• Tidak ada hasil yang ditemukan

L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE)

DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN

JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM

NANEH MULYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ” Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Naneh Mulyani

(3)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor

(4)

NANEH MULYANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(5)

Judul : Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium.

Nama : Naneh Mulyani NRP : G 351060311 Program Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(6)

karunia serta ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di Laboratorium” ini dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. H. Ramlin S, MM selaku Kepala Madrasah MAN Cikarang atas dukungan dan kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini.

Penelitian ini didanai oleh Departemen Agama RI yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk itu penulis mengucapkan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Suami, Ibu dan Adik-adik atas do’a, perhatian dan dukungan yang diberikan. Demikian juga kepada teman-teman dan pengelola Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB IPB atas kerjasamanya selama penelitian ini dilaksanakan. Semoga tesis ini memberi manfaat.

Bogor, Agustus 2008 Naneh Mulyani

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 16 Mei 1968 dari Ayah Moh. Senan (Alm) dan ibu Chaeroni. Penulis merupakan anak pertama dari 7 bersaudara.

Tahun 1994 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada Universitas Negeri Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, mulai tahun 1995 hingga tahun 2006. Pada tahun 2007 hingga sekarang, penulis mengajar pada Madrasah Tsanawiyah Negeri Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat.

Pada bulan Juli 2006 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil Program Studi Biologi, Subprogram Ekologi pada Sekolah Pascasarjana IPB.

(8)

Laboratorium. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan DEDE SETIADI.

Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan A. atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan. Keistimewaan ulat sutera ini adalah sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri. Disamping itu benang suteranya tebal tetapi lembut dengan warna dan pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif.

Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin. Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Penggunaan pakan lain sebagai pengganti (alternatif) dicoba terhadap daun yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (J. curcas L.) dan daun kaliki (R. communis L.). Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera (sericulture). Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapakan para breeder dalam program breeding ulat sutera secara intensif.

Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi pakan larva yang menghasilkan daur hidup terpendek ngengat A. atlas. Sementara itu, kehilangan populasi A. atlas yang besar (50-55%) di alam terbuka terjadi karena serangan parasitoid dan predator. Untuk menghindarinya maka pemeliharaan ulat sutera ini dilakukan di dalam ruangan (Laboratorium).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen pada ngengat A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan. Di samping itu untuk mengetahui teknik pemeliharaan yang tepat di dalam kondisi ruangan sehingga dapat dihasilkan kokon dengan kualitas terbaik untuk aplikasi budidaya maupun untuk keperluan penelitian.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB.

Tahap persiapan penelitian yaitu penanaman pohon jarak pagar dan kaliki; desinfeksi ruangan dan peralatan; pengumpulan dan pemilihan kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) lalu ditempatkan dalam kandang. Selanjutnya imago jantan dan betina yang muncul dibiarkan melakukan kopulasi.

Tahap pelaksanaan penelitian diawali dengan analisa proksimat terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Uji proksimat dilaksanakan

(9)

di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB; selanjuutnya pengamatan imago yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya; lama hidup imago; fekunditas (keperidian), viabilitas, periode telur dan lama peletakan telur oleh imago; serta pemeliharaan larva.

Larva instar I-III dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas.

Parameter yang diamati terdiri dari: 1) Konsumsi pakan, 2) Pertumbuhan larva, 3) Daur hidup ngengat A. atlas, 4) Kualitas kokon, 5) Kualitas Filamen. Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral, selama satu jam.

Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin.

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan filamen, satu perlakuan diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB.

Berdasarkan kandungan nutrisinya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun jarak pagar karena pada daun tua memiliki kandungan air lebih rendah dari daun muda. Sebaliknya daun tua memiliki protein yang lebih tinggi dari daun muda. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera A. atlas untuk menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas.

Panjang, lebar dan rentang sayap imago berturut-turut dengan rataan (3.22±0.32), (2.53±0.33), (19052±0.93) cm pada jantan dan (4.25±0.42), (3.62±0.78), (20.1±1.07) cm pada betina. Lama hidup imago kawin dan tidak kawin berturut-turut dengan rataan (4.8±1.93), (7.7±1.42) hari pada jantan dan (5.6±1.84), (8.9±3.0) hari pada betina. Jumlah telur infertil dan fertil berturut-turut dengan rataan (192±81.59) dan (256±92.04) butir. Viabilitas dengan rataan 81.75±15.48 %. Periode telur dan lama peletakan telur dengan rataan (8.38±1.15) dan (3.5±1.18) hari.

Ulat besar mengkonsumsi pakan sekitar 96-98 % per ekor, sedangkan ulat kecil sekitar 2-4 % per ekor dari keseluruhan total pakan selama stadia larva. Larva yang diberi pakan daun jarak pagar paling banyak mengkonsumsi pakan, sedangkan konsumsi terendah pada larva yang diberi pakan daun kaliki. Total konsumsi untuk masing-masing pakan tersebut adalah pakan daun jarak pagar sebanyak 155.09±0.68 gram, daun sirsak sebanyak 83.1±7.89 g dan daun kaliki sebanyak 47.82±11.61 g.

Rataan bobot larva A. atlas pada akhir instar keenam berkisar antara 19.541-20.742 g. Sedangkan rataan panjang larva A. atlas pada akhir instar keenam

(10)

menunjukkan bahwa pertambahan bobot dan panjang larva tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan.

Rataan periode larva terpanjang dengan pakan daun sirsak (36.60±3.83 hari) dan terpendek pakan kaliki (32.10±4.35 hari). Lama periode pupa terpanjang dengan pakan daun sirsak (29.25±7.07 hari) dan terpendek pakan kaliki (24.45±4.88 hari). Dua stadia terlama yang dilalui oleh larva A. atlas untuk menyelesaikan satu kali daur hidupnya berturut-turut adalah periode larva (46-47%) dan periode pupa (35-37%). Sedangkan stadia tercepat adalah periode imago (6.2-6.4%). Daur hidup A. atlas berbeda nyata pada stadia larva, pupa dan keseluruhan daur hidupnya. Akan tetapi stadia imago tidak berbeda nyata pada ketiga macam perlakuan pakan

Penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon, bobot kokon dan bobot kulit kokon berbeda nyata. Sedangkan persentase kulit kokon tidak berbeda nyata. Sebagian besar bobot kokon adalah bobot pupa (80-83%), sedangkan floss hanya sebagian kecilnya saja. Panjang filamen kokon dan daya urai kokon berbeda nyata, sedangkan bobot filamen tidak berbeda nyata.

Selama pemeliharaan berlangsung, suhu dan kelembaban ruangan laboratorium berkisar antara 25-28ºC dan 46-80%. Kisaran suhu tersebut sesuai untuk pemeliharaan ulat dan pengokonan.

Daun jarak pagar dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk budidaya A. atlas. Daun jarak pagar memiliki kandungan air yang sesuai bagi pertumbuhan larva A. atlas. Kelas mutu kokon dan filamen berdasarkan rata-rata populasi dari jenis serangga: Berdasakan jenis serangga, kelas mutu kokon dan filamen adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Berdasarkan jenis pakan, kelas mutu kokon adalah ’C’ pada pakan daun sirsak dan ’D’ pada pakan daun kaliki dan jarak pagar. Sedangkan kelas mutu filamen adalah ’C’ pada ketiga jenis pakan.

Pakan larva berupa daun sirsak (pakan kontrol) unggul dalam kualitas kokon dan filamen, daun kaliki unggul dalam daur hidup yang singkat dan daun jarak pagar unggul dalam konsumsi pakan larva.

Berdasarkan mutu kokon dan filamen yang dihasilkan, maka pakan yang paling baik diberikan pada larva A. atlas adalah pakan kontrol (daun sirsak). Pemeliharaan dalam ruangan menguntungkan pada saat pemeliharaan ulat karena terhindar dari musuh alami serangga A. atlas.

Perlunya domestikasi secara terus-menerus (breeding) agar diperoleh galur yang benar-benar murni dengan tujuan mendapatkan fitness yang baik dan pada akhirnya kualitas kokon dan filamen yang baik. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui suhu dan kelembaban ruangan yang sesuai pada pemeliharaan dalam ruangan. Sebaiknya ruangan untuk pemeliharaan ulat kecil dipisahkan dengan ulat besar.

(11)

ABSTRACT

NANEH MULYANI. Biology of Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) feeding by castor (Ricinus communis L.) and purging nut (Jatropha curcas L.) leaves in Laboratory. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and DEDE SETIADI.

The wild silk moth A. atlas L. is being tried for sericulture in Indonesia. The objectives of this research to find out the feeding consumption, the larvae growth, life-cycle, cocoon and filament quality in A. atlas which is raised inside a room. This research was conducted from March 2007 to May 2008. The research comprises two steps: First, analytical proximate castor (R. communis L.) and purging nut (J. curcas L.) leaves; second, silk moth treatment which is done in the laboratory of Molecular Biology PPSHB IPB. The elements used in this research were: cocoon A. atlas and three types of leaves, which are, sirsak (A. muricata L.), castor and purging nut. The research uses Completely Randomize Design. The data resulted is analyzed by Analyze of Variance proceeded by Duncan Tes. The analyzed parameter is feeding consumption, life-cycle, larvae growth, cocoon and filament quality. The total largest food consumption on the larvae feeding on purging nut leaves is 155.09±0.68 g. The increase of larvae’s length and weight is not really present. The shortest life-cycle happen in larvae feeding on castor (60.80±8.37 days). The highest floss and weight decreasing along the cocoon process happens on larvae feeding on castor (66.22±5.85 %) and purging nut (64.53±4.18 %) leaves. The highest cocoon (9.46±1.70 g) and cocoon skin (1.74±0.79 g) weight are on larvae feeding on sirsak leaves. The percentage of cocoon silk does not differ much. The highest cocoon filament length is on the larvae feeding on sirsak leaves (146.84±138.83 m). The cocoon filament weight does not significantly different much. The lowest cocoon distangling capacity is on larvae feeding on castor leaves (12.20±6.65 %). Sirsak leaves feeding on the larvae is superior in filament and cocoon quality, castor leaves feeding on larvae is superior in the fastest life-cycle, and purging nut feeding on the larvae is superior in the largest feeding consumption.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 Hipotesis ... 4 Kerangka Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi A. atlas L. ... 6 Klasifikasi ... 6 Morfologi ... 6 Siklus Hidup ... 8 Pertumbuhan Larva ... 10 Ekologi A. atlas L. ... 11 Sebaran ... 11

Lingkungan dan Habitat ... 11

Tanaman Inang ... 11

Faktor Penekan Pertumbuhan ... 12

Kualitas Kokon ... 13

Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ... 13

Bobot Kokon Segar ... 13

Bobot Kulit Kokon ... 14

Persentase Kulit Kokon ... 14

Kualitas Filamen ... 14

Panjang Filamen ... 14

Bobot Filamen ... 15

Daya Urai Kokon ... 15

Tanaman Pakan Alternatif ... 15

Jumlah Daun Banyak ... 15

Kandungan Gizi Baik ... 16

Tanaman Mudah Dibudidayakan dan Dikembangkan ... 16

Sesuai Bagi Larva ... 16

Contoh Tanaman Pakan Alternatif ... 17

Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.) ... 17

Kaliki (Ricinus communis Linn.) ... 18

(13)

ii

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Cara Kerja ... 21

Persiapan ... 21

Pelaksanaan Penelitian ... 22

Rancangan Percobaan ... 25

HASIL Analisis Daun Kaliki dan Jarak Pagar ... 28

Konsumsi Pakan Larva ... 29

Pertumbuhan Larva ... 31

Daur Hidup ... 35

Telur ... 38

Karakteristik Morfologi Imago ... 40

Lama Hidup Imago ... 40

Kualitas Kokon ... 41

Kualitas Filamen ... 42

Suhu dan Kelembaban Ruangan ... 43

PEMBAHASAN Kualitas Daun ... 45

Daur Hidup A. atlas ... 46

Stadia Larva ... 46

Stadia Pupa ... 49

Stadia Imago ... 51

Stadia Telur ... 53

Kualitas Kokon A. atlas ... 54

Penurunan Bobot Tubuh selama Proses Mengokon ... 55

Bobot Kokon Segar ... 56

Bobot Kulit Kokon ... 56

Persentase Kulit Kokon ... 57

Kualitas Filamen A. atlas ... 58

Panjang Filamen ... 59

Bobot Filamen ... 60

Daya Urai Kokon (Reelability) ... 60

Suhu dan Kelembaban Ruangan ... 63

Budidaya dalam Ruangan ... 64

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 65

Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben

pada kondisi laboratorium ... 10

2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori ... 13

3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan ... 25

4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva ... 26

5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen ... 26

6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) ... 26

7 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun muda ... 28

8 Hasil analisis proksimat tiga jenis pakan daun tua ... 28

9 Persentase rataan konsumsi pakan per ekor larva A. atlas ... 29

10 Hasil uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ... 30

11 Pertambahan bobot dan panjang larva pada tiap akhir instar dibandingkan dengan awal instar I ... 33

12 Hasil uji Anova pertambahan bobot dan panjang larva A. atlas ... 34

13 Hasil uji Anova bobot larva A. atlas tiap akhir instar ... 35

14 Kisaran daur hidup A. atlas ... 35

15 Hasil uji Anova daur hidup larva A. atlas ... 36

16 Persentase rataan daur hidup A. atlas ... 36

17 Hasil uji Anova daur hidup tiap instar larva A. atlas ... 38

18 Jumlah telur fertil dan infertil serta persentase menetas pada telur ngengat A. atlas ... 39

19 Periode telur dan lama peletakan telur pada A. atlas ... 39

20 Ukuran abdomen dan sayap imago A. atlas ... 40

21 Lama hidup imago A. atlas ... 41

22 Hasil uji Anova kualitas kokon A. atlas ... 41

23 Komposisi kokon pada ulat sutera A. atlas ... 42

24 Klasifikasi kokon berdasarkan jenis serangga dan jenis pakan ... 42

25 Hasil uji Anova kualitas filamen A. atlas ... 43

(15)

iv

27 Klasifikasi kokon A. atlas ... 57 28 Klasifikasi filamen A. atlas ... 61

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera ... 1

2 Telur A. atlas ... 7

3 Organ seksual dari pupa B. mori ... 8

4 Daur hidup A. atlas ... 9

5 Pohon Jarak pagar (J. curcas) ... 17

6 Pohon Kaliki (R. communis) ... 19

7 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat kecil pada ketiga jenis pakan ... 29

8 Grafik rataan konsumsi pakan setiap instar ulat bsar pada ketiga jenis Pakan ... 30

9 Grafik rataan bobot larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar ... 32

10 Grafik rataan bobot larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar ... 32

11 Grafik rataan panjang larva (ulat kecil) pada awal (A) dan akhir (B) instar ... 32

12 Grafik rataan panjang larva (ulat besar) pada awal (A) dan akhir (B) instar ... 33

13 Daur hidup A. atlas dengan pakan daun jarak pagar ... 37

14 Telur A. atlas fertil dan infertil ... 39

15 Peletakan telur A. atlas dalam kandang ... 40

16 Grafik rataan suhu harian (minimum-maksimum) di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) ... 44

17 Grafik rataan kelembaban di dalam ruangan Laboratorium PPSHB IPB (Tahun 2007) ... 44

18 Imago A. atlas jantan dan betina ... 51

(17)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta penyebaran A. atlas (Peigler 19889) ... 72

2 Tanaman inang larva A. atlas ... 72

3 Hasil analisa proksimat ... 73

4 Kehilangan air pada daun yang disobek (dalam cawan petri) ... 74

5 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang tertutup) ... 74

6 Kehilangan air pada daun utuh (dalam toples yang terbuka) ... 74

7 Uji Anova konsumsi pakan larva A. atlas ... 75

8 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat kecil) ... 82

9 Uji Anova konsumsi pakan A. atlas (ulat besar) ... 83

10 Bobot larva A. atlas awal dan akhir instar ... 84

11 Pertambahan bobot larva A. atlas terhadap bobot larva baru ditetaskan .. 84

12 Uji Anova pertambahan bobot larva A. atlas ... 85

13 Bobot larva A. atlas pada tiap akhir instar ... 93

14 Panjang larva A. atlas awal dan akhir instar ... 99

15 Pertambahan panjang larva A. atlas terhadap panjang larva baru ditetaskan ... 99

16 Uji Anova pertambahan panjang larva A. atlas ... 100

17 Uji Anova daur hidup A. atlas ... 107

18 Jumlah telur fertil, menetas dan prosentase menetas pada A. atlas ... 116

19 Periode telur A. atlas ... 116

20 Lama peletakan telur dan penetasan A. atlas ... 116

21 Ukuran abdomen dan sayap imago A. Atlas ... 117

22 Hasil uji t panjang abdomen A. Atlas ... 117

23 Hasil uji t lebar abdomen A. Atlas ... 117

24 Hasil uji t rentang sayap A. Atlas ... 118

25 Lama hidup imago jantan dan betina A. atlas ... 118

26 Hasil uji t umur kawin A. atlas ... 118

27 Hasil uji t umur tidak kawin A. atlas ... 118

28 Uji Anova kualitas kokon A. atlas ... 119

(18)

