ISLAM
DAN
TATA
NEGARA:
PEMIKIRAN
SOSIAL
POLITIK
MUHAMMAD
NATSIR
Khumaidi6
Abstract.'
The purposeof
this researchis to
explain Natsir sthought on state, its implications and the factors which influence his thoughts. This research employs historical approach. Formerly, Natsir was the proponent
of
those who accepted The Five Pillars(Pancasila). But not long after that he declared his opposition against this sole-principle (azas Tunggal).
H"
isin
the opinion that Muslims has hada
definite, clear and perfect ideology, that is Islam. He dreamed of the Islamic-based ideologt in Indonesia'His thinking brings
him
about intojails
for
several time by the rulingparty
at his given time and his party, Masyumi, wasbanned as well. The factors that changed Natsir's thoughts were
the conditions of social-politics, his religious informal education background of radical Islam and also his struggle in the name
of
Masyumi partY.Kata Kunci: Islam, Negara, Ideologi
Perumusan
konsep
negara merupakansalah satu
isu
sentraldalam
sejarahpemikiran
kenegaraan,termasuk
dalampemikiran
Islam
di
Indonesia. Pemikiran
kenegaraan
Islam
sebenarnyamerefleksikan upaya pencairan fondasi
intelektual bagi fungsi
danperan negara atau pemerintahan sebagai
faktor
instrumental untuk merealisasikan aiaranIslam. Pemikiran
kenegaraanIslam,
dalamhal
ini,
merupakanijtihad
politik
dalam rangka menemukannilai-6 Khumaidi adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi.
nilai
Islam dalam
konteks sistemdan
prosespolitik
yang
sedang berlangsung (Syamsuddin, 1993: 4, Cropsy, 1987:l7).
Diskusi panjang tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia
muncul seiring
dengantimbulnya
gerakan
pembaruanIslam
diIndonesia,
yaitu pada awal
abad ke-20. Pada masa
perjuangankemerdekaan tersebut, sejumlah
intelektual muslim, tak
terkecualiMohammad
Natsir
(1908-1993),dari
berbagai organisasi
sosialkeagamaan
dan
politik
seperti
SarekatIslam,
PersatuanMuslim
Indonesia (Permi), Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain telah mulaimelontarkan
pemikiran-pemikiran
politiknya
berkenaan
denganhubungan antara Islam dan kebangsaan.
Pandangan tentang bangsa
dari
sejumlah intelektual Muslim
tersebutakhirnya
meningkat pada persoalan negara.Hal
ini
karenatelah
muncul
kesadarandari
kalanganintelektual muslim
di
manatujuan utama dari pergerakan kemerdekaan ialah mendirikan negara yang merdeka
dari
segala macam penjajahan.Pandangan
Natsir
tentang hubunganIslam
dan negara adalahbahwa
agamabukanlah
semata-mataritual
peribadatan
dalamistilah
sehari-hari seperti salat dan
puasa,
akan
tetapi
agamameliputi
semua kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah danhubungan
sosial
kemasyarakatan.Oleh
karenatTya, menurutnya,untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan
itu
dapatberlaku
danberjalan
sebagaimana mestinya,perlu
dantidak
bolehtidak, harus ada kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan oleh Rasulullah saw
kepada
kaum muslim
bahwa
sesungguhnyaAllahlah
pemegang dengan kekuasaan penguasa(Natsir,
197 3 : 436 - 437).Dari
pernyataandi
atas, nampaknyaNatsir
ingin
menegaskanbahwa
Islam dan
negaraitu
berhubungan secaraintegral,
bahkan simbiosa, yaituberhubungan secararesiprokal dan salingmemerlukan.Dalam
hal
ini,
agama memerlukan negara, karena dengan negaraagama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agamanegara dapat berkembang dalam bidang etika
dan moral (Syamsuddin, 1993: 6). Hal
ini
karena dalam pemahamanNatsir
bahwaIslam
merupakan ajaran yang lengkap.Ajaran
Islamtidak
mengandung persoalan ibadah saja, tetapijuga
mengandungaspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, makapendirian
sebuah
negara adalah suatu
kemestian
Sebagaimana pendapatH.A.R.
Gibb, bagi Natsir, Islam
itu
bukan
sekedar agam4 tetapijuga
merupakan peradabanyang komplit.
Untuk
itu
dalam Islamtidak relevan adanya pemisahan agamadari negara karena
nilai-nilai
universal
Islam
itu
tidak
dapat dipisahkandari
ide
pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1995: 136).Pandangan
Natsir
tentang kemestianpendirian
sebuah negaraini memiliki
kesamaan dengan pemikiranpolitik
Ibn
Taimiyyah (w. 1328M)
yang
mengatakanmemimpin
dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasidalam
agarna. Bahkan pelaksanaan agamatidak mungkin
terealisasikecuali
dengan adanya kepemimpinan(Taimiyyah,
1988: 138).Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajat an I slam,
menurut
Natsir,
adalah suatubukti
bahwaIslam
tidak
mengenal p emi s ahan antar a agama dan ne gara. Pandangan Natsir ini didasarkanpada
Alquran,
al-Dzariyyat: 56 (Natsir, 1973: 436-437).Dalam kasus
Tirrki,
kataNatsir, Turki
bukanlah pemerintahanIslam, karena
di Turki tidak
adalagi
integrasi antara agama dengannegara.
Karenanya,
negarahanya merupakan instrumen,
bukantujuan, maka
tidak perlu
adaperintah Tirhan
untuk
mendirikanNegara.
