• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Redaksi. Jurnal AgriSains i

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Redaksi. Jurnal AgriSains i"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Jurnal AgriSains i KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan kehendakNya, jurnal AgriSains volume 2 no. 3 dapat kami hadirkan pada sidang pembaca.

Pada edisi ini, Jurnal AgriSains mrnyajikan tiga tema penelitian yaitu penyediaan pakan dan pengembangan ternak, pengolahan dan penanganan pasca panen, dan budidaya jamur. Tema pertama disajikan penyediaan pakan dari rumput raja, onggok, dan jinten serta pengembangan ternak potong. Tema kedua mencakup pengolahan jagung dan penanganan pasca panen belimbing manis.

Redaksi menyadari penerbitan jurnal volume 2 no. 3 ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah volume 2 no. 3 ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(3)

Jurnal AgriSains ii DAFTAR ISI ISSN : 2086-7719 Hal

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii-iii

OPTIMASI LAMA PERENDAMAN JAGUNG UNTUK PREPARASI PEMASAKAN

DALAM OTOKLAF DAN PENGGORENGAN 1 - 8

Chatarina Wariyah

PENGARUH UMUR PEMOTONGAN TERHADAP KANDUNGAN

NUTRIEN RUMPUT RAJA (KING GRASS) 9-17 Niken Astuti

EVALUASI NILAI NUTRISI ONGGOK HASIL FERMENTASI SEBAGAI BAHAN

PAKAN TERNAK UNGGAS 18 - 28

Sonita Rosningsih

PENGARUH PEMBERIAN JINTEN (Cuminum cyminum)

DALAM PAKAN TERHADAP PRODUKSI TELUR PUYUH 29 - 39 Lukman Amin

EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG

DENGAN POLA INTEGRATED FARMING 40 - 47 Nur Rasminati dan Setyo Utomo

BUDIDAYA JAMUR TIRAM PUTIH PADA BERBAGAI MACAM MEDIA

DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH 48 - 55 Umul Aiman

(4)

Jurnal AgriSains iii DISINFESTASI LALAT BUAH (BACTROCERA DORSALIS HENDEL) PADA BUAH BELIMBING MANIS DENGAN PERLAKUAN

PERENDAMAN MENGGUNAKAN EKSTRAK

BAGIAN TANAMAN PEPAYA 56 - 66 Dian Astriani

(5)

OPTIMASI LAMA PERENDAMAN JAGUNG UNTUK PREPARASI PEMASAKAN DALAM OTOKLAF DAN PENGGORENGAN

Chatarina Wariyah

Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta E-mail : www.chatarina_wariyah@yahoo.co.id

ABSTRACT

Corn seed had a hard structure that made it difficult to be softened by soaking. Treatment combination of soaking and cooking with high pressure were needed to obtain processed corn (i.e. fried corn) with crunchy texture and high acceptability. The purposes of this study were to evaluate the effect of soaking time on corn moisture content and to determine optimum moisture content of corn that resulted fried corn with crunchy texture and high acceptability. The research was conducted with variation of soaking time of : 12, 24, 48, 72, 96 and 120 hours. The soaked corn seeds were cooked in autoclave at temperature of 125oC, with high pressure of 1,5 atm, during 30-60 minutes. Furthermore, soaked corn seed was fried at a temperature of 200 - 220oC for 5 minutes.The moisture content of soaked corn, cooked corn and fried corn were analysis . texture of fried corns were determined by Lloyd Instrument Testing Mechine and acceptable fried corn was determined by hedonic test. The result showed that moisture content of soaked corn affected the texture and acceptability of fried corn. The low or too high of corn moisture content resulted fried corn with hard texture and low preferences. The optimum moisture content of corn seed before cooked in the autoclave that resulted high acceptability product was that moisture content between 39.57-40.86% or with soaking time of 24 to 74 hours.

Keywords: corn seed, soaking time, moisture content, texture. PENDAHULUAN

Jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan kaya karbohidrat. Menurut Inglett (1970), kandungan karbohidrat jagung mencapai 71-73% dan sebagian besar adalah pati . Pati jagung tersusun atas amilosa sekitar 27 % dan amilopektin 73 %. Biji jagung tersusun dalam tongkol dengan susunan teratur memanjang dan ditutup oleh selubung (klobot), serta dalam tongkol jagung

terdapat 300-1000 biji. Biji jagung masak tersusun atas perikarp 5 %, lembaga 12 %, endosperm 82% dan tip cap (tudung) 1%. Dalam perikarp terdapat lapisan aleuron dengan struktur yang relatif keras.

Saat ini konsumsi jagung sebagian besar untuk camilan seperti jagung goreng, pop corn, atau makanan tradisional. Untuk penyiapan sebagai makanan ringan seperti jagung goreng, biji jagung harus melalui proses perendaman dalam air agar terjadi

(6)

pelunakan struktur luar biji jagung. Selain untuk pelunakan, penyerapan air pada biji jagung juga dimaksudkan untuk menyiapkan kadar air tertentu pada biji jagung agar terjadi gelatinisasi pada saat pemanasan. Menurut Muljohardjo (1987), penyerapan air dalam biji jagung dipengaruhi oleh lama perendaman, suhu dan jumlah air perendam. Untuk memperoleh biji jagung dengan tekstur lunak, perendaman harus mencapai kadar air sekitar 45%. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi lama perendaman agar diperoleh kadar air yang tepat untuk persiapan pemasakan.

Pada pembuatan jagung goreng, selain perendaman diperlukan juga pemasakan untuk terjadinya gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi sempurna pada pati jagung terjadi pada suhu 85oC (Hwang dkk., 1999). Pati yang telah mengalami gelatinisasi, apabila didinginkan secara perlahan-lahan akan mengalami retrogradasi (Fennema, 1985). Molekul amilosa saling bergabung satu sama lain membentuk massa yang mampat, sedangkan amilopektin penggabungan antar molekul terutama terjadi pada ujung rantai lurus, sehingga membentuk struktur amorf. Oleh karena itu tingkat gelatinisasi penting dalam menentukan tekstur jagung goreng yang dihasilkan.

Pada pemasakan atau pemanasan biji jagung, diperlukan suhu yang relatif tinggi untuk mempercepat kerusakan struktur biji dan agar terjadinya gelatinisasi lebih cepat. Menurut Prestamo dan Arroyo (1988), pemberian tekanan

tinggi pada pengolahan suatu produk dapat mengakibatkan perubahan susunan molekul lipida-peptida dan merusak struktur membran. Kerusakan sel tersebut menyebabkan tekstur bahan berubah. Dari hasil penelitian pada cauli flower menunjukkan bahwa pemberian tekanan 400 Mpa selama 30 menit pada suhu 5oC, mampu merusak struktur sel cauli flower. Struktur yang kompak dari bahan hilang akibat pelarutan sejumlah padatan. Akibat tekstur bahan menjadi lunak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh lama perendaman terhadap kadar air biji jagung dan menentukan kadar air optimum biji jagung untuk pemasakan dalam otoklaf yang dapat menghasilkan jagung goreng dengan tekstur renyah dan disukai.

METODE PENELITIAN

Bahan dan Peralatan yang Digunakan

Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian ini adalah jagung kuning atau jagung mutiara (Zea mays indurata) yang diperoleh dari pasar lokal di Yogyakarta. Peralatan yang digunakan untuk penelitian adalah : otoklaf, alat penguji tekstur Lloyd Instrument Testing Mechine, oven (Memmert), spektrometer (Spectronic 20), timbangan analitik (Sartorius) dan seperangkat peralatan untuk pengujian inderawi.

(7)

Untuk menentukan kadar air optimum sebelum pemasakan dalam otoklaf, pada penelitian ini dibuat variasi lama perendaman yaitu : 12, 24, 48, 72, 96 dan 120 jam. Perbandingan jumlah biji jagung dan air perendam adalah 1 : 3. Jagung yang telah direndam, dimasak dalam otoklaf dengan tekanan 1,5 atm, pada suhu 125oC, selama 30-60 menit. Selanjutnya jagung masak digoreng pada suhu 200-220oC, selama 5 menit. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air biji jagung, jagung masak dan jagung goreng, menggunakan metode thermogravimetri (AOAC, 1990), uji kesukaan dengan metode Hedonic Test (Kramer dan Twigg, 1970) terhadap sifat inderawi jagung goreng dan tekstur jagung goreng menggunakan Lloyd Instrument Testing Mechine.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lama perendaman. Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT) (Gacula dan Singh, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar air biji jagung setelah

perendaman dan pemasakan Perendaman jagung menyebabkan terjadinya difusi air ke dalam biji. Oleh karena itu perendaman mengakibatkan kadar air biji jagung meningkat. Hasil pengukuran kadar air biji jagung disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar air biji jagung setelah perendaman

Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)*

12 24 48 72 96 120 38,98a 39,57ab 40,86b 40,82b 43,33c 45,31d

*huruf yang sama belakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). Perendaman selama 12

jam mengakibatkan peningkatan kadar air biji sampai 38,98%. Menurut Muljohardjo (1987), penyerapan air ke dalam biji jagung diawali dari ujung biji, selanjutnya masuk ke dalam rongga-rongga sel endosperm dengan cara kapiler. Oleh karena diperlukan lama perendaman tertentu mencapai maksimal.

Penyerapan air pada saat perendaman biji jagung akan mencapai maksimal setelah mencapai kadar air 45%. Pada penelitian ini kadar air tersebut tercapai setelah perendaman selama 120 jam. Selain data tersebut, kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf juga dapat dilihat pada Tabel 2.

(8)

Tabel 2. Kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)**

12 24 48 72 96 120 40,92 49,42 46,54 47,96 49,97 46,88 **tidak berbeda nyata.

Hasil pengukuran kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf menunjukkan tidak berbeda nyata. Selama pemasakan, terjadi pemanasan untuk terjadinya gelatinisasi yang dapat merusak struktur biji jagung. Ternyata dengan kondisi pemasakan yang sama, kadar air yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Kadar air selama pemasakan berhubungan dengan tingkat gelatinisasi pati dalam biji jagung. Menurut Hwang dkk. (1999), selama pemasakan pati akan mengalami gelatinisasi dan untuk terjadinya gelatinisasi secara sempurna pada biji jagung diperlukan kadar air minimal

42,30%. Pada penelitian ini kadar air tersebut tercapai setelah perendaman 96 jam.

B. Tekstur dan tingkat kesukaan terhadap jagung goreng

Tekstur

Tekstur dinyatakan sebagai besarnya gaya yang dapat ditahan atau pergeseran titik/perubahan bentuk apabila bahan dikenai gaya. Semakin besar gaya yang dapat ditahan atau semakin besar deformasi atau perubahan bentuk, maka tekstur bahan semakin keras atau liat. Hasil pengukuran tekstur jagung goreng disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tekstur jagung goreng Lama perendaman (jam) Gaya yang dapat

ditahan (N)* Deformasi ** 12 24 48 72 96 120 73,06ab 49,33b 53,43b 63,77ab 79,83a 81,55a 0,093 0,085 0,100 0,095 0,105 0,145

*Huruf yang sama belakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). **tidak berbeda nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur jagung goreng

berbeda nyata pada perlakuan lama perendaman. Pada kadar air

(9)

biji jagung rendah (hasil perendaman selama 12 jam) atau dengan kadar air 40,92% menghasilkan jagung goreng dengan tekstur yang keras. Demikian pula untuk biji jagung setelah rendam 96 dan 120 jam yang kadar airnya masing-masing 43,33% dan45,31% menghasilkan tekstur jagung keras. Pada kadar air rendah, tekstur yang keras diakibatkan oleh penyerapan air pada biji yang belum maksimal, sehingga swelling jagung rendah. Oleh karena itu pada saat digoreng tidak cukup gaya untuk menekan biji agar mengembang, sehingga tekstur jagung menjadi keras. Pada kadar air tinggi, selama pemasakan dalam otoklaf memungkinkan intensitas gelatinisasi yang tinggi dengan adanya air dan pemanasan yang cukup (Fennema, 1985). Namun

proses gelatinisasi mengakibatkan struktur biji jagung lebih terbuka dan bersifat porous. Oleh karena itu pada saat digoreng, kecepatan penguapan air tinggi, sehingga kadar air yang dicapai lebih rendah (Tabel 4). Akibatnya tekstur jagung lebih keras daripada yang direndam selam 24-72 jam. Faktor yang menyebabkan kerasnya jagung goreng pada kadar air tinggi (hasil perendaman 96-120 jam) adalah kadar amilosa biji jagung yang mencapai 25% (Inglett, 1970). Apabila terjadi gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk struktur mampat dan keras. Oleh karena itu perendaman jagung harus mencapai kadar air tertentu yang optimum agar dihasilkan jagung goreng yang renyah.

Tabel 4. Kadar air biji jagung goreng

Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)** 12 24 48 72 96 120 6,45 4,94 4,17 5,52 7,48 7,13 **tidak berbeda nyata.

Tingkat kesukaan jagung goreng Pengujian inderawi untuk menentukan akseptabilitas jagung goreng didasarkan pada kesukaan

terhadap warna, tekstur, rasa dan kesukaan keseluruhan. Hasil uji tingkat kesukaan disajikan pada Tabel 5.

(10)

Tabel 5. Hasil uji kesukaan terhadap jagung goreng* Lama

perendaman (jam)

Warna ** Rasa ** Kekerasan** Kesukaan keseluruhan** 12 24 48 72 96 120 2,47a 3,29b 4,12b 4,06b 2,47a 3,71b 4,77b 3,65a 3,77a 3,71a 5,65b 5,12b 5,18b 3,71a 4,18a 3,76a 5,59b 6,06b 4,12b 3,00a 3,88ab 3,53ab 5,12c 5,47c *Hasil rata-rata dari 17 panelis.

**Huruf yang sama dibelakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05).

Angka 1 :paling suka, 4 :netral dan 7: paling tidak suka Warna

Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap sebagai spektrum sinar dan warna bukan merupakan suatu zat atau benda melainkan suatu sensasi seseorang oleh karena adanya rangsangan dari seberkas energi radiasi yang jatuh ke retina mata (Kartika dkk., 1987). Hasil uji kesukaan terhadap warna menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dan warna yang paling disukai dari jagung goreng adalah yang berasal dari jagung yang direndam selama 12 jam. Warna jagung ditentukan oleh kandungan β-karoten dalam biji (Inglett, 1970). Beta-karoten dapat mengalami oksidasi dengan adanya panas, kontak dengan udara maupun sinar. Pada penelitian ini perendaman dilakukan pada wadah terbuka pada suhu 49oC, sehingga perendaman yang semakin lama tingkat degradasi β-karoten semakin tinggi. Akibatnya semakin lama perendaman warna jagung goreng semakin tidak disukai.

Rasa

Tabel 5 menunjukkan rasa jagung goreng yang disukai adalah dari hasil perendaman selama 24 - 72 jam, sedangkan yang direndam selama 12, dan 96-120 jam kurang disukai. Faktor yang berpengaruh terhadap rasa jagung goreng adalah komponen gula dan pati dalam biji jagung serta komponen bumbu yang ditambahkan. Pada perendaman selama 12 jam, struktur biji masih keras, sehingga bumbu yang ditambahkan tidak mampu meresap ke dalam biji, sedangkan perendaman yang terlalu lama terjadi gelatinisasi yang berlebihan, yang mengakibatkan terjadinya leaching pada bumbu yang ditambahkan. Oleh karena itu perendaman selama 12 jam dan 96-120 jam rasa jagung goreng kurang disukai. Tekstur (kekerasan)

Tekstur jagung goreng diuji secara mouthfeel. Hasil uji kesukaan terhadap kekerasan jagung goreng menunjukkan jagung goreng yang disiapkan

(11)

dengan perendaman selama 24 – 72 jam disukai. Hal ini disebabkan karena jagung goreng tersebut memilki tekstur yang paling renyah. Hasil tersebut sesuai dengan pengukuran tekstur secara obyektif menggunakan alat seperti yang disajikan pada Tabel 4. Perendaman selam 24-72 jam menghasilkan nilai tekstur terendah atau tidak keras dan dengan deformasi yang rendah pula. Oleh karena itu tekstur jagung goreng yang dihasilkan paling disukai. Kesukaan keseluruhan

Hasil uji tingkat kesukaan terhadap jagung goreng menunjukkan berbeda nyata. Jagung goreng yang diperoleh dengan perendaman selam 24-72 jam menghasilkan tingkat kesukaan tertinggi. Hasil tersebut didukung dengan tingkat kesukaan yang tinggi pada rasa serta teksturnya.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa jagung goreng dengan tekstur renyah dan akseptabilitas tingi dapat disiapkan dari biji jagung yang direndam sampai kadar air optimum. Secara khusus kesimpulannya adalah : kadar air optimum biji jagung untuk persiapan pemasakan dalam otoklaf dan penggorengan adalah antara 39,57 – 40,86% (bb) atau biji jagung direndam dalam air selama 24-72 jam.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis Association Official Agricultural Chemistry. Washington, D.C.

Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York and Basel.

Gacula, M.C. dan J. Singh, 1984. Statistical Methods in Food and Consumer Research. Academic Press, Inc. Orlando. San Diego. New York. London.

Hwang,C.H., D.R. Helmand, R.R. Choo and T.A. Taylor. 1999. Changes in Specific Heat of Corn Starch Due to Gelatinization. J. Food Sci. 1 : 141-143.

Inglett, G.E. 1970. Corn : Culture, Processing and Product. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut. Kartika, B., P. Hastuti dan W.

Supartono. 1987. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Kramer, A. and B.A. Twigg. 1970.

Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut. Lineback, A. 1982. Food

Carbohydrate. The AVI Publishing Co.Inc. Westport. Connecticut.

Prestamo, G. dan G. Arroyo. 1988. High-Hydrostatic Pressure

(12)

Effect on Vegetables Structure. J. Food Sci. 5 : 878 – 881.

(13)

PENGARUH UMUR PEMOTONGAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRIEN RUMPUT RAJA (KING GRASS)

Niken Astuti

Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta ABSTRACT

This research was conducted to investigate the effect of defoliation ages on nutrient content of King grass. This research used a completely randomized design. The treatment contains of three types defoliation age., P1(40 days age), P2 (50 days age) and P3 (60 days age). The measured variables were water content, crude protein, crude fiber, lipid and ash content. The data were analilized by variance analysis, followed for significant means were compared by Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result showed that defoliation age were significant (P<0,05) on water content, crude protein, crude fiber, fat and ash content. It was concluded that the longer defoliation age resulted increasing crude fiber and fat content but decreased water content, crude protein, and ash content of King grass.

Key words : King grass, nutrient content, defoliation age. PENDAHULUAN

Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan yang terdiri dari daun-daunan, bercampur dengan ranting maupun bunga yang diberikan dalam keadaan segar. Hijauan ini terdiri dari rerumputan (gramineae), leguminoceae dan hijauan dari tanaman yang lain. Ketersediaan hijauan makanan ternak secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap

produktivitas ternak ruminansia. Pengadaan hijauan makanan ternak ruminansia masih merupakan suatu kendala dan tetap menjadi masalah dalam usaha peningkatan produktivitas ternak yang dapat menunjang

perkembangan sub sektor peternakan. Di Indonesia ketersediaan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim, pada musim penghujan ketersediaan hijauan melimpah sedangkan

pada musim kemarau

ketersediaan hijauan berkurang. Ketersediaan hijauan sulit

dilaksanakan karena

perkembangan populasi penduduk yang terus meningkat sehingga menyebabkan lahan yang tersedia untuk ditanami hijauan makanan ternak menjadi berkurang. Persaingan dalam pemanfaatan lahan baik untuk tanaman pangan, perumahan dan insdustri, terutama di pulau Jawa dan Bali mengakibatkan keterbatasan tanaman hijauan pakan karena tingginya nilai

(14)

tanah. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan rumput yang mampu berproduksi tinggi dan memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami hijauan makanan ternak. Pengembangan hijauan makanan ternak dimaksudkan untuk menyediakan pakan ternak secara kontinyu sepanjang tahun (Anonimus, 1993).

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu alternatif untuk penyediaan makanan ternak, karena sebagian besar lahan di sekitar daerah aliran sungai belum dimanfaatkan. Selain untuk pengembangan hijauan makanan ternak, hijauan itu sendiri dapat bermanfaat bagi keadaan tanahnya yaitu sebagai penahan erosi. Keadaan tanah di DAS mempunyai kemiringan tanah sehingga apabila di daerah tersebut tidak ada tanaman penahan erosi maka akan sering terjadi erosi yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tanah. Menurut Reksohadiprodjo (1985) hijauan makanan ternak mempunyai kapasitas pencegah erosi nomor dua sesudah hutan pada macam-macam tanah, persentase kemiringan dan persentase hujan tertentu. Daerah aliran sungai Progo dipilih sebagai tempat penelitian karena di daerah tersebut memiliki lahan yang masih terbuka untuk ditanami hijauan makanan ternak dan sebagian penduduk di sekitar DAS banyak yang memelihara ternak ruminansia yang sangat

membutuhkan hijauan.

Rumput Raja merupakan salah satu hijauan makanan

ternak yang banyak

dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Rumput ini mampu hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Produksinya mencapai 1076 ton/ha/tahun melebihi dari produksi induknya (Siregar, 1989). Rumput raja lebih cepat tumbuh, memiliki tunas yang banyak, umur pemotongan lebih singkat dan produksinya tinggi. Peningkatan produksi dan kualitas rumput raja tergantung pada manajemen yang dilakukan antara lain jarak tanam, cara penanaman dengan stek atau pols, kesuburan tanah, umur pemotongan dan pemupukan

(Anonimus, 1989).

Pemotongan merupakan salah satu cara untuk mengatur fase pertumbuhan tanaman. Pengaturan umur pemotongan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kembali (regrowth) tanaman sehingga sangat penting untuk diperhatikan agar tanaman tetap dapat hidup sepanjang tahun dan memberikan produksi yang optimal baik kuantitas maupun kualitasnya. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian tentang pengaruh umur pemotongan terhadap kandungan nutrien rumput raja (King grass).

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan pada tahun 2006 di DAS sungai Progo sedang

(15)

analisis proksimat kandungan nutrien rumput Raja dilakukan pada bulan Juli tahun 2007 di Laboratorium Kimia Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta. Materi Penelitian

 Sampel tanaman rumpur raja umur pemotongan 40, 50 dan 60 hari

 Seperangkat alat laboratorium untuk analisa proksimat

Metode Penelitian

Pengambilan sampel

Sampel tanaman di dapat dari lokasi penelitian diambil dari masing-masing perlakuan. Sampel yang didapat dikeringkan untuk dibuat tepung dan dianalisa di Laboratorium Kimia Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta. Pengambilan data

1). Kadar protein kasar (Tillman dkk., 1991 )

Penentuan kadar protein kasar dikerjakan melalui 3 tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Destruksi

a. Pada tahap destruksi, cuplikan bahan ditimbang seberat 0,5 gram (Z gram).

b. Dimasukkan 2 butir batu didih, 20 ml H2SO4 pekat

dan 0,5 tablet kjedal ke dalam tabung destruksi yang telah bersih dan kering. Kompor destruksi

dihidupkan kemudian tabung-tabung destruksi ditempatkan pada lubang yang ada pada kompor. c. Pendingin dihidupkan.

Skala pada kompor destruksi diset kecil kurang lebih 1 jam.

d. Destruksi diakhiri bila larutan berwarna jernih. Destilasi

a. Pada saat destilasi, hasil destruksi diencerkan dengan air sampai volumenya 300 ml dan digojog agar larutan homogen.

b. Setelah itu disiapkan erlemeyer 650 ml yang berisi 50 ml H3BO3 0,1 N +

100 ml air dan 3 tetes indicator mix.

c. Pasang penampung dalam alat destilasi. Air pendingin dihidupkan (panas pendingin maksimum 800o F) dan tombol ditekan hingga menyala hijau. Dispensing ditekan ke bawah untuk memasukkan NaOH 50%. Handle steam diturunkan ke bawah sehingga larutan yang ada dalam tabung mendidih. d. Destilasi berakhir setelah

destilat mencapai 200 ml. e. Buat blanko dengan

menggunakan cuplikan berupa H2O dan

idestilasi dengan cara seperti diatas.

Titrasi

a. Pada tahap titrasi, hasil destilasi dititrasi dengan HCl

(16)

0,1 N sampai timbul perubahan warna.

b. Untuk menentukan kadar protein kasar dihitung dengan rumus :

Kadar protein kasar = (X-Y) x N x 0,014 x 6,25 x100% Z

X = jumlah titrasi sampel (ml) Y = jumlah titrasi blanko (ml)

Z = bobot sampel (gram) N = normalitas HCl

2). Kadar serat total (Tillman dkk., 1991 )

Cara penentuan serat total sebagai berkut :

a). Cuplikan bahan ditimbang sebanyak 1 gram (X gram), dimasukkan ke dalam beaker glass

b). Ditambahkan 200 ml H2SO4

1,25% (0,255N) lalu panaskan hingga mendidih selama 30 menit. c). Cuplikan selanjutnya disaring melalui saringan linen.

d). Hasil saringan atau residu dimasukkan ke dalam beaker glass, dan ditambahkan 200 ml NaOH 1,25% (0,313N) , lalu didihkan selama 30 menit.

e). Disaring kembali dengan crucible yang telah dilapisi dengan glass wool.

f). Dicuci dengan beberapa ml air panas dan kemudian dengan 15 ml ethyl alcohol 95%.

g). Hasil saringan (termasuk serat gelas) dimasukkan pada alat pengering dengan suhu 105-110ºC selama 1 malam.

h). Kemudian didinginkan ke dalam desikator selama 1 jam. i). Setelah itu ditimbang (Y gram). j). Gooch crucible dibakar bersama isinya di dalam tanur pada suhu 550-600ºC, sampai berwarna putih seluruhnya (bebas karbon).

k). Selanjutnya gooch crucible yang berisi hasil pembakaran dikeluarkan dan didinginkan pada desikator. Apabila sudah dingin kemudian ditimbang (Z gram).

Untuk menentukan kadar serat kasar dihitung dengan rumus : Kadar serat kasar = Y- Z x 100% X

X = bobot sampel awal (gram)

Y = bobot sampel setelah dioven 1050C (gram) Z = bobot sisa pembakaran 550-6000C (gram)

3) Kadar Air Cara analisisnya sebagai

(17)

a) Sampel ditimbang dan diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105° C. Pemanasan dilakukan sampai sampel tidak turun lagi beratnya.

b) Setelah pemanasan tersebut sampel tersebut telah merupakan bahan kering.

c) Ditimbang sampel tersebut dengan timbangan analitik.

Analisa Data

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) pola searah. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis of Variance (Anova), jika terdapat perbedaan yang nyata maka dlanjutkan dengan Duncan’’s New Multiple Range test (DMRT) menurut Astuti (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan air

Kandungan air rumput raja

pada berbagai umur

pemotongantertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata kadar air rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%)

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rata-rata P1 (Potong 40 hari) 12,64 12,75 12,96 12,78a P2 (Potong 50 hari) 12,95 12,22 11,33 12,17a P3 (Potong 60 hari) 9,31 9,41 9,79 9,50b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kandungan air rumput raja pada berbagai perlakuan umur pemotongan berbeda nyata (P<0,05). Kandungan air pada umur pemotongan 40 dan 50 hari sama tetapi pada umur pemotongan 60 hari kandungan airnya terendah atau bahan keringnya tertinggi. Hal ini dikarenakan pengaruh dari umur tanaman, semakin tua umur tanaman atau semakin panjang interval pemotongannya maka kandungan bahan kering dan serat kasarnya semakin

meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Crowder dan Chheda (1982) bahwa interval pemotongan pada rumput berpengaruh terhadap produksi, kandungan nutrien, potensi tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan hidup, semakin panjang interval pemotongan maka kandungan bahan kering, serat kasar dan komponen dinding sel semakin bertambah. Kadar protein kasar

Kadar protein kasar rumput raja pada masing-masing perlakuan secara berturut-turut

(18)

dari pemotongan 40 hari sampai 60 hari adalah 16,30; 14,02 dan

8,9% ( Tabel 2 ).

Tabel 2. Rata-rata kadar air rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%)

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rata-rata P1 (Potong 40 hari) 15,97 17,75 15,19 16,30a P2 (Potong 50 hari) 14,82 15,03 12,23 14,02a P3 (Potong 60 hari) 9,17 8,62 9,17 8,98b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan umur pemotongan pada rumput raja menghasilkan kadar protein kasar yang berbeda nyata (P<0,05). Kadar protein kasar pada pemotongan 40 hari dan 60 hari tidak berbeda nyata sedang keduanya berbeda nyata dengan pemotongan 60 hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin lama umur pemotongan kandungan nutrien (protein kasar) semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin tua umur

tanaman secara umum

memperlihatkan penurunan produksi daun dan peningkatan imbangan batang dengan daun,

biasanya kualitas batang lebih rendah dibanding daun sehingga semakin muda tanaman proporsi daun lebih banyak dibanding batang dan kandungan proteinnya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Soest (1994) bahwa pada tanaman umumnya batang mengandung kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan daun.

Kadar serat kasar

Kadar serat kasar rumput raja pada berbagai umur pemotongan berturut-turut 40, 50 dan 60 hari adalah 21,73; 122,40 dan 24,59 % ( Tabel 3 ).

Tabel 3. Rata-rata serat kasar rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%)

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rata-rata P1 (Potong 40 hari) 21,39 22,44 21,36 21,73a P2 (Potong 50 hari) 22,60 22,16 22,44 22,40a P3 (Potong 60 hari) 24,38 25,20 24,18 24,59b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

(19)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan umur pemotongan pada rumput raja menghasilkan kadar serat kasar yang berbeda nyata (P<0,05). Kadar serat kasar pada pemotongan 40 dan 50 hari tidak berbeda nyata sedang keduanya berbeda nyata dengan pemotongan 60 hari. Hasil tersebut diatas menunjukkan bahwa semakin lama umur pemotongan kandungan serat kasar semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman hasil proses fotosintesisnya banyak digunakan

untuk membentuk dinding sel tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Crowder dan Chheda (1982) bahwa semakin tua umur tanaman, kandungan dinding selnya semakin tinggi dan sebaliknya sintesis protein akan semakin rendah.

Kadar lemak kasar

Rata-rata kadar lemak kasar pada masing-masing perlakuan secara bertutut-turut dari pemotongan 40, 50 dan 60 hari adalah 1,54; 2,18 dan 3,72% ( Tabel 4 ).

Tabel 4. Rata-rata kadar lemak kasar rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%)

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rata-rata P1 (Potong 40 hari) 1,96 1,34 1,32 1,54a P2 (Potong 50 hari) 1,65 2,46 2,43 2,18b P3 (Potong 60 hari) 4,16 3,58 3,44 3,72b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi terhadap kandungan lemak kasar rumput raja menunjukkan bahwa umur pemotongan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kandungan lemak kasar pada pemotongan 40 hari berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding pemotongan 50 dan 60 hari. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur tanaman semakin banyak

cadangan energi dalam bentuk lemak kasar yang ditimbun di daun.

Kadar abu

Kadar abu rumput raja pada berbagai umur pemotongan bertutut-turut dari 40, 50 dan 60 hari adalah 8,00; 7,58 dan 7,37 ( Tabel 5 ).

(20)

Tabel 5. Rata-rata kadar abu rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%) Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata P1 (Potong 40 hari) 7,39 8,42 8,20 8,00a P2 (Potong 50 hari) 7,60 7,23 7,91 7,58ab P3 (Potong 60 hari) 8,08 7,05 6,98 7,37b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi terhadap kandungan abu rumput raja menunjukkan bahwa umur pemotongan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kandungan lemak kasar pada pemotongan 40 hari berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding pemotongan 50 dan 60 hari. Hal ini disebabkan karena tanaman muda banyak mengandung mineral. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pearson dan Ison (1987) bahwa kadar abu (mineral) pada tanaman lebih tinggi pada awal pertumbuhan dan menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman.

KESIMPULAN

Umur pemotongan untuk rumput raja yang memberikan nutrien (kadar air, protein, serat kasar, lemak kasar dan abu) terbaik adalah umur 40 hari.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1995. Hijauan

Makanan Ternak. Aksi Agraris Kanisius, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.

Anonimus, 1989. Teknik Budidaya King grass. Direktorat Bina ProduksiPternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

AOAC. 1975. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Washington, D.C.

Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Crowder, L.V., and H.R. Chheda.

1982. Tropical

Grassland Husbandry. 1st ed. Longman Inc., New York.

Pearson, C.J. and R.L. Ison. 1987. Agronomy of Grassland System. Cambridge University Press, Cambridge. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Revisi, BPFE,

(21)

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Siregar, M. 1989. Produksi dan

Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum Dengan Sistem Potong Angkut. Trubus, No. 6 Thn 11.

Tillman, A. D. Hari Hartadi, Soedomo

Reksohadiprodjo.

