penelitian.

c.Keterbukaan ketiga keluarga

tersebut

dalam

memberikan

data dan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

Ketiga pertimbangan di atas, peneliti dapatkan atas

saran dari Kaur Kesra

Kelurahan

Utan

Panjang

dan

atas

pengamatan peneliti sendiri, ketika melakukan studi

pendahuluan.

Sedangkan yang dijadikan sumber data sekunder

addalah

para

tokoh

masyarakat

yang

berada

di

lokasi

penelitian, teman akrab responden, Ketua RT setempat,

dan

Kaur Kesra Kelurahan Utan

Panjang.

Data

yang

diperoleh

dapat berupa

human orally

data

maupun.

catatan

mengenai

kasus-kasus yang

terjadi

di

kalangan

komunitas

miskin

khususnya yang berkenaan dengan responden penelitian.

(46)

anggota

keluarga

yang

relatif

besar,

mempunyai

latar

belakang mata pencaharian yang

berbeda.

Perbedaan

latar

belakang mata pencaharian

ini

merupakan

hal

lain

yang

menarik untuk diteliti.

D- Instrumen Penelitian

Dalam

melaksanakan

penelitian

ini,

peneliti

bertindak sebagai

instrumen

(human

instrumen).

Istilah

peneliti sebagai

instrumen

memberikan

pengertian

bahwa

peneliti menceburkan diri

secara

intensif

dalam

kancah

penelitian

tanpa

mengambil

jarak

dengan

obyek

yang

diteliti (Bogdan, 1982; Guba, 1985). Oleh karena itu dalam

hal ini peneliti turut melibatkan diri

secara

aktif

dan

intensif

dalam

medan

penelitian,

serta

mengadakan

pembauran

khususnya dengan orang-orang yang akan diteliti.

Untuk

memantapkan

posisi

diri

peneliti

sebagai

instrumen

penelitian,

beberapa

hal

berikut

merupakan

pedoman dalam pelaksanaaannya.

1) Melakukan adaptasi

terhadap

kondisi

dan

kehidupan

orang miskin perkotaan, sehingga dapat dikumpulkan

beraneka ragam data dan informasi.

2)

Melihat

situasi

kehidupan

orang

miskin

secara

kontekstual dan menyeluruh (secara totalitas).

(47)

kepedulian

yang

tinggi

akan

dapat

memperkuat

kredibilitas penelitian ini.

4) Peneliti

menyelami

secara

seksama

dan

mendaiam

segala

aktifitas

kehidupan

orang

miskin

perkotaan,

sehingga dapat

memahami

dan

merasakan

perilaku

dan

makna yang dikandungnya.

Sedangkan teknik pengumpulan

data

yang

digunakan

dalam penelitian ini adalah teknik

observasi,

wawancara,

dan studi dokumenter. Hal

ini

selaras

dengan

apa

yang

dikemukakan oleh Guba (1978) bahwa penelitian naturalistik

senantiasa berkenaan dengan gejala-gejala yang

khas

yang

keberadaannya meliputi

sesuatu

yang

tersembunyi

(tacit

knowledge),

dan

hal

ini

tidak

akan

terjamah

secara

kuantitatif. Oleh karena

itu,

teknik-teknik

di

ataslah

yang digunakan.

1. Teknik Observasi

Kedua macam jenis observasi yaitu observasi

non partisipatorik dan observasi partisipatorik

digunakan

dalam penelitian ini. Jenis yang pertama dilakukan

ketika

mengawali proses-proses observasi. Hal ini dimaksudkan

untuk tidak mengundang curiga dari para responden terhadap

kehadiran peneliti. Pada taraf ini peneliti

lebih

banyak

melakukan sosialisasi

diri

di

dalam

kehidupan

mereka.

(48)

dengan masyarakat yang ditelitinya.

Setelah

terbina

hubungan

baik

antara

peneliti

dengan

masyarakat,

selanjutnya

peneliti

beralih

pada

penggunaan

teknik

observasi

partisipatorik,

yaitu

mengambil bagian langsung dalam kegiatan-kegiatan

bersama

di

kalangan

masyarakat

miskin.

Peneliti

menelusuri

perilaku-perilaku mereka, yang mengejawantahkan

moralitas

dalam kegiatan kehidupan sehari-hari, baik perilaku

dalam

kedudukannya sebagai individu, anggota masyarakat, sebagai

warga negara, maupun sebagai orang yang

beragama.

Selain

itu yang menjadi sasaran observasi adalah lingkungan fisik

daan lingkungan alam di lokasi penelitian. Oleh karena itu

peneliti

tidak

sekedar

bergabung

dengan

mereka

dalam

kegiatan-kegiatan yang bersifat formal, tetapi

juga

pada

kegiatan-kegiatan yang yang bersifat santai, seperti duduk

sambil ngobrol dan bergurau, dan sebagainya.

Setiap data dan informasi

yang

diperoleh

melalui

teknik

observasi

ini

(baik

yang

berjenis

observasi

partisipatorik maupun observasi non partisipatorik),

akan

selalu

dikaitkan

dengan

konteksnya,

agar

data

dan

informasi

tersebut

tidak

kehilangan

maknanya.

Konteks

dalam hal

ini

terkait

dengan

sembilan

hal

(Nasution.

1988:64), yaitu;

a.Ruang (tempat) dalam aspek fisik.

(49)

c.Kegiatan, yaitu apa yang dilakukan orang

dalam

situasi

itu.

d.Obyek, yaitu benda-benda yang terdapat di tempat itu.

e.Perbuatan, yaitu perilaku-perilaku tertentu.

f.Kejadian atau peristiwa, yaitu rangkaian kegiatan.

g.Waktu, yaitu urutan kronologis kegiatan.

h.Tujuan, yaitu apa yang ingin dicapai orang

serta

makna

perbuatan orang.

i.Perasaan, yaitu emosi yang dirasakan dan dinyatakan.

Sudah

tentu

teknik

observasi

ini

mengandung

kelemahan. Diantaranya adalah bahwa teknik

observasi

ini

tidak mampu mengungkap

intensi-intensi

di

balik

perilaku

yang dikerjakannya. Untuk mengungkap

intensi

atas

suatu

perilaku (motivasi, tujuan dan alasan yang

mendasarinya),

peneliti melakukan wawancara.

2.Teknik Wawancara

Teknik wawancara

ini

dilakukan

untuk

menghimpun

data

penelitian

yang

bersifat

non perilaku.

Seperti

dikatakan

oleh

Nasution

bahwa

teknik

wawancara

ini

dikandung maksud

untuk

mengetahui

apa

yang

ada

dalam

Pikiran dan hati

responden

(Nasution,

1988:73).

Dengan

demikian, jika dengan observasi

peneliti

memasuki

dunia

kehidupan sosial orang-orang miskin, maka dengan wawancara

(50)

Pada tahap-tahap awal dari proses wawancara, digunakan teknik wawancara tidak berstruktur. Hal ini disebabkan agar terbina hubungan baik terlebih dahulu

dengan responden, dan memang dari pertemuan-pertemuan awal

ini yang diharapkan baru sekitar data dan informasi yang

beraneka ragam dan bersifat umum. Selanjutnya untuk

menspesifikkan perolehan data dan informasi agar sesuai

dengan fokus penelitian, dan juga setelah terjalin

hubungan baik antara peneliti dengan responden, dilakukan

teknik wawancara berstruktur.

3. Teknik Studi Dokumenter

Teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang

dijaring melalui teknik observasi dan wawancara. Yang

dihimpun melalui teknik studi dokumenter ini adalah data

otentik yang tersimpan dalam dokumentasi, baik di tingkat

RT, RW, maupun Kelurahan. Data ini antara lain berisi

tentang peta lokasi penelitiaan, struktur penduduk di

kalangan masyarakat miskin di Kelurahan Utan Panjang,

catatan-catatan khusus tentang aktifitas masyarakat miskin

oleh pihak pemerintah setempat, struktur keluarga

masyarakat miskin. dan informasi lain yang relevan.

E. Pengumpulan Data

(51)

lima langkah mulai dari tahap orientasi. tahap ekspl<

tahap member check, tahap triangulasi, sampai kepada tahap

Lorasi.

audit trail

1. Tahap Orientasi

Tahap orientasi

ini

merupakan

tahap

awal

dalam

mendekati responden. Melalui tahap

ini diharapkan dapat

diperkirakan

faktor pendukung dan faktor penghambat,

sehingga dapat diperhitungkan

pelaksanaan

penelitian

secara cermat. Pada tahap ini

pula

dilakukan

pendekatan

dengan para sumber data, baik yang bersifat primer maupun

sumber data sekunder, sehingga terbina rasa persahabatan

dan saling percaya.

Pertama-tama peneliti mendatangi

kepala

kelurahan

beserta

dengan

para

stafnya

untuk

mendapatkan

penjelasan-penjelasan yang

penting

berkenaan

dengan

kondisi masyarakat miskin yang terdapat di daerahnya.

Selanjutnya peneliti mengunjungi

para Ketua RT

yang

berkategori sebagai

komunitas

miskin,

tokoh masyarakat

yang

ada di

dalamnya.

dan

mendatangi

pula

beberapa

keluarga dalam komunitas

tersebut.

Dalam

kunjungan

ini

Peneliti mengemukakan maksud

kedatangannya,

berdialog

dengan mereka, mengadakan pengamatan secara umum terhadap

lokasi penelitian, sehingga dapat disusun strategi bagi

(52)

2.Tahap Eksplorasi

Setelah mendapatkan gambaran

secara

umum

tentang

lokasi penelitian serta telah terbina hubungan baik dengan

para nara sumber data, selanjutnya kegiatan meningkat pada

tahap eksplorasi. Peneliti terjun

secara

langsung

dalam

kancah

penelitian

dan

melakukan

penelitian

secara

intensif.

Secara rinci, kegiatan yang dilakukan

pada

tahap

eksplorasi ini adalah:

a.Menggali data dan informasi yang diperlukan.

b.Menentukan sumber data yang dapat dipercaya.

c.Menyusun pedoman umum bagi perolehan data dan informasi,

baik

yang

dilaksanakan

secara

observasi,

wawancara,

maupun studi dokumenter.

d.Mendapatkan dan mengumpulkan data

sesuai

dengan

fokus

penelitian.

e.Mendokumentasikan

data

dan

informasi

dalam

bentuk

catatan lapangan,

laporan

lapangan,

dan

buku

harian

lapangan.

Catatan

lapangan

merupakan

catatan

yang

dibuat

ketika peneliti berada di lapangan, yang berfungsi untuk

membantu daya ingat peneliti pada saat

membuat

laporan

kelak.

Untuk

keperluan

catatan

lapangan

ini

dapat

(53)

Sedangkan

laporan

lapangan

atau

field

note

merupakan manuskrip sebagai hasil observasi,

wawancara,

dan studi dokumenter.

Laporan lapangan inilah yang

merupakan inti dari data

penelitian.

Oleh karena

itu

pembuatannya dilakukan

segera setelah

pulang

dari

lokasi penelitian.

Adapun

kesan-kesan

peneliti

selama

berada

di

lapangan dituangkan dalam buku harian

lapangan.

Oleh

•karena itu buku harian lapangan ini berisikan catatan

menganai pengalaman, perasaan, kesulitan, buah pikiran,

pertimbangan-pertimbangan, dan

keputusan

yang diambil

ketika menghadapi suatu masalah.

3. Tahap Member Check

Data yang diperoleh dan dikumpulkan melalui tahap

eksplorasi selanjutnya dilakukan pengujian secara kritis.

Kegiatan ini dilakukan dalam tahap member check.

Ada dua

cara yang dapat ditempuh, yaitu meminta

tanggapan

kepada

responden

untuk

mencek

kebanaran

data,

dan

melakukan

koreksi serta melengkapi

terhadap

hal-hal

yang dirasa

masih kurang sesuai atau kurang lengkap.

(54)

juga diyakinkan kepada para responden bahwa peneliti akan

senantiasa menjaga nama baik mereka,

serta

menjaga

kerahasiaan data. Oleh karena itu identitas mereka tidak

dicantumnkan secara jelas, melainkan hanya diberikan tanda

inisialnya saja.

4. Tahap Triangulasi

Triangulasi merupakan

proses pengujian

terhadap

keabsahan data, yang dilakukan dengan cara menggunakan

sesuatu yang lain untuk keperluan pengujian, atau

sebagai

pembanding terhadap data yang ada.

Ada beberapa

cara

melakukan

pengujian

keabsahan

data

dengan

triangulasi

ini,

dimana

semua cara * ini

dilakukan dalam penelitian ini.

a.Membandingkan hasil wawancara, 'antara yang dilakukan

ke

Gambar

Tabel 1 Struktur Penduduk dan Penyebarannya
Gambar 1Denah Kelurahan Utan Panjang Kecamatan

Referensi

Dokumen terkait

SMP Negeri 38 Palembang yang beralamatkan Jalan Tanjung Harapan 1, merupakan sekolah yang bergerak di bidang pendidikan, sekolah ini memiliki peraturan jam kerja yang

Malah kami memohon daripada-Mu Ya Allah dengan penuh ketaakulan agar majlis anugerah ini akan menjadi katalis dan sumber inspirasi kepada pelajar-pelajar lain supaya

Pada aplikasi control alat elektronik menggunakan virtual keypad ini memiliki kelebihan dalam hal keakuratan pendeteksian obyek sesuai dengan range warna yang

Disamping itu, secara keseluruhan dapat dijabarkan secara hasilnya sebagai berikut: (1) Informasi akuntansi yang diberikan pada para investor individu dapat membuat perilaku

Penelitian ini menggunakan mikrokontroller Arduino Uno sebagai chip utama. Masukan dari robot yang dibangun berasal dari masukan intensitas cahaya sensor photodioda sebagai

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

(setengah pengangguran). a) Pekerja penuh adalah mereka yang bekerja dengan jumlah jam kerja 35 jam atau lebih dalam seminggu. b) Pekerja tidak penuh (Setengah Pengangguran)

Realitas objektif yang seharusnya ada adalah yang tertuang di dalam surat keputusan Dirjen Dikti, dimana kegiatan ospek merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mahasiswa baru