• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESETIAAN. Kate Chopin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESETIAAN. Kate Chopin"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KESETIAAN

Kate Chopin

(3)

Kesetiaan

Diterjemahkan dari: Her Letters karangan Kate Chopin

terbit tahun 1895

(Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah : Ilunga d’Uzak Penyunting : Kalima Insani Penyelaras akhir : Bared Lukaku Penata sampul : Bait El Fatih

Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA

Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351

SMS : 0853 1179 4533

Surel : relift.media@gmail.com Situs : reliftmedia.com

Pertama kali dipublikasikan pada: Januari 2015 Revisi terakhir: Juni 2017

Copyright © 2015 CV. RELIFT

Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

(4)

Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati,

peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.

Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT:

Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan

(5)

1

ia sudah berpesan tak mau diganggu. Dia sudah mengunci pintu kamarnya.

D

Rumah sunyi sekali. Hujan turun terus-menerus dari langit yang kelam, tak ada pancaran cahaya, tak ada celah awan, tak ada harapan. Api kayu dinyalakan di perapian yang lapang, menerangi kamar mewah ini sampai sudut terjauhnya.

Dari pojok meja tulisnya wanita ini mengambil buntelan tebal berisi surat-surat, diikat rapat dengan benang kuat dan kesat. Ditaruhnya buntelan tersebut di atas meja di tengah-tengah ruangan.

Berminggu-minggu sudah dia melatih diri untuk apa yang hendak dilakukannya. Ada pertimbangan mendalam pada garis-garis wajahnya yang panjang, tipis, dan sensitif. Tangannya pun panjang, lembut, berurat biru.

Dengan gunting diputusnya tali pengikat surat-surat ter-sebut, melepas yang paling atas ke meja. Dalam gerak cepat dia mendorong-dorong jarinya di antara tumpukan, menghambur-kan dan membolak-balik sampai menutupi permukaan meja yang luas.

(6)

dan bentuk, semuanya dialamatkan dengan tulisan tangan seorang lelaki dan seorang wanita. Setelah diminta, suatu hari sang lelaki mengembalikan surat-surat ini kepadanya, yang cemas terhadap berbagai kemungkinan. Waktu itu dia ber-maksud memusnahkan semuanya, suratnya sendiri dan surat sang lelaki. Empat tahun sudah berlalu, dan sejak saat itu dia hidup darinya—ditopang olehnya, menjaga semangatnya dari kebinasaan.

Tapi kini sudah tiba hari-hari di mana pertanda bahaya tak bisa lagi diabaikan. Dia tahu berbulan-bulan lalu, dirinya harus berpisah dari harta-karunnya, meninggalkannya. Dia takut akan timbulnya rasa sakit, kepedihan akibat ditemukannya surat-surat ini terhadap orang lain—terhadap orang yang dekat dengannya, yang kelembutan dan kesetiaannya telah menjadi-kannya sangat berharga.

Dengan tenang dia memilih satu surat secara acak dari tumpukan dan melemparnya ke dalam api yang menggemuruh. Surat kedua menyusul, hampir sama tenangnya. Sementara pada surat ketiga, tangannya mulai gemetar. Lalu, dalam gejolak emosi, dia melempar yang keempat, kelima, dan keenam ke dalam api secara berturut-turut sambil menahan nafas.

(7)

Kemudian dia berhenti dan mulai terengah-engah—dia jauh dari tegar, dia terus memandang api dengan tatapan terluka dan ganas. Oh, apa yang sudah dia perbuat! Apa yang belum dia perbuat! Dengan cemas dan tergesa-gesa dia mulai meng-geledah surat-surat di depannya. Yang mana yang telah dibuangnya dengan begitu kejam, begitu bengis? Untunglah bukan yang pertama, yang itu ditulis sebelum mereka sadar, atau berani, untuk saling mengucapkan “aku mencintaimu”. Bukan, bukan; ternyata masih aman. Dia tertawa riang, meng-angkatnya ke bibir. Tapi bagaimana jika satu surat lain yang paling berharga dan paling gila sudah terbakar! Di dalamnya setiap kata hasrat merasuk ke otaknya sejak lama, dan masih menggairahkannya sampai hari ini, sudah ratusan kali, kalau dia pikir-pikir. Begitu ditemukan, dia langsung menggumalnya di antara kedua telapak tangan. Diciumnya lagi dan lagi. Dengan gigi putih tajam, dirobeknya sudut yang paling jauh dari surat, di mana namanya tertulis. Digigitnya sobekan tersebut dan dikecapnya dengan bibir dan lidah layaknya makanan pemberian Tuhan.

Betapa tak terhingga rasa syukurnya mendapati dua surat-nya belum rusak! Alangkah sepi dan hampa sisa hidup ini andai tanpanya, dengan satu-satunya pikiran, pikiran ilusi, yang tak

(8)

sanggup dia simpan dalam tangannya, tak mampu dia tekan ke pipi dan dadanya.

Lelaki itu telah mengubah air dalam nadinya menjadi anggur, yang rasanya membuat mereka berdua mabuk. Yang lain-lain sama saja dan sudah berlalu, kecuali dua surat yang didekapnya ini. Dia terus bernafas lembut dan puas, dengan pipi heboh menempel padanya.

Dia sedang berpikir, memikirkan cara menyimpan surat-suratnya tanpa melukai orang lain yang mungkin tertikam lebih kejam daripada dengan pisau.

Akhirnya dia menemukan cara, cara yang mulanya membuat takut dan bingung. Tapi dia mencapainya dengan kesimpulan yang terlalu meyakinkan. Tentu saja dia berniat memusnah-kannya sendiri sebelum ajal tiba. Tapi bagaimana ajal tiba dan kapan? Siapa yang tahu? Dia akan berjaga-jaga terhadap kemungkinan kecelakaan dengan menitipkannya kepada orang yang terhindar dari mengetahui isinya.

Dia bangkit dari lamunan dan menghimpun kembali surat-surat yang terserak, mengikatnya lagi dengan benang kasar. Dibungkusnya buntelan itu dengan selembar kertas poles putih tebal. Lalu dia tuliskan di bagian belakangnya, dengan huruf besar dan tegas:

(9)

“Kutitipkan bungkusan ini pada suamiku. Dengan kepercayaan sempurna akan kesetiaan dan cintanya, aku memintanya memus-nahkan ini tanpa membukanya.”

Benda itu tak disegel, hanya ditopang seutas tali, yang bisa dilepas dan dipasang sesukanya bilamana kejenakaan meng-hampirinya untuk melewatkan waktu satu jam dalam mimpi memabukkan tentang hari-hari di mana dia merasa sangat hidup.

(10)

2

ndai dia menemukan buntelan surat tersebut di awal-awal gejolak dukacitanya, tentu takkan timbul keraguan. Memusnahkannya segera dan tanpa bertanya-tanya akan menjadi ungkapan kesetiaan—menjadi cara untuk menggapai-nya, cara untuk meneriakkan cinta kepadanya selagi dunia masih dipenuhi ilusi kehadirannya. Tapi bulan-bulan telah berlalu sejak hari musim semi itu, ketika mereka menemukan-nya terlentang di atas lantai, mencengkeram kunci meja tulisnya. Seperti berusaha menggapainya kala maut merenggut.

A

Hari ini mirip hari setahun lalu ketika daun-daun ber-guguran, hujan turun dari langit kelam yang tak memancarkan cahaya, tak mengandung harapan. Secara kebetulan dia menemukan bungkusan di pojok meja isterinya. Dan persis seperti yang dilakukan isterinya setahun lalu, dia membawanya ke meja dan meletakkannya di sana, berdiri, memperhatikan pesan di depannya dengan bingung:

“Kutitipkan bungkusan ini pada suamiku. Dengan kepercayaan sempurna akan kesetiaan dan cintanya, aku memintanya memus-nahkan ini tanpa membukanya.”

(11)

muda—menunjukkan kesetiaan dan kejujuran, dan matanya setulus dan sekasih mata anjing. Dia lelaki tinggi kuat, berdiri di tengah cahaya perapian, dengan pundak sedikit membung-kuk, rambut yang mulai menipis dan beruban, wajah yang bermartabat, dan pasti terlihat tampan bila tersenyum. Tapi dia lamban berpikir. “Memusnahkan ini tanpa membukanya,” bacanya sekali lagi, setengah lantang, “tapi kenapa tidak dibuka?”

Kembali dia memegang bungkusan itu, membolak-balik dan merabanya, ternyata berisi banyak surat yang dijejalkan.

