• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang umum diperbincangkan di lingkungan

masyarakat. Tidak hanya berkaitan dengan penyakit, obat, serta tenaga medis,

tetapi juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Inflasi, kemajuan teknologi, dan

jenis obat yang beragam merupakan beberapa faktor yang menyebabkan

peningkatan biaya kesehatan. Padahal, peningkatan biaya kesehatan tidak berarti

meningkatkan status kesehatan pula. Masalah kesehatan ini pun menjadi masalah

tersendiri di masyarakat (Sulastomo, 2000).

Berdasarkan Temuan Laporan dan Rekomendasi Bank Dunia tahun 2013,

Indonesia memiliki anggaran pengeluaran untuk bidang kesehatan yang cukup

rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain. Di sisi lain, biaya

pemeliharaan kesehatan di Indonesia terus mengalami peningkatan dari masa ke

masa, bahkan telah melampaui inflasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik

(BPS), pada tahun 2011 hingga 2012 biaya pemeliharaan kesehatan meningkat

sebesar 11,5% dan sebesar 12,5% pada tahun 2012 hingga 2013. Sementara inflasi

pada tahun 2012 adalah sebesar 4,3% dan pada tahun 2013 sebesar 8,4%

(Jatmiko, 2015).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang

menyerang saluran pernapasan. PPOK ditandai dengan keterbatasan aliran udara

yang masuk ke dalam saluran pernapasan yang disebabkan oleh penyempitan pada

(2)

bersifat progresif irreversible atau partial reversible dan berhubungan dengan

respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun (PDPI, 2011). Gejala

yang timbul pada pasien PPOK antara lain dispnea, batuk, produksi sputum yang

tinggi, bersin, nyeri pada bagian dada, serta mengalami gangguan emosional dan

sosial. Pasien pun mengalami keterbatasan dalam menjalani aktivitas sehari-hari

(GOLD, 2010).

Berdasarkan data World Health Statistics 2008, PPOK menempati urutan

keempat penyebab kematian di dunia, yaitu sebesar 5,1%. Diperkirakan pada

tahun 2030 akan naik pada urutan keempat, yaitu sebesar 8,6%. Hal ini

disebabkan oleh peningkatan penggunaan rokok/tembakau (WHO, 2008a). Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi

PPOK adalah sebesar 3,7% per mil dan cenderung lebih tinggi pada masyarakat

yang memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah. Di Jawa Tengah,

prevalensi PPOK adalah sebesar 3,4% (BPPK, 2013).

Terapi PPOK dapat dilaksanakan dengan berbagai jenis regimen. Baik

dengan terapi non farmakologi maupun farmakologi. Penghentian merokok

merupakan terapi non farmakologi yang paling efektif dan tidak memerlukan

biaya. Golongan obat yang dapat digunakan untuk terapi PPOK antara lain

bronkodilator, kortikosteroid, inhibitor 4-phospodiesterase, antibiotik, antitusif,

mukolitik, serta terapi pengganti α1-antitripsin (AAT). Penggunaan golongan obat

serta kombinasinya yang berbeda pada tingkat PPOK yang berbeda dapat

(3)

Di Amerika Serikat, biaya ekonomi total untuk PPOK pada tahun 2010

diperkirakan sebesar $36 milyar dengan rincian $32,1 milyar untuk biaya

langsung dan $3,9 milyar untuk biaya tidak langsung. Diperkirakan sebanyak 16,4

juta hari kerja hilang karena PPOK (Ford dkk, 2015). Biaya akan meningkat

seiring dengan bertambah parahnya PPOK yang diderita dan juga semakin

lamanya Length of Stay (LOS) (Guarascio dkk, 2013).

Pemerintah dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat terus

menerus memperbaiki program pelayanan kesehatan yang ada. Salah satunya

adalah dengan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang saat

ini telah terintegrasi ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang

merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). JKN

menggunakan sistem asuransi, di mana seluruh peserta JKN wajib membayarkan

iuran untuk jaminan kesehatan di masa depan, kecuali peserta JKN PBI (Penerima

Bantuan Iuran). Program JKN ini dijalankan oleh sebuah badan khusus yaitu

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Kemenkes RI, 2013b).

Dalam pelaksaan JKN, pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan

tingkat 2 dan 3 telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013,

yaitu dengan Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs). INA-CBGs merupakan

model pembayaran yang digunakan oleh BPJS untuk menggantikan klaim yang

ditagihkan oleh rumah sakit dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang

diderita pasien. Rumah sakit akan memperoleh pembayaran berdasarkan tarif

INA-CBGs yang telah ditetapkan, yang merupakan rata-rata biaya yang

(4)

Kesehatan, 2014). Dalam penerapannya, sering kali ditemukan bahwa biaya riil

yang diperlukan untuk terapi pasien berbeda dengan tarif INA-CBGs yang telah

ditetapkan.

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta merupakan

sebuah rumah sakit yang khusus melayani penyakit paru yang terletak di pusat

kota Surakarta. Saat ini BBKPM Surakarta tengah dalam masa transisi menjadi

Rumah Sakit Paru Jajar dan telah melayani pasien JKN maupun pasien umum

(Anonim, 2015). PPOK merupakan salah satu penyakit yang cukup sering

ditangani oleh BBKPM Surakarta dan tengah dalam penyusunan clinical pathway.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan farmakoekonomi untuk

menganalisis biaya terapi pada suatu sistem pelayanan kesehatan dan bagaimana

kesesuaian biaya riil dengan tarif INA-CBGs yang telah ditetapkan. Agar unit

pelayanan kesehatan dapat memaksimalkan manfaat dari biaya yang dibayarkan

oleh pasien dan diharapkan dapat memberikan masukan untuk penerapan tarif

INA-CBGs di rumah sakit.

B. Rumusan Masalah

1. Berapa rata-rata biaya terapi pasien PPOK yang menjalani rawat inap serta apa

saja komponen biaya penyusunnya?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya terapi pasien PPOK yang

menjalani rawat inap?