Soeharto Prawirokusumo

dan Soekanto Lebdo Soerojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University

Press. Fakultas

Peternakan UGM.

Yogyakarta

Van Soest, D.J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2nd ed. Cornell University Press Ithaca London

(22)

EVALUASI NILAI NUTRISI ONGGOK HASIL FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK UNGGAS

Sonita Rosningsih

Program studi Peternakan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

This study was investigate to evaluate the nutritional value of fermented cassava as animal feed of poultry. The Experiment using completely randomized design conducted in the field direction and community involvement duck. Farmers divided into 3 groups with different treatments, each making three times the dough fermentation as replication. Group 1 makes cassava fermentation using tempe yeast without additives. Group 2 made cassava fermentation using the tempeh yeast with the addition of 1% urea. Group 3 made cassava fermentation with the addition of 1% fish meal. Fermentation carried out for 4 days. Fermented cassava waste was analyzed contain of water content, crude protein and crude fiber content . The results showed that water content of fermentation without addition and fermentation with the addition of fish meal were not significantly different, but both are significantly different with the addition of urea treatment. Levels of crude protein and crude fiber cassava fermented with the addition of fish meal was significantly higher compared with other treatments, while the fermentation with the addition of urea higher than without the additive. It was concluded that the best nutritional value of fermented cassava are cassava fermented with yeast tempeh and the addition of fish meal.

Keywords. Cassava waste, Fermentation, Nutritional Value.

PENDAHULUAN

Onggok adalah limbah padat berupa ampas dari pengolahan ubikayu menjadi tapioka, yang apabila didiamkan dalam beberapa hari akan menimbulkan bau asam dan busuk yang bersifat mencemari lingkungan. Produksi ubikayu Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar setelah Nigeria, Brazil dan Thailand. Pada tahun 2002, produksi ubi kayu Indonesia

mencapai 16,9 juta ton dengan luas area1 1,27 juta ha, yang sebagian besar diserap industri tapioka, sehingga setiap tahun tidak kurang dari 1,2 juta ton onggok dihasilkan Anonimus , 2003). Nutrien utama onggok adalah karbohidrat yaitu 60-70% (Tisnadjaja, 1996), dengan kornponen utama berupa pati (Judoamidjojo et al., 1992). Nutrien lain yang harus diperhitungksan apabila onggok digunakan sebagai

(23)

bahan pakan unggas adalah tingginya serat kasar, rendahnya protein, rendahnya kecernaan (Puslitbangnak, 1996), dan adanya senyawa anti-nutrisi (Suliantari dan Rahayu,1990). Kendala dalam mendukung perkembangan peternakan adalah tercukupinya kebutuhan pakan ternak, sehingga perlu diupayakan jenis bahan pakan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak pengganti yang harganya murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah didapat dan berkualitas baik. Onggok merupakan limbah padat industri tapioka dan diperkirakan di Indonesia dihasilkan kurang lebih 1,2 juta ton per tahun. Namun demikian, pemanfaatan limbah padat ini masih sangat rendah.

Penggunaan onggok sebagai pakan ternak dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain rendahnya nilai gizi (protein) dan masih tingginya kandungan sianida, untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat menin-katkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Melalui teknologi fermentasi diharapkan akan meningkatkan nilai gizi (yang dicarikan antara lain dengan meningkatnya kandungan protein kasar) dan menurunkan kandungan zat antinutrisi HCN pada onggok terolah.). Fermentasi dengan A. oryzae mampu meningkatkan protein sejati, menurunkan serat kasar (Hanim et

al., 1999) dan menghasilkan

beberapa vitamin seperti asam pantotenat, inositol, tiamin,

piridoksin, biotin dan vitamin B12 (Rapper and Fennel, 1977). Protein tepung ubikayu meningkat dari 0,12 menjadi 17% dengan fermentasi menggunakan Candida

tropicalis (Balitnak, 1994),

sedangkan dengan A. niger

kandungan protein sejati onggok meningkat fantastis dari 2 menjadi 8% Dislitbangnak, 1996). ), serta terbentuk edible protein dengan

Rhizopus oryzae (Tanuwidjaja &

Anah, 1989). produk onggok fermentasi dapat diberikan dalamransum ayam broiler 40% atau mengganti 88% jagung dan dalam ransum itik 60%

ataumengganti jagung

100%.(Wizna, Yose Rizal, Abdi Dharma, Hafil Abbas, 2006.)

Hasil penelitian di atas merupakan hasil penelitian dalam skala laboratorium yang dirancang sesuai dengan tujuan dimana

segala faktor yang

mempengaruhinya dalam kondisi terjaga ketat untuk memperoleh akurasi data. Dalam penerapannya di kalangan petani metoda ini sulit dilakukan sehingga diperlukan penelitian yang sama namun dalam kondisi on farm sesuai kebutuhan peternak.

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kandungan protein dan serat kasar onggok terfermentasi dengan ragi tempe yang dilakukan secara on farm.

METODE PENELITIAN 3.1.Materi Penelitian

(24)

Onggok kering berasal dari limbah pertanian di daerah Godean Sleman Yogyakarta. Laru/ ragi tempe diperoleh dari pedagang tempe dari pasar Godean Sleman , mollases dan top mix diperoleh dari poultry shop di daerah Dusun Gancahan Godean. Bahan kimia yang diperlukan untuk proses fermentasi adalah urea.Untuk Analisis proksimat diperlukan Asam sulfat bebas N; katalisator Na2SO4:HgO (20:1);

Na2OH:Na2SO4 (8:1), Asam boraks

4%; indikator Mix methyl merah, methylene biru atau Brom Cresol Green; Asbes; Zat anti buih K2SO3

10% dan petroleum ether. Dengan bahan pendukung air, kertas saring dan kertas lakmus.

3.2. Alat

Alat yang digunakan untuk perebusan adalah dandang berkapasitas 1 kg onggok, alat pemanas dan pengaduk, untuk pengeringan digunakan tampah besar terbuat dati bambu.. Dalam melakukan fermentasi digunakan 12 tray bambu, plastik penutup, bejana penampung air dan thermometer sebagai pengontrol suhu.

Analisis proksimat menggunakan: Oven dan inkubator merk Memmert, desikator, timbangan analitik merk Sartorius, Vochdoss, klem, tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes, autoclave, lampu spiritus, kertas payung, laminer, labu Kjeldahl, seperangkat

alat ekstrasi soxhlet, silika disk, buret, gelas Erlenmeyer, lemari asam, corong pemisah, blender merk National, vortex merk Retsch Mixer, magnetik stirer, shaker merk Katterman, tanur dan cabinet dryer, kompr gas merk Rinai dan tabung gas.

3.3. Jalan Penelitian Waktu dan tempat

Fermentasi dilakukan di kelompok pembelajaran itik, di Dusun Samben Desa Argomulyo Sedayu, Bantul. Analisis Proksimat dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Rancangan percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dan dilakukan di lapangan melibatkan masyarakat peternak itik. Peternak dibagi 3 kelompok perlakuan dengan treatment yang berbeda, masing masing membuat tiga kali adonan fermentasi sebagai ulangan. Kelompok 1 membuat onggok fermentasi menggunakan ragi tempe tanpa penambahan additive. Kelompok 2 membuat onggok fermentasi menggunakan ragi tempe dengan penambahan 1 % urea. Kelompok 3 membuat onggok fermentasi ragi tempe dengan penambahan1% tepung ikan. Waktu fermentasi adalah 4 hari. kuan diulang 3 kali, sehingga sampel yang akan dianalisa berjumlah 9 sampel.Data yang diperoleh dianalisis dengan

(25)

analisis varian. Perbedaan yang nyata diuji lanjut menggunakan DMRT ( Astuti,1980).

Prinsip kerja a. Uji Aktivitas ragi

ragi tempe yang diperoleh diuji aktivitasnya dengan menggunakan mollases yang dilarutkan dengan air steril ( 2 senduk makan molasses dalam 125 ml ). 1 sendok teh ragi dimasukkan kedalam larutan tersebut dan dibiarkan beberapa menit. Kemudian dilihat apabila terjadi gelembung gelembung udara berarti terjadi aktivitas mikroorga Perbedaan yang nyata diuji lanjut menggunakan DMRT ( Astuti,1980).nisme maka ragi tempe dinyatakan masih dalam kondisi baik dan layak digunakan.

b. Sterilisasi, pengkayaan substrat dan inkubasi

Sterilissasi skala lapangan dilakukan dengan cara merebus onggok dengan menggunakan dandang selama 30 menit. Sebelum direbus onggok dibasahi dengan air bersih sebanyak 800 ml/kg onggok.

Pengkayaan; nutrien dari mineral tambahan diberikan ke dalam substrat dalam bentuk larutan. Larutan tersebut merupakan campuran antara 1 sendok teh top mix

yang dilarutkan dalam 125 ml larutan mollases , 10 gram urea atau tepung ikan. per kilogram onggok.

Fermentasi. Onggok yang telah dingin kemudian dicampurkan dengan larutan yang telah dibuat sesuai perlakuan masing-masing, apabila adonan belum mencapai kelembaban yang diinginkan (60%) ditambahi dengan air steril (air matang) sampai adonan jika dikepal dengan tangan tidak mengeluarkan air, dan bila kepalan tangan dibuka adonan kembali meremah.Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu kamar selama 4 hari.

c. Analisis Laboratorium

Dari hasil fermentasi diperoleh onggok terfermentasi. Dari masing-masing perlakuan diambil sampel untuk dikeringkan di bawah sinar matahari, untuk kemudian dibawa ke Laboratorium guna analisis proksimat terhadap kadar air, kadar protein dan kadar serat kasar menurut metoda AOAC (1970).

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar Air

Rerata kadar air onggok terfermentasinsi tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol (P I) sebesar 6,7104 % dan terendar diperoleh pada perlakuan

(26)

onggok yamg difermentasi dengan ragi tempe dengan penambahan urea (P III) yaitu sebesar 4,3770 %.

Data selengkapnya dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabet 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air ,Protein Kasar, Serat Kasar onggok terfermentasi (%)

Perlakuan Nilai Nutrisi (%) P I PII PIII Kadar air Protein Kasar Serat Kasar 6,7104 ab 4,3770 c 5,5126 ab 7,1769 a 10,1044 b 10,7347 c 20,5250 a 19,5667 b 22,9750 c Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05)

Hasil analisis Varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata terhadap kadar air

onggok terfermentasi.

Penambahan urea P II) pada fermentasi onggok menghasilkan kadar air yang nyata lebih rendah dibandingkan kadar air pada perlak Perlakuan kontrol (P I) dan Perlakuan penambahan tepung ikan (PIII). Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada ragi tempe lebih tinggi dibandingkan perlakuan P III . Nitrogen anorganik yang diperoleh dari urea oleh mikroorganisme dimanfaatkan sebagai sumber N dalam aktivitas metabolisme lebih cepat dibandingkan N organik yaitu yang berasal dari tepung ikan (P III). Dilain pihak perlakuan kontrol (P I) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan P III. Proses fermentasi merupakan respirasi anaerobik yang membebaskan air

sebagai produk samping, tetapi dalam penelitian ini proses fermentasi pada pelaksanaannya ditutup dengan plastik dengan sedikit acrasi dengan cara memberi lubang dengan jarak 2 cm, sehinga penguapan air terhambat. Ada kemungkinan pada perlakuan II pemberian lubang lebih banyak dibandingkan dengan Perlakuan lainnya sehingga uap air yang dihasilkan lebih leluasa menguap. (Pelczar, dan Chan, 1986). Sedangkan pada perlakuan I dan III banyaknya lubang aerasi kemungkinan hampir sama sehingga pada proses fosforilasi transport elektron yang menghasilkan CO2 dan H2O, air

sebagian akan menguap karena panas mikrobral dan sebagian akan menyatu dengan substat, sehingga memungkinkan kadar air tidak berubah walaupun terjadi penguapan (Sudarmadji, 1984). Untuk pertumbuhan mikroba yang

(27)

terdapat dalam ragi tempe membutuhkan energi dari substrat dengan cara mendegradasi molekul kompleks menjadi melekul sederhana. Dengan bantuan enzim-enzim yang dimilikinya antara lain invertase,posfolipase dan protease. Selanjutnya glukosa dan gliserol masuk ke dalam jalur glikolisis menjadi asam pituvat lalu masuk ke siklus Krebs dihasilkan energi berupa ATP. Pada Faktor yang berpengaruh terhadap fermentasi meliputi waktu, aerasi atau pembalikan dan aktivitas mikroba. Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm. Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum

untuk pertumbuhannya

(Fardiaz,2002)

4.2. Kadar Protein Kasar

Rerata kadar protein kasar onggok terfermentasi tertinggi diperoleh pada perlakuan P III sebesar 10,7347 % dan terendah diperoleh pada perlakuan onggok terfermenasi spontan tanpa ragi tempe (P I) yaitu sebesar 7,1769

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata ( P< 0,05) terhadap kadar protein kasar onggok. Perbedaan ini diduga disebabkan karena perbedaan material yang ditambahkan , yang pada gilirannya mengakibatkan terjadi perbedaan laju reaksi aktivitas mikrobial.

Dari hasil uji jarak berganda Duncan tampak bahwa antar perlakuan masing masing menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar protein perlakuan tanpa urea lebih rendah dari perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada sumber N lain selain yang berasal dari substratnya sendiri yaitu onggok.

Pada Perlakuan II kadar protein lebih rendah dibandingkan perlakuan III karena Pada perlakuan II pemanfaatan sumber N anorganik yaitu urea lebih cepat, namun proses penguapan amoniakpun juga lebih cepat, sedangkan pemanfaatan sumber N organik yaitu tepung ikan (Perlakuan III) membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses deaminasi. Bahan organik memerkukan waktu untuk pemecahan senyawa kompleks

menjadi senyawa

sederhana.Dalam hal ini kapang Rhyzopus sp perlu mengeluarkan enzim protease untuk memecah protein menjadi Asam amino. Niterogen dari asam amino inilah yang dimanfaatkan oleh mikroba untuk dibentuk menjadi protein tubuhnya. Proses ini berjalan lebih lambat dibandingkan pada penggunaan urea dimana N dapat

(28)

langsung digunakan.Namun pada pemanfaatan N dari tepung ikan lebih maksimal sehingga kadar proteinnyapun lebih tinggi dibandingkan perlakuan II. Sumber nitrogen meskipun dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pembentukan polisakarida, akan tetapi kelebihan nitrogen pada umumnya dapat mengurangi konversi substrat menjadi polisakarida (Kang dan Cottrell, 1979). Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease (Rahayu, K. 1990) . Perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi , dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas produk, yaitu sebagai sumber protein yang memiliki nilai cerna amat tinggi. Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak berubah selama fermentasi . Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar asam amino bebas (Rachman, A., 1989). Karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada substrat menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam produk tanpa fermentasi. Oleh karena itu, onggok fermentasi sangat baik untuk diberikan kepada ternak guna meningkatkan daya cernanya.

Dibandingkan

dengan produk tanpa fermentasi, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada produk fermentasi karena secara kimiawi dapat meningkatnya kadar padatan

terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Didukung oleh penelitian Sinurat, 1996 bahwa peningkaian kadar protein kasar akibat fermentasi cukup tinggi. Akan tetapi , sabagian protein kasar tersebut terdiri dari nitrogen (protein) terlarut yang mungkin berasal dari urea yang ditambahkan sebelum proses fermentasi, disamping itu peningkatan protein juga terdiri atas asam amino non essensial dan NPN seperti khitin dan asam nukleat (Sinskey sitasi Sinurat 1996 meski demikian dilaporkan pula bahwa peningkatan total asam amino essensial produk fermentasi cukup tinggi, yaitu 16 %. Uji coba terhadap ternakpun telah dilakukan, dimana penggunaannya dalam ransum broiler dapat mencapai 10 % (Rosningsih, 1996).

4.3. Kadar Serat Kasar

Rerata kadar serat kasar onggok terfermentasi tertinggi diperoleh pada perlakuan fermentasi dengan ragi tempe dan penambahan tepung ikan (P III) sebesar 22,9750 % dan terendah diperoleh pada perlakuan onggok terfermenasi dengan ragi tempe dan penambahan urea (PII) yaitu sebesar 19,5667 %.

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata ( P< 0,05) terhadap kadar serat kasar onggok. Perbedaan ini diduga

(29)

disebabkan karena perbedaan material yang ditambahkan , yang pada gilirannya mengakibatkan terjadi perbedaan laju reaksi aktivitas mikrobial, sehingga mengakibatkan perbedaan serat kasar yang dihasilkan.

Dari hasil uji jarak berganda Duncan tampak bahwa antar perlakuan masing masing menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar serat kasar perlakuan dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikrobial yang terjadi lebih efisien .Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemanfaatan sumber N organik relatif lebih lama dibandingkan N anorganik yang siap pakai. Akan tetapi lama waktu proses metabolisme pemanfaatan N lebih maksimal sehingga pembentukkan biomassa kapang lebih tinggi akibatnya pembentukan miselium di permukaan substrat (onggok) lebih banyak sehingga kadar serat kasar pada perlakuan III paling tinggi. Namun serat kasar yang dihasilkan pada produk fermentasi lebih soluble (.Rachman, A., 1989) . miikroba dapat memanfaatkan unsur-unsur karbon secara optimal untuk sistesa penyusun serat kasar. Akibatnya ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kadar serat kasar. Kemungkinan penurunan serat kasar dapat terjado akibat dekomposisi sel-sel substrat dan kemungkinan peningkatan serat kasar adalah karena mikroba menintesa kembali bahan tersebut menjadi bahan penyusun sel, anatara lain untuk

dinding sel. Hal ini terutama terjadi pada mikroba yang tergolong kapang. Didukung oleh Yutono (1975), Pelczar (1986), Fardiaz (2002) bahwa fermentasi substrat padat oleh kapang menghasilkan peningkatan biomassa yang berarti terjadi pula peningkatan miselium, dimana miselium yang terdiri dari selulosa.

KESIMPULAN

Produk fermentasi onggok yang terbaik adalah fermentasi dengan menggunakan ragi tempe dengan penambahan tepung ikan yang memiliki kandungan protein kasar 10,7347 % dan serat kasar 22,9750%

SARAN

Untuk penggunaan onggok fermentasi sebagai pakan unggas disarankan menggunaka tepung ikan sebagai sumbe N terutama bagi peternak yang memproduksi produk peternakan organik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

AOAC, 1970. OfficialMethoda Of Analysis . the Assosiation of Analytical Chemis. Washington.

Astuti,M. 1980 . Rancangan Percobaan dan Analosa Statistik. Fakultas

(30)

Petemakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Balitnak. 1994. Pemanfaatan

Limbah Pertanian dan

Limbah Pengolahan

TapiokalSagu sebagai Pakan Ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 4: 7.

Darma. J. 1992. Pengantar Bioteknologi Pakan. Materi dan Pelatihan Bioteknologi Pakan. BPT- Ciawi. Bogor , hal 2.

Djide, N. 1990. Isolasi dan karakterisasi kapang pemecah pati dari limbah pabrik tapioka: kondisi optimum produksi enzim pemecah patio Bulletin Pascasarjana Seri Sains, 4: 48-55.

Djoyosubagio, S. 1996. Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Renerapan Bioteknologi. Proceeding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner , hal 273.

Fardiaz, S. 2002. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Frazier, N. AA. Dan D.C. Westhoff,

1978. Food Microbiology. Me Graw Hill Book Company, New York. (http://id.wikipedia.org/wiki/Fe

rmentasi)

Hanim, C., Z. Bachrudin, dan Ali-Agus. 1999. Evaluasi nilai nutrisi bungkil inti kelapa sawit yang difermentasi dengan jamur. Buletin Peternakan, 23(2): 81-87. Haris, R. S. dan E. Karmas. 1989.

Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Terbitan ke-2. PenerbitITB. Bandung.

Judoamidjojo, M., A. A. Darwis, dan E. G. Said. 1992. Teknologi Fennentasi. Rajawali Pers. Jakarta. Jutono,S.,Hartadi,S.Kabirun,Susan

to, Judoro dan Suhadi, 1975. Mikrohiologi Untuk Perguruan Tinggi , Jilid I. Departemen Mikrobiologi. fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kang, KS. dan IW. Cottrell.

1979 Polisaccharides. Dalam Microbial

Technology.Microbial

processes. Second edition. Volume I. Peppler, HJ. dan D.Perlman (Eds.). Academic Press. London.

Muljohardjo, M. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. 3th. ed. Terjemahan. VI Press. Jakarta.

Nitis, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th rev. ed. National Academy Press, Washington, D.C.

Pelczar, M. J. dam E. C. S. Chan, 1986. Dasar-Dasar

(31)

Mikroniologi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Rahman. A. 1992. Pengantar teknohgi Fermentasi. Penerbit PAU Pangan dan Gizi IPB.

Rahayu, K. 1990. Enzim Mikroba. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Rapper, K.B. and DJ. Fennel. 1977. The Genus Aspergillus. Robert, E Krieger Publ. Co. Huntington, New York

Rosningsih,. 1996. Pengaruh Aras Pemberian Ubi Kayu terfermentasi dengan spergillis niger terhadap kinerja Ayam Broiler. Laporan Penelitian Kopertis Wil V. Yogyakarta.

Sinurat,A.P,, T. Puradaria, P.P. Ketaren, D. Zainuddin dan I. P. Kompiang, 1996. Pemanfaatan Lumpur Sawif untuk Ransum Unggas: i. Lumpur Saw it kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam broiler. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Peternakan. BALITBANGTAN.

DEPTAN. Vol 5, No. 2. Th 2000. hal 107.

Silalahi, M., D. Aritonang, J. D. Darma, Tresnawati, dan T. Haryati. 1993. Pemanfaatan

ampas singkong

terfermentasi dalam ransum

babi. Bulletin Peternakan, edisi khusus: 185-193. Suliantari dan W. P. Rahayu. 1990.

Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbi-umbian. PAU-IPB. Bogor.

Susana. P. W. R, B. Tangenjaya dan S. Hastiono. 1996. seleksi Kapang Penghasil Enzim Fitase. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Pusat Penelitian dan

Peternakan .

BALITBANGTAN.

DEPTAN. Vol 5, no.2. th 2000, hal 113.

Tanuwidjaja andAnah. 1989. Protein enrichment of cassava solid waste by SSF. In Howghee, A., Hen, N.B. and L.K. Kong (eds). Trends in Food Biotechnology. Proceedings ofThe 7th. Word Congress of Food Science and Technology. 25-28. Terebiznik, M. R., A. M. R. Pilosof,

and S. Moreno. 1996. Effective purification procedure of Aspergillus oryzae alfaamylase from solid state fermentation cultures including concanavalin asepharose. J. Biochemistry, 19: 341-354.

Tisnadjaja, J. 1996. Pemanfaatan bahan berpati sebagai bahan baku dalam industri asam sitrat. WartaBiotek, 1(10): 3-5 Wainwright, M. 1992. An

(32)

Fungal ,

Biotechnology. John Wiley and Sons, Ltd. Baftins Lane,

Chichester.

Yudohusodo,S.2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan Suatu Kebutuhan Bagi Imdonesia. Artikel-Th II. NO 6 -September 2003. Copyright @ 2003 www ekonomi rakyat. org.

(33)

PENGARUH PEMBERIAN JINTEN (Cuminum cyminum) DALAM PAKAN TERHADAP PRODUKSI TELUR PUYUH

Lukman Amin

Program studi Peternakan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

The research designed to know effect addition of cumin in feed on quail egg production. Material used includes 120 head of female quail at week old that arrange to 12 pens for four treatments and three replications. Cummin was added at C0 (0 %), C1 (0,5 %), C2(1,0 %) and C3 (1,5 %) levels. Feed given had 20 % of protein and 2900 kKal/kg of metabolizable energy. Observation had done from week of first laying to week of production peak reached. Result of the study indicated that cumin decreased feed consumption and feed-egg conversion. But no effect to first laying ages, peak level of production, egg weight and egg production. The conclusion of this study was that cumin can be used as feed additive for quail up to 1 % for increasing feed efficiency. Keywords : cumin, quail, egg

PENDAHULUAN

Beternak Puyuh banyak menjadi pilihan masyarakat guna meningkatkan pendapatan/ kese-jahteraan hidup petani. Usaha peternakan selalu berhadapan dengan dilema, di satu sisi dituntut untuk peningkatan efisiensi ekonomi, tetapi di sisi lain juga dituntut perbaikan kualitas produk. Harga bahan pakan yang cenderung selalu meningkat dan tidak diimbangi dengan kenaikan harga produk peternakan yang seimbang lebih mempersulit posisi peternak. Keberhasilan usaha peternakan tidak lepas dari segi tiga produksi yaitu faktor bibit,

pakan dan manajemen

pemeliharaan. Pakan merupakan salah satu faktor yang harus

mendapat perhatian utama, mengingat biaya pakan merupakan 60 - 70% dari total biaya produksi peternakan (Murtidjo, 1987). Guna meningkatkan kesejahteraan peternak perlu inovasi efisiensi biaya produksi dengan perbaikan kinerja atau menurunkan FCR (Feed Conversion Ratio).

Untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pakan seringkali digunakan antibiotik. Dengan antibiotika, ternak menjadi lebih sehat dan produktifitas yang tinggi dapat diperoleh. Di sisi lain, konsumen mulai sadar akan resiko residu antibiotika dan cenderung menghindari produk ternak yang mengandung residu. Guna mencari solusi masalah tersebut perlu inovasi baru dengan menggali

(34)

kekayaan alam Indonesia baik dari tanaman ataupun hewan yang dapat menggantikan /memenuhi tujuan diatas. Dari publikasi yang telah dikaji banyak terdapat tanaman yang berpotensi, antara lain jinten.

Jinten merupakan merupakan tamanan perdu yang tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim sejuk, seperti misalnya di daerah india utara dekat kaki pegunungan himalaya. Di indonesia meskipun dapat tumbuh, tetapi pada umumnya kurang baik. Jintan mempunyai batang kayu dan daunnya bersusun melingkar dan bertumpuk. Daun jintan putih mempunyai pelepah daun seperti ranting-ranting kecil. Bentuk daun jintan tidak berwujud lembaran, tetapi lebih mirip benang-benang kaku dan pendek. Warna dominan tumbuhan ini hijau dan bunganya berukuran kecil berwarna kuning tua ditopang oleh tangkai yang agak panjang (Anonimus (3))

Jinten termasuk dalam : Kingdom : Plantae

Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Cuminum

Spesies : Cuminum cyminum L. (Anonimus (1,2))

Di beberapa daerah jinten dikenal sebagai jinten (Jawa, Bali), Jeura (Aceh), Jireu (Gayo), Gintang (Ambon), Jhinten (Madura), Jinda (Gorontalo). Jintan putih (cuminum cyminum) dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk memasak. Disamping itu, biji jintan putih juga

digunakan sebagai pelengkap ramuan obat-obatan tradisional. Biji jintan putih memiliki aroma yang harum dan menarik.( Anonimus (3)).

Jinten sudah sangat lama digunakan sebagai bumbu dalam masakan India dan dalam pengobatan tradisional untuk diare, dispepsia dan gangguan lambung serta sebagai antiseptik. Penelitian menunjukkan bahwa jinten merupakan antimikrobial yang sangat kuat untuk berbagai spesies bakteri dan jamur. Bahan aktif antimikroba utama dalam jinten adalah cuminaldehyde [p-isopropil benzaldehyde]. (De et al., 2003.)

Jinten yang termasuk dalam keluarga apiceae dikenal kaya akan phytoestrogen. Dalam jinten terkandung senyawa zat aktif utama gama-terpinene (29.1%), para-cymene (25.2%), beta-pinene (19.9%), cuminaldehyde (18.7%), perrialdehyde (2.4%), myrcene (1.5%) and alpha-pinene (1.2%). Di antara kandungan tersebut, alpha-pinene and beta-pinene mempunyai sifat anti-inflammasi, semetara myrcene bersifat “peripheral analgesic” dengan menstimulation “nitric oxide pathway” (Lorenzetti et.al, 1991, Duarte et.al 1992).

Secara tradisional jinten digunakan untuk mengatasi diare, dispepsia dan gangguan lambung serta sebagai antiseptik. Penelitian menunjukkan bahwa jinten merupakan antimikrobial yang sangat kuat untuk berbagai spesies bakteri dan jamur.

(35)

Bahan aktif antimikroba utama dalam jinten adalah cuminaldehyde [p-isopropil benzaldehyde]. (De et al., 2003). Jinten mengandung senyawa zat aktif utama gama-terpinene (29.1%), para-cymene (25.2%),

beta-pinene (19.9%),

cuminaldehyde (18.7%), perrialdehyde (2.4%), myrcene (1.5%) and alpha-pinene (1.2%). Di antara kandungan tersebut, alpha-pinene dan beta-pinene mempunyai sifat anti-inflammasi, semetara myrcene bersifat “peripheral analgesic” dengan menstimulation “nitric oxide pathway” (Lorenzetti et.al, 1991, Duarte et.al 1992).

Komponen kimia utama minyak jinten adalah cuminic, cymene, dipentene, limonene, phellandrene dan pinene. Jinten memiliki bau yang sangat kuat sehingga digunakan dalam jumlah kecil agar tidak menimbulkan keracunan, iritasi dan sensitifitas. Jinten juga harus dihindari oleh wanita hamil. Minyak jinten bersifat antiseptik, anti-spasmodik, antitoksik, bakterisidal, karminatif, digestif, diuretik, emmenagogue, nervine, stimulan and tonik. Dalam pencernaan jinten bersifat sebagai stimulan untuk mengatasi kolik, dispepsia, flatulen, kembung, dan indigesti. (Anonimus (4)).

Pada tikus yang di-ovariektomi, phytoestrogen dalam jinten terbukti dapat menekan ekskresi kalsium melalui urin dan meningkatkan kalsium dan kekuatan tulang, kepadatan dan abu tulang serta memperbaiki

mikroaresitektur tulang. Efek osteoprotektif ini setara dengan estradiol (Shirke et. al, 2008).

Jinten juga kaya akan kandungan phytoestrogen. Pada tikus yang di-ovariektomi, phytoestrogen dalam jinten terbukti dapat menekan ekskresi kalsium melalui urine, meningkatkan kalsium dan kekuatan tulang, kepadatan dan abu tulang serta memperbaiki mikroaresitektur tulang. Efek osteoprotektif ini setara dengan estradiol (Shirke et. al, 2008). Namun belum ada informasi penelitian untuk pengaruh phytoestrogen jinten terhadap kinerja produksi burung puyuh. Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh phytoestrogen jinten terhadap produksi burung puyuh betina terhadap produksi telur.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh penambahan jinten dalam pakan terhadap produksi telur burung puyuh termasuk maturitasnya serta efisiensi pakan puyuh

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih informasi secara ilmiah tentang penggunaan jinten dalam ransum terhadap kinerja produksi puyuh (Coturnix-coturnix japonica), dan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan ransum puyuh serta data awal bagi penelitian selanjutnya.

Gambar

Tabel 2. Kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf  Lama perendaman (jam)  Kadar air (%bb)**
Tabel 5. Hasil uji kesukaan terhadap jagung goreng*
Tabel 2.  Saat pemunculan tubuh buah yang pertama kali  pada  berbagai  macam media pada  dataran tinggi dan dataran rendah ( hari )
Tabel 4 :  Kandungan protein jamur tiram putih pada berbagai media pada  lokasi penanaman yang berbeda ( % berat segar)
+4

Referensi

Dokumen terkait

motor dan juga dapat menampilkan kondisi sepeda motor apakah dalam keadaan “ON”, “OFF”, dan juga ketika alarm “ON”. Pada hasil output relay juga berfungsi dengan

Sehubungan dengan hal tersebut, mendasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tatacara Perencanaan, Pengendalian, dan Evalusi

Anak dikatakan berhasil pada satu sesi, jika ia mampu menunjukkan tahapan perilaku memakai kemeja sesuai dengan target setiap sesi sebanyak dua kali secara

Adanya hierarki tersebut dibuktikan dengan memusatnya rumah tipe ukir A pada pada wilayah pusat dari Kudus Kulon di daerah Damaran, Kauman, dan Kerjasan, kemudian diikuti dengan

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “ APLIKASI BELAJAR DAN

Sistem informasi ini akan memiliki keuntungan ganda, baik bagi industri pariwisata maupun institusi pendidikan, yaitu :menyediakan informasi kebutuhan dan ketersediaan tenaga

ABSTRAK PENGARUH KUALITAS PELAYANAN DENGAN DIMENSI BSQ BANKING SERVICE QUALITY TERHADAP KEPUASAN NASABAH Studi Pada Bank BNI Syariah Kantor Cabang Tanjung Karang Bandar Lampung

Asuransi Syari’ah, yang menjadi acuan dari sis i syariah dalam penyelenggaraan kegiatan asuransi syariah. Dimana pasal ketujuh yang ada dalam fatwa tersebut juga