30 Kisaran suhu dan kelembaban ruangan laboratorium Biologi

Molekuler PPSHB IPB (2007) ... 127 31 Alat-alat dalam penelitian ... 127

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, beberapa jenis ulat sutera liar seperti Cricula trifenestrata, Antheraea rossieri dan Attacus atlas sedang dicoba untuk dibudidayakan (Atmosoedarjo et al. 2000). Pengembangan ulat sutera liar baru terbatas di sejumlah daerah antara lain Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Purwakarta dan Garut. Ngengat-ngengat penghasil sutera dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Atmosoedarjo et al. 2000

Gambar 1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera.

Sutera liar memiliki struktur serat kokon dan kelenjar sutera yang berbeda dengan sutera alam atau sutera murbei (Bombyx mori). Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron menunjukkan bahwa cairan sutera dan kelenjar suteranya mengandung banyak vakuola dan pada serat kokonnya banyak ditemukan saluran-saluran halus (Akai 1997). Oleh karena itu, sutera yang dihasilkan lebih lembut, lebih sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas dan anti bakteri.

Dari hasil pengamatan di lapangan (CIFOR/Central from International Forestry Research – Bogor) tahun 2006, banyak ditemukan A. atlas pada tanaman sirsak (Annona muricata L.). Di daerah Purwakarta, A. atlas banyak ditemukan

(20)

pada tanaman teh dan kokonnya dapat dipintal menjadi benang sutera yang tebal tetapi lembut dengan warna serta pola yang alami. Hal ini menjadikan sutera A. atlas sebagai bahan tekstil yang eksklusif.

Ngengat A. atlas bersifat polifag dan polivoltin (Peigler 1989). Keunggulan kisaran pakan yang luas merupakan aspek lain yang menguntungkan dalam serikultur. Sedangkan strain ulat sutera polivoltin menguntungkan karena berproduksi lebih dari sekali dalam setahunnya sehingga produksi serat suteranya lebih banyak. Hal ini tentunya menguntungkan bagi budidaya ulat sutera. Karena itu, pemeliharaan sumber genetik ulat sutera polivoltin menjadi prioritas untuk memenuhi tujuan yang diharapkan para breeder dalam pemanfaatan secara cepat atau jangka pendek, serta dalam jangka panjang pada program breeding ulat sutera secara intensif (Rao et al. 2006).

Pemanfaatan ulat sutera A. atlas dari alam (pengumpulan kokon dari berbagai tanaman) telah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta dan di Purwakarta. Namun usaha ini memiliki kendala yaitu keberlangsungannya (kontinuitasnya) terbatas karena kokon dari alam tidak tersedia sepanjang tahun. Ada beberapa usaha yang telah dilakukan langsung di alam, namun terdapat kehilangan populasi yang besar (50-55%) dari larva instar awal karena serangan parasitoid dan predator (Ojha et al. 1974). Beberapa penelitian mengenai budidaya A. atlas di dalam ruangan menggunakan pakan buatan dan berbagai pakan alami seperti daun keben (Baringtonia asiatica) (Partaya 2003; Rachman 2001; Wuliandari 2000) dan daun dadap (Erythrina lithosperma) (Zebua et al. 1997; Situmorang 1996) juga telah dilakukan. Namun demikian belum pernah dicoba budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang jumlahnya melimpah seperti daun jarak pagar (Jatropha curcas L.) dan daun kaliki (Ricinus communis L.).

Keterbatasan perkembangan populasi serangga secara umum di alam menurut Triplehorn & Johnson (2005) ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya konsumsi makanan yang berpengaruh terhadap perbedaan lama siklus hidup suatu jenis serangga pada berbagai tanaman inang. Daur hidup A. atlas pada tanaman dadap (Erythrina lithosperma Miq), yaitu sejak menetasnya telur hingga membentuk imago berlangsung rata-rata 61.99 (±14.78) hari dengan kisaran

(21)

40-3

101 hari untuk betina dan 61.5 (±15.12) hari dengan kisaran 36-105 hari untuk jantan (Zebua et al. 1997), sedangkan pada tanaman kaliki dan jarak pagar belum banyak diketahui sehingga perlu diteliti.

Keunikan lain larva A. atlas adalah dapat memakan daun tua meskipun dalam periode instar muda. Hal ini menjadi alasan lain yang menguntungkan bagi budidaya ulat sutera A. atlas karena dapat menghindari terjadinya penurunan produksi biji jarak pagar dan biji kaliki apabila daunnya digunakan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Di samping itu, sejalan dengan program pemerintah mengenai biodiesel (biji jarak pagar) dan pelumas (biji kaliki) memberikan ketersediaan daunnya yang melimpah. Selain dapat dipanen bijinya untuk sumber energi alternatif (biji jarak pagar) serta pelumas (biji kaliki), maka tanaman ini dapat pula dimanfaatkan sebagai pakan bagi larva A. atlas. Dengan demikian petani jarak pagar dan kaliki akan mendapatkan tambahan penghasilan yang sangat berarti bagi kehidupannya (income bertambah) dari hasil sutera A. atlas.

Aspek biologi dari ulat sutera liar A. atlas sangat luas. Akan tetapi, penelitian ini dibatasi hanya pada pengamatan terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva, daur hidup, kualitas kokon dan filamen.

Rumusan Masalah

Jenis pakan yang diujicobakan terdiri dari daun sirsak sebagai tanaman utama, daun kaliki dan jarak pagar sebagai perlakuan terhadap banyaknya konsumsi pakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap banyaknya konsumsi pakan larva A. atlas?

b) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan larva A. atlas ?

c) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap daur hidup A. atlas? d) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas kokon A.

atlas?

e) Bagaimana pengaruh pakan yang berbeda terhadap kualitas filamen A. atlas?

(22)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Memilih jenis pakan yang paling sesuai bagi produksi ulat sutera A. atlas. 2. Mengetahui konsumsi pakan larva, pertumbuhan larva, daur hidup,

kualitas kokon dan filamen pada A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan laboratorium.

Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Meningkatkan pendapatan bagi petani penanam jarak pagar dan kaliki yang bijinya digunakan sebagai biodiesel (jarak pagar) dan pelumas (kaliki) sedangkan daunnya untuk pakan ulat sutera.

2. Meningkatkan devisa negara dari bidang budidaya ulat sutera.

Hipotesis

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0: Perlakuan pemberian jenis pakan tidak berpengaruh terhadap

parameter yang diamati.

H1 : Perlakuan pemberian jenis pakan berpengaruh terhadap parameter

(23)

5

Kerangka Penelitian

Perkembangan A. atlas di alam mengalami kehilangan populasi yang besar, karena:

- Musuh alami (predator & parasitoid) - Iklim

Budidaya di dalam ruangan

Pakan: - Pakan alami - Sumber bibit: - Breeding - Metode penetasan Kondisi lingkungan optimum: - Kelembaban udara - Suhu

Teknik pemeliharaan yang tepat

- Kontinuitas produksi - Siklus hidup yang pendek - Keberhasilan hidup yang tinggi - Kualitas benang yang baik Pakan alternatif

(24)

Klasifikasi

A. atlas digolongkan sebagai ngengat. Beberapa karakteristik seekor ngengat adalah sebagai berikut: sayap ngengat di saat istirahat berada dalam posisi horisontal terhadap tubuh, ngengat biasanya aktif pada malam hari, antena seekor ngengat tidak menggada, umumnya ngengat memiliki pupa yang dilindungi oleh kokon, serta ngengat tidak makan di saat fase dewasa. Sistematika ngengat A. atlas menurut Triplehorn & Johnson (2005) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthopoda Sub Filum : Atelocerata Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Sub Ordo : Ditrysia Super Famili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub Famili : Saturniinae Genus : Attacus (Linnaeus) Spesies : A. atlas (Linnaeus)

Morfologi

Imago A. atlas berukuran besar, mempunyai warna dasar sayap orange tua atau coklat. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan ukuran tubuhnya. Tubuh hewan jantan lebih kecil daripada yang betina dan warna lebih coklat kekuningan. Panjang sayap terentang hewan jantan 15-22 cm dan yang betina 16.5-24 cm (Situmorang 1996).

