• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Student-Teacher Relationship Terhadap School Engagement pada Siswa Tipikal Kelas X dan XI SMA Inklusif "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontribusi Student-Teacher Relationship Terhadap School Engagement pada Siswa Tipikal Kelas X dan XI SMA Inklusif "X" Bandung."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

v Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi dari komponen-komponen student-teacher relationship terhadap school engagement pada siswa tipikal SMA Inklusi ‘X’ Bndung. Teknik penarikan sampel pada penelitian ini adalah simple random sampling dengan 51 orang responden.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori student-teacher relationship dari Robert C. Pianta (2001) dan school engagement dari Jennifer A. Fredricks (2004). Alat ukur yang digunakan ialah kuesioner yang disusun oleh peneliti penghayatan tentang student-teacher relationship dan school engagement pada siswa tipikal SMA Inklusi ‘X’ Bandung

Berdasarkan pengolahan data meggunakan regresi linear, diperoleh hasil kontribusi yang signifikan dari ketiga komponen student-teacher relationship. Diantaranya adalah komponen conflict memiliki kontribusi sebesar 36,2% dengan taraf signinfikansi 0,000, komponen closeness memiliki kontribusi sebesar 24,3% dengan taraf signifikansi 0,000, dan komponen dependency memiliki kontribusi sebesar 13,9% dengan taraf signifikansi 0,007.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat kontribusi dari setiap komponen student-teacher relationship terhadap school engagement pada siswa tipikal SMA Inklusi ‘X’ Bandung.Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa komponen dari student-teacher relationship memiliki hubungan dengan penyesuaian siswa juga keterlibatan siswa di sekolah (Birch & Ladd, 1996, 1998; Pianta, 1992; Pianta, Hamre, & Stulhman, 2003).

(2)

vi Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The purpose of this research is to find out about the contribution from student-teacher relationship components to school engagement of the typical student at ’X’ Inclusive High School. In this research, the researcher use simple random sampling methods with 51 respondents.

This research is conduct based in student teacher relationship theory by Robert C. Pianta (2001) and school engagement theory by Jennifer A. Fredricks (2004). The insrument that used are questionnaire that arrange by researcher that measure the student perception about student-teacher relationship dan school engagement.

The result of the statistical process using linear regression found that theres a significant contribution from the three components of student-teacher relationship to school engagement. One of them is conflict’s contribution is 36,2% with 0,000 signifiacation, closeness’s contribution is 24,3% with 0,000 signification, and lastly dependency’s contribution is 13,9% with 0,007 contribution.

Therefore, we can conclude that there is a contribution from each student-teacher relationship components to school engagement in typical student at ’X’ Inclusive High School. This research result is being in accordance with the theory that student-teacher components can affect student’s adaptations and engagement in school (Birch & Ladd, 1996, 1998; Pianta, 1992; Pianta, Hamre, & Stulhman, 2003).

(3)

ix Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 9

1.3.1 Maksud Penelitian ... 9

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

(4)

x

Universitas Kristen Maranatha

1.7 Hipotesis ... 19

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 School Engagement ... 20

2.1.1 Definisi School Engagement ... 20

2.1.2 Komponen dalam School Engagement ... 20

2.1.2.1 Behavioral Engagement ... 20

2.1.2.2 Emotional Engagement ... 21

2.1.2.3 Cognitive Engagement ... 22

2.1.3 Faktor-faktor School Engagement ... 22

2.1.3.1 School Level Factors ... 22

2.1.3.2 Classroom Context ... 23

2.1.3.2.1 Dukungan Guru ... 23

2.1.3.2.2 Teman Sebaya ... 25

2.1.3.2.3 Struktur Kelas ... 26

2.1.3.2.4 Dukungan Kemandirian ... 27

2.1.3.2.5 Karakteristik Tugas ... 27

2.1.3.3 Individual Needs ... 28

2.1.3.3.1 Kebutuhan Relasi ... 28

2.1.3.3.2 Kebutuhan Otonomi ... 28

2.1.3.3.3 Kebutuhan Kompetensi ... 29

2.2 Student-Teacher Relationship ... 29

2.2.1 Definisi Student-Teacher Relationships ... 29

2.2.2 Dimensi-dimensi dalam Student-Teacher Relationships ... 29

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

2.2.2.2 Closeness ... 30

2.2.2.3 Dependency ... 30

2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Student-Teacher Relationships .. 30

