• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUDY FACHRUDDIN S.Ag P I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUDY FACHRUDDIN S.Ag P I"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

I P

(2)

Judul buku

:

Wawasan Mazhab Syafi’iy: jilid satu

Penulis

: Rudy Fachruddin S.Ag

Penerbit

: Penerjemah Kitab Arab

Tahun Rilis

: 2019

©PENERJEMAH KITAB ARAB:

Menerima layanan penerjemahan untuk kitab-kitab berbahasa

Arab dalam berbagai keilmuan, hubungi: 0823 0200 5838.

Follow IG: Penerjemah_kitab_Arab

Bagi yang ingin berdonasi, hubungi nomor diatas…

Dilarang keras mereproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini

dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun serta

memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari penulis.

(3)

DAFTAR ISI

BAGIAN 1: ISTILAH DALAM TULISAN IMAM SYAFII ... 3

1. ّ بحأ ... 3

2. سأبّلا ... 4

3. هيفّ ريخّلا ... 5

4. هركأ ... 5

Bagian 2: Istilah untuk ragam pendapat dalam Mazhab ... 7

1. ّ صنلا dan صوصنملا ... 7

2. لاوقلأا ... 10

3. Pendapat Qadim dan Jadid ... 11

Bagian 3: Status pendapat qadim dalam mazhab ... 13

Bagian 4: kontradiksi antara pendapat Jadid ... 16

Bagian 5: Memahami perkataan Imam Syafi’iy , ... 17

ّ بهذمّوهفّثيدحلاّحصّاذإ... 17

Bag 6: mengenal istilah wujuh dan Thuruq ... 23

1. Istilah هجولأا, هوجولا dan ناهجولا ... 23

2. Mengenal istilah قرط dan ناقيرط ... 24

Bag, 7 : Istilah dalam mengunggulkan dan melemahkan pendapat ... 25

1. Istilah رهظلأا ... 25 2. Istilah رهاظلا ... 27 3. Istilah رهشلأا ... 28 4. Istilah روهشملا ... 28 5. Istilah حصلأا ... 29 6. Istilah حيحصلا dan باوصلا ... 30

(4)

7. Istilah بهذملا ... 31 8. Istilah حجرلأا ... 32 9. Istilah ىوقلأا ... 33 10. Istilah هبشلأا ... 34 11. Istilah برقلأا ... 34 12. Istilah سيقلأا ... 35 13. Istilah نسحلأا ... 35 14. Istilah طوحلأا ... 36 15. Istilah لىولأا ... 37 16 . اذكّراتخملا ... 38 17. Istilah اذهّىلعّلمعلا atau هفلاخّىلعّلمعلا ... 38 18. Istilah اوقفتا, ّهبّموزجمّاذهو, هيفّفلاخّلاّاذهو. ... 40 19 . Istilah هيلعّعمجمّاذه ... 40 20. Istilah نكل ... 40

Bag, 8 : istilah dalam فيعضت (menilai lemah suatu pendapat) ... 41

1. Istilah ليق, ىكح, لاقي ... 41 2. Istilah اذكّلوقّىف, ّ صنّىف, dan ةياورّىف ... 43 3. Istilah هجوّىف, ذاشّهجو, dan هاوّهجو... 45 4. Istilah لوقّوأّهجوّىف ... 46 5. Istilah دعبيلا dan نكميو ... 47 6. Istilah هيفّفعضّعم... 47 7. Ungkapan ءيشبّسيل ... 48 8. Ungkapan لئاقل... 48 9. Ungkapan اذكّنلافلّعقو ... 48 10. Ungkapan اذكفّاذهّ حصّنإ ... 48 11. Ungkapan نلافّمعز ... 49

(5)

12. Ungkapan ف سعتلا ... 49

13. Ungkapan لهاستّهيفو ... 49

14. Ungkapan حماستلا ... 49

(6)

1

نيعمجأ هباحصأو هلآ ىلعو دمحم انديس ىلع ملاسلاو ةلاصلاو نيملاعلا ّ بر لله دمحلا

دعب امأ

Kami mengucapkan puji dan syukur yang sebesar-besarnya atas terselesaikannya buku ini. Buku ini merupakan e-book ketujuh yang telah diselesaikan oleh penerjemah kitab Arab. Lima e-book pertama telah kami rilis secara gratis, namun mulai dari buku keenam dan seterusnya, kami akan mengenakan sedikit biaya untuk semua e-book, hal ini terpaksa kami lakukan untuk menunjang operasional penulisan dan penerjemahan buku.

Buku ini merupakan seri pertama dari buku wawasan mazhab syafi’I yang menitikberatkan pembahasan pada istilah-istilah yang umum digunakan dalam kitab-kitab fiqih mazhab syafi’iy. Ada banyak Pemilihan istilah tertentu yang digunakan oleh para ulama yang memiliki makna-makna spesifik dan berbeda satu sama lain. Ketidakmampuan memahami istilah-istilah tersebut dapat menimbulkan kesulitan dan kesalahpahaman dalam membaca berbagai literatur fikih mazhab Syafi’iy. Sebagian orang terkadang menyamakan beberapa istilah seperti pendapat Shahih, Ashah, zhahir, Azhar, masyhur dan lain-lain sebagai pendapat kuat, padahal masing-masing istilah tersebut mengandung spesifikasi jenis pendapat yang berbeda.

Kami melihat wawasan berkaitan dengan khazanah mazhab Syafi’iy adalah sesuatu yang jaran

(7)

g diketahui oleh banyak umat Islam di Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara penganut mazhab Syafi’iy terbesar di dunia. Keringnya wawasan tentang khazanah mazhab juga berakibat pada semakin masifnya kampanye-kampanye pengkerdilan mazhab di tengah masyarakat. Kami berharap kehadiran e-book ini dapat semakin memperkenalkan umat Islam dengan mazhab Syafi’i. untuk seri selanjutnya kami akan membahas wawasan berkaiatn dengan kitab-kitab dan tokoh-tokoh dalam mazhab Syafi’iy.

Penulis

(8)

ISTILAH DALAM MAZHAB SYAFI’IY,

BAGIAN 1: ISTILAH DALAM TULISAN IMAM SYAFII

Ada beberapa istilah tertentu yang digunakan oleh Imam Syafi’iy berkaitan dengan pembahasan tentang hukum yaitu:

1. ّ بحأ

Istilah ini digunakan oleh Imam Syafi’iy untuk menunjukkan disukainya agar melakukan atau meninggalkan suatu perkara. Contohnya seperti dalam masalah melepas anjing atau burung yang sudah dilatih untuk berburu, imam Syafi’iy berkata:

اّلجرلاّلسرأّاذإو

ّايسانّمسيّملّنإفّ,ّ

مّسيّنأّهلّتببحأّ ن

يم

لعملاّهرئاطّوأّهبلكّملسمل

ّ

ّحبذيّملسملاّ

نلأّ.لكأّةحيبذلاّ

فّةيمستلاّ يسنّولّوهفّ,ةاكذلاكّامهلتقّناكّاذإّاه

ن

نلأّ.لكأّلتقف

ّاللهّمساّلىع

ّ لجوّ

زع

ّ يسنّنإو

1

ّ

Artinya: jika seorang laki-laki muslim melepaskan anjingnya atau burungnya yang telah dilatih (untuk berburu), maka aku menyukai agar ia membaca bismillah. Seandainya ia lupa membaca bismillah, dan anjingnya itu membunuh buruan, maka buruan itu boleh untuk dimakan. Karena dalam hal ini terkaman hewan terlatih dianggap sama seperti penyembelihan. Dalam masalah penyembelihan, jika seseorang lupa membaca bismillah, hasil sembelihan tetap boleh dimakan.

1Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid III, Tahqiq: Rif’at Fauzi, (Mesir: Dar al

(9)

Karena pada hakikatnya seorang muslim itu pasti menyembelih atas nama Alah, meskipun ia lupa membaca bismillah.

Pada penjelasan di atas, Imam Syafi’iy menggunakan redaksi

ّ نأّ هلّ تببحأ

ّ

مّسي yang berarti beliau menyukai agar saat melepas hewan terlatih untuk

berburu hendaknya membaca Bismillah, begitu juga dalam penyembelihan. Namun ini tidak bermakna wajib.

Contoh lainnya adalah dalam masalah tatacara penyembelihan dimana disebutkan:

ّامّكرتّدقفّ,حباذلاّلعفيّملّ نإوّ.كلذّنكمأّاذإّةلبقلاّلىإّه

جوتّنأّةحيبذلاّ

فّ بحأو

ن

كلذّاهمرحيّلاوّ,هلّ بحتسا

2

ّ

Artinya: ketika menyembelih aku menyukai agar orang yang menyembelih menghadap kiblat jika memang memungkinkan untuk itu. Jika penyembelih tidak melakukannya, mak ia telah meninggalkan sesuatu yang disukai untuk ia lakukan. Tetapi sembelihan itu tidak menjadi haram baginya.

Pada penjelasan di atas, imam Syafi’iy menggunakan redaksi

ّ

فّ بحأو

ن

ةلبقلاّلىإّه

جوتّنأّةحيبذلا yang bermakna bahwa menghadap kiblat adalah sesuatu

yang “disukai untuk dilakukan” dalam penyembelihan.

2. سأبّلا

Ungkapan ini digunakan oleh Imam Syafi’iy untuk menunjukkan bolehnya melakukan sesuatu tanpa berakibat kepada konsekuensi apapun, tidak makruh dan tidak pula disukai (sunnah), contohnya ketika beliau menjelaskan tentang masalah Zakat fitrah:

تاضورفملاّتاقدصلاّنمّاه

يغوّاجاتحمّّناكّاذإّاهذخأيوّرطفلاّةاكزّى

دؤيّنأّسأبّلاو

ّ.

3

ّ

Artinya: Tidak masalah jika seseorang membayar zakat fitrah dan mengambilnya jika ia sedang membutuhkan, begitu juga sedekah wajib lainnya.

2Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid III, hal. 620. 3Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid III, hal. 166.

(10)

Keterangan imam Syafii di atas menggunakan redaksi

سأبّ لاو dst

menunjukkan bahwa tidak masalah jika orang yang berstatus pembayar zakat fitrah juga memperoleh bagian dari zakat fitrah, jik ia memang masuk salah satu golongan yang berhak menerimanya. Hal ini berarti menunjukkan hukum bolehnya hal tersebut, tanpa adanya konsekuensi makruh atau sunnah.

3.

هيفّ

يخّلا

Ungkapan ini digunakan oleh Imam Syafi’iy untuk menujukkan makna haramnya sesuatu. Contohnya seperti perkataan beliau:

ّوأّ,مّسمّلجأّلىإّةكمبّاهلثمّهيطعيّنأّلىعّ,ةنيدملابّرانيدّةئامّلجرلاّلجرلاّ يطعيّنأّ يخّلاو

ّفلسلاّعيبّلاوّفلسّلاّاذهّ

نلأّ,لجأّ

يغب

ّ’

هبّهذخأّكلّناكّام

4

Artinya: Tidak boleh seseorang memberikan seratus dinar di madinah kepada seseorang, kemudian orang itu harus membayarnya di Mekkah dengan ukuran yang sama, sampai jangka waktu tertentu, atau tanpa batasan waktu. Karena praktek ini tidak termasuk jual beli salaf (jual beli pesanan)

Keterangan di atas menggunakan redaksi

نأّ

يخّلاو

dst, maksudnya adalah larangan melakukan jual beli emas dengan emas jika tidak kontan.

4.

هركأ

Menurut para ahli fiqih, jika imam Syafi’iy menggunakan redaksi tersebut, maka ia memiliki beberapa macam maksud, yaitu:

a. Menunjukkan makna haramnya sesuatu. Pada banyak tempat, Imam Syafi’iy menggunakan redaksi ini untuk maksud haram. Misalnya perkataan Imam Syafi’iy

دجسمّ ر

يقلاّلىعّ ن

نبيّنأّهركأو

5

ّ

(11)

Artinya: aku membenci jika di atas kubur itu dibangun mesjid”. Penggunaan redaksi

هركأو

di sini beliau maksudkan sebagai haram.

b. Menunjukkan makna bahwa seandainya sesuatu itu itu ditinggalkan, maka maslahatnya lebih besar, sekalipun ia tidak sampai masuk kategori sesuatu yang dilarang. Contohnya adalah perkataan imam Syafi’iy sebagai berikut:

ّضراقيّنأّملسمللّهركأو

ّملّلعفّنإوّ,ّمارحلاّعويبلاّللاحتساوّابرلاّنمّافوخّهكراشيّوأّ

ناصرنلا

ن

للاحلابّلعفيّدقّه

نلأّ,كلذّخسفأ

6

Artinya: aku membenci jika seorang muslim melakukan kerjasama atau perserikatan dengan orang-orang nashrani, karena khawatir akan terjadinya riba atau legalisasi terhadap bentuk jual beli yang diharamakan. Namun, seandainya pun hal tersebut dilakukan, maka ia tidak akan menjadi akad yang rusak. Karena bisa jadi ia tetap dapat melakukan praktek jual beli yang halal.

c. Menunjukkan sesuatu itu berstatus makruh Tanzih. Maksudnya lebih baik sesuatu itu ditinggalkan dari pada dilakukan. Meskipun melakukannya tidak dihitung sebagai dosa. Contohnya:

هيلعّةيدفّلاوّكلذّتهركّكلذّدعبّوأّسمشلاّعلطتّنأّلىإّةفلادزمّنمّرخأتساّنإو

7

ّ

Artinya: jika seseorang terlambat dari Muzdalifah sampai terbit matahari atau lewat dari itu, mak itu dimakruhkan, sekalipun ia tidak terkena fidyah atas hal tersebut.

Makna yang sepadan dengan redaksi

هركأو

di atas terkadang juga diungkapan dengan redaksi ّ بحأّمل misalnya dalam masalah bepergian atau safar pada hari jumat. Dimana imam Syafi’iy mengatakan:

رجفلاّدعبّةعمجلاّمويّّرفاسيّنأّ,ّرايتخلإاّ

فّهلّبحأّمل

ن

8

ّ

5Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid II, hal. 632. 6Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid X, hal. 509. 7Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al-Umm, jilid III, hal. 549.

(12)

Artinya: tidak disukai jika sengaja memulai bepergian pada hari jumat setelah fajar. Di sini berarti maksudnya adalah makruh Tanzih.

Itulah beberapa ungkapan yang sering digunakan oleh imam Syafi’iy dan maksudnya. Semoga penjelasan singkat ini dapat membantu dalam membaca dan mengkaji tulisan-tulisan imam Syafi’iy atau keterangan yang dinukil dari beliau. Contoh-contoh yang disebutkan di atas hanya sebagai penjelasan untuk maksud dari sebuah ungkapan, adapun jika hendak membahas masalah tersebut secara mendalam, maka dapat dicari kajian khusus untuk masalah tersebut.

Bagian 2: Istilah untuk ragam pendapat dalam

Mazhab

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan mazhab Syafi’iy. Berbagai istilah tersebut telah dijelasakan oleh Imam Nawawi terkait maksud dan pengertiannya. Hasil kajian imam nawawi tersebut telah menjadi pegangan oleh para ulama Mazhab Syafi’iy sejak abad ketujuh hijriyah hingga sekarang dalam penggunaan istilah-istilah sandaran pendapat mazhab. Pada tulisan ini, kita akan membahas istilah صنلا dan لاوقلأا , makna dan penggunaannya.

1. ّ صنلا dan صوصنملا

Istilah ّ صنلا dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iy digunakan untuk menunjukkan

pendapat atau keterangan langsung dari imam Syafi’iy sendiri tentang suatu masalah tertentu. Pendapat langsung dari Imam Syafi’iy digambarkan dengan istilah ّ صنلا untuk menunjukkan tingginya derajat pendapat tersebut dalam

khazanah mazhab Syafi’iy. Mengingat ia adalah pendapat langsung dari imam Mazhab.

(13)

Jika ditinjau dari sisi kebahasaan, lafazh ّ صنلا memiliki makna terangkat tinggi sampai ke sumbernya. Misalnya jika dikatakan

ا

صنّثيدحلاّتصصن

Maka kalimat di atas artinya, aku angkat berita tersebut sampai kepada pihak yang menceritakannya. Atau dalam kalimat lain misalnya

اّءاسنلاّ صن

ا

صنّسورعل

Kalimat di atas bermakna, perempuan menaikkan pengantin ke atas pelaminan. Dengan kata lain menaikkan atau mengangkat nya ke tempat yang tinggi agar dapat dilihat. Dengan demikian kata ّ صنلا secara bahasa memang bermakna menaikkan atau mengangkat sesuatu ke tempat yang tinggi. Sehingga dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’iy, pendapat langsung imam syafi’iy diistilahkan dengan ّ صنلا .

Bentuk penggunaan istilah ّ صنلا dalam mazhab Syafi’iy adalah:

اذكّ صنلاو, ّ صنلاّلىع, عىفاشلاّهيلعّ صن ini menunjukkan bahwa pendapat tersebut

sama seperti pendapat Imam Syafi’iy

ّ صنللّ فلاخمّ اذه ini menunjukkan bahwa suatu pendapat berbeda dengan

pendapat Imam Syafi’iy.

Imam Nawawi mengatakan bahwa jika disebutkan ّ صنلا , maka itu artinya

pendapat dari Imam Syafi’iy dan adanya pendapat lain yang berbeda dengan itu dalam masalah tersebut yang statusnya Dhaif 9. Dengan demikian istilh ّ صنلا

digunakan untuk menunjukkan pendapat Imam Syafi’iy dalam sebuah masalah tertentu, dimana terdapat pendapat lainnya yang berbeda dengan itu.

Adapun istilah صوصنملا juga memiliki makna yang hampir sama dengan istilah ّ صنلا , namun istilah صوصنملا memiliki makna lebih umum. Ia dapat

digunakan untuk menunjukkan pendapat imam Syafi’iy, ia terkadang juga

9Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘umdat al-Muftiin, (Beirut: Dar al-Minhaj,

(14)

digunakan untuk pendapat atau wujuh yang bukan dari imam Syafi’iy tetapi statusnya Rajih dan Mu’tamad.

Contoh penggunaan istilah ّ صنلا Imam Nawawi adalah:

ّىدتقاّولو

ّهسفنّةلاصّرخآّّدجسّّماملإاّدجسيّملّنإّ,هئادتقاّدعببّاهسّنمبّقوبسم

ّ صنلاّلىع

10

Artinya: jika seorang makmum yang masbuq mengikuti seorang Imam yang mengalami kealpaan dalam shalatnya, kealpaan ini terjadi saat makmum sudah mengikuti imam, maka seandainya imam pada akhir shalatnya tidak melakukan sujud sahwi, hendaknya si makmum sujud sahwi pada akhir shalatnya sendiri berdasarkan nash.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa pendapat di atas merupakan pendapat Imam Syafi’I, tetapi terjadi khilaf dalam masalah tersebut, dan pendapat kuat dan yang diamalkan adalah sebagaimana pendapat di atas, sedangkan pendapat yang menyelisihinya adalah pendapat yang lemah dan tidak diamalkan.

Adapun contoh penggunaan istilah صوصنملا adalah penjelasan Imam Nawawi tentang hokum shalat berjamaah:

ةيافكّضرفّاه

نأّ:ّصوصنملاّ

حصلأاّ:تلق

11

Artinya: menurut pendapat saya, pendapat yang Ashah dan Manshus bahwasanya hukum shalat berjamaah itu fardhu kifayah.

Keterangan di atas bermakna dalam masalah hukum shalat berjamaah itu terdapat khilaf pendapat, baik dari qaul imam Syafi’iy atau pun wajh ulama Ashab. Dan pendapat yang kuat dan dimalkan adalah hukumnya fardhu kifayah.

Di dalam kitab al-Minhaj, imam Nawawi menggunakan redaksi ّ صنلا sebanyak 18 kali, adapun istilah صوصنملا disebutkan sebanyak 13 kali.12

10 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘umdat al-Muftiin, hal. 112. 11 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘umdat al-Muftiin, hal. 118. 12Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 73

(15)

2. لاوقلأا

Istilah لاوقلأا dan لوق digunakan untuk menunjukkan dua atau beberapa

pendapat Imam Syafi’iy tentang suatu masalah. Kedua pendapat tersebut bisa jadi dua-duanya berstatus pendapat qadim, atau dua-duanya berstatus pendapat jadid, atau dapat juga salah satunya berstatus pendapat qadim dan satunya lagi berstatus jadid. Dua pendapat tersebut bisa jadi telah ditarjihkan salah satunya atau pun tidak.13

Penggunaan istilah لاوقلأا menunjukkan adanya khilafiyah dalam masalah

tersebut, dalam khilafiyah tersebut ada lebih dari dua pendapat dari imam Syafi’iy, dan diantara beberapa tersebut telah dirajihkan salah satunya oleh para ulama Ashhab atau dari keterangan Imam Syafi’iy sendiri. Adapun jika disebutkan disebutkan dengan redaksi ّن يلوق maka menunjukkan ada dua pendapat dari Imam

Syafi’iy tentang sebuah masalah.

Contoh penggunaannya dalam kitab al-Minhaj adalah:

ّ,كلملاّليزيّفصرتّضبقملاّنهارللاّسيلو

لاوقأّهقاتعإّ

فّنكل

ن

فنيّاهرهظأّ,

ّمرغيوّسروملاّنمّذ

انهرّهقتعّمويّهتميق

14

Artinya: orang yang menggadaikan barang tidak boleh mempergunakan barang gadai untuk pemakaian yang dapat menghilangkan kepermilikannya terhadap barang tersebut (seperti menjualnya). Namun jika barang yang digadai itu adalah budak, ada beberapa qaul terkait boleh tidaknya memerdekakannya. Qaul yang Azhhar adalah jika ia termasuk orang yang punya kemampuan, maka akad memerdekan budak yang sedang digadai tersebut hukumnya sah, tetapi ia harus mengganti nilai seharga budak tersebut pada hari ia memerdekakannya sebagai ganta barang gadaian.

13 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Tahqiq:Muhammad Najib

al-Muthi’iy, jilid I, (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.th), hal. 107.

(16)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa dalam hal boleh tidaknya memerdekakan budak yang berstatus sebagai barang gadaian terdapat beberapa pendapat dari Imam Syafi’iy, sehingga disebut dengan

لاوقأ.

Di dalam kitab al-Minhaj, imam Nawawi menggunakan redaksi لاوقلأا sebanyak 16 kali, adapun istilah ّن يلوق disebutkan sebanyak 21 kali.15

3. Pendapat Qadim dan Jadid

Istilah Qadim dan Jadid adalah dua istilah yang mewarnai perkembangan mazhab Syafi’iy, pendapat atau لوق imam Syafi'iy sendiri juga ditinjau dengan dua periodeisasi tersebut, apakah ia termasuk pendapat Qadim atau Jadid.

a. Pendapat Qadim

Pendapat Qadim merupakan pendapat Imam Syafi’iy saat berada di Iraq sebelum beliau pindah ke Mesir. Pendapat tersebut dapat berupa tulisan maupun fatwa beliau. Pendapat tersebut banyak yang masih dirujuk dan ada pula yang tidak lagi demikian.16 Di antara para perawi pendapat-pendapat dan fatwa imam

Syafi’iy saat di Iraq adalah

• Imam Ahmad Ibn Hanbal (W 241 H)

• Abu Tsaur Ibrahim Ibn Khalid (W 240 H)

• Abu ‘Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Za’farany (W 248H)

• Abu ‘Aly al-Husain Ibn ‘Aly al-Karabisy (W 248H)

Dalam kitab Minhaj al-Thalibin redaksi al-Qadim disebutkan sebanyak 28 kali.17

15 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 71.

16 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 108. 17 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 59.

(17)

b. Pendapat Jadid

Pendapat jadid adalah pendapat Imam Syafi’iy saat berada di Mesir baik sesuatau yang ditulis atau pun fatwa beliau.18 Para perawi pendapat jadid imam

Syafi’iy adalah:

• Isma’il Ibn Yahya al-Muzany (W 264 H)

• Yusuf Ibn Yahya al-Buwaithy ( W 231H)

• Rabi’ Ibn Sulaiman al-Murady (270 H)

• Rabi’ ibn Sulaiman al-Jayzy (W 256H)

• Harmalah Ibn Yahya (W 219 H)

• Yunus Ibn ‘Abd al-A’la (W264 H)

• Abdullah Ibn Zubair al-Makky al-Humaydy (W 219H)

• Muhammad Ibn Abdullah Ibn ‘abd al-Hakam (W214 H) beliau di kemudian hari berpindah ke mazhab Maliky.

Menurut penjelasan al-Khatib al-Syarbiny, tiga nama pertama dalam daftar di atas adalah yang paling berpengaruh dan dominan dalam periwayatan mazhab. Adapun sisanya hanya meriwayatkan dalam jumlah yang lebih terbatas.19 Al-Nawawi juga menyebutkan bahwa periwayatan dari Muzany, Buwaithy dan al-Murady lebih diutamakan dari pada periwayatan Rabi’ al-Jaizy dan Harmalah.20

18 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 55.

19 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, Tahqiq: Ali

Muhammad Mu’awwadh, (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), hal. 108.

20 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi,ّTahdzib al-Asmawa al-Lughah, jilid, I, (Beirut: Dar al-Kutub

(18)

Dari segi kuantitas periwayatan, al-Rabi’ al-Murady adalah yang paling banyak menyampaikan periwayatan dari Imam Syafi’iy, bahkan Imam Syafi’iy sendiri mengatakan bahwa Rabi’ merupakan muridnya yang paling hafizh,21 dalam

waktu yang lain Imam Syafi’iy mengatakan bahwa rabi’ merupakan perawi tulisan Imam Syafi’iy. Dalam khazanah mazhab Syafi’iy jika disebutkaan al-Rabi’ secara mutlak maka maksudnya adalah Rabi’ al-Murady. Adapun Rabi’ al-Jayzi selalu disertakan dengan al-Jaizy.

Dalam kitab Minhaj, ada 75 tempat yang disebutkan dengan redaksi al-Jadid. 22

Bagian 3: Status pendapat qadim dalam mazhab

Apakah pendapat qadim itu diamalkan dan dihitung sebagai bagian dari mazhab Syafi’iy? Ada sebuah keterangan langsung dari imam syafi’iy tentang pendapat qadim beliau, dimana imam Syafi’iy berkata:

ّ

ننعّهاورّنمّّ لحّ نفّلعجأّلا

23 ّ

Artinya; aku tidak menghalalkan ada orang yang meriwayatkannya (qaul qadim) dari ku.

Namun para ulama memahami keterangan imam Syafi’iy tersebut bahwa yang dilarang adalah sebagian besarnya saja, tidak seluruhnya. Sebagaimana penjelasan imam nawawi, “sesungguhnya mazhab Qadim adalah pendapat yang

21 Abu Bakar Ibn Hidayatullah al-Husaini, Thabaqat al-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar Ifaq

al-Jadidah, 1982), hal. 24.

22 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 58.

(19)

telah dirujuk darinya (ditarik kembali), dan juga tidak diamalkan lagi, karena sebagian besar pendapat di dalamnya berstatus demikian”. 24

Secara umum, qaul Qadim itu terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Pendapat qadim imam syafi’iy dimana beliau telah menyatakan pendapat yang berbeda dalam mazhab jadid, keadaan seperti ini menjadi khilaf di kalangan ulama fiqih mazhab Syafi’iy.

a. Menurut jumhur, pendapat qadim seperti ini telah ditarik kembali dan tidak dijadikan sebagai landasan berfatwa, ia tidak diamalkan dan tidak dihitung sebagai mazhab Syafi’iy. Imam Nawawi mengutip keterangan dari Imam Haramain, “menurut saya, pendapat-pendapat Qadim itu tidak dihitung sebagai mazhab Syafi’iy, karena dalam pendapat jadidnya imam Syafi’iy telah menyatakan pendapat yang berbeda dari itu. Sebuah pendapat yang telah ditarik kembali oleh seseorang, maka tidak dapat lagi dikatakan sebagai mazhab (pegangan) orang tersebut”.25

b. Sebagian ulama mazhab Syafi’iy menyatakan bahwa pendapat qadim tidak dianggap sebagai pendapat yang telah ditarik kembali. Imam Nawawi mengatakan, “sebagian ulama mazhab mengatakan jika seorang mujtahid menyatakan sebuah keterangan yang berbeda dengan pendapat sebelumnya, maka ia bukanlah menarik kembali pendapatnya yang pertama, akan tetapi ia dianggap memiliki dua pendapat”. Namun Imam Nawawi mengomentari perkataan tersebut sebagai sesuatu yang aneh, hal ini tak ubahnya seperti dua keterangan Syariat yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, maka kita tentu saja harus berpegang pada pendapat yang kedua.26

2. Pendapat qadim dimana tidak terdapat pendapat jadid yang menyelisihinya, dan tidak dibantah dalam pendapat jadid, maka pendapat qadim tersebut

24 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 108. 25 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 109. 26 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 109.

(20)

dapat dijadikan landasan fatwa, dapat diamalkan dan dihitung sebagai mazhab Syafi’iy. Imam Nawawi berkata, “sesungguhnya pendapat qadim itu bukan bagian daripada mazhab Syafi’iy, atau dianggap sebagai pendapat yang telah ditarik kembali dan tidak dijadikan sebagai landasan dalam berfatwa, namun yang dimaksud di sini adalah pendapat qadim yang telah dinyatakan pendapat yang berbeda dalam pendapat jadid. Adapun pendapat qadim yang tidak direvisi dalam pendapat jadid, maka ia dihitung sebagai mazhab Syafi’I, dijadikan landasan berfatwa dan tidak dianggap sebagai pendapat yang telah ditarik kembali. Ada banyak pembahasan yang masuk dalam kategori ini”.27

3. Pendapat Qadim yang didukung oleh Hadis Shahih , maka ini dapat diamalkan dan dihitung sebagai mazhab Syafi’iy. Ia juga dijadikan landasan dalam berfatwa. Al-Razi meriwayatkan sebuah perkataan Imam Syafi’iy dari Harmalah Ibn Yahya, “setiap pendapat ku dimana terdapat hadis Shahih yang menyelisihinya, maka sungguh hadis itu lebih utama, dan jangan kalian takid pada pendapt ku tersebut”.28 Keterangan Imam Syafi’iy yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Ibn Katsir

Imam Nawawi berkata, “sesungguhnya mazhab Syafi’iy adalah keterangan Imam Syafi’iy dalam pendapat Jadid, begitu juga pendapat Qadim yang didukung oleh Hadis Shahih, maka ia juga diperhitungkan dan dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’iy.29

27Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 109. 28 Muhammad Ibn Abi Hatim al-Razy, Adab al-Syafi’iy wa manaqibihi, hal. 147. 29 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 110.

(21)

Bagian 4: kontradiksi antara pendapat Jadid

Jika ada dua pendapat Jadid Imam Syafi’iy yang saling bertentangan, maka perlu diperhatikan sebagai berikut:

• Jika dua pendapat tersebut tidak diketahui urutan penyampaiannya, dan tidak diketahui adanya keterangan yang jelas terkait tarjih salah satu keduanya, maka wajib mengadakan kajian untuk melakuakn tarjih diantara keduanya. Hal ini tentu saja berlaku bagi orang yang sampai pada kapasitas mufti yang ahli tarjih pendapat. Jika ia bukan ahli tarjih, maka harus bersikap netral hingga ia menemukan adanya keterangan tarjih dari ulama.30

• Jika diketahui bahwa dua pendapat jadid tersebut disampaikan pada waktu yang berbeda, maka seorang mufti mesti mengambil dua sikap. Pertama, beramal dengan pendapat yang paling terakhir jika ia mengetahuinya. Kedua, beramal dengan mana yang dirajihkan oleh imam Syafi’iy seandainya tidak diketahui mana yang lebih akhir diantara dua pendapat tersebut.31

30 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 111.

31 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 111., lihat juga:

(22)

Bagian 5:

Memahami perkataan Imam Syafi’iy ,

ّ ر

نهذمّوهفّثيدحلاّ

حصّاذإ

Pernyataan Imam Syafi’iy yang berbunyi

ّ ر

نهذمّوهفّ ثيدحلاّ

حصّ اذ

إ

adalah sesuatu yang cukup akrab diketahui oleh banyak umat Islam. Namun, sayangnya ada banyak pihak baik sengaja atau tidak sengaja memahami pernyataan tersebut dengan cara yang keliru. Pernyataan ini harus dipahami sesuai petunjuk dari ulama yang paham betul mazhab Syafi’iy, baik murid beliau adalah para ulama punggawa penerus mazhab Syafi’iy.

Imam Subky sebagai salah satu ulama besar dalam Mazhab Syafi’iy menjelaskan beberapa poin penting dari perkataan Imam Syafi’iy di atas, yaitu:32

1. Kata اذإ di sini menunjukkan makna umum untuk setiap hadis shahih dalam keadaan apapun

2. Keberadaan alif lam pada kata ثيدحلا di sini menunjukkan makna umum bagi kata tersebut, sehingga hadis di sini berlaku untuk periwayatan ulama Hijaz, Kufah, Bashrah atau Syam. Sebagaimana penjelasan imam Syafi’iy kepada Imam Ahmad yang diriwayatkan Oleh Thabrany, “kalian lebih paham tentang hadis-hadis Shahih, jadi jika kalian tahu mengenai hadis Shahih tertentu, beritahu kepada kami! Baik ia berasal dari Kufah, Basharah atau Syam”.33 Hal ini disebabkan ada sebagian ulama yang tidak

mengamalkan hadis penduduk Iraq, Imam Suyuthi mengatakan, “ada sebagian kalangan daripada ulama yang tidak menganggap selain hadis dari Hijaz saja, oleh sebab itu imam Malik mengatakan bahwa jika sebuah hadis datang dari riwayat hijaz, sungguh telah hilang kualitasnya.34 Sedangkan

32 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 105. 33 Muhammad Ibn Abi Hatim al-Razy, Adab al-Syafi’iy wa manaqibihi, hal. 148.

34 Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawy Syarh Taqrib al-Nawawy, jilid I, Tahqiq:

(23)

Imam Syafi’iy mengatakan, “jika sebuah hadis yang tidak memiliki asal pendukung dari riwayat Hijaz, sungguh telah hilang inti kualitasnya”.

3. Perkataan Imam Syafi’iy ّ رنهذمّ وهف di sini menunjukkan bahwa ia berpendapat dengan hadis tersebut.

4. Setiap ulama itu memiliki usul dan kaidah dalam membangun mazhab mereka, oleh sebab itu terkadang mereka menolak sebagian hadis, misalnya dalam mazhab maliki yang lebih mengunggulkan praktek amalan penduduk madinah, atau dalam mazhab Hanafi yang menetapkan Syarat tertentu untuk hadis-hadis Ahad. Adapun dalam mazhab Syafi’iy tidak ada kaidah tertentu yang membatasi pemberlakuan hadis.35

Berdasarkan penjelasan imam Subky di atas, perkataan Imam Syafi’iy ّحصّاذإ ّ ر

نهذمّ وهفّ ثيدحلا tidak boleh dipahami secara serampangan untuk

menabrak-nabrakkan mazhab Syafi’iy dengan hadis. perkataan imam Syafi’iy tersebut justru menekankan penggunaan hadis sebagai dalil dalam Mazhab Syafi’iy itu mendapatkan porsi yang lebih besar dibanding kaidah yang berlaku dalam sebagian mazhab yang lain. karena dalam mazhab Syafi’iy tidak ada kaidah atau Syarat yang membatasi penggunaan hadis.

Selain itu kita tidak boleh sembarangan membenturkan suatu pendapat imam Syafi’iy dengan hadis yang terkesan saling bertentangan. Imam Syafi’iy sendiri besar kemungkinan juga mengetahui keberadaan hadis tersebut, namun beliau memiliki takwil atau pemahaman sendiri terhadap zhahir hadis tersebut. Atau ada kemungkinan Imam Syafi’iy mengetahui adanya hadis lain yang lebih kuat sanadnya dibandingkan hadis tersebut, atau ada hadis lain yang dilalah (petunjuknya) yang lebih jelas dan tegas, atau masih ada hadis lain yang memperinci atau mempersempit makna hadis tersebut. Atau ada kemungkinan sebuah hadis itu bertentangan dengan prinsip dasar dalam agama yang sudah pasti, sehingga imam Syafi’iy tidak mengamalkan atau berpendapat dengan hadis tersebut.

35 Taqiyuddin al-Subky, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthaliby: Idza Shahha al-Hadits fahuwa

(24)

Dengan demikian, saat kita menemukan adanya hadis yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’iy, tidak boleh serta merta kita katakan bahwa hadis Shahih tersebut adalah mazhab Syafi’iy dan mengesampingkan pendapat mazhab Syafi’iy yang sudah ada. Justru kita harus melakukan kajian dan analisa yang mendalam terhadap masalah tersebut dan mempelajari penjelasan secara detail dalam kitab imam Syafi’iy dan muridnya. Apakah hadis tersebut ikut dibahas dalam rumusan hukumnya atau tidak. Jika hadis tersebut sudah dibahas, lantas apa yang menyebabkan mereka tidak mengamalkannya? Dengan demikian, baru kita dapat menemukan argumentasi yang tepat dalam mazhab Syafi’iy tentang suatu masalah.

Imam Nawawi ketika membahas tentang perkataan Imam Syafi’iy di atas, beliau berkomentar “memang dalam prinsip para ulama pendahulu mazhab kita, jika dalam sebuah masalah mereka menemukan ada sebuah hadis, lalu dalam mazhab syafi’iy menyalahi hadis tersebut, maka mereka akan lebih mengamalkan hadis dan menjadikannya sebagai landas dalam berfatwa. Namun hal yang demikian sangat jarang terjadi”. 36

Pernyataan Imam Nawawi di atas menunjukkan bahwa sepanjang zaman, para ulama azhab Imam telah membuat kajian mendalam terhadap berbagai hadis dalam sebuah masalah, dalam kasus hadis-hadis yang bertentangan dengan mazhab, tidak banyak yang membuat mereka merevisi kesimpulan mazhab Syafi’iy. Padahal para ulama mazhab termasuk Imam Nawawi sendiri adalah orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang hadis.

Perkataan Imam Syafi’iy tidak boleh dipahami bahwa setiap menjumpai sebuah hadis Shahih, maka kita langsung mengamalkannya. Membandingkan hadis dengan produk ijtihad ulama adalah wilayah orang yang memiliki kemampuan berijtihad, ia juga harus melakukan kajian terhadap berbagai literatur kitab mazhab Syafi’iy

Imam Ibn Shalah mengatakan bahwa mengambil sebuah hadis yang bertentangan dengan mazhab Syafi’iy untuk kemudian membuat perbandingan diantara keduanya, hal ini merupakan suatu upaya yang sangat sulit dan hanya

(25)

sanggup dilakukan oleh segelintir orang saja. Bahkan kata beliau orang yang selama ini meninggalkan pendapat mazhab karena memilih mengamalkan hadis yang dinilai bertentangan dengannya, justru mereka ternyata mengambil sikap itu karena tidak cukup dalam menelaah pemahaman hadis tersebut dalam khazanah mazhab Syafi’iy. Ibn Shalah mengambil contoh kasus Musa Ibn Abi al-Jarud yang memilih mengamalkan hadis

ّ

ُ

مو

ج

ُ

ح َم

ْ

لا

ْ

وّ ُم ِجا

َ

ح

َ

لاّ َر

ْ

ط

َ

ف

ْ

أ

َ

ّ

"Telah batal puasa orang yang berbekam dan orang yang dibekam."

Hadis ini dinilai bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’iy yang menyatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Padahal nyatanya Ibn Abi al-Jarud tidak menelaah argumentasi Imam Syafi’iy bahwa hadis tersebut telah dinasakh oleh hadis yang lain.37

Al-Imam Ibn Khuzaimah berkata, “aku tidak menemukan adanya sunnah rasululah Saw terkait dengan halal haram yang diabaikan oleh Imam Syafi’iy”. Padahal Ibn Khuzaimah adalah seorang ulama yang sangat luas wawasan dan pengetahuan hadisnya.38

Berdasarkan rangkaian penjelasan para ulama di atas, kita seharusnya dapat mengambil sikap, bahwa mengamalkan sunah rasulullah Saw adalah kewajiban setiap muslim yang tidak dibantah oleh siapapun. Namun, bukan berarti kita dapat serampangan membenturkan dan menyalahkan berbagai ijtihad ulama yang sekilas bertentangan dengan sebuah hadis tertentu. Hal ini khususnya seringkali terjadi pada orang yang salah memahami keterangan Imam Syafi’iy ّذإ ّ ر

نهذمّوهفّثيدحلاّحص.

Hal yang sama juga berlaku pada mazhab yang lain, pada dasarnya kita memahami bahwa tidak mungkin mereka sembarangan meninggalkan beramal dengan sebuah hadis Shahih, padahal mereka mengetahuinya. Sebagai contoh imam malik tidak beramal dengan hadis tentang khiyar majelis berikut ini:

37 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid I, hal. 105.

38 Usman Ibn Abdurrahman Ibn Shalah, Adab al-Mufty wa al-Mustafty, Tahqiq: Muwaffiq

(26)

َّمهُن ِمّ ٍد ِحاْ َوّ ُّلُكفّ ِعَ ْيَبْلاِبّ ِناَعِياَبَت ُمْلاّ َعَياَبَتّا َذِإَّمهل َس َوّ ِهْيلَعَّ للَّاُّ ه لى َصّ ِه للَّاّ ُلو ُس َرّ َلاه قَ ّ ِه ِعْيَبّ ْن ِمِّراَي ِخلاِبّاْ ّا َمه ُع ْيُ بَّ نوُ كُ يّ ْوَ أّاَ ق َّرَ فَتَيّ ْمَ لّا َمَ ّ َبج َوَّ دْقَفّ ٍراَ َي ِخّ ْن َعّا َم ُه ُعْيَبّ َناكّاَ ذ ِإَ فّ ٍراَ َي ِخّ ْن َع ّ. ّ َلاقّ ِهِتَ يا َو ِرّ ي َِ فّ َر َمن عّ ي ِرنُ أَّ نُ باّْ داَ زَ ِّهْيَلِإَّع َجَرّ َّم ُ ثّة َّيا نَهُّ س َمََ فّ َماَ قَّ هُ لي ِقَ يُّ لََّ نْ أَّ دا َرَ أَفَّ لًاج َرّ َعُ ياَ بّاَ ذ ِإَّ ناَ كَ فّ ٌع ِفاَ نَ ّ

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika dua orang telah melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya boleh melakukan khiyar selagi belum berpisah, atau keduanya boleh melakukan khiyar (dari awal), jika keduanya telah menyepakati khiyar tersebut, maka jual beli telah sah." Ibnu Abu Umar menambahkan dalam riwayatnya; Nafi' mengatakan; "Apabila Ibnu Umar bertransaksi dengan seseorang, kemudian dia tidak mau membatalkan transaksinya, maka berdiri dan berjalan pelan-pelan lalu kembali kepadanya." (HR: Muslim no.1531/2823).

Imam Malik sendiri mengakui bahwa riwayat tersebut Shahih, akan tetapi Imam Malik tidak mengamalkannya karena berpegang pada dasar yang menurut beliau lebih kuat yaitu amalan penduduk Madinah.

Dalam mazhab Syafi’iy sendiri praktek dimana pendapat pribadi Imam Syafi’iy ditinggalkan dan beralih pada pendapat berbeda yang dinilai lebih sesuai juga sebenarnya terjadi. Contohnya adalah sebagai berikut:

a) Pendapat pribadi Imam Syafi’iy menyebutkan bahwa hukum Tarji’ (membaca dua kalimat Syahadat sebanyak dua kali secara sirr sebelum membacanya secara jihar) dalam azan adalah rukun. Azan tidak sah jika tidak melakukan hal tersebut, pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi’iy oleh al-Qadhi Husain dan al-Baihaqy. Namun demikian, pendapat yang dishahihkan di dalam mazhab adalah ia hukumnya sunnah, disini para ulama mazhab Syafi’iy telah beralih dari pendapat imam Syafi’iy dengan berpegang pada hadis Shahih yang tidak menyebutkan adanya Tarji’ di dalamnya.39

b) Pemahaman terkait yang dimaksud dengan Shalat al-Wustha di dalam Shalat. Al-Imam al-Mawardi dalam kitab al-Hawy al-Kabir mengatakan bahwa Imam Syafi’iy berpendapat maksudnya adalah Shalat subuh. Adapun dalam beberapa hadis Shahih disebutkan

(27)

maksudnya adalah Shalat ‘ashar, dalam hal ini pendapat mazhab berpegang kepada yang sesuai dengan hadis.40

Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany memberikan sebuah penjelasan yang sangat jelas berkaitan dengan perbandingan antara pendapat Imam Syafi’iy dengan hadis Shahih. Beliau menjelaskan: “jika seorang pengikut mazhab Syafi’iy menemukan adanya hadis Shahih yang berseberangan dengan pendapat mazhabnya. Berlaku ketentuan sebagai berikut:41

• Seandainya yang bersangkutan memiliki kemampuan ijtihad yang lengkap dalam masalah tersebut, maka ia hendaknya mengamalkan hadis terseut dan meninggalkan pendapat mazhab, dengan syarat jika memang Imam Syafi’iy jelas diketahui tidak pernah membahas dan mengupas hadis tersebut.

• Jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan ijtihad dalam masalah tersebut, akan tetapi ia menemukan adanya para imam ulama Ashab dalam mazhab yang mengamalkan hadis tersebut, maka ia boleh taklid pada ulama tersebut dan mengamalkan hadis.

• Jika ia tidak menemukan adanya imam ulama Ashab yang mengamalkan hadis tersebut, dan ia berkaitan dengan permasalahan yang bukan ijmak, maka menurut al-Subky yang lebih baik adalah mengamalkan hadis.

• Jika ia berkaitan dengan ijmak ulama mazhab, maka hendaknya ia jangan mengamalkan hadis.

40 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid III, hal. 64.

41 Lihat: Ibn Hajar al-‘Asqalany, Tawaly al-Ta’sis li Ma’aly Muhammad Ibn Idris, Tahqiq:

(28)

Bag 6: mengenal istilah wujuh dan Thuruq

1. Istilah هجولأا, هوجولا dan ناهجولا

Istilah-istilah di atas digunakan oleh para ulama fiqih Syafi’iy untuk menunjukkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama mujtahid muntashib dalam mazhab Syafi’iy yang menggunakan prinsip dan kaidah ushul mazhab yang telah dirumuskan oleh Imam Syafi’iy.42

Istilah هجولأا dan هوجولا digunakan untuk perkara tertentu dimana terdapat perbedaan pendapat antar para ulama muntashib mazhab, dimana setidaknya ada tiga atau lebih pendapat yang berbeda yang muncul. Sedangkan istilah ناهجولا digunakan untuk kasus dimana hanya ada dua pendapat yang berbeda yang muncul.

Dalam kitab Minhaj ada delapan tempat yang menggunakan istilah al-Wajhainy dan ada tiga masalah yang menggunakan redaksi al-Awjah.43 Contoh penggunaan kata Awjah adalah penjelasan Imam Nawawi dalam masalah pembunuhan berikut ini:

ّ,هاجوأّمهيلعّصاصقلاّ ن

ففّ,لتاقّ

يغّدحاوّ لكّب ن

ضوّ,هولتقفّطايسبّهوب ن

ضّولو

اوئطاوطّنإّبجيّاه

حصأ

44

ّ

Artinya: jika ada beberapa orang memukul satu orang dengan cambuk, hingga ia terbunuh, dan semua orang tidak hanya yang memukul samapi terbunuh ikut memukul, maka dalam hal pemberlakuan qishas untuk mereka ada beberapa wujuh, yang paling Shahih diantara itu adalah mereka semua dikenakan qishash jika telah bersekongkol sebelumnya.

42 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 43 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 74-75.

44 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, (Beirut: Dar

(29)

Keterangan ini menunjukkan ada setidaknya tiga pendapat dari para ulama mujtahid muntashib dalam masalah ini.

Adapun contoh penggunaan al-Wajhany adalah penjelasan imam Nawawi tentang masalah Shalat berjamaah:

ناهجوفّ,ةيؤرلاّلاّرورملاّعنميّامّلاحّنإف

45

ّ

Artinya: jika di depan mereka ada pembatas yang hanya menghalangi untuk berjalan tetapi tidak menghalangi pandangan, maka dalam masalah ini ada dua wajh. Berarti di sini ada dua pendapat berbeda di kalangan ulama mujtahid muntashib.

2. Mengenal istilah قرط dan ناقيرط

Istilah قرط dalam mazhab Syafi’iy digunakan untuk menunjukkan adanya perbedaan keterangan dari para ulama yang meriwayatkan mazhab dalam suatu masalah tertentu. Misalnya sebagian dari mereka mengatakan dalam suatu masalah itu ada dua qaul (dua pendapat imam Syafi’iy), atau dua wajh (dua pendapat mujtahid muntashib), sedangkan ulama yang lain mengatakan dalam masalah tersebut hanya ada satu qaul atau satu wajh.46

Terkadang istilah wajhainy juga dipergunakan untuk kasus yang sama dengan wajhainy atau sebaliknya, misalnya keterangan Imam Rafi’iy bahwa sanya Tharq dalam mazhab juga disebut dengan wajh. Hal ini juga disepakati oleh imam Nawawi. Karena baik istilah wajh dan tharq sama-sama berkaitan dengan pendapat atau keterangan dari para ashab atau murid dan penerus imam Syafi’iy.47

45 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal. 123.

46 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid. I, hal. 108. Lihat juga:

Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105.

47‘Abdul Karim Ibn Muhammad al-Rafi’iy, Fath al-‘Azizi Syarh al-Wajiz, jilid. III, Tahqiq: Ali

(30)

Bag, 7 : Istilah dalam mengunggulkan dan

melemahkan pendapat

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam kitab-kitab para ulama mazhab Syafi’iy ketika melakukan Tarjih (mengunggulkan pendapat). Tadh’if (melemahkan pendapat), atau menerangkan tentang berbagai khilaf pendapat di dalam mazhab. Berbagai Istilah tersebut juga dijelaskan oleh Imam Nawawi di dalam Kitab al-Minhaj. Berikut ini pembahasan tentang beberapa istilah tersebut:

1. Istilah رهظلأا

Istilah ini digunakan untuk untuk menunjukkan pendapat yang paling unggul dari dua atau lebih pendapat (qaul) Imam Syafi’iy yang berbeda. Istilah رهظلأا digunakan jika ikhtilafnya kuat, maksudnya masing-masing pendapat berlandaskan pada dalil yang kuat. Lalu diantara pendapat yang memiliki dalil kuat tersebut diunggulkan salah satunya. Pendapat yang unggul dari beberapa Imam Syafi’iy tersebut disebut dengan pendapat رهظلأا. Istilah ini bia dikatakan sebagai kontraposisi dari istilah رهاظلا.48

Ada perbedaan para ulama dalam menggunakan istilah ini. Imam Nawawi menggunakan istilah ini untuk menerangkan perbedaan pendapat dan tarjih di antara dua atau lebih pendapat Imam Syafi’iy, beliau menjelasakan di dalam kitab al-minhaj:

هظلأاّ

فّ :ّ لوقأّ ثيحف

ن

ّتلقّ فلاخلاّ ىوقّ نإفّ ,ّ لاوقلأاّوأّ ن

يلوقلاّ نمفّروهشملاّوأّر

روهشملافّلاإوّ,رهظلأا

49

ّ

Artinya: jika saya menggunakan Istilah رهظلأا atau روهشملا, maka itu

menunjukkan ada dua qaul atau lebih dari Imam Syafi’iy. Jika pendapat yang menyelisihinya itu kuat, maka disebut رهظلأا, sedangkan jika pendapat yang menyelisihinya tidak kuat, maka disebut روهشملا.

48 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 49 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal. 65.

(31)

Dalam kitab al-Minhaj ada sekitar 395 kali istilah رهظلأا,50 misalnya dalam

masalah kaitan zakat dengan hutang, Imam Syafi’iy menerangkan:

أّ

فّاه بوجوّنيدلاّعنميّلاو

ن

لاوقلأاّرهظ

51

Artinya: hutang tidak akan menghilangkan kewajiban zakat menurut pendapat yang رهظلأا.

Ini menunjukkan dalam masalah tersebut ada beberapa pendapat berbeda dari Imam Syafi’iy sendiri, masing-masing pendapat memiliki landasan dalil yang kuat, lalu pendapat yang aling unggul adalah yang disebutkan Imam Nawawi di atas.

Penggunaan yang berbeda diterapkan oleh al-Baydhawy. Beliau menggunakan istilah رهظلأا untuk menerangkan Khilaf dan tarjih antara dua Wajh atau lebih, artinya beliau menggunakan istilah ini untuk perbedaan pendapat antara ulama Ashab Mazhab Syafi’iy, bukan perbedaan pendapat Imam Syafi’iy sendiri sebagaimana penggunaan Imam Nawawi.

Salah satunya ketika al-Baydhawy membahas tentang zakat penggembala kambing,

بّّتلمهأّولّةدمّتفلعأّولف

ةنؤمّهنلأّهوجولاّرهظأّلىعّلوحلاّعطقناّر ن

ضّاهبّنا

52

ّ

Artinya: jika kambing peliharaan tersebut diberi makan dalam jangka waktu tertentu seandainya dalam rentang waktu tersebut pemilik tidak memberi hewan ternaknya makan, maka akan menyebabkan hewan ternak itu terancam kesehatannya, dalam hal ini haul dianggap telah terputus menurut wajh yang paling kuat.

50 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 49. 51 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal. 174.

52 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, (Beirut:

(32)

Pada kalimat di atas, al-baydhawy menggunakan istilah

رهظأ

untuk keterangan wajh (pendapat ulama Ashab), bukan untuk qaul atau pendapat Imam Syafi’iy.

Adapun Imam Ghazali menggunakannya secara tumpang tindih, terkadang untuk khilaf antar pendapat Imam Syafi’y (qaul) dan juga perbedaan antar ulama Ashab (wajh). Penggunaan yang lebih luas diterapkan oleh imam al-Rafi’y dimana beliau menggunakan istilah رهظلأا untuk tarjih antar qaul, tarjih antar wajh dan tarjih antar Tharq. 53

Ibn Hajar al-Haitsamy terkadang juga menggnakan istilah mu’tamad untuk makna yang sama dengan istilah رهظلأا dalam kitab Imam Nawawi yaitu untuk

tarjih antar qaul Imam Syafi’iy.54

2. Istilah رهاظلا

Istilah رهاظلا tidak pernah digunakan oleh Imam Nawawy di dalam kitab al-Minhaj, namun al-Mahally dalam Syarahan beliau untuk kitab al-Minhaj menjelaskan bahwa istilah رهاظلا merupakan kontraposisi dari istilah رهظلأا .55

Imam Ghazali mendefinisikan istilah رهاظلا merupakan istilah untuk menunjukkan pendapat yang rajih dan kuat, pendapat yang kualitasnya dibawah pendapat رهاظلا disebut dengan pendapat Gharib baik sifatnya qaul atau wajh. Namun, derajat kekuatan pendapat رهاظلا berada di bawah pendapat رهظلأا.56

Menurut penggunaan al-Baydhawy, istilah رهاظلا digunakan untuk khilaf antar wajh, dimana kualitas pendapat رهاظلا berada di atas pendapat Gharib.57

53 Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaly, al-Wasith fi al-Mazhab, jilid. I, Tahqiq: Ahmad

Mahmud Ibrahim, (Kairo: Dar al-Salam, 1997), hal. 82.

54 Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyah,

Tahqiq: Muhammad Hasan Ismail, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), hal. 7.

55 Jalaluddin al-Mahally, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin, jilid. I, Tahqiq: Mahmud

Shalih Ahmad Hasan al-Hadidy, (Beirut: Dar al-Minhaj, 2013), hal. 71.

56ّ Yahya Ibn Syaraf al-Nawawi, Muntakhib fi Mukhtashar Taznib, (Dubai: Dairah

al-Syuu’n al-islamiyah, 2015), hal. 30.

57 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, hal.

(33)

3. Istilah رهشلأا

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sebuah pendapat yang lebih tinggi nilai popularitasnya dibandingkan pendapat yang lain baik sifatnya qaul maupun wajh. penyebabnya adalah ulama yang meriwayatkan pendapat tersebut lebih masyhur pribadinya, atau bisa juga karena ulama yang menyatakan pendapat tersebut lebih populer. Atau dapat juga karena para ulama menyepakati validitas periwayatan pendapat tersebut dari ulama yang populer dibandingkan pendapat yang lain. kontraposisi dari pendapat رهشلأا adalah pendapat روهشملا.58

Contoh penggunaan istilah ini dalam kitab al-Minhaj adalah dalam masalah persaksian wanita penyelidik,

ّلىعّ ن

يلدعّوأّلدعّفيرعتبّاهيلعّلمحتلاّزوجيّلاو

رهشلأا

59

ّ

Artinya: tidak boleh memposisikan dirinya dalam pengertian satu atau dua orang adil menurut pendapat yang paling masyhur.

4. Istilah روهشملا

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pendapat yang unggul di antara dua atau lebih pendapat Imam Syafi’iy, tetapi khilaf atau pendapat yang lain itu lemah. Maka dalam kasus ini, pendapat yang unggul disebut dengan روهشملا sedangkan lawannya disebut dengan pendapat Gharib yang dalilnya lemah.60 Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj menjelaskan:

ّروهشملافّلاإوّرهظلأاّ:تلقّ,فلاخلاّيوقّنإف

ّ

61

ّ

Artinya: jika khilaf terjadi diantara beberapa pendapat yang sama-sama dalilnya kuat, maka pendapat yang unggul dinamakan pendapat رهظلأا, jika khilaf terjadi dengan pendapat yang dalilnya tidak kuat, maka pendapat yang unggul dinamakan dengan pendapat روهشملا.

Dalam kitab al-Minhaj sendiri ada 23 tempat disebutkan dengan redaksi pendapat روهشملا.62

58 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, hal.

148.

59 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal. 572.

60 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 61 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal.65.

(34)

5. Istilah حصلأا

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan wajh (pendapat ulama Ashhab) yang paling unggul diantara dua wajh atau lebih. Sama halnya seperti istilah رهظلأا istilah ini digunakan jika terjadi khilaf yang kuat diantara dua atau beberapa pendapat ulama Ashab Imam Syafi’iy. Maksudnya masing-masing pendapat memiliki dalil yang kuat. Maka pendapat yang paling unggul diantara mereka disebut dengan pendapat حصلأا sedangkan pendapat yang lain disebut pendapat

لا

حيحص . Berarti dalam kasus seperti ini, semua pendapat memiliki dalil yang kuat, tetapi pendapat حصلأا lebih kuat daripada pendapat حيحصلا.63

Imam Nawawi mengatakan dalam kitab al-Minhaj:

ّ :تلقّ فلاخلاّ يوقّ نإفّ ,هجولأاّ وأّ ن يهجولاّ نمفّ حيحصلاّ وأّحصلأاّ لوقأّ ثيحو ّلاإوّحصلأا

حيحصلاف

64

ّ

Artinya: jika saya menggunakan istilah al-Ashah dan al-Shahih, maka itu menunjukkan adanya khilaf diantara dua atau beberapa wajh (pendapat ulama Ashab Imam Syafi’iy), jika khilaf terjadi diantara pendapat yang sama-sama kuat maka digunakan istilah al-Ashah, jika tidak maka menggunakan istilah al-Shahih.

Contoh penggunaan istilah ّحصلأا dalam kitab al-Minhaj adalah dalam

masalah air musta’mal:

ّروهطفّ ن

يت

لقّعمجّنإفّ,ّديدجلاّ

ّ

فّروهطّ

ن

يغّاهلفنوّليقّ,ّةراهطلاّضرفّ

فّلمعتسملاو

ن

حصلأاّ

ف

ن

65

ّ

Artinya: air bekas basuhan dari bersuci yang wajib,- ada juga yang mengatakan temasuk juga dari bersuci yang sunat- itu statusnya tidak lagi dapat menyucikan menurut pendapat jadid. Akan tetapi jika air tersebut terkumpul

62 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 49.

63 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 64 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal.65.

(35)

hingga mencapai dua Qullah, maka ia dapat menyucikan lagi menurut pendapat Ashah.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah status air bekas bersuci yang terkumpul hingga dua qullah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ashab Imam Syafi’iy. Masing-masing pendapat memiliki landasan dalil yang kuat, namun yang paling unggul adalah statusnya dapat menyucikan.

Penggunaan istilah al-Ashah dan al-Shahih dalam tulisan Imam Ghazali dan para ulama mutaqaddimin mazhab Syafi’iy bermakna tumpang tindih, maksudnya selain digunakan untuk menunjukkan khilkaf antar wajh (pendapat ulama Ashab), ia juga terkadang digunakan untuk menunjukkan perbedaan pendapat antar qaul (pendapat Imam Syafi’iy).66

6. Istilah حيحصلا dan باوصلا

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pendapat yang unggul dari dua atau beberapa Wajh, namun berbeda dengan istilah ّحصلأا, istilah ini digunakan jika pendapat yang menyelisihinya itu dalilnya lemah. dengan demikian, jika sebuah pendapat disebut dengan حيحصلا maka ia adalah pendapat yang mu’tamad adapun pendapat yang menyelisihinya adalah pendapat yang rusak dan lemah.67

Imam Nawawi berkata:

ّ:تلقّ ,فلاخلاّ يوقّ نإفّ : ن

يهجوّ نمفّ باوصلاّ وأّ حيحصلاّ وأّ

حصلأاّ :لوقأّ ثيحو

ّ:تلقّكسامتوّفعضّنإوّ,

حصلأا

ّ

باوصلاّ:تلقّ يهوّنإوّ,حيحصلا

68 ّ

Artinya: jika saya menggunakan istilah ّ حصلأا atau حيحصلا atau باوصلا, maka ini menunjukkan adanya khilaf antar wajh atau beberapa pendapat ulama Ashab. Jika masing-masing pendapat dalilnya kuat, maka pendapat yang unggul disebut ّ حصلأا sedangkan jika salah satunya lemah maka yang unggul disebut dengan حيحصلا atau kadang saya katakan itu adalah pendapat باوصلا (benar)

66 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, hal.

147.

67 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 68 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Kitab al-Tahqiq, Tahqiq: ‘Adil Abd al-Maujud, (Beirut: Dar

(36)

Contoh penggunaan istilah حيحصلا adalah penjelasan Imam Nawawi dalam Kitab al-minhaj

تجيّملّ,لوبوّءامّهبتشاّاذإ

حيحصلاّلىعّده

69

ّ

Artinya: apabila meragukan apakah sesuatu itu air atau kencing, maka menurut pendapat Shahih seseorang tidak boleh berijtihad dalam kasus seperti ini.

Penggunaan istilah حيحصلا di sini menunjukkan dalam masalah tersebut terdapat khilaf antar pendapat para ulama Ashab, pendapat yang paling unggul adalah pendapat di atas, sedangkan pendapat yang menyelisihinya dianggap sebagai pendapat lemah.

Para ulama mazhab Syafi’iy tidak menggunakan istilah ّحصلأا dan حيحصلا untuk pendapat-pendapat Imam Syafi’iy sebagai bentuk adab terhadap beliau penggunaan istilah حيحصلا menunjukkan bahwa pendapat yang menyelisihinya adalah pendapat yang rusak dan tidak dapat diamalkan.70

7. Istilah بهذملا

Istilah ini digunakan untuk menunjukkan pendapat yang paling unggul dalam masalah hikayat periwayatan pendapat mazhab, maksudnya jika para ulama Ashab mengatakan keterangan berbeda baik dua atau beberapa Tharq, misalnya sebagian ulama Ashab mengatakan dalam sebuah masalah itu ada dua qaul (dua pendapat berbeda Imam Syafi’iy) atau sebagian mengatakan ada dua wajh (dua pendapat berbeda di kalangan ulama Ashab) sedangkan sebagian ulama yang lain menceritakan bahwa dalam masalah tersebut hanya ada satu pendapat saja. Maka keterangan yang paling unggul itu disebutkan dengan istilah بهذملا.71

Imam Nawawi mengatakan dalam pengantar kitab Raudhat al-Thalibin:

69 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal.67.

70 Muhammad Ibn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Jilid I, hal. 105. 71 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, hal.

(37)

قرطلاّوأّ ن

يقيرطلاّنمّوهفّ,بهذملاّلىعّلوقأّثيحو

72

ّ

Artinya: jika saya menggunakan istilah بهذملاّ لىع maka ini menunjukkan keterangan yang unggul dari dua atau beberapa Tharq (keterangan tentang periwayatan pendapat mazhab).

Contoh penggunaan istilah ini dalam kitab al-Minhaj adalah pembahasan tentang larangan ketika ihram:

بهذملاّلىعّه

يغكّتبنتسملاو

73

Artinya: adapun tanaman yang dipanen maka sama saja (terlarang untuk dipotong) dengan tanaman lain menurut mazhab.

Keterangan di atas bermakna dalam masalah tersebut terdapat perbedaan periwayatan pendapat dalam mazhab, ada yang mengatakan dalam masalah tersebut adalah ikhtilaf pendapat imam Syafi’iy dan ada yang mengatakan perbedaan ulama Ashab.

Dalam kitab al-Minhaj terdapat 87 tempat diberikan ibarat بهذملاّلىع.74

8. Istilah حجرلأا

Istilah ini digunakan untuk khilaf yang terjadi pada qaul (pendapat imam Syafi’iy), wajh (pendapat ulama Ashab) dan tharq (keterangan periwayatan pendapat mazhab) dimana sisi keunggulan pendapat tersebut lebih nyata dibandingkan pendapat yang menyelisihinya. Adapun pendapat yang menyelisihinya itu disebut dengan pendapat حجار, dimana ia juga didukung oleh salah satu dari beberapa aspek penyebab tarjih.75

Istilah ini tidak digunakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj, tetapi ia digunakan oleh imam Rafi’iy dalam kitab al-Muharrar untuk qaul dan wajh.

72 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Raudhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin, jilid. I, (Beirut:

al-Maktabah al-Islamy, 1991), hal. 6.

73 Yahya Ibn Syarf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin… hal. 207. 74 Ahmad Miqry Syamilah, Sullam al-Muta’allim al-Muhtaj, hal. 49.

75 Abdullah Ibn Umar al-Baydhawy, al-Ghayat al-Qashwa fi Dirayat al-Fatwa, Jlid I, hal.

(38)

Contoh penggunaan istilah ini untuk perbedaan qaul imam Syafi’iy adalah pembahasan tentang thawaf wada’:

ّبجيّلهوّ,ثكمّلابّجورخلاّهبقعيّثيحّنمّة

كمّنمّجورخلاّدارأّاذإّّعادوللّفوطيو

ّ

يو

ّ.لولأاّامهحجرأّ:نلاوقّهيف؟ ر

يجيّلاوّ َبحتيسّوأّمدلابّ ر

يج

76

ّ

Artinya: hendaknya seseorang melakukan thawaf wada’ saat akan keluar dari mekkah, sekiranya ia memang berencana untuk keluar dan tidak menetap di sana. Kemudian apakah ia adalah wajib haji dan jika thawaf wada’ ditinggalkan akan mengharuskan bayar dam, atau hanya sunat saja dan tidak mengharuskan da jika ditinggalkan, dalam masalah ini ada dua qaul berbeda imam Syafi’I dan yang paling kuat adalah yang pertama (Thawaf wada’ termasuk wajib haji)

Contoh penggunaan istilah ini untuk perbedaan wajh dari ulama Ashab Syafi’iy adalah:

هعوجرّلبقيّنأّّ ن

يهجولاّحجرأفّ,تطلغّلاقوّ,هبيذكتّلاحّ

فّّ رقملاّعجرّولو

ن

ّ

Artinya: jika pengaku rujuk atau membatalkan keterangan bahwa ia telah berdusta, dan berkata bahwa ia tadinya telah salah sangka (sehingga ia berpikir kalua ia berbohong), dalam hal ini ada dua wajh ulama Ashab, yang paling kuat di antaranya adalah rujuk tersebut diterima.77

9. Istilah ىوقلأا

Istilah ini juga tidak digunakan oleh Imam Nawawi dalam al-Minhaj tetapi oleh Imam Rafi’iy dalam kitab al-Muharrar, beliau mendefinisikannya dengan penjelasan:

ّ ن

نعملاّفّة وقّن يكأّناكّامر

78

ّ

Artinya: sebuah pendapat yang lebih kuat secara makna.

76 Abdul Karim Ibn Muhammad al-Rafi’iy, al-Muharrar fi Fiqh al-Imam al-Syafi’iy, jilid I,

Tahqiq:Nasyat Ibn Kamal al-Mishry, (Kairo: Dar al-Salam, 2013), hal. 440.

77Abdul Karim Ibn Muhammad al-Rafi’iy, al-Muharrar fi Fiqh al-Imam al-Syafi’iy, jilid II, hal.

679.

78 Abdul Karim Ibn Muhammad al-Rafi’iy, al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, jilid. V, Tahqiq: Ali

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan berbagai kegiatan mem- baca di atas, lebih lanjut guru dapat me- lakukan kegiatan penilaian otentik tahap membaca dengan menyediakan LKP yang di dalamnya

lahzasından süzülüp gelen, enerji dolu. millî, arkaik tipli dinî- mitolojik anlayışlardır. Dinin dil üzerindeki etkisinin bir örneği de Uygur Türkleri olabilir.

Hubungan kedua variabel tersebut juga dibahas oleh Sakthivel dan Jayakrishnan (2012), mereka menggunakan teori pertukaran sosial ( social exchange theory )

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

Warga RW 016 Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara men- desak Sudin Pertamanan dan Pema- kanan, agar memintahkan sarana ber- main anak-anak dari tengah taman..

Yang menjadi perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya ialah metode untuk perolehan data yakni selain dengan menggunakan Citra Quickbird, digunakan juga video CCTV

Untuk monitoring keteraturan pasien dalam pengobatan dilakukan dengan cara melihat tanggal pasien datang berobat, jika pasien tidak datang pada tanggal yang telah

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa program K3 akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas kerja jika diimplementasikan secara utuh,