3. Apakah terdapat perbedaan biaya riil dengan tarif paket INA-CBGs pada

(5)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui rata-rata biaya terapi pasien PPOK yang menjalani rawat inap

serta komponen biaya penyusunnya.

2. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya terapi pada

pasien PPOK yang menjalani rawat inap.

3. Mengetahui perbedaan biaya riil dengan tarif paket INA-CBGs pada pasien

PPOK yang menjalani rawat inap.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Bagi Rumah Sakit, dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam upaya

peningkatan pelayanan, utamanya pada pasien PPOK, serta pelaksanaan

program JKN.

2. Bagi BPJS, dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam

penyusunan dan penerapan kebijakan mengenai tarif pengobatan, utamanya

PPOK.

3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan

pendukung dalam bidang kesehatan, khususnya farmakoekonomi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis

a. Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis atau PPOK merupakan penyakit kronis

(6)

secara progresif dan bertahap (Bourdet & Williams, 2005). Berdasarkan Global

Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK merupakan

penyakit yang dapat dicegah dan diobati dan ditandai dengan terbatasnya aliran

udara yang masuk ke dalam saluran pernapasan yang disebabkan oleh partikel

atau gas beracun yang memicu terjadinya inflamasi pada paru, sehingga terjadi

perubahan patologis berupa kerusakan pada jaringan parenkim dan fibrosis pada

saluran pernapasan. Nilai rasio FEV1/FVC penderita PPOK menunjukkan nilai

kurang dari 0,70 dengan spirometry test, yang mengindikasikan terjadinya

obstruksi pada saluran pernapasan (GOLD, 2010).

b. Etiologi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sebagian besar disebabkan oleh

kebiasaan merokok. Beberapa faktor lain seperti polusi udara, debu dan bahan

kimia, perubahan genetik (defisiensi AAT), hiperresponsif saluran napas, dan

gangguan pada pertumbuhan paru juga dapat menyebabkan terjadinya PPOK.

Risiko terjadinya PPOK pun meningkat pada perokok pasif (Bourdet & Williams,

2005).

Asap rokok merupakan penyebab utama terjadinya gangguan respirasi

dan gangguan fungsi paru, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai

FEV1. Prevalensi PPOK yang lebih tinggi pada pria disebabkan oleh tingginya

kebiasaan merokok pada pria (PDPI, 2011). Defisiensi AAT adalah satu-satunya

faktor genetik yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK. α1-antitripsin (AAT)

(7)

Konsentrasi AAT yang kurang dari 1 gram/liter dapat meningkatkan risiko

terjadinya emfisema dan berkembang menjadi PPOK (MacNee, 2000).

c. Epidemiologi

Prevalensi PPOK diperkirakan akan terus meningkat. Berdasarkan data

World Health Statistics 2008, PPOK menempati posisi keempat sebagai penyebab

kematian di dunia dengan persentase kematian sebesar 5,1%. Pada tahun 2030,

PPOK diperkirakan akan menempati posisi ketiga dengan persentase kematian

sebesar 8,6%. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya penggunaan

rokok/tembakau di dunia (WHOa, 2008).

Di Indonesia, berdasakan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional

(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7% per mil dan paling

tinggi pada Provinsi Nusa Tenggara Timur (10%) dan sebesar 3,4% di Provinsi

Jawa Tengah. Prevalensi PPOK semakin meningkat seiring dengan pertambahan

usia dan lebih banyak diderita oleh laki-laki.

d. Patogenesis dan Patofisiologi

PPOK ditandai dengan terjadinya inflamasi kronik pada paru yang

menyebabkan kerusakan dan penyempitan saluran napas. Hal tersebut tidak hanya

terjadi pada saluran napas, melainkan meluas hingga ke pembuluh pulmonar dan

jaringan parenkim paru. Selain neutrofil, makrofag dan limfosit CD8+ juga berperan dalam proses inflamasi pada PPOK. Sel-sel inflamasi tersebut akan

melepaskan berbagai macam mediator kimia berupa tumor necrosis factor α

(TNF-α), interleukin 8 (IL-8), dan leukotrien B4 (LTB4) yang dapat menyebabkan

(8)

antara protease dan antiprotease juga berperan penting dalam patogenesis PPOK

(Bourdet & Williams, 2005).

Perubahan patologis yang terjadi pada PPOK memberikan efek terhadap

saluran pernapasan, jaringan parenkim pada paru, dan pembuluh darah pada paru.

Adanya eksudat inflamasi akan menyebabkan peningkatan jumlah dan ukuran sel

goblet dan kelenjar mukus, sehingga akan terjadi hipersekresi mukus dan

terganggunya motilitas. Terjadi pula penebalan pada otot halus dan jaringan

penghubung di saluran pernapasan. Inflamasi yang terjadi pada saluran

pernapasan sentral maupun peripheral akan menyebabkan terjadinya fibrosis

(Bourdet & Williams, 2005).

Eksaserbasi dapat muncul pada penderita PPOK sebagai akibat dari

adanya infeksi virus atau bakteri, polusi, dan faktor lain yang tidak diketahui.

Eksaserbasi ditandai dengan kondisi pasien yang semakin memburuk dari waktu

ke waktu sehingga memerlukan perubahan terapi. Eksaserbasi akan menyebabkan

peningkatan hiperinflasi dan air trapping, pengurangan aliran ekspirasi, dan

akhirnya menjadi dispnea (GOLD, 2010).

e. Klasifikasi

Berdasarkan GOLD 2014, PPOK diklasifikasikan dalam 4 derajat yang

didasarkan pada nilai rasio FEV1/FVC, seperti yang terlihat pada tabel I. Pada

sistem pembayaran INA-CBGs, PPOK diklasifikasikan menjadi 3 tingkat

berdasarkan diagnosis akhir dan prosedur atau tindakan yang diterima pasien.

Kode INA-CBGs J-4-17-I untuk PPOK ringan, J-4-17-II untuk PPOK sedang, dan

(9)

Tabel I. Klasifikasi PPOK pada Pasien dengan Nilai Rasio FEV1/FVC < 0,70

Tingkat Nilai FEV1 Gejala

GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% Ditandai dengan keterbatasan aliran

udara ringan. Umumnya terdapat gejala berupa batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya belum merasakan masalah pada paru-parunya.

GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% Ditandai dengan semakin

memburuknya hambatan aliran udara. Terdapat gejala pemendekan napas. Pasien mulai merasakan sesak napas.

GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% Ditandai dengan semakin

memburuknya hambatan aliran udara. Terdapat gejala berupa sesak napas yang semakin berat, penurunan kapasitas latihan, serta eksaserbasi berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% Ditandai dengan keterbatasan aliran udara berat. Terjadi gagal napas kronik.

(GOLD, 2014)

f. Gambaran Klinis Penyakit

Gejala PPOK sangat beragam. Mulai dari tanpa gejala, gejala ringan,

hingga berat. Gejala yang paling sering muncul adalah batuk, dispnea, serta

produksi sputum yang berlebih (Bourdet & Williams, 2005). Gejala-gejala

tersebut biasanya timbul cukup lama sebelum sesak napas menjadi semakin nyata

yang membuat pasien memerlukan bantuan medis (Ikawati, 2007).

Pada pasien PPOK eksaserbasi akut tingkat 1 (ringan), akan terjadi salah

satu gejala kardinal berupa dispnea, produksi sputum yang berlebih dan purulen

yang diikuti dengan infeksi saluran napas atas, demam, frekuensi bersin dan batuk

yang bertambah, serta peningkatan pada kecepatan pernapasan atau kerja jantung

(>20%). Sedangkan pada tingkat 2 (sedang), akan terjadi dua gejala kardinal dan

akan terjadi tiga gejala kardinal pada tingkat 3 (berat) (Bourdet & Williams,

(10)

Sebuah penelitian yang dilaksanakan di 13 negara di Benua Eropa,

menunjukkan bahwa rata-rata lama rawat inap pasien PPOK adalah 8,7±8,3 hari.

Lama rawat inap yang semakin panjang paling dipengaruhi oleh tingkat keparahan

yang semakin tinggi dan terjadinya eksaserbasi (Ruparel dkk, 2015). Sehingga

akan menambah besarnya biaya medik langsung. Di Indonesia sendiri,

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aprilia (2013) lama rawat inap pasien

PPOK paling banyak adalah 5-10 hari. g. Diagnosis

Diagnosis PPOK dibuat berdasarkan gejala-gejala yang timbul pada

pasien. Gejala-gejala tersebut berupa dispnea, batuk, produksi sputum berlebih,

dan riwayat paparan suatu faktor risiko seperti riwayat merokok (Bourdet &

Williams, 2005). Berdasarkan Clinical Guideline Chronic Obstructive Pulmonary

Disease in over 16s : Diagnosis and Management, hal-hal seperti kehilangan berat

badan, bangun di malam hari, kelelahan, nyeri di dada, mudah terengah-engah,

bengkak di pergelangan kaki, riwayat paparan faktor risiko, dan haemoptysis

perlu dikonfirmasi pada pasien yang memiliki gejala-gejala PPOK (NICE, 2010).

Adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan keterbatasan aliran udara

perlu dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri memberikan penilaian yang

komprehensif terhadap volume dan kapasitas paru. Obstruksi saluran napas

ditunjukkan dengan nilai rasio FEV1/FVC < 70%. Nilai FEV1 < 80%

menunjukkan bahwa obstruksi tersebut bersifat irreversibel (Bourdet & Williams,

2005). FVC (Forced Vital Capacity) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran

(11)

Sedangkan FEV (Forced Expiratory Volume) atau volume ekspirasi paksa yaitu

volume udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. FEV1 diukur

selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan. Pada umumnya, orang dewasa

muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak 4-5 liter dan FEV1 sedikitnya 75%

dari volume tersebut. Pada kondisi normal tersebut, perbandingan antara

FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan bernilai sedikitnya 0,75. Pada

PPOK, terjadi pengurangan nilai FEV1 yang lebih besar dibanding FVC-nya

sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari 0,75 (Ikawati, 2007).

Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan, seperti

rontgen bagian dada, pemeriksaan darah, perhitungan body mass index (BMI),

pemeriksaan kadar AAT, CT scan thorax, EKG, dan pemeriksaan mikrobiologi

pada sputum untuk mengidentifikasi adanya infeksi atau tidak (NICE, 2010).

h. Tatalaksana Terapi

Menurut WHO (2016), tatalaksana terapi PPOK yang efektif harus

mencakup 4 komponen, yaitu (1) pemantauan dan penilaian terhadap penyakit, (2)

mengurangi faktor risiko, (3) penatalaksanaan PPOK stabil, dan (4)

penatalaksanaan PPOK eksaserbasi (WHO, 2016b).

Tujuan dari penatalaksanaan terapi PPOK adalah untuk mencegah

progresifitas penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas,

meningkatkan status kesehatan, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mencegah

dan mengobati komplikasi, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas (Bourdet

(12)

Berdasarkan GOLD 2010, algoritma tatalaksana terapi PPOK pada

masing-masing tingkat dapat dilihat pada gambar 1.

(GOLD, 2010)

Gambar 1. Terapi PPOK Pada Tiap Tingkat

1) Terapi Non-Farmakologi a) Penghentian Merokok

Penghentian merokok merupakan terapi yang paling efektif dan tidak

memerlukan biaya untuk mengurangi risiko PPOK. Penghentian merokok dapat

mengurangi gejala dan progresivitas penyakit serta memperlambat terjadinya

keterbatasan aliran udara (GOLD, 2010). Terapi penghentian merokok ini dapat

dilaksanakan dengan bantuan penyuluhan dan konseling dari tenaga-tenaga

kesehatan, dapat juga dilaksanakan dengan farmakoterapi berupa terapi pengganti

nikotin (Nicotine replacement therapies) jika penyuluhan dan konseling tidak

(13)

adalah Brupopion SR, Nicotine gum, Nicotine inhaler, Nicotine nasal spray, dan

Nicotine patches (Bourdet & Williams, 2005).

b) Rehabilitasi

Tujuan dari rehabilitasi adalah untuk meningkatkan toleransi latihan dan

mengurangi gejala-gejala dispnea dan kelelahan, sehingga dapat memperbaiki

kualitas hidup pasien PPOK (PDPI, 2011). Termasuk di dalam terapi rehabilitasi

paru adalah penghentian merokok, latihan pernapasan, perawatan medis yang

optimal, dukungan psikososial, dan pemberian edukasi kesehatan (Bourdet &

Williams, 2005).

c) Vaksinasi

Vaksinasi untuk pasien PPOK perlu dipertimbangkan berdasarkan

kebijakan lokal, ketersediaan, dan kesanggupan dari pasien (GOLD, 2010). Pasien

PPOK sebaiknya menerima dua kali vaksinasi influenza dalam satu tahun agar

dapat mengurangi risiko terjadinya eksaserbasi. Hal ini dikarenakan influenza

merupakan komplikasi yang umumnya terjadi pada pasien PPOK dan dapat

mengakibatkan eksaserbasi dan kegagalan pernapasan. Vaksinasi yang

direkomendasikan adalah dengan vaksin influenza inaktif yang diberikan secara

intramuskular (Bourdet & Williams, 2005).

d) Terapi Oksigen Jangka Panjang

Terapi Oksigen sangat penting bagi pasien PPOK dengan hipoksemia

progresif, karena dapat mencegah kerusakan sel dan mempertahankan oksigenasi

seluler (PDPI, 2011). Terapi Oksigen jangka panjang (> 15 jam sehari) ditujukan

(14)

mmHg) atau nilai SaO2 ≤ 88% dengan atau tanpa hiperkapnia dan nilai PaO2

berada di antara 7,3 kPa (55 mmHg) dan 8,0 kPa (60 mmHg) atau nilai SaO2

adalah 88% dan terdapat hipertensi paru, edema periferal yang mengindikasikan

gagal jantung kongestif, atau polisitemia (hematokrit > 55%) (GOLD, 2010).

Oksigen diberikan pada pasien PPOK melalui kanula hidung dengan kecepatan

alir Oksigen 24-28% sebesar 1-2 L per menit. Tujuannya adalah mencapai nilai

PaO2 > 60 mmHg (Bourdet & Williams, 2005).

e) Pembedahan

Terapi pembedahan bertujuan untuk (1) memperbaiki fungsi paru, (2)

memperbaiki mekanisme kerja paru, (3) meningkatkan toleransi terhadap

eksasrbasi, dan (4) memperbaiki kualitas hidup pasien (PDPI, 2011). Pembedahan

dapat dilakukan pada pasien PPOK tingkat IV, yaitu bulektomi, Lung Volume

Reduction Surgery (LVRS), dan transpalansi paru (GOLD, 2010).

f) Terapi Pendukung Tambahan

Beberapa terapi tambahan seperti tambahan nutrisi dan

psychoeducational care sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi

lain. Relaksasi dapat meningkatkan fungsi organ dan meningkatkan kesejahteraan

pasien PPOK (Ferreira dkk, 2000).

2) Terapi Farmakologi

Berdasarkan GOLD 2010, obat-obat yang umumnya digunakan pada

terapi PPOK berdasarkan gejala dan risiko terjadinya eksaserbasi ditunjukkan

(15)

Tabel II. Terapi Farmakologi Awal PPOK Kelompok

Pasien

Pilihan Pertama

Alternatif Pilihan Pilihan Lain yang Mungkin A Memiliki beberapa gejala dan risiko terjadinya eksaserbasi rendah • Antikolinergik aksi pendek atau • β2-agonis aksi pendek (jika diperlukan)

• Antikolinergik aksi panjang atau

• β2-agonis aksi panjang atau

• Antikolinergik aksi pendek dan β2-agonis aksi pendek

Teofilin B Memiliki gejala yang lebih signifikan dan risiko terjadinya eksaserbasi rendah • Antikolinergik aksi panjang atau • β2-agonis aksi panjang

Antikolinergik aksi panjang dan β2-agonis aksi panjang

• Antikolinergik aksi pendek dan/atau • β2-agonis aksi pendek • Teofilin C Memiliki beberapa gejala dan risiko terjadinya eksaserbasi tinggi • Kortikosteroid inhalasi + β2-agonis aksi panjang atau • Antikolinergik aksi panjang

• Antikolinergik aksi panjang dan β2-agonis aksi panjang

atau

• Antikolinergik aksi panjang dan inhibitor

4-phospodiesterase atau

• β2-agonis aksi panjang dan inhibitor 4-phospodiesterase • β2-agonis aksi pendek dan/atau • Antikolinergik aksi pendek • Teofilin D Memiliki banyak

gejala dan risiko terjadinya eksaserbasi tinggi • Kortikosteroid inhalasi + β2-agonis aksi panjang dan/atau • Antikolinergik aksi panjang • Kortikosteroid inhalasi + β2-agonis aksi panjang dan antikolinergik aksi panjang

atau

• Kortikosteroid inhalasi + β2-agonis aksi panjang dan inhibitor

4-phospodiesterase atau

• Antikolinergik aksi panjang dan β2-agonis aksi panjang

atau

• Atikolinergik aksi panjang dan inhibitor 4-phospodiesterase • Karbosistein • Antikolinergik aksi pendek dan/atau • β2-agonis aksi pendek • Teofilin (GOLD, 2014) a) Bronkodilator

Bronkodilator diberikan kepada pasien PPOK sebagai dasar pengobatan

untuk mencegah atau mengurangi gejala yang terjadi. Bronkodilator dapat

meningkatkan nilai FEV1 dan merubah variabel spirometri lain dengan cara

(16)

penggunaan bronkodilator pada pasien PPOK adalah meningkatkan kapasitas

latihan, mengurangi air trapping pada paru, dan mengurangi gejala dispnea

(Bourdet & Williams, 2005). Golongan bronkodilator yang umumnya digunakan

dalam terapi PPOK adalah β2-agonis, antikolinergik, dan metilksantin.

(1) β2-agonis (Simpatomimetik)

Golongan β2-agonis memberikan efek relaksan pada otot polos saluran

pernapasan dengan mekanisme menstimulasi reseptor β2-adrenergik yang akan

meningkatkan pembentukan cyclic Adenosine Mono Phospate (cAMP), sehingga

akan terjadi bronkodilatasi (GOLD, 2010).

Golongan β2-agonis aksi panjang memiliki durasi sekitar 12 jam dan

lebih signifikan dalam peningkatan nilai FEV1 (GOLD, 2010). Pada pasien

PPOK stabil, golongan β2-agonis direkomendasikan sebagai terapi lini kedua,

sebagai tambahan atau pengganti ipratropium. Pada pasien PPOK eksaserbasi

akut, pemberian golongan β2-agonis merupakan pilihan pertama karena onset

kerjanya yang cepat. Golongan β2-agonis juga sangat berguna sebagai monoterapi

PPOK jangka pendek dan terapi gejala PPOK yang stabil secara kronik, baik

dikombinasikan dengan antikolinergik maupun tidak (Ikawati, 2007).

(2) Antikolinergik

Efek bronkodilator dari golongan antikolinergik aksi pendek bekerja

lebih lama jika dibandingkan dengan golongan obat β2-agonis aksi pendek.

Golongan antikolinergik dengan aksi kerja pendek terbaru bekerja dengan

memblok reseptor M2 dan M3 serta memodifikasi transmisi di pre-ganglionic

(17)

pada pasien PPOK stabil. Perbaikan fungsi paru yang dihasilkan dari pemberian

obatan golongan antikolinergik lebih besar jika dibandingkan dengan

obat-obatan golongan simpatomimetik. Obat golongan antikolinergik dapat terus

efektif selama bertahun-tahun dengan penggunaan yang teratur dan berkelanjutan

(Ikawati 2007).

(3) Kombinasi Simpatomimetik dan Antikolinergik

Terapi dengan menggunakan kombinasi obat-obatan golongan

simpatomimetik dan antikolinergik telah banyak digunakan pada pasien PPOK,

terutama jika penyakit semakin memburuk dari waktu ke waktu. Kombinasi

bronkodilator dengan mekanisme kerja yang berbeda memungkinkan tercapainya

efektivitas dengan dosis efektif yang rendah serta meminimalisir terjadinya

adverse effect dari masing-masing obat jika digunakan sebagai monoterapi.

Kombinasi antara β2-agonis aksi panjang maupun β2-agonis aksi pendek dengan

ipratropium menghasilkan pengurangan gejala yang besar dan peningkatan fungsi

paru (Bourdet & Williams, 2005).

(4) Metilksantin

Metilksantin memiliki efek bronkodilatasi dengan beberapa mekanisme,

yaitu (1) menghambat phosphodiesterase sehingga meningkatkan cAMP, (2)

menghambat kanal ion Ca2+ ke dalam otot polos, (3) sebagai antagonis prostaglandin, (4) menstimulasi katekolamin endogen, (5) sebagai antagonis

reseptor adenosine, dan (6) menghambat pelepasan mediator dari sel mast dan

(18)

Teofilin yang diberikan pada pasien PPOK dapat memberikan efek

berupa peningkatan fungsi paru, termasuk kapasitas vital, FEV1, minute ventilation, dan pertukaran gas. Teofilin juga dapat mengurangi gejala dispnea,

meningkatkan toleransi latihan, pembersihan mukosiliar, kerja otot-otot saluran

pernapasan, fungsi kardiovaskular, dan pernapasan sel saraf (Vaz Fragoso &

Miller, 1993). Penggunaan obat golongan metilksantin tidak memberikan manfaat

yang besar bagi pasien PPOK. Namun jika digunakan sebagai terapi tambahan

untuk bronkodilator lain, akan tercapai efek sinergistik pada bronkodilatasi

(Ikawati, 2007).

b) Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid dalam terapi PPOK belum diketahui dengan

pasti manfaatnya. Namun dengan adanya efek antiinflamasi, kortikosteroid dapat

memberikan beberapa manfaat berupa (1) mengurangi permeabilitas kapiler untuk

menurunkan produksi mukus, (2) menghambat pelepasan enzim proteolitik dari

leukosit, dan (3) menghambat prostagalandin (Bourdet & Williams, 2005).

c) Kombinasi Inhalasi Kortikosteroid dan Bronkodilator

Kombinasi antara inhalasi kortikosteroid dan bronkodilator golongan

β2-agonis aksi panjang memberikan hasil yang lebih efektif dalam perbaikan fungsi

paru dan peningkatan status kesehatan serta mengurangi gejala eksaserbasi pada

pasien PPOK tingkat II (sedang) hingga tingkat IV (sangat berat), jika

(19)

d) Inhibitor 4-Phospodiesterase

Mekanisme kerja dari inhibitor 4-phosphodiesterase adalah mengurangi

terjadinya respon inflamasi dengan cara menghambat pemecahan cAMP

intraselular. Penggunaan inhibitor 4-phospodiesterase biasanya selalu

dikombinasikan dengan setidaknya satu bronkodilator aksi panjang. Roflumilast

dapat mengurangi risiko terjadinya eksaserbasi pada 15-20% pasien PPOK tingkat

III (berat) hingga tingkat IV (sangat berat) yang juga mendapatkan terapi

kortikosteroid (GOLDc, 2014). e) Terapi Pengganti AAT

Terapi pengganti AAT memiliki harga yang cukup mahal dan tidak

tersedia di beberapa negara. Terapi pengganti AAT dapat diberikan kepada pasien

PPOK dengan defisiensi AAT secara herediter. Terapi ini diberikan melalui infus

mingguan untuk menjaga agar kadar AAT berada di atas 10 mikromolar. Dosis

yang disarankan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena dengan

kecepatan alir 0,08 mL/kg per menit. Sebuah studi menunjukkan bahwa terapi

pengganti AAT dapat memperlambat progresivitas penyakit dan menurunkan

mortalitas (Bourdet & Williams, 2005).

f) Antibiotik

Sebagian besar PPOK eksaserbasi akut diperkirakan disebabkan karena

adanya infeksi virus atau bakteri. Sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa

terapi dengan antibiotik harus dimulai ketika dua dari tiga gejala berikut muncul :

(20)

peningkatan purulensi sputum, sehingga akan memberikan manfaat yang paling

maksimal (Saint dkk, 1995).

Terapi dengan antibiotik dimulai 24 jam setelah gejala terlihat. Hal ini

dilakukan untuk mencegah terjadinya percepatan penurunan fungsi paru yang

disebabkan oleh iritasi dan sumbatan mukus karena proses infeksi (Ikawati, 2007).

Pemilihan antibiotik harus dilakukan dengan bijaksana karena adanya resistensi,

dan didasarkan pada organisme yang diperkirakan paling bertanggung jawab atas

terjadinya infeksi (Bourdet & Williams, 2005).

Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk pasien PPOK eksaserbasi

akut ditunjukkan pada tabel III.

Tabel III. Rekomendasi Antibiotik untuk Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Karakteristik Pasien Patogen Penyebab Rekomendasi Terapi

• Eksaserbasi tanpa komplikasi

• Eksaserbasi < 4 kali dalam setahun • FEV1 < 50% • S. pneumonia • H. influenzae • M. catarrhalis • H. parainfluenzae

Umumnya tidak resisten

• Makrolida (Azitromisin,

Klaritromisin)

• Sefalosporin generasi 2 atau

3

• Doksisiklin • Eksaserbasi dengan

komplikasi • Usia > 65 tahun

• Eksaserbasi > 4 kali dalam setahun • 35% < FEV1 < 50% • S. pneumonia • H. influenzae • M. catarrhalis • H. parainfluenzae • Pneumococci resisten • Pengahasil β-laktamase • Amoksisilin/klavulanat • Fluorokuinolon (Levofloksasin, Gatiflokasin, Moksifloksasin) • Eksaserbasi dengan komplikasi, dengan risiko

P. aeruginosa

• Sepsis bronkitis kronik • Memerlukan terapi

kortikosteroid • Perawatan di rumah • Eksaserbasi > 4 kali dalam

setahunS • Prediksi FEV1 > 35% • S. pneumonia • H. influenzae • M. catarrhalis • H. parainfluenzae • Pneumococci resisten • Pengahasil β-laktamase • P. aeruginosa • Fluorokuinolon (Levofloksasin, Gatiflokasin, Moksifloksasin)

• Terapi i.v jika diperlukan :

- β-laktamase resisten penisilin - Sefalosporin generasi 3 atau 4 (dengan aktivitas pseudomonal)

(21)

g) Antitusif

Antitusif dibutuhkan untuk mengurangi gejala batuk pada pasien PPOK.

Karena batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang cukup mengganggu.

Namun penggunaan antitusif yang regular tidak direkomendasikan bagi pasien

PPOK stabil (GOLD, 2010).

h) Mukolitik

Tidak banyak bukti-bukti klinis yang merekomendasikan penggunaan

mukolitik untuk terapi pada pasien PPOK. Namun penggunaan mukolitik dapat

dirasakan manfaatnya bagi sebagian pasien, terutama bagi pasien dengan sputum

yang viskos (Ikawati, 2007).

i. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada pasien PPOK tingkat lanjut, dimana

kondisi pasien akan semakin memburuk dari waktu ke waktu. Terapi pada pasien

PPOK dengan komplikasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembalikan

status fungsional serta mengurangi depresi dan ketidaknyamanan (Fishman,

2008). Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPOK, yaitu :

1) Hipertensi Paru

Hipertensi pada paru terjadi karena ketidaknormalan tekanan darah pada

pembuluh darah di paru. Pembuluh darah akan menjadi lebih tebal dan sempit

sehingga akan sulit dilewati oleh darah. Tekanan darah akan meningkat dan

(22)

2) Cor Pulmonale

Cor pulmonare adalah gagal jantung sebelah kanan, yang memompa

darah ke paru-paru. Cor pulmonare disebabkan karena terjadi peningkatan

tekanan darah pada arteri paru, sehingga menyebabkan peregangan pada otot

jantung sebelah kanan. Jantung pun akan membesar dan akan sulit memompa

darah dengan baik (Leader, 2016).

3) Pneumothorax

Pneumothorax merupakan kondisi di mana terdapat sejumlah udara yang

terperangkap pada bagian antara paru dan dada. Hal ini terjadi karena terdapat

lubang pada paru sehingga udara dapat keluar dari paru dan menyebabkan kolaps

pada paru. Pasien PPOK dengan kondisi paru yang lemah secara spontan dapat

membentuk lubang tersebut (Leader, 2016).

4) Polisitemia

Polisitemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah pada darah

berlebih. Darah menjadi tebal dan sulit untuk melewati pembuluh darah yang

berukuran kecil. Polisitemia dapat terjadi sebagai akibat dari usaha tubuh untuk

beradaptasi dengan kondisi penurunan jumlah oksigen pada darah (Leader, 2016).

j. Komorbiditas

Komorbiditas adalah keadaan di mana dua atau lebih penyakit terjadi

pada satu waktu. Komorbid dapat ditemukan pada pasien PPOK dan

menyebabkan penatalaksanaan terapi menjadi lebih kompleks. Penyakit penyerta

yang sering terjadi pada penderita PPOK antara lain penyakit kardiovaskular,

(23)

2008). Penyakit kardiovaskular dapat terjadi karena kurangnya oksigen yang

masuk ke dalam jaringan tubuh. Risiko terjadinya osteoporosis lebih besar pada

penderita PPOK dengan faktor risiko merokok dan karena penggunaan

kortikosteroid (Cavailles dkk, 2013).

Hubungan antara PPOK dan DM dibuktikan dengan sebuah studi di

mana penurunan fungsi paru dapat meningkatkan faktor risiko DM. TNF-α, IL-6,

dan CRP yang meningkat pada penderita PPOK juga meningkat pada penderita

DM (Chatila dkk, 2008).

2. Analisis Biaya

a. Definisi

Evaluasi farmakoekonomi digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,

menilai, dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang

dipertimbangkan (Sanchez, 2005). Analisis biaya (cost-analysis) adalah suatu

metode atau cara untuk menghitung besarnya pengorbanan atau biaya (cost)

dalam unit moneter (rupiah), baik biaya langsung (direct cost) maupun biaya tidak

langsung (indirect cost) untuk mencapai tujuan. Analisis biaya di Rumah Sakit

memberikan informasi komponen biaya serta perhitungan biaya pelayanan,

sehingga dapat menjadi acuan untuk pengambil kebijakan dalam rangka

mengembangkan dan meningkatkan pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2013a).

Cost of illness (COI) merupakan suatu metode evaluasi yang

memperhitungkan keseluruhan biaya akibat suatu penyakit, baik biaya langsung

maupun biaya tidak langsung, pada populasi yang telah ditentukan (Sanchez,

(24)

dampak ekonomi dari suatu penyakit bagi masyarakat. Metode ini tidak

digunakan untuk membandingkan khasiat antara dua alternatif pengobatan, namun

dapat menunjukkan biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi

biaya-biaya tersembunyi (Tarrichone, 2006).

b. Definisi Biaya

Biaya didefinisikan sebagai input yang digunakan untuk menghasilkan

suatu outcome (Wilson & Rascati, 2001). Biaya juga dikatakan sebagai nilai dari

peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumber daya dalam sebuah

kegiatan. Biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan

sumber daya. Dalam kajian farmakoekonomi, biaya kesehatan tidak hanya sekedar

biaya pelayanan kesehatan. Melainkan juga termasuk biaya pelayanan lain dan

biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri (Kemenkes, 2013a). c. Kategori Biaya

1) Biaya Langsung

Biaya langsung merupakan biaya yang langsung berhubungan dengan

perwatan kesehatan. Biaya langsung tidak hanya memperhitungkan biaya yang

berhubungan dengan medis, melainkan juga memperhitungkan biaya non medis

(Kemenkes, 2013a). Biaya medis langsung merupakan biaya yang digunakan secara langsung untuk perawatan pasien, seperti biaya pengobatan, biaya dokter,

biaya pengobatan efek samping, pelayanan, pencegahan dan penanganan,

administrasi, dan rawat inap. Sedangkan biaya non medis langsung adalah biaya

(25)

transportasi, akomodasi, dan biaya keluarga pasien selama menjaga pasien

(Wilson & Rascati, 2001).

2) Biaya Tidak Langsung

Biaya tidak langsung merupakan biaya yang merupakan akibat dari

morbiditas dan mortalitas dan merupakan konsumsi penting bagi pasien. Yaitu

terkait dengan hilangnya produktivitas pasien akibat suatu penyakit (Kemenkes,

2013a).

3) Biaya Tak Teraba (Intangible Cost)

Biaya tak teraba adalah biaya yang sulit diukur dalam unit moneter,

namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup. Seperti rasa sakit dan

rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Kemenkes, 2013a). 4) Biaya Terhindarkan (Avoided Cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindari

karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Kemenkes, 2013a). d. Perspektif Analisis

Perspektif merupakan hal yang penting dalam analisis farmakoekonomi.

Hal ini karena pemilihan perspektif akan menentukan komponen biaya apa saja

yang akan disertakan dalam analisis (Kemenkes, 2013a). Beberapa perspektif yang digunakan dalam analisis farmakoekonomi, yaitu :

1) Perspektif Pasien

Perspektif pasien adalah yang paling diutamakan, karena pasien

merupakan konsumen akhir dari pelayanan kesehatan. Biaya yang dihitung pada

(26)

pelayanan kesehatan, dan tidak termasuk biaya yang ditanggung oleh asuransi

(Sanchez, 2005).

2) Perspektif Penyedia Layanan Kesehatan (Provider)

Provider adalah lembaga yang menyediakan pelayanan kesehatan yang

diperlukan oleh masyarakat. Seperti rumah sakit, puskesmas, dan praktek dokter.

Biaya yang dihitung pada perspektif ini adalah biaya sebenarnya dari produk atau

pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Misalnya biaya obat, biaya

rawat inap, biaya tes laboratorium, dan gaji untuk tenaga kesehatan (Sanchez,

2005).

3) Perspektif Pembayar (Payer)

Yang termasuk ke dalam payer adalah seperti perusahaan asuransi,

perusahaan pemerintah, maupun swasta. Biaya yang dihitung pada perspektif ini

adalah biaya yang dibayarkan pasien untuk pelayanan kesehatan yang masuk ke

dalam tanggungan perusahaan. Biaya utama dari perspektif ini adalah biaya

langsung. Namun biaya tidak langsung seperti penurunan produktivitas dapat

disertakan (Sanchez, 2005).

4) Perspektif Masyarakat

Perspektif masyarakat adalah perspektif yang sangat luas karena

mempertimbangkan manfaat terhadap masyarakat luas. Biaya langsung dan biaya

tidak langsung diperhitungkan dalam perspektif ini. Termasuk biaya morbiditas

dan mortilitas pasien serta keseluruhan biaya pelayanan kesehatan yang diberikan

(27)

3. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

JKN merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

yang dijalankan dengan sistem asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib.

Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan seluruh

masyarakat yang telah membayar iuran ataupun yang dibayarkan oleh pemerintah.

Program JKN ini dijalankan oleh sebuah badan khusus yaitu Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Kemenkes RI, 2013b).

Peserta JKN merupakan setiap orang di Indonesia, termasuk WNA yang

bekerja paling singkat selama 6 bulan di Indonesia, meliputi Penerima Bantuan

Iuran (PBI) dan bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI). Peserta PBI

merupakan peserta yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu, sedangkan

peserta Non PBI tidak tergolong fakir miskin dan tidak mampu. Setiap peserta

yang terdaftar di BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta dan

pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan, serta berkewajiban untuk melakukan pembayaran iuran (Non PBI).

Pembayaran kepada fasilitas kesehatan akan dilakukan oleh BPJS Kesehatan

dengan sistem paket INA-CBGs (Kemenkes RI, 2013b).

INA-CBGs merupakan sistem pembayaran case based groups yang

berdasarkan pada diagnosis akhir pasien saat menjalani rawat inap di rumah sakit,

yang dipengaruhi oleh diagnosis sekunder dan tingkat keparahan, dan prosedur

atau tindakan yang diterima pasien. Perhitungan biaya perawatan INA-CBGs

didasarkan pada rata-rata biaya yang dihabiskan oleh beberapa rumah sakit untuk

(28)

melakukan penagihan secara rinci kepada pasien atas pelayanan yang telah

diberikan. Besarnya biaya ini akan berbeda pada tiap kelas perawatan dan tiap tipe

rumah sakit (Thabrany, 2008).

Proses penentuan kode INA-CBGs beserta tarifnya dimulai ketika pasien

keluar dari rumah sakit, kemudian data variabel dan data sosial pasien yang dapat

dikumpulkan dari rekam medik pasien dimasukkan ke dalam software

INA-CBGs. Saat ini software INA-CBGs yang digunakan adalah versi 4.0. Setelah data

dimasukkan, dilakukan grouping sehingga menghasilkan kode INA-CBGs beserta

tarif per pasien. Saat ini dalam INA-CBGs terdapat 1077 kelompok tarif yang

terdiri dari 789 tarif pelayanan rawat inap dan 288 tarif pelayanan rawat jalan

dengan dasar pengelompokan menggunakan ICD 10 untuk diagnosis dan ICD 9

CM untuk tindakan.

F. Landasan Teori

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang

menyerang saluran pernapasan dan ditandai dengan menurunnya fungsi paru

secara progresif dan bertahap. Terapi PPOK membutuhkan durasi yang panjang,

sehingga biaya yang dikeluarkan semakin besar. Berbagai faktor dapat

menyebabkan tinggi dan bervariasinya biaya terapi. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Putri (2009), komponen biaya yang paling besar pada biaya terapi

pasien PPOK rawat inap adalah biaya obat dan biaya laboraturium, dan besarnya

biaya dipengaruhi kelas perawatan. Lamanya perawatan yang dijalani oleh pasien

PPOK juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap besarnya biaya

(29)

Tingkat keparahan PPOK yang diderita oleh pasien juga mempengaruhi

besarnya biaya terapi. Pasien dengan PPOK tingkat 3 (berat) memiliki total biaya

terapi yang paling besar, yaitu sebesar $10,812 per pasien per tahun diikuti

dengan tingkat 2 (sedang) sebesar $5,037 per pasien per tahun dan tingkat 1

(ringan) sebesar $1,681 per pasien per tahun (Hilleman dkk, 2000). Komorbid

seperti gangguan kardiovaskular, asma, dan gangguan ginjal kronik juga akan

meningkatkan biaya terapi. Semakin banyak komorbid yang diderita, biaya terapi

akan juga semakin meningkat (Mannino dkk, 2015).

Pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan

untuk seluruh masyarakat melalui program JKN. Dalam pelaksanaan JKN,

pembayaran kepada fasilitas kesehatan telah diatur tarifnya dengan INA-CBGs.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa

biaya riil tidak sesuai dengan tarif INA-CBGs. Hasil penelitian Hudayani (2016)

di Pekalongan, terdapat perbedaan yang signifikan antara biaya riil pada pasien

stroke hemorargi rawat dengan tarif INA-CBGs. Penelitian lain oleh Khairina

(2014) di Ambarawa menunjukkan bahwa biaya riil pasien asma rawat inap lebih

besar dibandingkan dengan tarif INA-CBGs, yang disebabkan karena

ketidaktepatan coding serta belum diterapkannya clinical pathway di rumah sakit.

Tingginya penggunaan obat paten juga dapat menyebabkan semakin tingginya

(30)

G. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

H. Keterangan Empiris

Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diketahui rata-rata biaya terapi

pasien PPOK rawat inap di BBKPM Surakarta serta komponen biaya penyusun,

sehingga diketahui komponen biaya mana yang memiliki proporsi paling besar

dalam pembiayaan.

I. Hipotesis

1. Keparahan, komorbid, Length of Stay (LOS), dan kelas perawatan

berpengaruh pada biaya riil pasien PPOK rawat inap.

2. Biaya riil pasien PPOK rawat inap lebih tinggi dibandingkan dengan tarif

Gambar

Tabel I. Klasifikasi PPOK pada Pasien dengan Nilai Rasio FEV 1 /FVC &lt; 0,70
Gambar 1. Terapi PPOK Pada Tiap Tingkat
Tabel II.  Terapi Farmakologi Awal PPOK  Kelompok
Tabel III.  Rekomendasi Antibiotik untuk Pasien PPOK Eksaserbasi Akut  Karakteristik Pasien  Patogen Penyebab  Rekomendasi Terapi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Terapi ini merupakan terapi yang bertujuan untuk memberikan perawatan diri dengan tepat sehingga pasien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari defisit perawatan diri

1) Dapat di terapkan sebagai asuhan keperawatan dalam pemberian terapi bermain puzzle dan pemberian terapi musik lagu anak-anak untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien

terapi musik mozart terhadap gangguan pola tidur pada pasien anak. preschool di

Salah satu terapi non medis yang secara teoritis dapat dilakukan pada pasien perilaku kekerasan adalah dengan menerapkan terapi supportif, salah satu terapi supportif adalah

Terapi penggunaan obat ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien, namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat yaitu

• Penelitian dilakukan untuk melihat gambaran variasi kadar gula darah dan hubungan variasi kadar gula darah dengan faktor pasien critically ill setelah mendapatkan terapi insulin.

Berdasarkan permasalahan diatas, maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan tarif Indonesia Case Base Groups (INA- CBGs) sebagai pola

Salah satu terapi pada pasien vertigo ini sendiri adalah dengan pengobatan menggunakan terapi betahistin.. Betahistin adalah salah satu obat yang sekarang digunakan untuk pengobatan