Jadi ini surat-surat yang diminta isterinya untuk dimusnah-kan tanpa dibuka. Semasa hidupnya sang isteri tak pernah merahasiakan sesuatu darinya. Dia tahu isterinya dingin dan tak bergairah, tapi setia dan memperhatikan kenyamanan dan kebahagiaannya. Mungkinkah dia sedang memegang rahasia orang lain, yang dipercayakan kepada isterinya dan dijanjikan untuk dijaga? Tapi, tidak, sang isteri tentu akan mengisyarat-kannya melalui kata atau baris tambahan. Ini rahasianya sendiri, sesuatu yang terkandung dalam surat-surat ini, dan dia ingin mati bersamanya.

Andai lelaki ini membayangkan isterinya berada di suatu pantai remang yang jauh, menanti dirinya sepanjang tahun

(12)

dengan tangan terulur untuk mengajaknya kembali bersatu, dia takkan merasa bimbang. Dengan yakin dan penuh harapan, dia akan berpikir “dalam pertemuan menyenangkan itu, jiwa dengan jiwa, isteriku akan menceritakan semuanya padaku; sampai saat itu tiba aku bisa menunggu dan percaya.” Tapi dia tak bisa membayangkannya berada di suatu surga yang jauh, menanti dirinya. Dia merasa tak ada lagi sedikitpun jejak isterinya di manapun di alam semesta ini, lebih dari sebelum terlahir ke dunia. Tapi sang isteri membubuhkan signifikansi besar dalam keinginan yang tak terukur, terucap ketika nyawa masih mengaliri urat nadinya, sadar pesan ini akan sampai kepadanya tatkala maut memisahkan mereka, yakin penuh akan pengaruh dan potensinya. Dia pun terharu oleh keberanian luar biasa itu, keluhuran tindakan itu, yang turut memuliakan dan mengangkat dirinya di atas makhluk hidup secara umum.

Rahasia apa yang ingin dikubur seorang wanita bersama kematiannya? Kecuali satu. Betapa cepat bisikan ini timbul dalam pikirannya, betapa cepat insting kecemburuan lelaki merayap ke dalam darahnya. Jemarinya mengejang pada bungkusan di tangannya, dia merosot ke kursi di samping meja. Kecurigaan menyakitkan bahwa ada pria lain yang sama-sama

(13)

menerima perhatian isterinya, kasih-sayangnya, hidupnya, seketika mencerabut kehormatan dan nalarnya. Dia menusuk-kan ujung jempol kuatnya ke bawah tali, padahal bisa saja terlepas dengan satu puntiran. “Dengan kepercayaan sempurna

akan kesetiaan dan cintamu.” Ini bukanlah tulisan yang

menyapa mata, ini seperti suara yang menyapa jiwanya. Sambil gemetar sedih, dia membungkukkan kepala ke atas surat-surat itu.

Dia pernah melihat seorang tukang tenung mengangkat surat ke kening dan mengaku tahu isinya. Sesaat dia bertanya-tanya mungkinkah bakat demikian, karena menginginkannya, juga turun padanya. Tapi dia baru sadar, permukaan lembut kertas itu, dingin di dahinya, seperti sentuhan tangan mayat wanita.

Setengah jam berlalu sebelum dia mengangkat kepala. Konflik tak terkatakan berkecamuk di dalam dirinya, tapi kesetiaan dan cintanya telah menang. Wajahnya pucat dan berguratkan penderitaan, tapi tak tampak lagi keraguan di situ.

Untuk waktu lama dia tidak berpikir untuk melempar bungkusan tebal itu ke dalam api agar dijilat oleh lidah-lidah yang berkobar sampai terbakar hangus, dan setengah tersingkap di depan matanya. Bukan itu yang dimaksudkan

(14)

isterinya. Dia bangkit, mengambil penindih kertas perunggu dari meja, mengikatnya kuat-kuat pada bungkusan. Dia berjalan ke jendela dan memandang jalan di bawah. Kegelapan telah menyelimuti, dan hujan masih turun. Dia bisa dengar rintik hujan menerpa kaca-kaca jendela, dan bisa melihatnya turun di antara lingkaran cahaya kuning yang dipantulkan lampu jalan.

Dia bersiap pergi keluar. Setelah cukup siap untuk meninggalkan rumah, dimasukkannya bungkusan berpenindih itu ke dalam saku mantel.

Dia tidak tergesa-gesa di jalan raya, tidak seperti kebanyakan orang pada jam segitu. Dia hanya berjalan dengan langkah lambat dan tenang, tidak menghiraukan udara dingin yang menusuk dan hujan yang menyerbu wajahnya di bawah naungan payung.

Tempat tinggalnya tidak jauh dari distrik bisnis kota, dan tidak butuh waktu lama untuknya sampai di gerbang jembatan yang merentangi sungai—sungai dalam, lebar, deras, hitam, yang membelah dua Negara Bagian. Dia berjalan naik-turun sampai ke tengah-tengah bangunan. Angin bertiup kencang. Kegelapan di tempatnya berdiri sangat pekat. Ribuan lampu di kota yang baru saja ditinggalkannya bagaikan kumpulan bintang langit, tenggelam ke ufuk jauh nan misterius,

(15)

meninggalkannya sendirian di alam semesta yang gelap tak berbatas.

Dikeluarkannya bungkusan dari saku, lalu dia mencondong sejauh mungkin di atas pagar batu jembatan, terus dilemparnya ke sungai. Jatuh lurus dan cepat dari tangannya. Dia tak bisa mengikuti arah jatuhnya di antara kegelapan, pun tidak mendengar ceburannya ke air jauh di bawah. Lenyap dalam sunyi, seakan memasuki ruang hitam tak terukur. Dia merasa mengembalikannya kepada isterinya di dunia asing yang telah dimasukinya.

(16)

3

atu atau dua jam kemudian dia duduk di mejanya bersama beberapa pria yang diundang makan malam. Sebuah beban memberatkan jiwanya, sebuah keyakinan, sebuah kepastian bahwa hanya ada satu rahasia yang ingin dikubur seorang wanita bersama kematiannya. Pemikiran ini merasukinya, menyita pikirannya, membuat otaknya cekatan dan selalu curiga. Ini mencengkeram hatinya, menjadikan setiap nafas eksistensi sebagai momen penderitaan yang baru.

S

Para lelaki di sekelilingnya bukan lagi teman seperti hari kemarin. Pada masing-masingnya dia melihat musuh potensial. Acuh tak acuh dia ikuti obrolan mereka. Dia ingat bagaimana isterinya bersikap terhadap lelaki ini dan itu, berusaha mengingat perbincangan, seluk-beluk ekspresi muka yang maknanya tidak pernah dia curigai, bayang-bayang maksud ucapan dalam pertemuan ramah-tamah biasa.

Dia arahkan pembicaraan ke soal wanita, menggali pendapat dan pengalaman para lelaki ini. Semua mengklaim mampu meraih cinta wanita manapun yang mereka pilih. Dia sudah dengar bualan kosong ini sebelumnya dari kelompok yang sama dan selalu menanggapinya dengan jijik tapi santai. Tapi malam

(17)

ini setiap ucapan keji dan bodoh bermuatan makna baru, menyingkap kemungkinan yang selama ini tak pernah diperhitungkan.

Dia sangat senang ketika mereka pergi. Dia ingin sendirian, bukan karena nafsu atau niat tidur. Dia tak sabar untuk kembali ke kamar isterinya, kamar di mana mendiang tinggal selama sebagian besar hidupnya, dan di mana dia menemukan surat-surat itu. Pasti masih ada yang lain di suatu tempat, pikirnya, suatu carikan terlupakan, suatu pemikiran atau ungkapan tertulis yang luput dari jangkauan.

Pada jam tidur, dia justru duduk di depan meja tulis isterinya dan mulai menggeledah laci-laci, sorongan, kotak meja, pojok-pojok, sudut-sudut. Dia tak melewatkan secarik kertas pun. Kebanyakan surat yang ditemukannya berumur tua: sebagian sudah pernah dibaca, sisanya baru. Tapi dia tak menemukan bukti sedikitpun bahwa isterinya bukan wanita jujur dan setia yang selama ini diyakininya. Malam hampir habis sebelum penggeledahan nihil itu berakhir. Tidur singkat dan berat yang dilaluinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi aneh dan meresahkan. Sepanjang mimpinya dia samar-samar mendengar dan melihat sungai gelap yang mengalir deras, menyeret hatinya, ambisinya, hidupnya.

(18)

Tapi bukan dalam surat saja kaum wanita menampakkan emosi mereka, pikirnya. Seringkali mereka, terutama kala jatuh cinta, menandai kalimat-kalimat pelarian yang sentimentil dalam buku-buku sajak atau prosa, sehingga mengungkap dan menyingkap pikiran tersembunyi mereka. Mungkinkah isteri-nya berbuat sama?

Lalu dimulailah pencarian kedua, jauh lebih melelahkan dan berat, membalik volume-volume yang menyesaki kamarnya, halaman demi halaman—buku-buku fiksi, syair, filsafat. Semua sudah dibaca oleh mendiang, tapi dia tak temukan petunjuk bahwa penulisnya menggaungkan rahasia kehidupan isterinya —rahasia yang telah dia lempar ke sungai.

Dia mulai mempertanyakan penulis ini dan itu, berusaha mempelajari pikiran masing-masing tentang isterinya. Dia tahu isterinya tidak menimbulkan simpati mereka lantaran sikap dinginnya. Yang satu mengagumi kepandaiannya, yang lain pencapaiannya, yang lain kecantikannya sebelum ditimpa penyakit, namun sambil menyesali ketiadaan rona dan ekspresi. Isterinya dipuji oleh sebagian orang karena kelembutan dan kebaikannya, dan sebagian lain karena kecerdikan dan kebijaksanaannya. Oh, percuma mencari-cari pendapat kaum lelaki! Dia sudah tahu semuanya. Kaum wanitalah yang

(19)

biasa-nya membicarakan apa yang mereka ketahui.

Para lelaki memang bicara terang-terangan. Kebanyakan mereka mencintai isterinya, mereka yang tidak menaruh hormat dan penghargaan terhadap mendiang.

(20)

4

api, tapi, “hanya ada satu rahasia yang ingin dikubur seorang wanita bersama kematiannya.” Pikiran ini terus menghantuinya dan meresahkannya. Siang demi siang, malam demi malam, ketidakpastian perlahan-lahan melemahkan dan menyiksanya. Kepastian atas kemungkinan terburuk akan lebih menenteramkannya, meski mengorbankan kebahagiaan.

T

Dia tak lagi peduli manusia mesti datang dan pergi, jatuh dan bangun, menikah dan mati. Tak lagi penting jika uang mendatanginya karena kemujuran atau menjauhinya. Hampa dan tanpa makna baginya semua gemerlap yang dunia tawar-kan untuk menghibur manusia. Hilang sudah citarasa matawar-kanan dan minuman yang dihidangkan di depannya. Dia tak lagi tahu atau peduli apakah mentari bersinar ataukah awan meng-gelayut rendah. Kemungkinan kejam telah menamparnya di bagian paling lemah, meremukkan seluruh hakikatnya, menyi-sakan satu keinginan dalam jiwanya, satu hasrat yang meng-gerogoti, yakni mengetahui misteri yang pernah dipegangnya dan dilemparnya ke sungai.

Suatu malam, kala tak ada bintang bersinar, dia keluyuran di jalan-jalan, gundah. Dia tak lagi mencaritahu dari kaum lelaki

(21)

dan wanita, apa yang tidak berani atau tidak bisa mereka beritahukan. Hanya sungai yang tahu. Dia pergi dan berdiri lagi di atas jembatan yang sama di mana berjam-jam sudah berlalu sejak malam itu, ketika kegelapan menyelimuti dirinya dan menelan kemanusiaannya.

Hanya sungai yang tahu. Menggemerisik. Dia mendengar-kannya. Tidak memberitahukan apa-apa, tapi menjanjikan segalanya. Dia bisa mendengarnya menjanjikan kedamaian dan ketenangan dengan suara penuh perhatian. Dia bisa mendengar usapannya, nyanyian air yang mengundangnya.

Tak lama kemudian dia pergi mencari isterinya, bergabung dengannya dan pikiran tersembunyinya dalam tidur tak terhingga.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini maka ada beberapa kesimpulan yang bisa menjadi acuannya adalah secara parsial maupun simultan

Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap

simultan terhadap Organization al Citizenship Behavior (OCB) 2) Tidak terdapat pengaruh Komitmen Afektif terhadap Organization al Citizenship Behavior (OCB) 3) Terdapat

Ogan Komering

Walaupun tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan dalam proses penyusunan anggaran merupakan faktor utama yang mnembedakan antara anggaran partisipatif dan anggaran

Norfazila Hamid (2019) menyatakan bahawa kaedah ini juga dapat membantu dalam memperoleh kosa ilmu utama berhubung kajian yang telah dilakukan oleh pengkaji terdahulu

Adapun tujuan sistem pengendalian intern pemerintah adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan