1
Marriage of siri and Its Legal Consequences in District of
Blangkejeren Sub-province of Gayo Lues aceh Province
Elfira Agustina1, Yansalzisatry1, Desmal Fajri1. 1jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta
E-mail: Elfiraagustina@yahoo.com
Abstract
Marriage of siri is marriage which is its execution only pursuant to rule of religion regardless of rules and regulations, especially regarding record-keeping of marriage which there are in section 2 sentence ( 2) number 1 year 1974. its problems that is: ( 1) what is the factor which caused marriage of siri in district of Blangkejeren sub-province of Gayo Lues Aceh Province, ( 2) what is effect of arising out of marriage of siri, ( 3) what is the effort oflocal government to prevent the happening of marriage of siri. Research method which is used in this research was research of sociological law based on the primary data. Nature of this research is descriptive. Data collecting technique is through interview and data analysis used qualitative method. The result of research indicate that factors which are caused marriage of siri is that; for no bless and permit of old fellow, pregnant outside marrying, tight of polygamous permission for public civil servant, costly of him of is expense of record-keeping, couple age still is underage, there is no polygamous permit of previous wife and assume record-keeping of insignificant marriage. Arising out legal consequences of marriage of siri is to domicile assumed wife null and void, difficult in management of child birth certificate and cannot conduct suing to justice in problem of divorce and division of riches property. Efforts which are done by government is doing counseling to society, doing counseling at adolescent of school and mosque, and improve knowledge of religion.
Key words: Marriage of siri, Legal Consequences. Pendahuluan
Terbentuknya suatu keluarga adalah adanya ikatan yang tegas antara seorang
wanita dengan seorang pria yang
dilangsungkan dalam perkawinan yang akan melahirkan keturunan-keturunannya. Menurut
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
2 kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Selanjutnya undang-undang ini juga menghendaki agar setiap peristiwa perkawinan itu dicatat ke
dalam suatu daftar catatan yang
disediakan khusus oleh Pegawai
Pencatat menurut prosedur yang sudah ditentukan, seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan perkawinan
memegang peranan yang penting karena merupakan syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara dan hal
ini membawa banyak konsekuensi
hukum bagi yang bersangkutan.
Perkawinan siri atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’, atau ‘nikah siri’ adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan siri atau semacamnya, namun secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang
yang berlaku, khususnya tentang
pencatatan perkawinan.
Pada dasarnya fungsi pencatatan dalam perkawinan adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan
3 melakukan perkawinan dengan orang
lain. Hal tersebut dapat dibaca dalam suatu surat atau dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara yang disebut dengan Akta Perkawinan, yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti otentik. sehingga apabila perkawinan tidak dicatatkan maka seseorang tidak akan memiliki suatu dokumen resmi (akta
perkawinan) yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti di Pengadilan ketika
ada sengketa yang timbul akibat
perkawinan, seperti waris, hak asuh anak, nafkah, perceraian dan lain sebagainya. Pencatatan perkawinan juga bertujuan sebagai proses dokumentasi atas perbuatan hukum perkawinan itu sendiri sehingga akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi suami istri yang
bersangkutan beserta anak keturunannya dikemudian hari.
Berdasarkan uraian di atas, maka
masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perkawinan
siri di Kecamatan Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues Propinsi Aceh? 2. Apakah akibat hukum yang timbul
dari perkawinan siri?
3. Apakah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk mencegah
terjadinya perkawinan siri di
Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues Propinsi Aceh?
Metodologi
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis yang menitikberatkan pada penelitian di lapangan untuk memperoleh data primer. Di samping itu juga dilakukan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif.
4 Penelitian ini menggunakan dua
sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara yang dilakukan langsung dengan responden dan informan. Responden terdiri dari
pasangan yang melakukan
perkawinan siri. Sedangkan
informan dalam penelitian ini adalah
kepala Mukim, Tengku Imem,
kepala Kantor Urusan Agama
(KUA) dan Kemenag di wilayah Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.
b. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan hukum yang terdiri dari:
1) Bahan hukum primer yaitu peraturan yang berhubungan dengan perkawinan,
2) Bahan hukum sekunder terdiri
dari Buku-buku, jurnal
penelitian, literatur-literatur dan karya ilmiah lainnya yang ada kaitannnya dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua macam teknik
pengumpulan data yaitu melalui:
c. Wawancara
Dalam hal ini penulis
melakukan wawancara dengan
pasangan yang melakukan
perkawinan siri.Wawancara ini
dinamakan dengan wawancara
berencana (standardized interview),
yaitu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Dalam melaksanakan wawancara tersebut
penulis menggunakan teknik
wawancara terbuka (open interview)
5 yang diajukan sudah sedemikian
bentuknya, sehingga responden
tidak hanya terbatas pada jawaban ‘‘ya’’ atau ‘‘tidak’’ tetapi dapat
memberikan
penjelasan-penjelasannya.
d. Studi Dokumen
Merupakan teknik
pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian
kepustakaan yaitu dengan
mempelajari dan mangambil
kesimpulan dari bahan kepustakaan yang berupa peraturan
perundang-undangan, literatur yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Setelah data primer dan data
sekunder didapat, lalu data
dianalisis dengan menggunakan
metode kualitatif yaitu dengan
mengelompokan data menurut
aspek-aspek yang diteliti dan
kemudian ditarik kesimpulan yang
relevan dengan masalah yang
diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan informan penyebab terjadinya
perkawinan siri di Kecamatan
Blangkejeren adalah sebagai berikut; 1. Keinginan berpoligami tapi tidak
ada izin dari istri sebelumnya. perkawinan siri dilakukan karena ingin berpoligami, sementara
izin dari istri pertama tidak
diperoleh, sehingga tidak ada izin dari Mahkamah Syari’ah untuk berpoligami.
2. Alasan biaya pencatatan yang terlalu mahal
Mahalnya biaya pencatatan
perkawinan menyebabkan masih
adanya pasangan yang tidak
mencatatkan perkawinannya ke
6 dikenakan oleh KUA mencapai 4x
lipat dari tarif sebenarnya
3. Calon istri yang telah hamil diluar nikah
Budaya barat yang merebak
dan ditelan mentah-mentah
mempunyai pengaruh besar dalam merubah prilaku dan pola pikir seseorang tanpa disaring terlebih dahulu. Akibatnya pergaulan yang
dilakukan terkadang melampaui
batas, tidak lagi mengindahkan norma dan kaidah-kaidah agama. Sehingga ada hal-hal lain yang timbul akibat pergaulan bebas seperti hamil di luar nikah.
4. Usia pasangan yang masih di bawah
umur.
Perkawinan siri juga
dilakukan karena usia pasangan yang masih di bawah umur. Dalam hal perkawinan pasangan yang masih dibawah umur maka harus ada izin
atau dispensasi kawin dari
Mahkamah Syari’ah. Oleh karena prosedur yang dianggap terlalu lama, maka ada pasangan yang hanya melakukan perkawinan secara agama
saja tanpa mencatatkan
perkawinannya ke KUA karena tidak
memenuhi syarat administrasi
pencatatan perkawinan
5. Kurangnya pemahaman masyarakat
tentang pencatatan perkawinan.
Minimnya pemahaman
masyarakat tentang arti pencatatan perkawinan serta akibat hukumnya.
Sehingga mengganggap bahwa
perkawinan yang dicatat atau tidak dicatat sama saja, yang penting
perkawinan tersebut telah sah
menurut agama Islam dan sesuai dengan aturan adat.
6. Tidak ada izin atau restu dari orang tua.
7
Untuk melakukan
perkawinan secara resmi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya izin dari orang tua. Terhadap
pasangan-pasangan yang tidak
mendapat izin dari orang tua, tetapi
tetap berkeingian untuk
melangsungkan perkawinan, maka satu-satunya cara yang dilakukan adalah kawin lari.
7. Karena ketatnya izin berpoligami bagi Pegawai Negeri Sipil.
Ketatnya izin berpoligami, terlebih jika yang akan berpoligami berstatus sebagai Pegawai Negeri yang tentu terikat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Kepegawian. Selain itu bagi Pegawai Negeri Sipil juga terikat aturan PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Hal ini tentu harus melewati
prosedur yang cukup sulit dan waktu yang lama jika harus melakukan
poligami secara resmi yang
kemudian dicatatkan. Maka
perkawinan siri dijadikan sebagai
jalan pintas untuk melakukan
perkawinan yang prosedurnya
dianggap lebih mudah.
B. Akibat-akibat yang timbul karena perkawinan siri
Secara garis besar akibat perkawinan siri adalah sebagai berikut :
1. Kedudukan istri
Perkawinan yang tidak
dicatatkan tidak mempunyai
kekuatan hukum sehingga negara mengganggap perkawinan tersebut tidak sah, dengan demikian akibat hukum terhadap istri adalah tidak diakuinya sebagai istri yang sah
secara hukum, karena tidak
memiliki bukti otentik perkawinan.
8
Perkawinan siri juga
mengakibatkan tidak jelasnya status anak dari pasangan suami-istri tersebut, karena kedudukan seorang
anak ditentukan oleh status
perkawinan orang tuanya. Sehingga sah tidaknya perkawinan orang tua anak tersebut akan menentukan sah tidaknya anak tersebut
3. Kedudukan harta kekayaan
Perkawinan siri tidak
mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki akta perkawinan
sebagai bukti autentik sahnya
perkawinan. Hal ini menyebabkan suami atau isteri tidak memperoleh perlindungan hukum dalam hal gugat menggugat di Pengadilan seperti gugatan perceraian dan pembagian harta bersama.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Drs. H. Umar Ali (kepala KUA) pernah melakukan
penyuluhan tentang perkawinan siri ( tidak dicatatkan) dengan:
1. Mengadakan penyuluhan kepada
masyarakat di kampung
Penyuluhan ke kampung
atau desa dilakukan agar
masyarakat tahu bahwa
perkawinan perlu dicatatkan dan
menjelaskan apa akibatnya
apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan.
2. Meningkatkan pengetahuan
agama
Melakukan penyuluhan
melalui ceramah-ceramah di
mesjid pada hari jum’at karena
biasanya pada hari itu
masyarakat banyak berkumpul dimesjid , ustad utusan dari KUA
maupun Kemenag akan
menyampaikan akibat-akibat atau permasalahan yang dapat timbul
9
perkawinan siri (tidak
dicatatkan).
3. Melaporkan pelaku perkawinan siri
Pemerintah mengharapkan
partisipasi dari masyarakat untuk melaporkan pelaku perkawinan siri kepada aparatur Negara.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian
yang telah dikemukan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil antara lain:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perkawinan siri di
Kecamatan Blangkejeren
Kabupaten Gayo Lues Propinsi Aceh, yaitu:
a. Keinginan berpoligami tapi tidak ada izin dari istri sebelumnya.
b. Alasan biaya pencatatan yang
mahal.
c. Calon istri yang telah hamil diluar nikah.
d. Kurangnya pemahaman
masyarakat tentang arti pencatatan perkawinan.
e. Tidak ada restu atau izin dari orang tua.
f. Ketatnya aturan berpoligami bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan menurut salah satu tokoh masyarakat ( kepala Mukim)
faktor seseorang melakukan
perkawinan siri juga adalah ;
a. Faktor ekonomi dan status lelaki yang kaya membuat wanita mau dinikahi secara poligami melalui perkawinan siri.
b. Kurangnya peran pemerintah
dalam mensosialisasikan akibat-akibat yang akan ditimbulkan apabila melakukan perkawinan siri.
c. Kurangnya keberanian masyarakat untuk melaporkan pelaku kawin siri kepada pihak yang berwenang.
10 Kemudian menurut Kepala
KUA Kecamatan Blangkejeren, selain faktor di atas penyebab terjadinya perkawinan siri juga karena :
a. Lokasi tempat tinggal masyarakat yang jauh dari kecamatan
b. Pencatatan perkawinan dilakukan melalui perantara (Tengku Imem)
yang kemudian tidak
mendaftarkan perkawinan
tersebut.
2. Akibat- akibat hukum yang
timbul karena perkawinan siri adalah :
a. Kedudukan istri yang tidak diakuinya sebagai istri yang sah karena perkawinan yang
dilakukan tidak memiliki
bukti otentik sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
b. Kedudukan anak menjadi
tidak jelas karena status
perkawinan orangtuanya
dianggap tidak sah sehingga
anak hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Selain
itu juga sulit dalam
pembuatan akte kelahiran dan tidak mempunyai hak waris.
c. Kedudukan harta kekayaan
adalah tidak adanya
pengakuan atas harta bersama
sehingga apabila terjadi
perceraian maka tidak dapat
melakukan gugatan atas
pembagian harta bersama.
3. Upaya-upaya yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya perkawinan siri di Kecamatan Blangkejeren, yaitu :
a. Mengadakan penyuluhan kepada
masyarakat di kampung/desa .
b. Meningkatkan pengetahuan
11 DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tholabi Kharlie, 2013,
Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Ahmad Rofiq, 2003, Hukum Islam
di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, 2011, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung.
Burhan Bungin (Ed.), 2004,
Metodologi Penelitian
Kualitatif, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum
Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum
Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Neng Djubaidah, 2010, Pencatatan
Perkawinan Dan
Perkawinan Tidak Dicatat, Sinar Grafika, Jakarta. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan
Nikah,Talak dan Rujuk. Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Inpres Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
http://www.Referensimakalah.com
/2012/09/pengertian-nikah-siri.html, diakses pada
tanggal 20 oktober 2013. http://tetehikha.Wordpress.com./20
13/makalah-nikah-siri, diakses pada tangal 20 oktober 2013.