• Tidak ada hasil yang ditemukan

GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PASIEN MYASTHENIA GRAVIS TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GROUP POSITIVE PSYCHOTHERAPY UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PASIEN MYASTHENIA GRAVIS TESIS"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Program Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya

Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Magister S2 Psikologi

Disusun oleh : Lavenda Azalia

17915046

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

(2)
(3)

Nama : Lavenda Azalia

NIM : 17915046

Judul Tesis : Group Positive Psychotherapy Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Myasthenia Gravis

Melalui surat ini saya menyatakan bahwa :

1. Selama melakukan penelitian dan pembuatan laporan penelitian tesis saya tidak melakukan tindakan pelanggaran etika akademik dalam bentuk apapun, seperti penjiplakan, pembuatan tesis oleh orang lain, atau pelanggaran lain yang bertentangan dengan etika akademik yang dijunjung tinggi Universitas Islam Indonesia. Karena itu, tesis yang saya buat merupakan karya ilmiah saya sebagai penulis, bukan karya jiplakan atau karya orang lain.

2. Apabila dalam ujian tesis saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya siap menerima sanksi sebagaimana aturan yang berlaku di Universitas Islam Indonesia. 3. Apabila dikemudian hari, setelah saya lulus dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial

Budaya, Universitas Islam Indonesia ditemukan bukti secara meyakinkan bahwa tesis ini adalah karya jiplakan atau karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi akademis yang ditetapkan Universitas Islam Indonesia.

Yogyakarta, Maret 2020 Yang menyatakan Lavenda Azalia Materai Rp 6000,00

(4)

Let me hide in You

From everything that distracts me from You,

From everything that comes in my way

When I want to run to You.

-Rabia Al-Adawiyah-

"Be yourself. Everyone else is already taken."

-Oscar Wilde-

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi

(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah

mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

-Qur’an 2 :

(5)

216-Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat-Nya sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih atas hikmah dari tiap

proses yang saya jalani selama tesis ini.

Shalawat dan Salam juga selalu tercurah untuk baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Terima kasih untuk segala cinta, perhatian, doa dan dukungan dari orang-orang terdekat di hati:

Papa H. A. Azis Madjid & Mama Hj. Ellysa Djuwita

Terima kasih atas atas limpahan kasih sayang, dukungan materil dan immaterial, serta curahan do’a yang tiada hentinya. Thanks for being my sun and my moon. Ma, Pa, you are

the best gift of my life.

Ayuk semata wayang Hj. Shintalya, S.H., M.Ba

Terima kasih atas segala dukungan serta motivasi untuk meraih kesuksesan. You are the best Sist! I am honor to be your younger sister.

Ponakan tersayang, Sheby, Jehan dan Rasyifa

Terima kasih untuk segala dukungan dan canda tawanya. Without you guys, my life would be like black and white, no color to see.

Seluruh Penyintas Myasthenia Gravis

Terima kasih untuk semua bantuannya karena telah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengangkat penyakit Bapak/Ibu sekalian.

(6)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, Alhamdulillahi Rabbil’alamin.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan pertolongan-Nya, serta yang telah memberikan kemampuan, kekuatan dan jalan kemudahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan tesis ini semata-mata adalah Rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam penulis tujukan kepada baginda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam yang telah membawa umat dari zaman jahiliyah ke jalan yang terang benderang.

Selama proses penyelesaian tesis ini banyak hal yang penulis lewati, tetapi penulis beruntung mendapat banyak dukungan baik fisik maupun psikologis dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D selaku rektor Universitas Islam Indonesia. 2. Bapak Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog selaku Dekan Fakultas

Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

3. Bapak Dr. rer.nat. Arief Fahmi, S.Psi., MA., Psikolog selaku Ketua Program Studi Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia.

4. Ibu Libbie Annatagia, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku Koordinator Bidang Klinis Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.

5. Ibu Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Psikolog selaku Dosen Pembimbing utama penelitian ini yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membantu

(7)

6. Ibu Rr. Indahria Sulistyatini, S.Psi., MA., Psikolog selaku pembimbing pendamping penelitian ini serta supervisor selama perkuliahan. Terima kasih karena telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membantu penulis menyelesaikan tesis ini, serta yang senantiasa memberikan dukungan dan perhatiannnya sehingga penulis selalu optimis dalam mengerjakan tesis ini dan tesis ini dapat selesai tepat waktu.

7. Segenap Dosen Prodi Psikologi dan Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, yang berkenan membagikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis.

8. Seluruh staff Bagian Pengajaran, Perpustakaan, Unit Laboratorium, serta karyawan Prodi Magister Psikologi profesi (Mas Robit, Mas Danang, Mba Mus, Mba Arifa, dan Mas Luthfi) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya.

9. Kedua orangtua tercinta H. A. Azis Madjid dan Hj. Ellysa Djuwita yang selalu memberikan doa, dukungan, dan kasih sayang yang tiada hentinya. Terima kasih karena tidak pernah lelah untuk menghadapi semua tingkah penulis sejak kecil, detik ini, hingga nanti. Semoga sehat selalu ya Ma dan Pa.

10. Ayuk semata wayang, Hj. Shintalya, S.H., M.Ba dan kakak ipar H. Chandra Wibawa, S.T., M.Ba atas semua doa dan dukungannya terhadap penulis selama ini. Terima kasih sudah selalu ada selama ini.

(8)

12. My Dio Putri’s squad, Rahmi, Zahra, Herlin, Kiki, Ulfa, Nita, dan Hania. 13. My Wirahsa’s team, Abdi dan Mbak Dita

14. Sahabat sekaligus saudaraku di Jogja, Mami Ledi tersayang. Sukses selalu Mi.

15. Teman-teman seperjuangan MAPPRO KLINIS ANGKATAN XIV. Sukses selalu guys. 16. Teman-teman MAPPRO PIO dan PENDIDIKAN ANGKATAN. XIV. Sukses selalu

guys.

17. Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia, terutama Ibu Indri selaku ketua dan Pak Tri Joko selaku Pimpinan Chapter Jawa Tengah yang telah mengizinkan untuk melakukan penelitian dan selalu membantu serta membimbing peneliti.

18. Semua anggota YMGI terutama chapter Solo Raya dan keluarga yang telah mau menerima peneliti. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.

19. Seluruh pihak yang turut berperan dalam penulisan tesis ini yang tidak bisa disebutkan secara satu per satu. Terima kasih banyak atas seluruh bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi banyak pihak.

Semoga Allah memberikan limpahan Rahmat, Karunia dan balasan yang lebih baik atas kebaikan semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu terwujudnya tesis ini, aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Yogyakarta, Maret 2020

(9)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 11

C.Manfaat Penelitian ... 11

D.Keaslian Penelitian... 11

BAB II TINJAUAN TEORITIS A.Kualitas Hidup ... 15

1. Pengertian Kualitas Hidup ... 15

2. Aspek Kualitas Hidup ... 17

3. Faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup ... 19

B. Group Positive Psychotherapy ... 21

1. Pengertian Positive Psychotherapy ... 21

2. Pengertian Group Therapy ... 22

3. Pengertian Group Positive Psychotherapy ... 23

4. Aspek Group Positive Psychotherapy ... 23

5. Tahapan Intervensi Group Positive Psychotherapy ... 25

C.Group Positive Psychotherapy Meningkatkan Kualitas Hidup MG ... 27

D.Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN A.Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian ... 36

B. Definisi Operasional ... 36

1. Kualitas Hidup ... 36 2. Group Positive Psychotherapy ...

(10)

H.Metode Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Orientasi Kancah dan Persiapan ... 44

1. Orientasi Kancah ... 44

2. Persiapan ... 45

a. Persiapan administrasi ... 45

b. Persiapan alat ukur penelitian... 47

c. Persiapan modul ... 47

d. Seleksi fasilitator dan observer ... 50

e. Seleksi peserta penelitian ... 51

f. Seleksi observer ... 52

B. Laporan Penelitian ... 52

1. Pelaksanaan prates ... 52

2. Pelaksanaan Group Positive Psychotherapy ... 54

3. Pelaksanaan pascates ... 76

4. Pelaksanaan tindak lanjut ... 77

C.Hasil Penelitian ... 78

1. Deskripsi Subjek ... 78

2. Hasil Analisis Kuantitatif ... 78

a. Deskripsi Statistik ... 78

b. Uji Asumsi ... 81

3. Hasil Analisis Kualitatif ... 87

a. Responden 1 (TY) ... 88

b. Responden 2 (YS) ... 91

c. Responden 3 (SG) ... 94

D.Pembahasan... 96

E. Evaluasi Terapi ... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 113 LAMPIRAN

(11)

Tabel 2. Desain Rancangan dalam Penelitian………...… 38

Tabel 3. Blueprint Skala Kualitas Hidup …………...……… 40

Tabel 4 Respon Skala Kualitas Hidup ...……… 40

Tabel 5. Rancangan Kegiatan Group Positive Psychotherapy... 43

Tabel 6. Rancangan Intervensi Pasca Professional Judgement………... 49

Tabel 6.1 Deskripsi Perubahan Modul...………. 50

Tabel 7 Hasil Data Screening ………..…...……… 53

Tabel 8 Deskripsi Responden Kelompok Eksperimen...…………... 78

Tabel 9 Deskripsi Responden Kelompok Kontrol………..………. 78

Tabel 10 Deskripsi Data Skor Kualitas Hidup Kelompok Eksperimen ..………... 79

Tabel 10.1 Deskripsi Data Skor Kualitas Hidup Kelompok Kontrol …………..…... 79

Tabel 11 Deskripsi Data Statistik Kualitas Hidup ………... 80

Tabel 12 Hasil Uji Beda Skor Kualitas Hidup dalam Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ………...………...………... 81 Tabel 13

Tabel 14

Tabel 15

Hasil Uji Beda Skor Kualitas Hidup pada Masing-Masing Kelompok Analisis per domain pada skala WHOQOL BREF dengan analisis Wilcoxon pada masing-masing kelompok

Analisis per domain pada skala WHOQOL BREF dengan analisis Mann Whitney pada masing-masing pengukuran

82 83

(12)

Gambar 1. Kerangka Teoritis Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kualitas

Hidup Pasien MG ... 34

Grafik 1. Perbandingan skor rerata Kualitas Hidup ... 80

Grafik 2. Skor Responden TY ... 88

Grafik 3. Skor Responden YS ... 91

(13)

Lampiran 3. Surat Keterangan Uji Angket

Lampiran 4. Surat Keterangan Hasil Cek Plagiasi Lampiran 5 Surat Pernyataan

Lampiran 6 Informed Consent Lampiran 7. Skala Penelitian Lampiran 8. Lembar Observasi Lampiran 9. Lembar Evaluasi Lampiran 10. Daftar Hadir

Lampiran 11. Modul Group Positive Psychotherapy Lampiran 12. Booklet dan Lembar Kerja Partisipan Lampiran 13. Tabulasi Data Penelitian

(14)

Lavenda Azalia , Qurotul Uyun , Indahria Sulistyarini Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia

vendazalia@gmail.com

Abstrak

Intervensi ini bertujuan untuk melihat peningkatan dari kualitas hidup pada pasien Myasthenia Gravis dengan menggunakan Group Positive Psychotherapy. Intervensi Group Positive Psychotherapy yang digunakan mengacu pada modul Seligman, Rashid, dan Parks (2006) yang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi subjek. Metode penelitian yang digunakan adalah non randomized control group dengan pretest-posttest design dan diukur sebanyak tiga kali (pretes, posttes, dan tindak lanjut dalam dua minggu). Subjek dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan perlakuan setelah tindak lanjut dilakukan. Alat ukur yang digunakan untuk melihat kualitas hidup para pasien adalah World Health Organization Quality of Life (WHOQOL BREF). Hasil dari penelitian ini menunjukkan jika Group Positive Psychotherapy terbukti mampu untuk meningkatkan kualitas hidup pada diri pasien Myasthenia Gravis yang mendapatkan perlakuan dengan skor signifikansi sebesar 0,46 (p= < 0,05)

Kata kunci: Group Positive Psychoterapy, Myasthenia Gravis, kualitas hidup

(15)

Lavenda Azalia , Qurotul Uyun , Indahria Sulistyarini Master of Psychology Profession at Universitas Islam Indonesia

vendazalia@gmail.com

Abstract

This intervention aims to see improvements in the quality of life in Myasthenia Gravis patients by using Group Positive Psychotherapy. The Group Positive Psychotherapy intervention used refers to the Seligman, Rashid, and Parks modules (2006) which are then modified and adjusted to the subject's condition. The research method used was non randomized control group with pretest-posttest design and measured three times (pretest, posttest, and follow-up in two weeks). Subjects were divided into experimental and control groups. The control group got treatment after the follow up. The measuring instrument used to see the patients' quality of life is the World Health Organization Quality of Life (WHOQOL BREF). The results of this study indicated that the Group Positive Psychotherapy is proven to be able to improve the quality of life in Myasthenia Gravis patients who got treatment with a significance score of 0,46 (p= < 0,05)

Keywords: Group Positive Psychotherapy, Myasthenia Gravis, quality of life

(16)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :

Usia :

Jenis Kelamin : Alamat :

Menyatakan bahwa dengan sukarela dan dengan pemahaman penuh untuk berpartisipasi dalam pelatihan group positive psychotherapy. Keikutsertaan saya sepenuhnya atas dasar keinginan pribadi tanpa paksaan, bujukan atau dibawah ancaman pihak manapun. Saya juga bersedia mengikuti pertemuan kelompok selama satu pertemuan. Oleh karena itu, saya bersedia mengikuti tata pelaksanaan dan dan menjadi peserta pelatihan yang dilaksanakan oleh penanggung jawab pelatihan, yaitu:

Nama : Lavenda Azalia

Alamat : Jl. Mendiroasri A6, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY Pekerjaan : Mahasiswa

Instansi : Magister Psikologi Profesi, Universitas Islam Indonesia

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya agar dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.

Yogyakarta, Februari 2020

Peneliti Peserta

(17)

1

Myastenia Gravis (MG) merupakan suatu penyakit autoimun dimana penderitanya memiliki kelainan antibodi yang menyerang reseptor asetikolin dan menyebabkan adanya fluktuasi kelemahan dan kelelahan pada otot (Singh, Kumar & Kumar, 2015). Selain ketidakmampuan motorik, MG juga berhubungan dengan simptom-simptom neurologis, dimana dalam beberapa penelitian ditemukan beberapa pasien MG yang mengalami epilepsi, perubahan elektrofisiologis, gangguan tidur, dan gangguan memori (Ybarra, dkk., 2011). Penyakit autoimun sendiri merupakan suatu istilah yang dipergunakan saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri (Kementrian Kesehatan RI, 2017).

Data dari Departemen Kesehatan Amerika Serikat menyatakan estimasi jumlah pasien MG adalah sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang dari seluruh populasi di seluruh etnik maupun jenis kelamin. Penyakit ini sering kali mulai ditemukan pada wanita muda yang berusia di bawah 40 tahun, sedangkan pada pria di usia lebih dari 60 tahun. Populasi penderita MG di Indonesia sendiri belum bisa dipastikan karena belum ditemukan angka yang akurat, meskipun begitu populasi MG terbilang lebih kecil apabila dibandingkan dengan jumlah dari seluruh penduduk di Indonesia (Muhammad, Syafrita & Susanti, 2019).

(18)

Merujuk pada Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), secara klinis, MG diklasifikasikan menjadi 5 kelas. Kelas I, ketika adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, sementara kekuatan otot-otot-otot-otot lainnya normal. Kelas II, adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular, otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas III, kelemahan pada otot-otot lain selain otot okular berada pada tingkat sedang, otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas IV, terdapat kelemahan dalam derajat yang berat pada otot-otot selain otot okular, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas V, pada kelas ini penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Semakin tinggi kelas penyakit seorang penderita MG maka semakin besar pula peluang pasien tersebut untuk mengalami krisis bahkan menyebabkan kematian (Arpandy & Halim, 2013). Sebelum abad ke 19, MG tidak termasuk ke dalam golongan penyakit yang spesifik. Diakhir abad ke 19 MG akhirnya dikategorikan sebagai penyakit autoimun dengan keberlangsungannya seumur hidup bagi penderitanya dan kemungkinan kambuh yang tidak bisa diduga dan menyebabkan disabilitas (Aysal, dkk, 2013). Onset dari MG berlangsung hingga usia 40 tahun dan lebih banyak menyerang wanita (Twork, dkk, 2010). Selain itu, MG yang dikenal sebagai penyakit kronis, melemahkan dan mengancam jiwa dengan perkembangan penyakitnya yang tidak terduga, sangat dimungkinkan untuk timbulnya reaksi psikologis pada pasien yang didiagnosis dengan penyakit ini (Ybarra, dkk, 2011).

Penyakit autoimun MG berpotensi untuk mempengaruhi fungsi otak dan menyebabkan perubahan perilaku, seperti munculnya gangguan depresi dan

(19)

perilaku bunuh diri (Ybarra, dkk, 2011). Simtom-simtom psikiatri seringkali ditemukan dalam diri pasien MG seperti permasalahan dalam kualitas hidup. Penyebabnya bisa karena adanya gangguan untuk bergerak, tidak stabilnya simtom MG, lamanya durasi penyakit dan pengobatan yang panjang dengan steroid (Yamamoto, Kimura, Watanabe & Yoshikawa, 2018).

Hasil wawancara dengan Ketua Yayasan Myasthenia Gravis chapter Jawa Tengah Pak J mengatakan di masa awal mereka menjadi penderita MG, banyak diantara mereka yang merasa sangat emosional karena shock terdiagnosa penyakit autoimun yang jarang diketahui oleh masayarakat umum. Berbagai perasaan negatif seperti bingung, tidak percaya diri dan tidak berharga muncul di dalam diri mereka. Perubahan-perubahan lainnya pun nampak dirasakan oleh mereka seperti mudah lelah, mobilitas terbatas, terhambat dalam sosial dan kesulitan melakukan pekerjaan seperti sebelumnya. Emosi terasa mudah berubah dan seringkali dikuasai amarah karena merasa tidak ada yang memahami mereka. Hidup terasa tidak menyenangkan dan segala sesuatunya terasa salah dan negatif (Wawancara Pengurus Komunitas Yayasan MG, 8 Agustus 2019).

Hasil wawancara lainnya dengan Ketua Pejuang Myasthenia Gravis Korwil Yogya, Mbak S mengatakan banyak dari penderita MG terutama yang baru terkena kurang dari 5 tahun merasa kesepian dan sendirian. Pikiran terasa kacau memikirkan sepanjang hidupnya akan terus mengkonsumsi obat dan belum bisa menerima dirinya terkena penyakit langka. Beberapa pasien di masa awal terdiagnosis MG mendapatkan kendala bahkan kerugian sosial seperti dipecat dari kantornya karena kondisi yang tidak stabil dan sering absen. Mobilitas gerak yang

(20)

terbatas membuat beberapa orang membutuhkan orang lain untuk membantu mereka dalam melakukan aktivitas hariannya. Kondisi yang kurang memungkinkan untuk bekerja kantoran tersebut membuat beberapa orang diantara mereka hanya mengandalkan pasangannya untuk bekerja ataupun membuka usahanya sendiri di rumah. Keterbatasan pemahaman orang-orang di lingkungan sekitar mereka juga menjadi beban tersendiri. Berbagai perubahan yang ada tersebut menimbulkan konflik tersendiri di dalam diri mereka dan menyebabkan munculnya berbagai pikiran dan emosi negatif (Wawancara Ketua Pejuang Myasthenia Gravis Korwil Yogya, 3 Oktober 2019).

Senada dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada dua orang ketua komunitas MG, hasil penelitian yang dilakukan oleh Twork, dkk (2010) mengatakan jika pasien MG memiliki permasalahan dengan adanya penurunan kekuatan pada otot yang menyebabkan mobilitas menjadi terhambat. Selain itu secara fisik kemampuan untuk berkomunikasi juga mengalami masalah. Sebagian memiliki masalah emosi yang berimplikasi ke hubungan sosialnya, seperti menarik dan membatasi diri untuk beraktivitas dan berinteraksi di lingkungan sekitar. Beberapa orang yang sebelumnya bekerja sebagai karyawan juga mengalami kesulitan karena pekerjaan yang kurang ideal dengan kondisi fisik pasien.

Hidup dengan memiliki kondisi medis yang kronis akan menimbulkan tekanan tersendiri dan membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah (Jeong, dkk, 2018). Berbagai penjelasan diatas menunjukkan kendala yang dialami oleh pasien MG sendiri meliputi hambatan pada fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. Masalah pada fisik yang seperti mudah merasa lelah dan keterbatasan mobilitas

(21)

yang diakibatkan oleh kelemahan syaraf otot dan membuat mereka tidak bisa bebas beraktivitas. Pada sebagian pasien yang otot pernafasannya tidak kuat, ventilator akan dipasang dengan cara melubangi tenggorokannya.

Secara psikologis mereka mengalami berbagai pikiran dan perasaan yang negatif seperti rasa tidak percaya diri, tidak berharga, rasa tidak mampu atau tidak berdaya emosi yang kurang stabil, dan lain sebagainya. Hilang timbulnya gejala MG yang tidak menentu serta adanya fase akut dan kronis yang dialami oleh para pasien menjadi penyebab munculnya kelainan psikologis bagi pasien MG (Putri, 2017). Sedangkan secara sosial dan lingkungan minimnya kesadaran pengetahuan yang diketahui oleh orang-orang mengenai MG menjadi tantangan tersendiri bagi para pasien MG. Minimnya pemahaman dari masyarakat menyebabkan banyak dari mereka yang menyalahartikan gejala penyakit MG (Arpandy & Halim, 2013). Beberapa dampak yang dirasakan oleh pasien MG antara lain dipecat dari kantor dan tidak bisa bebas bekerja di kantor, membatasi diri dari pergaulan serta menjadi lebih tertutup. Berbagai hal yang terjadi kepada para pasien MG meliputi fisik, psikologis, sosial maupun lingkungan yang merupakan aspek-aspek dari kualitas hidup sehingga menunjukkan terdapat masalah pada para pasien MG yang berkaitan dengan penurunan kualitas hidup mereka.

Muhammad, Syafrita dan Susanti (2018) menyatakan para pasien MG mengalami penurunan pada kualitas hidupnya yang meliputi aspek fisik serta psikologisnya. Pernyataan ini dipertegas dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basta, dkk (2012) yang mengatakan bahwa terdapat skor kualitas hidup yang rendah pada pasien MG, baik dari fisik maupun mental. Kualitas hidup yang rendah

(22)

juga merupakan pengaruh dari berkurangnya kemampuan untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari dan berpartisipasi dalam kehidupan sosialnya.

Menurut World Health Organization (WHO) kualitas hidup merupakan konsep luas yang dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan pribadi, hubungan sosial dan hubungan dengan hal-hal penting di lingkungannya. Kualitas hidup juga dilihat persepsi individu tentang posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran mereka. Menurut Lovel, dkk (Deviana, Rahaju, & Maharani, 2016) standar pasien dalam menilai kualitas hidup bisa berubah dari berbagai hal yang berhubungan dengan psikologis, seperti penyesuaian diri, pertahanan diri ataupun pengharapan.

Kualitas hidup dievaluasi dan dideskripsikan berdasarkan pengalaman masing-masing individu (Barzi & Jafari, 2016). Berbagai hambatan yang dialami dan dirasakan oleh pasien MG memberikan dampak negatif bagi kualitas hidup mereka, sehingga dibutuhkan regulasi dosis obat, kombinasi terapi, serta terapi konseling untuk para pasien MG agar terhindar dari masalah psikologis (Putri, 2017). Situasi penuh tekanan yang membuat para penderita MG mengalami berbagai emosi negatif membuat mereka cenderung memandang hidup secara negatif, sehingga diperlukan model psikoterapi yang bisa membantu mereka melihat hidup menjadi lebih positif dengan merasakan berbagai emosi positif. Peneliti dalam hal ini menawarkan model psikoterapi positif.

Penelitian yang dilakukan oleh Arpandy dan Halim (2013) menyatakan pasien MG memiliki keinginan untuk bisa terlibat aktif serta memerlukan dukungan

(23)

dari orang lain. Hal itu akan mendukung stabilisasi kondisi penyakit pasien MG agar tidak bertambah parah. Melihat kondisi tersebut intervensi yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah terapi dengan basis grup (group therapy) yang bertujuan untuk mengarahkan emosi para pasien ke arah yang lebih positif sehingga akan berdampak juga ke kognisi serta perilaku pasien. Ada beberapa bentuk terapi berbasis kelompok, salah satunya adalah positive group psychoterapy. Positive group psychoterapy merupakan bentuk dari positive psychotherapy dalam bentuk grup atau kelompok.

Menurut Pesechkian dan Tritt (1998) positive psychotherapy merupakan terapi yang menitik beratkan pada upaya membentuk kekuatan karakter, emosi positif dan kebermaknaan hidup klien dengan cara membangun hidup yang menyenangkan (pleasant life), hidup yang penuh dengan aktivitas (engaged life) dan hidup yang bermakna (pursuit of meaning) untuk mengatasi gangguan klinis maupun hal-hal negatif lainnya yang bisa dilakukan secara individual ataupun kelompok.

Penelitian mengenai efektivitas group positive psychotherapy sebagai intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan konflik pernikahan sebelumnya pernah diteliti oleh Barzi dan Jafari (2016). Penelitian tersebut dilakukan kepada para ibu yang memiliki anak berusia 5-12 tahun dan mengalami cacat fisik motorik. Hasil yang didapatkan adalah group positive psychotherapy mampu untuk meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan para ibu tersebut dan membuat mereka merasa memiliki dukungan sosial. Para ibu juga belajar untuk

(24)

mengontrol emosi mereka. Mereka belajar untuk tidak mudah bereaksi tanpa memikirkan sebabnya terlebih dahulu dan tidak mudah terbawa emosi.

Penelitian yang menggunakan terapi psikososial kepada pasien MG sebagai subjek tergolong masih minim atau terbatas jumlah hasil penelitiannya. Banyak hasil penelitian yang beredar kepada pasien MG menggunakan metode korelasi dua atau lebih variabel serta metode kualitatif saja. Salah satu penelitian tersebut dilakukan oleh Ningtyas dan Ediati (2018) yang membahas mengenai hubungan regulasi emosi dengan ketabahan para pasien myasthenia gravis. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan terdapat hubungan positif yang signifikan (0,810 p< 0,001) antara kedua variabel tersebut terhadap pasien MG. Adanya keterbatasan dalam literatur penelitian ini membuat peneliti akan membahas teknik terapi psikososial lainnya yang diberikan kepada pasien kronis lainnya.

Penelitian sebelumya dilakukan oleh Riyahi, Ziaee, dan Dastjerdi (2018) kepada pasien hepatitis tipe B di Iran menggunakan teknik cognitive behavior therapy (CBT) sebagai teknik intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup para pasien. Hasil yang didapatkan adalah CBT tidak memberikan efek yang signifikan terhadap kualitas hidup para pasien. Perubahan yang signifikan hanya terjadi di domain kesejahteraan emosi saja. Teknik CBT sendiri memiliki beberapa kritikan dari para ahli. Teknik CBT yang pada dasarnya adalah merekonstruksi pemikiran seseorang sangat bergantung pada kemampuan kognisi seseorang tersebut agar bisa menerima terapi yang diberikan dengan baik. Dengan kata lain, CBT tidak bisa diberikan kepada orang yang daya kognisinya lemah atau sedang mengalami defisit.

(25)

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Seligman, Rashid, dan Parks (2006) yang mencontohkan bahwa saat CBT diberikan kepada klien yang depresi dan menunjukkan defisit dalam pemikiran mereka, bisa saja terjadi kontradiktif dalam pikiran klien tersebut yang tentunya dapat merusak aliansi terapeutiknya sehingga membuat sebagian orang dewasa memutuskan untuk mengakhiri sesi CBT mereka.

Berdasarkan dari pembahasan tersebut, pilihan intervensi yang ditawarkan untuk pasien myasthenia gravis ini adalah group positive psychoterapy, yang mana fokusnya secara eksplisit adalah peningkatan emosi positif, kebahagiaan, keterlibatan, dan makna dalam kehidupan (Seligman, Steen, Park, & Peterson dalam Meyer, dkk, 2012). Kebahagiaan dan kepuasan sendiri dipercaya sebagai dua hal utama dari kualitas hidup yang merupakan representasi dari sisi kognitif dan emosi seseorang (Barzi & Jafari, 2016).

Group positive psychotherapy sudah pernah diteliti dalam berbagai macam penelitian dengan variabel Y dan subjek yang berbeda-beda. Dowlatabadi, Ahmadi, Sorbi, Beiki, Razaki, dan Bidaki (2016) meneliti efektivitas group positive psychotherapy untuk meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan tingkat depresi pada pasien kanker payudara di Iran. Hasil analisis pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan terhadap tingkat depresi dan terjadi peningkatan yang signifikan pula pada kebahagiaan para pasien kanker payudara setelah diberikan group positive psychotherapy.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hidayah (2014) dilakukan kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan

(26)

psikologisnya menggunakan group positive psychotherapy. Hasil yang didapatkan dalam penelitian tersebut setelah menggunakan teknik analisis nonparametik yakni uji wilcoxon signed-rank menunjukkan terdapat perbedaan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah mengikuti group positive psychotherapy. Terjadi peningkatan tingkat kesejahteraan psikologis, terutama pada subjek yang berjenis kelamin laki-laki.

Group positive psychotherapy memang telah beberapa kali di teliti oleh para peneliti begitupun ketika dengan kualitas hidup yang juga sudah banyak diteliti dengan model terapi lain. Baik group positive psychotherapy dan kualitas hidup sebelumnya belum ditemukan pernah digabungkan dan diujikan kepada penderita MG sehingga akan menjadi hal yang menarik untuk melihat pengaruh group positive psychotherapy terhadap kualitas hidup pasien MG.

Secara umum, pemberian group positive psychotherapy dapat meningkatkan kualitas hidup karena prosesnya yang melibatkan dan mengarahkan kognitif dan emosi seseorang untuk menjadi positif. Tahapan dari group positive psychotherapy dapat meningkatkan emosi positif seperti kebahagiaan dan keterlibatan dalam lingkungan sosial. Pemberian group positif psychoterapy juga mengajak seseorang untuk dapat berpikir positif mengenai makna dalam kehidupannya sehingga dapat berdampak pada penilaian positif akan hidup yang ia jalani dan meningkatan kualitas hidup seseorang.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, topik yang diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perubahan pada kualitas para pasien MG setelah diberikan intervensi berupa group positive psychotherapy.

(27)

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Myasthenia Gravis.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan group positive psychotherapy terhadap kualitas hidup pasien myasthenia gravis.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis:

1. Maanfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap perkembangan keilmuan psikologi khususnya dalam bidang klinis, kesehatan dan positif.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat di jadikan acuan untuk memberikan informasi dan pemahaman bagi masyarakat umum terutama bagi pasien myasthenia gravis mengenai bagaimana pengaruh dari group positive psychoterapy dapat membantu mereka dalam menghadapi dan mengelola persoalan dalam kehidupan mereka.

D. Keaslian Penelitian

(28)

psychotherapy untuk meningkatkan kualitas hidup pasien myasthenia gravis masih minim diteliti sebelumnya. Penelitian tentang efek dari group positive psychotherapy terhadap peningkatan kepuasan hidup dan kualitas hidup pernah diteliti oleh Asl, dkk (2015). Subjek yang diambil dalam penelitian tersebut adalah 36 orang wanita yang mengalami infertility atau ketidaksuburan di Iran. Subjek penelitian dibagi dalam dua kelompok, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skala kepuasan hidup yang digunakan mengacu kepada skala yang di desain oleh Diener, dkk, sedangkan kualitas hidup menggunakan short form health survey (SF-36). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan group positive psychotherapy mampu meningkatkan skor kepuasan hidup secara signifikan sedangkan tidak signifikan untuk kualitas hidup.

Penelitian lainnya yang mengkaji tentang group positive psychotherapy dilakukan oleh Fitriana (2018) kepada family caregiver pasien skizofrenia untuk melihat kesejahteraan psikologisnya. Populasi penelitian berada di wilayah kerja Puskesmas Mlati 1 dan Puskesmas Kraton yang menghasilkan 14 orang subjek yang dibagi dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Peneliti menggunakan desain kuasi eksperimen. Skala yang digunakan diadaptasi dari Prasetyo dan Subandi (2014) yang didasarkan pada teori kesejahteraan psikologis Ryff (1989). Hasil penelitian menunjukkan group positive psychotherapy mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis family caregiver pasien skizofrenia.

Nekouei, Yousefy, dan Manshaee (2012) meneliti mengenai kualitas hidup pada pasien kardiovaskuler di Iran menggunakan metode Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Sampel penelitian ini terdiri dari 56 orang pasien yang dipilih

(29)

secara random dan dibagi kedalam dua grup, dimana satu grup diberikan intervensi psikososial sebagai terapi tambahan di luar obat-obatan, sedangkan grup lainnya hanya diberikan obat-obatan saja tanpa tambahan intervensi. Skala yang digunakan untuk mengukur kualitas menggunakan skala MacNew quality of life questionnaire yang didesain khusus untuk mengases pasien kardiovaskuler. Hasil dari penelitian ini menunjukkan kelompok pasien yang diberikan CBT menunjukkan peningkatan pada kualitas hidupnya dan menurunkan tingkat kecemasan.

Ningtyas dan Ediati (2018) melakukan penelitian terhadap myashtenia gravis dengan metode korelasi, yaitu hubungan antara regulasi emosi dan ketabahan pada penderita myasthenia gravis. Sampel penelitian berjumlah 34 orang yang berada di wilayah Jawa Tengah dan DIY. Skala yang digunakan dalam penelitian adalah skala regulasi emosi yang disusun berdasarkan dari teori Gross (2007) dan skala ketabahan yang disusun berdasarkan pendapat Kobasa (Kreitner & Kinicki, 2005). Hasil analisis menggunakan product moment di SPSS 21.0 menghasilkan adanya korelasi positif dan signifikan antara regulasi emosi dan ketabahan dari para penderita myasthenia gravis (0,810 p< 0,001).

Merujuk pada berbagai riset yang telah dipaparkan oleh penelitian sebelumnya diatas, keaslian penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada keaslian topik, alat ukur, metode, serta subjek penelitian. Peneliti mengambil topik tentang group positive psychotherapy untuk meningkatkan kualitas hidup pasien myasthenia gravis. Alat ukur yang akan digunakan menggunakan World Health Organization Quality of Life Version (WHOQoL-BREF) yang terdiri dari 26 item dan dikembangkan oleh Skevington, Lotfy, dan O’Connell (2004). Desain

(30)

penelitian yang dilakukan menggunakan model pretestand post test control group yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari group positive psychotherapy terhadap para pasien myasthenia gravis. Adapun subjek penelitian yang akan diambil belum pernah mendapatkan intervensi group positive psychotherapy sebelumnya.

(31)

15

1. Pengertian Kualitas Hidup

World Health Organization (WHO, 1995;1997) memandang kualitas hidup sebagai suatu konsep luas yang dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan pribadi, hubungan sosial dan hubungan dengan hal-hal penting di lingkungannya. World Health Organization Quality of Life (WHOQoL, 1996) sendiri memberikan definisi kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran mereka.

Chaturvedi dan Muliyala (2016) memandang kualitas hidup sebagai konsep yang luas. Kualitas hidup terdiri dari beberapa bidang yang berkaitan dengan kesehatan dan pada awalnya mencakup isu-isu yang tidak berkaitan dengan kesehatan seperti pekerjaan, keluarga, kemakmuran, spiritualitas dan lingkungan. Dalam ruang lingkup kesehatan mental sendiri kualitas hidup mulai mendapatkan momentum dengan meningkatnya kekhawatiran mengenai kondisi kehidupan yang tidak memuaskan dari para pasien penderita penyakit mental kronis di masyarakat

Menurut Zeykani dan Nimanesh (2018), kualitas hidup mengacu kepada perasaan manusia mengenai fisik, emosi serta keberfungsian mereka secara sosial. Sedangkan kualitas hidup dipandang oleh Fallowfield (2009) sebagai konsep yang

(32)

terdapat dimana-mana dan memiliki definisi filosofis, politik dan keterkaitan dengan kesehatan yang berbeda-beda. Kualitas hidup dipandang sebagai perpaduan antara sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan yang saling mempengaruhi dan memberikan efek kepada manusia berikut perkembangan sosialnya (Gandhi, Shah, & Shah, 2019).

Gurkova (2011) menyatakan terdapat tiga hal umum yang mendasari kualitas hidup seseorang, yaitu subjektifitas, multidimensi, dan dinamis. Subjektifitas berarti masing-masing individu menilai kualitas hidup mereka dengan standar personal berdasarkan perasaan, pengalaman dan prioritas mereka masing-masing. Multidimensional berarti kualitas hidup bisa dipandang dari segala aspek kehidupan seperti fisik, sosial, psikologis dan lingkungan secara menyeluruh. Sedangkan dinamis maksudnya kualitas hidup dalam diri seseorang bisa berubah sewaktu-waktu, bergantung pada prioritas, pengalaman dan apa yang terjadi di suatu waktu.

Barzi dan Jafri (2006) mengatakan indeks kualitas hidup terdiri dari kesehatan mental, kesehatan fisik, kehidupan keluarga yang pantas, iklim dan suasana yang pantas, keamanan dalam bekerja, memiliki kebebasan, kesetaran gender, stabilitas keamanan dan politik. Sementara Belasco, dkk (2006) menyatakan bahwa kualitas hidup dalam bidang kesehatan menjadi parameter yang penting karena dapat digunakan untuk mengetahui seberapa optimal intervensi yang akan dilakukan selanjutnya untuk mengurangi dampak negatif dari penurunan status kesehatan seorang pasien. Senada dengan pernyataan tersebut, Al-Fadl, Ismail, Thabit, dan El-Serogy (2014) menyatakan kualitas hidup dalam bidang kesehatan sangat penting untuk mengukur dampak dari suatu penyakit berikut

(33)

dengan mengevaluasi efektifitas biaya dari tritmen yang diberikan.

Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya kualitas hidup merupakan suatu konsep yang luas dan bersifat subjektif, multidimensi serta dinamis, berdasarkan persepsi individu itu sendiri mengenai kualitas kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dengan orang di sekitarnya serta lingkungan tempat ia tinggal.

2. Aspek Kualitas Hidup

Terdapat beberapa jenis penyebutan terhadap aspek kualitas hidup oleh beberapa tokoh seperti indikator, dimensi ataupun domain. World Health Organization Quality of Life Version (WHOQoL-BREF) (Skevington, Lotfy, & O’Connell, 2004) membagi kualitas hidup menjadi empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Fisik

Merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan jasmani manusia. Kesehatan fisik di sini meliputi rasa sakit dan ketidaknyamanan pada fisik, energi dan kelelahan, tidur dan istirahat yang cukup, mobilitas, aktivitas hidup sehari-hari, obat-obatan, dan kapasitas dalam pekerjaan

b. Psikologis

Berkaitan dengan kondisi mental manusia yang bersifat abstrak dan tidak terlihat wujudnya. Domain psikologis dalam diri manusia meliputi perasaan positif dan negatif, kognitif, pembelajaran, memori dan konsentrasi,

(34)

kepercayaan diri, persepsi terhadap bentuk tubuh, spiritualitas, religiusitas dan kepercayaan pribadi.

c. Hubungan Sosial

Merupakan suatu hubungan timbal balik antar satu individu dengan individu lainnya. Dalam suatu hubungan, akan terdapat proses saling mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki yang didasarkan pada kesadaran masing-masing individu. Hubugan sosial meliputi hubungan personal, dukungan sosial dan aktivitas seksual.

d. Lingkungan

Domain ini merupakan kondisi tempat tinggal individu yang termasuk di dalamnya kondisi fisik dan sumber daya alam di sekitar manusia serta dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kehidupan manusia. Di dalam domain ini termasuk transportasi, perasaan nyaman dan aman, lingkungan sekitar rumah, sumber keuangan, akses ke fasilitas kesehatan dan sosial, peluang untuk memperoleh informasi dan skil, peluang untuk melakukan rekreasi di waktu senggang, dan lingkungan tempat tinggal (pencemaran, polusi, iklim dan kebisingan).

Menurut Veenhoven (2006) terdapat empat dimensi dari kualitas hidup yang dibutuhkan agar memenuhi syarat sebagai kualitas hidup yang baik. Keempat dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Lingkungan yang layak

Dimensi ini mencakup peluang yang diberikan oleh lingkungan serta kemungkinan membangun hubungan sosial.

(35)

b. Penilaian diri

Dimensi ini meliputi kesadaran dan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri disertai kekuatan dan kelemahannya.

c. Manfaat eksternal

Bergantung pada apakah individu memiliki tujuan hidup atau berbagai tujuan lainnya, serta apakah ia mengejar nilai-nilai yang lebih tinggi.

d. Penghargaan batin

Bagaimana setiap individu mengevaluasi kualitas hidupnya secara subjektif sembari membandingkan pengalaman yang diperolehnya dan ekspektasi hidupnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan domain atau dimensi dari kualitas hidup meliputi fisik, psikologis, sosial, lingkungan hidup, penilaian diri, penghargaan batin serta manfaat eksternal.

3. Faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup

Ruzevicius (2014) menjelaskan terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri individu dan faktor eksternal yang berasal dari luar individu itu sendiri. Berbagai faktor lainnya yang turut serta berkontribusi adalah akomodasi, pekerjaan, pendapatan, kesejahteraan secara materi, sikap moral, kehidupan keluarga dan pribadi, dukungan sosial, stres dan krisis, kesehatan, layanan kesehatan, kondisi kerja, makanan, peluangan dengan pendidikan, hubungan dengan lingkungan, dan lain-lain.

(36)

Gandhi, Shah, dan Shah (2019) melakukan studi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup dan menghasilkan delapan faktor utama, yaitu: lingkungan alam, lingkungan fisik, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan infrastruktur.

Raeburn dan Rootman (1996) menjelaskan terdapat delapan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu:

a. Kontrol, berakitan dengan adanya kontrol yang dilakukan terhadap perilaku seseorang, misalnya ada pembatasab terhadap kegiatannya untuk menjaga kondisi tubuh.

b. Kesempatan, berkaitan dengan seberapa besar seseorang dapat melihat peluang yang dimilikinya.

c. Sistem dukungan, berkaitan dengan dukungan yang berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat maupun dari berbagai sarana fisik seperti tempat tinggal, rumah yang layak dan berbagai fasilitas yang memadai dan dapat menunjang kehidupan.

d. Keterampilan, meliputi kemampuan seseorang untuk dapat melakukan keterampilan lain untuk mengembagkan dirinya, seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus tertentu.

e. Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibat bencana.

f. Perubahan politik, terkait dengan masalah negara seperti krisis moneter hingga menyebabkan individu kehilangan mata pencahariannya.

(37)

g. Peristiwa dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan stres yang diakibatkan oleh tugas tersebut. Kejadian dalam hidup sangat berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus dijalani seseorang dan terkadang kemampuan seseorang untuk bisa menjalani tugas tersebut mengakibatkan tekanan tersendiri.

h. Sumber daya, hal ini terkait dengan kemampuan fisik seseorang, yaitu apa yang dimilikinya sebagai individu.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dilihat terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu faktor internal seperti kontrol, kesempatan, fisik, kesehatan, ketrampilan, ekonomi, pendidikan, peristiwa dalam hidup dan sumber daya, serta faktor eksternal seperti dukungan, sosial, infrastruktur, politik, lingkungan alam dan fisik.

B.Positive Group Psychotherapy 1. Pengertian Positive Psychotherapy

Menurut Selligman, dkk (2006) positive pschotherapy merupakan terapi yang terfokus pada upaya membentuk emosi positif, kekuatan karakter, dan kebermaknaan dengan cara membangun hidup yang menyenangkan (pleasant life), hidup yang mengikat pada aktivitas (enganged life), dan hidup yang bermakna (pursuit of meaning) untuk mengatasi gangguan klinis maupun hal-hal negatif.

Rashid (2015) yang merupakan co-founder dari Psikoterapi positif bersama Selligman mengatakan psikoterapi positif adalah upaya terapeutik dalam psikologi positif untuk memperluas ruang lingkup psikoterapi tradisional. Tujuan utamanya

(38)

adalah untuk menempatkan sumber daya positif yang sebenarnya dimiliki klien seperti emosi positif, karakter yang kuat dan memiliki makna hidup sebagai tambahan untuk mengobati gejala-gejala yang muncul dalam usahanya untuk mengobati psikopatologi. Pengertian lain diberikan oleh Sin dan Lyubomirsky (2009) yang berpendapat psikoterapi positif merupakan metode tritmen atau kegiatan yang disengaja bertujuan untuk menumbuhkan perasaan, perilaku, atau pikiran positif.

Dari tiga teori di atas, dapat kita simpulkan bahwa psikoterapi positif merupakan bagian dari psikologi positif yang berupaya untuk bisa membentuk sumberdaya yang dimiliki oleh manusia seperti emosi, karakter, perilaku, serta pikiran ke arah yang positif.

2. Pengertian Group Therapy

Group therapy merupakan sebuah terapi yang memfokuskan pada interaksi antar individu, sehingga permasalahnya akan dibahas dengan baik dalam sistem kelompok (Kaplan, 1994) sementara menurut Prabowo dan Yuniardi (2017) group therapy sangat membantu dengan memecahkan kesulitan-kesulitan emosional, membangun kekuatan karakter dan kebermaknaan pribadi peserta dalam grup. Pada pelaksanaannya group therapy setiap individu akan membagikan perasaan dan pikirannya, memberikan umpan balik, serta memberikan dukungan atau kritik antar individu, sehingga dapat kita artikan yang dimaksud dengan group therapy atau terapi grup adalah jenis terapi yang dilakukan dalam model kelompok yang berguna untuk memecahkan kesulitan emosional, memecahkan

(39)

kesulitan-kesulitan emosional, membangun kekuatan karakter dan kebermaknaan pribadi peserta dalam grup.

3. Pengertian Group Positive Psychotherapy

Group positive psychotherapy merupakan strategi terapi yang dilandasi oleh pendekatan transkultural, psikodinamika, dan cognitive-behavioral untuk membangun emosi positif, kekuatan karakter, dan kebermaknaan sebagai upaya mengatasi gangguan klinis maupun hal-hal negatif (Peseschkian & Tritt, 1998). Parks-Sheiner (2009) mengatakan group positive psychotherapy adalah suatu intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.

Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat kita tarik benang merahnya yang dimaksud dengan group positive psychotherapy adalah jenis terapi yang dilakukan dengan metode kelompok yang fokusnya untuk membangun emosi positif, karakter yag kuat, dan kebermaknaan hidup melalui keterlibatan individu dengan aktivitas-aktivitasnya sehingga ia akan memiliki target dan membangun hidup yang menyenangkan.

4. Aspek Group Positive Psychotherapy

Menurut Selligman, Rashid, dan Parks (2006), group positive psychotherapy terdiri dari tiga aspek, yakni pleasant life (hidup yang menyenangkan), enggaged life (hidup terikat pada kesibukan), dan pursuit of

(40)

meaning (mencari makna). Penjelasan masing-masing aspek adalah sebagai berikut:

a. Pleasant life (hidup yang menyenangkan)

Merupakan kemampuan individu untuk menerima segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya baik peristiwa yang buruk maupun peritiwa yang menyenangkan. Seorang individu yang memiliki pleasant life yang tinggi akan cenderung merasa puas terhadap masalalunya sehingga ia akan cenderung lebih mudah memaafkan kegagalan dirinya sendiri maupun kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Hal ini berpengaruh pula pada kepuasan hidup yang tengah dijalaninya saat ini, di mana ia akan cenderung merasakan ketentraman dalam hidupnya sehingga individu tersebut cenderung memiliki sikap yang positif dan optimis terhadap masa depanya.

b. Enggaged life (hidup terikat pada kesibukan)

Diartikan sebagai hidup yang terikat dengan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan aspek intrapersonal maupun interpresonal individu tersebut. Seorang individu yang memiliki enggaged life tinggi cenderung menyibukkan dirinya untuk mengenali dan mengembangkan potensi dirinya sekaligus berusaha menjalin hubungan interpresonal dengan lingkungan sosial secara aktif.

c. Pursuit of meaning (mencari makna)

(41)

yang terjadi pada dirinya dengan cara terfokus menyikapi berbagai masalah yang ada dalam dirinya secara positif. Hal ini akan berdampak pada kemampuan individu tersebut membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi secara mandiri tanpa ketergantungan orang lain maupun membantu orang lain untuk memecahkan masalahnya.

5. Tahapan Intervensi Group Positive Psychotherapy

Mengacu pada modul Parks dan Seligman (2007), terdapat enam buah tahapan dasar yang bisa diberikan kepada peserta. Tahapan tersebut meliputi:

a. Pergunakan kekuatanmu (using your strengths). Tahapan ini terkait dengan aspek dari group positive psychotherapy yaitu enggaged life, dimana seseorang yang memiliki aspek intrapersonal yang baik cenderung akan mengenali dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, dalam hal ini peserta yang bisa menyadari dan menggunakan kekuatan yang dimilikinya. b. Tiga hal baik (three good things). Tahapan ini berkaitan dengan aspek

pleasant life yang mana menyangkut kemampuan klien untuk menyadari dan menerima segala peristiwa yang terjadi di hidupnya, baik ataupun buruk. Selain itu, sesi in juga berkaitan dengan pleasant life. Dimana seseorang menyadari dan memiliki muatan emosi positif terhadap peristiwa yang telah terjadi kepada dirinya di masa lalu, masa kini, dan proyeksinya akan masa depan.

c. Kunjungan terima kasih (gratitude visit). Hal ini termasuk dalam engaged life, dimana seseorang menyadari dan memiliki kemampuan intrapersonal

(42)

dalam menyadari ada hal baik yang terjadi kepada dirinya di setiap harinya dan bisa merasa terikat dengan berbagai hal baik tersebut.

d. Menikmati (savoring). Sesi ini memiliki keterkaitan dengan aspek pleasant life dimana klien dilatih untuk membangun emosi positif terhadap hal-hal yang terjadi di masa kini. Peserta dilatih untuk menikmati berbagai pengalaman dalam kegiatan hariannya yang seringkali dilakukan dengan terburu-buru (contohnya, makan).

e. Respon aktif-konstruktif (active/constructive responding). Kemampuan untuk dapat memberikan respon secara aktif dan konstruktif secara positif kepada orang lain termasuk dalam aspek enggaged life dan pursuit meaning. Klien diajak untuk bisa menyadari kemampuannya untuk bisa merespon orang lain sekaligus mengembangkan diri agar bisa diterima, masuk dan berguna dalam lingkungan sosialnya.

f. Berita kematian-biografi (obituary/biography). Tahapan ini berhubungan dengan kemampuan individu untuk mampu memahami hal-hal yang telah terjadi di hidupnya dan menerima serta memandang positif kehidupan yang telah dijalaninya tersebut. Hal ini berkaitan dengan aspek pleasant life dan pursuit meaning.

(43)

C. Group Positive Psychotherapy untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Myasthenia Gravis

Myastenia Gravis (MG) merupakan salah satu jenis penyakit langka yang disebabkan oleh autoimun yang menyerang sistem imun atau antibodi diri sendiri, terutama di bagian otot. Penyebabnya sendiri belum bisa diketahui secara pasti (Kaminski, 2003). Bagian yang diserang oleh antibodi para pasien MG adalah reseptor asetikolin dan menyebabkan adanya fluktuasi kelemahan dan kelelahan pada otot (Singh, Kumar, & Kumar, 2015). Kelemahan dan kelelahan yang terjadi diakibatkan oleh ketidakmampuan otot dalam menerima pesan sebagaimana yang seharusnya (Mackenzie, Martin, & Howard, 1989).

Seperti halnya berbagai penyakit yang lain, pasien MG juga memiliki gejala fisik yang dapat dilihat, seperti diplopia (kabur atau penglihatan ganda), disfagia, dispnea, ptosis (lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata), kelemahan otot wajah yang menyebabkan perubahan pada ekspresi wajah, ketidakseimbangan tubuh atau gaya berjalan, kesulitan dalam menelan yang bisa menyebabkan timbulnya suara abnormal atau suara nasal (sengau), disartria (gangguan bicara), kesulitan menutup mulut, nafas pendek, serta kelemahan pada jari, tangan lengan, tungkai bawah dan leher (Goldenberg, 2012; Acsadi & Lisak, 2007; Ropper, Brown, Adam, & Victor, 2005).

Kelemahan otot pada pasien MG dapat terjadi secara tiba-tiba dalam jangka waktu yang panjang tanpa adanya penyebab yang pasti (Mackenzie, Martin, & Howard, 1989). Kohler (2007) menyatakan terdapat berbagai faktor yang dapat

(44)

mempengaruhi kelas keparahan pasien MG, yaitu adanya infeksi, stres, suhu panas atau dingin, sakit fisik dan penggunaan obat tertentu. Hidup dengan memiliki kondisi medis yang kronis akan menimbulkan tekanan tersendiri dan membutuhkan proses adaptasi yang tidak mudah (Jeong, dkk, 2018). Dalam hal ini, simtom-simtom psikiatri seringkali ditemukan dalam diri pasien MG seperti permasalahan dalam kualitas hidup. Penyebabnya bisa karena adanya gangguan untuk bergerak, tidak stabilnya simtom MG, lamanya durasi penyakit dan pengobatan yang panjang dengan steroid (Yamamoto, Kimura, Watanabe, & Yoshikawa, 2018).

Menurut Raggi, Leonardi, Mantegazza, Casale, dan Fioravanti (2010), adanya keterbatasan dalam melakukan kegiatan harian dapat menjadi sumber stres bagi para pasien MG. Kondisi stres yang berarti memiliki permasalahan psikologis dapat memicu tingkat keparahan dari penyakit itu sendiri. Perkembangan penyakit yang tidak terduga turut serta membuat kemungkinan untuk timbulnya reaksi psikologis pada pasien yang didiagnosis dengan penyakit ini (Ybarra, dkk, 2011). Oleh karena itu, penting sekali bagi para pasien MG untuk dapat menangani permasalahannya dengan baik (Arpandy & Halim, 2013).

Muhammad, Syafrita, dan Susanti (2018) menyatakan para pasien MG mengalami penurunan pada kualitas hidupnya yang meliputi aspek fisik serta psikologisnya. Pernyataan ini dipertegas dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basta, dkk (2012) yang menyatakan terdapat skor kualitas hidup yang rendah pada pasien MG, baik dari fisik maupun mental. Kualitas hidup yang rendah juga merupakan pengaruh dari berkurangnya kemampuan untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari dan berpartisipasi dalam kehidupan sosialnya.

(45)

World Health Organization Quality of Life Version (WHOQoL-BREF) (Skevington, Lotfy, & O’Connell, 2004) mengatakan terdapat empat domain dari kualitas hidup, yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Kualitas hidup sendiri sangat erat kaitannya dengan bidang kesehatan. Masih menurut World Health Organization (WHO), kualitas hidup dipandang sebagai konsep luas yang dipengaruhi secara kompleks oleh kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan pribadi, hubungan sosial dan hubungan dengan hal-hal penting di lingkungannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Arpandy dan Halim (2013) menyatakan pasien MG memiliki keinginan untuk bisa terlibat aktif serta memerlukan dukungan dari orang lain. Hal itu akan mendukung stabilisasi kondisi penyakit pasien MG agar tidak bertambah parah. Melihat kondisi tersebut intervensi yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah terapi dengan basis grup (group therapy) yang bertujuan untuk mengarahkan emosi para pasien ke arah yang lebih positif sehingga akan berdampak juga ke kognisi serta perilaku pasien. Ada beberapa bentuk terapi berbasis kelompok, salah satunya adalah group positive psychoterapy. Group positive psychoterapy merupakan bentuk dari positive psychotherapy dalam bentuk grup atau kelompok.

Group positive psychotherapy adalah suatu intervensi untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup (Park-Sheiner, 2009). Seperti yang dinyatakan oleh Phillips (2006) kualitas hidup berkaitan dengan kebahagiaan. Sehingga pemberian group positive psychotherapy diharapkan bisa membantu para pasien MG tersebut. Selligman, Rashid, dan Parks

(46)

(2006) menjelaskan terdapat enam buah tahapan dalam group positive psychotherapy.

Tahapan pertama dinamakan kekuatanku (using your strengths), dimana klien diminta untuk melihat dan membuat lima kekuatan yang dimiliki dalam diri. Menyadari kemudian menemukan kekuatan yang ada didalam diri merupakan salah satu modal bagi seseorang untuk bisa berdaya. Ketika seorang individu mengetahui kelebihan yang ia miliki, ia akan cenderung akan memiliki keyakinan atas kemampuan diri sehingga muncul rasa percaya diri untuk menjalani kehidupannya. Lauster (2003) menyatakan kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan ataupun sikap atas kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri.

Tahapan kedua adalah tiga hal baik (three good things), klien diminta menulis tiga hal baik yang telah terjadi setiap malamnya dan memberikan alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Ketika seseorang memahami kekuatan yang ada di dalam dirinya dan mampu mengevaluasi serta memaknai apa yang telah terjadi pada dirinya, hal tersebut menunjukkan ia memiliki pola pikir positif yang mengarahkan pada optimisme akan kemampuan yang ada di dalam dirinya.

Wrosch dan Scheir (2003) mengatakan orang-orang yang optimis tidak akan fokus pada aspek-aspek negatif dari suatu situasi ataupun akan mencoba menekan pikiran negatif yang muncul dari berbagai gejala yang mereka alami. Pasien MG cenderung kesulitan untuk melihat hal yang positif yang ada dan terjadi pada dirinya, hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arpandy dan Halim (2013) yang menyatakan pasien MG memiliki permasalahan dengan kognitifnya. Ketika seseorang menjadi optimis, maka kualitas hidupnya pun akan

(47)

meningkat. Sikap optimis sendiri merupakan faktor penting yang berkontribusi untuk mencapai level kualitas hidup yang tinggi (Wrosch & Scheier, 2003).

Tahapan ketiga adalah kunjungan terima kasih (the gratitude visit). Peserta diminta untuk memikirkan seseorang yang sangat ingin peserta ucapkan kata terima kasih namun sampai sekarang belum pernah tersampaikan. Kemampuan untuk menyadari jika terdapat hal baik yang datang kepada diri dan keinginan untuk membalas kebaikan itu merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan sosial. Memiliki hubungan sosial yang baik sangat dibutuhkan oleh para pasien MG. Arpandy dan Halim (2013) menyatakan pasien MG memiliki keinginan untuk bisa terlibat aktif serta memerlukan dukungan dari orang lain. Adanya perasaan berdaya dalam diri seseorang mampu mengangkat harga diri seseorang di lingkungan sosialnya.

Tahapan selanjutnya menikmati kegiatan sehari-hari (savoring). Satu kali dalam sehari, peserta dianjurkan untuk meluangkan waktunya agar bisa menikmati hal-hal yang biasanya di lakukan secara buru-buru (misalnya saat makan, mandi, berjalan ke kelas, dll). Ketika seseorang mampu menikmati hidupnya maka ia akan mampu menerima apapun yang terjadi di hidupnya, termasuk penyakit yang ia derita. Taraf dimana seseorang bisa menikmati berbagai kemungkinan dan hal-hal penting dalam hidupnya merupakan arti dari kualitas hidup itu sendiri (Unit Penelitian Kualitas Hidup Universitas Toronto, 2004).

Tahapan kelima adalah respon aktif-konstruktif (active-constructive responding), dimana peserta diminta memberikan respon yang positif dan antusias terhadap berita baik dari orang lain. Kemampuan untuk bisa bersosialisasi dan

(48)

merasakan dukungan dari orang-orang disekitarnya dibutuhkan oleh pasien kronis, terutama MG untuk dapat berdaya di masyarakat. Hasil penelitian Petra dan Ronald (2003) menyatakan dukungan sosial memiliki korelasi yang positif terhadap harga diri yang tinggi dan meningkatkan optimisme. Adapun peran seseorang dalam kehidupan sosialnya, dimana terjadi suatu hubungan timbal balik antar satu individu dengan individu lainnya merupakan salah satu domain yang mendukung tingginya kualitas hidup seseorang (Skevington, Lotfy, & O’Connell, 2004).

Tahapan terakhir dinamakan biografi (obituary/biography), peserta diminta membayangkan ia meninggal dunia setelah sebelumnya menjalani kehidupan yang memuaskan. Pengalaman yang diperoleh oleh individu disepanjang kehidupannya akan memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup (Baker, 2003). Seseorang yang dapat merasakan pengalaman hidup yang positif, menyenangkan, dan merasa puas karenanya, akan merasa lebih siap dalam menghadapi penyakit yang ia alami. Pemaknaan positif terhadap suatu penyakit oleh seseorang dapat memunculkan perasaan pasrah pada diri pasien (Rahmawati & Muljohardjono, 2016). Perasaan pasrah dalam diri klien akan membantu ia mendapatkan energi positif dan menjadi optimis akan penyakitnya. Menurut Wrosch dan Scheier (2003) optimisme akan mengarahkan sikap dan kecenderungan positif untuk merencanakan pemulihan, mencari informasi, dan membingkai ulang situasi buruk sehingga dapat melihat aspek paling positif dari mereka, sehingga kualitas hidup dapat meningkat.

Enam tahapan terapi dalam group positive psychotherapy tersebut mengarahkan pada peningkatan emosi positif, kebahagiaan, keterlibatan, dan makna dalam kehidupan (Seligman, Steen, Park, & Peterson dalam Meyer, dkk,

(49)

2012). Hal ini sangat erat kaitannya dengan kualitas hidup, dimana kebahagiaan dan kepuasan sendiri dipercaya sebagai dua hal utama dari kualitas hidup yang merupakan representasi dari sisi kognitif dan emosi seseorang (Barzi & Jafari, 2016). Pada pasien kronik terutama MG sendiri, situasi dan kondisi yang penuh tekanan seperti yang dialami oleh para pasien berpotensi untuk menimbulkan emosi-emosi yang negatif (Burgess, 2006) sehingga tahapan terapi yang akan diberikan harapannya bisa membantu para pasien MG.

(50)

D. Bagan Kerangka Berfikir Kualitas Hidup Pasien Myasthenia Gravis

Keterangan gambar:

: Kondisi fisik dan psikologis subjek : Pemberian intervensi : Perubahan kondisi dari kondisi subjek : Efek atau akibat : Bentuk intervensi

Pasien MG (Myasthenia Gravis)

Kondisi Psikologis:

Mengalami permasalahan-permasalahan psikologis seperti muncul rasa tidak percaya diri, tidak berharga, rasa tidak mampu atau tidak berdaya emosi yang kurang stabil, dan lain sebagainya. Hilang timbulnya gejala MG yang tidak menentu serta adanya fase akut dan kronis yang dialami oleh para pasien menjadi penyebab munculnya kelainan psikologis bagi pasien MG (Putri, 2017).

Kondisi Fisik:

Diplopia, disfagia, dispnea, ptosis, kelemahan otot wajah yang menyebabkan perubahan pada ekspresi wajah, ketidakseimbangan tubuh atau gaya berjalan, kesulitan dalam menelan yang bisa menyebabkan timbulnya suara abnormal atau suara nasal (sengau), disartria, kesulitan menutup mulut, nafas pendek, serta kelemahan pada jari, tangan lengan, tungkai bawah dan leher (Goldenberg, 2012; Acsadi & Lisak, 2007; Ropper, Brown, Adam, & Victor, 2005).

Kualitas Hidup Menurun

Penurun aspek-aspek kualitas hidup: fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan (Skevington, Lotfy, & O’Connell, 2004).

Group Positive Psychotherapy

Parks-Sheiner (2009): bertujuan untuk mencapai target hidup yang menyenangkan, keterlibatan dalam aktivitas, dan kebermaknaan hidup.

Pergunakan kekuatanmu, tiga hal baik, biografi, kunjungan terima kasih, respon aktif-konstruktif, menikmati kegiatan sehari-hari (Seligman, Rashid, Parks, 2006).

Kualitas Hidup Meningkat

(51)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarlam uraian permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki hipotesis bahwa group positive psychotherapy mampu meningkatkan kualitas hidup pada pasien MG dan kelompok yang mendapatkan intervensi group positive psychotherapy lebih tinggi tingkat kualitas hidupnya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan group positive psychotherapy.

(52)

36

A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian Penelitian ini akan menggunakan dua variabel, yaitu:

1. Variabel dependen : Kualitas Hidup

2. Variabel independen : Positive Group Psychotherapy

B. Definisi Operasional 1. Kualitas Hidup

Kualitas hidup menuut WHO diartikan sebagai persepsi individu tentang posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran mereka. Kualitas hidup dapat diukur menggunakan skala World Health Organization Quality of Life (WHOQoL-BREF). Skor yang tinggi di skala menunjukkan kualitas hidup individu tersebut tinggi, sedangkan skor yang rendah menunjukkan kualitas hidup yang rendah.

2. Group Positive Psychotherapy

Group positive psychotherapy merupakan suatu terapi psikologi dengan model kelompok yang terfokus pada upaya membentuk emosi positif, kekuatan karakter, dan kebermaknaan dengan cara membangun hidup yang menyenangkan (pleasant life), hidup yang mengikat pada aktivitas (engaged life), dan hidup yang bermakna (pursuit of meaning) untuk mengatasi gangguan klinis maupun hal-hal

Gambar

Tabel 1. Desain penelitian pretest and posttest control group design
Tabel 3.1 Respon Skala Kualitas Hidup (WHOQoL-BREF)
Tabel 4. Rancangan Kegiatan Group Positive Psychotherapy
Tabel 6.1 Deskripsi Perubahan Modul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada pengaruh circuit weight training terhadap peningkatan daya ledak lengan pada atlet cabang olahraga voli Universitas „Aisyiyah

Hal ini didukung oleh data di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Surakarta bahwa jumlah persalinan normal dengan ruptur perineum pada bulan Januari sampai Maret 2008

[r]

Di lihat dari lapangan tugas ini, maka nyatalah bahwa Perusahaan ini adalah salah satu Perusahaan Negara yang mengganti Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan

Tabel 3 Kebutuhan Fungsional Mekan ik Game Storyboard Kebutuhan Fungsional (KF) Daftar Use Case Kode Onboar ding Mendaftar untuk menggunaka n aplikasi Register UC01

Bambang Poernomo, Perspektif Hukum Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Pengayoman, Makalah Seminar, Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 22 September 1990, hlm.. untuk pembalasan pada

a) Pengelolaan dan pemanfataan dana kapitasi mulai bulan Januari sampai dengan bulan April tahun 2014 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di

cair dari sampah organik ini akan dipakai proses pencairan gas metode Claude. (Smith, et