• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotika Film ‘?’

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Semiotika Film ‘?’"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 8 Analisis Semiotika Film ‘?’

Dading Prasojo (dadingprasojo@yahoo.com)

Mahasiswa Jurusn Ilmu Komunikasi Universitas Semarang Abstract

Dading Prasojo, G.311.09.0030. Analysize of Semiotic ‘?’ movie. Comunication Studies, Techno Information and Comunication, Universitas Semarang.

In this research, the writer concluding the result of what he found from of the movie. Begins from the conflict that happened between Chinnese Ethnic and indirinous people, the creator want to present in this movie and also want to show the problems between Islam and Christian. The creator want to make a thought that among religions should be toulerant and live peacefully just like what in film.

But there is the scene that research the meaning of tolerance it self. The scene where Surya (Agus Kuncoro) who chosen asa Jesus. According to researcher, the creator of this movie want to show the tolerance among religions, but actually it seems like decreasing of the meaning of tolerance it self. In this case, mixture religions shouldn’t be happened, because the tolerance among religions prevealing in public life not religions ritualials like that.

In thus case, the movie creator want to make a thought to the people about public live among religions and intracultural. Baut the researcher saw his case contrary to myth that precealing about how sensitive when we talk about religion to different relilious faith. The researcher assumed this as dimytologies, because not suitable with the myth that developed in public.

Kata Kunci : Film, Pluralisme, Teori Semiotika, Roland Barthez Pendahuluan

Berdasarkan observasi pendahuluan Peneliti, film yang disutradarai Hanung Bramantyo inibercerita tentang konflik sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia. Gesekan-gesekan antara masyarakat lokal dan keturunan China, pandangan penganut agama yang satu dengan penganut agama lainnya yang kerap menjadi akar masalah. Film ini dibuat agar meningkatkan rasa toleransi antar suku dan umat beragama di Indonesia, karena di film ini terdapat adegan-adegan yang menyinggung tentang pentingnya penghormatan atas pluralisme. Fenomena adanya penghormatan terhadap pluralisme di Indonesia saat ini menjadi hal yang

langka. Dikarenakan, kerap kali terjadi kasus pluralisme di Indonesia.

Film sama dengan media artistik lainnya memiliki sifat-sifat dasar dari media lainnya yang terjalin dalam susunan yang beragam. Film memiliki kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu, mengembangkan dan mempersingkatnya,

menggerakmajumundurkansecarabebas dalam batasan-batasan wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya terdapat kesamaan, film adalah sesuatu yang unik (AdiPranaya, 1999: 11).

MetodologiPenelitian

Berupa film yang berjudul „?‟yang di produksi tahun 2011 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

(2)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 9 Tema dari film ini adalah pluralisme

agama di Indonesia yang sering terjadi konflik antar keyakinan beragama, yang dituangkan ke dalam sebuah alur cerita yang berkisar pada interaksi dari tiga keluarga, satu Buddha, satu Muslim, dan satu Katolik, setelah menjalani banyak kesulitan dan kematian beberapa anggota keluarga dalam kekerasan agama, mereka mampu untuk hidup berdamai.Ketikadirilispadatanggal 7 April 2011,

film „?’ selainsuksessecarakomersial, karena film inimenerimaulasan yang menguntungkandantelahdilihatolehlebih dari 550.000 orang, film inijugatakluputmenuaibanyakkritiktaja m.Film „?’ yang

diputarsecarainternasionalinimendapatk annominasipadasembilankategori Piala Citra di Festival Film Indonesia2011 dantelahberhasilmemena ngkansatu di antaranya.Namun, beberapakelompok Muslim Indonesia, termasuk Majelis Ulama

Indonesia (MUI), Front Pembela

Islam (FPI), dan Nahdlatul

Ulama (NU), memproteskeras film

inikarenaisipesanpluralisnya

(www.eramuslim.com. „?‟ pelecehan sistematis terhadap islam, edisi Kamis 14 April 2011, diunduh 26 Mei 2013 pukul 22.00 WIB). Wawancara Wawancaraialahtanyajawabantar apewawancaradengan yang diwawancarauntukmemintaketeranganat aupendapatmengenaisuatuhal. Wawancaradapatdilakukanolehdireksike padapelamarpekerjaan,pelangganataupi haklainnya.TeknikWawancara, adalahsuatucaraataukepandaianmelakuk antanyajawabuntukmemperolehketerang an, informasidansejenisnya. Selain menggunakan analisis teks, Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam dengan pakar film di

Indonesia yang memahami film ‘?’ dalam mengumpulkan data, sehingga menghasilkan data yang konprehensif. Validitas Data

Untuk mengecek hasil penelitian dan menguatkannya, Peneliti menggunakan wawancara dengan pakar film untuk menguatkan tentang pluralisme di Indonesia. Penelitianinimenggunakanpengembang anvaliditastrianggulasiseperti yang dikatakan Patton (Gunawan, 2009 : 24-27). Selanjutnyapadapenelitian yang telahdilakukaninimenggunakantrianggul asi data atausumber, yaitumelihatsesuatu yang sama, dariberbagaiperspektif yang berbeda. Trianggulasisumber yang akandigunakandalampenelitianiniyaitup akar film yang ada di Indonesia. Melaluitrianggulasitersebutdiperoleh

data yang

lengkapmendalamsertakomprehensif. Tinjauan Pustaka

Semiotika Dalam semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan yang sangat penting jika dibandingkan dengan perannya dalam ilmu linguistik. Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda. Dengan demikian jika kita memperhatikan suatu objek, misalnya boneka barbie, makna denotasi yang akan terkandung adalah boneka yang panjangnya 12 cm dan mempunyai lebar 3-4 cm. Boneka ini pertama kali muncul tahun 1959 (Barthes dalam Arthur, 2010: 65).

Sebagian proses semiologi menjadikan kegiatan untuk menguraikan mitos tersebut dari makna denotatif yang terkandung di dalamnya yang sebagian darinya disebutkan oleh Barthes sebagai “mitologi”. Barthes

(3)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 10 mencontohkan dalam bukunya

Mythologies :

“ Saya berada di tempat pemangkasan rambut, dan disodori foto kopian majalah Paris-Match. Pada halaman sampul terpampang wajah seorang prajurit negro kebangsaan Perancis sedang menghormat dengan mata memandang keatas, mungkin dalam warna aslinya berasal dari gabungan tiga macam warna. Tiga warna tersebut merupakan makna yang terkandung dalam gambar tersebut. Tetapi, apakah naif atau tidak, saya menangkap makna tersebut demikian adanya: bahwa Perancis adalah negara besar, seluruh warganya tidak mengenal diskriminasi warna kulit, menghormati, dan menjunjung tinggi bendera kebangsaan. Serta tidak akan menjumpai seorang pun yang mencela kolonialisme, tetapi semangat yang tampak dari seorang negro yang membaktikan diri kepada para penindas” (Barthes, 1983: 164).

Secara teknis Barthes menyebutkan bahwa mitos merupakan urutan kedua dari sistem semiologi, sementara tanda-tanda berada pada urutan sistem tersebut (yaitu kombinasi antara petanda dan penanda) dan menjadikan penanda dalam sistem kedua (Barthes 1972: 114).

Film Sebagai Simulasi Media

Dalam era simulasi ini, realitas tidak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksiDalam bahasanya yang khasBaudrillardmenyatakan, One is not the simulacrum and the other the reality. What we now have is the disappearance of the referent. There are only simulacra. (Bukan yang satu simulacrum atau dunia yang semata-mata dipahami melalui hasrat dan kemampuan berpikir koherensi dan yang lain realitas. Apa yang kita alami

sekarang adalah hilangnya acuan segala sesuatu. Yang ada hanyalah simulacra) (Baudrillard, 1983: 86).

Simulacra terbagi menjadi 3 sesuai dengan tahapan sejarah, yaitu simulacra orde pertama yaitu tahap ilmiah yang bertumpu pada nilai guna, simulacra orde kedua yaitu, tahap produksi-komoditi yang bertumpu pada prinsip nilai-tukar, sedangkan yang terakhir simulacra orde ketiga yaitu, tahap struktural yang bertumpu pada nilai-tanda.

Teori Orde Simulacra Baudrillard ini, dalam beberapa tingkatan, bisa dipandang sebagai suatu konsepsi baru proses perkembangan sosial yang berakar pada prinsip perubahan karakter subjek-subjek reproduksi. Dalam perkembangannya kemudian, melalui bukunya

Transparency of Evil (1993),

Baudrillard mengemukakan satu orde baru yang disebutnya sebagai Orde Keempat atau Orde Fraktal. Istilah fraktal, dipinjam Baudrillard dari bidang matematika, yakni sebuah proses perkembangbiakan nilai-regular dalam keacakan matematis.

Budaya Populer

Budaya populer bagi para kritikus budaya massa dapat didefinisikan sebagai budaya rakyat di dalam masyarakat pra-industri, atau budaya massa dalam masyarakat industri. Menurut Mazhab Frankfurt, budaya populer adalah budaya massa, yang dihasilkan oleh imdustri budaya, yang mengamankan stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme.

Sekalipun kecenderungan utama semiologi adalah untuk menekankan pada budaya populer dalam mengaburkan kepentingan pihak yang berkuasa, dalam pandangan Barthes mengenai kaum borjuis, budaya populer sebagai atau ekspresi struktur sosial dan mental universal. Para penulis yang

(4)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 11 mengemukakan suatu pendekatan

populis kultural cenderung mendefinisikan budaya populer sebagai salah satu bentuk subversi konsumen yang tepatnya adalah bagaimana merekan ingin mengevaluasi dan menerangkannya (Fiske dalam Dominic, 2003: 43-47).

Produk-produk budaya seperti film sudah barang tentu tidak diproduksi secara massal, hanya dibutuhkan beberapa kopi film untuk menjangkau khalayak. Akan tetapi, pengenalan teknik-teknik produksi massal dalam pembuatan film, metode-metode lini pembuatan, produk-produk yang didefinisikan secara jelas, pembagian kerja khusus, pengendalian keuangan secara ketat dan sebagainya, maupun hiburan massal yang disajikan dibioskop, mengandung pengertian bahwa film bisa dipandang sebagai halnya produk komersial lainnya (Dominic, 2003: 5).

Populisme kultural didefinisikan oleh McGuigan sebagai berikut: populasi kultural adalah asumsi intelektual, yang dibuat oleh sejumlah mahasiswa budaya populer, bahwasannya pengalaman-pengalaman maupun simbolis orang kebanyakan lebih penting secara analitik maupun politis dibandingkan dibandingkan dengan Kebudayaan dengan K besar (McGuigan dalam Dominic, 2003: 5).

Argumen-argumen posmodernis jelas-jelas memperhatikan masalah visual, dan film-film yang paling jelas untuk mencari tanda-tanda posmodernisme yang memberikan tekanan pada gaya, tontonan, efek, dan citraan khusus, dengan mengorbankan isi, karakter, substansi, narasi, dan kritik sosial (Dominic, 2003: 262).

Roland Barthez

Barthes menyampaikan gagasan-gagasan tersebut lebih jauh lagi

dalam bukunya yang berjudul

Mythologies, yang berisikan esai

pendek dalam berbagai contoh budaya populer. Mitos merupakan bentuk-bentuk budaya populer, akan tetapi semuanya itu menurut Barthes lebih dari sekedar itu. Kita harus mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan melakukan hal ini berarti kembali ke masalah semiologi.

“Mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, yaitu sebuah pesan”, Barthes menulis, “suatu cara penanda, sebuah bentuk”, “salah satu jenis turunan yang dilakukan melalui sebuah wawancara. Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya, oleh cara pengungkapan pesan ini” (Barthes dalam Dominic, 2003: 127).

Mitos merupakan bentuk budaya populer, salah satu hasil dari budaya populer adalah film. Dalam hal ini, Peneliti mengkaitkan budaya populer terhadap subjek penelitiannya untuk menganalisis semiotika dari film ‘?’. Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini Peneliti akan menguraikan hasil penelitian melalui observasi dan mencocokan dengan pendapat pakar guna mengkonfirmasi hasil temuan Peneliti. Peneliti menggunakan tiga tahap dalam meneliti semiotika yang terkandung dalam film ini „?‟. Tahap itu yang juga dipakai oleh Roland Barthez yaitu denotasi, konotasi, dan mitos.

Menurut Peneliti, Pembuat film mncoba ingin menunjukan, bahkan membuat peikiran terhadap masyarakan tentang toleransi atau kerukunan umat beragama. Dalampembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya

masing-masingdanuntukberibadatmenurutagam anyadan kepercayaannya itu.”Tetapi

(5)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 12 memang ada hal yang membuat tidak

semuanya ikut bertoleransi, bisa jadi dari pengaruh pemikiran dari luar dan kadar kedalaman Iman masing-masing. Terlebih lagi, mayoritas pemeluk agama di Indonesia adalah Islam. Hal-hal yang menyangkut kepercayaan atau agama di negara Indonesia merupakan hal yang sensitif.

DalamKamusBesarBahasa, definisi toleransi ialah bersifatataubersikapmenenggang

(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,

kelakuan, dsb) yang

berbedaataubertentangandenganpendiria nsendiri. Kasus toleransi antar umat beragama di Indonesia merupakan hal-hal yang sudah lama ada. Dalam kehidupan beragama sikap toleransi ini sangatlah dibutuhkan, karena dengan sikap toleransi ini kehidupan antar umat beragama dapat tetap berlangsung dengan tetap saling menghargai dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Kenyataannya, Peneliti melihat hal yang berbeda antara toleransi dalam film „?‟ dengan kenyataan kehidupan sehari-hari yang ada di Indonesia. Terbukti setelah lama film ini keluar, pada Oktober 2012 terjadi kerusuhan di Poso. Kerusuhan yang terjadi sejak 1996 kembali memanas. Kasus yang melibatkan umat muslim dan kristen ini sulit di pecahkan oleh pemerintah dan masyarakat indonesia.

Peneliti menganggap hal ini sebagai dimitologisasi, karena bertentangan dengan fakta yang ada di kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Terbukti setelah lama film ini keluar, pada Oktober 2012 terjadi kerusuhan di Poso. Kerusuhan yang terjadi sejak 1996 kembali memanas. Kasus yang melibatkan umat muslim dan kristen ini sulit di pecahkan oleh pemerintah dan masyarakat indonesia. Menurut Peneliti,

toleransi antar umat bergama bukan berarti pencampuran agama, melainkan pembauran umatnya. Itu yang terjadi dibeberapa adegan dalam film ini.

Hal ini juga dikatakan oleh Pakar film M. Bayu Widagdo lewat wawancara yang dilakukan oleh Peneliti. Beliau mengatakan “terjadi dimitologisasi, mencoba secara ekstrim menunjukan bahwa kerukunan beragama seharusnya seperti dalam filmi ini. Tapi apa kenyataanya bisa dicampur adukan seperti itu? Tentu tidak. Apa kemudian menganggap tuhan itu „satu‟ benar. Dalam kenyataannya tidak bisa seperti itu. Analoginya seperti ini, semua benda cair, apa bisa disatukan? Air dengan minyak apa bisa disatukan?. Sama dengan agama, tidak bisa dicampur adukan, yang bisa dicampur adukan itu umat beragamanya”

Penutup

Penelitian mengenai semiotika flm ini bertujuan untuk mengedukasi para penonton agar lebir cermat dan cerdas dalam menerima informasi dan pesan yang disampaikan oleh film tersebut. Untuk menemukan pesan yang disampaikan, peneliti menggunakan teori semiotika milik Roland Barthez dengan tiga tahapannya itu, yaitu denotasi, kontasi, dan mitos.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Peneliti menemukan bahwa, Pembuat film ingin membuat pemikiran baru tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan masyarakat. Namun, ada beberapa adegan yang tidak bisa dan diterapkan dalam kehidupan nyata dalam bermasyarakat. Hal ini peneliti menyimpulkan terjadi dimitologisasi dalam film ini dan fakta kehidupan bermasyarakat.

(6)

THE MESSENGER, Volume VI, Nomor 1, Edisi Januari 2014 13 Daftar Pustaka

Baran, J. Satenly, & Davis, Denis K, 2009.Mass Comunication, Foundation, Farment, and Future, Second Edition, Canada : Wadsworth, A Division of ThampsonLearing.

BimoWalgito. 1974. Pengantar Psikologi Umum. Jogjakarta : ANDI Yogjakarta Burton,

Greame. 2000.

MembincangkanTelevisi,

SebuahPengantar Kajian Televisi. Yogyakarta: JALASUTRA. Gatot Prakoso. 1997. Film Pinggiran.

Jakarta : Prakarsa

GunawanWitjaksana. 2009. Pokok-Pokok Pikiran Dalam Metodologi PenelitianKomunikasi Kualitatif. Semarang, Indonesia: Universitas Semarang.

Hassan Shadili. 2000. Film Sebagai

Komunikasi . Jakarta: PT

Gramedia

Little Jhon, Stephen. W. 1996. Theories of Human Communication, Fifth Edition, USA: Wadworth Publishing Company.

Maksum Ali. 2007. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: PusApom Press Miler, Mathew B. danHuberman, A.

Michael, Terjemahan, TjetjepRohendiRohidin. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku

Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: UI-Pers.

Mulyana, Deddy, 2001. MetodologiPenelitianKualitatif, ParadikmaBaruIlmuKomunikasi

dan Ilmu Sosial Lainnya,

Bandung: Remaja Karya

Setyo Budi, Ciptono. 2012. Teknologi

Broadcasting TV. Yogjakarta:

GrahaIlmu. .

Wawan Kuswandi. 1996. Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Bukan Buku

Artikel “Remaja Menonton Tayangan Bola” diunduh dari situs internet “http//www.salingsharing.com” 9 Oktober 2012 jam “14:00WIB”. (http://indonesiatvguide.blogspot.com/s earch/label/rating) di unduh pada tanggal 1 Desember 2012 jam 15:08 WIB.

(http://www.pengertiandefinisi.com/201 2/02/pengertian-televisi.html) di unduh pada tanggal 13 November 2012 jam 09.20 WIB.

(http://www.madridista-indonesia.com)diunduh 2 Februari 2013 Pukul 08:00WIB.

(http://olahraga.kompasiana.com) diunduh 2 Februari 2013 Pukul 08:00WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Uji Efektifitas Model Perangkap Tikus dalam Pengendalian Tikus sebagai Reservoir Penyakit di Desa Kedondong Rt 01 Rw 01 Kecamatan Demak Kabupaten Demak Tahun 2004.. Tikus adalah

 Dosen memberikan soal latihan untuk memantapkan kemampuan mereka terhadap materi yang selesai dipersentasikan. Penutup  Bersama mahasiswa merangkum

Dalam pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus I, salah satu metode yang digunakan adalah metode ceramah dan Tanya jawab. Dengan memberi penjelasan kepada siswa dan

Dari penbahasan diatas dapat disimpulkan bahwa siswa yang menerima pembelajaran dengan metode eksperimen mendapatkan prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian peserta didik MI No.81 Mico sebelum dan sesudah pengadaan pendidikan akhlak bahwa sebelum pengadaan pembinaan akhlak

Perbincangan pada kali ini lebih banyak membincangkan soal perkahwinan dalam kalangan masyarakat seharian dan kesannya pada masa akan datang serta tujuannya mengikut pandangan

Sebagai upaya untuk menghindari adanya kesalahpahaman terhadap masalah dalam skripsi ini, perlu diingat kembali bahwa penelitian ini berjudul Pembacaan Surah Yasin

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Efek