• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANUSIA PEMBELAJAR DI ERA MILENIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANUSIA PEMBELAJAR DI ERA MILENIUM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MANUSIA PEMBELAJAR DI ERA MILENIUM

Oleh :Rani Setyo Mintari, M.Pd

(Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Keagamaan Surabaya)

Abstrak

Globalisasi menggambarkan dominasi horizon kompetitif yang mendorong orang- orang optimis untuk berpikir global dengan tindakan- tindakan kompetitif yang meski menginternasional namun diharapkan tetap membumi. Kehadiran era globalisasi telah mendorong kelahiran kompetisi ide- ide baru (competition for new ideas), bersamaan dengan itu praktik- praktik barupun telah muncul dengan wajah kultur yang berbeda. Keunggulan- keunggulan komparatif yang selama ini dipandang memadai untuk memenangkan sebuah persaingan, saat ini terasa tidak memadai lagi. Ranah berpikir kita harus didorong kuat untuk membangun tatanan keunggulan kompetitif, meski keunggulan komparatif tidak selalu berarti harus ditinggalkan. Salah satu keunggulan kompetitif adalah kualitas manusia oprganisasional yang secara kontinu mampu merekayasa diri menjadi manuasia pembelajar agar tetap berada pada posisi yang bersesuaian dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dinamika sosial, dan kemanusiaan pada umumnya.

Banyak orang berpendapat bahwa fenomena Indonesia yang terpuruk saat ini merupakan korban otoritarianisme Orde Baru, proses pemiskinan yang berlangsung lama, proses pembodohan yang pelan- pelan akan tetapi pasti, konglomerasi yang gagal memberdayakan rakyat akibat kegagalan logika trickle down effects, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh kesalahan kita sendiri, yaitu tidak memiliki dorongan untuk berprestasi (need for achievement) atau dorongan berprestasi pada tingkat yang tidak memadai; di samping selalu berpikir jangka pendek untuk mendapat hasil secara instan dari setiap usaha. Agaknya , kondisi yang kita alami saat ini merupakan akumulasi dari multitabiat buruk. Ketiadaan dorongan untuk berprestasi yang dimaksud adalah lebih dari sekedar malas bekerja. Aksi- aksi korupsis, kolusi, dan nepotisme yang lebih banyak berorientasi ke diri sendiri atau kerabat adalah juga merupakan tindakan untuk lebih mengutamakan kepentingan personal ketimbang memacu prestasi lembaga.

Kata Kunci : Manusia Pembelajar

PENDAHULUAN

Sebagai organisasi pembelajaran (learning organization) lembaga pendidikan persekolahan dari sekolah dasar hingga universitas, juga lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan lain harus mampu melahirkan manusia-manusia pembelajar. Manusia pembelajar merupakan orang yang menempatkan perbuatan belajar dalam totalitas skema kehidupannya,

(2)

bukan sebatas skema sekolah atau studi di perguruan tinggi, apalagi hanya menjelang ujian caturwulan, ujian semester atau ujian akhir. Bukan pula hanya peserta didik dan anggota komunitas sekolah, komunitas universitas, dan komunitas lembaga-lembaga pelatihan lainnya yang harus menjadi manusia pembelajar, melainkan masyarakat umumpun harus demikian .Ketika masyarakat umum telah menjadi manusia pembelajar , akan terbentuklah masyarakat belajar (learning society) dalam makna sesungguhnya.

Membentuk manusia pembelajar dalam makna luas tidak bisa instan, melainkan melalui sebuah proses evolusi kesadaran. Diperlukan keseriusan dan rentang waktu yang sangat panjang untuk mencapainya. Bahkan ada tatanan sosial yang nyaris tidak dapat diubah, misalnya kemalasan, rasa cepat puas, iri dan dengki, tertutup, mental, menerima apa adanya, pasrah kepada nasib, dorongan berprestasi yang rendah, dan sebagainya. Seperti disebutkan dalam laporan The Club of Budapest bahwa selagi evolusi kesadaran manusia telah dilakukan sejak permulaan peradaban, kemampuan secara sadar akan mempengaruhi evolusi manusia merupakan sesuatu yang baru dan belum dieksplotasi.

Konsep globalisasi dengan aneka ranah yang digamitnya memberi inspirasi bagi banyak orang dengan latar belakang, profesi, dan karakter yang berbeda untuk membangun sebuah sinergi kinerja. Baik dalam kapasitas sebagai perorangan, kelompok vokasional, kelompok profesi maupun lintas peran harus melakukan petualangan hebat untuk mengembangkan potensi dasar dan imajinasi manusia melebihi batas-batas normal yang pernah dilakukan pada era sebelumnya. Dinamika dan sinergi perilaku itu diperlukan untuk menghadapi tantangan di masyarakat yang berubah dan berkembang sangat cepat, apakah dikemas dalam istilah dan sosok yang sama atau berbeda.

Salah satu yang tidak boleh dilecehkan, bahkan harus dinomorsatukan oleh setiap orang adalah membangun optimisme.Kita saat ini dapat di ibaratkan sebagai orang yang tengah mengerjakan pekerjaan berat secara fisik, mental, dan otak. Hanya dengan sikap optimis,

(3)

pekerjaan itu akan dihadapi fisik yang nyaris tidak mengenal lelah, mental yang cerdas, dan otak yang jernih dengan akal yang brilian. Pada institusi pendidikan, sebagai salah satu ujung tombak pembentuk manusia pembelajar, perlu dibangun wajah cerah optimisme itu. Komunitas pendidikan, terutama kepala sekolah, guru, staf, dan orang tua murid harus mampu menemukan cara kerja yang lebih efisien dalam menjalankan roda pekerjaan untuk menyangga kehidupan. Istilah efisien di sini merujuk pada proses dan penghematan anggaran yang makin langka pada satu sisi dan banyaknya program yang harus dikemas untuk menghadapi globalisasi di sisi lain.

Kemampuan di bidang penganggaran hanya salah satu aspek saja dari persoalan manajemen pendidikan dan pelatihan kita, termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan. Uang memang penting, namun tidak akan mampu menyelesaikan semua persoalan. Kesadaran untuk mewujudkan institusi pendidikan sebagai organisasi pembelajaran yang totalitasnya bertanggung jawab terhadap mutu tertinggi dari proses dan produk yang dihasilkan menjadi .keniscayaan dikedepankan .Antusiasme dan komitmen semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar profesional, lebih dari sebatas manusia selayaknya pekerja biasa. Seperti ditulis oleh Harold W.Stevenson dan James W. Stigler dalam buku mereka The Learning Gap:Why Our School Are Failing and What We Can

Learn from Japanese and Chinese Education (1992) bahwa:

Profesional have longer and more specialized training, greater freedom to organize their time, greater personal responsibility for directing their own work , and respect that comer from uniqueness and quality of their contribution.

Stevenson dan Stigler secara prinsip menggariskan bahwa derajat profesional itu diperoleh melalui waktu yang lama dan menuntut pelatihan khusus , memiliki kebebasan yang luas untuk mengorganisasikan pekerjaan menurut satuan waktu , tanggung jawab personal yang besar untuk mengarahkan diri dalam mengelola pekerjaan, menghargai keunikan, dan

(4)

memberikan kontribusi dalam mengelola pekerjaan, menghargai keunikan, dan memberikan kontribusi dalam skema profesi secara berkualitas.

Hadirnya guru,dosen, dan widyaiswara atau instruktur yang memenuhi kriteria kualifikasi akademis dan bidang keahlihan menurut tuntutan bidang studi, mata pelajaran, atau mata tatar dipandang belum cukup untuk mendongkrak kinerja organisasi pembelajaran. Pendidikan persiapan dan kaderisasi calon guru, calon dosen, calon widyaiswara, atau calon instruktur menjadi sebuah tuntutan yang niscaya.Demikian juga pengembangan kompetensi profesional mereka setelah menjadi tenaga pengembang atau ujung tombak peningkatan mutu komunitas pembelajar. Inisiatif ini hanya akan bermakna secara signifikan jika dibarengi oleh kaderisasi para pemimpin pendidikan terutama kepala sekolah, pimpinan perguruan tinggi, atau ketua lembaga-lembaga pelatihan sampai dengan mereka memiliki kemampuan manajemen tingkat tinggi. Phillip H.Coombs (1968) menulis bahwa revolusi dalam bidang pendidikan hanya akan dicapai jika diawali dengan revolusi di bidang manajemen pendidikan.

PEMBAHASAN

Di Indonesia, tradisi kekinian yang berkembang, guru-guru baru dapat diangkat menjadi kepala sekolah setelah lulus sebagai calon dan lulus mengikuti pelatihan khusus calon kepala sekolah, meski tetap ada pengecualian. Mekanisme rekrutmen kepala sekolah seperti itudipandang relevan ketika yang dinginkan adalah orang yang benar-benar berkualitas. Kepala sekolah harus kompeten menjalankan tugas-tugas teknis manajerial yang menurut Mintzberg (1973) terdiri atas tiga kategori, yaitu :

(1) interpersonal, di mana kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin, dan juru runding;

(2) informasional, dimana kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau penyebar, dan perantara; dan

(5)

(3) decisionaldimana kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, menangani masalah-masalah yang pelik, pengalokasian sumber-sumber, dan negosiator.

Tugas-tugas yang diemban oleh kepala sekolah menuntut dia memiliki keterampilan pada taraftinggi dalam bdiang kepemimpinan, keadministrasian, kemampuan hubungan manusiawi dengan staf seara perorangan dankelompok dengan masyarakat, serta keterampilan teknis untuk menyelenggarakan tugas-tugas instruksional dan noninstruksional di sekolah.Kemampuan dalam hal teori dan praktik manajemen pendidikan diperlukan oleh kepala sekolah untuk menjalankan tugas-tugas operatif dari setiap area tugas kritis keadministrasian sekolah diatas, berkaitan dengan tugas-tugas kritis ini, Sergiovanni dkk. (1987) menulis:

The critical areas included in this taxonomy were as follow : (1) instruction and curriculum development.

(2) pupil personnel,

(3) community school leadership, (4) staff personnel,

(5) school plant

(6) school transportation,

(7) organization and structure, and

(8) school finance and business management.

Inti kutipan itu bahwa tugas-tugas kritis kepala sekolah meliputi beberapa ranah, antara lain pengembangan kurikulum dan pembelajaran, kesiswaan, kepemimpinan dalam hubungan sekolah dengan masyarakat, pengelolaan personalia, bangunan dan perlengkapan sekolah, transportasi sekolah, organisasi dan struktur, serta pengelolaan keuangan dan bisnis sekolah. Tugas-tugas kritis itu harus dikelola melalui proses administrasi atau fungsi organik

(6)

manajemen pendidikan yang benar. Fungsi-fungsi dimaksud mencakup perencanaan pemrograman, implementasi, pengendalian, proses dan evaluasi.

Implementasi tugas-tugas kritis dibidang pendidikan dan persekolahan melalui fungsi organik management atau proses administrasi yang tepat menuntut dukungan kuat dari komunitas yang terlibat langsung atau tidak langsung didalamnya. Pada institusi persekolahan, kepala sekolah akan menjalankan fungsi utama penggerakan seluruh sumber daya agar bisa bersinergi menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran. Hal yang sama juga terjadi dilingkungan universitas, akademi, dan politeknik. Tugas utama sumber daya manusia di lembaga-lembaga itu bukanlah melayani sistem, melainkan untuk kepentingan peserta didik. Untuk dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara optimum, kepala sekolah, pimpinan perguruan tinggi, atau pimpinan lembaga balai pelatihan, harus memiliki lima jenis keterampilan utama.

1. keterampilan transformasional, berupa keterampilan mengubah potensi staf, siswa, mahasiswa, dan peserta didik lainnya dari laten menjadi termanifestasi menumbuhkan sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, membangun kultur organisasi lembaga, dan melakukan restrukturisasi lembaga jika diperlukan .

2. keterampilan beriwarusaha,berupa keterampilan bernegosiasi dengan pihak pihak eksternal dalam rangka melakukan hubungan kontaktual, merangsang prakarsa organisasi pembelajaran untuk menghasilkan revenue (mendapatkan uang, bukan sekadar membelanjakan), lebih mengutamakan membiayai hasil ketimbang membiayai masukan, keberanian menanggung risiko, menerapkan sistem prestasi, dan lain-lain.

3. keterampilan teknis, berupa ketrampilan dan kepiawaian kepala sekolah atau pimpinan perguruan tinggi dalam hal metode, proses, prosedur, dan teknik-teknik pendidikan dan

(7)

pembelajaran demi terbentuknya lembaga yang mereka pimpin sebagai organisasi pembelajaran.

4. keterampilan proses kemanusiaan, berupa keterampilan bekerja secara efektif dan efisien dengan orang lain, memberdayakan staf, mengapresiasi, berempati, memberi sugesti, dan membangun kepercayaan komunitas.

5. keterampilan konseptual, berupa kemampuan merumuskan visi lembaga, menjadikan institusi sebagai organisasi terbuka, pemahaman yang luas terhadap seluruh mekanisme operasi institusi, pemahaman terhadap manajemen keorganisasian, pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi pendidikan organisasi. Termasuk di dalamnya pemahaman yang luas dan mendalam mengenai masalah-masalah ketatalaksanaan, proses dan prosedur manajemen kelas, prosedur dan proses manajemen akademis, menciptakan disiplin peserta didik, dan teknik membuat keputusan yang efektif.

A. Menjadi Pembelajar pada Era Milenium

Dua hal yang menjadi titik tekan kritik sekaligus sebagai pertanyaannya.Pertama, mengapa kondisi pendidikan di Indonesia saat ini belum membaik secara bermakna, ketika pakar pendidikan makin banyak jumlahnya?Pertanyaan itu diawali dengan kegudahan atas makin banyak pengomong dimasyarakat. Semua omongan mereka bagus, namun di dalam kenyataan apa yang diomongkan menunjukkan wajah yang belum banyak menyenangkan di masyarakat.

Kedua, mengapa mutu pendidikan disekolah masih tertinggal dibandingkan dengan mutu pendidikan pada banyak negara didunia, padahal beban kurikulum, dan satuan jam belajar disebut-sebut sebagai yang terbanyak di dunia?

“Masyarakat kita belum menjadi masyarakat belajar, belum menjadi masyarakat pembelajar, kita masih berdaya lisan, kita belum menghargai prestasi, kita belum

(8)

melembagakan kompetisi terbuka, jaringan-jaringan kemasyarakatan kita belum menunjukkan keteladanan “.

Kita boleh sependapat atau tidak dengan pertanyaan dan jawaban diatas.Bersamaan dengan itu kita harus membangun keyakinan bahwa lembaga pendidikan formal hanyalah satu faktor pendorong munculnya siswa dan mahasiswa sebagai manusia pembelajar.Dengan asumsi bahwa lingkungan kita belum menjadi lingkungan belajar yang kondusif maka tugas utama kita adalah membangun lingkungan belajar.

Lingkungan belajar yang dimaksudkan disini lebih dari sekadar terciptanya suasana lingkungan eksternal siswa dan mahasiswa untuk belajar.Melainkan yang lebih utama adalah terbangunnya sebuah tradisi masyarakat umum, keluarga, masyarakat pada jaring-jaring kemasyarakatan, dan siswa atau mahasiswa itu sendiri untuk melakukan tugas-tugas belajar dan pembelajaran.Ringkasnya, kita semua harus menjadi manusia pembelajar.

Tugas kita, karenanya bagaimana melakukan reformasi atau pembaruan mental agar manusia-manusia pembelajar dan lingkungan belajar itu sendiri menjadi terbentuk sesuai dengan yang diinginkan. Ketika perubahan itu menyentuh tataran mental, inisiatif apa pun akan sangat sulit menembusnya. Menurut David Obsorne dan Peter Plastrik dalam buku mereka Banishing Bureaucracy: The Five Strategies of Reinventing Government (1997) bahwa inisiatif pembaruan yang berhasil akan memakan waktu puluhan tahun untuk melakukan transformasi yang signifikan dan permanen.

Pada konteks persekolahan, termasuk perguruan tinggi, membangun lingkungan belajar ini agaknya harus bergerak dari peserta didik yang tidak mau belajar, dikondisikan agar mau belajar, diberi ganjaran atau hukuman atas capaian belajarnya, dan menjadikan belajar sebagai sebuah kebutuhan,. Memasuki free terakhir ini, siswa atau mahasiswa telah menjadi manusia pembelajar. Ciri utamanya adalah mereka malu kalau tidak belajar pada jam-jam belajar, merasa bersalah jika tidak mengerjakan pekerjaan rumah, lebih

(9)

mengutamakan berdiskusi soal bahan ajar ketimbang diskusi dengan topik lain tatkala berada di sekolah atau kampus, lebih mengandalkan kemampuan diri ketimbang nyontenk, tidak cepat merasa puas atas capaian belajar, menjadikan belajar sebagai kebutuhan utama, dan lain-lain.

Membangun mental peserta didik dari tidak mau atau malas belajar ke rajin belajar atau bermental sebagai manusia pembelajar, tidak cukup dengan mengandalkan perubahan internal dari mereka secara orang per orang.Pengorganisasian lingkungan belajar hingga menjadi kondusif merupakan keniscayaan bagi terbangunnya lingkungan belajar itu.Lingkungan belajar siswa atau mahasiswa yang diharapkan adalah yang menjelma seperti berikut ini.

1. Lingkungan pendidikan persekolahan

a. tercipta disiplin sekolah dan disiplin perguruan tinggi yang mendorong terbentuknya disiplin belajar.

b. peserta didik menjadi pusat utama layanan pendidikan dan pembelajaran, termasuk pengembangan.

c. kesehatan, keamanan, dan kenyamanan terjamin di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, termasuk jaminan kesejahteraan.

d. tersedia buku dan sarana pembelajaran yang lengkap, termasuk jaringan teknologi informasi (internet) bagi keperluan pendidikan dan pembelajaran.

e. keteladanan guru dan dosen sebagai masyarakat terpelajar.

f. kinerja profesional widyaiswara, guru dan dosen yang terandalkan; widyaiswara, guru dan dosen mampu memberi sugesti kepada subjek didiknya.

g. kinerja sumber daya, tata laksana, dan teknikal yang optimal.

h. pemberian tugas mandiri dan terstruktur kepada peserta didik, dan hal itu direspon oleh mereka secara antusias.

(10)

i. program kurikuler

j. penetapan kriteria prestasi dalam pembelajaran yang dilakukan secara objektif

k. kompetisi program pembelajaran, antara lain dengan memberikan pilihan-pilihan sesuai dengan minat dan bakat peserta didik.

l. bahan ajar sebagai fokus utama diskusi siswa dan mahasiswa secara antar rekan.

2. Rumah Tangga

a. Orang tua menjadi masyarakat belajar atau pembaca;

b. orang tua menemani anaknya belajar, bukan sekadar menyuruh anaknya belajar. c. ada jadwal belajar di rumah bagi peserta didik.

d. orang tua memantau kegiatan belajar anaknya. e. orang tua memantau kemajuan belajar anaknya. f. tersedia ruang belajar khusus bagi anak.

g. tersedia perpustakaan pribadi atau perpustakaan keluarga dengan beragam, koleksi. h. buku dan sumber informasi lain menjadi barang konsumsi keluarga.

3. Jaring-jaring kemasyarakatan

a. Keteladanan dan figuritas perilaku masyarakat umum sebagai masyarakat belajar.

b. suasana edukatif, dewasa, toleransi, saling menghargai, dan keterpelajaran di masyarakat. c. komitmen jaring-jaring kemasyarakatan menyediakan sumber daya belajar, semisal

perpustakaan, taman bacaan, sentra informasi, dan jaringan telekomunikasi.

d. pelembagaan sikap dan sistem meritokrasi atau pendekatan prestasi di masyarakat, termasuk dalam kerangka rekrutmen.

e. masyarakat memiliki gairah membangun pranata pendidikan, baik formal maupun non formal dengan standar mutu yang sama dengan lembaga sejenis di mana pun.

f. tersedia wahana penampungan bagi anak-anak putus sekolaha tau anak-anak yang memilih pendidikan alternatif.

(11)

g. lembaga pemerintahan memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan, misalnya, dibidang pendanaan dan penyediaan fasilitas.

Dilihat dari perspektif peserta didik, terbangunnya masyarakat pembelajar menggamit kepentingan bahwa proses dan produk pendidikan harus mampu tampil secara mutu. Bermutu dimaksud berkatidan dengan masukan, proses, keluaran, dan daya guna lulusan di masyarakat.

Ketika capaian kemajuan pembangunan pendidikan oleh masyarakat, kita Indonesia, telah menampakkan perwajahan yang cukup diakui oleh masyarakat, kita belum dapat berpuas diri.memang, bagi masyarakat di daerah tertentu, citra positif masyarakat atau nilai-nilai positif pendidikan, terutama di daerah-daerah maju, telah terbentuk dan mengakar di benak masyarakat, sementara masyarakat di daerah lain sangat mungkin baru memulai untuk membentuk citra semacam itu. Seluruh anggota masyarakat, setidaknya sebagian besar darinya, harus mampu menjadi manusia-manusia pembelajar dalam makna sebenarnya.

Keterbatasan dana dan masih belum optimalnya komitmen pemerintah untuk mengalokasikan dana dalam kadar yang cukup besar untuk kepentingan pendidikan, antara lain akan menjadi kendala utama untuk membangun pendidikan yang bermutu. Konsepsi pendidikan berbasis masyarakat (community-based education), mestinya harus dipersepsikan sebagai pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Pada tataran yang lebih luas, prakarsa membangun masyarakat sebagai masyarakat belajar atau masyarakat pembelajar meniscayakan upaya untuk memperkuat fondasi utamanya.Fondasi utama tersebut terdiri atas tiga lapisan dominan.Lapisan pertama, terbentuknya masyarakat sebagai masyarakat belajar, mutu proses pendidikan formal yang terandalkan, dukungan kuat dari pemerintah di bidang pendanaan dan penyederhanaan prosedur kerja, serta dukungan kuat dari dunia usaha. Lapisan kedua, tersedianya sumber daya manusia, sarana dan prasarana pembelajaran yang bermutu.

(12)

Meski tiga lapisan fondasi itu bersifat sinergis dalam menopang lahirnya masyarakat belajar, tampilan yang baik (good performances) dari lembaga sekolah atau perguruan tinggi akan tetap menjadi ujung tombaknya. Inisiatif dan kearifan, masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha dalam mendukung pendidikan memang merupakan keharusan.Akan tetapi, yang lebih utama adalah apakah sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga pengembangan lainnya siap dan mampu tampil secara kompetitif?

Sistem kompetisi di lingkungan lembaga pendidikan formal dan selektivitas masyarakat untuk menentukan pilihan, menurut John Chubb seperti dikuatip oleh David Osborne dan Ted Geabler dalam buku mereka Reinventing Government: How the Insperreneurial Spirit is

Transforming the public Sectors (1992) secara otomatis memberikan rangsangan bagi

sekolah, termasuk perguruan tinggi, untuk melakukan hal yang benar. Mengikuti pendapat Chubb, Osborne, dan Gaebler yang menulis :

Para pemimpin bisa mendesak sekolah untuk melakukan perbaikan; para legislator

bisa memerintahkan sekolah untuk melakukan perbaikan; para kepala sekolah dan pengawas dapat memaksa sekolah untuk melakukan perbaikan.Tetapi hanya kompetisi yang dapat memotivasi seluruh sekolah untuk melakukan perbaikan – karena hanya persaingan dalam mendapatkan konsumenlah yang menciptakan konsekuensi nyata dan tekanan nyata untu mengadakan perubahan bila sekolah-sekolah gagal.

Pada tataran yang lebih luas, masyarakat dan orang tua murid bertanggung jawab agar anak bisa menjadi manusia pembelajar. Terbentuknya peserta didik (siswa dan mahasiswa) menjadi manusia pembelajar akan membaut mereka yang cerdas penalaran akan terhindar dari penyakit kurang berprestasi. Secara akademis telah ditemukan bukti-bukti bahwa tidak jarang anak-anak yang pintar, namun prestasinya buruk, demikian pendapat Silvia Rimin dalam bukunya Why Btight Kids Get Poor Grades, (1995). Mengenai kondisi sekolah ke sekolah lain,Mary Leonhard dalam bukunya Parents Who Love Reading, Kids

(13)

a. pembagian struktur sajian amteri dari semua pelajaran sangat kaku;

b. guru-gurunya lebih mengutamakan prestasi akademis daripada kebutuhan pribadi siswanya.

c. guru terlalu banyak memiliki beban pekerjaan karena jumlah siswa dalam satu kelas yang terlalu banyak;

d. kurikulumnya kaku dan sangat dipaksakan;

e. yang paling utama anaknya tidak senang berada di sekolah itu.

Bagaimanakah wajah sekolah kita pada umumnya ?jawabannya tidaklah mudah, meski diyakini bahwa terdapat terdapat variasi besar perwajahannya. Secara umum, makin jauh dari pusat kota provinsi atau kota kabupaten, tampilan sekolah makin buruk, disiplin guru rendah, fasilitas belajar tidak tersedia secara memadai, dan sebagainya. Lebih buruk lagi, makinke perkampungan makin sulit ditemukan suasana masyarakat sebagai masyarakat belajar.Meski demikian, gendering untuk membangun masyarakat belajar harus terus didorong menjadi realita. Birokrat pemerintahan ambil peran disini, karena menurut Torsten Husen (1974), mereka ini mampu membawa perubahan besar dalam hal organisasi sistem pendidikan dan pelatihan, akan tetapi pada hakikatnya birokrasi tidak mungkin mampu membawa perubahan kreatif mengenai belajar itu sendiri. Perubahan untuk hal yang disebutkan terakhir ini banyak bergantung kepada guru, dosen, widyaiswara, pelatih, orang tua, masyarakat, keterbukaan politik, dan peserta didik itu sendiri.

B. Manusia Pembelajar Berpikir Kritis

Diluar kerangka deskripsi yang disebutkan diatas, khusus untuk jenjang perguruan tinggi, inisiatif membangun mahasiswa menjadi manusia pembelajar sekaligus berpikir kritis.Menjadi keharusan.Bahkan hal itu pun harus sudah tumbuh pada kalangan siswa. Kemampuan berpikir kritis, idealnya, merupakan satu ciri manusia Indonesia yang

(14)

berkualitas dan hal itu antara lain akan ditumbuhkan dan dihasilkan melalui transformasi pemanusiaan pada instansi pendidikan formal. Di sini, ada dua agenda pendidikan yang harus menjadi fokus kita.

Pertama, kemampuan berpikir kritis dari manusia Indonesia harus diterima secara politis dalam konteks politik pendidikan, antara lain dengan memasukkannya sebagai salah satu ciri manusia Indonesia berkualitas yang menjadi tujuan pendidikan nasional. Kedua, pelembagaan berpikir kritis harus mengalami penguatan praksis pada tingkat pembelajaran, antara lain dengan menerapkan pola diskusi dan dialog secara dua arah, bahkan multiarah pada kalangan sumber daya manusia kependidikan pada kelembagaan pendidikan formal, pada lembaga-lembaga pelatihan, pada forum diskusi akademis, dan lain-lain, termasuk pendekatan pemecahan masalah. Pada kelembagaan pelatihan, seperti pelatihan kepemimpinan, pelatihan manajemen, pelatihan perencanaan, pelatihan struktural, pelatihan fungsional dan lain-lain sudah selayaknya ditetapkan kaidah-kaidah andragogi atau pendidikan orang dewasa.

Mengapa ini dipandang penting? Karena dimasa datang, khususnya dalam rangka menghadapi era globalisasi atau sering pula disebut sebagai abad millennium, lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan formal dituntut untuk dapat melahirkan manusia-manusia pembelajar yang tidak hanya mampu mengantisipasi fenomena ke depan yang terus berkembang, melainkan yang lebih penting adalah mengeksplorasi masa depan (thingking the

future). Dalam makna, pendidikan kita harus mampu mentransformasikan peserta pendidikan

menjadi dirinya sendiri atau berkembang menurut potensi dirinya, bukan menjadi orang lain. Tanpa kemampuan pendidikan menjadikan anak “menjadi dirinya” akan membuat generasi mendatang dibelenggu oleh tekanan psikologis yang dahsyat.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Deborah Court (1991) bahwa di masa depan peserta pendidikan dan generasi muda kontemporer, seperti halnya orang dewasa, akan menghadapi

(15)

sedikit tekanan atau tekanan yang dahsyat, dimana hal itu menjadi masalah global yang memerlukan pemecahan. Tekanan itu muncul karena gelar kesarjanaan tidak lagi mampu menjadi jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai, persaingan makin ketat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi makin cepat, keunggulan kompetitif makin dituntut, sumber daya alam makin langka, dan lain-lain. Menurut Deborah Court, upaya membangun siswa dan mahasiswa yang dapat berpikir kritis menuntut kemampuan para pendidik dalam membantu mereka mengembangkan visi dan kapasitas untuk memecahkan masalah dan menghadapi tantangan tersebut. Di mana para pendidik perlu keberanian dan memiliki kemampuan dalam mengelola proses pembelajaran bagi mereka agar tercipta wacana belajar siswa dan mahasiswa secara efektif, misalnya kemampuan mengajukan pertanyaan, menganalisis, membangun solusi-solusi kreatif, dan bekerja secara kooperatif.

Mutiara yang dapat dipetik dari pendapat diatas, adalah perlunya pelembagaan berpikir kritis dalam praksis pendidikan dan pembelajaran pada banyak organisasi pembelajaran, seperti sekolah, universitas, lembaga-lembaga pelatihan, pusat-pusat pendidikan luar sekolah, dan sebagainya. Porosnya adalah terkondisinya kehidupan peserta pendidikan dan pelatihan dalam proses pembelajaran untuk mengajukan pertanyaan, menganalisis, membangun solusi-solusi kreatif, dan bekerja secara kooperatif antarsesama masyarakat pendidikan disekolah. Secara akademis pelembagaan berpikir kritis ini memang masih mengundang kontroversi, terutama berkait dan dengan isi, keterampilan dan strategi yang terpaut dengan proses pembelajaran.

Manusia seakan-akan mengalami klona (clone) berskala massal.Mereka yang menuntut keragaman atau tampil secara berbeda dengan kemauan kekuasaan justru mengalami permajinalan, seperti halnya anak yang tampil kritis sering dimusuhi.

Masalahnya sekarang, bagaimana pelembagaan berpikir-pikir kritis dalam kerangka penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan pada organisasi-organisasi pembelajaran? Sleman

(16)

(1989) mengidentifikasi lima pendekatan sebagai agenda utama dalam kerangka pembelajaran berpikir kritis.

Pertama, pendekatan keterampilan yang menekankan pada kemampuan menganalisis, mengklasifikasikan atau menggolong-menggolongkan, dan mensitesiskan atau menarik benang merah atas aneka fenomena yang muncul.Menganalisis merupakan usaha untuk menelaah sebuah sistem atau fenomena secara rinci, hingga ditemukan subsistem atau unsur-unsur yang membangunnya.Malas belajar adalah sebuah fenomena buruk dilihat dari keinginan mewujudkan masyarakat belajar, masyarakat yang cerdas, atau masyarakat pembelajar. Namun demikian, fenomena malas belajar sangat mungkin disebabkan oleh unsur-unsur , seperti masyarakat yang tidak kompetitif, tidak ada fasilitas, tingkat kecerdasan relatif di bawah rata-rata, lingkungan yang tidak kondusif, dan lain-lain.

Kedua, pendekatan pemecahan masalah, di mana peserta pendidikan dihadapkan pada hipotesis yang harus mereka pecahkan dengan prosedur kerja secara kritis. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan diawali oleh merasakan adanya masalah, mendefinisikan masalah, menggali data atau informasi yang membentuk masalah itu, melakukan sortir atas data atau informasi yang diperoleh, menentukan alternatif pemecahan, memilih alternatif terbaik, dan melakukan aksi riil untuk memecahkan masalah itu.

Ketiga, pendekatan logikal, dimana peserta pendidikan diarahkan untuk dapat mengidentifikasi kategori-kategori logis sebagai sebuah premis, menentukan konklusi, dan membuat argumen atasnya. Misalnya, Jika A maka B, dan jika B maka C, berarti jika A maka C. keinginan untuk bebas umumnya berseberangan dengan perilaku menuntut kepatuhan, namun paralel dengan upaya membuka ruang-ruang kreatif.

Keempat, pendekatan pemrosesan informasi, dimana kepada peserta pendidikan ditawarkan ide-ide besar, untuk selanjutnya mereka analisis secaa detail. Misalnya, mengapa para sarjana lebih suka menjadi penganggur di kota, ketimbang kembali ke desa asalnya

(17)

untuk bekerja disektor usaha tani? Jawabannya bisa beragam, seperti ketidaksiapan mental, ketidaksiapan fisik, atau sikap masyarakat lokal yang justru menjauhkan mereka dari tradisi asalnya.

Kelima, pendekatan multiaspek yang menekankan pada pelibatan kemampuan, sikap, kebutuhan, dan tuntutan yang ada pada diri peserta pendidikan. Tentu saja apa yang kita idealisasikan akan berkurang bermakna, jika tidak ditunjang oleh pelembagaan berpikir kritis pada jaringan kemasyarakatan.

PENUTUP

Banyak orang menyayangkan, ketika abad ke-21 telah ditapaki, lembaga pendidikan formal sebagai pengembangan amanah utama pengembangan sumber daya manusia masih tetap tampil sebagai institusi sosial yang paling konservatif.Kata “konservatif” memang bersifat netral, namun demikian dia menjadi berpihak ke arah yang jelek, malahan menjadi semacam konservatisme atau perilaku yang bersifat menolak perubahan.Misi memberlakukan kesetaraangender pun, kerap diterpa badai pemikiran konsertif ini.Misalnya, perempuan secara sosial dan kultural masih diidentikkan dengan tukang mengasuh anak, memasak didapur, melayani suami, mengurus urusan-urusan keluarga, dan sebagainya.

Bersamaan dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara cepat mengalami transformasi pada jalan tempat kita hidup dan belajar.Fenomena yang disebutkan terakhir ini menuntut lembaga pendidikan menjadi organisasi pembelajar dan manusia yang ada di dalamnya menjadi manusia pembelajar sejati.

Oleh masyarakat penggunaannya, institusi pendidikan makin dituntut harus mampu tampil secara progresif, terutama dalam kerangka membentuk manusia untuk dapat belajar tentang bagaimana belajar. Inisiatif untuk mendongkrak fungsi progresif pendidikan seperti

(18)

disebutkan diatas, menurut aplikasi efektif berupa model pembelajaran sebagai pilar utama institusi persekolahan. Model tersebut bekerja berbasis pada konsep penyapihan di dalam biologi , yaitu pemberian bantuan dan arahan secara penuh kepada peserta didik pada kelas-kelas permulaan dan mereduksi arahan itu secara progresif sejalan dengan makin komprehensifnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik itu.

Penyapihan progresif itu dapat dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, misalnya pengondisian atau pembiasaan, pemberian arahan, pemberian bantuan secara penuh, mereduksi bantuan secara perlahan, dan memberi tanggung jawab penuh atau perilaku otonom. Lembaga pendidikan formal, karenanya, harus menanamkan proses dinamis kepada anak-anak di ruang belajar kelas permulaan dan secara progresif disapih dari tergantung kepada guru dan institusi ke pembentukan keyakinan mengelola kegiatan belajar mandiri.

Pemahaman kita yang baru tentang belajar, paralel dengan pengembagan radikal di bidang teknologi. Revolusi teknologi harus menjadi inspirasi energi sistem pendidikan, organisasi pembelajar, cara kerja, pembentukan manusia pembelajar, dan kebudayaan kita. Di dalam konteks ini, kaidah revolusi teknologi menempatkan pembelajaran sebagai sebuah fenomena terintegrasi, universal, jaringan kerja multimedia secara digital, serta pemberdayaan sikap mental untuk belajar secara spontan, independen, kolaboratif, dan tanpa paksaan.

Pada sisi lain, dunia pendidikan persekolahan kita masih tampil secara padadoksal. Apa contohnya? Hingga saat ini masih muncul dikotori antara istilah pendidikan akademis dengan pendidikan profesional. Pemilahan itu menjadi tidak relevan lagi ketika telah lahir tuntutan bahwa pengetahuan teoritas hanya akan bermakna di ketika telah lahir tuntutan bahwa pengetahuan teorites hanya akan bermakna di dalam dunia kehidupan dan didunia kerja manakala dapat ditampilkan secara riil. Banyak orang terampil ilmu menulis, namun amat jarang menulis. Banyak pula pelatih penulisan buku ajar atau penulisan karya ilmiah lainyang

(19)

kehilangan wibawa, karena dia tidak mampu menunjukkan karya-karya akademisnya ketika dipertanyakan oleh peserta pelatihan, karena memang tidak ada. Banyak orang yang pandai berbicara, namun tidak pandai berbuat.Paham teori namun tidak mau berpraktik.

DAFTAR PUSTAKA

Littauer, Florence. 1996. Kepribadian plus : Bagaimana Memahami Orang lain dengan

Memahami Diri Anda Sendiri. Jakarta: Binarupa Aksara.

Laszlo, E. 1997. 3 Millenium: The Challenge and The Vision. London: Gaia Book Limited. Denzin, N. 1984. On Understanding Emotion. San Francisco: Jossey-Bass

Robbins, Stephen P. 1998. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi. Jakarta: PT Prenhalindo.

Depdikbud. Pemahaman Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 dan No, 25 Tahun 1999. Jakarta: Biro Perencanaan.

--- . 1994. Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal

Landas. Jakarta: Depdibud

Arismunandar, Wiranto. 2003. Komunikasi dalam pendidikan. Bandung: Departemen Teknik Mesin ITB.

Miarso, Yusufhadi. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali

Lestari G, Endang dan Maliki. 2003. Komunikasi yang Efektif. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara

Pratikno, R. 1987. Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi. Bandung: Remadja Karya

Sardiman AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta. Rajawali Press. Syihab, M Quraisy. 1992. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan

Umat. Bandung: Mizan.

R. Covey, Stephen. 2008. The 8th Habit, Melampaui Efektivitas Menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menunjang keberhasilan program pemberian ASI eksklusif dengan mengingat bahwa pemberian ASI eksklusif sangat penting dalam tumbuh kembang bayi dan sebagai salah satu cara

Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Perilaku Konsumen Dalam Keputusan Pembelian Produk Handphone Nokia Eseries. Studi ini dilakukan di Surabaya. Data yang digunakan adalah

ini adalah anak muda Sidoarjo telah berlomba dalam aksi peduli lingkungan dan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan ( trashmob ) dengan tujuan dari Program

Intensitas penyakit busuk lunak yang rendah pada tanaman yang dikendalikan dengan Penicillium sp., diduga selain karena pertumbuhan tanaman yang menjadi lebih baik akibat

Ditemukan bahwa buku tafsir ini menyajikan penafsiran ayat-ayat al-Quran secara singkat namun padat yang dilengkapi dengan catatan-catatan mengenai hal-hal yang banyak

8 Sebaliknya dari data di atas, tidak seimbangnya kasus anemia dan BBLR di kabupaten Pringsewu dapat menguatkan dugaan kajian teori bahwa kadar hemoglobin yang

Hasil penelitian ini menunjukkan tabel distribusi frekuensi mengenai karakteristik responden, domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik mengenai perilaku

Kesesuaian peningkatan prosentase yang terjadi pada setiap siklusnya baik dari hasil angket maupun observasi menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan dalam rangka