2.2.3.1 Individu: Faktor Demografi, Psikologis, dan Perkembangan ... 30

2.2.3.2 Proses Pertukaran Informasi: Feedback antara Siswa dan Guru ... 31

2.2.3.3 Pengaruh Eksternal ... 31

2.3 Pendidikan Inklusif ... 32

2.3.1 Definisi Pendidikan Inklusif ... 32

2.3.2 Pembelajaran dalam Kelas Inklusif ... 32

2.3.3 Modifikasi Pola Belajar ... 32

2.3.4 Modifikasi Kelas ... 33

2.4 Perkembangan Remaja ... 33

2.4.1 Definisi Remaja ... 33

2.4.2 Pekembangan Kognitif Remaja ... 34

2.4.3 Perkembangan Emosi Remaja ... 34

2.4.4 Relasi Teman Sebaya ... 35

2.4.5 Relasi dengan Guru ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 37

3.2 Skema Rancangan Penelitian ... 37

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 38

3.3.1 Variabel Penelitian ... 38

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.3.2.1 Student-teacher Relationship ... 38

3.3.2.2 School Engagement ... 38

3.4 Alat Ukur ... 39

3.4.1 Kuisioner Student-Teacher Relationship ... 39

3.4.1.1 Prosedur Pengisian ... 40

3.4.1.2 Cara Penilaian ... 40

3.4.2 Kuisioner School Engagement ... 42

3.4.2.1 Prosedur Pengisian ... 43

3.4.2.2 Cara Penilaian ... 43

3.4.3 Data Pribadi ... 44

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 44

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 44

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 45

3.5 Populasi dan Sampel ... 46

3.5.1 Populasi Sasaran ... 46

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 46

3.6 Teknis Analisis Data ... 46

3.7 Uji Asumsi Klasik ... 47

3.8 Hipotesis Statistik ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 50

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 50

(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

4.3 Pembahasan Hasil ... 52

4.4 Diskusi ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 60

5.2.1 Saran Teoritis ... 60

5.2.2 Saran Praktis ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Student-Teacher Relationship ... 37

Tabel 3.2 Penilaian Alat Ukur Student-Teacher Relationship ... 38

Tabel 3.3 Kisi-kisi Alat Ukur School Engagement ... 39

Tabel 3.4 Penilaian Alat Ukur School Engagement ... 40

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

Table 4.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 46

(9)

xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

(10)

xvi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kata Pengantar Kuesioner ... L1 Lampiran 2 Letter of Consent ... L-2 Lampiran 3 Kuesioner School Engagement ... L-3 Lampiran 4 Kuesioner Student-Teacher Relationship ... L-8 Lampiran 5 Hasil Input Data Penelitian ... L-11 Lampiran 6 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... L-16 Lampiran 7 Tabulasi Silang Data Pribadi Dengan School Engagement ... L-18 Lampiran 8 Uji Asumsi Klasik ... L-19 Lampiran 9 Tabulasi Silang Komponen-Komponen Student-Teacher

Relationship dan School Engagement ... L-21

(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada saat ini semakin banyak pilihan institusi pendidikan sebagai wadah dalam mencari ilmu bagi siswa di Indonesia. Terdapat banyak pilihan jenis sekolah dari mulai sekolah negeri dan swasta, juga bermacam-macam sekolah mulai dari sekolah berstandar internasional, sekolah alam, boarding school, dan salah satunya adalah sekolah inklusif. Sekolah inklusif merupakan sekolah yang dikembangkan dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif, perlakuan pada setiap siswa disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya secara khusus. Semua siswa diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai tenaga pendidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya (Widyanti, 2013). Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota harus diadakan sekurang-kurangnya pada empat jenjang sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. (Bropy Pandie, 2015)

Di Jawa Barat terdapat 365 sekolah inklusif (jenjang SD, SMP, SMA) yang memberikan kesempatan pada siswanya untuk mendapatkan pendidikan.Salah satu pendidikan inklusi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) diantaranya adalah SMA ‘X’ Bandung. Dari informasi mengenai profil sekolah yang diperoleh dari bagian

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha beradaptasi terhadap perbedaan yang beragam tersebut. SMA ‘X’ berusaha untuk memfasilitasi siswa dengan progam dan media pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa yang bersekolah di SMA ‘X’. Sebagai sekolah inklusif, SMA ‘X’ menerima berbagai macam siswa dengan karakteristik

dan kondisi yang berbeda.Tidak hanya siswa tipikal yang memiliki kemampuan akademik dan mental yang baik, namun SMA ‘X’ juga menerima siswa berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan fisik, intelektual, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya.

Pada awal penerimaan siswa baru, pihak sekolah melakukan assessment awal bagi siswa dengan kebutuhan khusus juga bagi siswa tipikal. Bagi siswa regular, pihak sekolah mencari tahu potensi dan bakat siswa karena sudah melakukan penjurusan dari mulai kelas 10. Sedangkan bagi siswa berkebutuhan khusus, assessment dilakukan untuk mengetahui tingkatan kemampuan kecerdasan siswa

secara akademik. Pihak sekolah membagi 3 kategori kepada siswa yang berkebutuhan khusus, diantaranya yang mampu mengikuti kegiatan pembelajaran seperti siswa tipikal yang lain, siswa yang hanya mengikuti kegiatan non akademik, dan yang terkahir adalah siswa yang dikhususkan dalam melatih keahlian untuk kegiatan sehari-hari.

Kurikulum yang diterapkan pada SMA ‘X’ ini merupakan kurikulum nasional

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha menghafal atau mencatat. Dalam SMA ‘X’ kurikulum ini diterapkan oleh siswa tipikal dan siswa berkebutuhan khusus secara bersama-sama. Mereka bekerjasama dalam satu kelas yang sama untuk melakukan peneliitian, observasi, eksperimen, diskusi, presentasi untuk memenuhi tuntutan kurikulum active learning tersebut. Dalam kegiatan pembelajaran dikelas, siswa SMA ‘X’ juga menerapkan berbagai aktivitas yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu (integrated study) agar siswa memperoleh pemahaman yang utuh mengenai suatu materi dari berbagai sudut pandang keilmuan.

SMA ‘X’ juga memiliki program untuk mengasah keterampilan siswa secara

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha program research project yang dilakukan secara individual bertujuan untuk membiasakan siswa dalam mengerjakan penelitian dalam berbagai bidang.

Selain kegiatan non-akademik, siswa juga menghadapi kegiatan akademik melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Melalui informasi yang diperoleh dari guru bimbingan konseling dan salah satu wali kelas SMA ‘X’, pada kegiatan

pembelajaran sehari-hari di kelas, siswa tipikal belajar bersama dengan siswa berkebutuhan khusus (yang kemampuannya sudah disesuaikan melalui assessment terlebih dahulu). Pada sekolah ini, pihak sekolah mempersilahkan siswa berkebutuhan khusus untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dikelas seperti biasa dengan adanya keterbatasan mereka. Siswa berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan kegiatan sekolah juga bergaul dengan teman-teman mereka. Terkadang siswa berkebutuhan khusus menunjukkan keterbatasan mereka dan mengganggu kegiatan pembelajaran dikelas. Namun, hal ini sering kali dapat diatasi pihak sekolah. Kegiatan pembelajaran yang dijalani ialah dengan cara guru menerangkan terlebih dahulu, selanjutnya guru memberikan tugas atau waktu untuk siswa berdiskusi antara siswa tipikal dan siswa berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus cukup dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik seperti siswa tipikal lainnya, namun ketika mereka tidak dapat mengendalikan diri karena keterbatasan yang dimiliki, terkadang dapat mendistraksi siswa lain yang diantaranya terdapat juga siswa tipikal ketika mereka mencoba untuk belajar di kelas.

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha mengendalikan diri ketika kegiatan pembelajaran. Selain itu, terkadang juga mereka kesulitan dalam mengerjakan tugas kelompok ketika harus bekerjasama dengan teman mereka yang berkebutuhan khusus serta sulit bersosialisasi sehingga kurang dapat terlibat secara aktif untuk mengatasi masalah tersebut ketika pelaksanaan tugas kelompok. Selain menghadapi teman mereka yang berkubutuhan khusus, terkadang siswa tipikal menemukan beberapa masalah dalam melakukan kegiatan di sekolah sehari-hari. Dengan adanya siswa berkebutuhan khusus, guru harus mengajar dengan lebih detail dan memakan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan dengan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Terkadang hal ini mengakibatkan siswa tipikal tersebut merasa jenuh dan bosan sehingga membuat siswa tipikal cenderung enggan berperan aktif untuk terlibat dalam kegiatan belajar dan mengajar. Cara mengajar tersebut juga menjadi kendala bagi siswa tipikal untuk dapat menyenangi kegiatan pembelajaran yang diberikan guru karena dianggap bertele-tele. Ditambah lagi oleh padatnya jadwal dan banyaknya tuntutan kegiatan sekolah baik akademik dan non akademik, terkadang membuat siswa tipikal mudah lelah dan sulit fokus dalam menjalani pelajaran di kelas. Walaupun siswa tipikal menjalani situasi pembelajaran dengan adanya siswa berkebutuhan khusus tersebut, siswa tipikal masih dapat menyesuaikan dengan tuntutan akademik yang ada disekolah. Siswa tipikal berperan aktif dalam pembelajaran dikelas ketika guru memberikan waktu untuk berdiskusi. Mereka juga mengikuti aturan sekolah, dan secara aktif mencoba menyelesaikan tugas dan persoalan yang diberikan kepada mereka.

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha teman mereka tersebut sehingga mereka selalu mencoba untuk dapat terus mengerti teman mereka yang berkebutuhan khusus. Dengan adanya situasi seperti ini pada kegiatan pembelajaran sehari-hari, guru memberi dukungan dan pengertian dalam bentuk nasihat dan informasi mengenai siswa berkebutuhan khusus agar siswa tipikal dapat bersabar menerima dan mengerti teman mereka yang berkebutuhan khusus tersebut. Guru juga mengingatkan agar siswa tipikal menjadi termotivasi untuk dapat giat belajar dan bersyukur karena tidak memiliki keterbatasan ketika melihat teman-teman mereka yang berkebutuhan khusus. Selain karena untuk menghadapi beberapa masalah tersebut, peran guru bagi siswa tipikal SMA ‘X’ menjadi penting karena diantaranya adalah untuk membantu siswa tipikal yang kesulitan dalam mengerti pelajaran, membantu siswa dalam memahami tugas yang diberikan, membimbing siswa sebagai ‘orang tua’ siswa di sekolah, mengingatkan siswa mengenai apa yang

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha menjalani kegiatan akademik dan non akademik yang ada di sekolah. Hubungan yang terjadi antara guru dan siswa tipikal SMA ‘X’ tentunya menjadi penting bagi siswa tipikal untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai siswa dengan baik.

Hubungan antara siswa dan guru dalam istilah psikologis disebut juga sebagai Student-Teacher Relationships. Student-Teacher Relationships adalah komunikasi

terbuka, dukungan emosional, dan dukungan akademik yang ada antara siswa dan guru (Pianta, 1999) yang meliputi dimensi closeness, conflict, dan dependency. Dimensi closeness meliputi seberapa sering siswa merasakan afeksi, kehangatan, dan komunikasi yang terbuka dengan guru. Dimensi conflict ialah ketika siswa merasakan hubungan yang dialami dengan guru sebagai relasi yang negatif dan penuh konflik atau bermasalah. Sedangkan dependency meliputi seberapa sering siswa merasa sangat bergantung pada guru . Student-Teacher Relationship dapat membantu minat dari siswa dalam hal akademik dan penyesuaian sosial selain itu, juga dapat memprediksi berbagai outcomes yang mungkin akan dicapai siswa. Student-teacher relationship dapat mencerminkan kapasitas sejauh mana tersedianya

dukungan secara emosional juga relasional dan interaksi antara guru dan siswa ialah salah satu hal yang penting untuk dapat mengerti keterlibatan siswa. Kualitas dari Student-Teacher Relationship juga merupakan hal yang penting berpengaruh pada

keterlibatan siswa (Pianta, 2012).

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha seperti tidak membolos, datang tepat waktu serta memperhatikan guru ketika mengajar di kelas. Segi emotional membahas tentang reaksi emosi siswa di dalam kelas misalnya siswa menyukai mata pelajaran yang dibahas di kelas, siswa senang diajar oleh gurunya serta merasa nyaman dengan teman sekelasnya. Segi cognitive membahas tentang aspek psikologis dalam pembelajaran yaitu sebuah keinginan untuk melebihi harapan dan menyukai tantangan sehingga mampu memusatkan pikirannya untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Dengan school engagement yang baik, siswa diharapkan dapat memberikan performance terbaik dalam mengikuti kegiatan sekolah baik akademik dan non akademik, sehingga dapat memberikan prestasi terbaik dan mencapat tujuan pembelajaran sekolah.

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha ketika mereka menghadapi suatu masalah, dan 1 orang (16%) diantaranya yang merasakan ingin selalu membutuhkan peran guru dalam setiap situasi di kelas.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa fenomena yang terjadi di SMA Inklusi ‘X’ Bandung memperlihatkan bahwa siswa tipikal yang menunjukkan gambaran mengenai student-teacher relationship, menunjukkan pula karakteristik school engagement yang berbeda-beda sehingga peneliti ingin mengetahui lebih

lanjut mengenai kontribusi antara student-teacher relationship dan school engagement pada siswa tipikal kelas 10 dan 11 pada Sekolah Menengah Atas Inklusi

‘X’ Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah pada penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah terdapat kontribusi dari komponen-komponen student-teacher relationship pada derajat school engagement pada siswa tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusif ‘X’ di Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kontribusi komponen student-teacher relationship terhadap school engagement pada siswa tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusif ‘X’ di Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya pada bidang psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan school engagement dan student-teacher relationship siswa tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusif ‘X’ di Bandung.

2. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut tentang antara student-teacher relationship guru dengan school engagement siswa tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusif ‘X’ di Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah dan guru SMA Inklusif ‘X’ mengenai kontribusi student-teacher relationship terhadap school engagement yang dimiliki oleh siswa-siswanya. Informasi ini dapat digunakan untuk membantu guru dalam membangun relasi yang dapat mendukung keterlibatan siswa pada kegiatan sekolah

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha engagement dengan harapan dapat mencapai performa yang optimal dalam

kegiatan akademik.

3. Memberikan saran kepada kepala sekolah dan guru SMA Inklusif ‘X’ Bandung mengenai jenis student-teacher relationship dan derajat school engagement yang dimiliki siswa-siswanya. Informasi ini dapat digunakan dalam merancang program non-akademik yang berkaitan dengan student-teacher relationship dan school engagement dengan harapan dapat mencapai performa yang optimal dalam

kegiatan non-akademik.

1.5 Kerangka Pikir

Sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyatukan antara anak-anak tanpa kebutuhan khusus dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses pembelajaran bersama-sama. Selain siswa tipikal yang kemampuan akademik dan mental yang baik, namun SMA ‘X’ juga menerima siswa berkebutuhan khusus

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha penting agar performa siswa menjadi optimal. Keterlibatan siswa ini dalam istilah psikologi ialah School Engagement,. School engagement sendiri merupakan usaha siswa untuk melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial dan ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan dimensi-dimensi dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, 2004). Pada siswa

tipikal X dan XI berarti keterlibatan siswa tipikal X dan XI dalam menjalani kegiatan akademik dan non akademik di SMA Inklusi ‘X’.

Dimensi behavioral mengacu pada tingkah laku dan perilaku siswa. Siswa tipikal kelas X dan XI yang cenderung memiliki dimensi behavioral engagement yang tinggi, maka akan memunculkan perilaku seperti mengikuti aturan yang ada di kelas, ikut serta dalam kegiatan belajar dan tugas akademik, memiliki daya tahan, konsentrasi, atensi, menanyakan pertanyaan dan memberikan kontribusi dalam diskusi kelas. Sedangkan siswa yang cenderung memiliki behavioral engagement yang rendah maka akan menimbulkan perilaku yang pasif terhadap kegiatan sekolah berupa membolos, tidak mengikuti aturan dan membuat masalah baik di kelas maupun di luar kelas.

Dimensi emotional merujuk kepada reaksi afektif siswa di dalam kelas. Siswa tipikal kelas X dan XI yang cenderung memiliki emotional engagement yang positif akan memiliki ketertarikan dalam mengikuti mata kuliah, senang apabila dapat ikut berdiskusi dalam kelas, dan memiliki rasa memiliki akan sekolah. Di sisi lain, siswa yang cenderung memiliki emotional engagement negatif akan merasa bosan di kelas, merasa cemas dan merasa tidak senang apabila mengikuti kegiatan akademik.

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha lebih menyukai kerja keras, dan coping positif dalam menghadapi kegagalan dan digeneralisasikan definisi umum dari cognitive engagement yang menekankan kualitas dan mengerahkan aspek psikologis dalam belajar. Siswa tipikal kelas X dan XI yang terlibat secara kognitif ialah ketika siswa memiliki strategi dan dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulation) dalam mengatasi masalah dan kegagalan.

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi school engagement, antara lain adalah school level (karakteristik sekolah), classroom contexts (teman sebaya, struktur kelas, dukungan kemandirian dan karakteristik tugas) dan individual needs (kebutuhan relasi, kebutuhan autonomi, dan kebutuhan kompetensi). Menurut Lynch & Cicchetti (1992) school engagement dipengaruhi oleh hubungan siswa dengan guru. Hubungan siswa dengan guru yang dalam istilah psikologi disebut dengan student-Teacher Relationships. Student-teacher relationship ialah salah satu fakor

dari classroom context.

Student-Teacher Relationships adalah komunikasi terbuka, dukungan

emosional, dan dukungan akademik yang ada antara siswa dan guru (Pianta, 1999). Siswa yang memiliki relasi dan berinteraksi dekat dengan gurunya akan cenderung lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya sehingga guru dapat memberikan dukungan baik secara emosional maupun dukungan akademik ketika siswa bertanya saat menghadapi kesulitan belajar. Student-Teacher Relationships terdiri dari tiga dimensi yakni Conflict, Closeness, dan Dependency.

Dimensi Conflict menjelaskan bahwa apakah ketika siswa tipikal SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI merasakan hubungan yang dibangun dengan guru sebagai

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha mengerjakan tugas dan membuat kekacauan di kelas. SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI yang memiliki Conflict yang tinggi dengan guru juga cenderung akan memandang guru dengan penuh kemarahan seperti merasa kesal ketika diberi tugas tambahan atau ketika diberi nasihat tertentu, serta mengakibatkan terkurasnya perasaan emosional dan ketidak percayaan terhadap guru.

Dimensi kedua, yakni Dependency ialah ketika SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI merasa sangat bergantung pada guru . Siswa yang Dependent akan menunjukkan ketergantungan yang berlebihan terhadap guru, misalnya siswa meyakini sepenuhnya mengenai apa yang dikatakan dan diperbuat oleh guru sehingga siswa memercayainya tanpa melihat lagi lebih lanjut. SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI yang memiliki Dependency tinggi juga akan menunjukkan kecenderungan untuk bereaksi berlebihan ketika harus berpisah dengan guru, misalnya siswa merasa iri ketika guru menghabiskan waktu dengan siswa lain dan lebih memperhatikan siswa lain.

Dimensi terakhir adalah Closeness yaitu merupakan pada saat SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI merasakan afeksi, kehangatan, dan komunikasi terbuka dengan guru . Siswa yang memiliki Closeness dengan guru memiliki komunikasi terbuka sehingga tidak ragu untuk mengungkapan perasaan yang dialaminya, misalnya ketika siswa sedang mengalami masalah dengan teman sebayanya ataupun ketika siswa menghadapi kesulitan dalam bidang akademis. SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI yang memiliki Closeness tinggi merasa bahwa guru adalah pribadi yang baik, SMA inklusi ‘X’ kelas X dan XI memandang guru sebagai pendukung ketika siswa menjalani

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha Dalam perhitungan alat ukur Student-Teacher Relationships sendiri, Pianta (2001) menggabungkan ketiga dimensi menjadi satu kesatuan yang menghasilkan Teacher Relationships. Pianta menyatakan bahwa semakin tinggi

Student-Teacher Relationships akan menghasilkan relasi yang semakin positif yakni diwakili

dengan Closeness. Sebaliknya semakin rendah Student-Teacher Relationships akan menghasilkan relasi yang semakin negatif yang diasumsikan bahwa relasi tersebut didominasi oleh Conflict dan Dependency.

Student-teacher relationship dapat mencerminkan kapasitas sejauh mana

tersedianya dukungan secara emosional juga relasional dan interaksi antara guru dan siswa ialah salah satu hal yang penting untuk dapat mengerti keterlibatan siswa. Kualitas dari Student-Teacher Relationship juga merupakan hal yang penting berpengaruh pada keterlibatan siswa (Pianta, 2012). Menurut Skiner dan Belmont (1993), guru merupakan salah satu instrument yang berpengaruh terhadap kualitas keterlibatan siswa secara behavioral dan emosional.

Student-Teacher Relationships yang terjalin antara siswa dan guru akan

menghasilkan relasi yang positif bila penuh dengan Closeness atau menghasilkan relasi yang negatif ketika relasi dengan guru lebih didominasi oleh Conflict dan Dependency dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan di sekolah.

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha memiliki akan sekolah. Hal lainnya ialah siswa akan cenderung akan melakukan usaha seperti fleksibilitas dari pemecahan masalah, lebih menyukai kerja keras, dan coping positif dalam menghadapi kegagalan.

Sebaliknya apabila Student-Teacher Relationships yang terjalin dengan guru negatif, yakni didominasi oleh Conflict dan Dependency. Ketika siswa tipikal kelas X dan XI memiliki Student-Teacher Relationships yang negatif dengan guru, maka siswa akan menunjukkan keterlibatan yang juga rendah. Ketika Student - Teacher Relationships didominasi oleh Conflict, perilaku siswa tersebut dapat berupa perilaku

yang bermasalah seperti melawan guru dengan tidak mengerjakan tugas yang diinstruksikan, melanggar peraturan yang telah dibuat. Seringkali siswa tipikal kelas X dan XI juga merasa lelah. Hal ini akan berdampak pada keterlibatan siswa, siswa akan menunjukkan perilaku pasif terhadap kegiatan sekolah berupa membolos, tidak mengikuti aturan dan membuat masalah baik di kelas maupun di luar kelas. Selain itu siswa akan cenderung merasa tidak suka dengan sekolah dan guru, serta merasa bosan dengan pekerjaan yang harus dilakukannya dalam kelas. Siswa juga akan berpotensi untuk tidak mengupayakan coping positif ketika mengahadapi kegagalan

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha pada gurunya sehingga enggan dalam mencari pemecahan masalah yang dihadapinya.

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha

Gambar 1.1 Skema Kerangka Pikir

Student-Teacher Relationship

Siswa Tipikal kelas X dan XI

pada SMA Inklusi ‘X’ Bandung Closeness

School Engagement

Faktor yang mempengaruhi: 1. School level

2. Classroom context  Teman sebaya  Struktur kelas

 Dukungan kemandirian  Karakteristik tugas 3. Individual needs

 Kebutuhan relasi  Kebutuhan autonomi  Kebutuhan kompetensi Conflict

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa:

1. Siswa Tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusi ‘X’ di Bandung dapat memiliki penghayatan school engagement yang tinggi atau rendah.

2. Penghayatan student-teacher relationship dapat berkontribusi pada tinggi atau rendahnya penghayatan school engagement siswa tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusi ‘X’.

3. Student-teacher relationship terdiri dari 3 komponen, yaitu conflict, closeness, dan dependency

1.7 Hipotesis Penelitian

1. Closeness memiliki kontribusi terhadap derajat School Engagement di Siswa Tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusi ‘X’ di Bandung.

2. Conflict memiliki kontribusi terhadap derajat School Engagement di Siswa Tipikal kelas X dan XI pada SMA Inklusi ‘X’ di Bandung.

(30)

60 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian kontribusi komponen-komponen student-teacher relationship terhadap derajat school engagement pada siswa kelas X dan XI SMA Inkulsi ‘X’ Bandung, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Komponen conflict merupakan komponen yang memiliki kontribusi signifikan dan persentase paling tinggi terhadap school engagement pada siswa kelas X dan XI dalam menjalani kegiatan sekolah.

2. Komponen closeness memiliki kontribusi signifikan terhadap school engagement pada siswa kelas X dan XI dalam menjalani kegiatan sekolah.

3. Komponen dependency memiliki kontribusi signifikan dan persentase paling rendah terhadap school engagement pada siswa kelas X dan XI dalam menjalani kegiatan sekolah.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian tentang penelitian kontribusi komponen-komponen student-teacher relationship terhadap school engagement pada siswa kelas X dan XI

SMA Inkulsi ‘X’ Bandung, peneliti memberikan saran sebagai berikut:

5.2.1 Saran Teoritis

(31)

61

Universitas Kristen Maranatha 1. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menyusun alat ukur yang disesuaikan

dengan konteks penelitian sampel yaitu adanya anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan sekolah. Hal ini penting karena pada konteks penelitian, hadirnya anak berkebutuhan khusus sebagai teman mereka merupakan salah satu situasi khas yang besar pengaruhnya dalam penghayatan mereka terhadap student-teacher relationship dan school engagement.

2. Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang lanjut mengenai komponen closeness. Karena pada penelitian ini diperoleh hasil yang secara signifikan berkebalikan dengan apa yang diperoleh dari teori student-teacher relationship.

3. Melibatkan faktor-faktor yang mempengaruhi school engagement yang antara lain faktor school level (karakteristik sekolah), classroom context (teman sebaya, struktur kelas, dukungan kemandirian dan karakteristik tugas) dan individual needs (kebutuhan relasi, kebutuhan autonomi, dan kebutuhan kompetensi). Hal

tersebut penting karena dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa nilai kontribusi dari komponen student-teacher relationship secara keseluruhan hanya berpengaruh kecil terhadap derajat school engagement, sehingga memungkinkan bahwa adanya faktor lain dapat berkontribusi juga terhadap derajat school engagement.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi kepala sekolah dan guru SMA Inkulsi “X” Bandung:

(32)

62

Universitas Kristen Maranatha siswa terhadap keterlibatan siswa pada kegiatan sekolah baik akademik, maupun non akademik.

2. Guru dapat mencoba untuk dapat melakukan komunikasi terbuka dan bernegosiasi secara sehat dengan siswa mereka. Hal ini diharapkan agar guru dapat mengatasi konflik dan menimalisir konflik yang terjadi dengan siswa mereka.

3. Pihak sekolah juga dapat membuat program sekolah yang melibatkan kerjasama antara guru dan siswa. Hal ini diharapkan dapat menigkatkan hubungan positif antara guru dan siswa. Hal tersebut menjadi penting mengingat hubungan yang negatif antara siswa dan guru dapat menurunkan keterlibatan siswa pada kegiatan sekolah, baik akademik maupun juga yang non-akademik.

4. Pihak sekolah dapat membuat kegiatan belajar dan mengajar dengan lebih menarik dan lebih melibatkan peran siswa. Sehingga siswa berpartisipasi aktif, lebih antusias mengerjakan tugas, dan tidak mudah merasa jenuh pada kegiatan sekolah. Mengingat dari hasil penelitian diperoleh bahwa behavioral dan emotional engagement siswa X dan XI menunjukkan hasil yang rendah.

(33)

KONTRIBUSI STUDENT-TEACHER RELATIONSHIP

TERHADAP SCHOOL ENGAGEMENT PADA SISWA

TIPIKAL KELAS X DAN XI SMA INKLUSIF

‘X’

BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Sidang Sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Oleh:

ANDITIA 1130196

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(34)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memperkenankan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini dibuat sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan studi Sarjana Psikologi pada Universitas Kristen Maranatha.

Pada kesempatan ini penelitian difokuskan pada judul “Kontribusi

Student-Teacher Relationship terhadap School Engagement Pada Siswa Tipikal Kelas X Dan

XI SMA Inklusif ‘X’ Bandung”. Peneliti menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan yang ada. Oleh karena itu peneliti sangat mengharapkan kesediaan semua pihak yang terkait untuk dapat memberikan kritik serta saran yang dapat membangun penelitian ini sehingga dapat berguna bagi penelitian lainnya dimasa yang akan datang.

Penyusunan dan penulisan penelitian ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti hendak menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam kelancaran proses penyusunan dan penulisan penelitian ini, yang ditujukan kepada:

1. Ibu Dr. Irene Prameswari Edwina, M.Psi, Psikolog sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

(35)

viii 3. Pihak Sekolah SMA Inklusi ‘X’ Kota Bandung yang telah memberikan informasi terkait penelitian dan telah memberikan izin pada peneliti untuk melakukan penelitian.

4. Staf tata usaha Fakultas Psikologi UKM yang telah banyak membantu peneliti dalam menyiapkan surat izin.

5. Staf perpustakaan UKM yang telah banyak membantu peneliti dalam mendapatkan bahan-bahan referensi.

6. Dr. Ir Setiawan Wangsaatmaja, Dipl. S.E., M.Eng., Dr. Ir. Dwina Roosmini, M.Sc., Addina dan Prasidhi Artono, S.T. selaku keluarga yang selalu mendukung, menyemangati, memberikan fasilitas dan mendoakan peneliti selama penyusunan dan penulisan penelitian ini.

7. Jessy Septiany, Soraya Mochtar, Kartika Christianti, Melisa Bunjamin, Yoshiana Azaria, Abraham Billy dan teman-teman yang selalu menyemangati, mendoakan dan memberikan bantuan selama peneliti mengerjakan penelitian ini.

8. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah membantu dan mendukung peneliti selama mengerjakan penelitian ini.

Bandung, November 2016

(36)

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Furlong, Nancy E. 2000. Research Methods and Statistics An Integrated Approach. Santa Barbara : Harcourt College Publisher

Fredericks, J.A., Blumenfeld, P., Friedel, J., & Paris, A.H. (2005). School engagement. In K.A. Moore & L. Lippman (Eds.), What do children need to flourish?: Conceptualizing and measuring indicators of positive development. New York, NY: Springer Science and Business Media.

Fredricks, Jennifer A., Blumenfeld, Phyllis C., and Paris, Alison H. (2004). School

Engagement: ‘Potential of the Concept, State of the Evidence’: American Educational Research Association.

Hamre, Bridget K., Robert C. Pianta, Allen, Joseph, P. Teacher-Student Relationships and Engagement: Conceptualizing, Measuring, and Improving the Capacity of Classroom Interactions. University of Virginia.

Hamre, Bridget K., Robert C. Pianta. Student-Teacher Relationships. University of Virginia.

Huan, Vivian S., Gwendoline Choon Lang Quek, Lay See Yeo, Rebecca P. Ang, Wan Har Chong. How Teacher-Student Relationship Influenced Student Attitude Towards Teachers and Schools. The Asia-Pasific Education Researcher.

Parsons, Jim and Taylor, Leah. (2011). Student Engagement: ‘What do we know and

what should we do?’ University of Alberta.

Pianta, Robert C. (2001). STRS Student-Teacher Relationships Scale Professional Manual. Psychological Assessment Resources, Inc.

Santrock, John W. (2014). Adolescence, Fifteenth Edition. New York: McGraw-Hill Education

Gambar

Tabel 3.1
Gambar 3.1

Referensi

Dokumen terkait

Pada sebuah perusahaan yang memiliki beberapa cabang di Indonesia antara.. lain Jakarta, Solo, Surabaya, dan

Variabel moderasi employee stock option plan (ESOP) terbukti dapat memperkuat hubungan intellectual capital terhadap produktivitas tetapi belum dapat memberikan pengaruh

1) Terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan menyontek dimana pada awalnya dia tidak memiliki niat. 2) Soal ujian yang buku sentris yang hapalan memaksa untuk membuka buku

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004.. Litaay,

(2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan

Terjadi ketimpangan ekonomi antara perkotaan dengan perdesaan (Booth 2000, hal. 75-77), dan antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Ketiga, ciri yang menonjol lain semasa

mimicking the West or succumbing to local pressure", Social Responsibility Journal, 2009.

Mengacu persoalan Kawasan Kota Lama Semarang dan relevansinya bagi daya tarik wisata sejarah budaya, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana model