• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelajar Islam Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelajar Islam Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri

dan Ibrahim Zarkasji.

Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualism sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan

"santri kolot" atau santri “teklekan".

Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam. Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi

khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat

pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.

Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan

istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Tujuan

(2)

anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan Islam bagi Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi "Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII tersebut yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum

dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4.

Tugas Pokok, Fungsi dan Usaha

Pelajar Islam Indonesia mempunyai tugas pokok melaksanakan pelatihan, taklim dan kursus bagi para pelajar Islam guna menumbuhkan kader umat dan kader bangsa yang berkepribadian muslim, cendekia dan memiliki jiwa kepemimpinan (AD Bab V Pasal 5). Sementara itu, organisasi ini berfungsi sebagai wadah pembinaan kepribadian muslim, penghantar sukses studi, sarana berlatih dan alat perjuangan bagi pelajar Islam (AD Pasal 6). Untuk mewujudkan tujuannya, PII bergerak secara independen di bidang pen-didikan, kebudayaan dan dakwah. Adapun usaha yang dilakukan PII –sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah :

1. 1. Mendidik anggotanya untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.

2. 2. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, ketrampilan, minat dan bakat anggo-tanya.

3. 3. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen/mandiri dan kesanggupan berdiri sendiri tanpa ketergantungan kepada orang lain.

4. 4. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi anggotanya.

5. 5. Membina anggota menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan cakap dalam mengelola arus informasi global dunia serta menangkal dampak negatif produk-produk budaya asing dan arus informasi global tersebut.

6. 6. Membantu dalam pemenuhan minat dan kebutuhan serta mengatasi problematika pelajar.

(3)

7. 7. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam, serta umat manusia pada umumnya.

8. 8. Menumbuhkembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk menguasai, memanfaatkan serta mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan umat manusia.

9. 9. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan anggota untuk memahami, mengkaji, mengapresiasi dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

10. 10. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, kelu-asan pandangan dunia global dan kepribadian muslim dalam segala bidang kehidupan.

Keanggotaan

PADA awal berdirinya PII, muncul reaksi dari IPI yang menilai kehadiran PII bisa menimbulkan perpecahan di kalangan pelajar. Untuk menghindari terjadinya konflik, diadakanlah pertemuan PII dengan IPI pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut kemudian ditandatangani Piagam Malioboro oleh Sekjen PB IPI Busono Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasji. Salah satu butir penting dari piagam tersebut adalah hak hidup PII oleh IPI. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan piagam tersebut maka dimana ada IPI akan didirikan PII. Saat itu IPI sudah ada di hampir seluruh wilayah Indonesia yanga da sekolah menengahnya. Para pelajar Islam yang menjadi anggota IPI pun ikut membantu berdirinya PII. Sebaliknya PII bersedia bekerja sama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan bersama dan bersifat nasional. Dalam perjalanan selanjutnya perkembangan PII ternyata jauh lebih pesat dari IPI. Hal itu ditunjang dengan bergabungnya organisasi-organisasi pelajar Islam lokal ke tubuh PII. Selain PPII (Yogyakarta), PPIS dan PERKISEM (Surakarta) yang ikut mendirikan PII, pada saat penyelenggaraan Kongres I PII, 14-16 Juli di Solo, Persa-tuan Pelajar Islam Indonesia (PERPINDO) dari Aceh juga memfusikan diri ke dalam tubuh PII. Perkembangan anggota semakin pesat pada tahun 1960-an setelah Masyumi (1960) dan GPII (1963) dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu mendorong PII mem-buat penafsiran sendiri terhadap kata pelajar. Kalau sebelumnya pelajar adalah mereka yang di pesantren dan sekolah, kemudian diperluas

menjadi minal mahdi ilal lahdi (dari ayunan sampai ke liang lahat), sesuai dengan hadits nabi tentang perintah mencari ilmu. Sehingga PII juga menjadi penampung aspirasi mantan-mantan anggota Masyumi dan GPII.

Jumlah anggota PII mulai menyusut di tahun 1980-an seiring dengan mengu-atnya nuansa politis dalam aktifitas PII, sementara pemerintah saat itu justru ber-kesan tengah

mendepolitisir umat Islam. Puncak dari penyusutan itu adalah ketika PII tidak mau menyesuaikan diri dengan UU Keormasan yang disahkan 17 Juni 1985 dan mulai

(4)

diberlakukan 17 Juni 1987. Akibatnya kemudian Mendagri mengeluarkan SK Mendagri No. 120/1987 tertanggal 10 Desember 1987 yang menganggap PII telah membubarkan diri dan selanjutnya melarang kegiatan yang mengatasnamakan PII. Ketika SK itu keluar, menurut Ketua Umum PB PII saat itu Chalidin Yacobs, jumlah anggota PII mencapai 4 juta orang. Namun delapan tahun kemudian, 1995, jumlah anggota PII aktif sepertinya tidak mencapai 100.000 orang.

Meski demikian, PII tidak pernah mati. Sadar penyusutan anggota tidak bisa dibiarkan begitu saja, maka ihtiar untuk bangkit kembali pun dicanangkan. Momentumnya adalah pada

Muktamar Nasional XX PII tahun 1995 di Cisalopa, Bogor. Setelah melalui perdebatan sengit, diputuskan PII akan melakukan reformalisasi dengan melakukan registrasi ke Depdagri. Sejak itu jumlah anggota PII kembali terdongkrak. Hanya karena sistem

administrasi yang belum rapi sesuai standard administrasi sebuah organisasi formal, jumlah secara pasti seluruh anggota PII belum bisa diketahui.

Untuk penataan kembali administrasi keanggotaan PII, maka ditentukan per-syaratan keanggotaan di PII yang meliputi anggota tunas, anggota muda, anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota kehormatan. Anggota tunas, mereka yang duduk dijenjang pendidikan dasar (SD/MI), anggota muda, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah pertama (SLTP/MTs), anggota biasa, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah atas (SMU/SMK/MA), anggota luar biasa warga negara asing yang sedang belajar di Indonesia atau sebaliknya, dan anggota kehormatan adalah mereka yang memiliki jasa terhadap PII. Masa keanggotaan PII akan berakhir secara otomatis, bila yang bersangkutan telah dua tahun menyelesaikan pendidikan formalnya.

Kepengurusan

KEPENGURUSAN PII terdiri dari empat jenjang institusi. Yang terendah Pengu-rus Komisariat (PK), berbasis kecamatan, sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk membentuk Pengurus Komisariat, minimal memiliki 25 orang anggota. Peng-urus Daerah (PD) sebagai institusi kepengurusan berikutnya, selain berbasis kabu-paten/kotamadya juga bisa berbasis pesantren atau perguruan tinggi. Dalam satu kabupaten/kotamadya, jika dipandang perlu bisa juga dibentuk lebih dari satu PD, dengan syarat masing-masing

memiliki mini-mal 100 anggota. Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah misalnya, selain ada PD PII Brebes juga ada PD PII Bumiayu (salah satu Kawedanan di Brebes). Pengurus Wilayah (PW) berbasis propinsi, namun ada juga yang dalam satu propinsi memiliki dua PW, yakni PW PII Maluku serta PW PII Maluku Utara dan Halmahera Tengah. Demikian juga batas teritorial PW kadang berbeda dengan batas teritorial propinsi. Misalnya PW PII Yogyakarta Besar meliputi DIY dan eks-Karesidenan Kedu dan eks-Karesidenan Banyumas (Jawa

Tengah). Sedangkan PW PII Jakarta, selain DKI juga ditambah eks Karesidenan Purwakarta. Sebagai institusi kepengurusan yang tertinggi adalah Pengurus Besar (PB) yang

berkedudukan di Jakarta. Di samping kepengurusan badan induk, PII juga memiliki 2 badan otonom: Brigade PII dan Korps PII Wati. Brigade PII dibentuk pada 6 Nopember 1947, pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI. Tujuannya untuk menyalurkan bakat kemiliteran anggota-anggota PII. Pembentukannya dilatarbelakangi partisipasi PII dalam melawan Agresi Militer I Belanda, 27 Juli 1946, tidak berapa lama setelah Kongres I PII. Pada masa sekarang Brigade PII difungsikan sebagai badan inteljen PII untuk memberikan masukan-masukan bagi program-program yang disusun PII di semua institusi. Korps PII Wati dibentuk pada tanggal 31 Juli 1964, dalam forum Muktamar X PII di Malang.

(5)

Dilatarbelakangi adanya krisis

kader putri di PII, sehingga diharapkan Korps PII Wati bisa melakukan akselerasi proses pembinaan kader-kader putri PII yang umumnya masa aktifnya lebih sebentar dibanding kader-kader putra.

Pembinaan Anggota dan Proses Kaderisasi

PROSES pembinaan anggota kaderisasi pada masa-masa awal PII berdiri dila-kukan di pesantren atau madrasah dan sekolah. Pesantren pertama yang dijadikan tempat kegiatan kaderisasi adalah Pondok Modern Gontor. Di pesantren tersebut pada masa-masa itu, PII menjadi organisasi resmi para santri. Kegiatan kaderisasi yang dilakukan di pesantren berupa kursus-kursus, seperti kursus politik, manaje-men organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan di sekolah umum kegiatannya beru-pa kursus-kursus agama Islam. Karena saat itu di sekolah umum tidak ada pendi-dikan agama.

Latihan kader PII pertama kali diadakan pada tahun 1952 dengan mengun-dang beberapa tokoh untuk memberikan ceramah. Proses kaderisasi yang dilaksa-nakan secara sistematis baru dimulai pada periode 1956-1958 ketika PB PII dipimpin Wartomo Dwijoyuwono. Ia mengadopsi pola kaderisasi pada organisasi yang di-lihatnya di Amerika sewaktu mengikuti program Youth Specialist. PB PII mengikuti kegiatan tersebut atas undangan Departemen Luar negeri Amerika Serikat.

Pada tahun 1957 diadakan seminar tentang kaderisasi dan tahun 1958 diter-bitkan Buku Sistem Latihan Kepemimpinan Dalam PII yang lebih banyak diintrodusir dari Aloka Training dan training-training luar negeri lainnya. Pada tahun 1961 mulai dikembangkan metode Group Dynamics (dinamika kelompok) di PII. Dasar teori tentang group dynamics tersebut masuk ke PII melalui training-training yang diikuti kader-kader PII pada tahun 50-an yang diselenggarakan dalam rangka Colombo Plan. Selanjutnya para intelektual PII seperti Mukti Ali (pernah menjadi Menteri Agama), Hariry Hadi dan lain-lain mengembangkannya dengan menciptakan “Leadership Training”, "Mental Training”, dan "Student Work Camp”.

Pada tahun 1962-1964 ketika PB PII dipimpin Ketua Umum Ahmad Djuwaeni, dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan training. Evaluasi tersebut memberikan penilaian training yang sudah diselenggarakan ternyata baru melahirkan pemimpin-pemimpin yang pandai

memimpin rapat, pandai berpidato, dan pandai berdiskusi, tetapi ruh Islam, dan ruh jihad kurang berkembang. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklan suatu tim untuk memperbaiki materi training. Metode yang digunakan tetap dinamika kelompok, tetapi materi-materi, case diskusinya diarahkan pada penanaman aqidah, akhlak, idealisme, dan ruh jihad. Departemen Kader, Departemen Pendidikan dan Departemen Sosial, masing-masing menyelenggarakan Lokakarya Training, untuk “menyempurnakan” atau mengadopsi training dengan dasar “group dynamics” dari Kurt Lewin. M. Husni Thamrin dan Hidayat Kusdiman (Departemen Kader) mengembangkan “Decision Group Dynamics”, menjadi Latihan Kader

Kepemimpinan dalam Lokakarya Kepe-mimpinan di Yogyakarta. Endang Syaifuddin Anshari dan Utomo Dananjaya (Departemen Pendidikan) mengembangkan Mental Training sebagai “Reference Group Dy-namics” dalam Lokakarya di Leles, Garut, Jawa Barat. Syarifudin Siregar Pahu dan Endang Toharudin (Departemen Sosial) mengembangkan Perkampungan Kerja Pelajar, sebagai adaptasi dari Student Work Camp, yang merupakan perwujudan dari “Task Group Dynamics”, dalam Lokakarya di Rancaekek, Bandung. Mungkin ini adalah masa berkembangnya kecendekiawanan di PII, yaitu melakukan

(6)

pendekatan intelektual dalam rangka merumuskan program training yang masih mengacu pada teori ilmiah, psikologi, dan sosiologi.

Training-training tersebut merupakan upaya demokratisasi dan bersamaan dengan

merosotnya demokrasi liberal dan menonjolnya "ancaman" ideologi, sejak tahun 1966, cara training demokratisasi di PII berubah menjadi indoktrinasi ideo-logi. Musyawarah Kader dan Coaching Instruktur (MUKACI), 20-26 Agustus 1967 di Pekalongan membersitkan

kekhawatiran bahwa training-training PII terancam oleh kecenderungan "indoktrinasi" dan "dominasi" pelatih, ketimbang mengembangkan daya nalar, demokratisasi, tauhid,

pembebasan, persamaan dan persaudaraan. Sehingga MUKACI mengupayakan untuk "membuat proses kegiatan belajar menjadi menyenangkan sekali" dengan membangun suasana "fun" dalam pelaksanaan training agar tetap tumbuh semangat demokrasinya. Pembenahan proses kaderisasi PII terus berlanjut. Pada tanggal 1-6 April 1979 diadakan Pekan Orientasi Instruktur (POIN) di Cibubur, Jakarta. Kegiatan menghasilkan konsep-konsep untuk mensistematisir pemahaman training PII. Se-lanjutnya pada tanggal 17-21 Pebruari 1985 diselenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional di Bandar Lampung yang menghasilkan buku Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbaharui lagi, meliputi Basic Training, Panduan Mental Training, Panduan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP), dan Panduan Advanced Training. Selain buku panduan training, juga ditetapkan program kaderisasi yang disebut “Sebelas Bintang, Satu Matahari, plus Rembulan”. Program sebelas bintang terdiri dari “Training Alternatif” yang meliputi Studi Islam Awal Mula (SIAM) I, II, III, Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK) I, II, III, Latihan Hubungan Antar Manusia (LABUNSIA) I, II, III, dan Training Konvensional yang meliputi Leadership Basic Training (LBT), Mental Training, dan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). Program satu matahari adalah Leadership Advanced Training (LAT). Sedangkan program satu rembulan akan menyusul kemudian (karena rembulan hanya memantulkan sinar matahari). Pelaksanaan “Training Konvensional” dikoordinasi oleh kepengurusan tingkat wilayah dan bisanya diadakan pada saat liburan sekolah, kecuali jika sasaran pe-serta adalah mahasiswa, seperti untuk jenjang LAT. Sementara “Training Alternatif” diselenggarakan oleh

kepengurusan tingkat daerah untuk menjaring calon anggota dan calon peserta “Training Konvensional”.

Pada kepengurusan PB PII periode 1989-1992 mulai digulirkan Konsep Ta'dib untuk menjadi Sistem Kaderisasi PII. Namun bagaimana penjabarannya, sampai berakhirnya periode

kepngurusan tersebut belum terwujud. Setelah cukup lama dilakukan pembahasan secara informal akhirnya Konsep Ta'dib dibicarakan dan disempurnakan dalam forum Pekan Orientasi Takdib nasional (PORTANAS) pada tanggal 1-3 Maret 1997 di GOR Jati Diri Semarang. Melalui forum ini Konsep Ta‟dib secara resmi dijadikan sebagai Sistem Kaderisasi PII yang meliputi Training, Ta‟lim, dan Kursus. Hasil ini kemudian disahkan dalam Muktamar Nasional XXI PII pada tanggal 24-30 Mei 1999 di Jakarta.

Terakhir Sistem Kaderisasi PII dibahas dalam Lokakarya Instruktur Nasional (LIN), 20-26 Nopember 1998 di Udiklat PLN Pandaan, Pasuruan. Dalam forum ini ditetapkan Konsep Ta‟dib sebagai Sistem Kaderisasi PII yang di dalamnya juga mencakup Pola Kaderisasi di badan otonom, yakni Pola Kaderisasi Brigade PII dan Pola Kaderisasi Korps PII Wati

(Informasi lebih detil tentang Sistem Kaderisasi PII (Ta‟dib), bisa dilihat dalam bagian lain). Lambang PII

(7)

Ketika mengadakan pertemuan untuk mendirikan organisasi PII, Yoesdi Ghozali juga sudah menyiapkan lambang PII sekaligus dengan maknanya, yaitu :

- Warna Hijau (warna gambar), menunjukkan bahwa PII dalam mencapai cita-citanya menjadikan Islam sebagai lambang perdamaian.

- Warna Biru (warna isi segitiga), melambangkan kesetiaan PII pada cita-cita-nya. - Warna Merah Putih (warna pita), menunjukkan lambang kebangsaan Indone-sia.

- Bulan Bintang, menunjukkan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperju-angkan PII. - Kubah yang tinggi membubung dengan lengkungan yang membusung, melambangkan keagungan dan kebesaran Islam.

- Bangunan, memberi makna bahwa PII mendirikan organisasi di atas landasan bangunan yang kokoh dan kuat.

- Teratak tangga, menunjukkan bahwa PII dalam mencapai cita-citanya menyu-sun organisasi yang teratur rapi dalam melaksanakan perjuangan yang sistema-tis.

- Jumlah Bangunan (4) dan Teratak Tangga (7), menunjukkan tahun '47 (1947) saat berdirinya PII.

- Alas Segi Lima, berarti bahwa PII senantiasa mengajak anggotanya untuk me-nuntut ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

- Buku dan Pena, memberi makna bahwa PII senantiasa mengajak anggotanya untuk menuntut ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

- Segi Tiga, menunjukkan bahwa segala usaha yang dilakukan oleh PII memiliki tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada Allah SWT untuk mendapat ridha-Nya.

Kiprah PII

PII MERUPAKAN gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah sehingga se-nantiasa memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketiga bidang tersebut. Bentuk dari perhatian tersebut tentu saja berbeda dari wak-tu ke waktu, periode ke periode. Situasi dan kondisi ikut mempengaruhi respon PII terhadap masalah yang

melingkupi ketiga bidang tersebut. Pengembangan Budaya

PERHATIAN PII terhadap seni ditunjukkan dengan banyaknya lagu-lagu yang dimiliki PII. Selain itu, mulai Kongres VII PII acara tersebut selalu diikuti dengan kegiatan Porseni (Pekan Olah raga dan Seni). Demikian pula penyelenggaraan Konferensi-konferensi di tingkat

wilayah dan daerah. Yang cukup meriah dalam Porseni IV bersamaan dengan Muktamar Nasional X PII di Malang pada tahun 1964. Juara umum Porseni direbut kontingen PII Jawa Tengah yang mengirim kontingen tangguh dengan personalia antara lain GM. Sudharta (karikaturis), Arifin C. Noer (alm, sutradara), Dedy Sutomo (aktor), Budiman S. Hartojo, Nurul Aini, dan lain-lain.

Pada masa perlawanan terhadap rezim orde lama, PII memang banyak me-nampung pada seniman khususnya mereka yang ikut menjadi penandatangan Manikebu. Seperti Taufiq Ismail yang baru dipecat dari HMI karena ikut menandatangani Manikebu justru diundang hadir pada Konferensi Besar VIII PII tahun 1965 di Yogyakarta bersama Bur Rasuanto. Selain itu PB PII juga menerbitkan kumpulan puisi Taufiq Ismail, "Tirani dan Benteng". Kepedulian PII terhadap pengembangan seni budaya juga diwujudkan dengan pengembangan seni teater. Di beberapa tempat muncul Teater "Empat Mei" yang berkembang dengan baik. Perhatian terhadap masalah seni budaya juga diwujudkan melalui protes PII atas munculnya

(8)

"adegan kurang pantas" yang diperankan mendiang aktor S. Bono dalam film yang beredar tahun 1960-an.

Namun seiring dengan menguatnya "nafas politik" dalam gerakan PII, perhatian terhadap masalah seni budaya mulai menyurut. Sehingga banyak bakat-bakat seni para aktifis PII yang terbengkalai. Ketika berlangsung Muktamar Nasional XXI PII mulai dicoba lagi pementasan seni untuk memeriahkan kegiatan. Delegasi Jawa Barat melalui Teater Cob-cob Gerage yang diawaki para aktifis PII Cirebon, menampilkan kisah "Tapak-tapak PII di pentas Perjuangan Bangsa".

Mengingat PII sebagai sebuah gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah, maka perhatian PII terhadap seni budaya memang masih perlu ditingkatkan lagi. Beberapa kali kesempatan forum-forum nasional, Peringatan Hari Bangkit, dan sebagainya; apresiasi terhadap seni dan budaya ini telah mulai ditempatkan kembali pada proporsinya. Tak heran jika di berbagai tempat yang menjadi basis gerakan PII, terdapat kelompok-kelompok seni dan budaya yang dimotori oleh para pelajar dan kader-kader PII yang mempunyai minat, bakat dan kepedulian dalam bidang seni dan budaya. Di Wilayah Jakarta, misalnya, PD PII Jakarta Pusat

mempunyai Kelompok Nasyid. PD PII Jakarta Utara, memiliki Kelompok Teater Lenong Bocah, yang kerap melakukan pementasan pada acara-acara seremonial PII maupun lomba-lomba. Di komunitas Menteng Raya 58, tempat sekretariat PB PII dan PII Wilayah Jakarta berdiam, terdapat Kelompok Musik “Jiwa Merdeka” yang kerap melantunkan musikalisasi puisi dalam setiap pementasannya. Singkatnya, apresiasi terhadap bidang seni dan budaya ini telah mulai menemukan bentuknya, diilhami bahwa seni dan budaya dapat dijadikan sarana dakwah mensiarkan ajaran Islam dengan sangat estetis.

Pembinaan Masyarakat Pelajar

IKHTIAR untuk membina masyarakat pelajar sudah dimulai sejak 1950-an, de-ngan merintis yayasan-yayasan yang bersifat kesejahteraan bagi para pelajar. Misalnya PII berpartisipasi dalam pendirian Yayasan Asrama Masjid Syuhada (YASMA) di Yogyakarta, Yayasan Asrama Pelajar Islam yang mengelola Asrama Pelajar dan Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati (di Jalan Bunga) dan Asrama Mahasiswa dan Pelajar Islam Sunan Giri (di daerah Rawamangun) di Jakarta. Sampai kini kedua asrama tersebut masih berfungsi dengan baik sebagai tempat pembinaan kader, meski tidak langsung ditangani oleh PII.

Di Yogyakarta pernah juga didirikan Yayasan Bea Siswa Pelajar Islam oleh Cha-mim

Prawira dan Amir Hamzah Wiryosukarto pada tahun 1957/1958. Kemudian ada juga Yayasan Bintang Pelajar yang antara lain menangani pengiriman pelajar SLTA ke luar negeri melalui AFS (American Field Service). Lembaga ini dirintis oleh PII dan di-pimpin secara bergilir oleh mantan aktifis PII seperti Wartomo, Hariry Hadi, M. Harjadi, Taufik Ismail, Arif Rahman, Aida Jusuf Ahmad dan Yati Sofiati Mukadi.

Setelah sempat surut, seiring dengan surutnya aktifitas PII, sekarang PII tengah

menghidupkan kembali aktifitas pembinaan pelajar. Saat ini ada tiga sayap yang di-gunakan PII untuk berhubungan dengan pembinaan masyarakat pelajar. Pertama, Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII). Komite ini lahir ketika banyak pelajar yang terpaksa putus sekolah atau terancam putus sekolah, akibat kri-sis ekonomi yang cukup panjang di Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah menya-lurkan bea siswa bagi pelajar tingkat SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA. Di samping itu juga mengadakan kegiatan-kegiatan penunjang seperti Pesantren Kilat Pelajar di masa liburan dan advokasi pelajar.

(9)

Kedua, Crisis Centre fo Students (CCS).

Pelaksanaan kampanye dalam Pemilu 1999 yang banyak melibatkan pelajar, yang di antaranya sebenarnya belum memiliki hak pilih mendorong lahirnya CCS. Apalagi perkembangan menunjukkan para pelajar kadang menjadi korban dalam insiden-insiden selama kampanye. Untuk itu maka CCS berupaya menggalakkan kampanye agar pelajar tidak menjadi komoditas politik semata, tapi justru para politisi semestinya memiliki perhatian serius kepada para pelajar, sebagai aset masa depan bangsa. Ketiga, Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII). Diilhami pembentukan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), PII kemudian membentuk KA-PII untuk mengantisipasi perkembangan situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa kekerasan politik. Melalui KA-PII, hendak disuarakan aspirasi politik pelajar secara damai. Misalnya agar para politisi dalam suasana krisis ekonomi tidak hanya berebut kursi saja, tapi juga memperhatikan masalah pendidikan, serta persoalan penyelesaian kerusuhan di Ambon yang harus dilakukan sesegera mungkin, karena telah menyebabkan terlantarnya kegiatan belajar mengajar di sana, demikian juga persoalan Aceh yang terus berlarut-larut.

Belakangan, di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, aksi „turun jalan‟ PII melalui sayap KA-PII tersebut, semakin sering dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat reformasi. Beberapa kebijakan pemerintah soal pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang Komunisme, kebijakan luar negeri yang pro zionis-kapitalis dan mengabaikan solidaritas terhadap negara-negara muslim – terutama didalamnya

persoalan Palestina, kenaikan tarif angkutan umum, sistem pendidikan (kurikulum, penunggalan pembinaan lewat OSIS), anggaran pendidikan yang sangat rendah dan sebagainya, menjadi persoalan yang disikapi secara kritis oleh aktivis PII melalui jaringan aksi KA-PII. Jaringan aksi KA-PII mengoptimalkan partisipasi massa pelajar melalui simpul-simpul massa PII yang berada di berbagai lokasi atau basis sekolah dan pondok pesantren di Jabotabek. Dengan demikian, pendidikan politik terhadap pelajar telah dilakukan sedari dini melalui penyaluran aspirasi kritis mereka kepada pihak-pihak yang berwenang, terkait dengan berbagai isu/persoalan yang tengah terjadi di masyarakat.

Pada tanggal 6 Nopember 1999 bersamaan dengan Peringatan Hari Lahir Briga-de PII (Harla Brigade PII) ke-52 diresmikan pembentukan Perguruan Silat Beladiri Pelajar Islam Indonesia (PSBD-PII) untuk melatih ketahanan fisik ketrampilan bela diri para pelajar pada umumnya dan anggota PII pada khususnya. Dalam pengembangan selanjutnya PSBD-PII berada di bawah koordinasi Koordinator Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia (Korpus Brigade PII). Hubungan Internasional

SEGERA setelah berdiri, PII juga membuka perwakilan luar negeri. Mereka yang pernah menjadi perwakilan PII di luar negeri adalah Hasan Muhammad (Ame-rika Serikat), S. Arifin (Swiss), Shawabi (Mesir), Mukti Ali (Pakistan), Ilyas Ismed (Filipina), dan Emzita (Irak). Selain itu PII juga merintis program AFS (American Fields Service) di Indonesia memulai tahun 1956 dengan pengiriman tujuh orang pelajar ke Amerika Serikat. Termasuk dalam rombongan pertama ini adalah penyair Taufiq Ismail dan Z.A. Maulani. Mereka yang pernah mengikuti program ini antara lain Tanri Abeng (Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Kabinet Habibie) dan Arief Rahman (Kepala SMU Lab School). Selain itu ada juga peserta non PII, yaitu Ariel Haryanto (mantan dosen UKSW Salatiga). Pada masa

(10)

program ini dilanjutkan oleh Yayasan Bina Antar Budaya.

Pasang surut PII di tanah air juga mempengaruhi PII di percaturan internasi-onal. Kiprah PII di forum internasional menyurut. Baru mulai ada peningkatan aktif-itas di luar negeri pada permulaan 1990-an. Pada tahun 1990, PII ikut membidani berdirinya Persekutuan

Perhimpunan Pelajar-Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT) yang berkedudukan di

Malaysia. Dan saat ini, mengingat situasi Malaysia yang secara politis belum stabil, maka PII hendak mengupayakan agar kedudukan PEPIAT bisa dipindahkan ke Indonesia. Selain itu PII juga ikut berpartisipasi dalam Regional Islamic Da'wah of South East Asia And Pacific (RISEAP) dan International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO). Bahkan pada kongres IIFSO di Istambul, 1996, Ketua Umum PB PII periode 1995-1998 A. Hakam Naja, terpilih sebagai Financial Secretary.

Sekarang PII juga mulai merintis lagi pembukaan perwakilan luar negeri, dimulai dari Malaysia, Mesir, Australia, dan Yordania. Melalui pengurus perwakilan luar negeri ini PII mengusahakan beasiswa bagi anggotanya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Yang sudah berjalan adalah di International Islamic University (IIU) Malaysia dan Al-Azhar University di Kairo, Mesir. ?

KETUA UMUM PENGURUS BESAR (PB) dari periode ke periode: 1. Joesdi Ghazali (1947)

2. Noersjaf (1947-1948)

3. Anton Timoer Djailani (1948-1950), (1950-1952) 4. Ridwan Hasjim (1952-1954)

5. Amir Hamzah Wirjosoekanto (1954-1956) 6. Ali Undaja (1956-1958)

7. Wartomo Dwijuwono (1958-1960) 8. Thaher Sahabuddin (1960-1962) 9. Ahmad Djuwaeni (1962-1964)

10. Syarifuddin Siregar Pahu (1964-1966) 11. A. Husnie Thamrin (1966)

12. Utomo Dananjaya (1966-1969)

13. Hussein Umar (1966-1969), (1969-1973) 14. Usep Fathuddin (1969-1973)

15. Yusuf Rahimi (1973-1976)

16. Ahmad Joenanie Aloetsjah (1976-1973) 17. Masyhuri Amin Mukhri (1979-1983) 18. Mutammimul Ula (1983-1986) 19. Chalidin Yacobs (1986-1989) 20. Agus Salim (1989-1992)

21. Syafunnur Maszah (1992-1995) 22. Abdul Hakam Naja (1995-1998) 23. Djayadi Hanan (1998-2000) 24. Abdi Rahmat (2000-2002) 25. Zulfikar (2002-2004) 26. Delianur (2004-2006)

27. Muh. Zaid Markarma (2006-2008) 28. Nasrullah (2008-2010)

29. Muhammad Ridha (2010-2012) 30. Randi Muchariman (2012-2015)

(11)

PII dan Brigade PII pada saat timbulnya , adalah sebagai salah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah – pisahkan, keduanya adalah anak kembardari pergerakan revolusi 45 dengan tugasnya masing – masing yang tumbuh dengan sendirinya dan bukan karena dibuat-buat

apalagi dipaksakan.

Sebagaimana kita dapat memahami dari namanya, Brigade PII, berbentuk klasykaran / ketentaraan, ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Brigade PII berjuang saling bahu membahu dengan saudara perjuangan lainnya seperti : TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ), TRI Hizbullah, BPRI ( Baris dan Pemberontakan RI ), TRIP ( Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur ) Sabilillah, Tentara pelajar ketentaraan IPPI, TPI ( Tentara Pelajar Islam Aceh ), CM Corps – Mahasiswa, CP ( Corps Pelajar Solo ) dan

lain sebagainya.

Jika melihat saat peresmiannya lahir dari Brigade PII, dibandingkan dari lainnya emang agak terlambt secara Administratif lahir tahun 1947, sedangkan oknum-oknumnya sudah berjuang jauh sebelumnya, yang menamakan dirinya Pelajar / Brigade Pelajar, tetapi bukan berarti semangat jihad dan pejuang pelajar + mahasiswa ketinggalan. Brigade PII bukan pahlawan kesiangan, walau peresmian sudah agak terlambat dua tahun, sebagai mana telah dilontarkan orang-orang yang ingin menghilangkan hak hidup Brigade PII pada waktu itu, berkat pengakuan dari saudara – saudaranya dalam perjuangan fisik Brigade PII mempunyai saudara kembarnya yaitu TPI ( Tentara Pelajar Islam Aceh ), dengan anggotanya sebanyak 12 000 dan langsung dibawah komando Korpus Brigade PII ( pada waktu itu komando dipegang oleh Abdul Fatah Permana ). Diantara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah SH, Ismail Hasan Matarem SH.

LATAR BELAKANG

Pada awalnya gagasan Korps PII Wati lahir di Training Centre Keputerian PII se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 20-28 Juli 1963 di Surabaya. Suasana duka sangat mempengaruhi TC karena GPII baru saja dibubarkan (10 Juli 1963) dan ditambah bayang-bayang suram mengenai kemungkinan menyusulnya “pembubaran PII”. TC Keputerian tersebut diikuti oleh peserta dari PB, utusan wilayah-wilayah se-Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, serta dipandu oleh bagian Kader PB PII (Muhammad Husni

Thamrin, Hidayat Kusdiman, dan E. Basri Ananda).

Mengingat latar belakang yang heterogen, peserta training dibagi dalam tiga kelompok/group. Dalam TC berkembang kesadaran kuat untuk meningkatkan peranan dan kualitas kader / kepemimpinan PII Wati, serta menghapus citra negatif peran sebagai sekedar “etalage” atau “pengelola konsumsi”. Sementara fakta dan realita menunjukan bahwa kesempatan bagi puteri untuk mengembangkan diri dan berjuang di PII relatif lebih terbatas dan pendek. Beberapa peserta dari kelompok I (group Aisyah) yang terdiri dari Sri Samsiar (PB PII), Habibah Idris (PB PII), Chaerani Suty (Sumatra Utara), St Robiatun (Jogjakarta), Tuti Gitoatmodjo (Jawa Tengah), Nur Zahara Ansori (Sumatra Selatan), merumuskan gagasan pembentukan suatu wadah alternatif yang diharapkan mampu memacu / mempercepat proses kaderisasi kepemimpinan puteri yang selama ini banyak hambatannya. Inilah embrio gagasan mengenai Korps PII Wati, meski wujud konkrit lembaganya belum sempat dibicarakan lebih lanjut dalam TC itu. Realisasi gagasan itu kemudian dipelopori oleh bagian keputrian PW PII Jogjakarta Besar, yang membentuk Korps PII Wati Jogjakarta Besar pada akhir 1963.

(12)

Dalam sidang keputerian Muktamar PII X bulan Juli 1964 di Malang, disajikan 2 (dua) prasaran yang mengantarkan terbentuknya secara resmi Lembaga Korps PII Wati. Pertama dari PB PII oleh Sri Samsiar, dan kedua dari bagian keputerian PW PII Jogjakarta Besar yaitu

St. Wardanah AR, Masyitoh Sjafei dan Hafsah Said.

Tujuan Pembentukan

Apa yang ingin diwujudkan oleh Korps PII Wati dirumuskan dengan singkat dalam tujuannya yaitu: “Terbentuknya pribadi wanita Islam yang konsekwen terhadap

prinsip-prinsip Islam” (Peraturan Dasar Pasal III).

Adapun kondisi yang melatarbelakangi lahirnya Korps PII Wati tersirat dalam

Muqadimah Peraturan Dasar Korps PII Wati :

Bahwa perkembangan hidup dan prikehidupan umat Islam Indonesia di dalam menuju „Izzul Islam wal Muslimin telah sampai suatu taraf di mana Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai kader Revolusi dan Kader Umat Islam memegang peranan penting dan utama didalamnya. Bahwa dalam mengemban amanat tersebut, tidak berbeda tugas dan tanggung jawab antara Putra dan Puteri, kecuali sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Bahwa PII di dalam melaksanakan kewajiban tersebut, besarlah peranan PII Wati di dalamnya. Peranan ini perlu dipelihara, dikembangkan, dan dikekalkan, dengan menciptakan konkritisasi, harmonisasi, dan kristalisasi daripada warganya,…” (Prt Dasar Korps PII Wati, 1964).

Pembentukan Korps PII Wati tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan diri dari PII atau memisahkan PII-wan dan PII-wati secara organisatoris, seperti yang terjadi antara IPNU dan IPPNU. Hal ini ditegaskan dalam memori Penjelasan : “Dengan terbentuknya lembaga baru ini yang anggota dan pengurusnya adalah Khusus Puteri, sama sekali bukan untuk memisahkan diri dari anggota PII pun lebih dari organisasi PII secara keseluruhan. Tetapi dalam hal ini hanya terbatas akan spesialisasi penggarapan anggota. Diharapkan dengan adanya lembaga ini PII Wati akan mendapatkan kesempatan yang cukup banyak, kesempatan untuk mengembangkan bakat, kesempatan untuk berlatih, merasakan dan melaksanakan tanggungjawab, kesempatan untuk berdiri sendiri tanpa pengharapkan bantuan orang lain, sehingga dari wadah ini akan menghasilkan puteri-puteri Islam yang militan dan konsekwen terhadap prinsip-prinsip Islam”.(Memori

Penjelasan Peraturan Dasar Korps PII Wati, 1964).

Status Korps PII Wati adalah merupakan Badan Otonom dari bagian keputerian dalam kepengurusan PII, dan Ketua Bagian Keputerian langsung menjadi Ketua Korps PII Wati. Masa jabatan Korps PII Wati sesuai dengan masa jabatan pengurus PII yang setara (Prt Dasar Pasal IV dan IX). Selanjutnya, lembaga Korps PII Wati mempunyai kekuasaan penuh kedalam, sedang ke luar dilakukan oleh pengurus PII Bagian Keputerian. Di tiap-tiap kota hanya diperkenankan adanya Korps PII Wati yang dibentuk oleh instansi tertinggi yang ada di kota tersebut. (Memori Penjelasan Pasal IV dan V). Rapat Pleno PB PII pertama periode 1964-1966 yang dilangsungkan pada tanggal 6 September 1964, selain menetapkan Program Umum PII, antara lain juga menugaskan Sri Samsiar selaku Ketua IV untuk mengkoordinir Bagian Keputerian PB PII dan

menindaklanjuti pembentukan Korps PII Wati sebagai Keputusan Muktamar X. Susunan Personalia Bagian Keputerian PB PII Periode (1964-1966) pada awalnya

(13)

terdiri dari:

Ketua : St Habibah Idris

Wakil Ketua : Mismar Chatib Salami BA (kemudian menikah dan mengundurkan diri) Banyak sekali kendala dalam proses pembentukan Korps PII Wati di ibukota, karena sulitnya

mengakomodasi semua potensi PII Wati di DKI Jakarta, baik PB, Wilayah maupun Cabang, sementara kondisi di ibukota sendiri sangat kompleks. Namun akhirnya Korps PII Wati Jaya berhasil dibentuk dengan ketua yang pertama St. Habibah Idris (Ketua Bagian Keputerian PB

PII), dan dilantik oleh PB PII pada tanggal 15 November 1964.

Langkah Keluar Pertama

Mengawali kiprahnya keluar, Korps PII Wati Jaya aktif dalam kepanitiaan MUNAS GEMUIS (Generasi Muda Islam) yang berlangsung 19-26 Desember 1964 dan diwakili oleh Atifah Thaha, Sri Samsiar, Titi Djunaedi ( kemudian Ny. Titi Gomsoni), Tita Djunaedi (Kemudian Ny Husin Umar S). Munas Gemuis didukung oleh 20 Organisasi pemuda, pelajar dan Mahasiswa Islam dari seluruh Tanah Air. Hampir dalam setiap delegasi daerah yang hadir, terdapat fungsionaris PW PII. MUNAS GEMUIS menghasilkan kebulatan tekad dari seluruh ormas pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam. Korps PII Wati juga turut mensukseskan Pawai akbar ormas-ormas Islam 26

Desember 1964 dalam rangka penutupan MUNAS GEMUIS. MOBILISASI PII WATI MENJELANG GESTAPU/ 1965

Tidak berselang lama setelah TC/Up Grading PB PII usai, Bagian Keputerian PB PII menyelenggarakan kegiatan Basic Training dan Advance Training Puteri Nasional yang berlangsung pada tanggal 10-17 Januari 1965 di Tasikmalaya (Jawa Barat), yang diikuti oleh 60 peserta dari 8 Wilayah. Instruktur dari PB PII adalah : Sri Sjamsiar, St. Habibah Idris, St. Rabiatun dan Mismar Chatib. Utusan dari Jakarta adalah Nurhaida Hasan, Endang Kartiningsih, dan Ruminah. Pada saat training berlangsung terjadi devaluasi rupiah, yang mengakibatkan banyak utusan peserta yang nyaris tidak dapat pulang karena bekalnya tidak mencukupi.

Bersamaan dengan berlangsungnya Training di Tasikmalaya tersebut, terjadi peristiwa “Kanigoro”, yaitu terror PKI terhadap kegiatan Mental Training PII di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur (13 Januari 1965). Mental Training yang dipimpin oleh Anis Abiyoso itu diserbu PKI pada malam hari. Para pesertanya dipukuli dan kemudian diarak keliling desa dengan iringan caci maki. Peristiwa semacam itu terjadi di beberapa tempat. Agaknya merupakan semacam ajang “test case” bagi PKI untuk persiapan gerakan kudeta yang sebenarnya. Praktis sejak awal tahun 1965, suhu politik yang didominasi PKI semakin membara dan aksi-aksi komunis makin brutal. Konflik dan benturan fisik PII dengan

golongan komunis dibeberapa tempat sering terjadi.

Pada tanggal 26-28 Februari 1965, Korps PII Wati Jaya melakukan konsolidasi dengan melaksanakan TC dan Up Grading kepengurusan di desa Jati, Tangerang. Dalam TC kepengurusan tersebut Menko Hankam / Kasab Jendral Nasution memberikan amanat tertulis, yang dibacakan oleh Letkol Isa Idris. Selain pembahasan Program Kerja, juga dibahas masalah pengunduran diri St. Habibah Idris selaku Ketua Umum Korps PII Wati Jaya / Ketua Keputerian PB PII, yang kemudian digantikan oleh Wifra Ilyas BA semula adalah

(14)

aktifis PW PII Sumbar. Setelah Muktamar PII yang ke X 1964 di Malang, Ia pindah ke Jakarta karena SK penempatan sebagai Guru di Jakarta. Kemudian Ia ditarik dalam formasi

kepengurusan Korps PII Wati Jaya yang pertama.

Susunan Bagian Keputerian PB PII berubah menjadi sebagaimana berikut :

Ketua : Wifra Ilyas BA

Wakil Ketua : Mismar Chatib

Arifah Thaha

Perubahan Personalia Bag. Keputerian PB PII dengan sendirinya menyebabkan perubahan susunan kepengurusan Korps PII Wati Jaya, dengan Wifra Ilyas sebagai Ketua

Umum yang kedua.

Pembentukan dan mobilisasi Korps PII Wati digiatkan di Wilayah-Wilayah, khususnya Wilayah Jakarta dan sekitarnya (Ibukota, Bekasi, Krawang). Korps PII Wati Jaya (masih di bawah keputerian PB PII) berpartisipasi aktif dalam berbagai aktifitas dan penggalangan potensi massa Ibukota. Korps Genderang Puteri PII dibentuk dengan Pimpinan Ruminah dari PGAA Mampang Prapatan (April 1965). Di samping itu Korps PII Wati aktif dalam peringatan Hari Kartini, peringatan ke-18 HUT PII (Mei 1965), maupun dalam pawai besar Peringatan Ulang Tahun Divisi Siliwangi di Karawang ( 12 Mei 1965). Sejak peristiwa Kanigoro di awal 1965, PII sering melakukan pengerahan massa yang melibatkan ribuan anggota / kader PII yang militan dari seluruh pelosok Jakarta dan sekitarnya. Untuk pengadaan konsumsinya dengan dirintisnya Dapur Umum Menteng Raya dengan mula-mula menyediakan air minum untuk massa PII yang tidak terhitung jumlahnya. Kemudian dilanjutkan dengan pengadaan makanan sederhana bagi aktifis PB PII di Menteng Raya 58, dengan bantuan aktivis Korps PII Wati seperti Arifah Thaha, Fauziah, Nurhaida Hasan, Ruminah dan lain-lain. Kegiatan itu kemudian berkembang menjadi dapur umum yang menyediakan nasi bungkus untuk menopang perjuangan menumbangkan Rezim Orde Lama.

Korps PII Wati Jaya (masih dibawah PB PII) turut membantu terlaksananya Konferensi Wilayah Jakarta pada 15 Maret 1965 dan Ketua Umum Terpilih Gomsoni Yasin dari Cabang Tanggerang. Dalam Personalia PW PII Jakarta periode 1965-1967 tersebut, kader-kader PII Wati hasil penggodokan PII Wati Jaya mengisi berbagai posisi, mulai staf Ketua PW (Nuraeni), Sekertaris (Endang Kartiningsih) bahkan di setiap bagian ada PII Watinya.

Training Keputerian sudah banyak diadakan diantaranya : Training Keputerian Tingkat Dasar di Jombang Jawa Timur, di Bangkalan Madura, Kediri, Gresik dan Surabaya. Kurang dari dua bulan sebelum meletusnya Peristiwa G-30-S/PKI, PII menyelenggarakan Konferensi Besar VIII pada tanggal 28 Juli s.d 3 Agustus 1965 di Kota perjuangan Jogjakarta. Tema dari Konbes VIII adalah “Tandang Ke Gelanggang Meski Seorang”. Konbes PII tersebut jadi ajang Show of force PII dengan menggelar sekaligus 7 aktifitas simultan PII. Ketujuh aktifitas tersebut adalah: Konferensi Luar Biasa Korps PII Wati, Musyawarah Kerja Majlis Dakwah, Latihan Kader Nasional, Seminar Nasional Brigade Serba Guna PII, Up grading / Humas PII serta apel Siaga dan Pawai Akbar. Dalam Konferensi Luar Biasa PII Wati diputuskan beberapa usulan

(15)

penyempurnaan Peraturan Dasar (Pasal III dan IX) serta Memori Penjelasan (Pasal II dan IX) Korps PII Wati untuk diajukan pada forum Mubes Korps PII Wati mendatang (1966), serta

beberapa ketentuan lain, antara lain:

Mengenai status Korps PII Wati dalam Memori Penjelasan ditegaskan bahwa : Lembaga ini memiliki kekuasaan penuh di dalam batas lingkungan kota / daerah setempat. Hubungan hirarki kepengurusan dalam PII diadakan melalui Bagian Keputerian PII.

Dalam Ketentuan lain ditegaskan bahwa :

Tiap pengurus Korps PII Wati diperkenankan membuat Stempel sendiri yang berlaku dalam

batas lingkungan kota / daerah setempat.

Bila dianggap perlu oleh pengurus setempat, maka Korps PII Wati sebagai Lembaga otonom dapat mewakili PII dalam hubungan dengan organisasi luar / lembaga resmi. Disamping itu juga ditetapkan Program Umum Korps PII Wati sebagai berikut : Membentuk serta memelihara kader-kader wanita Islam. Mempertinggi mutu kepemimpinan PII Wati sebagai kader umat. Mempertinggi / meningkatkan keinsyafan akan fungsi wanita Islam yang sebenarnya. Memelihara ukhuwah Islamiyah di kalangan generasi muda Wanita Islam pada umumnya.

Mengintensifkan usaha-usaha bagian Keputerian.

Sedangkan usul-usul penting yang diajukan dalam Konferensi Luar biasa antara lain agar Korps PII Wati mempelopori terbentuknya Badan Kerjasama Wanita Islam dan

terselenggaranya Musyawarah Wanita Islam Se-Indonesia.

REORGANISASI PII WATI DI IBUKOTA

Sebagai tindak lanjut dari keputusan Konferensi Luar Biasa Korps PII Wati di Jogjakarta dan menghadapi situasi setelah meletusnya G-30-S/PKI (1965), Struktur Korps PII Wati di Jakarta mengalami reorganisasi dan dipecah dua menjadi :

Koordinator Pusat Korps PII Wati Pusat (PB PII)

Korps PII Wati Jaya (Wilayah Jakarta)

Pemecahan Struktur Korps PII Wati Pusat di Jakarta tersebut dimaksudkan untuk menghindari benturan program dan agar penggarapan operasional Korps PII Wati di Ibukota lebih efisien, serta supaya jelas apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Bagian Keputerian PB PII membentuk Koordinator Pusat Korps PII Wati yang berfungsi sebagai “Tim Pemikir Nasional” dengan susunan ( sampai Muktamar PII XI/ 1966):

Ketua : Wifra Ilyas BA

Sekertaris : St Habibah Idris

Bendahara : Fauziah

Pendidikan : Mismar Chatib

Kesejahteraan : Arifah Thaha

Kerumahtanggaan : Fauziah

Penerangan/Humas : St. Habibah Idris

Kader : Sri Sjamsiar

St. Rabiatun ( di Jogja )

Anggota (unsur PII Wati DKI): Titi Nurhayati Djunaedi

Nurhaida Hasan

(16)

Sedang bagian Keputerian PW PII Jakarta untuk pertama kali membentuk kepengurusan Korps PII Wati Jaya periode 1965-1967, yang dilantik oleh PW Jakarta pada 22 November 1965 (bersama dengan peringatan Isra Mi‟raj), dengan susunan sebagai berikut :

Ketua Umum : Titi Nurhayati Djunaedi BA

Ketua I : Nurhaida Hasan

Ketua II : Wilfa

Sekertaris I : Endang Kartiningsih

Sekertaris II : Eneng Nawiroh

Sekertaris III : St. Aisyah

Bendahara : Nurhayati Ibrahim

Usaha Keuangan : Umainah Siddiq

Kader : Ruminah E.R

Maknum Rosna

Kerumahtanggaan : Farida Hanim

: Maryati Nasution

Kesejahteraan : Ainurrokhmah

Amanah

Kesenian : Armillah Windawati

Fadwa Bakri

Olahraga : Ramlah

Sjamsiah

Pendidikan/Dakwah : Umainah Siddiq

Henny

Pengerahan Massa : Nuraini Yusuf

Sumaryati

Pengurus Korps PII Wati Jaya (PW Jakarta) kemudian menyelenggarakan TC Kepengurusan pada tanggal 16-19 Desember 1965 di Desa Lengkong Tanggerang. Kegiatan Korps PII Wati Jaya selanjutnya berpusat di kamar 4, yang sejak pertengahan 1965 di tempati oleh Enen Nawiroh (adik dari Nurhasanah, Ketua Umum Panitia Pembangunan Gedung Pertemuan Pemuda Islam Menteng Raya 58), kemudian oleh Ny. M.S. Hidajat (aktifis PII Wati Bekasi

yang melanjutkan studi di Jakarta).

Pada waktu dilangsungkannya Musyawarah Kerja Sekber Golkar bulan Desember 1965, di Cibogo, selain hadir utusan PB PII (Husni Thamrin dan Utomo Dananjaya) juga hadir wakil-wakil dari Korps PII Wati, yang terdiri dari Wifra Ilyas, Habibah Idris, Arifah Thaha, dan

Mismar Chatib.

Dalam susunan aksi-aksi awal Orde Baru / 1966, Bagian Keputerian PB PII / Korpus Korps PII Wati tetap melakukan Konsolidasi Intern, antara lain melaksanakan kegiatan nasional Training Center / Briefing Korps PII Wati se-Indonesia di Bayongbong Garut, Jawa Barat, Tanggal 1-7 Januari 1966. Kegiatan tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Briefing

Nasional Brigade PII.

Dalam Briefing tersebut disampaikan prasaran Ibu St. Rogayah Buchari tentang “Pedoman Korps PII Wati dalam media Dakwah Islam”. Briefing juga berusaha merumuskan usulan

tentang “ Kriteria Pimpinan Wanita Islam”.

(17)

Konsolidasi KAPPI yang dimotori oleh PB PII. Pembentukan PII Wati digiatkan di Cabang-cabang. Setiap kepengurusan PII Wati terbentuk, dianjurkan mengadakan Training Centre.

PARTISIPASI PENEGAKAN ORDE BARU

Pada mulanya PII Wati lebih banyak berfungsi mendampingi dan aktif digaris belakang. Namun kemudian kami merasa ditantang oleh kawan-kawan putra untuk lebih banyak berperan aktif ke muka. Pada 30 Oktober 1965, Korps PII Wati menghubungi HMI Wati untuk mengadakan pertemuan dengan ormas-ormas wanita Islam dalam rangka penggalangan aksi di kalangan Wanita. Selanjutnya sebagai hasil loby kami, Rapat KAP Gestapu 3 November 1965 memutuskan penyelenggaran demonstrasi kaum wanita ibu kota dan meminta Korps PII Wati dan HMI Wati sebagai pelaksananya. Pada 5 November 1965 diadakan pertemuan ormas-ormas Wanita di kantor PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) di jalan. DR.Sam Ratulangi 1, yang dihadiri oleh Muslimat NU, Wanita Islam, Wanita Katolik, Wanita Marhaenis (Osa-Usep), Aisyiyah, Gerwapsi, Wanita Perti, Korps PII Wati, dan HMI Wati. Dibentuk Panitia Pelaksana Demonstrasi wanita Ibukota, dengan Ketua Ny. H. Asmah Syahroni (Muslimat NU) dan

Sekertaris Sri Sjamsiar (Korps PII Wati)

Apel dan demonstrasi wanita Ibukota dilaksanakan 8 November 1965, dan diikuti 25.000 masa wanita / pemudi / pelajar puteri / mahasiswi. Menurut catatan Korps PII Wati Jaya. Massa terbanyak dari PII Wati diiringi Drumband PII Wati. Mula-mula diadakan apel di lapangan Banteng dengan tiga pembicara, yaitu : Wakil golongan Agama (Ny. Asmah Syahroni), Wakil golongan Nasionalis (Ny Gani Suryo Kusumo) dan Wakil Pemudi (Nn Anieswati). Massa kemudian bergerak menuju Markas KOSTRAD di Jl Merdeka Timur, dengan didahului Korps Genderang PII Wati Jakarta Raya. Sejak KAPPI terbentuk, Korps PII Wati selalu berpartisipasi dalam setiap aktivitas KAPPI. Dalam Pleno Pusat KAPPI, PII diwakili oleh Husin Umar Sastranegara, sedangkan PII Wati oleh Sri Sjamsiar. Dengan cepat di beberapa daerah dibentuk KAPPI. Dari Korpus PII Wati Jaya Fungsionaris Korpus Korps PII Wati yang aktif membina Brigade Ade Irma adalah

Habibah Idris dan Arifah Thaha.

Ketika aksi penentangan terhadap orde lama meningkat, berbekal pengalaman di KAP Gestapu dalam mengkoordinir wanita, Korps PII Wati mengambil inisiatif untuk mengundang organisasi-organisasi wanita untuk bergabung membentuk KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia). Undangan pertemuan pendahuluannya (6 dan 9 Maret 1966) ditandatangani oleh Ketua IV Sri Sjamsiar dan Ketua Keputerian PB PII Wifra Ilyas. KAWI berhasil dibentuk pada tanggal 9 Maret 1966, bertempat di Sekertariat PB PII Jl. Menteng Raya 58, dengan titik tolak antara lain”Mendampingi secara aktif setiap aksi pemuda, pelajar, dan Mahasiswa dengan jiwa keibuan dan kasih sayang bimbingan dan tuntunan” serta ”Berusaha mengajak seluruh Wanita Indonesia, untuk bersama-sama melaksanakan tugas dalam segala bidang, guna terwujudnya keadilan, kebenaran dan kemakmuran yang diridhai oleh Allah SWT”. KAWI dipimpin oleh Presidium dan sebagai Sekertaris Umum

dipercayakan pada Wifra Ilyas dari Korps PII Wati.

MUSYAWARAH BESAR KORPS PII WATI (1966)

(18)

Cabang PII, meskipun belum semua daerah membentuk Korps PII Wati. Beberapa keputusan penting yang dihasilkan, antara lain: Dalam bidang organisasi disyahkan penyempurnaan Peraturan Dasar Memori Penjelasan Korps PII Wati (yang sebagian besar merupakan usulan dari Konferensi Luar Biasa Korps PII Wati 1965 di Jogja). Dan Krtiteria Pimpinan Wanita Islam. Lembaga Korps PII Wati berbentuk horizontal dan Lokal (Prt Dasar Pasal III), dan hanya didirikan PW dan PC (Memori Penjelasan Pasal III) Mengenai Program ditetapkan Program Kerja Nasional, dan program minimal untuk keputerian tingkat PB dan PW. Disamping itu Mubes mengamanatkan kepada departemen Keputerian PB PII untuk segera menyelenggarakan Seminar Sistem dan Metode Training Keputerian pada Periode 1966-1969, mengusulkan pembentukan Tim Mubaligah Puteri, memperbanyak Training khusus puteri, mempelopori Muktamar Wanita Islam, mendorong partisipasi aktif PII Wati dalam KAPPI dan Brigade PII. Kepada Pemerintah antara lain dihimbau agar mengintensifkan Pendidikan Agama, menetapkan Pakaian Olah raga puteri yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia dan Agama, segera terciptanya UU Perkawinan, bertindak tegas terhadap mereka yang menyalahgunakan arti dan pengertian

Poligami dalam Agama Islam.

KHATIMAH

Gagasan Korps PII Wati pada awalnya lahir di TC Keputerian PII (1963) di Surabaya, dan kemudian terealisasikan menjadi Keputusan Muktamar PII X (1964) di Malang, sebagai Badan Otonom Bagian Keputerian PII dengan Tujuan : “Terbentuknya Pribadi Wanita Islam yang konsekwen terhadap Prinsip-prinsip Islam”. Korps PII Wati bangkit sebagai upaya menjawab tantangan situasi, didorong oleh kesadaran dan tanggung jawab, serta hasrat untuk meningkatkan partisipasi dan peranan PII Wati dalam proses perjuangan PII dan Umat Islam. Setiap zaman menghadirkan tantangan yang berbeda, tantangan yang dihadapi PII pada masa dulu berbeda dengan tantangan sekarang dan masa depan. Apa yang akan dan harus dilakukan generasi masa kini, erat kaitannya dengan apa yang menjadi tantangan masa sekarang dan masa depan. Namun pemahaman secara proporsional terhadap masa silam dan sejarah yang mempunyai fungsi pendidikan, rujukan, serta inspirasi akan membuat orang lebih arif dan bijak menentukan arah menghadapi tantangan masa depan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan semoga semangat dan idealisme dalam memperjuangkan “Izzul Islam Wal Muslimin” berkesinambungan dari masa ke masa. Amin.

Referensi

Dokumen terkait