Antena jantan lebih besar daripada yang betina dan warnanya coklat kekuningan. Panjang antena imago jantan adalah 20 mm dan lebar 9 mm, sedangkan yang betina panjangnya 20 mm dan lebar 4 mm (Peigler 1989). Seekor ngengat betina menarik perhatian ngengat jantan dengan melepaskan feromon yang dikeluarkan dari bagian ujung abdomennya. Fungsi antena pada yang jantan untuk mengenali feromon sebagai isyarat kimia yang ditebarkan oleh imago

(25)

7

betina. Imago jantan mampu mendeteksi feromon dari jarak sekitar 1 mil (1.6 km), selanjutnya pejantan tersebut menghampiri untuk kemudian melakukan kopulasi (Passoa 1999).

Telur A. atlas menempel pada substrat dengan perekat (berupa gum) yang disekresikan oleh kelenjar betina (Passoa 1999). Suhu dan faktor genetik dari induknya menjadi kunci untuk menentukan lamanya waktu inkubasi telur. Rata-rata waktu inkubasi berlangsung selama 7 hingga 14 hari, meskipun pada beberapa spesies diperlukan waktu yang lebih lama yaitu hingga mencapai empat minggu (Passoa 1999). Bentuk telur bulat pipih, dengan lebar sekitar 2.3 mm, panjang 2.7 mm dan tebal 2.1 mm (Peigler 1989) (Gambar 2). Telur-telur itu saat dikeluarkan dari induk betina diletakkan secara berjajar/berbaris, berkelompok atau melingkar pada daun-daun atau cabang-cabang dari tanaman yang menjadi pakan dari serangga tersebut (Passoa 1999).

Menurut Chen (2003b), jumlah telur yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh ngengat betina digunakan sebagai indeks fekunditas, sedangkan rata-rata telur yang berhasil menetas (% penetasan) digunakan sebagai kriteria kualitas telur.

Gambar 2 Telur A. atlas (Foto: koleksi pribadi)

Larva yang baru menetas mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya dengan kepala hitam. Warna tubuh pada umumnya putih pucat kehijau-hijauan (Dammerman 1929). Larva instar I, II dan III seluruhnya berwarna putih kekuningan. Larva instar IV dengan kepala berwarna kuning kehijauan, sedangkan instar V dan VI dengan kepala berkilauan dan berwarna hijau kekuningan terang. Larva A. atlas ini dilengkapi skoli (mirip duri-duri sebagai tonjolan dari daging) dan tuberkel (struktur kutikula yang membentuk seta/rambut) yang menonjol. Pada setiap segmen toraks terdapat kaki beruas.

(26)

Proleg (kaki palsu) yang dilengkapi kait terdapat pada segmen abdomen ke-3 sampai ke-6 dan segmen abdomen ke-10. Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh kutikula, yang dibentuk oleh epidermis. Kutikula mengalami pengerasan, oleh sebab itu kutikula tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti pertumbuhan larva (Peigler 1989).

Pupa berwarna coklat kehitaman. Umumnya kokon berbentuk ovoid dengan serat sutera penggantung yang menempel pada tulang daun atau helai daun. Pada umumnya kokon tersembunyi di balik daun. Ukuran kokon bervariasi berkisar antara 5-9 cm, tidak termasuk tangkainya. Warna bervariasi antara orange sampai coklat tua, dan umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan luarnya kasar dan kadang keriput (Peigler 1989).

Jenis kelamin pada ngengat dapat dikenali melalui ciri-ciri karakter tertentu pada pupa (Passoa 1999). Pada pupa B. mori betina ada garis vertikal yang memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8, sedangkan alat kelaminnya nampak di segmen ke-9. Sedangkan pada pupa jantan alat kelaminnya hanya ada di segmen ke-9 (Gambar 3). Selain itu pupa betina biasanya berukuran lebih besar daripada pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000).

Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000) Gambar 3 Organ seksual pada pupa B. mori

Siklus Hidup

A. atlas adalah serangga holometabola, yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva (yang lazim disebut ”ulat”), pupa dan imago, yang lazim dikenal dengan istilah ”ngengat” (Triplehorn & Johnson 2005). Stadia telur pada ngengat A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larvanya satu bulan dan stadia pupanya berlangsung selama dua puluh lima hari (Dammerman 1929). Gambar 4 memperlihatkan daur hidup A. atlas.

(27)

9

Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun keben berkisar antara 25-38 hari dengan rataan 29.2 (±1.5) hari untuk betina dan 24-35 hari dengan rataan 27.5 (±1.7) hari untuk jantan. Antara larva jantan dan betina tidak dapat dibedakan. Keseluruhan stadium larva memerlukan waktu 30-50 hari. Sedangkan masa pupasi berlangsung sekitar 8-58 hari (Situmorang 1996). Tabel 1 menunjukkan lama periode perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium.

Telur Larva instar 3 Larva instar 4 Larva instar 5 Larva instar 6 Pupa Larva instar 1 Larva instar 2 Imago

Sumber: http://entweb.clemson.edu/museum/moth/exotic/moth1.htm. dan www.wormspit.com/Atlas

Gambar 4 Daur hidup A. atlas

Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva, maupun pupa. Diapause adalah tertundanya perkembangan yang muncul sebagai respon terhadap periode yang berulang secara teratur pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Chapman 1998). Diapause pupa ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penghentian differensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi (Beck 1980). Proses diapause (masa istirahat) atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler 1989).

(28)

Tabel 1 Lama stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben pada kondisi laboratorium

Tahap Perkembangan Betina Jantan Interval (hari) Rataan (hari) Interval (hari) Rataan (hari) Masa inkubasi* Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI

Total periode larva Periode Pupa* 5-11 2-5 3-6 3-6 3-6 4-8 5-9 25-38 8-58 6.9±0.1 2.7±0.1 3.7±0.9 3.9±0.9 4.4±0.8 6.3±1.2 7.1±1.2 28.2±1.5 5-11 2-6 3-6 3-6 3-6 4-8 5-9 24-35 8-58 6.9±1.8 2.7±0.1 3.6±0.9 3.8±0.9 4.2±0.8 6.1±1.2 7.0±1.2 27.0±1.7 Sumber: Situmorang (1996); *) Belum terdiferensiasi

Pertumbuhan Larva

Istilah pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan ukuran dan bobot ulat sutera (Veda et al. 1997). Serangga merupakan hewan yang memiliki rangka luar (eksoskeleton). Agar supaya ukuran tubuhnya menjadi lebih besar haruslah menanggalkan rangka luarnya dengan cara ganti kulit (ekdisis). Proses ganti kulit pada serangga diatur oleh dua hormon, satu dihasilkan oleh sel-sel neurosekretori dalam otak (hormon prothoracico tropic) dan lainnya oleh kelenjar prothoracic (ekdison). Tambahan lagi hormon juvenil (JH), yang disekresikan oleh corpora allata, di saat konsentrasinya tinggi, hormon ini menjamin bahwa larva tetap berkembang sesuai dengan kodratnya (stadia perkembangannya) (Nair et al. 2005; Miranda 2002; Gullan & Cranston 2000).

Berdasarkan hasil penelitian Chen (2003a), Konsentrasi tinggi NaF (Natrium Fluorida) pada perlakuan untuk menunda ganti kulit pada B. mori ternyata telah menghasilkan toksisitas yang serius pada larva dan secara dramatis menurunkan vitalitas dan viabilitas.

Berdasarkan hasil penelitian Miranda et al. (2002), hormon juvenil (JH) seperti yang dicobakan pada B. mori telah berfungsi sebagai pengatur tumbuh serangga sehingga penggunaannya dapat meningkatkan produksi sutera. Hormon juvenil ini bila diberikan sedikit dan tepat (sesuai dengan kebutuhannya) maka akan meningkatkan lamanya periode larva, sehingga jumlah makanan yang dikonsumsinya lebih banyak dan produksi suteranya juga akan meningkat. Sementara menurut Faruki (2005) vitamin B-kompleks, gula, protein, asam

(29)

11

amino, dan mineral penting tertentu, bertanggung jawab dalam pertumbuhan dan perkembangan yang tepat pada ulat sutera B. mori.

Di dalam laporan Miranda et al. (2002) juga dinyatakan bahwa setelah methoprene (sejenis JH) diberikan pada larva maka akan meningkatkan bobot larva. Hal ini sebagai efek fisiologis secara langsung akibat periode makan yang diperpanjang sehingga terjadi penambahan bobot larva. Cara pemberian hormon methoprene sebanyak 1 ng melalui penyemprotan atau pencelupan daun pakan sebelum diberikan kepada larva.

Ekologi A. atlas L. Sebaran

Attacus atlas merupakan spesies yang paling luas penyebarannya dari genus Attacus, dan merupakan satu dari saturniid yang paling luas penyebarannya di dunia, pada bentangan dari barat laut ke tenggara lebih dari 7000 km (Lampiran 1). Hasil pencatatan sebaran serangga ini yaitu di ujung daerah barat laut adalah di daerah Simla (India), sedangkan di ujung daerah timur laut adalah di daerah Okinawa (Jepang). Bagian utama dari bentangan penyebaran serangga ini meliputi seluruh dataran Asia Tenggara di benua Asia (mainland), Taiwan, Pulau Sunda Besar, Maluku dan Papua Nugini (Peigler 1989).

Lingkungan dan Habitat

Habitat, lingkungan atau ketetapan ekologi (ekotop) dalam sebuah organisme menggambarkan variabel bioma. Menurut Wolf, peta habitat penyebaran genus Attacus terdapat di lima tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, hutan hujan paratrofis, hutan gugur Microphyllous broad, hutan gugur Notophyllous broad dan hutan konifer campuran. Habitat untuk A. atlas bertambah luas karena sifat polifagus dari serangga tersebut dan melimpahnya tanaman pakan yang disukai oleh larva serangga ini. Oleh karena itu, ngengat A. atlas adalah spesies dalam genus Attacus yang paling eurytopic (dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan dengan rentangan geografik yang luas) (Peigler 1989).

Tanaman Inang

Pada lampiran 2 ditunjukkan bahwa larva A. atlas memakan 90 genus tanaman dari 48 familia (Peigler 1989). Menurut Kalshoven (1981) di Pulau Jawa terdapat 40 jenis tanaman inang yang menjadi makanan larva A. atlas,

(30)

diantaranya adalah teh, cinchona, dadap, mangga, jeruk, alpukat, dan lada. Di beberapa daerah seperti di Bogor, tanaman inang utama dari larva A. atlas adalah daun sirsak (A. muricata). Di daerah Purwakarta banyak ditemukan pada tanaman teh (Camellia sinensis), di daerah Yogyakarta dan Bantul banyak ditemukan pada tanaman keben (B. asiatica), sedangkan di Sumatera Barat ditemukan pada tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum).

Holloway (1987) mencatat bahwa beberapa genus lain berperan sebagai tanaman inang untuk A. atlas di Asia, yaitu Anacardium, Spondias (keduanya merupakan Anacardiaceae), Artabotrys (Annonaceae), Michelia (Magnoliaceae), Embelia (Myrsinaceae), dan Mussaenda (Rubiaceae).

A. atlas adalah serangga berukuran besar. Lepidoptera yang berukuran besar cenderung mempunyai kisaran tanaman pakan yang lebih luas. Di daerah tropis yang keanekaragaman tanamannya sangat melimpah, ngengat betina dewasa mempunyai banyak tanaman alternatif untuk meletakkan telurnya (Peigler 1989).

Faktor Penekan Pertumbuhan

Penekan pertumbuhan pada serangga A. atlas dapat berupa parasit dan predator. Parasit pada ngengat A. atlas dirangkum oleh Peigler (1989), sebagai berikut: Exorista sorbillans (Tachinidae) mematikan pupa, satu kokon inang dapat berisi 60 individu parasit. Beberapa spesies Chalcidoidea (Hymenoptera) seperti Anastasus colemani, Agiommatus attaci dan Tetrastichus parasit pada telur. Apanteles (Braconidae) parasit pada larva muda. Telur Enicospilus plicatus dan E. americanus (Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang dan memarasit inang tatkala inangnya dalam stadia kokon, sehingga hanya ada satu parasit per inang.

Beberapa predator larva A. atlas seperti tawon, belalang sembah, capung, semut, lalat, laba-laba, tikus, kadal dan cicak mengancam keberadaan populasi tersebut. Sementara itu, kokon A. atlas dimakan oleh tikus.

Memasuki stadia imago, predator berupa burung dan mamalia turut mengancam keberadaan populasi tersebut. Namun demikian karena ukuran ngengat A. atlas ini sangat besar maka predator tersebut akan mengurungkan niat untuk memangsa karena takut. Pola dan warna sayap dari A atlas bertindak sebagai bagian dari mekanisme pertahanan. Hal ini terlihat dari bentuk sayap depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Tingkah laku ngengat yang

(31)

13

terganggu, akan mengepakkan sayapnya ke bawah dan hal tersebut telah memberi kesan mirip kepala ular (Peigler 1989).

Kualitas Kokon

Penilaian kualitas kokon dilakukan secara kuantatif dan kualitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan menurut hasil pengamatan secara langsung seperti persentasi kokon cacat, warna kokon, dan penampilan kokon. Sedangkan penilaian kuantitatif dapat dilakukan melalui hasil pengamatan terhadap uji visual dan uji laboratorium. Uji visual (kualitas kokon) yaitu: penurunan bobot tubuh saat mengokon, bobot kokon, bobot kulit kokon dan persentase kulit kokon. Sedangkan uji laboratorium (kualitas filamen) yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon.

Penurunan Bobot Tubuh saat Mengokon

Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut ”cocoon floss” (serabut serat). Floss dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan (misalnya membuat rangkaian bunga) serta hasil seni lainnya seperti lukisan. Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau ”cocoon shell” (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen dan di dalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Pada ulat sutera B. mori, komposisi kokon seperti terlihat pada Tabel 2.

Persentase floss dan penurunan bobot tubuh saat mengokon pada B. mori yang diberi perlakuan alat pengokonan yang berbeda berkisar antara 45.75- 49.13% (Yuanita 2007).

Tabel 2 Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori Berat

Kokon segar Kokon kering

Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B

Berat nyata (g) Ratio (%) Berat nyata (g) Ratio (%) Berat nyata (g) Ratio (%) Berat nyata (g) Ratio (%) Kokon 2.0934 100.0 2.050 100.0 0.793 100.0 0.820 100.0 Kulit kokon 0.3620 17.3 0.410 20.0 0.362 45.7 0.410 50.0 Pupa 1.7190 82.1 1.626 79.3 0.419 52.8 0.396 48.3 Floss 0.0124 0.6 0.014 0.7 0.012 1.5 0.014 1.7

Ket. : A & B = Ras ulat sutera ; Floss = Lapisan luar kokon Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)

(32)

Bobot Kokon Segar

Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase metamorfosa (proses pembentukan pupa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon terdiri dari bobot kulit kokon dan bobot pupa. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dipandang dari segi reeling kokon (kemampuan filamen di urai dari kokon). Kokon berisi pupa betina biasanya lebih berat daripada kokon berisi pupa jantan (Atmosoedarjo et al. 2000). Hal ini terkait dengan ukuran ngengat betina yang lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan.

Bobot Kulit Kokon

Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Bobot kulit kokon, yaitu bobot kokon tanpa pupa. Jika bobot kulit kokon lebih besar, berarti banyak mengandung benang sehingga baik untuk bahan pemintalan karena benangnya lebih panjang dan lebih berat. Bobot kulit kokon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan (Atmosoedarjo et al. 2000).

Persentase Kulit Kokon

Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara bobot kulit kokon dan bobot kokon. Nilai ini erat hubungannya dengan persentase filamen kokon. Pada B. mori, persentase kulit kokon berkisar antara 18% sampai 22% (Atmosoedarjo et al. 2000).

Kualitas Filamen

Kualitas filamen didasarkan kepada uji laboratorium yaitu: bobot filamen, panjang filamen dan daya urai kokon. Dalam penentuan kelas kokon hanya diperlukan dua parameter saja yaitu panjang filamen dan daya urai kokon. Hal ini didasarkan atas standar kelas kokon internasional, yang hanya memperhitungkan dua parameter dalam penentuan kelas (Atmosoedarjo et al. 2000).

Panjang Filamen

Panjang filamen ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal. Penghitungan panjang filamen pada penelitian ini dilakukan dengan menggulung benang secara manual (dengan tangan) menggunakan kelos sebagai media

(33)

15

melilitkan benang sutera. Ukuran panjang benang dapat diketahui dari jumlah lilitan dikali dengan keliling kelos (2πr) tersebut atau mengukur langsung dengan meteran.

Bobot Filamen

Bobot filamen adalah bobot dari filamen yang diurai dari satu kokon tunggal. Bobotnya akan proporsional dengan bobot kulit kokon (kulit kokonnya lebih berat maka bobot filamennya juga akan tinggi). Pada sutera alam (B. mori), bobot filamennya berkisar antara 80-90% dari bobot kulit kokon (Atmosoedarjo et al. 2000). Dari data bobot filamen dan panjang filamen maka akan diketahui ukuran filamen (denier) yaitu bobot filamen (gr)/[panjang filamen (m) x 9000].

Daya Urai Kokon

Daya urai kokon (reelability) adalah kemudahan mengurai filamen sutera dari kokon. Daya urai kokon ditentukan oleh jumlah berapa kali putus filamen sutera tersebut selama kokon diurai. Hal tersebut merupakan karakteristik yang penting dalam proses pemintalan (reeling). Daya urai sangat tergantung pada varietas ulat sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan (Atmosoedarjo et al. 2000).

Tanaman Pakan Alternatif

Dalam pemeliharaan ulat sutera, pemilihan pakan yang baik perlu diperhatikan. Sebelum pakan diberikan pada larva, dilakukan pemilihan daun berkualitas sebagai pakan bagi larva A. atlas. Apabila kualitas pakan kurang baik yaitu sebagai akibat dari daun tidak sehat atau kekurangan hara tertentu maka ulat tidak mau makan. Menurut Chen (2003b) gejala fluorosis pada daun murbei dapat mempengaruhi akumulasi nutrisi pada larva B. mori. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah daun murbei yang dimakan oleh larva tersebut. Keadaan ini menjadi masalah serius pada serikultur karena dapat menurunkan produksi kokon. Kriteria tanaman inang alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan sutera liar, diantaranya: jumlah daun banyak, kandungan gizi baik, tanaman mudah dibudidayakan dan dikembangkan serta sesuai bagi larva.

Jumlah Daun Banyak

Dalam industri serikultur, ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan. Untuk menunjang keberhasilan usaha ini, harus

(34)

dipilih daun-daun yang ketersediaannya melimpah. Pohon-pohon perdu yang cepat tumbuh dan daunnya dapat segera dipanen menjadi prioritas utama untuk digunakan sebagai tanaman pakan alternatif.

Kandungan Gizi Baik

Tanaman yang daunnya digunakan sebagai pakan bagi ulat sutera, harus memiliki kandungan gizi yang baik (kualitas maupun kuantitasnya). Ulat sutera membutuhkan daun sebagai makanan terutama kandungan air dan protein yang tinggi. Air dalam daun sangat diperlukan oleh ulat sutera, karena ulat sutera tidak minum sehingga kebutuhan akan air didapat dari daun. Menurut Ekastuti (1999) kadar air minimal pada daun yang baik dijadikan pakan untuk larva B. mori adalah 65-85%. Daun murbei yang biasa dijadikan pakan ulat sutera B. mori mengandung kadar air berkisar antara 71.88-73.10% (Wageansyah 2007), sedangkan menurut Suriawiria (1966) kandungan airnya berkisar antara 66.3-78.25%. Kadar air daun ditentukan oleh varietas tanaman, lokasi tumbuh, cara budidaya dan pertumbuhan tanaman.

Sedangkan kadar protein yang baik bagi ulat sutera adalah 24-36%. Protein yang dibutuhkan oleh ulat sutera selain untuk pertumbuhan dan perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima 1978).

Tanaman Mudah Ditangani dan Dikembangkan

Faktor lain yang menjadi salah satu syarat untuk pemilihan pakan bagi ulat sutera adalah tanaman mudah ditangani dan dikembangkan. Untuk memenuhi syarat tersebut, sebaiknya dipilih tanaman-tanaman yang mudah tumbuh di berbagai kondisi tanah seperti tanah kering atau tandus. Mudahnya tanaman-tanaman tersebut untuk tumbuh dan berkembangbiak mendukung bagi usaha budidaya karena dapat beternak ulat sutera di banyak tempat. Tanaman pakan ulat yang baik, jika dipangkas haruslah daunnya cepat tumbuh kembali dan jumlahnya bertambah banyak.

Sesuai Bagi Larva

Sebelum larva yang baru menetas mulai makan, larva muda ini membutuhkan stimuli khusus. Hal tersebut dideteksi oleh kemoreseptor yang terdapat pada antena dan bagian mulut dari larva serangga (Common 1990).

(35)

17

Apabila pakan tersebut sesuai bagi larva, maka daun akan dimakan oleh ulat tersebut. Dalam hal ini, pakan yang sesuai bagi larva haruslah mengandung nutrisi lengkap karena hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera tersebut (Ahmad et al. 2006).

Contoh Tanaman Pakan Alternatif

Dalam usaha budidaya ulat sutera, pemilihan tanaman pakan bagi ulat sutera berdasarkan kriteria di atas sangat diperlukan. Hal ini akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi terutama dalam pengeluaran biaya dan tenaga. Beberapa contoh tanaman pakan alternatif yang kemungkinan dapat dikembangkan bagi pakan ulat sutera A. atlas adalah sebagai berikut:

Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.)

Sistematika tanaman jarak pagar (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Jatropha dan Spesies J. curcas. Tanaman ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah (Weiss 1971).

Gambar 5 Pohon Jarak Pagar (J. curcas)

Tanaman jarak pagar termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 5). Umur tanaman jarak pagar bisa mencapai 50 tahun (Nuralamsyah 2006). Tanaman

(36)

ini sesuai dibudidayakan di daerah tropika dan subtropika dengan ketinggian antara 0-800 m dari permukaan laut (dpl) dengan suhu optimum antara 20-26 ºC serta toleran terhadap kondisi kering, sehingga tanaman ini tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun (Soenardi 2000).

Jarak pagar (J. curcas) adalah tanaman yang saat ini tengah banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan tanaman yang secara agronomis dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering (curah hujan < 500 mm per tahun) maupun pada lahan dengan kesuburan rendah (lahan marginal dan lahan kritis). Hal tersebut disebabkan tanaman ini tahan terhadap stress air. Strategi dari tanaman ini agar mampu bertahan terhadap stres air pada musim kemarau yaitu dengan menggugurkan daunnya, tetapi akarnya tetap mampu menahan air. Oleh karena itu, J. curcas dapat digolongkan sebagai tanaman pionir, tanaman penahan erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin (Prihandana & Hendroko 2006).

Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak pagar di lahan kritis antara lain (1) menunjang usaha konservasi lahan, (2) memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meningkatkan penghasilan kepada petani, (3) memberikan solusi pengadaan minyak bakar (biofuel), dan (4) menyediakan pakan bagi budidaya ulat sutera liar.

Pohon jarak pagar berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 15-17 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah 23-45 helai. Sedangkan bobot rata-rata satu daun muda antara 3-4 gram dan daun tua antara 7-8 gram.

Dalam cara budidaya jarak pagar dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 3-4 bulan.

Kaliki (Ricinus communis Linn.)

Sistematika tanaman kaliki (Heyne 1987) termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo

(37)

19

Euphorbiales, Famili Euphorbiaceae, Genus Ricinus dan Spesies R. communis. Tanaman kaliki berasal dari Ethiopia (di Afrika) (Weiss 1971).

Tanaman kaliki termasuk dalam kelompok tanaman perdu (Gambar 6). Tanaman ini toleran terhadap kondisi kering dan tersebar pada areal bercurah hujan rendah antara 300-700 mm/tahun. Macam tanah tidak menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman kaliki. Pada tanah liat yang berat, kaliki dapat tumbuh baik sepanjang drainase dan aerasinya baik. Tetapi tanaman ini akan lebih sesuai pada tanah ringan, yaitu lempung berpasir dan tanah yang mempunyai aerasi yang baik. Tanaman ini juga ramah lingkungan dan dapat memperbaiki mikroklimat setempat (Soenardi 2000).

Daerah penyebaran pohon kaliki terletak antara 40° LU dan 40° LS, meskipun ada pula beberapa varietas hasil seleksi di Rusia dapat tumbuh dan berproduksi sampai 52° LU (Weiss 1971). Jarak kaliki berakar tunggang yang dalam dan akar samping yang melebar dengan akar rambut yang banyak. Hal ini menandakan bahwa tanaman ini tahan terhadap angin dan kekeringan.

Gambar 6 Pohon Kaliki (R. communis)

Pohon kaliki berumur satu tahun memiliki jumlah daun muda (empat lembar paling atas) per pohon berjumlah 21-33 helai dan jumlah daun tua (lembar kelima dan seterusnya) per pohon berjumlah 33-57 helai. Sedangkan bobot rata-rata satu daun muda antara 16-19 gram dan daun tua antara 38-54 gram.

Dalam cara budidaya kaliki dilakukan pemangkasan hingga beberapa kali, hal ini akan merangsang tumbuhnya pucuk-pucuk baru sehinggga dapat

(38)

memperbanyak panen biji. Sejak pemangkasan hingga tumbuh kembali daun yang dapat dipanen diperlukan waktu selama 2-3 bulan.

Budidaya Dalam Ruangan

Sutera A. atlas berpeluang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Namun demikian, perkembangan serangga ini di alam terkendala dengan serangan parasit yaitu sebesar 40-80% pada telur (Kalshoven 1981). Pada larva serangan parasit maupun predator mengurangi 50-55% populasi (Ojha et al. 1974). Oleh karena itu, pemeliharaan di dalam ruangan diharapkan dapat mengurangi kerugian ini serta produksi suteranya dapat ditingkatkan.

Selain itu ruangan dan alat-alat untuk pemeliharaan harus dijaga kebersihannya. Alat yang telah selesai digunakan dicuci bersih dan dikeringkan lalu didesinfeksi dengan menyemprotkan larutan formalin 4% dan larutan kaporit (komposisi larutannya adalah 5 gram kaporit dalam satu liter air). Demikian juga kotoran dan bangkai larva harus segera dibuang dan dibersihkan.

Faktor fisik lingkungan yaitu suhu dan kelembaban harus dikontrol dengan baik selama proses pemeliharaan. Menurut Samsijah & Kusumaputra (1978), suhu dan kelembaban ruangan selama pemeliharaan B. mori 25-26 ºC dengan kelembaban ±85% (untuk ulat kecil) dan 23-25 ºC dengan kelembaban 70-75% (untuk ulat besar). Menurut Veda et al. (1997) intensitas cahaya yang ideal untuk larva B. mori adalah sekitar 15-30 lux. Ulat sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi.

Kondisi iklim juga berpengaruh selama pengokonan. Ulat sutera B. mori yang sedang mengokon memerlukan suhu 23-25 ºC, kelembaban 60-75%, sirkulasi udara dengan kecepatan 0.2-1 m/s dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10-20 lux (Atmosoedarjo et al. 2000). Sedangkan menurut Kaomini & Andadari (2004) periode pada saat larva mengokon sampai selesai membuat kokon yaitu 70 jam (pada 23 ºC), 60 jam (pada 25 ºC) dan 50 jam (pada 28 ºC).

(39)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008. Penelitian ini meliputi tahapan analisa proksimat daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas) yang dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, serta tahapan pemeliharaan ulat yang dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kokon A. atlas dan tiga jenis daun yaitu, A. muricata (P1) sebagai kontrol, R. communis

(P2) dan J. curcas (P3) sebagai tanaman alternatif. Untuk pemeliharaan digunakan kaporit (5 gram/liter), alkohol 70%, formalin 4%, label, tissue, kapas dan kapur anti semut. Sedangkan untuk perebusan kulit kokon digunakan NaOH, teepol dan sabun netral.

Alat-alat yang digunakan antara lain: kandang ngengat, cawan petri, toples gelas, pisau, gunting, termometer, higrometer, timbangan digital AND HX-100 berskala 0.0001 gram, mistar, kelos dengan keliling (2πr) sebesar 5 cm, pemanas listrik, panci, dan pinset.

Cara Kerja Persiapan

a. Penanaman pohon jarak pagar dan kaliki. Keduanya ditanam melalui biji. Pemupukan pohon-pohon tersebut menggunakan pupuk kandang. Penyiangan terhadap gulma dilakukan seminggu sekali. Setelah tinggi pohon mencapai 1 meter, daun sudah dapat dipanen untuk pakan larva. Sedangkan tanaman sirsak telah tersedia di sekitar laboratorium.

b. Kokon dari lapang (sekitar kampus IPB darmaga) dikumpulkan dan diseleksi (dengan memilih kokon yang sehat yaitu tidak basah dan berbau). Kokon yang telah diseleksi ditempatkan pada kandang berukuran 60 x 60 x 60 cm3 dalam laboratorium PPSHB dengan luas ruangan 12 m2 dan dibiarkan sampai muncul imago. Jika muncul imago maka imago jantan dan imago betina setiap satu pasang dipindahkan ke dalam kandang berukuran 40 x 40 x 40 cm3 untuk

(40)

dibiarkan melakukan kopulasi. Setelah dekopulasi, telur yang diletakkan oleh imago betina dalam kandang tersebut dikumpulkan dan selanjutnya dipindahkan ke dalam cawan petri untuk ditetaskan.

c. Desinfeksi ruangan dan peralatan. Peralatan yang digunakan dan ruangan laboratorium untuk pemeliharaan dibersihkan menggunakan larutan desinfektan berupa campuran 5 gram kaporit/liter air dan larutan formalin 4%.

Pelaksanaan Penelitian

a. Analisa proksimat

Analisa proksimat dilakukan hanya terhadap daun kaliki (R. communis) dan jarak pagar (J. curcas). Pengujian analisa proksimat (Lampiran 3) dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.

b. Pengamatan morfologi imago

Imago diamati morfologinya yaitu panjang dan lebar abdomen serta rentang sayapnya. Pengukuran dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan sepuluh ekor imago betina sehingga total imago yang diamati sebanyak 20 ekor.

c. Pengamatan lama hidup imago

Pengamatan lama hidup imago dilakukan terhadap sepuluh ekor imago jantan dan betina. Imago yang diamati meliputi baik imago jantan dan betina yang melakukan kopulasi maupun yang tidak berkopulasi.

d. Pengamatan telur

Pengamatan fekunditas (keperidian) dilakukan terhadap sepuluh ekor imago betina yang dibuahi (fertil) maupun tidak dibuahi (infertil). Lama peletakan telur dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir terutama pada betina yang dibuahi. Selanjutnya pada telur yang dibuahi (fertil) dilakukan pengamatan jumlah telur yang menetas (viabilitas). Lama penetasan telur dihitung sejak penetasan telur hari pertama hingga hari terakhir. Lamanya waktu (periode) sejak telur diletakkan oleh imago betina hingga telur tersebut menetas dicatat sebagai “lamanya masa telur” atau “periode telur”.

(41)

23

e. Pemeliharaan larva

Larva yang digunakan dalam pemeliharaan ini berasal dari telur yang menetas dengan masa telurnya sama yaitu 8 hari. Hal ini dipilih dengan tujuan keseragaman dari awal daur hidupnya.

Larva yang dipakai dan dipilih secara acak adalah larva yang aktif dan sehat. Masing-masing perlakuan pakan diamati 20 ekor larva, sehingga diperlukan total untuk ketiga perlakuan tersebut adalah 60 ekor larva. Pemberian pakan dengan daun segar dilakukan tiga kali setiap hari yaitu jam 07.00, 13.00, dan 17.00 WIB. Sebelum daun diberikan pada larva, dilakukan dahulu pencucian dan perlakuan sterilisasi pada daun menggunakan alkohol teknis 70%.

Penimbangan pakan dilakukan sebelum dan sesudah pakan diberikan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan.

Larva instar I-III, dipelihara dalam cawan petri berdiameter 11 cm dengan tinggi 1.5 cm. Setiap cawan petri terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan menyobek daun muda dan meletakkan dalam cawan petri. Memasuki instar IV hingga mengokon, larva dipindahkan dalam toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm. Setiap toples terdiri dari 2 ekor larva. Cara pemberian pakan dengan memasukkan daun tua secara utuh disertai tangkai ke dalam toples gelas.

f. Parameter yang diamati (Atmosoedarjo et al. 2000) terdiri dari:

1. Konsumsi pakan. Banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor larva dihitung menggunakan rumus:

x = banyaknya pakan yang dikonsumsi per ekor (g) a = total pakan hari ke-i (i = 1, 2, 3, 4,...)

b = pakan sisa

c = pakan sisa dikali faktor koreksi*)

n = jumlah ulat yang berhasil hidup setiap akhir instar Ket: *) lampiran 4, 5 dan 6

2. Pertumbuhan larva. Hal ini diamati dengan mengukur bobot dan panjang larva pada setiap awal dan akhir setiap instar.

(42)

3. Daur hidup. Parameter ini diamati dengan mencatat waktu yang dibutuhkan oleh ngengat A. atlas mulai periode telur, larva, pupa hingga imago.

4. Kualitas kokon. Pengujiannya meliputi:

- Penurunan bobot kokon selama proses mengokon (g), yaitu bobot akhir instar VI dikurangi bobot kokon segar.

- Bobot kokon segar (g), yaitu bobot kokon tanpa floss (kulit + pupa). - Bobot kulit kokon (g), yaitu bobot kokon setelah pupa keluar dari

kokon.

- Persentase kulit kokon, yaitu perbandingan antara bobot kulit kokon dengan bobot kokon dikali 100%.

% Kulit kokon= Bobot kulit kokon Bobot kokon x 100% 5. Kualitas filamen. Pengujiannya meliputi:

Sebelum dilakukan pengambilan data kualitas filamen, terlebih dahulu kulit kokon diproses dengan cara direbus dalam campuran: 1 liter air + 2 gram soda kaustik (NaOH) + 2 cc teepol + 20 gram sabun netral,

selama satu jam (Awan 2007). Selanjutnya kokon-kokon tersebut dicuci secara bertahap dengan air panas, hangat dan dingin.

- Panjang filamen (m), yaitu ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal dengan tangan (secara manual).

- Bobot filamen (g), yaitu bobot filamen dari satu kokon tunggal.

- Daya urai kokon/Reelability (%), yaitu dihitung dari berapa jumlah kali putus filamen selama kokon tersebut diurai

g. Klasifikasi kualitas kokon dan filamen

Di Indonesia, belum ada standar untuk mengklasifikasikan kualitas kokon dan filamen sutera liar. Klasifikasi dibuat berdasarkan data keadaan kokon dan filamen dalam penelitian ini. Penghitungan dilakukan berdasarkan data rata-rata populasi dari jenis serangga (seluruh data) dan jenis pakan (data terbaik tiap parameter uji). Dengan mencari standar deviasi pada masing-masing parameter uji diperoleh rentangan klasifikasi dalam 4 tingkatan (A, B, C dan D).

(43)

25

Rancangan Percobaan

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan pakan yang berbeda (P1= daun sirsak; P2= daun kaliki, dan P3= daun jarak pagar). Untuk pengamatan konsumsi pakan, satu perlakuan diulang 3 kali. Pada pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva, satu perlakuan diulang 20 kali. Sedangkan pengamatan kualitas kokon dan kualitas filamen, satu perlakuan diulang 10 kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut dengan menggunakan program SAS dan MINITAB.

Model linier dalam percobaan ini adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2000):

Yij = µ + τi + εij

Dengan: i = 1,2,3. dan j = 1,2,3; j = 1,2,3, ... 20; j = 1,2,3, ... 10. Yij = Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke i

= µi - µ

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data dari setiap parameter yang diukur/diamati dapat dilihat pada Tabel 3, 4 dan 5. Sedangkan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 3 Tabulasi data pengamatan konsumsi pakan

Ulangan Perlakuan

Total Keseluruhan P1 P2 P3

1 Y11 Y21 Y31

2 Y12 Y22 Y32

3 Y13 Y23 Y33

Total

Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y

(44)

Tabel 4 Tabulasi data pengamatan pertumbuhan dan daur hidup larva

Ulangan Perlakuan

Total Keseluruhan P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 20 Y120 Y220 Y320 Total

Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y

Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.

Tabel 5 Tabulasi data pengamatan kualitas kokon dan filamen

Ulangan Perlakuan

Total Keseluruhan P1 P2 P3 1 Y11 Y21 Y31 2 Y12 Y22 Y32 3 Y13 Y23 Y33 … … … … 10 Y110 Y210 Y310 Total

Perlakuan (Y) Y1 Y2 Y3 Y

Ket.: P1 = A. muricata; P2 = R. communis; P3 = J. curcas.

Tabel 6 Struktur analisis sidik ragam (ANOVA) Sumber

Keragaman Derajat Bebas (db) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F Hitung Ulangan sama r1 = r2 = r3

Perlakuan t - 1 JKP KTP KTP/KTG

Galat t (r – 1) JKG KTG

Total Tr - 1 JKT

Ulangan tidak sama r1 ≠ r2≠ r3

Perlakuan t - 1 JKP KTP KTP/KTG

Galat ∑ (r1 - 1) JKG KTG

Total ∑ r1 - 1 JKT

Dari analisis sidik ragam di atas ada 3 hal yang dapat disimpulkan:

1. Perlakuan memberikan respon yang sama atau tidak dengan melihat nilai peluang pada tabel ANOVA, jika nilai peluang<α maka perlakuan memberikan respon yang berbeda.

2. Jika terdapat perbedaan, maka perlakuan yang sama atau berbeda dapat ditentukan dengan Uji Wilayah Duncan.

(45)

27

Nilai kritis Duncan dapat dihitung sebagai berikut:

y dbg p p r S R = α; ; r KTG Sy = /

Dimana r α;p;dbg nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua

perlakuan p dan derajat bebas galat sebesar dbg.

3. Perlakuan mana yang memberikan respon tertinggi dapat dilihat dari nilai rataan untuk setiap perlakuan atau kombinasi perlakuan.

Gambar

Gambar 1 Beberapa jenis ngengat yang membuat benang sutera.
Gambar 4 Daur hidup A. atlas
Tabel 1    Lama  stadium perkembangan A. atlas yang diberi pakan daun keben  pada kondisi laboratorium
Tabel 2    Komposisi kokon pada ulat sutera B. mori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan Tugas Akhir ini merupakan syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi di Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri

Dari keterangan informan ini tampak bahwa, kegiatan reses yang dilakukan anggota dewan Fraksi PDI Perjuangan benar-benar harus sesuai degan makna dan tujuan reses itu sendiri,

Dari hasil analisis dan pengujian terhadap Sistem Pendukung Keputusan (SPK) perbandingan tingkat pelanggaran perlindungan kekerasan pada anak dengan multikriteria

Pengaruh Effective Inoculant PROMI dan EM4 terhadap Laju Dekomposisi dan Kualitas Kimia Kompos dari Sampah Kota Ambon, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Lynch, Tony and Mendelsohn, D. Schmitt, ed.,

Keberhasilan penerapan pemanfaatan media audio Gelaria di TK Laboratori Pedagogia Yogyakarta ditinjau dari empat tahapan evaluasi program model Kirkpatrick menunjukkan bahwa: (1)

Untuk menekan angka kasus baru dan pencegahan HIV­AIDS di Mimi­ ka, Persekutuan Pelayanan Kese­ hatan Kristen di Indoneia (Pelkesi) bekerjasama dengan Biro Kesehatan

bassiana dengan tambahan tepung ebi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa kitin, pada perlakuan jangkrik terjadi kematian yang lebih tinggi namun tidak me- nunjukkan perbedaan