• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Sampah

Menurut Undang Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat. Berdasarkan sifat material penyusunnya, sampah dibedakan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik tersusun atas unsur karbon , Hidrogen (H2) dan Oksigen (O2). Sampah organik mudah terurai karena, tidak membahayakan lingkungan, serta dapat dimanfaatkan kembali seperti pembuatan pupuk kompos. Sampah anorganik adalah sampah yang sulit terurai karena terbuat dari bahan-bahan sintetik atau hasil pengolahan tambang. Sampah jenis ini adalah sumber pencemar lingkungan karena waktu penguraian yang sangat lama, bahkan ada sampah jenis styrofoam yang tidak dapat terurai.

Tabel 2.1 Waktu Penguraian Setiap Jenis Sampah

Lama Penguraian Contoh Jenis Sampah

Di bawah 6 bulan Sampah organik, sampah dapur, dan kertas karton 10-12 tahun Filter rokok

10-20 tahun Kantong plastik

25-40 tahun Bahan dari kulit binatang, tas, sepatu 30-40 tahun Pakaian dari nylon

50-80 tahun Plastik tebal 80-100 tahun Alumunium Tidak terurai Styrofoam

Sumber: Mediastika, C.E., 2013

Diperkirakan hanya sekitar 60% sampah dari kota-kota besar di Indonesia yang dapat terangkut ke TPA, yang operasi utamanya adalah pengurugan (landfilling).

(2)

Banyaknya sampah yang tidak terangkut kemungkinan besar tidak terdata secara sistematis, karena biasanya dihitung berdasarkan ritasi truk menuju TPA. Sampah yang ditangani masyarakat secara swadaya, ataupun sampah yang tercecer dan secara sistematis dibuang ke badan air sulit untuk didapatkan datanya.

2.1.1 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Pemerintah bertanggung jawab dalam pengumpulan ulang, pembuangan sampah dari pemukiman secara memadai. Namun karena terdapat hal lain yang diprioritaskan dalam pembangunan di daerah serta kurangnya dana penunjang untuk operasionalisasi pengelolaan persampahan, menjadikan pada beberapa daerah kegiatan pengelolaan sampah ini tidak seperti yang diharapkan (Pakpahan, H. L., 2010). Sampah yang dibuang ke lingkungan akan menimbulkan masalah bagi kehidupan dan kesehatan lingkungan, terutama kehidupan manusia. Masalah sampah kini menjadi isu hangat dan banyak disoroti karena memerlukan penanganan serius. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan sampah, diantaranya:

1. Sumber Penyakit

Sampah yang terdiri atas berbagai bahan organik dan anorganik apabila telah terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar, merupakan sarang atau tempat berkumpulnya berbagai binatang yang dapat menjadi vektor penyakit, seperti lalat, tikus, kecoa, kucing, anjing liar, dan

(3)

sebagainya. Juga merupakan sumber dari berbagai organisme patogen, sehingga akumulasi sampah merupakan sumber penyakit yang akan membahayakan kesehatan masyarakat, terutama yang bertempat tinggal deket dengan lokasi pembuangan sampah (Mediastika, C.E., 2013). 2. Pencemaran Udara

Bau yang timbul akibat adanya dekomposisi sampah (organik dan anorganik) berpotensi mengganggu saluran pernafasan, serta penyakit lainnya. Sampah yang membusuk umumnya mengeluarkan gas seperti gas methan (CH4) dan karbondioksida (CO2) serta senyawa lainnya. Selain itu gas methan yang terkurung lama juga dikhawatirkan berpotensi menimbulkan ledakan (Tobing, I.S.L, 2005).

3. Pencemaran Air dan Tanah

Timbulan lindi, sebagai efek dekomposisi biologis dari sampah memiliki potensi yang besar dalam mencemari badan air sekitarnya, terutama air tanah di bawahnya. Lindi atau air luruhan sampah merupakan tirisan cairan sampah hasil ekstrasi bahan terlarut maupun tersuspensi. Pada umumnya lindi terdiri atas senyawa-senyawa kimia hasil dekomposisi sampah dan air yang masuk dalam timbulan sampah (Priyono, A., Utomo, W.D., 2008). Pencemaran air tanah oleh lindi merupakan masalah terberat yang mungkin dihadapi dalam pengelolaan sampah.

4. Masalah Lain

Sampah dapat menimbulkan masalah lain salah satunya adalah masalah estetika dan kenyamanan yang merupakan gangguan bagi

(4)

pandangan mata. Adanya sampah yang berserakan dan kotor, atau adanya tumpukan sampah yang terbengkalai adalah pemandangan yang tidak disukai oleh sebagian besar masyarakat. Selain itu sampah yang dibuang sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air buangan dan drainase sehingga akan mengakibatkan banjir yang akan merugikan semua pihak. Volume sampah yang besar merupakan masalah tersendiri dalam pengangkutannya, begitu juga dengan masalah pemisahan komponen-komponen tertentu sebelum proses pengolahan.

Melihat kompleksnya permasalahan yang timbul akibat sampah serta demi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, diperlukan upaya pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan sistematis, menyeluruh,dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (PP nomor 81, 2012). Pengelolaan sampah setidaknya memuat pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, pemanfaatan kembali sampah, pemilahan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, pemrosesan akhir sampah, dan pendanaan.

Pengelolaan sampah, sebaiknya dilakukan sesuai dengan karakteristik sampah. Karakteristik sampah sangat bervariasi tergantung pada komponen-komponen sampahnya. Sebagai contoh, sampah plastik yang merupakan sampah anorganik, berasal dari minyak bumi dan mineral yang memerlukan waktu lama atau tidak dapat terurai sama sekali dengan alam. Karena sifatnya yang tidak membusuk, sampah plastik memerlukan penanganan khusus, salah satunya adalah pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan

(5)

bakar alterantif. Penelitian mengenai pemanfaatan plastik telah banyak dilakukan. Pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan alternatif pada dasarnya adalah memotong rantai polimer plastik menggunakan proses

pyrolysis.

2.2 Plastik

Plastik adalah salah satu jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar (makromolekul atau polimer), proses ini disebut polimerisasi. Plastik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu thermoplastic dan

thermosetting. Thermoplastic adalah plastik yang jika dipanaskan dalam temperatur

tertentu, akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan. Sedangkan thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat dicairkan kembali dengan cara dipanaskan (U.B. Surono, 2013).

Menurut Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI (2008), Thermoplastic yang dapat didaur ulang kembali dibagi lagi menjadi 7 (tujuh) berdasarkan kode, yaitu:

1. PET (Polyethylene terephthalate) Gambar 2.1 Lambang Jenis-jenis Plastik

(6)

PET adalah hasil kondensasi polimer etilen glikol dan asam treptalat yang berasal dari minyak bumi, dan dikenal dengan nama dagang mylar, terdiri atas monomer ethylene teraphtelate dengan rumus molekul C10H8O4. Sifat plastik jenis ini adalah tembus pandang (transparan), bersih dan jernih. Tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam organik dari buah-buahan sehingga dapat digunakan untuk mengemas minuman sari buah serta kuat dan tidak mudah sobek. Pada keadaan hangat atau panas, lapisan polimer akan meleleh dan mengeluarkan karsinogenik yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker (Mediastika, C.E., 2013).

2. HDPE (High Density Polyethylene)

HDPE merupakan polimer polietilena yang memiliki struktur rantai lurus. Proses pembuatan rantai dari plastik HDPE dilakukan pada proses dengan tekanan rendah. HDPE mempunyai sifat kristalinitas yang lebih tinggi dan kaku apabila dibandingkan dengan LDPE (Nasution, A., 2011). Monomernya adalah etilena, gas hidrokarbon dengan rumus C2H4. HDPE direkomendasikan untuk

dipakai beberapa kali karena pelepasan senyawa antimoni trioksida terus meningkat seiring dengan waktu pemakaian.

3. PVC (Polyvinyl Chloride)

PVC merupakan hasil polimerisasi monomer vinil klorida dengan bantuan katalis. Rumus kima PVC adalah (C2H3Cl)n Pemilihan katalis tergantung pada jenis proses polimerisasi yang digunakan. Untuk membuat PVC digunakan beberapa proses pengolahan yaitu calendaring (menghasilkan produk sheet, film,

(7)

telepon), dan cetak injeksi (menghasilkan sol sepatu dan berbagai bagian mesin dan listrik)

4. LDPE (Low Density Polyethylene)

LDPE didefinisikan sebagai polimer polietilena yang memiliki struktur rantai bercabang yang tinggi dengan cabang-cabang yang panjang dan pendek. Pertambahan panjang rantai utama polimer diikuti dengan meningkatnya gaya antar molekul monomer. Polimer yang memiliki banyak cabang, kekuatannya menurun dan hal ini juga menyebabkan titik lelehnya semakin rendah dibandingkan dengan HDPE (Zulfikar, 2010). Polietilen disintesa secara kimia dari etilena, senyawa yang biasanya terbuat dari minyak bumi atau gas alam. Monomernya adalah etilena, gas hidrokarbon dengan rumus C2H4 yang dapat dilihat sebagai sepasang kelompok metilen (CH2=) terhubung satu sama lain (CAP, 2014). Plastik ini biasa dipakai untuk tempat makanan, kemasan, dan botol-botol yang lembek.

5. PP (Polypropylene)

Polypropylene merupakan polimer yang dihasilkan dari proses

polimerisasi gas propilena dengan rumus molekul (C3H6). Propilena mempunyai massa jenis yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan jenis plastik lain. (Mujiarto, I., 2005). PP lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, dan stabil terhadap suhu tinggi. Jenis PP ini adalah pilihan bahan plastik terbaik, terutama untuk tempat makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum, dan botol susu bayi (Mediastika, C.E., 2013)

(8)

Polystyrene adalah hasil polimerisasi dari monomer-monomer styrene

dengan rumus molekul (C8H8) , dimana monomer tersebut didapat dari hasil proses dehidrogenisasi dari etil benzene (dengan bantuan katalis), sedangkan etil

benzene merupakan hasil reaksi antara etilene dengan benzene (dengan batuan

katalis). Polystyrene mempunyai sifat kaku, keras namun mudah tergores, dan mempunyai bunyi separti metal apabila dijatuhkan (Mediastika, C.E., 2013).

7. Other

Kategori ini mencakup seluruh plastik yang tidak termasuk kedalam 6 kategori plastik lainnya. Sebelum dikategorikan sebagai jenis plastik other, label 7 pada plastik mengacu pada plastik polycarbonate yang berbahaya apabila digunakan sebagai kemasan makanan. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, inovasi pembuatan plastik semakin bervariasi sehingga plastik yang belum dikategorikan tersebut masuk kedalam kategori 7 (Schuler, K., 2008). Tabel 2.2 Struktur Atom, Densitas, dan Titik Lebur Berbagai Jenis Plastik

No Jenis

Plastik Struktur Atom

Densitas (g/mL) Titik Lebur 1 PET (C10H8O4) n 1,38 – 1,39 110 oC 2 HDPE (C2H4) n 0,95 – 0,97 137 oC 3 PVC (C2H3Cl) n 1,16 – 1,35 212 oC

(9)

4 LDPE

(C2H4) n 0,92 – 0,94 115

oC

No Jenis Plastik

Struktur Atom Densitas (g/mL)

Titik Lebur

5 PP (C3H6)n 0,90 – 0,91 176 oC

6 PS (C8H8)n 0,91 – 0,92 239 oC

Sumber: Katz, D.A., 1998, Mustofa, D.K., Zainuri, F., 2014, Kalpakjian, S., Schmid, S. R., & Kok, C. W., 2008.

Seluruh plastik adalah polimer, tetapi tidak seluruh polimer adalah plastik. Beberapa polimer nonplastik yang dikenal ialah starches (polimer dan gula), protein polimer dari asam amino dan DNA (polimer dari nucleitides). Monomer monomer identik dapat bergabung satu dengan lainnya untuk membentuk homopolimer homopolimer, yang dapat berupa rantai lurus atau rantai bercabang. Monomer monomer berbeda dapat bergabung bersama membentuk kopolimer, yang juga dapat berupa rantai lurus atau bercabang. Seluruh plastik terbuat dari karbon, Plastik buatan menggunakan karbon dari turunan minyak bumi. Karbon sangat penting karena memiliki keunikan yaitu dapat bergabung antar sesamanya dengan berbagai cara. Karbon terikat berhubungan dengan nilai kalor. Semakin tinggi kadar karbon terikat maka nilai kalor semakin tinggi pula karena reaksi oksidasi akan menghasilkan kalori yang disebut reaksi eksothermis (Sudrajat & Salim, 1994). Dari

(10)

7 (tujuh) jenis plastik yang telah digolongkan, memiliki nilai kalor masing-masing, sehingga tinggi rendahnya nilai kalor pada bahan bakar dari plastik dipengaruhi oleh jenis plastik.

2.3 Pemanfaatan Plastik Sebagai Bahan Bakar

Beberapa masyarakat memanfaatkan plastik yang sudah tidak digunakan menjadi barang lain yang lebih bermanfaat seperti kerajinan, alat kebersihan, aksesoris, dan hiasan. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan plastik menjadi bahan bakar cari telah dilakukan dan menunjukkan hasil yang prospektif untuk dikembangkan. Salah satu metode yang digunakan yaitu menggunakan metode

pyrolysis.

Thermal cracking (pyrolysis) tanpa katalis, yaitu proses memecah rantai polimer

menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah dengan cara memanaskan bahan polimer tanpa oksigen dan tanpa menggunakan katalis. Proses ini merupakan bagian dari proses merubah material padat seperti sampah plastik menjadi gas atau bahan bakar cair. Beberapa penelitian terkait pemanfaatan sampah plastik menjadi sumber energi alternatif diantaranya:

Bajus dan Hajekova (2010) melakukan penelitian tentang pengolahan tujuh campuran bahan plastik menjadi minyak dengan metode thermal cracking. 7 (tujuh) jenis plastik yang digunakan dicampur dengan prosentase komposisi HDPE 34,6%; LDPE 17,3%; Other 17,3%; PP 9,6%; PS 9,6%; PET 10,6%, dan PVC 1,1%. Penelitian ini menggunakan batch reactor dengan temperatur antara 350oC hingga

(11)

500oC. Hasil dari penelitian ini adalah thermal cracking pada campuran tujuh jenis plastik akan menghasilkan minyak dan gas serta sisa berupa padatan. Pembentukan karbon dioksida dan karbon monoksida meningkat serta kandungan kadar benzene,

toluene, xylene, styrene bertambah karena adanya plastik jenis PS, PVC, dan PET

dalam campuran plastik yang diproses.

Penelitian lain dilakukan oleh Tubnonghee dkk (2010). Plastik yang digunakan dalam penelitian adalah jenis PE dan PP untuk dijadikan bahan bakar minyak dengan proses thermo cracking. Proses dilakukan dengan temperatur 450oC selama 2 jam. Gas yang terbentuk selanjutnya dikondensasikan menjadi minyak menggunakan kondenser yang bertemperatur 21oC. Minyak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa dengan gas chromatograph untuk mengetahui distribusi jumlah atom karbonnya. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa minyak dari campuran PP dan PE tersebut mempunyai jumlah atom karbon C12 – C17 setara dengan solar.

Penelitian yang lain dilakukan oleh Sarker dkk (2012). Pada penelitian ini, sampah plastik LDPE diolah menjadi kerosin dengan metode thermal cracking pada tekanan atmosfir dan dengan temperature antara 150 oC dan 420 oC. Proses depolimerisasi dilakukan tanpa penambahan katalis. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa kerosin yang didapat sekitar 30%. Bahan bakar yang diperoleh dari proses ini mempunyai kandungan sulfur yang rendah dan nilai kalor yang baik.

Osueke dan Ofundu (2011) melakukan penelitian konversi plastik LDPE menjadi minyak. Proses konversi dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan

(12)

stainless steel yang dipanaskan dengan elemen pemanas listrik dengan temperature bervariasi antara 475-600 oC. Kondensor dengan temperature 30-35 oC, digunakan untuk mengembunkan gas yang terbentuk setelah plastik dipanaskan menjadi minyak. Katalis yang digunakan pada penelitian ini adalah silica alumina. Dari penelitian ini diketahui bahwa dengan temperature pyrolysis 550 oC dan perbandingan katalis:sampah plastik adalah 1:4 dihasilkan minyak dengan jumlah paling banyak.

Borsodi dkk (2011), melakukan penelitian tentang pyrolysis terhadap plastik yang terkontaminasi untuk memperoleh senyawa hidrokarbon. pyrolysis dilakukan di dalam reaktor tabung, dengan memasukkan material plastik secara kontinyu. Plastik yang diproses ada dua macam, yaitu HDPE dalam kondisi bersih dan HDPE yang terkontaminasi minyak pelumas. Dalam penelitian ini temperature pyrolysis 500 oC. Pyrolysis dilakukan dengan katalis (thermos-catalytic pyrolysis) dan tanpa katalis (thermal pyrolysis). Katalis yang digunakan adalah Y-zeolite. Dari penelitian ini diketahui bahwa HDPE yang terkontaminasi produk volatilenya lebih tinggi dan densitasnya juga lebih tinggi. Pemakaian katalis mempengaruhi proses cracking pada HDPE yang tidak terkontaminasi, tetapi pada HDPE yang terkontaminasi pengaruh pemakaian katalis tidak signifikan. Pemakaian katalis menurunkan densitas dari minyak yang dihasilkan dari proses pyrolysis.

Dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan selama ini, ternyata dengan memanfaatkan sampah plastik, cukup berhasil menghasilkan kualitas minyak pelumas dan sangat berguna bagi kelangsungan energi dan bahan bakar dunia di masa yang akan datang (Ermawati, R., 2011).

(13)

2.4 Efisiensi Energi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), energi disinonimkan dengan tenaga dan dijabarkan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja. Pada makhluk hidup, energi diperoleh dari asupan atau makanan dan minuman. Lebih spesifik, pada manusia, energi diperoleh tidak saja dari makanan dan minuman, namun juga dari latihan atau olahraga, atau kebiasaan-kebiasaan olah fisik lainnya. Energi dapat dihitung menggunakan beberapa satuan, diantaranya joule (J), kalori (kal), elektronvolt (eV), kilowatt-jam (kWh), atau British thermal unit (Btu). Diantara satuan tersebut joule merupakan Sistem Satuan International (SI).

Efisiensi merupakan salah satu langkah dalam pelaksanaan konservasi energi. Efisiensi energi adalah istilah umum yang mengacu pada penggunaan energi yang lebih sedikit untuk menghasilkan output berguna yang sama. Dalam pandangan masyarakat umum kadang kala efisiensi energi diartikan juga sebagai penghematan energi. Dalam proses pyrolysis, efisiensi energi dapat dilakukan dengan menghemat penggunaan energi atau bahan bakar pada proses pembakaran atau pemanasan reaktor pyrolysis.

2.4.1 Krisis Energi Tak Terbarukan

Krisis energi adalah masa ketika terjadi kekurangan dalam persediaan sumber daya energi, yaitu ketika kebutuhan akan energi meningkat, namun persediaan tidak mencukupi. Menurut BP Statistical Review of World

(14)

energi di dunia dipenuhi oleh energi yang berasal dari sumber tak terbarukan. Sampai dengan tahun 2004, penduduk bumi telah mengonsumsi 1/15 dari keseluruhan energi yang berasal dari fosil yang berlangsung selama dua abad terakhir (saat revolusi industri) seiring dengan perkembangan dunia industri dan teknologi yang semakin pesat. Artinya, bagian pertama sumber energi telah dikonsumsi hanya dalam 200 tahun dan masih tersisa cadangan energi 14/15 bagian. Namun dengan melihat usia bumi yang dimungkinkan masih lama, maka dengan penggunaan sumber energi tak terbarukan ini yang terus menerus, dapat dikatakan dunia dalam keadaan krisis energi.

Di Indonesia, masalah terbatasnya sumber energi juga menjadi perhatian lebih. Hasil kajian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memaparkan bahwa total konsumsi energi per kapita Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan pertumbuhan rata-rata di atas 5% (Handbook of

Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2009). Dengan

mempertimbangkan terbatasnya persediaan minyak bumi, pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak dengan meluncurkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang “Kebijakan Energi Nasional” untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian serius untuk pengembangan bahan bakar nabati dengan menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar

(15)

alternatif, karena permintaan yang terus meningkat di pasaran dan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis.

Oleh karena hal tersebut, diperlukan upaya penghematan energi tak terbarukan dengan beralih ke energi terbarukan. Misalnya, dapat memanfaatkan sampah plastik yang merupakan ancaman bagi kesehatan lingkungan dan masyarakat sebagai sumber energi alternatif.

2.5 Nilai Kalor Bahan Bakar

Nilai kalor merupakan jumlah energi kalor yang dilepaskan bahan bakar pada waktu terjadinya oksidasi unsur-unsur kimia yang ada pada bahan bakar tersebut (Napitupulu, F.H., 2006). Nilai kalor merupakan salah satu parameter penting yang digunakan untuk menentukan mutu bahan bakar alternatif. Selain itu nilai kalor juga merupakan dasar dalam menentukan efisiensi bahan bakar.

Diketahui dari rumus efisiensi Carnot bahwa nilai kalor berbanding lurus dengan efisiensi atau semakin besar kalor yang masuk akan semakin besar efisiensinya, begitu pula sebaliknya. Artinya, semakin tinggi nilai kalor yang dimiliki oleh suatu bahan bakar, maka energi/ panas yang dihasilkan bahan bakar tersebut semakin tinggi pula sehingga jumlah bahan bakar yang diperlukan agar dapat menghasilkan panas dalam proses pembakaran akan semakin sedikit/ efisien (Hartanto, F.P. & Alim, F., 2011). Oleh karena itu, Sesuai yang dimaksud dengan bahan bakar yaitu suatu materi apapun yang dapat diubah menjadi energi maka parameter penting dalam penggunaan bahan bakar secara konvensional adalah nilai kalor bahan bakar.

(16)

Nilai kalor dapat diketahui melalui metode kalorimetri pembakaran dengan menggunakan alat bernama Bom Kalorimeter. Metode kalorimetri pembakaran dilakukan dengan cara membakar suatu unsur atau senyawa (umumnya dengan oksigen) dalam kalorimeter, kemudian kalor yang dilepaskan dalam reaksi tersebut diukur menggunakan termometer. Kalorimeter terdiri atas penampung air dengan dinding isolasi dan bejana reaksi yang terendam air yang disebut bom. Kalor yang dilepas oleh sampel sama dengan kalor yang diserap oleh kalorimeter, yaitu sebesar kapasitas kalor dari kalorimeter dikalikan dengan temperatur.

Nilai kalor dipengaruhi oleh kandungan karbon terikat, semakin tinggi kandungan karbon terikat maka akan semakin tinggi pula nilai kalornya (Satmoko, M.E.A, et al, 2013). Pada dasarnya sampah plastik adalah bahan bakar berbentuk padat karena plastik memiliki nilai kalor berbeda-beda pada tiap jenisnya seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 2.3 Jenis Plastik dan Nilai Kalornya

Jenis Plastik Nilai Kalor (Btu/ton)

PET* 20.5 HDPE** 19.0 PVC* 16.5 LDPE/ LLDPE** 24.1 PP* 38.0 PS* 35.6 Other** 20.5

Sumber: *Garth, J. and Kowal, P., 1993, **Utah State, 2006, dalam Bimantara C. A., 2012

Gambar

Tabel 2.1 Waktu Penguraian Setiap Jenis Sampah
Tabel 2.2 Struktur  Atom, Densitas, dan Titik Lebur Berbagai Jenis Plastik  No  Jenis

Referensi

Dokumen terkait

Nilai kalor pembakaran merupakan angka yang menyatakan jumlah panas/kalor yang dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar dengan udara/oksigen. Hasil uji yang

Furnace berfungsi untuk memindahkan panas (kalor) yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar yang berlangsung dalam suatu ruang pembakaran (combustion chamber) ke

Sel bahan bakar ini menghasilkan listrik dari elektron hasil hidrolisis air, membangkitkan panas untuk proses hidrolisis air. Sel bahan bakar jenis ini sedang dikembangkan oleh

Dalam kimia kayu, berat jenis menunjukkan jumlah lignoselulosa pada volume kayu tertentu (Prayitno, 2007). Berat jenis berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan oleh

Pembangkit listrik tenaga biogas (PLTBG) merupakan suatu pembangkit energi listrik menggunakan biogas sebagai bahan bakar utama yang dihasilkan dari proses fermentasi

Air di dalam boiler dipanaskan oleh panas dari hasil pembakaran bahan bakar (sumber panas lainnya) sehingga terjadi perpindahan panas dari sumber panas tersebut ke air

Prinsip kerja boiler yaitu mengonversikan energi panas yang dihasilkan dari proses pembakaran antara bahan bakar dengan udara, dari air menjadi uap dengan temperatur dan

Proses yang terjadi adalah merubah energi kimia bahan bakar menjadi energi panas untuk memanaskan (diberikan) pada air hingga mendidih.. Apabila kemudian air panas