• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Gum Arabic Baluran Sebagai Pendukung Pengembangan Wisata Kampung Banteng di Karang Tekok Sebagai Wilayah Penyangga TN Baluran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Produksi Gum Arabic Baluran Sebagai Pendukung Pengembangan Wisata Kampung Banteng di Karang Tekok Sebagai Wilayah Penyangga TN Baluran"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

21

Produksi Gum Arabic Baluran

Sebagai Pendukung Pengembangan Wisata Kampung Banteng

di Karang Tekok Sebagai Wilayah Penyangga TN Baluran

1)

Maulana S. Kusumah

,

2)

Hidayat Teguh Wiyono

,

3)

Agus Subekti

,

2)

Kahar Muzakhar

,

2)

Rudju Winarsa

1

Program Studi Sosiologi, FISIP, Unversitas Jember, Jl. Kalimantan 37 Jember, 68132

2

Program Studi Biologi, FMIPA, Unversitas Jembe, Jl. Kalimantan 37 Jember, 68132

3

Program Studi Fisika, FMIPA, Unversitas Jember, Jl. Kalimantan 37 Jember, 68132

E-mail:

maulana.fisip@unej.ac.id

Abstrak — Artikel ini merupakan hasil dari PPDM (Program Pengabdian Desa Mitra) tentang wisata kampung banteng Baluran. Pengembangan wisata kampung banteng merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah penggembalaan liar di TNB. Dalam pengembangan wisata kampung banteng dibutuhkan pendukung wisata, yaitu industri kreatif, agrowisata, dan produksi HHBK (hasil hutan bukan kayu). Salah satu HHBK yang diandalkan adalah gum Arabic. Saat ini peternak sapi di kawasan kampung banteng telah mampu memproduksi gum Arabic sebagai hasil dari pengenalan teknologi penyadapan oleh tim PPDM 2019. Metode pengabdian yang dilakukan berbentuk diseminasi dan praktek lapangan. Tiga kelompok yang mewakili peternak dilatih menyadap gum akasia (sumber gum Arabic) melalui metode pengeboran dikombinasi dengan induksi ethephon sebagai GIS. Satu minggu setelah aplikasi, kelompok mulai panen gum dan menyetorkan hasilnya pada ketua kelompok. Selanjutnya ketua kelompok menyetorkan hasilnya ke Koperasi di Ponpes Assalam, Sumberanyar, Banyuputih Situbondo. Jumlah gum Arabic Baluran yang berhasil dikumpulkan oleh kelompok selama tiga bulan mencapai 143,9 kg. Kesimpulan dari kegiatan pengabdian ini adalah bahwa kekuatan dalam memproduksi gum Arabic Baluran sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan peternak dalam menunjang pemeliharaan dan pengandangan banteng.

Kata Kunci: Gum Arabic, TN Baluran, Penyadapan, GIS, Wisata Kampung Banteng

Abstrak This article is the result of PPDM (Mitra Desa Service Program) about Baluran bos javanicus (Banteng) village tourism. Development of bull village tourism is an effort to solve the problem of wild grazing in Bunaken National Park. In the event of Banteng Village Tourism, it is necessary to support tourism, namely creative industries, agro-tourism, and NTFP production (non-timber forest products). One of the NTFPs that is relied upon is Arabic gum. Currently, cattle breeders in the banteng village area have been able to produce Arabic gum as a result of the introduction of tapping technology by the 2019 PPDM team. The dedication method is in the form of dissemination and field practice. Three groups representing breeders were trained to tap acasia gum (source of gum Arabic) through a drilling method combined with ethephon induction as GIS. One week after application, the group begins harvesting gum and submits the results to the group leader. Then the group leader sends the results to the Cooperative in Pondok Pesantren Assalam, Sumberanyar, Banyuputih Situbondo. The amount of Baluran Arabic gum that was collected by the group for three months reached 143.9 kg. This service activity concludes that the strength in producing Baluran Arabic gum is significant in improving the welfare of breeders in supporting the maintenance and retention of a Banteng.

Keywords Gum Arabic, National Forrest , Tapping, GIS, Banteng Village Tourism

1.PENDAHULUAN

Penduduk Dusun Sidomulyo/Karang Tekok Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih Situbondo sebagian besar mata pencahariannya sebagai penggadu (perawat) ternak sapi putih (PO - peranakan ongole) yang pemeliharaannya dilakukan secara konvensional yaitu pagi hari ternaknya dilepas ke hutan Taman Nasional Baluran (TN Baluran) dan sore hari ternaknya pulang ke kandang. Peternak penggadu karena terkendala faktor

ekonomi, sangat minim memberi pakan tambahan. Hampir seluruh kebutuhan pakan sapinya tergantung kepada keberadaan pakan di hutan TN Baluran. Ketika musim kemarau tiba dan pakan di TN Baluran sudah kering/habis, sapi-sapi menjadi kurus dan bahkan kelaparan. Keberadaan sapi-sapi yang masuk ke TN Baluran mengganggu ekosistem asli yang dilindungi dan untuk menghentikan model beternak tradisional yang sudah berlangsung puluhan tahun ini tidak mudah. Ketidakmampuan

(2)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

22

para penggadu menyediakan pakan ketika sapi

berada di kandang adalah alasan utama mereka menolak pengandangan. Solusi membentuk koperasi pakan yang bisa meminjami dana untuk pakan kepada anggota kelompok ketika sapi-sapinya dikandangkan melalui perjanjian kerjasama akan diwujudkan di kampung banteng. Kampung banteng saat ini masih berisi 2441 ekor sapi dengan sistem gadu. Secara perlahan keberadaan sapi-sapi ini akan digantikan oleh banteng hasil breeding dengan pengelolaan sistem pengandangan [1].

Kampung banteng adalah kampung yang ada di Kampung Merak Dusun Sidomulyo/Karang Tekok, Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih Situbondo, yang masyarakatnya beternak dan mengembang-biakkan sapi bali keturunan banteng.

Kampung banteng dibuat dengan

mempertimbangkan kebiasaan masyarakat yang memelihara sapi secara konvensional dengan sistem gadu dan sekaligus mempertahankan keberadaan banteng sebagai satwa yang dilindungi di TNB. Kegagalan konservasi secara alami banteng di TN Baluran terbukti dari jumlah banteng yang ada semakin menurun dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1970 jumlah banteng mencapai 150-200 ekor, pada tahun 2013 hanya tersisa kurang dari 26 ekor [2], dan pada tahun 2018 yang tertangkap melalui

camera trap kurang dari 20 ekor. Sedikitnya jumlah banteng di TNB menjadikannya tidak mudah ditemukan di habitatnya. Tiga kelompok peternak sapi PO diharapkan menjadi contoh perbaikan ekonomi dan mulai melakukan konversi menjadi peternak sapi keturunan banteng.

Ketika kandang penduduk sudah mulai terisi oleh keturunan banteng, mulai diperkenalkan sebagai tujuan wisata. Bagi wisatawan yang ingin mengetahui banteng TN Baluran dan kesulitan menemukan di habitat aslinya, bisa dialihkan menuju ke kampung banteng di Karang Tekok. Di kampung banteng wisatawan bisa melihat miniatur savana TN Baluran dengan banteng-banteng milik penduduk yang tinggal di dalamnya serta wisatawan bisa foto bersama banteng-banteng, memberi makan banteng, dan menikmati acara-acara yang dikemas bersama banteng; bahkan bisa melakukan riset tentang banteng. Ketika banteng sudah berada di kandang masyarakat, dikemas menjadi bagian dari wisata di kampung yang berbatasan dengan TN Baluran, ditambah dengan produk ekonomi kreatif, GUM Baluran, dan produk-produk buah spesifik, berpeluang memunculkan lapangan pekerjaan baru dan bisa berdampak pada meningkatnya pendapatan serta perbaikan ekonomi masyarakat Karang Tekok. Target peningkatan pendapatan masyarakat diharapkan bisa tercapai dengan menampilkan Karang Tekok sebagai destinasi wisata kampung banteng.

Penyadapan akasia [3] untuk diambil gum Arabic [4, 5, 6, 7] sangat tidak popular di masyarakat yang tinggal di sekitar TN Baluran (daerah penyangga) sehingga masyarakat belum mengetahui teknologi penyadapan dan pemanfaatan gum akasia sebagai komoditas perdagangan. Masyarakat juga tidak/belum melakukan eksploitasi potensi akasia [8, 9, 10, 11] di TN Baluran sebagai

sumber pendapatan untuk mendukung

pengandangan. Oleh karena itu eksploitasi batang akasia untuk menghasilkan gum Arabic besar harapannya bisa membantu menguatkan kondisi sosioekonomi masyarakat peternak dan petani di zona penyangga TN Baluran, sebagai bagian dari konservasi banteng di TN Baluran.

Untuk mencapai tujuan dari pengabdian ini, diperlukan pelatihan, diseminasi, dan praktek lapangan dalam memproduksi gum sebagai sumber pendapatan peternak. Dalam proses pelatihan dikenalkan jenis-jenis tumbuhan akasia dan karakter dari masing-masing jenis dalam memproduksi gum. 2.METODE

Kelompok sasaran adalah peternak sapi gadu yang tinggal di wilayah penyangga TN Baluran dan menggembalakan sapinya secara tradisional ke TN Baluran. Dalam pelaksanaan pengabdian ini kelompok sasaran dibagi ke dalam kelompok-kelompok produksi gum dengan rincian sebagai berikut:

a. Membentuk dan melatih kelompok di wilayah kampung banteng untuk memproduksi gum Baluran dari tanaman akasia.

b. Setiap kelompok dikoordinir oleh ketua yang bertanggung jawab sebagai pendistribusi GIS (gum inducer solution), pengumpul hasil gum dari anggota, dan penyetor gum pada koperasi.

Teknik pelatihan dilakukan dengan membekali pengetahuan tentang akasia dan dilanjutkan demontrasi penyadapan. Tahapan pelatihan dimulai dari pembekalan/pengenalan tumbuhan akasia dan peralatan yang dibutuhkan serta teknik penyadapan. Gambar 1 dan 2 menyajikan cara pengeboran dan pemberian GIS [12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19]. Gambar 3 menyajikan cara pemanenan gum Arabic dari batang akasia.

(3)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

23

Gambar 1. Cara Pengeboran Batang Akasia

Gambar 2. Cara Pemberian GIS

Gambar 3. Cara Pemanenan Gum Akasia 3.HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

Pembentukan kelompok dilakukan pada minggu kedua bulan Juli 2019 bertempat di Mushola milik Pak Mat Didi, ketua LMDH

(Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Banyuwangi Utara dan Asembagus yang berada di Dusun Sodung Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih Situbondo, dengan dibantu mahasiswa UNEJ yang sedang KKN sebagai tenaga lapang.

Dalam

pembentukan

kelompok

ini

didapat 3 kelompok peternak yang akan

melakukan produksi gum Arabic. Setiap

kelompok beranggotakan antara 10–15 orang.

Pada tahap ini setiap kelompok dibekali prinsip

kerjasama dan pembagian tugas sesuai

jabatannya.

Gambar 4. Pembentukan Kelompok

Waktu pengambilan gum dimulai bulan

Agustus hingga bulan November 2019. Tempat

di Labuhan Merak, TN Baluran. Pohon akasia

yang dipilih berukuran lebih dari 25 cm dbh

(

diameter

at

breast

height

).

Metode

penyadapan

yang

dikenalkan

kepada

masyarakat menggunakan modifikasi dari

Vasishth A. and V. Guleria [20]. Demonstrasi

penyadapan dilakukan pada kelompok yang

telah dibentuk. Pengeboran dibuat pada

ketinggian 50–100 cm, disesuaikan dengan

kondisi tanaman di lahan, dari permukaan

tanah. Ukuran mata bor 0,8 cm dan kedalaman

pengeboran 4 cm. Bahan GIS (

gum inducer

solution

) menggunakan ethephon standar

Latex, setiap pohon diberi perlakuan 3 ml.

Perlakuan

pemberian GIS dengan

cara

memasukkan cairan ethephon ke dalam lubang

pengeboran kemudian ditutup dengan ranting

kayu.

Gum arabic yang keluar dikumpulkan

pada hari ke 7, selanjutnya diambil setiap 7

hari sesudahnya dan jika sudah tidak keluar

dilakukan pengeboran dan induksi ulang.

Setiap perwakilan kelompok yang telah dilatih, diberi GIS sebanyak 500 ml untuk diterapkan di lokasinya. Pengumpulan data dilakukan dengan menimbang berat gum Arabic yang dihasilkan dari setiap

(4)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

24

kelompok yang menyetorkan gum ke Posko

Assalam.

Gambar 5: Praktek pengeboran Pohon Akasia

Hasil pengumpulan gum oleh ketua kelompok ditimbang menggunakan timbangan digital yang sudah diatur besaran harga per kilogramnya sehingga memudahkan dalam pembulatan. Setoran gum bervariasi dalam 3 bulan pertama dan jumlah keseluruhan hingga akhir bulan November 143,9 kg (Gambar 6).

Gambar 6. Jumlah Setoran Gum (kg)

Gum akasia Baluran yang berhasil dikumpulkan oleh anggota kelompok memiliki bentuk bervariasi: bulat, oval, dan seperti tetesan air, berwarna kuning cerah hingga coklat tua kehitaman.

Gambar 7. Gum Arabic Baluran yang dikumpulkan oleh anggota kelompok

Gambar 8. Penimbangan Setoran Gum

Gambar 9. Kemasan 500 Gram Untuk Keperluan Pemasaran 4.PEMBAHASAN

Gum akasia secara alami sudah dikenal oleh masyarakat peternak di wilayah Merak, TN Baluran. Tetapi mereka tidak banyak mengerti kapan gum itu muncul, sehingga ketika ditawari untuk mengumpulkan gum secara alami mereka tidak ada yang sanggup. Setelah diberi pelatihan dan dijelaskan bahwa tumbuhan akasia bisa disadap dan gum akasia bisa diperdagangkan baru mereka sadar. Secara teoritis menggunakan ethephon sebagai gum induser berawal dari pemikiran bahwa iklim di wilayah penyangga TN Baluran adalah kering, dengan hanya 4 bulan hujan. Jika ethylene disuplai secara artifisial ke batang tumbuhan akasia melalui aplikasi ethephon, respon perkembangan terhadap

stress dapat dipicu dan dipercepat, dan dampaknya lebih banyak eksudat gum yang didapatkan. Gagasan ini sesuai dengan hasil uji pertama kali pada A. senegal oleh Bhatt dan Ram Mohan [21] yang melaporkan adanya respon positif berkaitan dengan eksudasi gum. 0 46,3 26,6 71 143,9

(5)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

25

Tabel 1. Jumlah setoran gum akasia selama 3 bulan

setelah pelatihan

Nilai jual gum akasia sebesar Rp 60.000/kg hanya didasarkan dan disesuaikan dengan HOK. Pasar internasional yang menjual gum akasia bervariasi dari terendah sebesar Rp 150.000/ kg hingga tertinggi Rp 750.000/kg. Belum ada harga standar nasional tentang gum akasia karena gum di Indonesia masih baru dan belum diatur. Jika berdasar pada harga sementara yang telah diberikan ke kelompok, maka dari 3 kelompok yang dilatih untuk melakukan penyadapan dan pengumpulan gum akasia diperoleh uang sebesar Rp 60.000,00 kali 143,9 kg sama dengan Rp 8.634.000,00. Nilai itu menjadi tambahan uang setiap bulan dimana masing-masing kelompok akan mendapatkan sebesar Rp 8.634.000,00 dibagi 3 bulan dibagi 3 kelompok, sama dengan Rp 959.000,00. Jika menggunakan harga prediksi standar internasional gum yang berkualitas baik Rp 750.000/kg maka gum yang terkumpul senilai Rp 107.925.000, dan setiap kelompok akan mendapat uang senilai Rp 17.987.500 dari hasil pengumpulan selama 3 bulan.

5.KESIMPULAN

Tumbuhan akasia (Acacia nilotica Lam. Willd). yang banyak tumbuh di TN Baluran dan di wilayah penyangga, melalui teknis penyadapan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat peternak sebagai sumber gum Arabic Baluran. Gum Arabic Baluran berpotensi sebagai sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat peternak sapi gadu. Dengan adanya pendapatan dari hasil produksi gum Arabic Baluran, maka para peternak memiliki dana untuk pemenuhan kebutuhan pakan ternak mereka.

UCAPANTERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DRPM Ristekdikti yang telah memberi bantuan dana melalui program PPDM 2019, Kepala Desa Sumberwaru sebagai Mitra PPDM UNEJ 2019, Pak Mat Didi sebagai ketua LMDH wilayah Banyuwangi Utara dan Asembagus dan seluruh masyarakat serta

instansi yang telah membantu kegiatan PPDM UNEJ 2019 di lapang.

DAFTARPUSTAKA

[1] Hidayat Teguh W, Rendy Setiawan dan Nindy Agusti Wulansari (2019). Model Pertumbuhan Populasi Sapi Yang Digembalakan Liar Di Resort Labuhan Merak Taman Nasinal Baluran. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. 22 No 1 Mei 2019: 44-52.

[2] Tempo, 27 Juni 2013

[3] Tempo. 2018. “Akasia Menginvasi 6 Ribu Hektar Sabana Taman Nasional Baluran”. 17 Januari 2018

[4] FAO. (1999). Gums, resins and latexes of plant origin. Non-wood Forest Products 6. Rome: Food and Agriculture Organiza-tion of the United Nations, M-37.

[5] Nair MNB, Bhatt JR, Shah JJ. (1985). Induction of traumatic gum cavities in sapwood of neem (Azadirachta indica A. Juss.) by ethephon and paraquat. Indian Journal of Experimental Biology. 23, 60-62.

[6] Tadesse W, Desalegn G, Alia R. (2007). Natural gum and res-in bearing species of Ethiopia and their potential applications. In-vestigaciónAgraria: Sistemasy Recursos Forestales. 16(3), 211-221

[7] UNCTAD. 2018. Commodities at a Glance, Special Issue on Gum Arabic. No. 8

[8] Atif Ali, Naveed Akhtar, Barkat Ali Khan, Muhammad Shoaib Khan, Akhtar Rasul, Shahiq-UZ-Zaman, Nayab Khalid, Khalid Waseem, Tariq Mahmood and Liaqat Ali (2012). Acacia nilotica: A plant of multipurpose medicinal uses. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 6(9), pp. 1492-1496, 9 March, 2012.

[9] Djufri. 2004. Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. and Problematical in Baluran National Park, East Java. Journal of Biodiversity. 5(2):96-104.

[10] Kaur K, Michael H, Arora S, Harkonen P, Kumar S (2005). In vitro bioactivity-guided fractionation and characterization of polyphenolic inhibitory fractions from Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. J. Ethnopharmacol., 99: 353-63 et al., 2005

[11] Raj, A. Veijaneng haokip, and Subhadra Chandrawanshi, 2015. Acacia nilotica: a multipurpose tree and source of Indian gum Arabic. Indian Journal of Biological Sciences 2015. 1(2): 66-69.

[12] Abib, Chimene. Fanta., M.Ntoupka., Regis, Peltier., Jean-Michel Harmand., Philippe Thaler. 2013. Ethephon: a tool to boost gum arabic production from Acacia senegal and to

(6)

Forum Dosen Indonesia (FDI) - DPD Jatim

26

enhance gummosis processes. Journal of

Agroforest Syst. 87 (2):427–438.

[13] Bhatt JR. (1987). Gum tapping in Anogeissus latifolia (Com-bretaceae) using ethephon. Current Science. 56(18), 936-940.

[14] Bhatt JR and Mohan Ram HY. (1990). Ethephon-induced gum production in Acacia senegal and its potential value in the semi-arid regions of India. Current Science. 59(23), 1247-1250.

[15] Bhatt JR, Shah JJ. (1985). Ethephon (2-chloroethyl phos-phonic acid) enhanced gumresinosis in mango (Mangifera indicaL.). Indian Journal of Experimental Biology. 23, 330-339.

[16] Das I, Katiyar P, Raj A. (2014). Effects of temperature and rel-ative humidity on ethephon induced gum exudation in Acacia nilotica.Asian Journal of Multidisciplinary Studies. 2(10), 114-116.

[17] Raj, A. and Singh, L. (2017). Effects of girth class, injury and seasons on Ethephon induced

gum exudation in Acacia nilotica in Chhattisgarh. Indian Journal of Agroforestry, 19(1): 36-41.

[18] L.N. Harsh*, J.C. Tewari, H.A. Khan and Moola Ram. Ethephon-induced gum Arabic exudation technique and its sustainability in arid and semi-arid regions of India (2013). Forests, Trees and Livelihoods, 2013. Vol. 22, No. 3, 204–211.

[19] