• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Konsep Keluarga Keluarga dalam Kerangka Teori Struktural Fungsional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Konsep Keluarga Keluarga dalam Kerangka Teori Struktural Fungsional"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Keluarga

Konsep Keluarga

Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami isteri; suami isteri dan anaknya; ayah dan anaknya; atau ibu dan anaknya. Menurut U. S. Bureau of the Census, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup bersama dan dihubungkan oleh kelahiran, perkawinan, atau adopsi (Berns 1997; Friedman et al. 2003).

Keluarga juga dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, adopsi, perkawinan, atau secara ekonomi bekerja sama (Zanden 1986). Burgess dan Locke (1960) mengemukakan empat karakteristik keluarga antara lain: 1) keluarga disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; 2) anggota keluarga hidup bersama di bawah satu atap; 3) saling berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menghasilkan peran-peranan sosial; dan 4) keluarga sebagai pemelihara kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.

Keluarga menjalankan berbagai fungsi untuk bertahan dalam masyarakat. Fungsi yang dijalankan keluarga sangat beragam. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa ada delapan fungsi keluarga yaitu keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, sosialisasi dan pendidikan, reproduksi, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Berns (1997), keluarga memiliki fungsi ekonomi, sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi. Mattessich dan Hill, diacu dalam Zeitlin et al. (1995) mengemukakan bahwa keluarga berfungsi dalam pemeliharaan fisik, sosialisasi dan pendidikan, mengontrol perilaku sosial dan seksual, memelihara moral keluarga dan memberi motivasi, mengakuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau adopsi, serta melepas anggota keluarga dewasa.

Keluarga dalam Kerangka Teori Struktural Fungsional

Pendekatan struktural fungsional adalah salah satu pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Selain pendekatan ini, ada

(2)

beberapa pendekatan lain seperti teori interaksi simbolik, teori pertukaran sosial, teori ekologi keluarga, teori sistem, teori konflik sosial, dan teori perkembangan keluarga (Klein & White 1996). Pendekatan struktural fungsional mengakui segala keragaman dalam kehidupan sosial yang menjadi sumber utama terbentuknya struktur masyarakat. Pendekatan struktural fungsional dapat dilihat dari dua aspek yakni aspek struktural dan aspek fungsional. Aspek fungsional tidak dapat dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Fungsi dalam kata fungsional dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan yang solid (Megawangi 1999).

Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yaitu status, peran, dan norma sosial. Berdasarkan status sosial, keluarga inti dibagi dalam tiga struktur yakni bapak/suami, ibu/isteri, dan anak-anak. Struktur ini dapat juga berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, anak remaja, dan lain-lain. Keberadaan status sosial penting untuk memberikan identitas kepada individu, memberi tempat dalam sebuah sistem sosial, serta memberikan rasa memiliki (Megawangi 1999).

Setiap status sosial memiliki peran masing-masing. Peran sosial menggambarkan peran-peran masing-masing individu sesuai dengan status sosialnya. Peran sosial ini sangat dipengaruhi oleh norma-norma budaya dimana kelompok itu berada. Elemen utama struktur yang ketiga adalah norma sosial. Norma sosial adalah peraturan yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial merupakan bagian dari kebudayaan setempat yakni berkaitan dengan pandangan hidup secara umum (Megawangi 1999).

Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan didefinisikan sebagai kualitas hidup seseorang atau unit sosial lain. Kesejahteraan meliputi tiga konteks yaitu ekonomi, sosial, dan komunitas. Berbagai indikator atau cara pengukuran kesejahteraan keluarga telah digunakan, namun tidak ada indikator yang ideal untuk mengukur kesejahteraan keluarga (Behnke & MacDermid 2004). Penelitian ini menggunakan tiga indikator

(3)

kesejahteraan, yaitu indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia.

Indikator Garis Kemiskinan BPS. BPS mengukur tingkat kemiskinan dengan menggunakan garis kemiskinan. Menurut BPS (2010b), penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Setiap daerah memiliki garis kemiskinan yang berbeda satu sama lain. Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00 per kapita per bulan.

Indikator Keluarga Sejahtera BKKBN. BKKBN mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangan. BKKBN membagi keluarga sejahtera menjadi lima kelompok yakni keluarga prasejahtera (PraKS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II), keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III Plus (KS III Plus) (BKKBN 2009). Keluarga dikatakan prasejahtera jika belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, papan, dan kesehatan.

Indikator a Simple Poverty Scorecard for Indonesia. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan berdasarkan skor yang diperoleh keluarga (Chen & Schreiner 2009). Chen dan Schreiner (2009) menyusun sepuluh pertanyaan yang dirumuskan berdasarkan hasil Susenas 2007. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang masih sekolah, jumlah anggota keluarga yang bekerja, sumber air minum keluarga, tipe toilet, lantai rumah, langit-langit rumah, kepemilikan kulkas, kepemilikan kendaraan bermotor, dan kepemilikan televisi. Kelebihan instrumen ini adalah data dapat dikumpulkan dengan cepat dan mudah. Menurut Chen dan Schreiner (2009), a simple poverty scorecard for Indonesia merupakan cara praktis yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan di Indonesia.

(4)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga

Penelitian tentang kesejahteraan keluarga umumnya dilakukan secara parsial dengan menggunakan berbagai indikator. Berdasarkan indikator BPS, kesejahteraan keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh pendidikan isteri, kepemilikan aset, pendapatan, pekerjaan kepala keluarga, dan perencanaan keluarga (Iskandar 2007). Pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan pendapatan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan pekerjaan kepala keluarga dan perencanaan keuangan berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Rambe et al. (2008) juga menemukan pengaruh yang signifikan positif pendidikan kepala keluarga terhadap kesejahteraan keluarga di Kecamatan Medan Utara, Sumatera Utara. Aniri (2008) juga menemukan adanya pengaruh besar keluarga dan pendapatan keluarga terhadap kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan pendapatan keluarga berpengaruh signifikan positif.

Selain menggunakan indikator BPS, penelitian sebelumnya juga menggunakan indikator BKKBN. Berdasarkan indikator BKKBN, kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh variabel demografi (jumlah anggota keluarga dan usia), sosial (pendidikan kepala keluarga), ekonomi (pendapatan, pekerjaan, kepemilikan aset, dan tabungan), manajemen sumberdaya keluarga, dan lokasi tempat tinggal (Iskandar 2007). Usia isteri, pendidikan kepala keluarga, pendidikan isteri, pekerjaan isteri, kepemilikan aset, dan kepemilikan tabungan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan besar keluarga, umur kepala keluarga, perencanaan keuangan, dan keadaan tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga juga dipengaruhi oleh pendidikan ibu (Aniri 2008). Pendidikan ibu berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang sejahtera dibandingkan keluarga dengan ibu yang berpendidikan rendah.

Penelitian sebelumnya juga menggunakan indikator lain untuk mengukur kesejahteraan keluarga, seperti indikator BPS, BKKBN, World Bank, dan sosial

(5)

metrik (Muflikhati 2010). Hasil penelitian Muflikhati (2010) juga menemukan adanya pengaruh pendapatan keluarga, aset, besar keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator dan tingkat pendidikan kepala keluarga terhadap kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat.

Gaya Pengasuhan

Menurut Hoghughi (2004), pengasuhan (parenting) berasal dari bahasa latin yaitu “parere” yang artinya membangun/mendidik. Pengasuhan (child rearing) adalah pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik, merawat, dan mengasuh anak. Jerome Kagan, seorang psikolog perkembangan mengartikan pengasuhan sebagai penerapan serangkaian keputusan tentang sosialisasi: mengenai apa yang seharusnya dilakukan orangtua untuk menghasilkan anak yang bertanggung jawab, anak yang dapat berkontribusi dalam masyarakat, serta bagaimana orangtua memberi respon ketika anak menangis, berbohong, marah, dan tidak berprestasi di sekolah (Berns 1997).

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis gaya pengasuhan telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Baumrind (2008), Rohner (1986), serta Gottman dan DeClaire (1997). Menurut Baumrind (2008), gaya pengasuhan dikategorikan menjadi gaya pengasuhan tak terikat (unengaged), serba membolehkan (permissive), otoriter (authoritarian), dan demokratis (authoritative). Berbeda dengan Baumrind, Rohner (1986) mengkategorikan gaya pengasuhan menjadi gaya pengasuhan menerima dan gaya pengasuhan menolak berdasarkan Teori Penolakan dan Penerimaan Orangtua (Parental Acceptance-Rejection Theory).

Gaya pengasuhan lainnya dikemukakan oleh Gottman dan Declaire (1997). Gottman dan DeClaire (1997) mengkategorikan gaya pengasuhan ke dalam empat kategori yaitu gaya pengasuhan pengabai emosi (dismissing), gaya pengasuhan tidak menyetujui (disapproving), gaya pengasuhan laissez faire, dan pelatih emosi (emotional coaching).

Gaya pengasuhan pengabai emosi (dismissing) adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang tidak mengindahkan, tidak mau mengenal, atau mengabaikan emosi negatif anak (Gottman & DeClaire 1997). Emosi negatif yang dimaksud

(6)

adalah marah dan sedih. Dampak dari penggunaan gaya pengasuhan pengabai emosi pada anak adalah anak belajar bahwa perasaannya salah/tidak pantas dan anak akan mengalami kesulitan dalam mengatur emosi sendiri.

Gaya pengasuhan tidak menyetujui (disapproving) adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang memberikan sedikit empati ketika anak menunjukkan emosi negatifnya, namun mereka mengabaikan, menolak, tidak menyetujui, dan menegur/menghukum anak atas ekspresi emosinya (Gottman & DeClaire 1997). Dampak dari penerapan gaya pengasuhan ini pada anak adalah sama dengan anak yang dihasilkan dari orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi.

Gaya pengasuhan laissez faire adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang menerima emosi anak dan berempati pada anak, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas pada tingkah laku anak (Gottman & DeClaire 1997). Dampak penerapan gaya pengasuhan ini adalah anak tidak belajar mengatur emosi mereka, bermasalah dalam hal konsentrasi, membentuk persahabatan, dan bergaul dengan anak-anak lain.

Gaya pengasuhan pelatih emosi (emotional coaching) adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang memperhatikan emosi anak. Dampak penggunaan gaya pengasuhan pelatih emosi pada anak adalah anak belajar untuk mempercayai perasaan mereka, belajar mengatur emosi mereka sendiri, dan belajar menyelesaikan masalah. Anak yang dihasilkan dari gaya pengasuhan pelatih emosi ini adalah anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan bergaul dengan baik dengan orang lain.

Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia. Belksy, diacu dalam Holden (2010) telah membangun sebuah model yang berisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gaya pengasuhan (Gambar 1). Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh sejarah perkembangan, kepribadian, kualitas perkawinan, pekerjaan, jaringan sosial, dan karakteristik anak. Gaya pengasuhan akan berpengaruh pada perkembangan anak.

(7)

Gambar 1 Faktor penentu pengasuhan (Belsky, diacu dalam Holden (2010))

Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada usia kelompok (gang age) dan merupakan periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan sosial (Turner & Helms 1991). Anak usia sekolah dalam teori kognitif Piaget termasuk pada tahapan operasional konkret (Santrock 2007). Periode ini merupakan awal dari anak berpikir rasional, artinya anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret.

Teori perkembangan psikososial Erik Erikson menempatkan anak usia sekolah pada tahap kerajinan (industry versus inferiority). Pada tahapan ini, imajinasi dan antusias anak meningkat. Anak mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Hal yang membahayakan dalam tahapan ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif pada anak (Santrock 2007).

Setiap tahap perkembangan memiliki tugas yang harus dilakukan. Menurut Havighurst (1976), diacu dalam Hurlock (1980), tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan individu pada masa kanak-kanak (6-12 tahun), yaitu (1) mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum, (2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, (3) belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, (4) mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, (5) mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung, (6) mengembangkan pengertian-pengertian yang yang diperlukan untuk

Pekerjaan

Pengasuhan Sejarah

Perkembangan Kepribadian

Kualitas

Perkawinan Jaringan Sosial

Karakteristik Anak

(8)

kehidupan sehari-hari, (7) mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata nilai, (8) mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga, dan (9) mencapai kebebasan pribadi.

Perkembangan Sosial Emosi

Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Menurut Daniel Goleman (2007), emosi berasal dari kata movere (bahasa latin) yang berarti “menggerakkan/bergerak”. Kata ini ditambah dengan awalan “e” yang berarti “bergerak menjauh”. Menurut Safaria dan Saputra (2009), emosi setiap orang akan mencerminkan keadaan jiwanya dan terlihat pada perubahan jasmaninya, seperti emosi marah. Ketika seseorang marah, maka mukanya akan memerah, napasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya akan menegang, dan energi tubuhnya memuncak. Emosi merupakan suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya terutama well-being dirinya yang menyebabkan munculnya suatu perasaan atau afeksi (Saarni et al. 1998). Emosi ini diperlihatkan melalui ekspresi yang menunjukkan rasa senang, takut, marah, sedih, dan lain-lain bergantung pada keadaan yang dialaminya.

Saarni et al. (1998) menyatakan bahwa untuk bisa dikatakan kompeten secara emosional, seseorang harus mengembangkan beberapa keterampilan yang berhubungan dengan konteks sosial, yaitu (1) pemahaman tentang keadaan emosi yang dialami, (2) mendeteksi emosi orang lain, (3) menggunakan kosakata yang berhubungan dengan emosi secara tepat sesuai dengan konteks dan budaya tertentu, (4) sensitivitas empatik dan simpatik terhadap pengalaman emosional orang lain, (5) memahami bahwa keadaan emosional di dalam tidak harus selalu berhubungan dengan ekspresi yang tampak di luar, (6) menyesuaikan diri terhadap emosi negatif dengan menggunakan metode pengaturan diri untuk mengurangi durasi dan intensitas dari emosi tersebut, (7) menyadari bahwa ekspresi emosi memiliki peranan yang penting dalam hubungan interpersonal, dan (8) memandang bahwa keadaan emosi diri adalah cara seseorang mengatur emosinya.

(9)

Emosi berperan penting dalam kehidupan anak karena melalui emosi seseorang mengetahui apa yang dirasakan oleh orang lain. Selain itu, emosi juga akan menunjang kesuksesan individu. Menurut Parke dan Gauvain (2009), perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah genetik, lingkungan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan teman sebaya, dan faktor lainnya.

Penelitian ini menganalisis perkembangan sosial emosi pada anak usia sekolah. Anak usia sekolah berada pada periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan sosial (Turner & Helms 1991). Pada usia ini, interaksi antara anak dengan lingkungan semakin kompleks, seperti aktivitas dalam keluarga, aktivitas dengan teman sebaya (peer group), aktivitas di sekolah, dan lain-lain. Anak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan sosial dengan lingkungannya.

Perkembangan sosial erat hubungannya dengan perkembangan emosi. Emosi berperan penting dalam kesuksesan hubungan anak dengan teman sebaya. Anak yang memiliki emosi negatif (marah, sedih, takut, malu, dan lain-lain) akan mengalami penolakan yang lebih besar dari teman sebaya mereka (Stocker & Dunn 1990, diacu dalam Santrock 2007).

Social Emotional Assets and Resiliency Scales (SEARS)

Perkembangan sosial emosi memiliki peranan yang penting dalam interaksi antara anak dan lingkungannya. Anak diharapkan memiliki kemampuan dalam mengatur emosi dan dapat bergaul dengan orang lain. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak adalah Social Emotional Assets and Resiliency Scales (SEARS) (Cohn et al. 2009).

SEARS menggunakan teori berbasis kekuatan individu (strength based theory). Pendekatan ini mengukur ketrampilan, kemampuan, dan karakteristik positif individu yang akan membimbing individu dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya (Epstein & Sharma 1998, diacu dalam Cohn et al. 2009). Menurut Epstein et al. (2001), diacu dalam Cohn et al. (2009), ada empat komponen utama dalam pendekatan berbasis kekuatan individu (strength based theory), yaitu (1) semua anak dan keluarga memiliki kekuatan, (2) fokus pada sesuatu yang positif

(10)

dapat memotivasi dan memicu anak untuk melakukan perubahan yang positif, (3) kekurangan adalah kesempatan untuk belajar, dan (4) menggunakan kekuatan dasar dapat meningkatkan keterlibatan anak.

SEARS adalah sistem penilaian yang berdasarkan atas kekuatan yang ada pada individu. SEARS bertujuan untuk menilai sosial emosi yang positif pada anak dan remaja, meliputi pengetahuan dan kemampuan sosial emosi, penerimaan dan hubungan dengan teman sebaya, kelentingan dalam menghadapi masalah, kemampuan melakukan strategi koping, kemampuan dalam memecahkan masalah, empati, konsep diri secara umum, dan sifat positif lainnya (Cohn et al. 2009).

SEARS dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 5-18 tahun. Responden untuk SEARS adalah anak, guru, dan orangtua dengan menggunakan teknik laporan diri (self report). SEARS dibagi dalam empat kategori yaitu SEARS C, SEARS A, SEARS T, dan SEARS P. SEARS C digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 3-6 tahun, sedangkan SEARS A digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak pada usia 7-12 tahun. SEARS T digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak berdasarkan penilaian dari guru, sedangkan SEARS P berdasarkan penilaian dari orangtua. Item pertanyaan yang digunakan dalam SEARS ini berkisar antara 52 sampai dengan 54 item. Penilaian SEARS ini menggunakan skala Likert yaitu tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan hampir selalu.

Gambar

Gambar 1 Faktor penentu pengasuhan (Belsky, diacu dalam Holden (2010))

Referensi

Dokumen terkait

REALISASI KINERJA PADA TRIWULAN REALISASI CAPAIAN KINERJA TAHUN 2020 TINGKAT CAPAIAN KINERJA TAHUN 2020 I II III IV 1 Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup

Diantaranya kendala yang sering terjadi adalah sering terjadi kesalahan dalam pencatatan (human error), kehilangan surat, rusaknya kertas surat, membutuhkan waktu

Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat Rumiyati, S.Si., Apt., M.Si., Ph.D.. Sumbawa Barat, Nusa Tenggara

Permasalahan yang belum diketahui selama ini adalah persepsi masyarakat Surabaya terhadap Risma melihat pengambilan keputusan penutupan Gang Dolly, karena

Namun, jika hal yang disebut sebagai “keuntungan” itu merupakan keuntungan umum bagi orang lain atau pun masyarakat luas maka, keuntungan tersebut tidak hanya tidak

Ada kelas-kelas baru yang ditambahkan pada tahap perancangan, yaitu kelas dari hasil perancangan framework hot spot pada Subbab 4.2 seperti I_Hitung_Nilai,

Lakip Bappeda – Litbang Tahun 2018 23 Persentase pelaksanaan terhadap proses dan mekanisme perencanaan berjalan sesuai aturan (100%). Terciptanya sinkronisasi dan

Membaca merupakan fungsi langsung dan tidak langsung dari faktor-faktor kognitif yang meliputi memori jangka pendek, memori kerja, persepsi visual, pengetahuan semantik,