• Tidak ada hasil yang ditemukan

banteng ekosistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "banteng ekosistem"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI POTENSI HIJAUAN PAKAN BANTENG DI PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN TN ALAS PURWO

(1995) Oleh : Mehsan*

Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu satwa langka yang dilindungi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan habitatnya dan perburuan liar. Di Indonesia masalah rekreasi berburu belum dikembangkan sacara bijaksana dan mengalami bebrapa kesulitan, diantaranya adalah belum adanya kesadaran masyarakat terhadap usaha perlindungan dan pelestarian alam serta pengetahuan mengenai satwa dan kesatwaan masih sangat terbatas.

Padang penggembalaan Sadengan yang terdapat di TN Alas Purwo merupakan salah satu habitat Banteng yang mempunyai kondisi yang cukup ideal bagi kehidupan Banteng. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diketahui potensi-potensi yang ada sehubungan dengan kehidupan Banteng. Hal ini sangat berguna untuk menetapkan sistem pengelolaan yang selanjutnya dengan tepat.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui produktivitas, palatabilitas dan nilai gizi pakan Banteng yang terdapat di Padang penggembalaan Sadengan TN Alas Purwo.

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yang dimulai pada bulan mei – juni 1995. dalam pelaksanaan penelitian menerapkan beberapa metode yaitu : survei untuk mengetahui kondisi secara umum Padang penggembalaan Sadengan pada awal penelitian dan untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah dengan cara sistematik sampling, produktivitas padang rumput diketahui dengan pemanenan rumput pada petak-petak contoh yang telah ditentukan dan untuk palatabiltas dilakukan pengamatan jenis-jenis tumbuhn yang dimakan Banteng, sedangkan analisis nilai gizi digunakan cara proximate analisys serta ditunjang oleh data sekunder.

Padang penggembalaan Sadengan diomonasi oleh rumput lamuran, sriwit, sontoloyo dan enceng-enceng yan merupakan tumbuhan pengganggu yang dapat mengurangi ruang tumbuh rumput yang dimakan Banteng.

Produktivitas rumput Padang penggembalaan Sadengan pada muim hujan 1995 sebesar 55 kg/ha/hari yang hanya mampu mendukung 125 ekor Banteng. Jika dibandingkan dengan kondisi hidup normal, satu ekor Banteng yaitu 0,5 ha maka Padang penggembalaan Sadengan mempunyai daya dukung yang rendah.

Tingkat kesukaan (palatabilitas) terhadap hijauan di Padang penggembalaan Sadengan dari 19 jenis rumput yang dimakan Banteng, yang paling disukai yaitu adalah Arundinela setosa (lamuran) dengan nilai 1, gajahan dengan nilai 1, patikan kebo (euphorbia hirta) dengan nilai 0,96.

Potensi protein kasar dan serat kasar yang tersedia bagi 1 ekor Banteng di Padang penggembalaan Sadengan masing-masing adalah 7,02% dan 30,06% yang belum mencukupi kebutuhan Banteng. Sedangkan lemak kasar 1,86%, abu 13,96%, BETN 47,15%, dan bahan kering 40,06% yang sudah mencukupi bagi kebutuhan Banteng.

Untuk mempertahankan ketersediaan hijauan yang disukai Banteng, perlu dilakukan pembabatan dan pembakaran semak dan untuk meningkatkan nilai gizi hijauan perlu dilakukan pemberian pupuk yang mengandung unsur nitrogen, kalium dan fosfor yang dapat meningkatkan kandungan protein kasar dalam rumput.

*

(2)

STUDI HABITAT DAN AKTIVITAS HARIAN BANTENG (Bos javanicus) DI KAWASAN ALAS PURWO TN BALURAN, JAWA TIMUR

(1992) Oleh : Kamdani*

Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa mamalia ruminansia besar yang elok dan sudah langka, khususnya di Indonesia hanya terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan dan sedikit di Bali Barat. Oleh karena itu perlu diupayakan beberapa pendekatan ke arah tindakan pelestariannya dengan tanpa mengabaikan aspek ekonomis, finansial serta manfaat fisik wilayahnya.

Kawasan Alas Purwo TN Baluran sebagai salah satu kawasan alam yang cukup berpotensi bagi kehidupan Banteng, perlu dipelajari paramater-paramater lingkungan dan populasinya untuk menetapkan sistem pengelolaan yang tepat sehingga banteng dapat hidup dan berkembangbiak secara normal serta tujuan konservasi dapat tercapai.

Mempelajari habitat dan aktivitas harian banteng dapat memberikan gambaran mengenai kondisi populasi dan lingkungan hidupnya. Akhirnya dapat memberikan informasi bagi pengelolaan yang cermat.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mempelajari kondisi habitat serta interaksinya terhadap aktivitas harian banteng di padang penggembalaan Sadengan kawasan Alas Purwo TN Baluran, Jawa Timur.

Dalam pelaksanaannya penelitian ini menerapkan beberapa metode yaitu: survei atau penjelajahan lapangan, analisis vegetasi hutan dengan cara transek/jalur, analisis vegetasi dan hijauan pakan banteng di padang penggembalaan dengan cara systematic sampling, metode konsentrasi, metode pellet dan jejak, serta ditunjang oleh data-data sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan Sadengan merupakan tipe padang penggembalaan buatan permanen yang telah memenuhi syarat sebagai habitat yang ideal. Komponen-komponen habitat utama terdiri dari hutan hujan dataran rendah, padang penggembalaan, hutan pantai, sungai Segoro Anak dan laut.

Aktivitas harian banteng di padang penggembalaan Sadengan terdiri dari kegiatan makan (merumput), bermain, istirahat/tidur, mangasuh dan membesarkan anaknya, serta hubungan sosial.

Aktivitas, pergerakan dan wilayah jelajah (home range) banteng di Sadengan sangat dibatasi oleh faktor padang penggembalaan, sumber air, air garam (tempat mengasin), tempat berlindung (cover), topografi dan keamanan.

Aktivitas harian banteng dipengaruhi oleh kondisi habitat. Sebaliknya, kondisi habitat dipengaruhi oleh aktivitas harian banteng.

*

(3)

STUDI DAYA DUKUNG PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR

(1992)

Oleh : Doddy Herika Wiyastono*

Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia sebagai perwakilan tipe hutan hujan tropis berdataran rendah untuk habitat satwa liar yang telah dilindungi maupun yang belum dilindungi, antara lain banteng (Bos javanicus d’Alton) dan rusa jawa (Cervus timorensis de Blainville).

Pengelolaan satwa liar dalam kawasan konservasi tidak terlepas dari pembinaan habitat. Dari segi kualitas habitat, makanan merupakan salah satu faktor pembatas bagi perkembangbiakan satwa liar.

Banteng dan rusa merupakan satwa liar herbivora yang digolongkan sebagai pemakan rumput (grasser), sehingga keberadaan padang penggembalaan Sadengan sebagai sumber makanan dan pusat aktivitas satwa sangat menetukan kelestarian populasi satwa ini. Kualitas padang penggembalaan harus dapat dipertahankan agar populasi satwa yang ada dapat hidup secara normal dan terus menerus. Untuk itu perlu diketahui daya dukung suatu padang penggembalaan terutama dari segi kuantitas maupun kualitas hijauan makanan satwa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya dukung padang penggembalaan Sadengan terhadap kehidupan satwa liar banteng dan rusa jawa secara optimal dari segi kuantitas hijauan yang tersedia pada musim hujan.

Untuk memperoleh nilai daya dukung suatu padang penggembalaan dilakukan pengukuran produktivitas rumput pada petak-petak contoh dan perhitungan satwa banteng dan rusa dengan metode terkonsentrasi (consentration count method). Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi padang penggembalaan dilakukan analisis vegetasi dengan metode sistematic random sampling. Selain itu juga dilakukan pengamatan jenis-jenis tumbuhan yang dimakan banteng dan tingkat kesukaannya.

Produktivitas rumput padang penggembalaan Sadengan pada musim hujan tahun 1992 sebesar 87,45 kg/ha/hari sehingga padang penggembalaan ini mampu mendukung jumlah satwa secara optimal sebanyak 237 unit satwa. Bila dibandingkan dengan jumlah banteng dan rusa pada saat penelitian yaitu sebanyak 260,61 unit satwa maka padang penggembalaan Sadengan sudah tidak mampu memenuhi hijauan (rumput) makanan kedua jenis satwa ini secara normal.

Padang penggembalaan Sadengan didominasi rumput lamuran (Arundinela setosa) dan teki sriwet (Frimbistylis annua) sehingga keberadaan kedua jenis ini sebagai jenis utama makanan banteng dan rusa masih dapat dipertahankan. Dari 45 jenis tumbuhan yang ditemukan, 21 jenis dimakan banteng.

Aktivitas penggembalaan yang melebihi daya dukung optimal, persaingan jenis rumput dengan jenis-jenis lainnya yang kurang menguntungkan serta proses invasi vegetasi hutan alam ke arah padang penggembalaan diduga mempengaruhi produktivitas rumput areal ini. Oleh karena itu perlu dilakuakn perbaikan kualitas padang penggembalaan melalui upaya peningkatan produktivitas rumput agar kelestarian populasi dan padang penggembalaan dapat tercapai.

*

(4)

PERILAKU BANTENG (Bos javanicus d'Alton) DI PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

(1996) Oleh : Suhadi*

Banteng (Bos javanicus d'Alton) is naturally distribute throughout Asia. In Indonesia this species can be found in Java, Bali, and Kalimantan. The current population is small, making it categorized as an endangered species.Protection measures have been implemented in such national parks as in West Bali, Ujung Kulon, Baluran, and Alas Purwo. Scientifically, this species is a genetic resource potential for further domestication purpose. In fact this species has been traditionally utilized as a cross-breeder for Bali Cattle which originated from Bos sondaecus.

Banteng is typically crespuscular species, but due to disturbances it sometimes become nocturnal. The species generally live in groups of 5 to 15 individuals, with only 2 or 3 steers in a group, although groupwith only one steer is not unusual. The groups spend most of their time grazing in a pasture. Alas Purwo is a national park located in Sothern Banyuwangi, East Java, and initially gazetted as an area for animal protection. The total area of this national park is about 43420 hectares, but the banteng is usually found grazing in Sadengan a pasture area with a size of about 20 hectares.

This thesis consists of two papers, i.e., Daily behaviour of banteng, and Habitat selection for feeding. Sample of banteng have been taken directly, using the concentrated methode, whereas the grass samples have been taken by using quadrates of 100 x 100 cm2, totaling 100 plots. Observations have been carried out in two location, i.e., location I: around the tower, and location II: nearby and adjacent to the mountaineous area. The studies have been conducted from January 1996 to June 1996.

The paper entitled Daily behaviour of bantengs concluded that: (1). The environment significantly affected the daily behaviour of the cows. (2). Frequency of cows in pastures areas of Sadengan in Alas Purwo broken as if indicator of disturbance.It is recommended that to increase grazing intensity of cows, habitat management should be maintained properly, particularly monitoring of wild dogs.

The paper entitled Habitat selection for feeding, concluded: (1). Potential of grasses in pastures of Sadengan in Alas Purwo National Park is very low, (2). Location of grazing areas was concentrated in one location, and was related to the biomass of grasses as their food resource. It is recommended that: (1). Pasture areas of Sadengan in Alas Purwo National Park should be properly maintained, and (2). Grasses of Hyptis brevipes Porr. And Cassia tora L. should be cut prior to flowering.

*

(5)

EVALUASI DAERAH TEMPAT BERLINDUNG BANTENG (Bos javanicus d'Alton) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO BANYUWANGI

(1996)

Oleh : Teguh Priyatmono∗∗∗∗

Banteng (Bos javanicus d'Alton) merupakan salah satu jenis satwa mamalia ruminansia besar yang sudah langka, khususnya di Indonesia hanya terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, dan sedikit di Bali Barat. Oleh karena itu perlu diupayakan beberapa pendekatan kearah tindakan pelestarian banteng tanpa mengabaikan aspek ekonomis, financial, serta manfaat fisik wilayahnya.

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu kawasan alam yang berpotensi bagi kehidupan satwa herbivora, perlu dipelajari dan dievaluasi parameter-parameter lingkungan dan populasinya untuk memperbaiki dan menetapkan sistim pengelolaan yang lebih tepat, sehingga banteng dapat hidup dan berkembangbiak secara normal serta tujuan konservasi dapat tercapai.

Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari serta mengevaluasi bentuk vegetasi penyusun di daerah tempat berlindung banteng, serta kualitas dan kuantitas daerah tempat berlindung banteng di hutan sekitar padang penggembala Sadengan Taman Nasional Alas Purwo.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan bagi pengelola kawasan Taman Nasional Alas Purwo guna menentukan kebijaksanaan manajemen pembinaan habitat banteng selanjutnya.

Metode yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah survei atau penjelajahan lapangan, analisis vegetasi hutan dengan cara transek, sensus banteng dengan metode konsentrasi, analisis tingkat kesukaan banteng terhadap jenis semak, serta produktivitas dan daya dukung daerah tempat berlindung di hutan sekitar padang penggembalaan Sadengan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi banteng di Sadengan mengalami penurunan, dari laporan Herika tahun 1992 dicatat jumlah banteng 265 ekor, sedang hasil sensus terakhir dalam penelitian ini pada bulan Juli 1995 didapat 226 ekor. Penurunan populasi banteng akibat semakin besarnya penguasaan semak Cassia torra yang tidak disukai banteng di padang penggembalaan yang menyebabkan rendahnya daya dukung Sadengan dan kurang berfungsinya daerah tempat berlindung di hutan sekitar Sadengan dan kurang berfungsinya daerah tempat berlindung di hutan sekitar Sadengan akibat rusaknya struktur tanah akibat injakan satwa dan penguasaan vegetasi bambu yang mendesak vegetasi rumput dan semak yang menjadi makanan tambahan di daerah tempat berlindung, sedang formasi hutan primer di daerah tempat berlindung yang tidak sesuai sebagai habitat, karena banteng menyukai tipe hutan skunder, yang terdapat banyak semak dan rumput.

Di daerah tempat berlindung jenis semak yang disukai banteng adalah jenis Ocinumsanctum dan Sida rhombifolia, sehingga produktivitas jenis tersebut sangat kecil, akibat sering dimanfaatkan satwa sebagai makanan tambahan. Dari hasil analisis vegetasi daerah tempat berlindung seluas 16 ha didapatkan hasil 11 jenis semak. Produktivitas semak di daerah tempat berlindung sebesar 276,38 kg/hari. Dengan memperhitungkan produktivitas dan "proper use" sebesar 0,7 dibagi konsumsi rata-rata banteng per hari sebesar 24,53 kg, maka didapat daya dukung daerah tempat berlindungsebesar 11, 267 ekor per hari, sedang pada saat penelitian dilakukan jumlah banteng 226 ekor atau 209 unit.

Dari hasil yang diperoleh daerah tempat berlindung sudah tidak mampu mendukung keberadaan banteng, serta satwa herbivora lain. Pada saat penelitian, daerah

(6)

tempat berlindung bukan tempat yang menjadi tujuan banteng untuk mencari makanan tambahan, sedang padang penggembalaan yang menjadi tujuan utama, rumput yang yang menjadi konsumsi pokok semakin rendah baik mutu maupun jumlahnya, mengakibatkan daerah jelajah banteng semakin jauh.

(7)

POLA SEBARAN BERBAGAI JENIS TUMBUHAN YANG MENJADI PAKAN BANTENG (Bos javanicus d'Alton) PADA MUSIM KEMARAU DI PADANG

PENGGEMBALAAN SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO BANYUWANGI

(2005)

Oleh : I Gusti Ketut Seri Rai Wiryasni∗∗∗∗

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pola sebaran berbagai jenis tumbuhan yang menjadi pakan banteng (Bos javanicus d'Alton) pada musim kemarau di padang penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi, dan (2) hubungan antara densitas sebaran berbagai jenis tumbuhan yang menjadi pakan banteng pada musim kemarau dengan beberapa faktor edafik yang meliputi bahan organik tanah, kelengasan tanah, dan pH tanah. Penelitian yang penulis lakukan ini termasuk jenis penelitian eksploratif. Metode yang digunakan adalah metode kuadrat acak. Untuk mengetahui pola sebaran secara acak, mengelompok ataukah teratur dengan menggunakan uji chi-square (uji X2). Sedangkan untuk mengetahui hubungan densitas sebaran dengan faktor edafik dengan menggunakan regresi ganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pola sebaran berbagai jenis tumbuhan yang menjadi pakan banteng pada musim kemarau di padang penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi termasuk pola sebaran secara mengelompok, (2) hubungan antara densitas sebaran dengan faktor edafik (bahan organik tanah, kelengasan tanah, dan pH tanah) menunjukkan bahwa ketiga faktor edafik tersebut sama-sama memberikan pengaruh terhadap sebaran spesies tersebut, dan (3) dari ketiga faktor edafik tersebut yang berpengaruh paling besar terhadap pola sebaran berbagai jenis tumbuhan pakan banteng tersebut adalah bahan organik tanah, disusul dengan kelengasan tanah, dan pH tanah yang memberikan pengaruh paling kecil.

(8)

INVENTARISASI BANTENG (Bos javanicus d'Alton)

DI AREA MERUMPUT SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO BANYUWANGI

(2006)

Oleh : Anita Rusnani∗∗∗∗

Banteng (Bos javanicus d' Alton) merupakan salah satu jenis satwa liar berkuku genap, termasuk golongan Ruminansia besar yang sudah langka. Populasi dan penyebaran banteng pada saatini cukup mendapat tekanan yang besar, sebagai akibat dari kondisi habitat yang semakin menurun. Menurunnya kualitas dan kuantitas habitat banteng terjadi karena adanya suksesi yang kurang menguntungkan bagi proses pembinaan dan pengelolaan habitat. Kegiatan inventarisasi dilakukan untuk mempelajari kondisi habitat dan populasi banteng untuk menentukan rencana di masa yang akan dating dan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Alas Purwo yang bertujuan untuk (1) Mengetahui populasi banteng di area merumput Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi, dan (2) Untuk mengetahui factor-faktor penyebab fluktuasi populasi banteng di area merumput Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Jenis penelitian ini adalah eksploratif, dengan menggunakan metode penghitungan langsung dan dianalisis secara deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua banteng yang ada di area merumput Sadengan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Populasi banteng berjumlah 14 ekor yang terdiri dari banteng jantan, betina, dan anak, (2) Sumberdaya di area merumput sangat menentukan populasi banteng, (3) Populasi banteng dari tahun 1995 sampai tahun2005 cenderung menurun, (4) Faktor-faktor penyebab fluktuasi populasi banteng adalah adanya perburuan, habitat yang layak huni menyempit, perubahan musim yang tidak konstan, invasi pohon dan semak di area merumput. Masalah reproduksi, mortalitas, dan adanya predator.

(9)

ANALISIS POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WILAYAH JELAJAH Bos javanicus d’Alton, 1832 DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO,

JAWA TIMUR (2006)

Oleh : Delfiandi∗∗∗∗

Banteng merupakan satwaliar herbivora yang bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) daripada sebagai pemakan semak (browzer) yang dinyatakan oleh IUCN (1972) telah terancam punah karena penurunan populasi. Penurunan populasi diakibatkan oleh perburuan liar, kerusakan habitat dan eksploitasi yang berlebihan. Penyebaran banteng hanya terbatas di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Taman Nasional Baluran (TNB) dan Cagar Alam Leuweung Sancang. Banteng merupakan icon di TNAP dan menjadi perioritas bagi pengelolaan satwaliar. Pola penggunaan ruang menggambarkan interaksi antara satwaliar dengan habitatnya dan proses optimalisasi penggunaan habitat untuk memenuhi kebutuhannya. Habitat banteng terdiri dari padang penggembalaan, hutan dataran rendah, hutan pantai dan hutan tanaman. Wilayah jelajah adalah wilayah yang dikunjungi oleh satwaliar secara tetap karena menyediakan makanan, minum serta sebagai tempat berlindung, tidur dan tempat berkembangbiak yang dipengaruhi oleh sumber pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis aktivitas dan sebaran populasi banteng menurut tipe habitat, menganalisis hubungan antara jenis aktivitas banteng dengan karakteristik habitat dan menentukan luas wilayah jelajah.

Penelitian ini dilaksanakan selama ± 2 bulan, yakni April-Mei 2006 dengan alat yang digunakan yaitu binokuler, kompas, GPS, kamera, pita ukur, tali rafia, tali tambang, pengukur waktu, peta kawasan dan tally sheet. Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer yang terdiri dari karakteristik habitat, jenis aktivitas dan wilayah jelajah banteng, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi TNAP, keberadaan satwa pemangsa dan tekanan penduduk sekitar kawasan TNAP. Perilaku dikumpulkan dengan menggunakan metode vocal animal sampling, analisis vegetasi dengan menggunakan jalur berpetak, wilayah jelajah diukur dengan cara mengikuti banteng kemudian mengambil titik terluar dengan GPS kemudian diplotkan ke peta. Data sekunder dikumpulkan dengan studi literatur. Analisis perilaku dengan deskriptif dan ethogram, analisis vegetasi dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener untuk mengetahui Indek Nilai Penting (INP), luas wilayah jelajah dihitung dengan menggunakan Software Arc View 3.3.

Pada tahun 1920, Pemerintah Belanda mendirikan monumen alam yang disebut Purwo atau Jati Ikan. Monumen alam tersebut meliputi seluruh Semenanjung Sembulungan dan sebagian lahan yang berbatasan dengan Teluk Pangpang (Jati Ikan). Luas kawasan mencapai 42.000 ha. Tahun 1939, luas kawasan ditambah seluas 20.000 ha. Berdasarkan SK No. 3154 (HS/66/68) luas kawasan Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan menjadi 62.000 ha. Tahun 1992 Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berubah status menjadi taman nasional, dengan nama Taman Nasional Alas Purwo. Perubahan status ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 283/Kpts-II/1992, dengan luas kawasan 43.420 ha.

Pada hutan dataran rendah banteng menghabiskan waktu ± 6 jam yang berjumlah 18 ekor dengan aktivitas dominan yaitu istirahat. Terdapat kelompok banteng pada hutan tanaman yang menghabiskan waktunya seharian yang berjumlah 37 ekor dengan aktivitas dominan yaitu makan. Hutan pantai digunakan banteng hanya ± 15 menit yang jumlah 8 ekor dengan aktivitas dominan mengasin. Banteng berada di padang penggembalaan selama ± 7 jam yang berjumlah 32 ekor dengan aktivitas dominan makan.

(10)

Jumlah individu banteng yang dijumpai tidak berhubungan dengan tipe vegetasi (X2 = 13,45 < X20.05 = 21,03), tetapi jenis aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan tipe vegetasi (X2 = 66,096 > X20.05 = 28,869). Hasil uji Chi-Kuadrat antara jumlah individu dengan jenis aktivitas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan antara jumlah individu dengan aktivitas banteng (X2 = 46,933 > X20.05 = 36,415). Luas wilayah jelajah banteng yaitu 3,37 km2 dengan luas masing-masing pada hutan dataran rendah 0,96 km, hutan tanaman 2,22 km2, hutan pantai 0,04 km2, dan padang penggembalaan 0,15 km2 dengan jarak yang ditempuh ± 21,1 km.

Pada hutan dataran rendah banteng menghabiskan waktu ± 6 jam yang berjumlah 18 ekor dengan aktivitas dominan yaitu istirahat. Terdapat kelompok banteng pada hutan tanaman yang menghabiskan waktunya seharian yang berjumlah 37 ekor dengan aktivitas dominan yaitu makan. Hutan pantai digunakan banteng hanya ± 15 menit yang jumlah 8 ekor dengan aktivitas dominan mengasin. Banteng berada di padang penggembalaan selama ± 7 jam yang berjumlah 32 ekor dengan aktivitas dominan makan. Terdapatnya hubungan yang erat antara jenis aktivitas banteng dengan tipe vegetasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai X2 > X20.05 dengan hasil perhitungan yaitu 66, 096 > 28,869. Luas wilayah jelajah banteng yaitu 3,37 km2 dengan wilayah jelajah terluas pada hutan tanaman yaitu 2,22 km2 dan jarak yang ditempuh ± 21,1 km. Saran jalur yang dilalui banteng yang belum dikelola oleh TNAP seperti pada Sumber Gedang agar diusahakan menjadi bagian dari BTNAP. Peningkatan pengamanan atau meminimalisir pencurian bambu dan mengurangi aktivitas manusia di pantai. Perlunya dilakukan penelitian tentang pola penggunaan ruang dan penyebaran banteng dengan menggunakan SIG.

(11)

ANALISIS POLA PENGGUNAAN WAKTU Bos javanicus d’Alton, 1823 DI PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, JAWA TIMUR (2006)

Oleh : Dian Rahayu∗∗∗∗

Banteng merupakan satwaliar herbivora yang bersifat pernakan rumput (grazer) daripada pemakan semak (browzer). Menurut IUCN (2002) banteng sedang mengalarni penurunan populasi dengan status konservasi terancam punah, selain itu banteng merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang, oleh karena itu keberadaannya perlu dijaga dan dilestarikan. Satwa ini aktif sepanjang siang hari yaitu mulai pagi hingga petang hari dengan kemarnpuan adaptasi yang cepat terhadap lingkungan dan memiliki daya tarik tersendiri karena hidupnya yang bebas dan stuktur tubuh yang indah, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi sasaran para pemburu untuk mendapatkan daging, kulit, dan bagian-bagian lainnya yang dapat dimanfaatkan, sehingga ruang gerak satwa ini menjadi sangat sempit.

Di Indonesia saat ini penyebaran banteng hanya terbatas pada kawasan konservasi diantaranya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Taman Nasional Baluran (TNB), Cagar Alam Leuweung Sancang dan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP). Keberadaan banteng hanya masih bisa ditemukan di TNUK dan TNAP, sedangkan TNB dan Cagar Alam Leuweung Sancang sudah sangat sulit untuk menemukan secara langsung kawanan banteng.

Pengelolaan banteng yang berada di TNAP akan berhasil apabila pengelola memiliki pengetahuan mengenai pola perilakunya. Salah satu aspek perilaku satwa yaitu pola penggunaan waktu banteng berdasarkan kelas umur yang meliputi alokasi penggunaan waktu suatu aktivitas dan pola penyebaran aktivitas.

Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai alokasi pola penggunaan waktu oleh banteng berdasarkan kelas umur di TNAP, sehingga pengelolaan satwa khususnya banteng yang ada di TNAP menjadi lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa alokasi waktu (time budget) berbagai aktivitas untuk setiap kelas umur banteng dan menganalisa penyebaran aktivitas harian (ritme aktivitas) menurut waktu harian banteng. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data-data dasar bagi pengelola TNAP, khususnya di dalam pengelolaan banteng. Informasi mengenai ritme aktivitas dan time budget yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pariwisata, inventarisasi, perlindungan maupun pelestarian. Selain itu, informasi yang diperoleh diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai perilaku banteng.

Penelitian tentang analisis pola penggunaan waktu Bos javanicus d' Alton 1823 dilakukan di Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan selama 2 bulan yakni April sampai Mei 2006. Metode yang digunakan untuk penyebaran aktivitas dengan menggunakan metode scan sampling dengan interval 15 menit, pada masing-masing kelas umur dilakukan pengamatan selama 7 kali ulangan setiap bulan. Data alokasi waktu menggunakan metode focal animal sampling dengan interval 15 menit yang dilakukan dalam tiga periode pengamatan yaitu pagi hari pukul (05.00-09.00), siang hari pukul (09.00-14.00) dan sore hari pukul (14.00-17.00). Parameter yang diukur dan diamati adalah aktivitas makan, istirahat, berpindah, pengawasan dan interaksi sosial. Data yang diperoleh dianalisis melalui teknik penyajian deskriptif, grafik, dan kuantitatif dengan menggunakan Uji Chi-kuadrat untuk mengetahui hubungan alokasi waktu dan kelas umur.

Sebaran aktivitas dari bulan April sampai Mei, diperoleh hasil bahwa persentase aktif relatif bervariasi. Pada bulan April periode pagi hari persentase aktif terlihat mulai pukul

(12)

05.15, Lain halnya pada bulan Mei pada periode pagi hari terlihat persentase aktif pada awal pengamatan yaitu pukul 05.00. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan dimana pada bulan April masih terjadi musim hujan sedangkan pada bulan Mei sudah mengalami musim kemarau.

Sebaran aktivitas untuk semua kelas umur dari bulan ke bulan terlihat bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi saat pengamatan dengan pengamatan yang lain berbeda. Terlihat sangat jelas pada bulan april semua kelas individu pada periode pagi hari cenderung tidak aktif pada awal pengamatan sedangkan pada bulan Mei semua kelas umur menujukan persentase aktifnya mulai dari awal pengamatan. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa pada bulan April, banteng banyak memilih makan pada siang hari hal ini disebabkan pada bulan April masih terjadi musim hujan dan rumput masih basah dan individu yang terlihat pun sedikit karena cadangan makanan di luar Sadengan masih banyak, sedangkan pada bulan Mei semua kelas umur aktif dan aktivitas makan tertinggi terjadi pada siang dan sore hari. Individu yang ditemukan pada bulan Mei sangat tinggi, hal ini disebabkan musim hujan sudah berakhir dan kondisinya mulai kering sehingga cadangan makanan dan air diluar sadengan mulai berkurang sehingga banyak kelompok banteng masuk ke Sadengan.

Dari hasil pengamatan banteng selama 2 bulan April sampai Mei, dari bulan ke bulan sangat bervariasi, sama halnya dengan perilaku kerbau air di Taman Nasional Komodo, dengan demikian persentase individu aktif berfluktuasi menurut waktu, dimana pola keaktifan individu yang diamati cenderung polyphasic yang mana waktu aktif satwa lebih dari dua kali sehari yang biasanya dengan waktu istirahat. Hal ini sesuai dengan pendapat Preffer et al.1967 dalamAnwar (1997), bahwa satwa mamalia besar mempunyai pola aktivitas polyphasic dimana dalam sehari terdapat beberapa periode aktivitas yang tinggi, diselingi wakiu istirahat.

Alokasi waktu aktivitas harian dari bulan ke bulan pada setiap kelas individu berbeda secara nyata. Urutan alokasi waktu dari tiap bulannya untuk semua kelas umur yaitu pada bulan April dan Mei alokasi waktu terbesar untuk akiivitas makan. Alokasi waktu aktivitas makan pada bulan April dari terbesar sampai terendah yaitu betina dewasa 493.42 menit, jantan remaja 492.58 menit, jantan dewasa sebesar 486.9 menit anak 485.75 menit, dan betina remaja 475.51 menit, sedangkan pada bulan Mei alokasi waktu untuk aktivitas makan dari terbesar sampai terendah berturut-turut yaitu anak 476.43 menit, betina remaja 467.22 menit, betina dewasa 461.43, jantan remaja 442.97 menit, dan jantan dewasa 405.76 menit.

Berdasarkan Alokasi Uji Chi-kuadrat menunjukan bahwa x2 hitung pada bulan April dan lebih besar dari nilai x2 tabel. lni berarti status sosial pada bulan April dan Mei berpengaruh secara nyata terhadap alokasi penggunaan waktu aktivitas banteng baik pada periode pagi, siang, dan sore hari. Hal ini ditunjukan dengan adanya variasi penggunaan waktu aktivitas dari masing-masing individu berdasarkan status sosial pada semua periode pengamatan.

(13)

PENDUGAAN MODEL PERTUMBUHAN DAN SEBARAN SPASIAL POPULASI BANTENG DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR

(2006)

Oleh : Gugum Gumilar Paturohman∗∗∗∗

Banteng merupakan spesies terancam punah (endangered) terdaftar dalam red data book IUCN (2003). Keberadaan banteng di Taman Nasional Alas Purwo diduga sedang mengalami penurunan populasi akibat adanya perburuan dan degradasi habitat. Fenomena yang terjadi di Taman Nasional Alas Purwo adalah pergerakan banteng dari kawasan taman nasional ke luar kawasan. Kawasan luar taman nasional merupakan kawasan penyangga (buffer zone) yang dikelola Perum Perhutani sebagai kawasan perkebunan, pertanian, dan kawasan hutan produksi. Dengan diketahuinya pola pergerakan banteng oleh masyarakat di kawasan zona penyangga mengakibatkan tingginya perburuan banteng di kawasan tersebut.

Tujuan penelitian adalah untuk menentukan parameter demografi banteng yang meliputi ukuran populasi, sex ratio, struktur umur, natalitas dan mortalitas, menduga model pertumbuhan populasi banteng, dan menentukan bentuk sebaran spasial populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan tipe ekosistem. Penelitian dilakukan di SKW I Rowobendo dan SKW II Muncar, Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan metode transek jalur (strip transect). Panjang transek ± 2 km dan lebar ± 200 m dengan jarak antar jalur ± 1 km. Parameter yang dicatat adalah jumlah individu dan komposisi kelas umur. Analisis vegetasi dilakukan pada jalur yang sarna dengan jalur pengamatan dengan menggunakan metode garis berpetak. Analisis vegetasi pakan banteng dilakukan dengan menggunakan metode petak (quadrat sampling). Ukuran petak adalah 4 m2 dengan jumlah pengamatan sebanyak 10 petak. Penentuan petak awal secara acak selanjutnya petak diletakan secara sistematik dengan jarak antar petak adalah 10 m. Pendugaan produktivitas dan daya dukung dilakukan melalui kegiatan pemotongan rumput di padang penggembalaan sebanyak 10 petak contoh yang kemudian dilakukan penimbang berat segar rumput.

Ukuran populasi banteng di TNAP pada tingkat kepercayaan 95% berkisar antara 588 ± 152 ekor dengan kepadatan populasi sebesar 3,4 ekor/km2. Kepadatan banteng tertinggi terdapat di hutan tanaman dengan nilai sebesar 6,79 ekor/km2. Kepadatan populasi di setiap tipe ekosistem dipengaruhi oleh natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Ukuran kelompok rata-rata di hutan tanaman adalah 2,5 ekor/kelompok, di hutan tanaman 5 ekor/kelompok, di hutan pantai 4 ekor/kelompok. Ukuran kelompok di setiap tipe ekosistem dipengaruhi oleh faktor makanan dan faktor pemangsaan sebagai strategi pertahanan diri.

Struktur umur banteng di TNAP termasuk dalam keadaan populasi menurun dengan komposisi tertinggi pada kelas umur dewasa (80,77%) dan terendah individu anak (7,695). Banteng di TNAP memiliki perbandingan antara individu jantan dan betina sebesar 1 : 1,8 dengan perbandingan seks rasio reproduktif adalah 1 : 1,5. Angka kelahiran populasi banteng adalah 0,28 dengan fecundity 1 ekor untuk setiap tahunnya. Pendugaan angka kematian pada setiap kelas umur diperoleh dengan pendekatan peluang hidup setiap kelas umur, didapatkan angka kematian pada individu muda lebih besar daripada individu anak, yaitu sebesar 0,76. Hal tersebut diduga karena individu muda mulai memisahkan diri dengan kelompok sosialnya dan membentuk kelompok sosial yang baru.

Berdasarkan analisis uji chi square, pola penyebaran spasial populasi banteng di TNAP adalah mengelompok (λhit2 > λ20.025). Pola penyebaran di hutan dataran rendah dan hutan tanaman adalah acak (λ20.975 ≤ λhit ≤ λ20.025), sedangkan di ekosistem hutan pantai adalah mengelompok. Pola penyebaran di setiap tipe ekosistem dipengaruhi oleh faktor

(14)

sumberdaya (pakan, air, air garam) dan faktor pemangsaan.

Berdasarkan data parameter demografi (seks rasio, struktur umur, natalitas dan mortalitas) diduga pertumbuhan populasi banteng di TNAP adalah menurun. Apabila dilakukan perbaikan terhadap seks rasio yaitu dengan penambahan individu betina sebanyak ± 217 ekor, maka diduga model pertumbuhan populasi banteng di TNAP adalah Nt = 4772 . Dalam hal ini, nilai daya dukung habitat adalah 4772 ekor,

1 + 7,12.e-0,093.t

ukuran populasi awal adalah 588 ekor dan laju pertumbuhan adalah 0,093. Populasi mencapai daya dukung habitat pada tahun 2126.

(15)

DISTRIBUSI POPULASI BANTENG Bos javanicus DI HUTAN SEKITAR PADANG RUMPUT SADENGAN

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, BANYUWANGI (2003)

Oleh : Gunawarman∗∗∗∗

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui zonasi tipe hutan, distribusi populasi dan pemanfaatan oleh banteng Bos javanicus di hutan sekitar kawasan padang rumput Sadengan yang bermanfaat untuk mendukung usaha konservasinya. Pemetaan zonasi tipe hutan sekitar padang rumput Sadengan dilakukan dengan menentukan batas-batas tiap zona tipe hutan sekitar padang rumnput Sadengan. Titik-titik koordinat yang membatasi antar zona hutan tersebut dipetakan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Data yang diperoleh dan titik-titik koordinat tersebut kemudian menggunakan program ArcGIS 8.0 digabung dengan peta dasar padang rumput Sadengan tahun 2003. Dari hasil pemetaan ini akan diperoleh peta dasar yang memberikan informasi zonasi hutan di sekitar padang rumput Sadengan. Pengamatan terhadap banteng Bos javanicus dilaksanakan pada musim kemarau dengan secara langsung dan tidak langsung melalui penjelajahan (cruising methode) mengelilingi sepanjang hutan sekitar padang rumput Sadengan selebar ± 30 m di luar tepi padang rumpnt Sadengan. Pengamatan distribusi populasi banteng Bos javanicus secara langsung dilakukan menggunakan teropong binokuler didasarkan dari adanya perjumpaan dengan banteng Bos javanicus di lokasi pengamatan dan secara tidak langsung didasarkan dari distribusi jejak dan fesesnya. Hasil pengamatan yang diperoleh dipetakan lokasinya dengan menggunakan GPS. Data hasil pemetaan kemudian diolah dengan software ArcGIS 8.0 sehingga diperoleh peta untuk setiap layer spasial data. Pengamatan jenis-jenis pemanfaatan oleh banteng Bos javancus secara langsung didasarkan dari adanya aktivitas banteng Bos javanicus yang dijumpai memanfaatkan lokasi pengamatan dan secara tidak langsung didasarkan dari tanda-tanda alam yang diakibatkan karena aktivitasnya. Dari hasil pemetaan hutan sekitar padang rumput Sadengan diperoleh dua tipe hutan, yaitu hutan bambu (lokasi I dan III) dan hutan heterogen (lokasi II dan IV). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa banteng Bos javanicus terdapat di lokasi I, III, dan IV. Lokasi-lokasi ini dimanfaatkan sebagai penyedia pakan, minum, dan pelindung wilayah peristirahatannya. Banteng Bos javanicus tidak terdapat di lokasi II diduga karena vegetasi-vegetasi yang banyak dijumpai di lokasi ini bukan merupakan jenis-jenis yang bisa dimanfaatkan oleh banteng Bos javanicus. Selain itu, kondisi tanah dan sungai-sungai yang terdapat di lokasi ini terjal dan berlumpur, sehingga kurang mendukung pergerakan banteng Bos javanicus dalam aktivitas hariannya.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis pakan yang diujicobakan terdiri dari daun sirsak sebagai tanaman utama, daun kaliki dan jarak pagar sebagai perlakuan terhadap banyaknya konsumsi pakan. Berdasarkan

Selain itu, ada beberapa jenis ikan yang mempunyai bentuk non-simetris bilateral, yang mana jika tubuh ikan tersebut dibelah secara melintang (cross  section )

OdreĊivanje lomne ţilavosti mjerenjem duljine pukotina prema Anstisu, Casellasu, Niihari ovisi o modulu elastiĉnosti materijala, tvrdoći, duljini pukotina i

Menurut Muhammad al Bahl seperti dikutip Muhammad Quraish Shihab dijelaskan bahwa apabila suatu kekuasaan dalam periode kepemimpinan yang bermewah-mewahan, zalim, dan tidak

purchase intention konsumen pada produk santan bubuk sasa serta variabel manakah yang lebih dominan dalam mempengaruhi minat beli konsumen..

Secara rinci kemampuan berpikir abstrak tersebut memiliki indikator yaitu: (1) kemampuan siswa dalam berpikir seksama sejumlah variabel yang berbeda dalam waktu yang sama,

Pengumpulan data dilakukan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Penelitian ini memiliki dua fokus utama yang menunjang dalam penelitian ini, pertama fokus

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 2008, konsentrasi oksigen terlarut secara umum cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya