• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Tuhan.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejarah Tuhan.pdf"

Copied!
560
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

"Sangat enak dibaca dan harus dibaca ... Karen Armstrong telah banyak membaca dan tidak melewatkan satu pun. Dia menyajikan pandangan paling solid tentang Tuhan yang dapat diuraikan dalam sebuah buku."

—Anthony Burgess, The Observer

"Dia menyegarkan pemahaman tentang apa yang sudah kita ketahui dan memberikan pengenalan yang jelas tentang yang tak kita ketahui ... 'Kerinduan,' kata Agustinus, 'membuat hati menjadi dalam.' Itulah tema yang mengalir di sepanjang buku yang lugas ini, beserta sebersit harapan yang mengakhirinya."

—Robert Runcie, Mantan Uskup Agung Canterbury

"Buku yang sangat menantang secara intelektual. Cara yang meme-sona dalam mendekati subjeknya."

—Rabi Julia Neuberger

"Brilian dan autoritatif ... Survei yang luar biasa, sejarah agama yang [sangat] kaleid oskopis ... men yeluruh, cerdas, da n sangat enak dibaca."

—Kirkus Reviews

"Selain banyak menyajikan sejarah agama, [Armstrong] juga mendiskusikan berbagai filosof, mistikus, dan pembaru yang terkait dengan agama-agama itu ... Buku yang sangat bagus dan informatif."

— Library Journal

"Sejarah komparatif yang hebat dan menyeluruh ... tanpa takut-takut menyoroti landasan sosiopolitik bagi mengakar, berkembang, dan berubahnya agama-agama."

(8)
(9)

PENERBIT MIZAN: KHAZANAH ILMU-ILMU ISLAM adalah salah satu lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan informasi

(10)
(11)

S E J A R A H

S E J A R A H

TUHAN

TUHAN

KISAH PENCARIAN TUHAN YANG DILAKUKAN

OLEH ORANG-ORANG YAHUDI, KRISTEN, DAN ISLAM

SELAMA 4.000 TAHUN

K

K are

are n A

n A rmstro

rmstro ng

ng

(12)
(13)

SEJARAH TUHAN: KISAH PENCARIAN TUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG-ORANG YAHUDI, KRISTEN, DAN ISLAM

SELAMA 4.000 TAHUN Diterjemahkan dari

A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam Karya Karen Armstrong

Copyright © 1993 oleh Karen Armstrong All rights reserved under International and Pan-American

Copyright Conventions.

Terbitan Ballantine Books, New York. Hak terjemahan bahasa Indonesia pada Penerbit Mizan

Penerjemah: Zaimul Am Penyunting: Yuliani Liputo Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved

Cetakan I, Muharram 1422 H/Apnl 2001 Cetakan VI, Rajab 1423 H/Oktober 2002

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Anggota IKAPI

Jin. Yodkali No. 16, Bandung 40124 Telp. (022) 7200931—Faks. (022) 7207038

e-mail: info@mizan.com http://ww w.mizan.com Desain sampul: G. Ballon ISBN 979-433-270-4 (HC)

Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jln. Batik Kumeli No. 12, Band ung 40123 Velp. (022) 2517755 (hunting) — Faks. (022) 2500773

(14)
(15)

Isi Buku

Peta-Peta — 7 Pendahuluan — 17

1. Pada Mulanya ... — 27 2. Tuhan Yang Satu — 72

3. Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi — 120 4. Trinitas: Tuhan Kristen — 155

5. Keesaan: Tuhan Islam •—• 186 6. Tuhan Para Filosof — 233 7. Tuhan Kaum Mistik — 281

8. Tuhan bagi Para Reformis — 339 9. Pencerahan — 382

10. Kematian Tuhan? — 446

11. Adakah Masa Depan bagi Tuhan? — 483

Glosarium — 511 Catatan-Catatan — 521 Lampiran — 537

Bacaan Lebih Lanjut — 543 Indeks — 557

(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)

Pendahuluan

Sejak kecil saya telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat, tetapi dengan sedikit keimanan kepada Tuhan. Ada perbedaan antara kepercayaan kepada seperangkat proposisi dengan keimanan yang mema mpuk an kit a men aruh ke-yakinan akan kebenaran proposisi-proposisi itu. Secara implisit, saya percaya Tuhan itu ada; saya juga beriman kepada kehadiran sejati Kristus dalam Ekaristi, kepada kebenaran sakramen, kepada kemung-kinan keabadian neraka, dan kepada realitas objektif peleburan dosa. Akan tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa kepercayaan saya terhadap semua ajaran agama tentang realitas sejati ini memberi bukti kepada saya bahwa kehidupan di dunia ini sungguh-sungguh baik atau bermanfaat. Keyakinan masa kecil saya tentang ajaran Katolik Roma lebih merupakan sebuah kredo yang menakutkan. James Joyce menyuarakan hal ini dengan tepat dalam bukunya Portrait

of the Artist as a Young Man; saya mendengarkan khotbah tentang api neraka. Kenyataannya, neraka merupakan realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan karena neraka adalah sesuatu yang secara imajinatif bisa betul-betul saya pahami. Di pihak lain, Tuhan merupa kan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual daripada imajinasi. Ketika berumur delapan tahun, saya pernah diharuskan menghafal jawaban katekismus terhadap pertanyaan "Apakah Tuhan itu?": "Tuhan adalah Ruh Mahatinggi, Dia ada dengan

(36)
(37)

Sejarah Tuhan

sendirinya dan Dia sempuma tanpa batas." Tidak mengherankan

jika konsep itu kura ng ber ma kna bu at saya. Ba hk an , mesti saya akui, hingga saat ini konsep itu masih membuat saya bergidik. Konsep itu juga merupakan sebuah definisi yang amat kering, angkuh, dan arogan. Sejak menulis buku ini, saya pun menjadi yakin bahwa konsep semacam itu juga tidak benar.

Ketika remaja, saya mulai menyadari bahwa ternyata ada sesuatu pada agama yang lebih daripada sekadar rasa takut. Saya telah membaca tentang kisah kehidupan para rahib, puisi-puisi metafisik, T. S. Eliot, dan beberapa tulisan mistik yang lebih sederhana. Saya mulai tergugah oleh keindahan liturgi dan, meskipun Tuhan masih tetap terasa jauh, saya dapat merasakan kemungkinan untuk men-dekatkan jarak kepadanya dan bahwa penampakannya akan meng-ubah seluruh realitas ciptaan. Untuk mencapai ini, saya pun memasuki sebuah ordo keagamaan. Sebagai seorang rahib wanita yang masih baru lagi belia, saya belajar lebih banyak tentang iman. Saya mengkaji apologetika, kitab suci, teologi, dan sejarah gereja. Saya mempelajari sejarah kehidupan biara dan terlibat dalam pembicaraan panjang lebar tentang peraturan ordo saya yang konon mesti dipelajari melalui hati. Anehnya, Tuhan terasa tidak hadir di dalam semua ini. Perhatian justru dipusatkan kep ad a perincian sekund er dan aspek-aspek

pinggir-an dari agama. Saya bergulat dengpinggir-an diri saya sendiri dalam doa, men-coba mendorong pikiran saya untuk menjumpai Tuhan. Namun, dia tetap terasa sebagai pengawas yang dengan ketat mencermati semua pelanggaran aturan yang saya lakukan atau benar-benar tidak hadir. Semakin banyak saya membaca tentang kekhusyukan para rahib dalam berdoa, semakin saya merasa gagal. Saya menjadi sadar betapa miskinnya pengalaman keagamaan saya, itu pun telah direkayasa oleh perasaan dan imajinasi saya sendiri. Terkadang, rasa pengabdian muncul sebagai respons estetik terhadap keindahan senandung Grego rian dan liturgi. Akan tetapi, tak satu pun yang sungguh-sungguh terjadi pada diri saya yang berasal dari kekuatan di luar diri saya. Saya tidak pernah membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi dan kaum mistik. Yesus Kristus, yang lebih sering dibicarakan orang Kristen ketimbang "Tuhan" itu sendiri, tampaknya cuma merupakan figur historis murni yang terjalin erat dengan masa lalu. Saya juga mulai punya keraguan besar terhadap doktrin gereja. Bagaimana mungkin mengetahui dengan pasti bahwa manusia Yesus merupakan inkarnasi Tuhan dan apa arti kepercayaan itu? Apakah

(38)
(39)

Pendahuluan

Perjanjian Baru benar-benar mengajarkan doktrin Trinitas yang rumit— dan sangat kontradiktif—itu atau, sebagaimana banyak aspek ke-imanan lainnya, merupakan hasil buatan para teolog berabad-abad setelah wafatnya Yesus di Yerusalem?

Akhirnya, dengan penuh penyesalan, saya meninggalkan kehi-dupan di biara, dan, segera setelah terbebaskan dari beban kegagalan dan ketakmampuan yang mengendap dalam diri saya, saya pun me-rasakan betapa keimanan saya kepada Tuhan diam-diam menyurut. Dia tidak pernah mengunjungi hidup saya walaupun saya telah mengerahkan segenap usaha terbaik untuk memungkinkan hal itu dilakukannya. Kini, saya tidak lagi merasa berdosa dan mencemas-kannya. Dia terlalu jauh dari kemungkinan untuk menjadi suatu realitas. Akan tetapi, perhatian saya kepada agama terus berlanjut. Saya merancang sejumlah acara televisi mengenai sejarah awal Kristen dan hakikat pengalaman keagamaan. Semakin saya mempelajari sejarah agama, semakin saya mendapat pembenaran akan keraguan yang telah ada dalam diri saya sebelumnya. Doktrin-doktrin Kristen yang pernah saya terima dengan tidak kritis ketika kecil ternyata memang buatan manusia, yang telah dikonstruksikan selama berabad-abad silam. Sains tampaknya telah mengesampingkan Tuhan Pencipta dan para sarjana biblikal telah membuktikan bahwa Yesus tidak pernah mengklaim dirinya suci. Sebagai pengidap epilepsi, saya kadang melihat kilasan yang saya ketahui sebagai sekadar gangguan neurologis semata: apakah penampakan dan kekhusyukan yang dialami orang-orang suci itu juga sekadar gangguan mental? Tuhan semakin tampak sebagai sesuatu yang sudah diterima begitu saja oleh manusia.

Selama menjadi biarawati, saya tidak percaya bahwa pengalaman saya tentang Tuhan adalah pengalaman yang istimewa. Gagasan saya tentang Tuhan telah terbentuk di masa kecil dan tidak ber-kembang lagi seperti pengetahuan saya dalam disiplin ilmu yang lain. Saya telah memperbaiki pandangan kekanak-kanakan saya yang simplistik tentang Tuhan Bapa; saya telah mendapatkan pemahaman yang lebih matang tentang kompleksitas keadaan manusia daripada yang mungkin saya miliki di masa kanak-kanak. Namun, ide-ide masa kecil saya yang membingungkan tentang Tuhan belum berubah atau berkembang. Banyak orang yang tidak memiliki latar belakang ke agamaan seperti saya mungkin juga mendapatkan bahwa pandangan mereka tentang Tuhan pun telah terbentuk di masa kecil. Sejak saat

(40)
(41)

Sejarah Tuhan

itu pula kita telah meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan dan mem-buang gagasan tentang Tuhan masa kecil kita.

Namun, kajian saya tentang sejarah agama telah mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Ada alasan kuat untuk berpendapat bahwa Homo sapiens juga merupakan Homo religius. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka

menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni. Ini bukan hanya karena mereka ingin menaklukkan kekuatan alam; keimanan awal ini mengekspresikan ketakjuban dan misteri yang senantiasa merupakan unsur penting pengalaman manusia tentang dunia yang menggentarkan, namun indah ini. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya. Seperti aktivitas manusia lainnya, agama dapat disalahgunakan, bahkan tampaknya justru itulah yang selalu kita lakukan. Ini bukanlah hal yang secara khusus melekat pada para penguasa atau pendeta sekular yang manipulatif, tetapi adalah sesuatu yang sangat alamiah bagi manusia. Sekularisme kita sekarang ini merupakan eksperimen yang sepenuhnya baru, yang belum pernah ada presedennya di dalam sejarah manusia. Kita masih perlu menyaksikan keberhasilannya. Namun, tak kalah benarnya jika dinyatakan bahwa humanisme liberal Barat bukanlah sesuatu yang secara alamiah datang kepada kita; sebagaimana apresiasi atas seni atau puisi, ia harus ditumbuhkan. Humanisme itu sendiri merupakan sebuah agama tanpa Tuhan— tidak semua agama, tentunya, bersifat teistik. Cita-cita etika sekular kita mempunyai disiplin pikiran dan hatinya sendiri dan menyediakan bagi manusia sarana untuk menemukan keyakinan pada makna tertinggi kehidupan manusia seperti yang pernah disediakan oleh agama-agama konvensional.

Ketika saya mulai meneliti sejarah ide dan pengalaman tentang Tuhan dalam tiga kepercayaan monoteistik yang saling berkaitan— Yahudi, Kristen, dan Islam—saya berharap menemukan bahwa Tuhan hanya merupakan proyeksi kebutuhan dan hasrat manusia. Saya kira "dia" akan mencerminkan rasa takut dan kerinduan masyarakat pada setiap tahapan perkembangannya. Prediksi-prediksi saya tidak seluruhnya tidak terbukti, tetapi saya benar-benar dikejutkan oleh beberapa penemuan saya. Seandainya saya telah mengetahui semua itu tiga puluh tahun lalu, ketika saya mulai menjalani kehidupan di

(42)
(43)

Pendahuluan

biara, pengetahuan itu tentu akan menyelamatkan saya dari ke-tegangan ketika mendengar—dari para monoteis terkemuka ketiga agama itu—bahwa ketimbang menanti Tuhan untuk turun dari ke-tinggian, saya mesti secara sengaja menciptakan rasa tentang dia di dalam diri saya. Para rahib, pendeta, dan sufi yang lain menyalahkan saya karena mengasumsikan bahwa Tuhan—dalam pengertian apa pun—adalah realitas yang "ada di luar sana". Mereka dengan tegas memperingatkan saya untuk tidak berharap mengalami Tuhan sebagai fakta objektif yang bisa ditemukan melalui proses pemikiran rasional biasa. Mereka tentu akan mengatakan kepada saya bahwa dalam pengertian tertentu Tuhan merupakan produk imajinasi kreatif, seperti halnya seni dan musik yang bagi saya sangat inspiratif. Beberapa monoteis terkemuka bahkan dengan tenang dan tegas mengatakan kepada saya bahwa Tuhan tidak ada dengan sebenarnya—namun demikian "dia" adalah realitas terpenting di dunia.

Buku ini bukanlah tentang sejarah realitas Tuhan yang tak terucapkan itu, yang berada di luar waktu dan perubahan, tetapi merupakan sejarah persepsi umat manusia tentang Tuhan sejak era Ibrahim hingga hari ini. Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh se-kelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak ber-makna bagi generasi lain. Bahkan, pernyataan "saya beriman kepada Tuhan" tidak mempunyai makna objektif, tetapi seperti pernyataan lain umumnya, baru akan bermakna jika berada dalam suatu konteks, misalnya, ketika dicetuskan oleh komunitas tertentu. Akibatnya, tidak ada satu gagasan pun yang tidak berubah dalam kandungan kata "Tuhan". Kata ini justru mencakup keseluruhan spektrum makna, sebagian di antaranya ada yang bertentangan atau bahkan saling meniadakan. Jika gagasan tentang Tuhan tidak memiliki keluwesan semacam ini, niscaya ia tidak akan mampu bertahan untuk menjadi salah satu gagasa n besar umat. manusia. Ketika se buah konsep si tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Seorang fundamentalis akan membantah ini, karena fundamentalisme antihistoris; mereka meyakini bahwa Ibrahim, Musa, dan nabi-nabi sesudahnya semua mengalami Tuhan dengan cara yang persis sama seperti pengalaman orang-orang pada masa sekarang. Namun, jika

(44)
(45)

kita memperhatikan ketiga agama besar kita, menjadi jelaslah bahwa tidak ada pandangan yang objektif tentang "Tuhan": setiap generasi harus menciptakan citra Tuhan yang sesuai baginya. Hal yang sama juga terjadi pada ateisme. Pernyataan "saya tidak percaya ke pa da

Tuhan" mengandung arti yang secara sepintas berbeda pada setiap periode sejarah. Orang-orang yang diberi julukan "ateis" selalu me-nolak konsepsi tertentu tentang ilah. Apakah "Tuhan" yang ditolak oleh ateis masa sekarang adalah Tuhannya para patriark, Tuhan para nabi, Tuhan para filosof, Tuhan kaum sufi, atau Tuhan kaum deis abad ke-18? Semua ketuhanan ini telah dimuliakan sebagai Tuhan Alkitab dan Al-Quran oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam

pada berbagai periode perjalanan sejarah mereka. Kita akan me-nyaksikan bahwa mereka sangat berbeda satu sama lain. Ateisme sering merupakan keadaan transisi, makanya orang Yahudi, Kristen, dan Muslim disebut "ateis" oleh kaum pagan semasa mereka karena telah mengadopsi gagasan revolusioner tentang keilahian dan tran-sendensi. Apakah ateisme modern merupakan penolakan serupa terhadap "Tuhan" yang tidak lagi memadai bagi persoalan di zaman

kita?

Terlepas dari sifat nonduniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik. Kita akan menyaksikan bahwa sebuah ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah, yang penting bisa diterima. Ketika ide itu sudah tidak efektif lagi, ia akan diganti—terkadang den gan ide lain yang ber beda secara rad ikal. Hal in i tidak dipusingkan oleh kebanyakan kaum monoteis sebelum era kita sekarang karena mereka tahu bahwa gagasan mereka tentang Tuhan tidaklah sakral, melainkan pasti akan mengalami perubahan. Gagasan-gagasan itu sepenuhnya buatan manusia—tak bisa tidak—dan jauh berbeda dari Realitas tak tergambarkan yang disimbolkannya. Ada pula yang me-ngembangkan cara-cara yang sangat berani untuk menekankan perbedaan esensial ini. Salah seorang mistikus abad pertengahan melangkah lebih jauh hingga mengatakan bahwa Realitas tertinggi itu—yang secara keliru dinamai "Tuhan"—bahkan tidak pernah disebutkan di dalam Alkitab. Sepanjang sejarah, manusia telah meng alami dimensi ruhaniah yang tampaknya melampaui dunia material. Adalah salah satu karakteristik pikiran manusia yang mengagumkan untuk mampu menciptakan konsep-konsep yang menjangkau jauh seperti itu. Apa pun tafsiran kita atas hal itu, pengalaman manusia tentang yang transenden ini telah menjadi sebuah fakta kehidupan.

(46)
(47)

Pendahuluan

Tidak semua orang memandangnya ilahiah; orang Buddha, sebagai-mana nanti akan kita lihat, akan menolak bahwa visi dan wawasan yang diperoleh lewat pengalaman itu berasal dari suatu sumber supranatural. Mereka menganggapnya sebagai hal yang alamiah bagi kemanusiaan. Akan tetapi, semua agama besar akan sepakat bahwa adalah mustahil untuk menggambarkan transendensi ini dalam bahasa konseptual biasa. Kaum monoteis menyebut transendensi ini "Tuhan", namun mereka membatasinya dengan syarat-syarat penting. Yahudi, misalnya, dilarang mengucapkan nama Tuhan yang sakral sedangkan umat Islam tidak diperkenankan melukiskan Tuhan secara visual. Disiplin semacam merupakan pengingat bahwa apa yang kita sebut "Tuhan" berada di luar ekspresi manusia.

Ini bukan sejarah dalam pengertian biasa, sebab gagasan tentang Tuhan tidak tumbuh dari satu titik kemudian berkembang secara linear menuju suatu konsepsi final. Teori-teori ilmiah mempunyai sistem kerja seperti itu, tetapi ide-ide dalam seni dan agama tidak. Sebagaimana dalam puisi cinta, orang berulang-ulang menggunakan ungkapan yang sama tentang Tuhan. Bahkan kita dapat menemukan kemiripan telak dalam gagasan tentang Tuhan di kalangan orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Meskipun orang Yahudi maupun Islam memandang doktrin Trinitas dan Inkarnasi sebagai suatu kekeliruan, mereka juga mempunyai teologi-teologi kontroversial versi mereka sendiri. Setiap ekspresi yang amat bervariasi tentang tema-tema uni versal ini memperlihatkan kecerdasan dan kreativitas imajinasi manusia ketika mencoba mengekspresikan pemahamannya tentang "Tuhan".

Karena ini merupakan sebuah subjek yang luas, saya sengaja membatasi diri hanya mengkaji tentang Tuhan Yang Esa yang di-sembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam meski terkadang saya juga menyinggung konsepsi kaum pagan, Hindu, dan Buddha tentang

realitas tertinggi untuk memperjelas suatu pandangan monoteistik. Tampaknya, ide tentang Tuhan dalam ajaran agama-agama yang berkembang secara sendiri-sendiri tetap memiliki banyak keserupaan. Apa pun kesimpulan yang kita capai tentang realitas Tuhan, sejarah gagasan ini dapat mengatakan kepada kita sesuatu yang penting mengenai pikiran manusia dan inti aspirasi kita. Di tengah kecen-derungan sekular di kalangan masyarakat Barat, ide tentang Tuhan masih mempengaruhi kehidupan jutaan orang; tetapi pertanyaannya adalah, "Tuhan" menurut konsep mana yang mereka anut?

(48)
(49)

Sejarah Tuhan

abstrak. Akan tetapi, sejarah Tuhan penuh gairah dan ketegangan. Tidak seperti beberapa konsep lain tentang realitas tertinggi, sejarah ini pada awalnya dipenuhi pertarungan dan tekanan yang meng-akibatkan penderitaan. Nabi-nabi Israel mengalami Tuhan mereka sebagai penderitaan fisik yang menimpa segenap anggota tubuh mereka dan memenuhinya dengan suka maupun duka. Realitas yang disebut Tuhan acap dialami para monoteis dalam keadaan ekstrem: kita akan membaca tentang punca k gunung, kegelapan, keterasingan, penyaliban, dan teror. Pengalaman Barat tentang Tuhan tampak agak traumatik. Apa alasan bagi ketegangan inheren ini? Kaum monoteis lainnya berbicara tentang cahaya dan transfigurasi. Mereka mengguna-kan gambaran yang amat berani untuk mengungkapmengguna-kan kerumitan realitas yang mereka alami, yang jauh melampaui teologi ortodoks.

Belakangan ini perhatian terhadap mitologi bangkit kembali, yang mungkin menunjukkan luasnya hasrat akan ekspresi yang lebih

imajinatif tentang kebenaran agama. Karya mendiang sarjana Amerika Joseph Campbell telah menjadi begitu populer; dia melakukan

peng-kajian mendalam tentang mitologi perenial manusia, menghubungkan mitos-mitos kuno dengan mitos-mitos yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat tradisional. Sering diasumsikan bahwa Tuhan ketiga agama besar itu sama sekali tidak memiliki simbolisme mitologi dan syair. Namun demikian, sekalipun kaum monoteis pada dasarnya menolak mitos-mitos tetangga pagan mereka, mitos-mitos itu ternyata sering kembali masuk ke dalam keimanan pada masa berikutnya. Kaum mistik melihat bahwa Tuhan berinkarnasi ke dalam tubuh seorang wanita, misalnya. Sementara yang lain secara khidmat mem-perbincangkan seksualitas Tuhan dan memasukkan unsur feminin kepada Tuhan.

Ini membawa saya ke titik yang sulit. Karena Tuhan ini telah terlanjur secara khusus dikenal sebagai berjenis "laki-laki", dan dalam bahasa Inggris kaum monoteis lazim merujuk kepada-Nya dengan kata ganti "he". Pada masa sekarang, kaum feminis dengan sangat sadar menaruh keberatan terhadap hal ini. Penggunaan kata ganti maskulin untuk Tuhan ini menimbulkan persoalan dalam sebagian bahasa bergender. Akan tetapi, dalam bahasa Yahudi, Arab, dan Prancis, gender gramatikal memberikan nada dan dialektika seksual terhadap diskursus teologis, yang justru dapat memberikan kese-imbang an yang sering tidak terda pat di dalam ba hasa Inggris. Misalnya, kata Arab Allah (nama tertinggi bagi Tuhan) adalah maskulin secara

(50)
(51)

Pendahuluan

gramatikal, tetapi kata untuk esensi Tuhan yang ilahiah dan tak jangkau— Al-Dzat —adalah feminin.

Semua perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang sulit. Namun, kaum monoteis bersikap amat positif tentang bahasa sembari tetap menyangkal kapasitasnya untuk mengekspresikan realitas transenden. Tuhan orang Yahudi, Kristen, dan Islam adalah Tuhan yang—dalam beberapa pengertian—berkata-kata (berfirman). Firmannya sangat krusial di dalam ketiga agama besar itu. Firman Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita. Kita harus me-mutuskan apakah kata "Tuhan" masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang.[]

(52)
(53)

1

Pada Mulanya ...

Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang me-rupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakili oleh gambaran apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Dia terlalu luhur untuk ibadah manusia yang tak memadai. Perlahan-lahan dia memudar dari kesadaran umatnya. Dia telah menjadi begitu jauh sehingga mereka memutuskan bahwa mereka ti da k lagi

menginginkannya. Pada akhirnya dia dikatakan telah menghilang. Begitulah, setidaknya, menurut satu teori, yang dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, yang pertama kali terbit pada 1912. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi (kadang-kadang disebut Tuhan Langit, karena dia diasosiasikan dengan ketinggian) masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi Afrika. Mereka mengungkapkan kerinduan kepada Tuhan melalui doa; percaya bahwa dia mengawasi mereka dan akan menghukum setiap dosa. Namun demikian, dia anehnya tidak hadir dalam kehidupan keseharian mereka; tidak ada kultus khusus untuknya dan dia tidak pernah tampil dalam penggambaran. Warga suku itu mengatakan

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com

(54)
(55)

Sejarah Tuhan

bahwa dia tidak bisa diekspresikan dan tidak dapat dicemari oleh dunia manusia. Sebagian orang bahkan mengatakan dia telah "pergi". Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan ini telah menjadi begitu jauh da n mulia sehingga dia sebenarnya telah digantikan oleh ruh

yang lebih rendah dan tuhan-tuhan yang lebih mudah dijangkau. Begitu pula, menurut teori Schmidt selanjutnya, di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan oleh tuhan-tuhan kuil pagan yang lebih menarik. Pada mulanya, dengan demikian, hanya ada satu Tuhan. Jika demi-kian, monoteisme merupakan salah satu ide tertua yang dikembang-kan manusia untuk menjelasdikembang-kan misteri dan tragedi kehidupan. Ini juga menunjukkan bebe ra pa masalah yang mungkin akan dihadapi

oleh ketuhanan semacam itu.

Adalah mustahil untuk membuktikan hal ini dengan cara apa pun. Telah banyak teori tentang asal usul agama. Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti. Ide-ide ini diam-diam sirna, seperti ide tentang Tuhan Langit, tanpa menimbulkan banyak kegaduhan. Dalam era kita sekarang ini, banyak orang akan mengatakan bahwa Tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah menjadi sejauh Tuhan Langit. Sebagian lainnya bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa Tuhan telah mati. Yang jelas dia tampak telah sirna dari kehidupan semakin banyak orang, terutama di Eropa Barat. Mereka berbicara tentang suatu "lubang yang pernah diisi oleh Tuhan" dalam kesadaran mereka karena, meski tampak tak relevan bagi sekelompok orang, dia telah memainkan peran krusial dalam sejarah kita dan merupakan salah satu gagasan terbesar umat manusia sepanjang masa. Untuk memahami apa yang telah hilang dari kita itu—jika memang dia telah hilang—kita perlu melihat apa yang dilakukan manusia ketika mereka mulai menyembah Tuhan ini, apa maknanya, dan bagaimana dia dipahami. Untuk melakukan itu, kita perlu menelusuri kembali dunia kuno Timur Tengah, tempat gagasan tentang Tuhan kita secara perlahan tumbuh sekitar 14.000 tahun silam.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki

(56)
(57)

Pada Mulanya ...

dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang "spiritual" atau "suci" seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial pengalaman manusia tentang dunia. Di Kepulauan Laut Selatan, mereka menyebut kekuatan misterius ini sebagai mana; yang lain mengalaminya sebagai sebuah kehadiran atau ruh; kadang-kadang ia dirasakan sebagai sebuah kekuatan impersonal, seperti layaknya sebentuk radioaktivitas atau tenaga listrik. Kekuatan ini diyakini bersemayam dalam diri kepala suku, pepohonan, bebatuan, atau hewan-hewan. Orang Latin mengalami numina (ruh-ruh) dalam semak yang dianggap suci; orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekadar me-ngaguminya. Ketika orang mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan bintang-bintang tetapi memiliki karakteristik manusia, mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.

Rudolf Otto, ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of the Holy pada 1917, percaya bahwa rasa tentang gaib ini ( numinous) adalah dasar dari agama. Perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika. Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dalam cara yang berbeda-beda—terkadang ia mengins-pirasikan kegirangan liar dan memabukkan; terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum, dan hina di hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan menyembah dewa-dewa, mereka tidak sedang mencari penafsiran harfiah atas fenomena alam. Kisaji-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas ini dengan kehidupan mereka sendiri; bahkan sebenarnya para sastrawan, seniman, dan pemusik pada masa sekarang juga sering dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Paleolitik, misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus Dewi Ibu mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya

(58)
(59)

adalah sakral. Para seniman memahat patung-patung yang melukis-kannya sebagai seorang perempuan hamil telanjang yang banyak ditemukan oleh para arkeolog tersebar di seluruh Eropa, Timur Tengah, dan India. Dewi Ibu itu tetap penting secara imajinatif selama berabad-abad. Seperti Tuhan Langit yang lama, dia kemudian masuk ke dalam kuil-kuil yang lama dan menempati posisi sejajar dengan dewa-dewa lain yang lebih tua. Dia dahulunya merupakan salah satu dewa terkuat, jelas lebih kuat daripada Dewa Langit, yang terus menjadi sosok yang remang-remang. Dia disebut Inana di Sumeria kuno, Isytar di Babilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani. Kisah yang benar-benar mirip terdapat di semua kebudaya-an ini untuk mengekspresikkebudaya-an perkebudaya-ankebudaya-annya di dalam kehidupkebudaya-an spiritual manusia. Mitos-mitos ini tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk meng-gambarkan sebuah realitas yang terlalu rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis dan mem-bangkitkan emosi tentang dewa-dewi ini membantu manusia untuk menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, namun tak terlihat yang mengelilingi mereka.

Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang sesungguhnya. Kehidupan duniawi amat rentan dan dihantui bayang-bayang kematian, tetapi jika manusia meneladani tindakan dewa-dewa maka mereka akan memiliki dalam kadar tertentu kekuatan dan keefektifan dewa-dewa itu. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dewa-dewa itu telah memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara membangun kota-kota dan kuil-kuil mereka, yang merupakan salinan dari tempat mereka bersemayam di langit. Dunia suci para dewa—seperti yang sering diceritakan di dalam mitos—bukanlah sekadar sebuah ideal yang ke arah itu manusia harus menuju, tetapi merupakan prototipe eksistensi manusia; itulah pola atau arketipe orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual dan sosial kebanyakan kebudayan antik dan terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era kita sekarang ini. 1 Di Iran kuno, misalnya, setiap orang atau objek di dunia jasadi (getik) diyakini mempunyai padanan-nya di dunia arketipal realitas suci (menok). Ini adalah perspektif

(60)
(61)

Pada Mulanya ...

yang sulit untuk kita apresiasi di dunia modern, karena kita memandang autonomi dan kebebasan sebagai nilai kemanusiaan yang tinggi. Namun demikian, ungkapan terkenal post coitum omne animal

tristist est tetap mengungkapkan pengalaman yang sama: setelah suatu momen yang menegangkan dan dinanti-nanti dengan penuh harap, kita sering merasa kehilangan sesuatu yang lebih besar, namun sena ntia sa lu put dari jangkauan- kita. Menir u tu han masih menjadi ajaran agama yang penting: beristirahat pada hari Sabbath atau me ncuci kaki pada hari Kamis Maundy—perbuatan-perbuatan yang tidak bermakna dalam dirinya sendiri—kini menjadi signifikan dan sakral karena orang-orang percaya bahwa perbuatan semacam itu pernah dikerjakan oleh Tuhan.

Spiritualitas yang serupa telah menjadi ciri dunia Mesopotamia kuno. Lembah Tigris-Eufrat, yang berada di wilayah pemerintahan Irak kini, telah dihuni sejak 4000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai orang Sumeria. Mereka telah membangun salah satu kebudayaan oikumene (dunia berperadaban) terbesar pertama. Di kota-kota Ur, Erech, dan Kish, orang Sumeria mencipta aksara cunei form mereka, membangun menara-kuil hebat yang disebut ziggurat, dan mengembangkan hukum, sastra, dan mitologi yang mengesan-kan. Tak lama berselang, kawasan itu diinvasi oleh orang Akkadian Semitik, yang kemudian mengadopsi bahasa dan peradaban Sumeria. Lalu, masih sekitar 2000 SM, orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibu kota mereka. Akhirnya, sekitar 500 tahun kemudian, orang Asyur bermukim di Asyur yang tak jauh dari situ lalu menguasai Babilonia pada abad kedelapan SM. Tradisi Babilonia ini juga mempengaruhi mitologi dan agama Kanaan, yang akan menjadi Tanah yang Dijanjikan bagi orang Israel kuno. Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan gaya hidup mereka sendiri kepada nenek moyang mitikal masyarakat Babilonia. Dengan demikian, Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candi-nya adalah replika kerajaan langit. Keterkaitan dengan alam suci ini dirayakan setiap tahun dalam Festival Tahun Baru yang meriah, yang telah secara kukuh dikembangkan pada abad ketujuh SM. Dirayakan di kota suci Babilonia selama bulan Nisan—atau April— Festival itu secara khidmat memahkotai raja dan menahbiskan kekuasaannya untuk tahun berikutnya. Namun, stabilitas politik ini

(62)
(63)

Sejarah Tuhan

hanya bisa bertahan selama ia berpartisipasi di dalam pemerintahan dewa-dewa yang lebih abadi dan efektif, yang telah mengenyahkan kekacauan primordial ketika dunia pertama kali diciptakan. Dengan demikian, Festival sebelas hari suci itu mengantarkan para partisipan dari zaman yang profan ke alam para dewa yang sakral dan abadi melalui tindakan ritual. Seekor domba disembelih untuk meninggalkan tahun yang lama; penghinaan publik terhadap raja dan pemahkotaan raja yang zalim sebagai pengganti membangkitkan kembali kekacauan asal; pemberontakan menghidupkan kembali pertarungan dewa-dewa melawan kekuatan perusak.

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental; tindakan itu membuat orang Babilonia mampu meneng-gelamkan diri ke dalam kekuatan suci atau mana yang menjadi tempat bergantung peradaban besar mereka. Kebudayaan dirasakan sebagai sebuah pencapaian yang rentan, yang selalu bisa menjadi korban kekuatan yang mengacaukan dan memecah belah. Pada senja hari keempat Festival itu, para pendeta dan penyanyi paduan suara memenuhi bait suci untuk menyenandungkan Enuma Elish, puisi epik yang merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Kisah ini bukanlah peristiwa faktual tentang asal usul fisik kehidupan di bumi, melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk meng-ungkap sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harfiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak ter-bayangkan itu terjadi: mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spiritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Meskipun kisah biblikal dan Qurani tentang penciptaan akan mengambil bentuk yang sama sekali berbeda, mitos-mitos aneh ini tidak pernah benar-benar hilang, tetapi akan kembali masuk ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dikemas dalam sebuah idiom monoteistik.

Kisah dimulai dengan penciptaan dewa-dewa itu sendiri, sebuah tema yang—sebagaimana akan kita saksikan nanti—menjadi begitu penting dalam mistisisme Yahudi dan Muslim. Pada mulanya, seperti dituturkan dalam Enuma Elish, dewa-dewa muncul berpasangan dari sebuah substansi berair yang tidak berbentuk—sebuah substansi yang dengan sendirinya suci. Dalam mitos Babilonia—seperti yang

(64)
(65)

Pada Mulanya ...

kemudian tercantum dalam Alkitab—tak ada penciptaan yang bermula dari ketiadaan, itu sebuah gagasan yang asing bagi dunia kuno. Sebelum dewa-dewa maupun manusia ada, bahan mentah yang suci ini telah ada secara abadi. Ketika orang Babilonia mencoba mem-bayangkan zat primordial suci ini, mereka berpikir ia pasti mirip dengan tanah berpaya di Mesopotamia, yang tak henti-hentinya terancam banjir yang akan menyapu habis karya-karya manusia yang lemah. Oleh karena itu, dalam Enuma Elish, kekacauan {chaos) bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas:

Tatkala yang manis dan pahit menyatu, tak ada buluh yang terjalin,

tak ada ketergesaan yang mengeruhkan air,

dewa-dewa tak bernama, tak berwatak dan, tak bermasa depan.2

Kemudian tiga dewa muncul dari pusat tanah berpaya; Apsu (diidentifikasikan sebagai air sungai yang manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, Rahim kekacauan. Namun, ketiga de wa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang me-merlukan perbaikan. Nama "Apsu" dan "Tiamat" dapat diterjemahkan sebagai "jurang", "kehampaan" atau "teluk tak berdasar". Mereka sama-sama memiliki potensi tak berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas yang jelas.

Selanjutnya, serangkaian dewa-dewa lain muncul dari mereka dalam proses yang disebut sebagai emanasi, yang akan menjadi sangat penting dalam sejarah Tuhan kita sendiri. Dewa-dewa baru dilahirkan dari dewa-dewa yang lain secara berpasangan, masing-masingnya mendapatkan definisi yang lebih besar dari yang sebe-lumnya seiring langkah maju evolusi keilahian. Pertama-tama datang Lahmu dan Lahamn (nama-nama mereka berarti "endapan lumpur"; air dan tanah masih bercampur menjadi satu). Kemudian muncul Ansher dan Kishar yang secara berurutan diidentifikasi dengan horizon langit dan laut. Setelah itu Anu (langit) dan Ea (bumi) tiba dan rae-nyempurnakan proses itu. Alam suci mempunyai langit, sungai-sungai, dan bumi yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Namun, pen ciptaan baru saja dimulai; kekuatan jahat dan pemecah belah hanya bisa dikalahkan melalui perjuangan sengit dan tanpa henti. Dewa-dewa yang lebih muda dan dinamis bangkit melawan tetua mereka,

(66)
(67)

Sejarah Tuhan

tetapi meskipun Ea mampu mengalahkan Apsu dan Mummu, dia tak berdaya menghadapi Tiamat, yang menghasilkan serombongan monster beraneka ragam bentuk untuk berperang atas namanya. Untungnya Ea punya anak kandung yang luar biasa: Marduk, Dewa Matahari, spesimen keturunan dewa yang paling sempurna. Dalam sebuah pertemuan Majelis Agung para dewa, Marduk berjanji me-merangi Tiamat dengan syarat bahwa dialah yang nanti menjadi penguasa mereka. Akan tetapi, dia baru berhasil membunuh Tiamat dengan bersusah payah dan setelah melewati pertarungan yang lama dan berbahaya. Dalam mitos ini, kreativitas adalah sebuah pertarungan, diraih dengan susah payah setelah menempuh berbagai macam rintangan.

Bagaimanapun, pada akhirnya, Marduk berhasil mengangkangi mayat Tiamat yang raksasa dan memutuskan untuk menciptakan sebuah dunia baru; dia membelah tubuh Tiamat menjadi dua untuk membentuk lengkungan langit dan bumi manusia; kemudian dia merancang undang-undang yang akan menjaga agar segala sesuatu tetap berada pada posisinya yang telah ditentukan. Ketertiban mesti dicapai, tetapi kemenangan belum lagi sempurna. Kemenangan itu mesti dimantapkan kembali, melalui liturgi khusus, tahun demi tahun. Kemudian para dewa berkumpul di Babilonia, pusat bumi baru, dan mendirikan sebuah kuil tempat ritus-ritus langit diselenggarakan. Hasilnya adalah ziggurat besar untuk menghormati Marduk, "kuil bumi, simbol ketakterbatasan langit." Tatkala kuil itu telah selesai, Marduk menempati singgasananya di puncak kuil dan dewa-dewa menggemakan suara: "Inilah Babilonia, kota kesayangan para dewa, tanah airmu yang tercinta!" Kemudian mereka melakukan liturgi "dari sumber di mana semesta memperoleh strukturnya, dunia gaib menjadi nyata dan dewa-dewa mengambil tempat mereka di dalam semesta." 3 Hukum dan ritual ini mengikat setiap orang; bahkan para dewa mesti menaatinya demi menjamin keberlangsungan ciptaan.

Mitos mengekspresikan makna batin peradaban, sebagaimana orang Babilonia melihatnya. Mereka mengetahui betul bahwa nenek moyang mereka sendiri yang membangun ziggurat, tetapi kisah Enuma Elish menyuarakan kepercayaan mereka bahwa usaha kreatif

mereka hanya mungkin bertahan jika memiliki keterkaitan dengan kekuatan ilahi. Liturgi yang mereka rayakan di Tahun Baru telah diciptakan sebelum manusia ada: liturgi itu tersurat dalam hakikat segala sesuatu, yang bahkan dewa-dewa tunduk kepadanya. Mitos

(68)
(69)

Pada Mulanya ...

itu juga mengekspresikan keyakinan mereka bahwa Babilonia adalah tempat suci, pusat dunia, dan tanah air dewata—sebuah pernyataan yang penting dalam hampir semua sistem keagamaan kuno. Ide tentang kota suci, tempat manusia merasakan kedekatan dengan kekuatan sakral, sumber segala wujud dan kesaktian, menjadi penting dalam ketiga agama monoteistik.

Akhirnya, hampir seperti sebuah kebetulan saja, Marduk rnen-ciptakan manusia. Marduk mengalahkan Kingu (teman dungu Tiamat yang diciptakannya setelah kekalahan Apsu), menebasnya, dan membentuk manusia pertama dengan cara mencampur darah dewa dengan abu. Para dewa menyaksikan dengan perasaan kaget dan takjub. Ada yang sedikit lucu dalam kisah mitikal tentang asal usul manusia ini; meski merupakan puncak penciptaan, tetapi manusia digambarkan berasal dari salah satu dewa yang paling bodoh dan tidak sakti. Akan tetapi, kisah itu mengandung satu hal penting lain. Manusia pertama diciptakan dari substansi seorang dewa; karenanya dia memiliki hakikat ilahiah, sekalipun terbatas. Tak ada jurang pemisah antara manusia dan dewa-dewa. Dunia alamiah, manusia, dan para dewa semuanya memiliki hakikat yang sama dan diturunkan dari substansi suci yang sama pula. Pandangan pagan bersifat holistik. Dewa-dewa tidaklah terasing dari umat manusia dalam kawasan onto logis yang terpisah: ketuhanan secara esensial tidak berbeda dari kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak diperlukan sebuah wahyu khusus dari para dewa atau undang-undang ilahi untuk diturunkan ke bumi. Dewa-dewa dan manusia berbagi penderitaan yang sama, satu-satu-nya perbedaan di antara mereka adalah bahwa dewa-dewa itu lebih kuat dan abadi.

Visi holistik ini tidak terbatas di Timur Tengah, tetapi lazim di seluruh dunia kuno. Pada abad keenam SM, Pindar mengungkapkan versi Yunani tentang keyakinan ini dalam odenya mengenai per-tandingan Olimpiade:

Satu pertarungan, satu antara manusia dan dewa-dewa; Dari satu ibu kita berdua menarik napas.

Tetapi perbedaan kekuatan dalam segalanya Memisahkan kita;

Karena tanpa yang lain kita tiada, kecuali langit yang perkasa Tetap tidak berubah untuk selamanya.

Namun dalam keagungan pikiran atau jasad Kita bisa menjadi seperti yang Abadi.4

(70)
(71)

Sejarah Tuhan

Bukannya memandang para atlet sebagaimana adanya, yang masing-masing berpacu mencapai prestasi pribadi terbaiknya, Pindar menempatkan mereka berhadap-hadapan dengan dewa-dewa, yang menjadi pola bagi semua cita-cita manusia. Manusia meniru dewa-dewa bukan sebagai wujud yang tak berdaya, melainkan untuk me-menuhi potensi mereka yang secara esensial berwatak ilahiah.

Mitos Marduk dan Tiamat tampaknya telah mempengaruhi orang Kanaan, yang memiliki kisah yang amat mirip tentang Baal-Habad, dewa badai dan kesuburan, yang sering disebut dalam Alkitab dengan cara yang jauh dari memuji. Kisah pertarungan Baal dengan Yam-Nahar, dewa laut dan sungai, diceritakan dalam lembaran yang ditulis sekitar abad keempat belas SM. Baal dan Yam keduanya tinggal bersama El, Dewa Tertinggi Kanaan. Pada Majelis El, Yam menuntut agar Baal diserahkan kepadanya. Dengan menggunakan dua senjata magis, Baal malah mengalahkan Yam dan nyaris membunuhnya andaikata Asyera (istri El dan ibu para dewa) tidak memohon dengan mengatakan bahwa membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah tidak terhormat. Baal merasa malu dan melepaskan Yam, yang mewakili keganasan laut clan sungai yang tak henti-hentinya mengancam akan membanjiri bumi. Sedangkan Baal, dewa badai, membuat bumi menjadi subur.

Versi lain dari mitos itu menyebutkan bahwa Baal membunuh Lotan, naga berkepala-tujuh, yang dalam bahasa Ibrani disebut Leviathan. Dalam hampir semua kebudayaan, naga menyimbolkan sesuatu yang laten, tak berbentuk, dan tak kentara. Dengan demikian, Baal telah menghentikan kemungkinan untuk kembali ke dalam ketiadaan bentuk primal lewat tindakan yang betul-betul kreatif dan dianugerahi sebuah istana indah yang didirikan oleh para dewa untuk menghormatinya. Oleh karena itu, dalam setiap agama kuno, kreativi-tas dipandang suci: kita masih menggunakan bahasa agama untuk berbicara tentang "inspirasi" kreatif yang memperbarui realitas dan menyegarkan pemaknaan tentang dunia.

Akan tetapi, Baal kemudian mengalami kemunduran: dia mati dan harus turun ke alam Mot, dewa kematian dan sterilitas. Tatkala mendengar tentang nasib anaknya, Dewa Tertinggi El turun dari singgasananya, membalut Baal dan merajah pipinya, namun tetap tidak bisa menebus putranya. Adalah Anat, kekasih dan saudara pe-rempuan Baal, yang meninggalkan alam suci dan pergi mencari be-lahan jiwanya, "merindukannya bagaikan induk sapi atau induk domba

(72)
(73)

Pada Mulanya ...

mencari anaknya." 5 Ketika dia menemukan mayat Baal, dia menye-lenggarakan upacara pemakaman untuk mengagungkannya, menang-kap Mot, menebasnya dengan pedang, membelah, membakar, dan menginjak-injaknya seperti jagung sebelum kemudian menyemaikan-nya ke tanah.

Kisah yang mirip juga diceritakan tentang dewi agung lainnya— Inana, Isytar, dan Isis—-yang mencari mayat dewa dan membawa kehidupan baru ke atas bumi. Akan tetapi, kemenangan Anat harus diperbarui dan tahun ke tahun melalui upacara ritual. Belakangan— kita tak tahu entah dengan cara bagaimana, sebab pengetahuan kita tidak lengkap—Baal hidup lagi dan kembali ke pangkuan Anat. Pemujaan akan keutuhan dan harmoni, yang disimbolisasikan oleh kesatuan seks, dirayakan melalui seks ritual di kalangan masyarakat Kanaan kuno. Dengan meniru para dewa melalui cara ini, umat manusia ikut berjuang melawan sterilitas dan memastikan kreativitas serta kesuburan dunia. Kematian seorang dewa, pencarian sang dewi, dan keberhasilan untuk kembali ke alam suci merupakan tema-tema keagamaan yang konstan dalam banyak budaya dan akan muncul kembali dalam agama-agama dengan Satu Tuhan yang disembah oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam.

Agama ini di dalam Alkitab dinisbahkan kepada Abraham (Nabi Ibrahim), yang meninggalkan Ur dan akhirnya menetap di Kanaan pada suatu masa antara abad kedua puluh dan kesembilan belas SM. Kita tak memiliki riwayat kontemporer tentang Abraham, tetapi para peneliti menduga bahwa Abraham mungkin sekali merupakan salah seorang pemimpin kafilah pengembara yang membawa rakyatnya dari Mesopotamia menuju Laut Tengah pada akhir milenium ketiga SM. Para pengembara ini—sebagian dari mereka disebut Abiru, Apiru, dan Habiru dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Mesir—berbicara dalam bahasa Semitik Barat, yang mana bahasa Ibrani adalah salah satunya. Mereka bukanlah kaum nomad padang pasir yang reguler sebagaimana orang Badui yang berimigrasi bersama ternak-ternak mereka sesuai pergantian musim. Mereka lebih sulit diklasifikasikan dan sering terlibat konflik dengan autoritas-autoritas konservatif. Status kultural mereka biasanya lebih tinggi dibanding penduduk padang pasir itu. Sebagian bekerja sebagai tentara bayaran, pegawai pemerin-tah, ada yang menjadi pedagang, pelayan, atau tukang besi. Sebagian di antara mereka menjadi kaya raya dan kemudian berupaya mem-punyai tanah dan bermukim menetap. Kisah-kisah tentang Abraham

(74)
(75)

Sejarah Tuhan

di dalam kitab Kejadian menceritakan bahwa dia bekerja pada Raja Sodom sebagai prajurit bayaran dan bahwa dia sering berkonflik dengan autoritas Kanaan dan daerah sekitarnya. Pada akhirnya, ketika istrinya, Sara, meninggal, Abraham membeli tanah di Hebron, yang sekarang terletak di Tepi Barat.

Kisah dalam kitab Kejadian tentang Abraham dan anak keturun-annya mengindikasikan adanya tiga gelombang kedatangan orang Ibrani di Kanaan, kawasan Israel pada era modern. Salah satunya terkait dengan Abraham dan Hebron, terjadi sekitar 1850 SM. Gelombang kedua berkaitan dengan cucu Abraham, Yakub, yang diganti namanya menjadi Israel ("Semoga Tuhan menunjukkan kekuasaannya"); dia menetap di Sikhem, yang sekarang menjadi kota Arab Nablus di Tepi Barat. Alkitab menceritakan kepada kita bahwa putra Yakub, yang menjadi leluhur dua belas suku keturunan Israel, beremigrasi ke Mesir selama musim paceklik yang hebat di Kanaan. Gelombang ketiga pemukiman Ibrani terjadi sekitar 1200 SM ketika suku-suku yang menga ku ke turuna n Abraham tiba di Kanaan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah dijadikan budak oleh orang Mesir, tetapi dimerdekakan oleh suatu ilah bernama Yahweh, yang juga merupakan tuhan pemimpin mereka, Musa. Setelah mendesak masuk ke Kanaan, mereka beraliansi dengan orang Ibrani yang ada di sana dan kemudian disebut sebagai orang Israel. Alkitab membuat jelas bahwa orang-orang yang kita kenal sebagai bangsa Israel kuno merupakan konfederasi berbagai kelompok etnis, yang secara mendasar disatukan oleh kesetiaan mereka kepada Yahweh, Tuhan Musa. Akan tetapi, kisah biblikal itu ditulis beberapa abad setelahnya, sekitar abad kedelapan SM, meskipun jelas disandar-kan pada sumber-sumber narasi yang lebih awal.

Dalam abad kesembilan,-beberapa sarjana biblikal Jerman mengembangkan metode kritis yang menguraikan empat sumber berbeda dalam lima kitab pertama Alkitab: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Ini kemudian dikumpulkan menjadi sebuah naskah akhir yang kita kenal sebagai Lima Kitab Musa (Pentateukh) pada abad kelima SM. Bentuk kritisisme semacam ini telah mendapat banyak perlakuan keras, namun tak ada seorang pun yang mampu menciptakan teori yang lebih memuaskan untuk menjelaskan mengapa terdapat kisah yang cukup berbeda tentang peristiwa-peristiwa biblikal penting, seperti Penciptaan dan Air Bah, dan mengapa kadangkala Alkitab mengandung pertentangan dalam

(76)
(77)

Pada Mulanya ...

dirinya sendiri. Dua penulis biblikal paling awal, yang karyanya dapat ditemukan dalam kitab Kejadian dan Keluaran, kemungkinan menulis pada abad kedelapan SM, walaupun ada yang menyebut kemungkinan penulisan di masa yang lebih awal. Salah satunya dikenal sebagai "J" karena dia menyebut nama Tuhannya dengan "Yahweh", yang lainnya disebut "E" karena dia lebih suka meng-gunakan nama ketuhanan yang lebih formal, "Elohim". Pada abad kedelapan, orang Israel telah membagi Kanaan menjadi wilayah dalam dua kerajaan terpisah. J menulis di Kerajaan Yehuda di sebelah selatan, sementara E berasal dari Kerajaan Israel di sebelah utara (lihat Peta 2 di halaman 8). Kita akan mendiskusikan dua sumber lain Lima Kitab Musa—tradisi Deuteronomis (D) dan Para Imam (P) tentang sejarah Israel kuno—pada Bab 2.

Kita akan melihat bahwa dalam banyak hal, baik J dan E mempunyai perspektif keagamaan yang mirip dengan tetangga mereka di Timur Tengah, tetapi kisah-kisah mereka memang mem-perlihatkan bahwa pada abad kedelapan SM, orang Israel mulai mengembangkan visi mereka sendiri yang khas. J, misalnya, memulai sejarah Tuhannya dengan kisah tentang penciptaan dunia, yang, jika dibandingkan dengan Enuma Elish, sangat tidak antusias:

Ketika TUHAN [Yahweh] Allah menjadikan bumi dan langit—belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang, sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu; tetapi, ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu—ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia (adam) itu dari debu tanah (adamah) dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.6

Ini benar-benar merupakan titik berangkat yang baru. Alih-alih berkonsentrasi kepada penciptaan dunia dan pada periode prasejarah sebagaimana kaum pagan sezamannya di Mesopotamia dan Kanaan, J lebih tertarik pada periode historis yang biasa. Tak terdapat keter-tarikan yang sungguh-sungguh tentang penciptaan di Israel hingga abad keenam SM ketika pengarang yang kita sebut "P" menuliskan kisahnya yang hebat dalam apa yang sekarang merupakan bab pertama kitab Kejadian. J tidak secara mutlak yakin bahwa Yahweh adalah satu-satunya pencipta langit dan bumi. Namun, yang paling

(78)
(79)

Sejarah Tuhan

mencolok adalah persepsi J tentang perbedaan nyata antara manusia dengan tuhan. Bukannya tersusun dari zat suci yang sama dengan tuhannya, manusia (adam), bagai sebuah permainan kata, adalah bagiah dari tanah (adamah).

Tidak seperti tetangga pagannya, J tidak mengesampingkan sejarah duniawi sebagai sejarah yang profan, lemah, dan tak sub-stansial dibandingkan sejarah dewa-dewa yang suci dan primordial. Dia bergegas melewati peristiwa-peristiwa prasejarah hingga tiba di penghujung periode mitis, yang mencakup kisah-kisah seperti Air Bah dan Menara Babel, kemudian tiba di permulaan sejarah Israel. Ini secara mendadak diawali pada bab kedua belas tatkala manusia Abram, yang kemudian diberi nama baru Abraham ("bapa sejumlah besar bangsa"), diperintahkan oleh Yahweh meninggalkan keluarga-nya di Haran, yang kini menjadi wilayah timur Turki, dan bermigrasi ke Kanaan dekat Laut Tengah. Kita diberi tahu bahwa ayahnya, Terah, seorang pagan, sudah lebih dahulu bermigrasi ke arah barat dari Ur bersama keluarganya. Kini Yahweh mengatakan kepada Abraham bahwa dia memiliki takdir istimewa: dia akan menjadi bapak sebuah bangsa besar yang suatu hari akan berjumlah lebih banyak daripada bintang-bintang di langit, dan suatu ketika anak keturunannya akan menguasai tanah Kanaan sebagai milik mereka. Kisah J tentang panggilan bagi Abraham ini menetapkan nada awal bagi sejarah Tuhan ini di masa depan. Di Timur Tengah kuno, mana yang suci dialami dalam ritual dan mitos. Marduk, Baal, dan Anat tidak diharap-kan terlibat dalam kehidupan awam yang profan dari para penyem-bahnya: tindakan-tindakan mereka telah berlangsung dalam waktu yang sakral. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan Israel bekerja secara langsung dalam peristiwa-peristiwa di dunia nyata. Dia dialami sebagai sesuatu yang ada di sini dan pada saat ini. Wahyu pertamanya berisi-kan sebuah titah: Abraham harus meninggalberisi-kan negerinya dan pergi ke Kanaan.

Akan tetapi, siapakah Yahweh? Apakah Abraham menyembah Tuhan yang sama dengan Musa atau apakah dia mengenalnya dengan nama yang berbeda? Ini adalah persoalan penting bagi kita pada masa sekarang, tetapi Alkitab, anehnya, tampak kabur dalam hal ini dan memberikan jawaban yang bertentangan. J menyatakan bahwa manusia telah menyembah Yahweh sejak masa cucu Adam, tetapi pada abad keenam, P sepertinya menyiratkan bahwa orang Israel tidak pernah mendengar tentang Yahweh hingga dia menampakkan

(80)
(81)

Pada Mulanya ...

diri kepada Musa di Semak Menyala. P membuat Yahweh menjelaskan bahwa sebenarnya dia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan Abraham, seakan-akan ini merupakan pernyataan yang agak kontro-versial: dia mengatakan kepada Musa bahwa Abraham memanggilnya "El Shaddai" dan tidak mengetahui nama suci "Yahweh". 7 Kesenjangan

itu tampaknya tidak terlalu merisaukan para penulis atau editor biblikal. J selamanya menyebut tuhannya "Yahweh": pada masa dia menuliskan itu, Yahweh memang adalah Tuhan Israel dan itulah kenyataannya. Agama Israel bersifat pragmatis dan hanya sedikit memedulikan perincian spekulatif semacam ini yang biasanya menarik perhatian kita sekarang. Namun demikian, kita tidak bisa berasumsi bahwa Abraham dan Musa beriman kepada Tuhan mereka dengan cara sebagaimana kita saat ini. Kisah-kisah biblikal dan sejarah Israel bjegitu populer sehingga kita cenderung memproyeksikan pengetahuan kita tentang agama Yahudi yang kemudian kepada tokoh-tokoh sejarah awal yang terkemuka ini. Oleh karena itu, sering kita asumsikan bahwa ketiga patriark Israel—Abraham, putranya Ishak, dan cucunya Yakub—adalah monoteis, bahwa mereka beriman kepada hanya satu Tuhan. Keadaannya barangkali tidak demikian. Bahkan mungkin lebih akurat untuk menyebut orang-orang Ibrani awal ini adalah kaum pagan yang banyak memiliki kesamaan ke-percayaan keagamaan dengan tetangga mereka di Kanaan. Mereka mungkin sekali juga meyakini eksistensi sesembahan, seperti Marduk, Baal, dan Anat. Mungkin pula tidak semua mereka menyembah ilah yang sama: barangkali Tuhan Abraham adalah "Takut" atau "Saudara Sesuku", Tuhan Ishak adalah "Yang Perkasa", dan Tuhan Yakub adalah tiga tuhan yang berbeda. 8

Kita bisa melangkah lebih jauh. Adalah sangat mungkin bahwa Tuhan Abraham adalah El, Tuhan Tertinggi Kanaan. Tuhan itu mem-perkenalkan dirinya kepada Abraham sebagai El Shaddai (El Pegu-nungan), salah satu gelar tradisional El. 9 Di tempat lain, dia disebut El Eliyon (Tuhan yang Mahatinggi) atau El dari Betel. Nama Tuhan Tertinggi Kanaan terekam dalam nama-nama berbahasa Ibrani, seperti Isra-El atau Ishma-El. Mereka mengalaminya melalui cara-cara yang tidak lazim bagi kaum pagan Timur Tengah. Akan kita saksikan bahwa beberapa abad kemudian orang Israel menemukan mana atau "kesucian" Yahweh sebagai pengalaman yang menggentarkan. Di Gunung Sinai, misalnya, dia menampakkan diri kepada Musa di tengah letusan gunung api yang menginspirasikan kekaguman.

(82)
(83)

Sejarah Tuhan

Sebagai perbandingan, El bagi Abraham adalah tuhan yang sangat lembut. Dia menampakkan diri kepada Abraham sebagai seorang teman dan kadang dengan rupa manusia. Jenis penampakan ini, disebut sebagai epifani, cukup lazim di dunia pagan kuno. Meskipun biasanya dewa-dewa tidak diharapkan campur tangan langsung terha-dap kehidupan terbatas umat manusia, beberapa individu istimewa di era mitikal telah bertemu muka dengan dewa-dewa mereka. Iliad sarat dengan epifani semacam itu. Para dewa dan dewi menampakkan diri kepada orang-orang Yunani dan Trojan melalui mimpi, ketika batas antara alam manusia dan alam suci diyakini sedang didekatkan. Pada bagian paling akhir dari Iliad, Priam dibimbing menuju kapal-kapal Yunani oleh seorang pemuda tampan yang kemudian memper-kenalkan dirinya sebagai Hermes. 10

Ketika orang Yunani melihat kembali ke zaman keemasan pah-lawan-pahlawan mereka, mereka merasa begitu dekat dengan para dewa yang, pada dasarnya, berwatak sama dengan manusia. Kisah-kisah penampakan tuhan ini mengungkapkan visi holistik pagan: ketika yang suci tidak berbeda secara esensial dengan semesta mau-pun manusia, ia dapat dialami tanpa susah payah. Dunia penuh de ngan dewa, yang dapat dirasakan secara tak terduga kapan saja, di semua penjuru atau dalam diri orang tak dikenal yang sedang ber-papasan. Tampaknya orang awam percaya bahwa pertemuan ilahi seperti itu mungkin terjadi dalam kehidupan mereka: ini bisa menjelas-kan cerita aneh dalam Kisah Para Nabi ketika, di akhir abad pertama M, rasul Paulus dan muridnya, Barnabas, keliru dikira Zeus dan Hermes oleh orang-orang Listra, kawasan yang kini adalah Turki. 11

Dalam cara yang hampir sama, ketika orang Israel menengok ke masa lalu kejayaan mereka, mereka melihat Abraham, Ishak, dan Yakub hidup secara akrab dengan tuhan mereka. El memberi mereka saran yang bersahabat, seperti halnya seorang syaikh atau kepala kafilah: dia mengarahkan pengembaraan mereka, memberi tahu siapa yang baik untuk dinikahi, dan berbicara kepada mereka di dalam mimpi. Terkadang mereka seakan-akan melihat dia dalam rupa manusia—sebuah gagasan yang nantinya menjadi pangkal masalah bagi orang Israel. Dalam Kejadian 18, J mengatakan kepada kita bahwa Tuhan menampakkan diri kepada Abraham di dekat pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron. Abraham menengadahkan pan-dangan dan melihat tiga orang tak dikenal mendekati tendanya di siang hari yang terik. Dengan sopan santun lazim Timur Tengah, dia

(84)
(85)

Pada Mulanya ...

mempersilakan ketiga orang itu duduk dan beristirahat, sementara dia bersegera menyiapkan makanan buat mereka. Di tengah-tengah percakapan, terungkaplah, dengan sangat alami, bahwa satu di antara tiga orang tersebut tak lain adalah tuhannya, yang oleh J disebut "Yahweh". Sedangkan dua lelaki lain ternyata adalah malaikat. Tak seorang pun yang tampak terkejut oleh pengungkapan ini. Ketika J menulis pada abad kedelapan SM, tak ada orang Israel yang berharap untuk "melihat" Tuhan dengan cara seperti ini: kebanyakan akan menanggapinya sebagai sesuatu yang sangat mengejutkan. E, yang sezaman dengan J, merasa kisah-kisah lama tentang keintiman para patriark dengan Tuhan agak tidak biasa: ketika E menceritakan kisah pertemuan Abraham atau Yakub dengan Tuhan, dia lebih suka meren-tangkan jarak dalam kejadian itu dan mengurangi unsur antropomorfis dalam legenda tua itu. Dengan demikian, dia berkata bahwa Tuhan berbicara kepada Abraham melalui malaikat. Namun, J tidak menyukai cara yang bertele-tele ini clan mempertahankan cita rasa kuno tentang epifani primitif ini dalam kisah-kisahnya.

Yakub juga mengalami sejumlah epifani. Pada suatu kesempatan, dia memutuskan kembali ke Haran untuk mencari istri dari kalangan kerabatnya di sana. Belum lama berjalan, dia tertidur di Luz dekat bukit Yordan, dengan berbantalkan sebuah batu. Malam itu dia bermimpi melihat sebuah tangga yang menghubungkan langit dan bumi: malaikat naik turun antara alam tuhan dan alam manusia. Ini mengingatkan kita kembali tentang zigguratnya Marduk: di puncak-nya, karena mengawang di antara langit dan bumi, manusia dapat bertemu dengan dewa-dewa. Pada puncak tangga dalam mimpinya, Yakub bertemu El, yang memberkatinya dan memberinya janji se-bagaimana yang diberikannya kepada Abraham: keturunan Yakub akan berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar dan akan menguasai tanah Kanaan. Dia juga membuat janji yang memberi kesan mendalam pada Yakub, seperti akan kita saksikan nanti. Agama pagan sering bersifat tentorial: suatu tuhan hanya memiliki yurisdiksi atas suatu kawasan tertentu, dan adalah bijaksana untuk menyembah tuhan-tuhan setempat ketika bepergian ke wilayah lain. Namun, El menjanjikan Yakub bahwa dia akan melindunginya ketika dia rae-ninggalkan Kanaan dan mengembara di negeri asing: "Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau ke mana pun engkau pergi."12 Cerita epifani awal ini memp erli hatk an b ahw a Tuha n Ter-tinggi Kanaan mulai mendapatkan implikasi yang lebih universal.

(86)

Referensi

Dokumen terkait