• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakui enam Agama Resmi yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang mengakui enam Agama Resmi yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang etnik Tionghoa di Indonesia sangatlah menarik untuk mengkajinya secara lebih dalam. Paulus Hariyono menyatakan bahwa kepercayaan yang biasa dikenal oleh masyarakat Tionghoa adalah agama Buddha, Tao, dan Kong Hu Cu1. Penelitian ini akan berusaha mengungkap tentang komunitas Tionghoa Tao. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, agama Tao kurang dikenal eksistensinya, padahal menurut penjelasan dari Tjeng Santoso Tirtamas2 bahwa sejarah perkembangan agama Tao di Tiongkok telah mencapai 5000 tahun.

Indonesia merupakan suatu Negara yang terkenal dengan keberagamannya. Keberagaman yang ada di Wilayah Indonesia tidak hanya terlihat dari budaya dan adat istiadat saja, namun hal ini juga dibuktikan dengan keberagaman dari Agama. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia sebagainegara yang mengakui enam “Agama Resmi” yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Selain enam agama/kepercayaan diatas, yang sudah diakui oleh negara Republik Indonesia, ternyata ada beberapa

1Hariyono, Paulus. 2006. Menggali Latar Belakang Stereotip Dan Persoalan Etnik Cina

di Jawa dari Jaman Keemasan, Konflik Antar Etnik Hingga Kini. Semarang: Penerbit Mutiara Wacana. Hlm. 174.

2

Tirtamas, Tjeng Santoso.2009. Hari Raya Taois 2009. Semarang: Taoist Mission (Singapore) dan Tek hay Bio Semarang. Hlm. 13.

(2)

kepercayaan/keyakinan yang dari zaman Belanda sudah berada di Indonesia, salah-satunya adalah Tao.

Perkembangan agama yang dianut masyarakat Tionghoa di Indonesia dimulai sejak tahun 1930-an. Saat itu, ada usaha dari orang-orang Tionghoa untuk mendirikan Masyarakat Tiga Agama (Sam Kauw Hwee) yang mempersatukan Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme3 dan akhirnya pada tahun 1951 Sam

Kauw Hwee ini muncul dengan mempunyai tujuan mempraktekkan tiga ajaran

tersebut dan saat ini dikenal dengan nama Tri Dharma yang bernaung di Perwalian Umat Buddha Indonesia4. Adanya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat mengekspresikan kehidupan beragamanya termasuk mengamalkan ajaran Khonghucu. Pengakuan agama Khonghucu oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang diakui di Indonesia mendapat respon yang sangat positif dari kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Dari keempat masalah tersebut yang sangat menonjol adalah rasialisme antar golongan etnik Tionghoa dengan mayoritas pribumi, persoalan yang menyangkut agama serta kehidupan beragama etnik Tionghoa. Tidak ubahnya seperti suku bangsa lain di Indonesia, etnik

3

Coppel, Charles A. 1994. Cina Indonesia Dalam Krisis (terj.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 305.

4

Tanggok, M.Ikhsan. 2005. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan. Hlm. 102.

(3)

Tionghoa juga menganut agama yang berbeda-beda, baik yang yang secara resmi diakui oleh pemerintah ataupun yang tidak.

Pada tahun 1965, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan ketetapan No.1/Pn.ps/1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada enam, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian diangkat menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 UU itu, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan kata lain, UU No. 1/PNPS/1965 ternyata sangat terbuka di dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Perlu juga dicatat bahwa UU No. 1/PNPS/1965 itu lahir sebelum Kovenan Internasional PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik PBB tahun 1966.

Pemilihan keenam agama di atas berdasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan Menteri Agama pada masa itu. Menurut M. Ikhsan Tanggok5

5

(4)

bahwa syarat agama seperti yang diusulkan Menteri Agama pada masa itu adalah minimal memiliki:

1. Kitab Suci; 2. Nabi;

3. Kepercayaan akan satu Tuhan;

4. Tata Agama dan tata ibadah bagi pengikutnya.

Kelahiran Orde Baru erat kaitannya dengan penumpasan gerakan komunisme pada tanggal 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan G 30 S / PKI. Peristiwa itu pulalah yang membawa “petaka” bagi etnik Tionghoa, karena diduga keras bahwa gerakan G 30 S / PKI memiliki afiliasi dengan organisasi yang didirikan pada tahun 1954 yang bernama BAPERKI. Sejak terungkap keterlibatan pemerintah Cina dalam kudeta G 30 S / PKI, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa tindakan drastis di hampir segala bidang kehidupan masyarakat Cina di Indonesia. Pemerintah Orde Baru berupaya memblokir hubungan antara keturunan etnik Tionghoa di Indonesia dengan RRC. Upaya ini dilakukan untuk mencegah penyusupan paham komunisme Cina ke Indonesia. Hubungan diplomatik dan perdagangan dengan RRC dibekukan. Di bidang pendidikan, tahun 1966 sekolah-sekolah yang bernuansa Cina ditutup. Setahun kemudian pemerintah menggalakkan kampanye penggunaan nama Indonesia bagi warga negara keturunan asing. Di bidang agama, ibadah dan perayaan agama yang bernafaskan Cina hanya diperbolehkan dilangsungkan di rumah. Di bidang administrasi muncul persoalan birokrasi yang dihadapi etnik Tionghoa dalam

(5)

mendapatkan surat-surat tertentu seperti KTP dan paspor serta adanya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia6.

Adanya UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, masyarakat etnik Tionghoa patut berterima kasih kepada pemerintah karena dengan UU No.12 Tahun 2006 tersebut kini tidak ada lagi istilah WNI keturunan, WNI asli, atau pribumi dan nonpribumi. Yang ada hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Gus Dur juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan pelarangan mengekspresikan kebudayaan Cina. Keputusan Presiden tersebut merupakan pengganti dari Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang dicabut pada bulan Februari 2000, sehingga orang etnik Tionghoa dapat merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan tidak lagi terbatas dalam lingkungan sendiri7.

Gus Dur juga mencabut Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha yang dicabut pada tangggal 31 November 20008. Mantan Presiden Megawati juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar nasional dan hari libur nasional. Megawati telah menyatakan bahwa etnik Tionghoa yang lahir secara turun temurun ini termasuk salah satu suku yang ada di Indonesia, sehingga mereka bukan keturunan asing9.

6 Hariyono. Op.cit. Hlm. 82-85. 7 Ibid. Hlm. 87. 8 Tanggok. Op.cit. Hlm.108. 9 Hariyono. Op.cit. Hlm.166.

(6)

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1-2 telah menegaskan bahwa setiap Warga Negara Indonesia diberi kebebasan memeluk dan menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Masyarakat etnik Tionghoa tidak lagi disebut sebagai Warga Negara Indonesia Keturunan Cina, tetapi harus disebut sebagai Warga Negara Indonesia tanpa tambahan kata dan kalimat lain di belakangnya. Bahkan sekarang mereka diakui sebagai salah satu etnik/suku, diberi hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam menjalankan ibadahnya sesuai ajaran yang mereka anut.

Agama Tao adalah sebagai salah satu agama yang dianut oleh etnik Tionghoa di Indonesia, yang tentu saja mereka menginginkan adanya kebebasan beragama dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama Tao. Buddha dan Khonghucu sudah mendapatkan perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia dan pelayanan dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Bagaimana pelayanan pembinaan kehidupan keagamaan oleh Pemerintah kepada masyarakat etnik Tionghoa yang beragama Tao dilaksanakan selama ini ? Apakah umat Tao sudah dapat beribadah menurut agama dan keyakinan mereka tanpa adanya intimidasi maupun hambatan-hambatan yang bisa menghalangi ritual ibadahnya ?.

Peneliti ingin memberikan argumentasi bahwa komunitas etnik Tionghoa Tao diasumsikan sedang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Pemerintah Republik Indonesia hingga saat ini hanya memberikan pengakuan kepada agama Buddha dan agama Konghucu sebagai “agama resmi” yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal sejak tahun 1930-an, orang-orang Cina mendirikan Masyarakat Tiga Agama (Sam Kauw Hwee) yang

(7)

mempersatukan Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Sam Kauw Hwee ini muncul dengan mempunyai tujuan mempraktekkan tiga ajaran tersebut pada tahun 1951 dan saat ini dikenal dengan nama Tridharma yang bernaung di Perwalian Umat Buddha Indonesia. Pertanyaan utama yang dapat diutarakan saat ini adalah mengapa hanya agama Buddha dan agama Konghucu saja yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai “agama resmi” ? Mengapa agama Tao tidak memperoleh pengakuan yang sama dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai “agama resmi” ?.

Mengutip pernyataan Tjeng Santoso Tirtamas, salah seorang pengurus Klenteng Tempat Ibadah Tri Dharma Sinar Samudera Semarang, bahwa selama ini sebagai pengurus Klenteng, mereka mengalami kesulitan ketika ada pertanyaan-pertanyaan dari umat di Klenteng tentang sejarah agama Tao, tata cara ritual, makna dan arti simbol-simbol yang ada di Klenteng. Tjeng Santoso Tirtamas juga menyatakan bahwa hampir semua literatur tentang Klenteng dan agama Tao adanya dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris dengan jumlah buku yang tidak banyak dan pengurus tidak menguasai bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Tjeng Santoso Tirtamas juga menjelaskan bahwa kalaupun ada buku-buku tentang Taoisme dan Klenteng yang ditulis dalam bahasa Indonesia kebanyakan dalam bentuk cerita-cerita mitos atau legenda atau versi yang kurang dapat dipertanggungjawabkan data sejarah maupun akurasinya, karena banyak buku yang ditulis hanya untuk memenuhi permintaan pasar bukan berdasarkan fakta yang ada10.

10

(8)

Berbagai kajian tentang masyarakat etnik Tionghoa sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para pengamat sosial keagamaan. Para pengkaji masalah masyarakat etnik Tionghoa di Indonesia cukup banyak dan kajian-kajian tersebut diantaranya telah mengungkap permasalahan-permasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat etnik Tionghoa dan telah berusaha mengangkat tema-tema tersebut dalam suatu bahasan yang muara pembahasan tersebut menginginkan adanya pengakuan terhadap etnik Tionghoa sebagai “anak bangsa” yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan tanah kelahiran generasi etnik Tionghoa secara turun temurun. Beberapa hasil pustaka yang cukup penting yang memberi kontribusi besar dalam memahami masyarakat etnik Tionghoa dapat ditunjukkan di sini antara lain beberapa buku-buku kajian pustaka yaitu diantaranya:

La Ode dengan karyanya “Tiga Muka Etnik Cina-Indonesia menceritakan tentang masyarakat Cina pada masa Orde Baru dan ulasan mengenai budaya, falsafah Cina dan Confusianisme memberi informasi dan pemahaman terhadap kultural etnik Cina serta pandangan Confusianisme.

Khong Yuanzhi dengan karyanya “Silang Budaya Tiongkok Indonesia” menjelaskan pengaruh budaya Cina terhadap budaya Indonesia, seperti kata tahu, taoge, kue, capcai, angpo, klenteng, kecap, dan bakiak dan sebaliknya adanya berbagai pengaruh budaya Indonesia terhadap budaya Cina, seperti kata pinang, sarung, sagu, dan durian. Selain itu menjelaskan tentang proses Islamisasi di Tiongkok dan proses persebaran etnik Cina ke Indonesia, terutama di Jawa dan Kalimantan Barat.

(9)

Leo Suryadinata dengan karyanya “The Culture of the Chinese Minority in

Indonesia” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dede Oetomo dan

diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1988 menjadi “Kebudayaan Minoritas Cina

di Indonesia”, secara menarik membahas perkembangan kebudayaan minoritas

Cina di Indonesia dari pelbagai segi pendidikan, keagamaan, pers, dan kesusastraan. Buku ini menceritakan tentang kebudayaan minoritas Cina di Indonesia yang berkembang sejalan dengan berubahnya masyarakat Indonesia dan dunia luar. Dan nampak tengah dan terus membentuk identitasnya sendiri yang utuh, sebagai bagian integral dari pluralitas budaya Indonesia.

Charles A. Coppel dengan karyanya “Indonesian Chinese in Crisis” dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tim Penerjemah PSH dan diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1994 menjadi “Cina Indonesia Dalam

Krisis”. Karya fenomenal yang menceritakan orang Cina sebagai minoritas etnik

yang krisis identitas. Coppel mengkaji latar belakang historis etnik Cina di Indonesia, kebijakan yang komprehensif dari Pemerintah untuk pemecahan masalah Cina, dan mendiskusikan keadaan yang telah dicapai di bawah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Bagus Takwin, karya bukunya yang berjudul Filsafat Timur Sebuah

Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun

2003, membahas tentang penggalian dan pengembangan pemikiran Timur, termasuk pemikiran filosofis Cina yang memiliki ajaran Tao.

Buku yang berjudul Gerakan Keagamaan Dan Pemikiran (Akar Ideologis

(10)

Al-I’tishom Cahaya Umat pada tahun 2006, memberikan gambaran sangat menarik dan cerdas sekitar gerakan keagamaan dan pemikiran yang ada di dunia, salah satu pembahasannya adalah tentang Tao.

Frtijof Capra, karya bukunya yang berjudul The Tao of Physics:

Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur diterbitkan oleh

Jalasutra pada tahun 2003, karya bukunya tentang Tao sangat fenomental karena berupaya mencari integrasi antara pandangan dunia matematis fisika-modern dengan visi mistis.

Dari beberapa pustaka tersebut yang disampaikan diatas, kajian tentang agama Tao yang dianut oleh komunitas Cina Tao di Jawa belum pernah dilakukan melalui suatu penelitian. Maka dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian yang telah ada.

Oleh karena itu, penelitian terhadap komunitas umat Tao perlu dan penting untuk dilakukan karena belum ada yang pernah meneliti dan melacak bagaimana fenomena Tao di Indonesia. Persoalan ini menarik untuk diteliti karena pemahaman tentang kehidupan keberagamaan di kalangan etnik Tionghoa Tao masih sangat terbatas dan masih sangat jarang ditemukan kajian-kajian tentang agama Tao dalam perspektif ke-INDONESIA-an.

1.2. Rumusan Masalah

Didasari oleh beberapa hal yang telah terurai dalam latar belakang tersebut maka Peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu Apakah Tao itu agama ?

(11)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan Tao sebagai agama.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian terapan, oleh karena itu diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan manfaat. Pertama, penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi pemikiran dalam hal ini adalah bagi Pemerintah Cq. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah dan Kantor Kementerian Agama Kota Semarang dalam pengambilan kebijakan untuk pembinaan kehidupan beragama pada umat Tao. Bagi Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Agama, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan yang memungkinkan komunitas Tionghoa Tao memperoleh pelayanan seperti halnya umat yang lain. Dalam konteks yang lebih luas, yakni hubungan antar agama, pengetahuan dan apresiasi yang memadai atas nilai-nilai dan kebudayaan agama lain-lain akan mendorong tumbuhnya sikap untuk menghormati pihak lain yang berbeda. Penghormatan ini bukan karena pengakuan terhadap kebenaran agama mereka, tetapi karena setiap orang memang harus menghormati tradisi pihak lain dalam menyembah Tuhan mereka.

Kedua, kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini antara lain Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang, kalangan akademisi, ormas sosial keagamaan, dan

(12)

kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang concern di dalam pembinaan kerukunan umat beragama.

Ketiga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran yang

lebih utuh mengenai peran dari gerakan Persatuan Umat Tao Indonesia (PUTI) dalam upaya memperoleh perlindungan dan jaminan yang sama, yaitu pengakuan dan jaminan kebebasan beragama terutama dalam bidang administrasi kependudukan.

Keempat, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan

pemahaman inklusif bagi komunitas beragama sehingga dapat semakin arif dalam menyikapi segala perbedaan.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi agama11. Penelitian dengan pendekatan sosiologi agama, bahwa agama dipandang sebagai fakta sosial, yaitu sesuatu yang nyata dan dapat diamati yang mempengaruhi perilaku masyarakat12. Pada ini, agama menjadi bagian dari kehidupan nyata pemeluknya yang terlihat dalam kehidupan keseharian pemeluk agama, gagasan, aktifitas, dan

11

Connolly, Peter. 2002. Approaches to the Study of Religion. Yogyakarta: LkiS. Hlm. 267.

12

Sodik, Mochammad. 2006. "Pendekatan Sosologi" dalam Dudung Abdurrahman (ed.) Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Hlm. 78-81.

(13)

karya pemeluk agama. Dengan kata lain pendekatan sosiologi agama mempelajari aspek sosial agama13.

Pendekatan yang diambil dalam penulisan ini adalah statute approach,

conceptual approach serta historical approach. Statute approach digunakan

untuk menganalisa ketentuan-ketentuan hukum yang ada di Indonesia yang mengatur dan memberikan jaminan akan kebebasan beragama. Conceptual

approach digunakan dalam membantu memberikan pengertian akan konsep

hukum tentang agama dan beberapa hal lainnya yang masih bersifat kabur, sehingga memudahkan pemahaman akan jaminan kebebasan beragama yang diatur dalam aturan hukum. Sedangkan historical approach dipergunakan dalam rangka menilik kembali sejarah kedudukan etnik Tionghoa sebagai golongan masyarakat dimana umat Tao adalah bagian dari mereka, maupun tentang keberadaan agama dan pengakuannya di Indonesia.

1.5.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu metode penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati14.

Nawawi menjelaskan bahwa penelitian kulitatif mencari deskripsi yang menyeluruh, mendalam dan cermat tentang corak keberagamaan umat Tao

13Suprayogo, Imam. dan Tabrani. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung:

Rosda Karya. Hlm. 61.

14 Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

(14)

terutama tentang paham dan pemikiran keagamaan serta kebebasan beragamannya15. (Nawawi, tt:63).

Penelitian dengan metode kualitatif diharapkan dapat memahami makna dari pemikiran maupun perilaku umat Tao. Sedangkan penyampaian secara deskriptif dalam penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan dan mendeskripsikan Tao sebagai agama.

1.5.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan sasaran penelitian adalah komunitas Etnik Tionghoa yang menganut agama Tao yang terhimpun di lembaga sosial keagamaan yaitu Persatuan Umat Tao Indonesia (PUTI) yang beribadah di rumah ibadah Sinar Tao yang terletak di Jalan Madukoro Blok AA/BB Semarang.

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu: wawancara mendalam, observasi terlibat, dan teknik dokumentasi. Teknik pengumpulan data dengan wawancara bertujuan untuk mendapat keterangan masalah yang diteliti dengan percakapan tatap muka, guna mendapat informasi yang lebih akurat dan terperinci untuk memperkuat data-data tentang objek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara-wawancara yang

15 Nawawi, H. Hadari. tt. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:Gadjah Mada

(15)

terarah dalam mengumpulkan data-data yang relevan16. Dengan demikian informasi yang diterima tetap terarah dan lebih mendalam. Wawancara dilakukan dengan informan-informan seperti pemimpin keagamaan umat Tao, pengurus Yayasan Sinar Tao, umat Tao, Pengurus PUTI, Pengurus Tridharma, dan Pembina Masyarakat Buddha di Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah maupun Kementerian Agama di Kota Semarang

Observasi terlibat dipahami sebagai pengamatan langsung dan terlibat pada kegiatan, aktifitas keagamaan umat Tao yang beribadah Kelenteng Sinar Tao. Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan sebelumnya meminta ijin dari Pengurus Yayasan Sinar Tao, sehingga yang diamati bersikap wajar dan alami.

Sedangkan teknik dokumentasi digunakan untuk sumber data penunjang dalam penelitian ini. Metode dokumentasi dan library research dilakukan melalui telaah terhadap dokumen dan atau buku-buku literatur sebagai data tertulis yang mengandung keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih aktual17.

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data melalui kepustakaan, berbagai buku, dan dokumen lainnya yang dalam hal ini dokumentasi ataupun pustaka yang berhubungan dengan masalah etnik Tionghoa dan agama Tao. Selain itu studi kepustakaan juga bermanfaat untuk menyususn

16Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Hlm. 20.

17 Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hlm. 43.

(16)

landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.

Dengan demikian penelitian ini peneliti memprioritaskan data utama dari statemen baik tertulis maupun langsung dari informan yang diwawancarai dan hasil observasi serta studi kepustakaan.

1.5.5. Teknik Analisa Data

Analisis data dilakukan dua tahap, yaitu tahap pertama analisa dilakukan saat penelitian dilakukan di lapangan dan tahap kedua analisa dilakukan dengan cara mengorganisir data sesuai pedoman yang telah ditentukan dan kemudian dilakukan penafsiran terhadap data yang telah tersusun tersebut. Setelah tahapan analisis selesai adalah melakukan penulisan draf laporan yang akan didiskusikan untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian serta untuk memperoleh saran demi perbaikan hasil akhir laporan penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang meliputi tiga tahapan yaitu reduksi data, penyampaian data, dan penarikan kesimpulan18.

Ketiga komponen tersebut aktivitasnya berbentuk interaktif yaitu dalam tahap reduksi data, peneliti melakukan proses seleksi, penyederhanaan, dan abstraksi data mentah yang ada dalam catatan lapangan berkaitan dengan umat Tao. Pada tahap penyajian data peneliti menyajikan data dalam suatu susunan yang sistematis sesuai dengan alur yang telah dibuat. Dalam penyajian data ini

(17)

memungkinkan peneliti akan menyajikan dalam bentuk gambar, matriks dan skema. Hal itu dimaksudkan untuk memaparkan kondisi yang utuh dan terstruktur dengan baik. Untuk lebih menghargai perasaan informan peneliti menggunakan cara penyajian model emik dan etik. Sedangkan penarikan kesimpulan akan dilakukan dengan memperhatikan berbagai hal yang memiliki landasan data yang kuat dalam penelitian. Review dapat dilakukan dengan diskusi, dialog atau seminar.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan bulu tangkis di Kabupaten Tegal yang telah diraih selama ini diharapkan dapat membantu berbagai pihak dalam mengembangkan olahraga bulu tangkis, sehingga

 Penetrasi jaringan listrik yang sangat tinggi, sehingga dapat digunakan untuk penyediaan layanan broadband dengan mudah tanpa harus. membangun

Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis kualitas epub modul kimia materi pokok elektrolit dan non elektrolit untuk siswa difabel netra berdasarkan penilaian ahli materi,

Penumbuhan struktur hetero dengan daya tinggi dan treatment dengan CdCl 2 telah meningkatkan performa sel surya karena ukuran grain yang bertambah besar. Tegangan open circuit (V

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini adalah “Seberapa Baik Proses Pemberdayaan Warga Belajar Melalui

PenelitianTindakan Kelas dengan tujuan untuk membuktikan apakah dengan menerapkan model pembelajaran pasangan berbagi pada Standar Kompetensi 6 Memahami Keanekaragaman

PIO Nas menyediakan akses informasi terstandar (approved label) dari semua obat yang beredar di Indonesia yang telah disetujui oleh Badan POM sebagai NRA

Gereja Kristus tidak boleh menutupi telinga berhadapan dengan jeritan umatnya, kadang-kadang jeritan dalam masyarakat; Gereja Kristus tidak boleh mengabaikan tangisan anak-anak