• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pendahuluan. dalam perkembangan isu kesehatan global yakni pertama mengenai akses negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Pendahuluan. dalam perkembangan isu kesehatan global yakni pertama mengenai akses negara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pendahuluan

Implementasi IHR sejak tahun 1969 mengalami perkembangan dalam enam dekade. Dua dekade terakhir dalam implementasi IHR ini menandai hal penting dalam perkembangan isu kesehatan global yakni pertama mengenai akses negara berkembang terhadap vaksin dan obat-obatan yang dipatenkan dan kedua adalah keamanan kesehatan global terhadap penyakit pandemik seperti influenza, ebola, dan TBC merupakan ancaman besar bagi semua negara . Disisi lain pada dekade keenam pembahasan mengenai barang publik menjadi ironi bahwa kesehatan menjadi barang yang ekslusif bagi beberapa pihak yang tidak dapat mengaksesnya. Protes di Marakesh tahun 1994 atas kesepakatan dagang pada Putaran Urugay WTO mengenai hak paten terhadap komoditas dagang termasuk obat-obatan dan vaksin (Stiglizt:2007). Contoh konkret lain yakni protes yang ada di Thailand terhadap perusahan farmasi asing yakni GlaxoSmithKline atas paten obat HIV/AIDS yang menghambat produksi obat generik sekaligus akses masyarakat Thailand terhadap

kesehatan.1

Masalah ini juga terjadi di Indonesia pada tahun 2007 ketika merebaknya virus flu burung (H5N1) di dunia. Pemerintah Indonesia menolak virus sharing H5N1 terhadap Global Influenza Network Surveillance (GINS) dari WHO yang sudah diatur

dalam International Health Regulation (IHR) 2005.2 Alasan senada seperti yang

diutarakan oleh Thailand mengenai paten atas obat atau vaksin tertentu yang                                                                                                                          

1  Thailand :Hundred protest against Glixosmithkline over HIV drug patent application, Business & Human Rights centre (online) http://business-humanrights.org/en/thailand-hundreds-protest-against-glaxosmithkline-hiv-drug-patent-application-gsk-disputes-claims-that-it-would-seek-to-reduce-access 17 Agustus 2006 diakses 30 November 2014

2 Definisi virus sharing disini adalah transfer sampel virus dari negara anggota kepada rezim kesehatan

dunia yakni WHO sebagai upaya penanggulangan penyakit pandemik melalui assessment dan pembuatan vaksin. Dalam kasus flu burung, mekanisme ini diatur dan difasilitasi oleh WHO Global Influenza Surveillance and Response System (GISRS). Lihat

(2)

menghambat akses kesehatan masyarakat sipil. Penolakan transfer virus tetap berlangsung dan Indonesia tidak akan membagi selama WHO masih belum transparan dan adil terhadap negara berkembang (Irwin:2010). WHO yang didukung kuat oleh Amerika Serikat merespon dengan menuduh Indonesia telah melanggar IHR 2005 yang mewajibkan negara anggota WHO untuk melakukan virus sharing atau informasi biologi berupa virus kepada WHO untuk menghadapi kemungkingan

adanya wabah pandemik yang akan datang.3

Pada Maret 2007 Indonesia mencoba menggalang dukungan aksinya melalui inisiasi pertemuan yakni High Level Meeting di Jakarta dan dihadiri 21 negara untuk membahas mekanisme yang transparan dan adil terutama bagi negara-negara berkembang dalam hal virus sharing. Dari pertemuan tersebut banyak negara yang mendukung Indonesia dalam isu akses yang adil bagi negara –negara berkembang.Sementara itu WHO berusaha untuk menyelesaikan masalah ini salah satunya dengan pertemuan di Singapura melalui Interdisciplinary Working Group (IDWG) yang gagal mencapai kesepakatan. Pada November 2007 pertemuan antar negara di Jenewa yakni mengenai “Pandemic Influenza Preparedness: Sharing of Influenza Viruses and access to Vaccines and Other Benefits”, Indonesia mengajukan mekanisme access and benefit yang didasarkan pada Convention on Biological Diversity 1992 yakni memberikan benefit pada negara yang mengirimkan kekayaan biodeversitasnya seperti sampel virus yang dirumuskan dalam Standar Material Transfer Agreement (SMTA).4

                                                                                                                         

3  IOM (Institute of Medicine). Infectious Disease Movement in a Borderless World. (Washington.DC: The National Academic Press, 2010) , hal. 214.

4  Convention Biological Diversity 1992 adalah konvensi yang bertujuan untuk konservasi sumber daya hayati, penggunaannya yang berkelanjutan, serta penggunaan sumber daya hayati yang adil dan saling menguntungkan. Dalam CBD 1992 tertera mengenai perlindungan kedaulatan hayati bagi tiap-tiap

(3)

Usulan ini ditentang oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya. Penentangan Amerika Serikat ini mendapatkan tindakan retaliasi Indonesia pada tahun 2008 dengan tidak memperbarui kontrak NAMRU (laboratorium Amerika Sserikat) atau dengan kata lain menutup NAMRU untuk beroperasi di Indonesia (Irwin:2011). Pada pertemuan World Health Assembly ke-62 tahun 2009 yang diselenggarakan oleh WHO tetap berujung kebuntuan mengenai isu virus sharing, dan Hak Paten . Dalam pertemuan tersebut juga menyisakan dua pertanyaan besar yakni pertama terikat atau tidaknya pihak ketiga jika pihak penerima sample virus membagikannya pada pihak tersebut dan kedua efek legal atau hukuman apabila sampel virus tersebut tidak digunakan semestinya. Perundingan ini berjalan alot dan pada tahun setelahnya Indonesia tetap mendesak WHO dalam peningkatan prinsip ekuitas dan transparansi mengenai virus sharing. Pada tahun 2010 akhirnya Indonesia bersepakat untuk membagi sample virusnya tanpa harus keluar dari teritori Indonesia dengan bekerjasama dengan pusat penanggulangan flu burung yang difasilitasi oleh

laboratorium WHO.5 Tudingan kedua belah pihak antara Indonesia yang menganggap

pihaknya mematuhi IHR 2005 dengan WHO serta Amerika Serikat menganggap Indonesia mengharuskan subjek hukum IHR 2005 wajib mentransfer menunjukan adanya status kepatuhan Indonesia sebagai subjek IHR 2005 masih dalam perdebatan. Status kepatuhan sebuah subjek hukum yang masih ambigu dapat dijelaskan dalam konsep Compliance bargaining. Dalam konsep ini, status kepatuhan ditentukan melalui proses tawar menawar antara pihak yang dianggap ‘pelanggar’ (violators) dan pihak yang mempermasalahkan ‘pelanggaran’ tersebut (guardians) (Jonsson & Tallberg:2000).

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            negara anggota. (Lihat Convention Biological Diversity, 2015,(online),<   https://www.cbd.int/intro/default.shtml> diakses 11 Agustus 2015

(4)

Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana proses tawar menawar (compliance bargaining) mempengaruhi status kepatuhan Indonesia terhadap mekanisme transfer sample virus dalam IHR 2005. Tujuan dari peneltian ini disebabkan oleh dua hal yakni pertama, pembahasan sengketa praktik transfer sample virus antara Indonesia dengan WHO kasus tahun 2007 dalam perspektif hukum internasional yang masih kurang. Kedua, menganalisa perilaku negara-negara utamanya negara - negara berkembang yang rawan isu kesehatan global pada era post wetsphalia.

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini sejalan dengan tujuan penilitian ini yakni melalui perspektif hukum internasional yakni apa yang menyebabkan Compliance bargaining antara Indonesia dengan WHO dalam sengketa transfer sample virus H5N1 (flu burung) tahun 2006. Rumusan masalah ini akan dianalisa melalui dua konsep yakni konsep compliance bargaining dan konsep legalisasi hukum internasional.

Menurut Abbot (2000:421)hard law didefinsikan sebagai bentuk obligasi yang mengikat dengan tingkat presisi yang tinggi dan mendelegasikannya pada otoritas pihak ketiga dalam hal interpretasi dan implementasi hukum internasional. Sebagaimana definisi Abbot, Hard law memiliki karateristik obligasi yang mengikat, tingkat presisi yang tinggi, dan delegasi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi dan menjalankan hukum tersebut. Abbot menjelaskan secara detail hard law dengan membandingkannya dengan soft law. Legalisasi dalam hukum internasional dipengaruhi oleh tiga hal yakni tingkat obligasi, presisi, dan delegasi. Obligasi menjadi elemen penting dalam legalisasi hukum internasinal. Dari dua elemen yang lain yakni presisi dan delegasi, Kenneth Abott menerangkan secara implisit walaupun tingkat legalisasinya lebih tinggi yakni dengan tingkat presisi dan

(5)

delegasinya tinggi jikalau tingkat obligsinya rendah hukum tersebut masih memiliki tingkat legalisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan hukum internasional yang

tingkat obligasinya tinggi tapi tingkat presisi dan delegasinya rendah.6 Tingkat

obligasi adalah tingkat kewajiban atau mengikatnya suatu hukum internasional bagi subjek –subjeknya.

Tingkat presisi sendiri juga beragam seperti yang dikemukan oleh Abbot (2000: 31) . Semakin tinggi tingkat presisi semakin rendah tingkat ambiguitas sebuah hukum internasional. Semakin ekslusif interpretasi sebuah hukum internasional, semakin tinggi tingkat presisi dan rendah tingkat ambiguitas hukum internasional. Namun demikian hukum internasional sendiri terkadang memang disengaja didesain dengan tingkat presisi yang rendah dan ambiguitas yang tinggi disebabkan oleh dua hal yakni pertama, Young dan Osherenko (1993) menjelaskan kesengajaan ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dalam interpretasi dan upaya kerjasama di masa depan. Kedua, Lebow (1996:154), tingginya ambiguitas dalam hukum internasional sengaja didesain apabila keuntungan dan biaya yang ditanggung subjek hukum tidak dapat diprediksikan di masa depan sehingga diperlukan interpretasi yang agak longgar dan inklusif

Unsur ketiga, tingkat delegasi hard law menggunakan pihak ketiga yakni institusi atau organisasi internasional dan mahkamah internasional. Abbott juga menjabarkan indikator delegasi yang menjadi poin penting dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitinin yakni penyelesaian sengketa. Jika legalisasi dalam bentuk hard law, bentuk penyelesaian sengketa lebih tersentral dan ada hukuman yang jelas bagi pelanggar sedangkan soft law lebih dalam bentuk proses tawar menawar politik.

Konsep kedua setelah legalisasi adalah compliance bargaining. Compliance                                                                                                                          

6  Abbott,Kenneth (et all), 2000, The concept of legalization, International Organization 54.3 , The IO Foundation and the MIT, Massachusets, hal 406

(6)

bargaining didefinisikan sebagai proses tawar menawar antara pihak-pihak yang terikat (subjek) dengan hukum internasional atau antara pihak-pihak yang terikat dengan dengan institusi internasional yang meregulasi kesepakatan atau hukum internasional tersebut. Proses tawar menawar ini biasanya terjadi pada post agreement yakni ketika sebuah hukum internasional sudah disepakati antar pihak-pihak yang terkait (Jonsson & Talberg:1998). Penyebab munculnya fenomena adalah tingginya tingkat ambiguitas hukum internasional dan tingginya tingkat ketidakpatuhan subjek- subjek hukum internasional. Compliance bargaining memiliki tiga dampak yang krusial dalam sengketa internasional yakni pertama, compliance bargaining menentukan level kepatuhan yang dapat berganti melalui proses tawar menawar. Dari perspektif yang diasumsikan melanggar aturan (violators), Compliance bargaining memberikan peluang untuk membuat atau mendorong lawan mentoleransi aksi pelanggaran. Sedangkan dari perspektif yang diasumsikan mematuhi aturan (guardians), compliance bargaining memberikan peluang untuk membuat atau mendorong violators untuk tetap berada pada hal-hal yang telah disepakati. Kedua, compliance bargaining mempengaruhi status apa yang diperbolehkan atau yang dilarang dalam kesepakatan atau hukum internasional. Ketiga , compliance bargaining menentukan distribusi keuntungan di proses tawar menawar dan kerjasama yang akan datang negara atau pihak yang secara kuat memegang komitmen dalam mematuhi kesepakatan internasional akan mendapatkan reputasi positif dan mendorong pihak lain (negara lain) untuk bekerjasama dengan pihak yang berkomitmen mematuhi kespakatan atau hukum internasional

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan spektrum FT-IR pada Gambar 4, terlihat produk korosi pada permukaan baja yang direndam dalam air gambut selama 3 hari tanpa inhibitor memperlihatkan produk

Berdasarkan rajah di atas, tugas SISC+ adalah 60% dalam membimbing GDB di sekolah band rendah dan 20% dalam melaksanakan latihan dan pembangunan profesionalisme berterusan

Melihat fenomena-fenomena di atas, layanan bimbingan dan konseling sekolah dituntut dapat mengembangkan model untuk menumbuhkan kecakapan pengarahan diri,

Motivasi seorang manajer untuk melakukan earnings management menurut Scott (2003:334) dalam Financial Accounting Theory adalah: (1) rencana bonus yakni laba sering

Dapat terlihat nilai signifikansi sebelum perlakuan (pretest) kelompok eksperimen dan Dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat peningkatan sesudah dilakukannya posttest

Dan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memiliki sisi yang berbeda dalam melaksanakan proses pendidikannya, yang terletak dari sebuah sistem yang di

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa penambahan antioksidan vitamin C dengan dosis 0,3 mg/ml pada pengencer fosfat kuning telur merupakan dosis

Selain itu juga menggunakan referensi Tugas Akhir yang ditulis oleh Lutfiana Inda Rahma (2010) dengan judul “Perbandingan Etiket Pergaulan Mayarakat Korea Selatan dan Masyarakat