• Tidak ada hasil yang ditemukan

Miastenia Gravis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Miastenia Gravis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Review Jurnal

PERKEMBANGAN PENYAKIT GENERALIS DALAM

DUA TAHUN PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA

GRAVIS OKULER

Oleh Kelompok 2

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2010

(2)

PERKEMBANGAN PENYAKIT GENERALIS DALAM

DUA TAHUN PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA

GRAVIS OKULER

MarkJ.Kupersmith,MD;RobertLatkany,MD;PeterHomel,PhD

ABSTRACT

__________________________________________________________________________

Latar belakang

Generalized myasthenia gravis akan berkembang lebih dari 50%, pasien dengan

ocular myasthenia gravis. Optimalisasi pengobatan ocular myasthenia gravis, meliputi pemakaian kortikosteroid, masih kontroversial. Disamping itu, prevalensi thymoma dan keoptimalan tes edrophonium chloride untuk ocular myasthenia gravis masih belum jelas.

Tujuan

Untuk menilai efek terapi kortikosteroid oral pada frekuensi dari perkembangan

Generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, insidensi thymoma, dan jumlah endrophonium yang dibutuhkan untuk tes yang hasil positif pada pasien dengan ocular myasthenia gravis.

Metode

Penulis mereview database 174 pasien ocular myasthenia gravis. Pasien menjalani pemeriksaan level acetylcholine receptor (AchR) antibody dan chest computed tomography. Kecuali kalau kontraindikasi, pasiend dengan diplopia direkomendasikan untuk terapi dengan prednison, hingga 40 – 60 mg/d, dengan dosis (tapered) untuk 5-6 minggu. Kebanyakan dilanjutkan menerima dosis harian 2,5-10 mg untuk mencegah diplopia. Pasien yang tidak diberikan prednison (grup yang tak teratasi) menerima pyridostigmine bromide atau tidak diberikan obat. Setelah diagnosis, gejala dan tanda ocular dan generalized myasthenia gravis didokumentasikan dan dilakukan follow-up selama 2 tahun pada 94 pasien.

(3)

Rata-rata dosis erdophonium chlorida untuk menimbulkan respon positif adalah 3,3 mg (SD, 1.6 mg) untuk ptosis dan 2,6 mg (SD, 1.1 mg) untuk disfungsi motorik okular. Thymoma terjadi pada 1 pasien (0,7%). Generalized myasthenia gravis berkembang dalam waktu 2 tahun pada 4 dari 58 yang sembuh dan 13 dari 36 yang tidak sembuh. Odd ratio (OR) untuk perkembangan penyakit generalis di kelompok sembuh adalah 0.13 (95% confidence interval, [CI], 0,04-0,45) dibandingkan dengan kelompok yang tidak sembuh. Level antibodi AChR tidak memprediksi perkembangan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, teatpi resiko lebih tinggi pada pasien dengan level antibodi abnormal (OR, 6.33; 95% CI, 1.71-23.42). Regresi logistik meliputti usia, level antibodi abnormal, dan terapi prednisone memberikan hasil signifikan untuk level antibodi AChR abnormal (OR, 7.03;95% CI,1,35-36,64) dan pengobatan (OR, 0.06;95% Ci, 0.01-0.30).

Kesimpulan

Pada 2 tahun, pengobatan prednisone memberikan hasil menurunkan insidensi

generalized myasthenia gravis menjadi 7% dibandingkan pasien dengan tidak menerima prednisone yaitu 36%. Thymoma, meskipun tidak biasa, terjadi pada

ocular myasthenia gravis. Hanya sebagian kecil erdophonium dibutuhkan untuk mendiagnosis ocular myasthenia gravis.

____________________________________________________________________________

Gejala awal dari myasthenia gravis adalah ptosis, extraocular muscle

weakness, atau ocular misalignment meningkat pada 65% pasien. Secara

klinis generalize disease berkembang menjadi ocular myasthenia gravis

pada 3% pasien dan 44% terjadi selama 2 tahun. Walaupun tidak dapat

diprediksi generalized myasthenia gravis, namun ditemukan kelainan

pada stimulasi saraf yang berulang dengan pemeriksaan electromyografi

systemic muscles dan kkeabnormalan reseptor serum acetylcholine

(AChR) antibody level meningkat pada 50% pasien menunjukan gangguan

subclinical systemic terjadi pada beberapa pasien ocular myasthenia

gravis. Ditemukan keabnormalan dari ekstermitas atas dari single fiber

electromyografi lebih sering terjadi pada ocular myasthenia gravis yang

(4)

dengan peningkatan gangguan generalized. Pasien ocular myasthenia

gravis juga memperlihatkan injury pada lapisan percabangan ujung otot.

Ocular myasthenia gravis dapat menggangu penglihatan sehingga bisa

terjadi cacat visual, dan kelainan fungsi tubuh sehingga akan

mengganggu aktivitas sehari-hari dan sampai mengancam jiwa. Jika

terjadi lowcost, maka terapi yang tepat dapat mengurangi keparahan

ocular myasthenia gravis. Jika dosis yang lebih besar digunakan untuk

waktu pendek maka sedikit efek samping dapat terjadi sekalipun dosis

rendah digunakan untuk melanjutkan terapi. Jika perkembangan penyakit

ke hipertensi systemic, DM, osteoporosis, gangguan GIT, dapat diberi

terapi dari dosis sedang sampai tinggi atau diberikan alternative terapi

sehingga dapat memperkecil dosis jangka panjang yaitu tidak lebih dari

10 mg/d, penggunaan cointerventions untuk mengontrol tekanan darah

dan hiperglikemi, dan penggunaan dari pencegah cointerventions untuk

GIT dan kelainan tulang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menentukan prekuensi perkembangan dari generalized myasthenia gravis

pada rentan waktu 2 tahun di pasien yang menunjukan gangguan ocular

akan menunjukan perbaikan jika di terapi dengan corticosteroid dosis

sedang dan dilanjutkan dengan dosis rendah, terlihat pada 6 minggu

masa pengobatan.

METODE

Design

Peneliti mengevaluasi rekam medis pasien dengan ocular myasthenia gravis di pelayanan Neuro-ophtamology New York Eye and Ear Infirmary (1984-2000), dan institute of Neurology and Neurosurgery of Beth Israel Medical Center, New York (1997-2000). Kemudian data diekstrak untuk memenuhi database ocular myasthenia gravis tahun 1997. Pasien yang baru dan lama dengan ocular myasthenia gravis yang datang ke klinik dari tahun 1997 dan seterusnya memilki kartu medisnya yang dirawat dalam suatu sistem. Kriteria inkusi terdiri dari pemeriksaan neuro-opthalmologic pertama lebih dari 2 tahun atau lebih dan memiliki bukti klinis ocular myasthenia gravis dan tidak ada gejala subyektif atau

(5)

temuan klinis sugestif dari generalized myasthenia gravis. Peneliti menggunakan kriteria diagnosis untuk ocular myasthenia gravis:

1. Ptosis di salah satu atau kedua kelopak mata atas tidak karena penyakit kelopak mata, yang dapat menyebabkan kelemahan atau kembali dengan istirahat.

2. Kelemahan otot ekstraokular di salah satu atau kedua mata, tidak karena gangguan nervus ketiga.

3. Kelemahan yang dapat muncul di salah satu atau kedua orbicularis oculi tetapi tudak ada kelemahan otot di kepala dan leher

4. Tidak ada keabnormalan pupil dari penyakit lokal atau bekas pembedahan 5. Keletihan yang mempengaruhi otot dengan clear-cut membuat buruk

ptosis setelah pandangan keatas selama 30 – 60 detik.

Pasien dengan ocular myasthenia gravis muncul sebelum 2 tahun dieksklusi. Pasien dengan tanda-tanda restriksi myopati abduksi atau supraduksi karena

dysthyiroid ophthalmopathy juga dieksklusi. Pasien dengan dysthyiroid ophthalmopathy yang berkembang menjadi exotropia dan tes edrophonium positif di inklusi.

Semua pasien menjalankan CT-scan dengan kontras pada dadauntuk melihat apakah ada thymoma. Serum di tes untuk gula darah puasa dan level binding-antibodi AChR. Pasien menjalani pemeriksaan darah untuk mengetahui disfungsi tiroid kecuali bila mereka telah mengetahui memiliki riwayat hipotiroid atau hipertiroid.

Pasien tidak di randomisasi untuk terapi. Durasi gejala sebelum diterapi tidak seraagam. Seluruh pasien pengobatan dengan prednison diresepkan histamin blocker harian (ranitidin hydroclorida, nizatidine, atau famotidine hydrochlorida) dan suplementasi kalsium, 1000 – 1500 mg/d. Kebanyakan pasien kelompok pengobatan dengan prednison melanjutkan menerima dosis harian atau alternatif harian. Semua pasien diwawancarai dan diperiksa apakah ada komplikasi kortikosteroid dan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian.

(6)

Tujuan utama peneliti adalah untuk menentukan insidensi pada grup yang terobati dan tidak terobati (treated and untreated grup) dari perkembangan dari

generalized myasthenia gravis dalam kurun waktu 2 tahun dan untuk menentukan faktor resiko potensial. Faktor-faktor dasar, meliputi gender, umur, level antibodi AChR, apakah level antibodi AchR abnormal, apakah pasien dengan usia 50 tahun atau lebih, dibandingkan antara 2 grup pengobatan menggunakan 2-tailed t test. Odds ratio untuk perkembangan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun untuk masing-masing faktor atau grup pengobatan ditunjukan dengan confidens intervals (CIs) 95%. Regresi logistik digunakan untuk menentukan apakah level antibodi AchR atau umur secara signifikan berhubungan dengan perkembangan generalized myasthenia gravis

dalam waktu 2 tahun. Regresi logistik multivariat juga digunakan untuk mengetes kekuatan dari hubungan dengan generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun, kontrol terhadap faktor resiko lainnya. Estimasi Kaplan-Meier digunakan untuk menganalisis efek dari pengobatan dan level AChR abnormal dalam perkembangan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Statistik logrank digunakan untuk mengetes perbedaan grup pada estimasi Kaplan-Meier. Regresi resiko proporsional multivariat digunakan untuk mengevaluasi hubungan umur dengan perkembangan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Regresi resiko proporsional digunakan untuk mengestimasi model multivariat untuk waktu perkembangan generalized myasthenia gravis selama periode penelitian ini. Seluruh perbandingan statistik yang dilakukan menggunakan tingkat signifikansi P<0.05.

Tujuan lain dari penelitian ini adalah, peneliti melaporkan insidensi thymoma dan dosis edrophonium yang dibutuhkan untuk menginduksi efek positif pada kelopak mata dan disfungsi otot ekstraokular.

HASIL

Sebanyak 147 pasien yang memenuhi kriteria untuk ocular myasthenia gravis. Meliputi 84 laki-laki dan 63 wanita, dengan usia rata-rata 50 tahun (SD, 21 tahun; range, 2-80 tahun) dan rata-rata follow-up 3,6 tahun (SD, 3,2 tahun; range, 0,5-16 tahun). Enam pasien 10 tahun atu lebih muda. Diagnosis ditegakan dengan rata-rata metode fatigue/recovery pada 67 pasien dan hasil tes edrophonium positif pada 80 dari 83 pasien. Tiga pasien yang memiliki hasil tes

(7)

edrophonium negatif memiliki fenomena fatigue/recovery pada pemeriksaan fisik dan hasil stimulasi elektromyografi nervus repetitif abnormal.

Dosis rata-rata edroponium chloride untuk menimbulkan respon positif terhadap ptosis adalah 3,3 mg (SD, 1,6 mg) dan terhadap kelemahan otot ekstraokular adalah 2,6 mg (SD, 1.1 mg).

Level antibodi AChR abnormal pada 35% pasien. Level rata-rata adalah 4.0 nmol/L (SD, 13.3 nmol/L). Thymoma didiagnosis dengan rata-rata CT pada 3 pasien. Dua dari pasien melakukan bedah eksisi massa mediastinal. Pasien ketiga menolak dibedah dan menjalani 14 tahun follow-up dengan tanpa perubahan pada masa mediastinal.

Follow-up selama dua tahun diselesaikan dengan 94 pasien, 58 diantaranya mendapatkan prednisone. Empat puluh lima pasien diatas 50 tahun atau lebih tua. Untuk pasien yang menderita generalized myasthenia gravis yang tidak berkembang dalam kurun waktu 2 tahun, durasi rata-rata follow-up adalah 4,6 tahun (SD, 3.0 tahun; range, 2-16 tahun).

Generalized myasthenia gravis berkembang dalam waktu 2 tahun pada 4 (7%) dari 58 yang sembuh dan 13 (36%) dari 36 pasien yang tidak sembuh. Untuk kelompok yang sembuh OR untuk perkembangan penyakit generalisasi adalah 0,34 (95% CI, 0,14-0,80) dibandingkan dengan kelompok yang tidak sembuh. Lima belas dari 17 pasien dengan generalized myasthenia gravis berkembang dalam 2 tahun memiliki bentuk generalisasi dalam setengah tahun pertama. Gender dan umur sedikitnya 50 tahun merupakan faktor resiko yang tidak signifikan untuk perkembangan generalized myasthenia gravis. Bagaimanapun juga, umur aktual mendemonstrasikan hubungan yang signifikan dengan

generalized myasthenia gravis dalm waktu 2 tahun (P=0,2). Pasien wanita berumur kurang dari 40 tahun memiliki resiko rendah untuk perkembangan dari penyakit generalisasi.

Level antibodi AChR merupakan prediktor yang tidak signifikan dari perkembangan generalized myasthenia gravis dalam 2 tahun (P=0.87), meskioun resiko untuk berkembangnya generalized myasthenia gravis lebih besar pada pasien tersebut dengan level antibodi AChR abnormal dibandig mereka dengan level yang norma atau temuan yang negatif (OR, 6,33[95% CI, 1,71-23,42]).

(8)

Generalized myasthenia gravis berkembang pada 24 pasien selama periode

follow-up, meliputi 9 (16%) dari kelompok sembuh dan 15 (42%) di kelompok tidak sembuh.

PEMBAHASAN

Resiko generalized myasthenia gravis dalam waktu 2 tahun meningkat pada pasien dengan level antibodi AChR abnormal, tetapi level absolute tidak diprediktif. Umur absolutberkorelasi dengan perkembangan penyakit generalisasi. Secara umum, gender tidak sebagai faktor resiko, kecuali

generalized myasthenia gravis berkembang kurang dari 2 tahun dengan wanita umur lebih muda dari 40 tahun.

Terapi optimal untuk ocular myasthenia gravis tidak ditentukan, dan pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan keterbatasan otot ekstraokular dan diplopia masih kontroversial. Seluruh populasi dengan ocular myasthenia gravis memiliki persentasi pasien yang lebih rendah dengan level antibodi AChR yang abnormal. Hal ini diduga karena inkonsistensi dalam perlakuan di laboratorium komersial. Sebanyak 94 pasien mendukung hipotesis bahwa pengobatan dengan kortikosteroid yang tidak menyebabkan komplikasi sistemik yang signifikan pada pasien dengan ocular myasthenia gravis yang mungkin secara signifikan menurunkan prevalensi miastenia generalis dalam 2 tahun.

Kortikosteroid mempengaruhi dengan disfungsi inflamasi dan imunologis yang merusak AChR dan neuromuscular junction. Meskipun dengan dosis besar kortikosteroid dapat memblok transmisis neuromuscular dan menyebabkan kelemahan, terapi kortikosteroid beraksi dalam meningkatkan sintesis AChR dan augmentasi dalam proses membran sinaptik. Jika supresi kortikosteroid dalam proses destruktif terjadi sebelum dapat dideteksinya kelemahan otot, sejumlah AChR sinaptik postsinatik signifikan mungkin sudah bertahan.

Pada penelitian secara in-vitro menyediakan mekanisme yang dapat menjelaskan keuntungan kortikosteroid yang tidak berhubungan dengan imunosupresi. Glukokortiokoid meningkatkan jumlah AChr di kultur otot manusia, dan hal ini bisa dilihat setelah 6 minggu pemberian dexamethasone. Dexamethasone terlihat menurunkan hilangnya AChR pada sel kultur otot manusia. Pada kerusakan neuromuscular junction, junction meningkat ukurannya setelah 4 minggu pemberian hidrokortison atau dexamethasone.

(9)

Sebagai tambahan, panjang dan jumlah postsinaptic folds dan dalamnya

psotsynaptic cleft meningkat setelah 3 minggu pengobatan hidrokortison.

Imunomodulasi dan imunosupresi sebagai untuk menurunkan kemunduran dari

ocular myasthenia gravis menjadi generalized myasthenia gravis. Pada satu penelitian, thymectomy dilakukan pada 18 pasien. Tidak ada generalized myasthenia gravis yang terjadi dalam waktu 2 tahun. Bagaimanapun juga, pasien yang diikuti sampai 6 bulan sebelum pembedahan sehingga pasien yang mengalami kemunduran sebelum 6 bulan tidak dimasukan. Imunosupresi dengan azathioprin sodium, biasanya diberikan bersamaan dengan prednisone, juga menurunkan secara signifikan perkembangan generalized myasthenia gravis. Pasien dengan seluruh stadium miastenia gravis, remisi spontan dapat terjadi sekitar 20% pada kasus yang tidak sembuh.

Pada penelitian retrospektif dari 248 pasien dengan ocular myasthenia gravis

setidaknya untuk 1 bulan setelah onset gejala, dari 66% yang kemudian berkembang generalized myasthenia gravis, generalized myasthenia gravis

(10)

TINJAUAN PUSTAKA

___________________________________________________________________________

MIASTENIA GRAVIS

DEFINISI

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

EPIDEMIOLOGI

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme imunogenik

memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan

(11)

miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis

generalisata.

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site

dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

GEJALA KLINIS

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

• Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis

(12)

miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

• Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Klas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

b. Klas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

c. Klas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

(13)

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Klas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot-otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. f. Klas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. g. Klas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

h. Klas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Klas Iva

Secara predominan mempengaruhi otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. j. Klas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Klas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

(14)

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS

Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.

Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

(15)

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain :

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. 2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

3. Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

Pemeriksaan Laboratorium

• Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita

(16)

dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.

Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut: Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman

Class

Mean antibody

Titer

Percent

Positive

R 0.79 24 I 2.17 55 IIA 49.8 80 IIB 57.9 100 III 78.5 100 IV 205.3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita

thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma

dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan

(17)

yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak)

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

• Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan

chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

• MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

Pendekatan Elektrodiagnostik

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. • Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter

(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada

neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

(18)

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:

• Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :

o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

o Paralisis pasca difteri

o Pseudoptosis pada trachoma

• Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks.

• Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

PENATALAKSANAAN

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.

Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombaiasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

Plasma Exchange (PE)

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.

(19)

Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.

Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.

Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan

(20)

tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.

Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

Cyclophosphamide (CPM)

CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.

Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alan Pestronk, Myasthenia Gravis & Neuromuscular Junction (NMJ) Disorders;

Availaible at: NEUROMUSCULAR DISEASE CENTER

http://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html Washington University, St. Louis, MO USA

Kumar, Cotran,dan Robin. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. EGC: Jakarta.

Silvia A.Price, Wilson. 2006.

Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit

, Ed.6,Vol. 2. EGC : Jakarta

Gambar

Gambar  3.  Penderita  Miastenia Gravis  yang mengalami kelemahan  otot  esktraokular (ptosis).

Referensi

Dokumen terkait

Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet yang disebabkan oleh

2 Myasthenia gravis dapat menyebabkan kelemahan pada kelopak mata dan otot-otot mata pada hingga 90% kasus; setengah dari pasien tersebut menunjukkan gejala

Sampai saat ini di Indonesia belum ada data perbaikan disfagia orofaring pada pasien miastenia gravis dengan menggunakan skor FOIS berdasarkan pemeriksaan FEES dan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan jika Group Positive Psychotherapy terbukti mampu untuk meningkatkan kualitas hidup pada diri pasien Myasthenia Gravis yang mendapatkan

Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan myasthenia gravis..

Sampai saat ini di Indonesia belum ada data perbaikan disfagia orofaring pada pasien miastenia gravis dengan menggunakan skor FOIS berdasarkan pemeriksaan FEES dan

Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus menerus dan disertai

The New Ropanasuri Journal of Surgery The New Ropanasuri Journal of Surgery Volume 7 Number 2 Article 2 12-22-2022 Prognostic Factors of Myasthenia Gravis Remission After Prognostic