Yang
perlu adalah pedoman untuk mengatur negata supaya negaraitu
menjadi kuat dan subur dan menjadi media yangsebaik-baiknya
untuk
mencapaitujuan hidup
manusiayang
terhimpundalam
negaraitu;
baik untuk
keselamatanmaupun
kesentosaanindividu
dan masyarakat(Natsir,1973:
443).Begitu pula
dengan penyebutanbagi
kepala
negara, karena negaraitu
hanya
merupakaninstrumen,
bukan
tujuan,
menurut Natsir, seorang kepala negaraitu
tidak perlu bergelarkholifah,
akan tetapi bisajuga
dipergunakan namalain,
sepertiamir
al-mu'minin, presiden atau yang lainnya. Yangpenting
adalah bahwa sifat-sifat,hak
dan kewajiban
merekaharus
sebagaimanadikehendaki
olehIslam. Dengan
demikian,
yangmenjadi
syaratbagi
kepala negaraitu
adalah agamany4 sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannyauntuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya
dan
bukandilihat dari
asal bangsadan keturunannya
ataupun semata-mata inteleknya saja(Natsir,1973 :
443).Bagi
kepala
negaraterpilih,
tugas utama yang
diembannya,menurut Natsir adalah melakukan musyawarah dengan orang-orang
yang
dianggappatut
dan
pantasatau
layak untuk
memecahkanpersoalan-persoalan umat. Sementara dalam hal-hal yang sudah ada ketentuan hukumnya, tidak perlu dimusyawarahkan kembali seperti masalah
alkohol,
zina, perkawinan,waris,
zakat danfitrah,
adalahtanggung
jawab
penguasa.Adapun
dalam persoalan pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah,itu
dapat diserahkan kepada perkembangan sesuatu masyarakat, apakah seperti yang dipraktekkan olehAbu bakar
atau berdasar padapemilihan umum
secaralazim
yang
berlaku
sekarang;yang penting
musyawarahitu
dilakukan(Natsir,
1973:443).Dari
pandangan Natsirdi
atas, kelihatannya Natsir tidak begitumenekankan pada label dan bentuk dalam sebuah negara, melainkan
lebih menekan pada isi. Dengan demikian, pemikiran Natsir tentang negara masa perjuangan kemerdekaan
ini
cenderung subsantivistik. Akan tetapi kenyataannya,pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), terutama saat berlangsungnya sidang konstituante,pemikiran
kenegaraan
Natsir
dapat dikatakan cedrung
formalistik.
Hal
ini
dilihat dari pandangannya tentang signifikansi Islam untuk dijadikan
dasar negarabagrnegara republik Indonesia yang baru merdeka.
Signifikansi Islam untuk dijadikan dasar negara, menurut Natsir,
dilandasi atas beberapahal.
Pertama,Islam
itu
adalah agamayang lengkap dan sempurna. Namun begitu, kesempurnaan ajaran Islamitu
terutamadoktrin
sosialpolitiknya
hanya memberikan pedomanpedoman
yang bersifat global dan
tidak
dalam
bentuk
rincian-rincian (Natsir,
1957: 377).Kedua,
secara sosiologis,di
sampingIslam
merupakan
agamayang dianut oleh
mayoritas
pendudukIndonesia,
Islam
juga
merupakan agama yang
menghargai danmenghormati agama
lain.
Sebagaimanadinyatakan
oleh
Natsirsendiri bahwa:
"Bukan
semata-matalantaran umat
Islam
adalah golongan yang terbanyakdi
kalanganrakyat
Indonesia seluruhnja,kami
mengajukanIslam
sebagaiDasar
Negarakita,
akan
tetapi berdasarkan kepadakejakinan kami,
bahwa adjaran-adjaran Islamjang
memiliki
ketatanegaraandan
masjarakat
hidup
itu
adalahmempunjai sifat-sifat yang
sempurnabagi
kehidupan negara danmasyarakat dan dapat mendjamin hidup keragaman atas saling harga
menghargai
antara pelbagai golongandi
dalam
negara: kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupuntinggi,
malah akanmelindungi"
(Natsir,1959: 166).Dalam memperkuat argument asinya, Natsir mengikuti p endapat
Ibn
Khaldun yang
membandingkan masyarakat dengan Negara;yaitu
bahwa
di
antara keduanyaseperti hubungan
antara benda dengan bentuknya: yang satu bergantungkepadayang
lain'
Makadari itu, kata
Natsir,negaraitu
harus mempunyai akar yang langsungtertanam dalam
masyarakat(Natsir,
1957:7).
Di
sampingitu,
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim
itu
memerlukan suatu landasan yang kokoh bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Dengan
dijadikannya Islam
sebagai dasar negara, menurut Natsir,diharapkan terciptanya
baldatun tayyibatun
wa
robbun
ghafur(Natsir,
1958:22,36).
Oleh karena
itu,
Natsir
dengan tegas
mengatakan bahwa: Pancasilaitu
netral dan sekuler. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sangatkabur
dantidak bermakna
apa-apabagi
umat Islam yang telahmemiliki
suatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Karenanya,Natsir
mengidealisasikan adanya negara yang berdasarIslam
(Natsir,
1970: 218-219).RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian
tentang
latar
belakang
masalahdi
atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian adalah apakahpemikiran
kenegaraan MohammadNatsir
cendrung substantivistikatau
formalistik?
Agar pemahaman itu dapat dic apai, maka masalah pokok tersebut dapat dipecah dalam beberapa sub pokok masalah yang terangkum
dalam
pertanyaan-pertanyaan:
(1)
Bagaimana
perkembanganpemikiran
kenegaraanNatsir
dari
masa
ke
masa?.(2)
Apakahimplikasi
dari
pemikiran
kenegaraan Natsir? (3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran kenegaraan Natsir?TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menjelaskan
pemikirankenegaraan Mohammad
Natsir.
Untuk
tercapainyatujuan
tersebutmaka dijelaskan perkembangan
pemikiran
kenegaraanNatsir
darimasa ke masa,
implikasi pemikiran
kenegaraan Natsir, dan faktor-faktor yang mempengaruhipemikiran
kenegaraan Natsir.Kerangka konseptual dari penelitian
ini
adalah bahwapemikiran
kenegaraan Mohammad Natsir itu bermula dari kondisi sosialpolitik
yang
terjadi
pada masaitu
denganmencari
solusinyadari
ajaranIslam,
di
sampingpemikiran
politik
intelektual muslim klasik
dan modern. Natsir yang berlatar belakang pendidikan pesantren (agama)sekaligus
Barat
(umum) berpijak
dari
terma-terma pemikiran
politik
barat dan reformasi Islam dalam upaya meresponi tantangan zaman,Temuan-temuan
dalam
penelitian
ini
diharapkan
dapatmemperkaya konsep kenegaraan
di
Indonesia pada khususnya dan memp erkay a khazanah kei slaman, kemodernan dan keindone siaandi bumi
pertiwi
pada umumnya.Di
sampingitu,
padatingkat
yanglebih
praktis,
dapatdijadikan
pembangkit semangat bagi kemajuanIslam
di
Indonesia, terutama bagr cendekiawanmuslim
Indonesiasekarang.
METODE
PENELITIAN
Sumber penelitian dalam penelitian
ini
diklasifikasikan menjadidua
kategori,
yaitu
sumberprimer
dan
sumber sekunder. Sumberprimer dalam penelitian
ini
adalah sumber-sumber yang memberikandata langsung dari tangan pertama (Surakhmad,1982: 134). Sumber
primer
ini
dapatberupa dokumen
ataupunkaryaka
MohammadNatsir.
Dari
survei
kepustakaan
tentang
pemikiran
kenegaraanMohammad
Natsir,
sumberprimer
yang
digunakan,di
antaranyaadalah:
M.
Natsir, Capita
Selecta2
jlhd, (Natsir,1957:
)
Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologi, TentangDasar negata
RI
dalam Konstituante 3jilid,
Risalah Perundingan,Konstituante
Republik,
Jilid V-VII,
Menyelamatkan Umat, HerbertFeith
andLance
Castles 9ed), IndonesiaPolitical
Thinking
1945-1965.
Sumber sekunder adalah sumber
yang mengutip
dari
sumberlain.
Dengankata lain,
sumberyang
didapatbukan
dari
tanganpertama, tetapi
dari
tangan kedua atau oranglain
yang membahas-tentang pemikiran kenegaraan Mohammad Natsir.Di
antara sumbersekunder yang digunakan adalah
Anwar
Harjono, et. al. Pemikirandan
PerjuanganMohammad
Natsir, Yusuf Abdullah
Puar,
(ed),Muhammad
Natsir 70
tahun:
Kenang-kenangandan
Perjuangan'Ahmad Syafii, Islam dan
Masalah
kenegaraan,studi
tentang PercaturanPolitik
dalam Konstituante, dan Islam danPolitik:
TeoriBelah Bambu Masa
Demokrasi
Terpimpin
(1959-1965), EndangSaefuddin
Anshari, Piagam
Jakarta22
Juni
1945,dan
SejarahKonsensus Nasional antaraNasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Deliar Noerr,
The Modernist
Muslim
Movementin
Indonesia 1900-1942, PartaiIslam
di
Pentas Nasional, HowardM.
Federspiel, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Isa Anshary, FilsafatPerjuangan Islam.
Sebagai suatu penelitian terhadap
pemikiran
kenegaraanMohammad Natsir, maka
pendekatan
yang digunakan
dalampenelitian
ini
adalah pendekatan sejarah
(historical
approach)(Natsir,
i988:
62). Karenaini
adalah penelitiantokoh
dan sejarah makajenis
penelitianini
juga termasuk kepada penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannyadengan masyarakat,
sifat-sifat,
watak,
pengaruh
pemikiran,
dan idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya.(Natsir,
1988:
62).
Langkah-langkahpenelitian
yang
digunakanmeliputi
a) pengumpulan data, b) penilaian data, c) penafsiran data, dan d) penyimpulan(Surakhmad,1982:
133).Metode
yang
digunakan dalam
pengumpulan
data
adalahpenelitian kepustakaan
(library
research) dengan membaca sumber-sumberprimer
dan sumber sekunder yang berkaitan dengan pokokmasalah yang dibahas.
Dalam
menganalisis data,
digunakan analisis
ini
(contentanalysis)
Analisis isi
merupakan analisisilmiah
tentangisi
pesansuatu
komunikasi.
Secarateknis analisis
isi
mencakup
upaya:a)
Klasifikasi
tanda-tandayang dipakai dalam
komunikasi,
b) menggunakankriteria
sebagai dasar klasifikasi, dan c) menggunakanteknik
analisistertentu
sebagai pembuatprediksi (Muhadjia
1966:49). Jadi yang dimaksud
analisisisi
dalam penelitian
ini
adalahmelakukan analisis
terhadappemikiran
politik
intelektual
Islamyang tertuang dalam tulisan-tulisan dan dokumen-dokumen'
119
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Perkembangan
Pemikiran
Kenegaraan Mohammad
Natsir
dari
Masa ke
Masa
Perhatian bangsa Indonesia selama mas a 1945-1950lebih banyak
tercurah kepada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam
bentuk perjuangan
fisik
(Noer,
1987: 197). Seperti yang diucapkanoleh
kaum intelektual
Islam, termasukdi
dalamnya Natsir, bahwapada
masa
revolusi bukanlah
saat
yang tepat untuk
mendesakterlaksananya
cita-cita
Islami.
Bagi
mereka,
mempertahankankemerdekaan harus didahulukan (Nasution, 1965 : 7 6)
Spirit
perjuangan pada umumnya
diliputi
oleh spirit
Islam, seperti dikumandangkannyaseruanjihad.fi sabilillalz (Noer,
1988: 10).Tidak
hanya dalam perjuanganfisik
saja yangterwarnai
olehspirit
Islam akan tetapi juga dalam bidang diplomasi dan perjuangandarurat.
Seperti
Natsir yang menjadi
penasehat delegasi dalam diplomasi tahun 1949 antaraMohammad Roem (delegasi Indonesia)dan Van
Royen
(delegasiBelanda)
(Noer,
1988:
10).Meskipun
Natsir
sendiri, kata
Yusril,
(Mahendra, 1995:
123),
keberatan dengan negosiasiyang dilakukan oleh
kedua
delegasi tersebut.Namun
bolehdikatakan, diplomasi
itu
membuahkanhasil
dengandisepakalinya
penyerahankedaulatan
dari
pemerintah kolonial
Belanda kepada pemerintah
Republik
Indonesia padatahun
1949(Feithm,
1964:l3).
Keberatan
Natsir
dengan
diadakannya
diplomasi
itu
nampaknya dilatarbelakangi
sikap
kekhawatiran
jika
diplomasiitu
membuahkanhasil
yang memberatkanbagi
bangsa Indonesia.Mungkin
juga
ketakutan
bila
Indonesia
akan tetap
dianeksasiBelanda.
Dengandemikian,
pada masaini,
disebut dengan masarevolusi
fisik,
dan
pemikiran
politik
intelektual Islam,
termasukNatsir,
cenderung
realistik, karena hanya
tercurahkan
kepadapersoalan membela
kemerdekaan
dan
kebebasan menghadapi musuh bersama dari luar. Karena bagaimanapun, dalam pandanganintelektual
Islam, perjuangan kemerdekaan Indonesiaitu
sekaligusmerupakan perjuangan
untuk
kemerdekaanIslam.
Dengan
katalain,
perjuangan kemerdekaanitu
bukan hanyauntuk
negeri tetapijuga untuk
eksistensi
agamaIslam
dalam
masyarakat Indonesiayang mayoritas muslim.
Pasca
kemerdekaan
sebelum sidang konstituante,
Natsirterkesan
gigih
membela dasar negara Pancacila dengan mengatakanbahwa pancasila
tidak
bertentangan dengan ajatanIslam,
sepertiyang
disebutkan
di
atas.Akan tetapi
sebaliknya, dalam
sidang konstituante, Natsir seakan berbalik. Natsir bukan lagi sebagai sosok pembela Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, Dalamsidang tersebut,
Natsir
merupakan salah seorangwakil
Islam yangpaling vokal dalam menggolkan Islam sebagai dasar Negara. Seperti apa yang diucapkannya dalam sidang konstituante tersebut bahwa
Pancasila itu
pure
concept yangtidak memiliki
substansi. Bagian Pancasilaitu
bersifat sekular dan netral,
karenatidak
mengakuiwahyu
ilahi
sebagai sumber.(Risalah Perundingan,
1957: 276)'Jadi,
jika
kenetralannya lenyap, maka raison de etre bagi fungsinyasebagai pemersatu
akan hilang.
Untuk
itu
Pancasilatidak
dapatdijadikan
sebagai falsafah negara.Hal
ini
karena Pancasila sangatkabur dan tidak
bermakna
apa-apabagi
umat
Islam
yang
telahmemiliki
suatu ideologi yang pasti,
jelas dan
sempurna. Natsir,dalam hal
ini,
mengingatkan umat Islam bahwapindah dari Islam ke Pancasila adalah bagian melompat daribumi
ke tempat berpijak ke suatu ruang hampa udara(Natsir,
1970: 218-219)Dalam Islam
dan TataNegara,
ajatan Sejarah dan Pemikiran,dijelaskan bahwa perubahan
pendirian Natsir,
menurut pengamatpolitik,
disebabkan oleh pidato Soekarno p adarapatGerakan Pembelapancasila
di
Jakarta padatanggal
17Juni
1954 yang memberikankesan bahwa sila Ketuhanan yang maha Esa
itu
merupakan ciptaanmanusia.
Namun
Munawir
Sjadzali sendiri, dalam
hal
ini,
tidak
mengetahui
tentang faktor-faktor apa yang
mendorong
sampaiterjadinya perubahan pendirian dalam sikap Natsir tersebut (Sjadjali, 1990: 196). Meski demikian, diduga kuat bahwaperubahan pendirian dalam sikap Natsir dalam sidang konstituante
itu
disebabkan, palingtidak oleh dua hal. Pertama, dorongan sebagai ketua Masyumi
untuk
merealisasikan manifestopolitik partai;
dan kedua, pancasila telah menjadi monopoli golongan tertentu, kelompok sekuler.Munculnya
respondari
kalanganintelektual,
termasuk Natsir,yang
komprontatif
dengan pemerintah berkuasadi
kalaitu
adalahdengan
terjadinya
perbedaanyang
berkepanjangandalam
sidangkonstituante yang
berjalan
selamakurang lebih
dari
dua setengahtahun.
Pertentanganterjadi
antara
kelompok intelektual
Islamyang
menghendaki
labelitas Islam
versus
kelompok
intelektual sekunder.Karena artara
kedua
kalanganterebut
tidak
ada yang mau melepaskan pendiriannya, maka atas desakan tentara, Presiden Soekarno membubarkanMajelis
itu
pada tanggal5
Juli
1959, danmendekritkan berlakunyakembali
UUD
45(Maarif,
1985: 90). Masaini
kemudian dikenal dengan masa demokrasi terpimpin.Pada masa
itu,
menurut
Deliar Noer,
demokrasi
Indonesiayang telah berjalan begitu
baik,
bukan saja menurun, tetapi hampir saja berubahmenjadi
diktator.
Setidak-tidaknya, masaini
mulaiberjangkit
dan berkembangnya suatu pemerintahan otokrasi (Noer,1987: 389),
dimana
hak
memerintah beradadi
tangan satu orang.Ini
terbukti
denganpimpinan pemerintah dan pimpinan
revolusi dipegang oleh suatu orang, yaitu Presiden Soekarno.Seperti
diketahui, 43 hari
setelahdekrit,
Presiden Soekarno mengucapkan pidatohari Proklamasi
17Agustus
1959 yangdiberi
judul
PenanamanKembali
Revolusikita.
Dalam perkembangannyapidato
tersebut
ditetapkan sebagai
GBHN dan diberi
namaManifesto
Politik
Republik
Indonesia
(Manipol). Pemikiran ini
kemudian
diringkas dalam
slogan
Manipol
Usdek
(Undang-Undang
Dasar
1945,
Sosialistic
a7a Indonesia,
DemokrasiTerpimpin, dan Kepribadian
Indonesia),
dan menjadi
landasandemokrasi
terpimpin.
Perkembangannya, 1960, Presiden Soekarnomelengkapi
ideologi
Indonesia
dengan slogan Nasakom,doktrin
kesatuan
tiga
unsur,
yaitu
nasionalis,
agamadan komunis.
Jadi,gagasan
Soekarno
menjadi
lengkap,
yaitu Manipol Usdek
dan Slogan Nasakom dan dipaksakanuntuk
diaplikasikan oleh
setiapinstitusi,
baik institusi
pendidikan maupun
institusi
pemerintah, maupun lembaga kemasyarakatan.Terhadap
indoktrinasi Soekarno
ini,
kelompok
intelektualmodernis sangat menentang dan menolaknya. Bahkan, Natsir sebagai
tokoh
intelektual modernis, membuktikan
ketidaksetujLlannyaterhadap
kediktatoran
Soekarno
yang
direfleksikan
dalam
ben-tuk
dukungannya terhadap
pembrontakan
PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia(Ricklefs,
1981: 250).Implikasi Pemikiran
Kenegaraan Mohammad
Natsir
Telah diuraikan dalam paparan
di
atas, bahwa pemikiranpolitik
idealistik
yang didengungkan oleh para intelektual Islam modernispada masa demokrasi terpimpin itu bertujuan untuk mengembalikan kedudukan pemerintah yang dipegang oleh Soekarno dengan
Manipol
Usdek dan Nasakomnya yang telah menyimpang
dari
ajaran Islam.Namun, sayangnya, sikap
korektif
terhadap pemerintahan otokrasi dandiktator
Soekarno yang dilancarkan oleh sebagian intelektual Islam modernisberakhir
dalam penjara, seperti Natsir dankawan-kawan.
Bahkan
partat
Masyumi yang dipimpin Natsir pun ikut
dibubarkan (Fieth,
1964: 138-139). Pembubaran PartaiMasyumi
terjadi
dengan
dikeluarkannya Keputusan PresidenNo.
20011960yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960 dan pada tanggal 13
September 1960, Pimpinan Partai
Masyumi
menyatakan partainyabubar
untuk
memenuhi
ketentuan-ketentuandalam
keputusan presiden(Ma'arif,
1985: 75).Sebagaimana
diilustrasikan oleh
Deliar
Noer bahwa
masademokrasi
terpimpin
sebagai masa yangmirip
dengan peperangan,tidak
merefleksikannilai-nilai
demokrasiyang
dikandungnya,di
mana orang berbeda pendapat dianggap sebagai musuh, dan oleh karena
itu
harus dibasmi (Noer, 1983: 46).Dengan begitu,
implikasi
daripemikiran
politik
yangidealistik
dalam pemerintahan yang
tidak
mengindahkan
demokrasi yangsesungguhnya
dapat
dicontohnkan
dengan
tersingkirnya
pata
intelektual Islam
modernisdari
panggungpolitik
praktis.
Karena dalam suatu pemerintahan yangtidak
menghargai dan menjunjungtinggi nilai-nilai
demokrasi
dan
kritik
yang konstruktif
dalam perj alanan sebuah pemerintahan, orang-orangkritis
seperti Natsir dankawan-kawannya dianggap sebagai penghalang bagi teraplikasinya
program-pro gram p emerintahan.
Faktor-faktor
Mempengaruhi
Pemikiran
Kenegaraan Moh.
Natsir
Kecendrungan
pemikiran
politik
intelektual Islam
Indonesia,seperti Natsir,
padakurun waktu
1945 sampaitahun
1965 padahakekatnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertamrz, kondisi sosial
politik
Indonesia selama
dua
dasa
warsa
(1945-1965) tersebutmengalami tigamasa, yaitu revolusi fisik (1945-1950), masademokrasi
parlementer (1950-1959)
dan
masa demokrasiliberal
(1959-1965).Kedua,
pemahamandan
interprestasiintelektual Islam,
termasukNatsir, terhadap ajaran Islam yang
diyakininya
bahwa Islam adalah ajaran yangkomplit
dan
sempurna, sehingga segala sesuatu yangberkaitan dengan kehidupan manusia
itu
dapatdilihat
hukumannya dalam al-Quran dan hadits.Ketiga,
pemikiran
politik
Natsir
di
samping
terpengaruhpemikiran
politik
intelektual
muslim
masaklasik
dengankarya-karya
monumentalnyaseperti al-Mawardi
denganal-Ahkam
al-Sulthaniyyah,
juga terpengaruh olehpemikiran
politik
intelektualmuslim
modern sepertial-Maududi
dan al-Afgani. Keempat, trendpemikiran
politik
Barat yang sedang merebak di dunia Islam sebagaiakibat kontak dengan peradaban Barat dalam bentuk imperialisme
Barat
di
negara-negarayang
mayoritas penduduknyamuslim,
takterkecuali
Indonesia
yang pernah dijajah oleh
kolonial
Belandaselama
kurang lebih
350
tahun
seperti
terma-terma demokrasi, dewanperwakilan
rakyat,republik,
nasionalisme, dan lain-lainnya. Konsekuensidari
pengenalan terhadap terma-termapolitik
Barat tersebut,para intelektual
Indonesiabaik dari
kalangan modernismaupun tradisionalis
hampir
tidak
dapat ditemukan pemikiran
politiknya
tentang
pendirian
sistem
monarki
dengan didasarkanikatan agama,melainkan mereka menghendaki suatu negara
republik
yang didasarkan pada rasionalisme.Kelima,
visi
dan tujuan
organisasi
keagamaandan politik
yang digeluti oleh para intelektual Islam telah
mempengaruhiarah pemikiran
dan sikap
atau
perilaku
politik
mereka
dalammengaktualisasikan
dan
mengartikulasikan
politiknya.
Natsirsebagai salah satu intelektual Islam modernis terpengaruh oleh
visi
dan tujuan Masyumi.PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian tentangpemikiran
kenegaraan Mohammad Natsir,tampak
bahwa
pemikiran
Mohammad
Natsir
dengan
ciri
khasrelegiusitasnya akan
tetapi
tidak
kalah
dengan
denganpemikiran
intelektual sekular. Hal
itu
disebabkan karena Natsir secarainformal
melakukan
dialog edukatif
yangintensif
tentang masalah-masalah agama dan selain itu, iajugabelajar di sekolah-sekolah yangdidirikan
olehBelanda,yangtentunya
syarat dengan gagasan modern tentangnegara,
seperti
demokrasi,
nasionalisme,republik.
KeberhasilanNatsir dari
satusisi
adalahberhasil
merekonsiliasikanpemikiran
modern dengan pesan-pesan nash al-Quran maupun hadits. Selainitu,
dariwaktu
kewaktu,
iamemiliki
karakteristik,
kecenderungandan
visi
tersendiri,
disesuaikan dengansetting sosiopolitik
yang ada sehingga munculnyapemikiran Natsir
merupakan respon atau jawaban terhadap peroblema yang muncul.Hubungan
Islam
dan negaradalam
pandanganNatsir
adalahhubungan
yang integral dan simbiotik,
tidak
adadikotomik
yang bermuara kepada sekularisasi.Baginya,
agama Islam adalah agamauniversal yang
menataseluruh
mekanisme kehidupan, termasukmasalah negara.
Sementara
mengenai
sistem
pemerintahan
menurut
Natsir,bahwa
di
dalam
Islam tidak
adauraian
yang
spesifik
mengenaimekanismenya, yang ada hanya
prinsip-prinsip
saja.oleh
karena-nya,
sebagaiproduk ijtihad politiknya,
ia
mengusulkan
sistempemerintahan parlementer.
Tentang
kepala negara menurut
Natsir tidak
ada penyebutan yang spesifik, dan tidak harus terpaku pada istilah Islam klasik,yaitu
khalifah.
Baginya kepalaNegara
bisakhalifah,
Amirulmu'minin,
atau presiden. Yang paling penting, seorang khalifah, karena negala
Indonesia mayoritas
Islam, maka
negaranyaharus Islam.
Danmengenai aparaturnya,
tidak
mesti Islam,
tetapi memberi peluang kepada agama lain untuk menduduki jabatan strategis lainnya'Mengenai kedaulatan
negara,Natsir
mengungkapkanistilah
teodemokrasi,
yaitu
demokrasiyang
tidak
hampadari
nilai-nilai
ketuhanan,
atau
demokrasi
yang
tidak
tercerai
dari
nilai-nilai
ketuhanan.
Mengenai dasarnegara, sebelum sidang konstituante Mohammad
Natsir
sangat
gigih
membela
Pancasila.Ia
menyatakan bahwaPancasila merupakan
hasil
kristalisasi yang
disebutnyalima ciri
kebijakan
hasil
musyawarah
antarapemimpin-pemimpin
bangsa,dan tidak
bertentangan denganal-Quran. Namun
ketika
sidangkonstituante
dan
pasca
itu,
Natsir
sangatgigih
menggelorakansemangat
dan mengusulkan
Islam
sebagai dasar negara.Hal
ini
cukup beralasan, karena selain ia
memiliki
latar belakang pendidikaninformal
keagamaankepada
A.
Hasan
yang
terkenal
memiliki
pemikiran Islam radikal, juga Natsir
menyuarakanpartai
Islam,yaitu mewakili Masyumi. Ia
menyatakan bahwa Pancasila sekulardan netral.
Implikasi pemikiran
Natsir
yang
memiliki
kecenderunganpolitik
identik
dankritis
terhadap roda pemerintahan yang kurangmengindahkan
demokrasi, adalah tersingkirnya
ia
dari
pentaspolitik,
karir politiknya berakhir di
penjara menjadi tahananpolitik
serta dibubarkannya partai Masyumi. Rekomendasi
Pemikiran
Natsir perlu
dikembangkan
dalam konteks
ke-hidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya mengenai
pemikirannya
tentang teodemokrasi,yaitu
demokrasiyang tidak
hampa dari
nilai-nilai
ketuhanan, atau demokrasi yang tidak terceraidari
nilai-nilai
ketuhanan.Dalam konteks
kekinian,
menjadikanIndonesia
sebagaiNegara
Islam
adalah suatu
hal
yang
tidak
mungkin
sebagaimana yangdicita-citakan
olehNatsir,
akan tetapi menyemangati semua konsep danprilaku
para penyelenggaranegara dengan konsep yang ada daiam al-Qur'an dan Hadits adalah sesuatu hal pula yangmungkin
dapat diprakktekkan saatini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
Risctlah Perundingan, KonstituanteRepublik,
Indonesia,jilid
V. Tanpa kota: tanpa penerbit, 1957Ahmad, ZainalAbidin,
Islam dan Parlementarism, Jakarta'. PustakaAntara,1952
,
RepubtikIslam
Demokratis. Tebing
Tinggi
Delli:
PustakaMaju,
1957Brockelmann,
Carl,
History
of
the Islamic
Peoples,
London:Routledge and Kegan Pa.ul, 1979
Cropscy,
Leo
StraussadanJoseph,
(ed), History
of
Political
Philosophy, Chicago
&
London,
1987Daya, Burhanuddin,
Gerakan
PembaharuanPemikiran
Islam, Kasus Sumatera Thawalib Yogyakarta: Tiara Wacana, 1980Edmund Bosworth,
clifford,
TheIslamic
Dynasties, Edinburgh: at theUniversity
Press, 1967Feith, Herbert
and LanceCastles,
IndonesiaPolitical
Thingking, I 94 5 I 965 (Ithaca, NewYork:
Cornell University Press, 1967---,
(ed.), Indonesia
Political
Thingking
19451965.Ithaca
danLondon: Cornell
University
Press, 1970Feith,
Herbert, The
Decline
of
Constitutional Democracy
inIndonesia, Ithaca: Cornell
University
Press, 1964Federspiel, Herbert M, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth
century
Inilonesia,Ithaca, NewYork: cornell University
Press,r970
Gr aaf ,H. J. D c, P un c ak Kekuas a an M at ar am, P o I itik E ks p an s i Sul t an
Agung,Jakarta: Pustaka
Grafiti
Pers, 1986---,
Islam
Ditinjau dari
Berbagai
Aspeknya,Jilid
I.
Jakarta:UI
Press,tt
Haidar,
M.
Ali, Nahdhatull Ulama dan Islam di Indonesia PendekatanFiqh
dalamPolitik,
Jakarta: Gramedia, 1994.Hitti,
Philip
K,
The Arab, A ShortHistory,
London;Macmillan
PresLtd,l974
Hassan
Bandung, Syafiq
A.
Mughnr, Pemikiran
Islam
Radikal,Surabaya: Bina
Ilmu,
L990.Hasan,
Ahmad, Pemerintahan
Tjara Islam, Malang
dan
Bangil:Toko
Timoer,1946
Ibn Taimiyyah,
al-Siyasah
al-Syariyyahfi
Islah alRayi
'wa
al-Raiyyah.
Bairut:
Daral-Aflaq
al-Jadidah, 1988Isjwara, F, Pengantar
llmu Politik,
Bandung: Angkasa, 1966 Isa,Anshary
.Filsafat Perjuangan Islam,. Bandung, 1994---,.Filsafat
PerjuanganIsla,.
Medan:Saiful,
1951 ---, Revolusi Islam, Surabaya: HasanAidit,
1953---,Islam
dan Nasionalisme, Bandung: Pustaka, 1954---,
Mujahid
Dawah, Bandung, Diponegoro,l99l
Islamika,
Jakartadan
Bandung:
INIS
dan Mizan,
No.
1
Juli-September 1993---, Ensiklopedi Islam, Volume
2.Iakarta:
Ichtiar baru Van Hoeve,r994
Kantaprawira,
Rusadi,
Sistem
Politik
Indonesia. Suatu Model
Pengantar. Bandung. Sinar
Baru,
1983Kartodirdjo,
Sartono, Pengantar Sejarah IndonesiaBaru:
15001900dari
Emporium sampai
Imperium, Jllid 1
Jakarta: Gramedia,r993
Lubis,
M.
Ridwan,
Pemikiran
Soekarno tentangIslam,.
Jakarta:Haji
Masangung,1992Mahendra,
Yusril
Ihza,
Modernisasi
Islam dan
Demokrasi:Pandangan
Politik
MohammadNatsir,Islamika No.
3,Januari-Maret,1994
---,
Combining
Activism and
Intelektualism,
the Biography
of
MuhammadNatsir
(19081993),dalam studi Islamika.
Harun Nasution, et. A1. (Ed.), Volume 2,Nomor
1 Jakarta:INIS,
1995Muhadjir,
Noeng,
Metodologi Penelitian
Kualitatif,
Yogyakarta:Rake Sarasin,1996
Musa, Yusuf, Nizam al-Hukm
fi
al-Islam,
Alih
BahasaM.
Thalib.Surabaya: al
Ikhlash,
1990Marbun,
BN,
KctmusPotitik.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1996Moertono,
Soemarsaid,Negara
dan
(IsahaBina
Negara
di
.IctwctMasa Lampau, Studi tentang Mataram II, Arab XVI sampai
XIX'
Jakarla: Yayasan Obor Indonesia, 1995Moeliono, Anton, Et
all
(Ed.), Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jtbd17 (Jakarta: Cipta
Andi
Pustaka, 1995Moeliono, Anton,
M,
Kamus Besar Bahasa Indonesi, Jakarta: BalaiPustaka,1988
Naim, Mochtar,
MohammadNatsir
dan Konsep Pendidikan yangIntegral, Youth Islamic Study
club
alAzhat,
16-17Juli
1994, 1994Natsir, Islam sebagai
ldeologi.
Djakarta:PusatAida,
1958Natsir,
dalam
TentangDasar
Negara Republik Indonesia
dalamkonstituante,
jrlid
1. Bandung: KonstituanteR[,
1959---, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
---, Capita Selecta,
Jilid
1
dan2 Jakarta: Pustaka Pendis, 1975---,
Islam
Sebagai
Dasar
Bandung Fraksi Masyumi
dalamKonstituante,
I975
---, Islam Sebagai
ldeologi,
Djakarta: PustakaAida,
1959- - - - -, A gam a d an P o
litik,
caprtaS electa, II. Dj akarta: Pustaka Pendis,19s8
---, Kebebasan
Berbicara Lenyap,
Zaman Peniajahan Kembali,Abadi
1Maret,
1957---, Membela
Nikmat
YangDiberikan
DemokrasiHarus
Ditebus Dengan Perjuangan YangBerat,Abadi
8 Maret, 1957---,
TheDanger
of
Secularism, dalam HerbertFeith
dan Lance Castles, (ed)., InctonesiaPolitical
Thinking,Ithaca, New
York:Cornell UniversitY Press, 1970
---,Islam sebagai Dctsar Negara. Bandung: Fraksi Masyumi dalam
konstituante,l95T
---, Metode
Penelitian,
Jakarta Ghalia Indonesia, 1988'---,
Ris ctlah P erundangan, KonstituanteRepublik
Indonesia, jilid
vtt
Noer, Deliar,
Pengantrtrke Pemikiran
Politik,
Jakarta'. Rajawali, 1973---,
Islam
dan
Politik; Mayoritas
atau
Minoritas,
PrismaNo.
5tahun
XVII,
1988.- - - - -,. P ar t a i
I
s I am d i P ent a s N a s i on a I I 9 4 5 - I 9 6 5, J akarta: Grafi tipers,1 988
---,
Partai
Politik Islam
di
PentasNasional
19451965. Jakarta:Grafiti,
1988---, Pengctntar ke Pemikiran
Politik,
Jakarta:rajawali,1973
---,The
Modernist Muslem
Movement
in
Indonesia
1900-194,London:
Oxforrd University
Press, 1973Nasution,
Harun, The Islamic
State
in
Indonesia:
The Islamic
in
Indonesia: The
Riseof
theldeology,
the Movementfor
lts
Creation and the Theory of the Masyumi,
M.A.
Thesis, Institute of Islamic Studies, Montreal:McGill
University,tt
Ricklefs,
M.C,
A
History
of
Modern
Indonesia.
London
andBasingstoke, The
MaxMillan
PressLtd.,
1981.Ridwan,
Kafrawi,
et.al. (ed), Ensiklopedi Islam, Volume4.
Jakarta:Ichtiar batu Van Hoeve, 1994
Surakhmad,
Winarno, Penelitian
llmiah,
Dasar, Metode,
Telntik, Bandung: Tarsito,i982
Syafii Maarif,
Ahmad,
Islam
Indonesia dalam Perspektif SejarahKontemporer, dalam penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam
sorotan,
Muin
Umaq ed. Yogyakarta: DuaDimensi,
1985Sjadzali,
Munawir, Islam
dan tata
Negara,Ajaran,
Sejarah danPemikiran, Jakarta:
UI
Press, 1990Syamsuddifl,
M.
Din,
"Usaha Pencarian
KonsepNegara
dalam Sejarah PemikiranPolitik
Islam"
dalamUlumul
Quran VolumeIV, Nomor 2
th,
1993Shalabi,
Ahmad,
Mausuatal-Thrikh al-Islami
waHadharah
al-Islamiyah,
Jilid
V.Mesir:
Maktabah alNahdhat, 1979Suminto,
Aqib,
Politik
Islam
Hindia
Belanda,
Jakarta: LP3ES,1 98s
Zainuddin,
H.M,
Thrich
Atieh dan
Nusantara,
Medan:
PustakaIskandar Muda,
tt
Zthri,
Saifuddin, KalaedoskopPolitik
di Indonesia,Jllid
1. Jakarta:GunungAgung, i981
---, Sej arah Kebangkitan Is lam dan Perkembangannya di Inclones ia, Bandung: