• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LENGKUNG LINGKARAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III LENGKUNG LINGKARAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

MINGGU KE 4,5,&6

Diskripsi singkat : materi minggu ini berisi tentang arti penting survey rute, dasar-dasar survey rute dan tahapan-tahapan pekerjaan survey rute dan macam-macam rute.

Manfaat : apabila mahasiswa menguasai pengetahuan dasar ini maka untuk melangkah lebih lanjut akan menjadi lebih mudah dan terarah.

Relevansi : setelah mengikuti kuliah minggu ini, diharapkan mahasiswa akan termotifasi untuk mempelajari materi selanjutnya.

Learning Outcome : setelah mengikuti kuliah minggu ini mahasiswa dapat memahami dasar-dasar survey rute dan ruang lingkupnya serta arti pentingnya materi ini dalam pembangunan dewasa ini.

BAB III

LENGKUNG LINGKARAN

BAGIAN I : PERMASALAHAN UMUM

III.1. Pendahuluan

Bentuk survei jalur adalah suatualinyemen geometris yang dapat dihitung.

Bentuk yang paling sederhana adalah garis-garis lurus dengan susut-sudut seperti halnya pada jalur transmisi. Pada jalan raya sudut-sudut “dilicinkan” dengan keluk-keluk, sesuai dengan keperluan. Pada umumnya keluk horosontal merupakan lingkaran dan yang vertikal berupa parabola.

III.1.1. Tangen

Bagian yang lurus dari suatu jalur seringkali dinamakan tangen. Untuk menghitung koordinat dari patok-patok kilometer (Km) atau hektometer (Hm) kita buat persamaan sebagai berikut:

(2)

dan untuk tangen II : Di sini

Gambar III.1. Arah garis tangen

M dan p dihitung dari buah titik yang diketahui koordinat pada tangen yang bersangkutan.

III.1.2. Definisi dan Notasi

Dua jalur lurus yang berpotongan, disambung dengan keluk lingkaran antara kedua jalur lurus tersebut. Sambungan lingkaran ini disesuaikan dengan syarat-syarat yang terletak pada bagian lurus atau tangen.

(3)

Titik potong V disebut “Point of intersection” atau PI. adalah sudut perpotongan dari tangen I dan II. Persamaan dari kedua tangen ini adalah:

R : radius atau jari-jari lingkaran (untuk jalan besar, R = 500 m s/d 5000m)

III.1.3. Cara Menghitung (gambar III.2)

a. Menghitung koordinat titik V dari persamaan tangen I dan II, sehingga didapat XV dan YV.

b. Hitung T1V = T2V = R. tg ½

c. Hitung sudut yang meliputi bagian busur 100 m (jarak antara dua patok hm).

d. Koordinat setiap titik di tangen I dapat dihitung dengan perssamaan :

titik P (xp,yp) terletak pada tangen I

e. Kordinat titik dihitung dengan jarak :

f. Titik-titik hektometer (Hm) dihitung dengan menambah sudut , sehingga seluruhnya terbentuk.

g. Koordinat terakhir dari busur lingkaran setelah , harus sama dengan koordinat titik .

h. adalah titik pertama dari tangen II dengan persamaan :

Sebagai kontrol, koordinat titik dihitung juga dengan rumus: .

(4)

III.1.4.. Pemasangan Patok Utama. (gambar III.2)

Pertama-tama dipasang patok pada titik-titik utama, disini ada lima (5) titik utama yaitu: O : titik pusat lingkaran,

V : titik perpotongan dari tangen I dan tangen II, DAN : titik mula dan akhir dan busur lingkaran,

M : titik tengah dari busur lingkaran.

Kemudian dipasang patok pada titik-titik hektometer (hm) setiap jarak 100 meter dan dibagian tangen dengn jarak 400 sampai 500 meter, setelah setiap 100 meter pada busur lingkaran ke arah tangen diselesaikan dengan cara “innzichten” atau “ranging”.

III.1.4.1. Dengan menggunakan titik pusat O

Titik A dan B menentukan tangen I dan titik C dan D menentukan tangen II. Jari-jari (R) diketahui (lihat gambar III.3).

Penjelasan :

Buat garis tegak lurus di titik-titik A,B,C dan D dengan panjang R.

Buat dua buah garis lurus sejajar dengan tangen I dan tangen II. Perpotongan kedua garis ini adalah pusat O.

Gambar III.3. Pemasangan patok titik-titik utama.

Dari titik O dibuat garis-garis yang tegak lurus dengan tangen I dan tangen II dengan jarak R, Titik-titik Nadir atau kaki di tangen I adalah dan DI tangen II adalah Titik V adalah perpotongan antara tangen I dan II.

(5)

Titik M didapat dengan membuat garis dari V ke O. ukurkan jarak R dari O pada garis tersebut.

Sebagai contoh : tegak lurus pada OV. O = O =R

M = M

V = V

III.1.4.2. Tidak menggunakan titik pusat O

Titik A dan B menentukan tangen I dan titik C dan D menentukan tangen II. Jari-jari R telah diketahui (gambar 7)

V = V = R tg

G = G = R = =

M = M = MG = R-R = R(1- ) = 2R sin2

MV =OV – R=- R tg tg

T1F1= T2F2 = MF1 = R tg

Gambar III.4. Pemasangan titik-titik utama tanpa titik pusat O.

Semua besaran di atas dinyatakan dalam : R dan Mencari sudut ada bebrapa macam cara :

(6)

1. dapat diukur secara langsung bila di V dapat didirikan alat ukur (teodolit) serta dapat membidik titik B dan C.

2. Apabila titik B dapat dilihat dari C dan sebaliknya, maka α1 dan α2 dapat diukur dengan teodolit. Sehingga

III.1.4.3. Hitung secara grafis

Gambar III.5. Mencari secara grafis.

Titip P2 pada tangen II, buat dari titik ini tegaklurus tangen I di Q bagaimana? Dalam VP2 dapat diukur a,b,c.

Dalam P1P2Q dapat dihitung

III.1.4.4. Cara lain

Dari V dibuat VP2 = VP3 = diukur P2P3 = d Sehingga dapat dihitung :

Setelah didapat, titik-titik utama dapat ditentukan dari V. Apabila alat tidak dapat didirikan di V dapat digunakan cara III.1.4.2. (pada gambar III.4)

Dalam BVC, jarak BC diukur ; BV= BC ; CV = BC

Jadi, BT1 = BV-T1V dan CT2 = T2V-CV, dan dengan cara ini kita dapatkan titik-titik T1 dan T2 dari titik B dan titik C.

(7)

Kalau busur lingkaran tersebut sangat panjang, busur tersebut harus dibagi-bagi dan M diambil menjadi titik tangen MF1 menjadi tangen 1.

III.2. Klasifikasi.

Hasil dari survei rute berupa garis lurus dan lengkung. Secara teknis, garis-garis lurus disebut dengan tangent, dan lengkung yang menghubungkan dua buah tangent yang berpotongan dinyatakan dengan besaran jari-jarinya, atau dengan besarnya sudut pusat yang mengapit busur atau talibusur sebesar 100 ft.

Lengkung lingkaran diklasifikasikan dalam sederhana, majemuk dan bolak-balik.

III.2.1. Fungsi atau Bagian-Bagian dari Lengkungan.

Lengkung sederhana adalah berupa lingkaran yang menghubungkan dua garis

lurus. Gambar 9 memperlihatkan lengkung tersebut dengan segala keterkaitannya, atau fungsinya, yang akan dijelaskan dibawah ini.

1. Apabila kedua tangen yang berturutan keduanya diperpanjang akan berpotongan pada titik yang dinamakan titik potong PI atau (vertek, V)

2. Dengan aturan / ketentuan dari kiri ke kanan disekeliling lengkungan, titik A , permulaan dari lengkungan dinamakan dengan titik mula lengkungan / titik belok (TB) / PC ( Point of curfature), sedangkan titik B akhir dari lengkungan dikatakan dengan

titik akhir lengkungan / titik lurus (TL) / PT (point of tangency).

3. Bagian luar dari sudut defleksi diantara tangent disebut dengan sudut interseksi / sudut potong. Sudut ini (Δ) sama dengan sudut pusat yang mengapit busur AB.

4. Pada gambar 9, jarak VA (= VB) dari PI ke PC (atau ke PT) disebut dengan jarak tangen T. Selanjutnya

T = R tg ½Δ ……..……… (III.1) 5. Jarak lurus AB dari permulaan ke akhir lengkungan disebut dengan talibusur panjang

(TP)/(LC). Dari gambar 9, sin ½Δ = R LC OA AD 1/2( )

(8)

Gambar III.6. Bagian dari lengkung lingkaran

6. Jarak ekternal E adalah jarak dari PI ke tengah lengkungan . Dari gambar III.6, cos ½Δ = E R R OF OA

yang darinya E = R(sec½Δ –1) = R exsec ½Δ……... .(III.3) kombinasikan persamaan (1) dan (3) didapatkan

E = T tg ½Δ ...………...(III.4)

7. Ordinat tengah M adalah jarak ordinat dari titik tengah talibusur panjang ke titik tengah busur lengkung lingkaran. Dari gambar 9,

cos ½Δ = R M R OA OD yang daripadanya

M = R(1- cos Δ) = R vers ½Δ ...(III.5)

Catatan :

exect Δ = ( secan Δ – 1 ) vers Δ = ( 1 – cos Δ )

8. Kelengkungan dari busur lingkaran dinyatakan dengan besaran jari-jarinya atau dengan derajat kelengkungan

9. Derajat kelengkungan D didefinisikan sebagai : a.sudut pusat yang mengapit busur 100 ft (Gbr III.7),atau b.sudut pusat yang mengapit talibusur 100 ft (Gbr III.8)

(9)

a. Dari gambar III.7.(definisi busur) R = D 100 ( D dalam radian) = D 578 , 729 . 5 ( D dalam derajat) Atau dari proporsional (gambar III.2)

100 : 2 π R = D0 : 3600 R = D 578 , 729 . 5

(definisi busur) ...(III.6)

Memperlihatkan bahwa R berbanding terbalik dengan D

Gambar III.7. Definisi busur Gambar III.8.Deffinisi talibusur

Misal D = 10, ini berarti bahwa jari-jari dari lengkung 10 dalam definisi busur adalah 5.729,578 ft.

b. Pada gambar 11, kita punya sin ½D = 50/R, sehingga R =

D 2 1 sin 50 (definisi talibusur) ...(III.7)

Apabila D = 10 , Persamaan 7 memberikan R = 5.729,648 ft , hal itu berarti jari-jari dari 10 lengkungan dalam definisi talibusur adalah 5.729,648 ft

(10)

Gambar III.9

Baik dari persamaan (III.6) maupun (III.7) kita punya harga pendekatan yang sama, R = D 730 . 5 atau D = R 730 . 5 ...(III.8)

Catatan: pada Tabel 5 menyajikan variasi harga R untuk harga D yang tertentu baik pada definisi busur maupun talibusur. Disitu terlihat bahwa untuk beda sudut yang kecil mempunyai perbedaan lengkungan yang kecil.

10. Jarak talibusur c selalu lebih kecil dari jarak busur s (Gbr. ). Dengan harga R , baik dengan difinisi busur maupun talibusur,kita punya :

Jarak tali busur yang sebenarnya = 2R sin ½θ ...(9) Dari gambar III.2 dan III.4, kita punya hal yang sebanding 100 s D atau D s 100 ; sehingga, c (definisi busur) = 2R sin( s D

100 2 1

)...(III.10)

Pada Tabel 7, menunjukkan variasi hubungan antara jarak talibusur dan jarak busur. Jarak nominal talibusur (definisi talibusur) dari sub talibusur adalah 100 θ/D. Ini adalah difinisi yang sebenarnya tidak benar, tanpa dasar teori, karena talibusur tidak eksak proporsional bersesuaian terhadap sudut pusat, tetapi hal ini telah lama digunakan dalam praktek perencanaan jalan kereta api. Sebagai contoh, nominal subtalibusur 60 ft akan mendapatkan sudut apit sebesar 60/100.D; jarak yang sebenarnya adalah sedikit

(11)

lebih dari 60 ft, dan bisa dihitung dengan rumus (III.9). Dengan lengkung 100 dengan jarak talibusur nominal 50 ft, jarak yang sebenarnya adalah 50,05 ft (lihat Tabel 10). 11. Jarak busur s pada masalah jarak talibusur c (definisi busur) dapat dihitung dengan rumus (10). Dengan demikian c = 2R sin [½(s/100)D];

sin [½(s/100)D] = c/2R; ½(s/100)D = arc sin (c/2R), dimana R = 5.729,578/D. Selanjutnya, s = ) 156 , 459 . 11 . sin( . 200 2 sin . 200 cD arc D R c arc D ... (III.11) Gambar III.10.

III.2.2. Elemen-Elemen dari Layout Lengkungan

Sudut antara secant dan tangen, atau antara dua secant memotong busur lengkungan, besarnya adalah setengah dari sudut yang mengapitnya. Dengan begitu, pada gambar 13, sudut VA1 = ½ sudut AO1, sudut VA2 = ½ AO2, dst.

Berawal dari titik A (PC), apabila talibusur pertama A1 jarak talibusur penuh, kita mendapatkan sudut defleksi VA1 (=½D), dan titik 1 ada pada lengkungan, busur A1 menjadi 100 ft (definisi busur) atau talibusur A1 menjadi 100 ft (definisi talibusur). Untuk stasiun 2 , sudut defleksi tambahan 1A2 (= ½ D), dan dengan titik nol pita ukur di titik 1, tarik pita ukur sedemikian rupa hingga angka 100 ft berpotongan dengan arah A2. Stasiun 2 sekarang ada pada lengkungan, dst.

(12)

Apabila talibusur terakhir 3B (gbr III 10) adalah subtalibusur, sudut defleksi yang terakhir (= ½Ə) lebih kecil dari ½D. Sudut defleksi yang terakhir BAV adalah ½Δ. Hal ini sangat penting, dalam semua kasus maka apabila lengkung dimulai atau diakhiri dengan subtalibusur dan defleksinya tidak tertentu besarnya, sudut defleksi yang terakhir harus dihitung secara saksama dan tambahkan pada sudut defleksi sebelumnya untuk mengetahui besarnya jumlah sudut defleksi mestinya harus sama dengan ½ Δ.

Apabila titik B telah ditentukan lebih dahulu, maka garis AB harus memotong titik B , apabila tidak, mungkin terjadi penumpukan kesalahan pada layout lengkungan, titik B harus dijadikan acuan sebagai PT dari lengkungan.

Contoh 1. Diketahui Δ = 80 dan D = 20 12’. Asumsikan stasiun 42 menjadi PC pada lengkungan , dihitung berapa jarak lengkungan L dan data lengkungan, pada basis dari definisi busur.

Solusi: L = 100 Δ/D = 100 (8/2,2) = 363,636 ft.

Dengan Tabel 2, tangen AV dan VB untuk Δ = 80 dan D = 20 12’ sama dengan T untuk lengkungan 10 / D = 2 , 2 651 , 400 = 182,114 ft. Sebagai cek, T = R tg ½Δ = (0,0699268 2 , 2 651 , 5729 = 182,114 ft.

Stasiun dari titik V (PI) sekarang dapat dihitung : PC = 42 + 00

T = 1 + 82,144 PI = 43 + 82,144

Lengkungan bermula dengan 100 ft busur (=99,99 ft talibusur) dan berahir pada panjang subbusur 63,63 ft. Berawal dari stasiun 42+00, defleksinya ½D = 10 06’ ke stasiun 43. Untuk setiap penambahan busur 100 ft penambahan defleksi adalah 10 06’. Defleksi terahir untuk subbusur 63,636 ft adalah (1 06')

100 636 , 63 0 = 00 42’. Sebagai cek, 3 X ( 10 06’) + 00 42’ = 40 ( ½Δ) Defleksinya adalah sbb : PC Sta 42 + 00 = 00 00’30 18’

(13)

43 00 + 10 06’ = 10 06’ 44 10 06’ + 10 06’ = 20 12’ 45 20 12’ + 10 06’ = 30 18’ PT Sta 45+63,636 = 30 18’ + 00 42’ = 40 00’

Catatan : defleksi terakhir harus menjadi ½Δ = ½ (80) = 40 00’.

Contoh 2. Diketahui D = 150 , PC pada stasiun 12 + 60. Dicari sudut defleksi dan subtalibusur dari PC ke sta.13 dan sta 14, pada basis kedua definisi tersebut dari derajat kelengkungan.

Gambar III.11. Talibusur,sub talibusur dsb untuk kedua definisi untuk D = 150. (a) Definisi busur, R = 381,97.

(b) Definisi talibusur. R = 383,06.

Solusi : perhatikan gambar di atas.

a.Definisi busur. Defleksi ke sta. 13 untuk busur 40 ft

3 00' 2

100

40 D 0

X

b. Definisi talibusur. Defleksi ke sta.13 untuk 0,4 stasiun (atau nominal talibusur dari 40 ft) adalah 40/100 X D/2 = 30 00’. Talibusur nominal dari 40 ft ke sta.13 adalah 6/15 X 100 = 40 ft, dalam derajat busur adalah 40/100 X 100,286 (dari Tabel 11) = 40,114 ft.

(14)

III.3. Unit Lengkungan.

Panjang busur/talibusur dari dua lingkaran dengan sudut pusat yang sama Δ

berbanding langsung dengan besar jari-jarinya . Sehingga ' ' R

R L

L

Karena T = R tg ½Δ, maka kita punya ' ' ' L L R R T T

Gambar III.12. Memperlihatkan bahwa sudut defleksi independen terhadap jarak lengkungan

Dengan cara yang sama, bisa dikatakan bahwa semua bagian dari suatu lengkung lingkaran akan sebanding dengan bagian pada lengkung lingkaran yang lain yang mempunyai sudut pusat yang sama.

Fungsi dari kelengkungan adalah untuk perkalian dari berbagai bagian, yang dapat dikatakan menjadi unit lengkungan . Dengan begitu kita mungkin menggunakan :

a. 10 kelengkungan, yang secara luas dipakai di USA b. Kelengkungan dalam unit panjang/jarak

(15)

c. Kelengkungan dalam unit jari-jari (radius), hal ini dijadikan standar praktis di Inggris dan beberapa negara lain.

a. 10 Kelengkungan atau kelengkungan 10. Apabila D = 10 , maka R = 5.729,58 (definisi busur) atau R = 5.729,65 (definisi talibusur). Diambil harga rata-ratanya dan dibulatkan menjadi 5.729,6. Kemudian,

T (untuk klkgn 10) = 5.729,6 tg ½Δ

E (untuk klkgn 10) = 5.729,6 exsec ½Δ , dst

Contoh 1. Diketahui Δ = 470 20’, D = 120 , ditanyakan T dan E Solusi: Dengan Tabel 2

T = T utk klkgn 209,26ft 12 13 , 511 . 2 12 ) 1 ( 0 . Dan E = E utk klkgn 43,84ft 12 13 , 526 12 ) 1 ( 0

Untuk definisi busur harga T dan E adalah eksak, tetapi untuk definisi talibusur untuk keduanya perlu ditambahkan koreksi. Dengan demikian, dengan Tabel 3, besaran koreksi 0,38 ft ditambahkan pada T, menjadikan harga T = 209,64 ft

b. Unit busur 100 ft. Apabila unit lengkungan didefinisikan jarak busur 100 ft , maka L (unit lengkungan) = 100 = 100.

D

Dimana D = Δ, dan jari-jari dari unit lengkungan (definisi busur) = 5.729,58/Δ.

Untuk sembarang sudut Δ , panjang lengkung L umumnya ditentukan oleh harga yang diinginkan dari bagian yang lain seperti E, T, D, R, LC, atau M.

Contoh 2. Diketahui Δ = 400 50’ dan E = 47 ft (pendekatan) . Ditanyakan L dan bagian-bagian yang lain dari lengkungan.

Solusi: Dari uji lapangan, jarak eksternal E kurang lebih 47 ft. Pada Tabel 1, E = 9,405 ft bila L = 100 ft. Kemudian, L = stasiun ft lkgn unit untuk E 9,405 4,997 499,7 47 ) . . ( 47

Berarti L = 500 ft, menurut aturannya,

(16)

R = 140,32 X 5 = 701,6 ft T = 52,230 X 5 = 261,15 ft E = 9,405 X 5 = 47,025 ft LC = 97,897 X 5 = 489,48 ft M ord = 8,815 X 5 = 44,075 ft

c. Unit jari-jari. Ambil Δ0 = sudut pusat yang mengapit busur dengan jari-jari R, kita punya perseimbangan : 0 0 360 2 R busur

Dengan demikian, panjang busu r =

180 X R.Δ 0 = 29578 , 57 . 0 R ...( III.12) Bila R = 1, Tabel 13 memberikan panjang busur untuk berbagai variasi sudut pusat Δ.

Contoh 3. Diketahui Δ = 360 40’ 30” dan R = 500 ft. Berapa panjang busur ? Solusi : Dengan persamaan (16),

Panjang/jarak busur = X 320,05ft 29578 , 57 675 , 36 500

Sebagai cek, dari Tabel 13, Sudut busur ( R = 1) 360 0,6283185 40’ 0,0116355 30” 0,0001454 0,6400994

Kemudian, pajang busur = 500 X 0,6401 = 320,05 ft.

Bila R = 10.000, Tabel 1 (bagian kedua) memberikan harga tangen dan eksternal dari sudut perpotongan Δ. Untuk sembarang jari-jari yang lain, besaran busurnya akan sesuai perimbangannya. Dus, bila R = 1.000 ft, harga T dan E adalah sepersepuluh dari harga Tabel.

(17)

Solusi: Dengan Tabel 1, T (untuk jari-jari 10.000) = 3.672,68. Selanjutnya, T (untuk R= 4.000) = X3.672,68 1.469,07.ft 000 . 10 000 . 4 Juga, E (untuk R= 4000) = X653,1 261,24ft 000 . 10 000 . 4

Menggunakan jari-jari yang telah ditetapkan (Tabel 5) T dan E dapat diperoleh baik untuk definisi panjang busur maupun talibusur dari D.

III.4. Lengkung dengan Jari-Jari yang Sama.

Pemilihan dan kelengkapan lengkungan dengan dasar jari-jari atau derajat

kelengkungan lebih disukai oleh beberapa Departemen Jalan Raya dan Kereta api di USA, dan di Inggris.

Sudut defleksi untuk satu stasiun (definisi busur) adalah: ½D = ) ( 578 , 729 . 5 2 1 derajat R = ( ) 3 , 887 . 171 menit R

Selanjutnya, defleksi per feet busur = 1.718,873(menit)

R ...(III.13)

Contoh 1. Diketahui R = 500 ft. Hitung sudut defleksi untuk sebuah stasiun (100 ft

busur)

Solusi : Dengan persamaan (17), atau dengan Tabel 14, defleksi per feet busur = 3,438 menit. Untuk satu stasiun defleksinya = 343,8’ = 50

43,8’.

Contoh 2. Diketahui Δ = 400 50’ dan E = 47 ft (pende

katan). Berapa harga R serta T dan E.

Solusi : Dengan Tabel 1 (bagian kedua), E = 670,3 untuk Δ = 400 50’ dan R = 10.000. Maka R = X10.000 701,2ft 3 , 670 47

Dengan pembulatan R = 700 ft. Sesuai Tabel 1, T = X3.722,28 260,56ft

000 . 10

(18)

E = X670,30 46,92ft 000

. 10

700

III.5. Pemilihan Lengkungan dan Prosedur Lapangan.

Untuk memenuhi persaratan keselamatan lalulintas kecepatan tinggi baik jalan raya maupun kereta api, kelengkungan harus dikurangi hingga minimal dan sesuai

dengan kondisi topografi. Terlalu sering mengambil pembulatan dari harga kelengkungan tidak akan menambah kebaikan alinemen tetapi berakibat pada tampilan jarak yang lebih baik atau bisa dihemat.

Gambar III.13 .Lengkung di pendekkan dan lebih didatarkan AB dari pada AabB

Dalam gambar di atas sebuah lengkungan dengan derajat kelengkungan D , jari-jari R (ft) dan T (ft) yang lebih datar AB, sedangkan d, r, t adalah komponen dari lengkung yang lebih tajam ab, sudut defleksi luar adalah Δ (dlm derajat).

Hal ini menjadi :

T = VA = VB = R tg ½Δ; t = Va = Vb = r tg ½Δ Juga , Aa = bB = T – t

Berasumsi tangen tak terbatas dan Δ yang sama, jarak yang dihemat dengan penggunaan lengkung yang lebih datar adalah

(Aa + lengkung ab + bB) – lengkung AB = 2( ) 100( ) 100( )

D d

t

T . . . (a) Tapi ingat bahwa

R = D 58 , 729 . 5 , r = d 58 , 729 . 5

(19)

Subtitusi pada (a), dan kemudian direduksi ,

Jarak yang dihemat = 1 1 X 11.459,16(tg1/2 ) 100

d

D . ...(III.14)

Dimana D, d, dan Δ dalam derajat, sedangkan jarak yang dihemat dalam feet. Dengan demikian apabila Δ = 400 20’, D = 00 24’ (= 0,40), dan d = 10 , jarak yang bisa dihemat dengan menggunakan lengkung yang lebih mendatar adalah :

X 11.459,16(0,3672680) 4.033,333 262,87ft 1 1 4 , 0 1

Selanjutnya, bila Δ = 220 , a 00 20’ lengkung adalah 54,87 ft lebih pendek dari lengkung dengan a 10 . Juga bila Δ = 900 , a 1020’ lengkung akan lebih pendek 614,8 ft daripada lengkung 20.

Menghubungkan dengan talibusur umumnya tidak diperlukan pada lengkung yang lebih mendatar dari 40 . Dari penyimakan Tabel 7memperlihatkan bahwa talibusur-talibusur berikut ini dapat diambil sama dengan busur-busurnya tanpa kesalahan yang berarti.

100 ft talibusur dengan kelengkungan >40 50 ft talibusur dengan kelengkungan >100 25 ft talibusur dengan kelengkungan >250 10 ft talibusur dengan kelengkungan >1000

Buku-buku tentang jalan kerata api, sekarang umumnya mendefinisikan kelengkungan sebagai sudut yang mengapit talibusur sepanjang 100 ft (Gbr.III.3). Pada Higway Engineering Practice, mengatakan bahwa definisi talibusur ini sudah memasyarakat, dan mengesampingkan definisi panjang busur (Gbr.10). Untuk lengkung yang mendatar (katakanlah yang < 30 ) secara praktis efeknya akan sama dari kedua definisi tersebut.

III.6. Latihan-latihan.

Apabila sembarang dua unsur (variable) dari lengkung lingkaran diketahui, maka variable atau unsur-unsur yang lain dapat dicari dari rumus-rumus atau Tabel, seperti yang tersaji pada kasus-kasus seperti dibawah ini.

a. Mencari L apabila Δ dan D diketahui. Bila Δ = 200 24’ = 1.224’ dan bila D = 10 40’ = 100’, maka

(20)

L = ft D 100 ) 1.224 224 . 1 ( 100 ) ( 100

b. Mencari R apabila D diketahui. Misal D = 40 30’. Maka dengan Tabel 5, R (definisi busur) = 1.273,24 ft, dan R (definisi talibusur) = 1.273,57 ft.

c. Mencari D apabila R diketahui. Misalkan R = 550 ft, maka dengan Tabel 6, D (definisi busur) = 10,417410 = 100 25’.

d. Mencari T dan E apabila Δ dan R diketahui. Misal Δ = 400 12’ dan R = 1.000 ft, maka dengan Tabel 1, kita dapatkan

T = 365,95ft 10 48 , 659 . 3 Sebagai cek T = R tg ½Δ = 1.000 X tg 200 06’ = 365,95 ft E = 64,86ft 10 56 , 648

Sebagai cek lagi

E = R exsec ½Δ = 1.000 X exsec 200 06’ = 64,86 ft

e. Mencari D (atau R) apabila Δ dan E diketahui. Berdasarkan gambar 9, dua tangen AV dan VB berpotongan dengan sudut Δ = 420 30’. Dengan mempertimbangkan kondisi medan, titik C yang berseberangan dengan V (PI) ditentukan posisinya, jarak eksternal E , diukur misal 42 ft. Dengan menggunakan Tabel 2, E (untuk lengkung 10) = 417,99ft; kemudian D = 417,99/42 = 9,950 dibulatkan menjadi 100 , maka

E (perbaikan) = 417,99/10 = 41,80 ft R (pendekatan) = 5.730/10 = 573 ft Lebih eksak (dari Tabel 5)

R (definisi busur) = 572,96 ft R (definisi talibusur) = 573,69 ft.

f. Untuk mencari D (atau R) apabila Δ dan T diketahui Diketahui Δ = 420 30’ dan jarak-jarak tangennya tidak lebih dari 203 ft. Dari Tabel 2, T (untuk 10 lengkungan) = 2.228,11 ft, maka

D = 2.228,11/203 = 10,980 dibulatkan 110 , lalu T = 2.228,11/11 = 202,56 ft

(21)

Yang mana diperbolehkan untuk kedua difinisi dari D, sehingga koreksi (Tabel 3) adalah 0,29 ft, memberikan harga T (definisi talibusur) = 202,56 + 0,31

= 202,87 ft.

g. Menghitung D,T,L,LC dan M apabila Δ dan E diketahui (dalam definisi busur). Diketahui Δ = 250 06’ dan E = sekitar 46 ft. Dengan Tabel 2, E (untuk lengkung 10) = 140,249 ft; lalu

D = 140,249/46 = 3,050, dibulatkan 30 maka

E (eksak) = 140,249/3 = 46,75 ft, hal ini dianggap cukup baik, kemudian T = T(untuk lengkung 10)/3 = 1.275,46/3 = 425,15 ft.

L = 100(Δ/D) = 836,67 ft.

Perkalian harga LC dan M (dari Tabel 1) dengan panjang lengkung, didalam stasiun, kita peroleh

LC = 99,203 X 8,3667 = 830,00 ft M = 5,454 X 9,3667 = 45,63 ft.

h. Menghitung L, T, dan E apabila Δ dan D diketahui. Diketahui Δ = 240

32’, dan D = 00 15’ (0,250 ). Dengan Tabel 2, T = T (untuk lengkung 10)/0,25 = 1.245,76/0,25 = 4.983,04 ft, dan E = E (untuk lengkung 10)/0,25 = 133,866/0,25 = 535,46 ft L = 100(Δ/D) = 9.813,33 ft.

III.7. Prosedur Penentuan Lokasi PC dan PT di Lapangan.

Kondisi lokal/setempat dapat mengakibatkan prosedur yang khusus, tetapi biasanya, tangen AV dan BV (gbr.9) diperpanjang agar berpotongan di V atau PI, sudut perpotongan luarnya (ekternal) diukur sebagai ceking. Implikasi ini maka tangen dimuka VB ditentukan dengan titik-titik yang representatif dimukanya, dengan kata lain maka pada tangen ini lebih dahulu telah di pastikan geometriknya (adjustment) sehingga cara ini memerlukan banyak waktu dan mahal.

Dalam menghitung derajat kelengkungan D , perlu diperhatikan terhadap kecepatan dan keselamatan dari lalulintas yang direncanakan, sesuai dengan kondisi

(22)

topografi medan lapangan. Sering D ditentukan secara tidak langsung dari nilai E dan T untuk mendapatkan kesesuaian dengan kondisi medannya.

Dengan menggunakan teodolit yang di setel di PI PC dan PT ditentukan sesuai dengan jarak tangen T dari PI. Disini penting bahwa titik –titik ini (PC dan PT) harus terletak pada garis dan jarak tangen VA dan VB yang dihasilkan. Biasanya PT ditentukan lebih dahulu, kemudian baru arah bidikannya ditepatkan.

Untuk kasus-kasus khusus, seperti PI yang tak dapat ditentukan di lapangan, prosedur dapat dimodifikasi seperti dijelaskan dibawah ini.

III.8. Menetukan Titik-Titik Detil Dari Busur

Titik-titik detil pada busur lingkaran, dapat ditentukan dengan cara-cara tersebut dibawah ini

1. Dengan selisih busur yang sama panjang. 2. Dengan cara selisih absis yang sama panjang. 3. Dengan cara perpanjangan tali busur .

4. Dengan cara koordinat busur. 5. Dengan cara membuat poligon.

III.8.1. Dengan cara selisih busur yang sama panjang

Perhatikan gambar 9; panjang busur = a dengan sudut

Untuk titik 1. ; x1 = R sin

y1= R sin (1-cos ) = 2 R 2.: x2 = R sin 2 y2 = R (1-cos 2 ) = 2 R 3.: x3 = R sin 2 y1 = R sin (1-cos ) = 2 R n.: xn = R sin n yn = R sin (1-cos ) = 2 R Y1 = R- R cos = R (1-cos ) Y2 = R (1-cos 2 )

(23)

Cara ini terdiri dari banyak hitungan, tetapi kalau hitungan dikerjakan dengan kalkulator atau komputer, maka tidak akan ada kesulitan lagi. Keuntungan dari cara ini adalah bahwa titik-titik terletak teratur pada busur lingkaran.

III.8.2 Dengan cara selisih absis yang sama panjang

Untuk titik 1. : x1 = a y1 = R-= R Untuk titik 2. : x1 = 2a y1 = R-= R Untuk titik3. : x1 = a y1 =

Bisa juga sebagai berikut :

(24)

III.8.3. Dengan cara perpanjangan tali busur

Titik detail diproyeksikan pada perpanjangan tali busur yang melalui titik detail belakanganya.

Panjang tali busur = a Untuk titik 1.

Sudut dan dapat dihitung.

Gambar III.15. Pemasangan titik detail metode perpanjangan tali busur.

Dari titik 1 ini dapatlah ditentukan titik 2. :

Untuk titik 3. :

a cos dan dapat dipakai terus. ∆ 2= 2

(25)

III.8.4. Dengan cara koordinat kutub

Pada cara ini teodolit dipasang T1, a merupakan jarak tali busur yang tetap. Arahkan garis bidik ke V dan geserkan ke kanan sebesar

Rentangkan pegas ukur (20m) dari T1 dan ujung yang lain tepat pada garis bidik → patok 1.

Ujung belakang pegas ukur (20m) dihimpitkan dengan T1 dan ujung muka dengan jalon yang harus terletak di garis bidik.

Dengan ini didapatlah titik 1.

Garis bidik digeserkan lagi ½ , belakang pegas ukur di titik 1 dan muka berimppit dengan garis bidik.

Dengan ini kta dapatkan titik 2 dan begitu seterusnya. Di sini kesalahan akan

bertumpuk. Cara ini yang dipakai untuk daerah dimana sebelah luar dari busur tidak dapat tercapai, jadi kita dapat menggunakan garis singgung.

Misal a merupakan TL Busur tetap : 20 m Dapat dihitung dari

Gambar III.16. Pemasangan titik detail metode koordinat kutub.

III.8.5. Dengan cara membuat poligon

Sudut sisi poligon pertama

(26)

Langkah pekerjaan : - Teodolit di atas T1 - Besar sudut :

- Pita ukur : ujung belakang di T1 dan ujung yang lain pada garis bidik teodolit, sehingga didapat titik poligon 1

- Pindahkan teodolit ke titik 1, buat sudut (180°- )

- Ujung belakang pegas pada titik 1 dan ujung yang lain pada garis bidik teodolit → didapat titik poligon yang ke 2, dst.

- Agar teliti → gunakan sentering terpaksa dan a diambil sebesar mungkin. Cara ini baik untuk daerah sempit (terowongan, dll)

Gambar III.17. Pemasangan detail metode poligon

Sudut berikut

Pekerjaan : Theodolit diatas titik T1. Buat sudut

(27)

Dengan ini didapat titik 2, begitu seterusnya. Kesalahan akan bertumpuk. Untuk memperkecil kesalahan, dipakai sentrering paksaan dan sisi a diambil sebesar mungkin. Cara ini digunakan bila tempatnya sempit, misalnya pada terowongan.

III.8.6. Penentuaan Posisi Lengkungan dengan Metode Defleksi

1. Bila teodolit disetel di PC. Disini beranggapan bahwa sudut perpotongan luar Δ diketahui, sehingga penyetelan alat langsung di PI, dan komponen yang lain dari lengkungan telah ditentukan baik dari E maupun T , atau dari asumsi nilai D dan R. Kemudian titik-titik utama PC dan PT dapat dihitung, sebagai mana dijelaskan dibawah ini.

Prosedur (gbr.III.18) Anggap teodolit disetel pada PC, dan bidikan ke V buat bacaan lingkaran horisontal = 00, dan titik-titik 1,2,3,4 yang akan ditentukan pada lengkungan.

Putar teropong hingga bacaan horisontalnya menjadi VA1 (atau setengah d) kemudian di klem. Kemudian pasang anjir pada arah bidikan ini dan ukurkan jarak dengan pita ukur dari A sampai anjir sepanjang A1, maka titik 1 dapat ditentukan. Selanjutnya, klem horisontal dibuka, putar lagi teropong hingga bacaannya menjadi sudut VA2, (yang sama dengan sudut terakhir + ½ D) kemudian diklem kembali. Dirikan anjir dengan jarak dari titik 1 sebesar talibusur yang ditentukan dengan membentangkan pita ukur dan anjir berada pada garis bidikan, maka titik 2 terpasang.

(28)

Titik-titik berikutnya sepanjang lengkungan dipasang dengan cara yang sama, sesuai dengan penambahan sudut defleksinya. Hal yang perlu diperhatikan disini bahwa pemasangan titik patok harus cermat, untuk menghindari penumpukan kesalahan. Sudut defleksi yang terakhir dari A ke B (PT) harus sama dengan ½Δ, dan talibusur yang terakhir harus berimpit dengan PT.

2. Bila teodolit disetel di PT. Apabila semua bagian lengkungan dapat terlihat dari PT, sekali penyetelan teodolit dapat menentukan posisi titik-titik pada lengkungan dengan mengukurkan sudut defleksinya dari PT selain dari PC, sehingga akan dapat pula mengukur pada arah tangen dimukanya.

Apabila teodolit di setel pada PT, dengan teropong pada posisi normal, alat dapat diorientasikan dengan membidik pada PI dan bacaan horisontal di buat pada angka ½Δ, atau dengan cara membidik PC dan bacaan dibuat 00 00’. Dengan beranggapan teodolit sudah terorientasi, titik-titik pada lengkungan dapat ditentukan posisinya sebagaimana defleksi dari PC atau PT (lihat contoh dibawah).

Untuk lengkung yang panjang, hal itu akan lebih baik dilakukan dengan sudut defleksi separoh dari PC dan separoh yang lain dari PT, dengan cara ini kemungkinan kesalahan pengukuran yang terjadi menjadi lebih kecil dan dapat dikoreksi di tengah lengkungan tanpa merubah posisi titik PC maupun PT.

Contoh. Diketahui Δ = 120 20’ dan PI pada stasiun 47+50,64. Hitung data lengkap untuk pemasangan detil busur dengan sudut defleksi.

Solusi. Dengan berasumsi bahwa T tidak lebih dari 375 ft. Dengan Tabel 2, T (untuk lengkung 10) = 619,059 ft. Sehingga

D = T (untuk lengkung 10)/375 = 619,059/375 =1,650. Dibulatkan menjadi 10 40’. Lebih eksak T=T untuklengkung 371,44ft

3 5 059 , 619 375 ) 1 ( 0

Menjadi lebih kecil dari 375ft, ini diperbolehkan.

Juga, L= ft D 100' 740,0 ' 740 100 ' 40 1 ' 20 12 100 100 0 0 PI = Sta.47 + 50,64 T = 3 + 71,44

(29)

PC = Sta 43 + 79,2 L = 7 + 40,0

PT = Sta.51 + 19,2

Defleksi per 100 ft = ½D = 00 50’ = 50’. Defleksi per 1 ft = 0,50’.

Teodolit disetel pada PC (atau PT) pada arah tangen bacaan horisontal dibuat 00 (atau ½Δ).

Stasiun Sudut Defleksi 43 + 79,2 PC 00 00’ 44 0010,4’ 45 10 00,4’ 46 10 50,4’ 47 20 40,4’ 48 30 30,4’ 49 40 20,4’ 50 50 10,4’ 51 60 00,4’ 52 + 19,2 PT 60 10,0’ (cek) = ½Δ

Catatan: Karena derajat kelengkungan kecil, semua koreksi untuk T atau subtalibusur tidak berarti, sehingga data tersebut cukup akurat, demikian pula baik untuk definisi yang lain dari D.

3. Teodolit di salah satu titik detil yang telah terpasang pada lengkungan. Diasumsikan bahwa pada bagian awal dari titik-titik pada lengkungan telah terpasang dengan metode sudut defleksi dari PC, tetapi untuk bagian selanjutnya tidak bisa diamati dari PC, sehingga harus ditentukan lokasinya dengan sudut defleksi dari salah satu titik detil yang telah terpasang sebelumnya (intermediate point) yang umumnya berupa stasiun penuh.

(30)

Gambar III.19. Sudut defleksi dari titik C.

Dengan mendirikan Teodolit pada titik C yang bisa teramati dari PC. Dengan mendirikan teodolit disembarang titik stasiun yang telah ditentukan, misalnya titik C (gbr.18), disini prosedurnya ada dua buah metode tergantung dari bagaimana mengatur bacaan lingkaran horisontal teodolit pada pembidikan ke arah belakang pada titik A atau PC.

Metode a. Bidikkan teropong pada posisi terbalik (luar biasa) ke titik A dan atur bacaan horisontalnya pada angka sebesar sudut defleksi dari A ke C (sudut θ), sudut diatur kembali pada sisi yang berlawanan dengan 00. Klem teropong dibuka dan teropong diputar pada sumbu II (sumbu mendatar). Putar teodolit pada sumbu I (sumbu vertikal) hingga sampai pada bacaan 00, maka bidikan ini akan mengarah pada tangen kemuka pada lengkungan dari C seperti di indikasikan dengan garis putus-putus pada gambar 18. Titik-titik ke muka D, E dst ditentukan dengan mengatur besarnya sudut defleksi dari tangen baru di C.

Metode b. Setel bacaan pada angka 00 dan bidikkan ke arah belakang pada titik A dengan posisi teropong terbalik (luar biasa). Buka klem teropong dan putar teropong pada sumbu II dan putar pula pada sumbu I hingga bacaan sebesar sudut defleksi sebagaimana apabila penentuan dari PC, ke arah muka.

(31)

Gambar III.20. Sudut defleksi dari titik C.

Metode ini mempunyai keuntungan dengan menggunakan dasar hitungan yang sama dan layout yang lengkap dari PC, oleh karena itu metode inilah yang lebih dianjurkan.

Berdasarkan geometri gambar 19, sudut antara talibusur AC (perpanjangannya) dan talibusur CD = (θ+α), atau sudut VAD, jumlah sudut defleksi dari A ke D.

Teodolit disetel di D yang tidak terlihat dari PC. Seperti kasus sebelumnya, alat ukur dapat diorientasikan dengan dua cara : (a) bacaan pada arah tangen dibuat 00 ; (b) bacaan dibuat pada angka sudut defleksi yang ke arak sembarang titik, menggunakan catatan untuk sudut defleksi dari PC. Rincian prosedurnya sebagai berikut :

Metode a. Dengan teodolit di D (gbr.19) bidik titik dibelakangnya, misal C, dengan posisi mikroskope bacaan berseberangan angka 00 , bacaan disetel pada angka perbedaan antara sudut defleksi dari A ke D dan dari A ke C. Klem teropong dibuka, teropong diputar-balik, kemudian diputar pada sumbu I (vertikal) hingga sampai pada bacaan α0

; maka sekarang garis bidik mengarah pada garis singgung (tangen) dari lengkungan di titik D. Hal ini benar karena perbedaan sudut defleksi ke titik C dan D adalah (θ + α) – θ = α.

Metode b. Teodolit disetel di D (gbr.19) teropong dibuat posisi luar biasa dan arahkan pada titik C dan bacaannya dibuat θ0, yang merupakan besar sudut defleksi dari A ke C . Klem sumbu II dibuka teropong diputar balik, dan putar pada sumbu I hingga bacaan mikroskup pada angka yang besarnya sama dengan sudut defleksi ke arah titik berikutnya apabila dibidik dari titik A.

(32)

Teodolit sekarang terorientasi ke lengkungan di titik D. Sudut defleksi ke muka ke titik E (gbr.19) adalah ( θ + α + Þ ) = sudut VAE.

Oleh karenanya, dengan maksud menggunakan sudut defleksi sebagaimana dilakukaan dari PC, apabila teodolit disetel pada titik di lengkungan (intermediate point), pembidikan ke titik stasiun belakangnya dengan cara menempatkan bacaan sudut defleksi dari PC ke titik stasiun tersebut. Catatan : beberapa metode terdebut diatas ada yang tak dapat dilakukan apabila menggunakan teodolit elektronik dan teodolit reiterasi.

Gambar

Gambar III.2. Perpotongan jalur lurus/ tangen.
Gambar III.3. Pemasangan patok titik-titik utama.
Gambar III.4. Pemasangan titik-titik utama tanpa titik pusat O.
Gambar III.5. Mencari   secara grafis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “ Model Penelusuran Banjir Pada Sungai Dengkeng dengan Menggunakan Metode Gabungan O’Donnel dan Muskingum-Cunge serta Metode Muskingum

Namun jika pasien memerlukan proses operasi dalam melahirkan, bidan akan membuat surat rujukan kepada pasien untuk ditangani dirumah sakit yang telah menjalin

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan khususnya kepada UPTD Puskesmas Dawan I agar dapat mengambil langkah-langkah yang lebih efektif dalam penyuluhan

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1 SMAN 9 adalah salah satu sekolah dengan tingkat keberagaman yang bermacam-macam,dari mulai agama dan juga budaya 2 Strategi GPAI

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui keragaan rantai pemasaran; (2) untuk mengetahui, tingkat efisiensi masing-masing saluran pemasaran; dan (3)

Sadu wicara puniki anggen ngrereh data sane kapertama indik kawentenan nganggen sor singgih basa ritatkala mabebaosan ring pepruman olih kramaDesa Adat Ayunan, sane

• Split Thickness Skin Graft (STSG) Split Thickness Skin Graft (STSG) → Dilakukan bila → Dilakukan bila defek yg timbul cukup luas.. Secara tehnik lebih defek yg timbul

Sub Bagian adalah Sub Bagian – Sub Bagian pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah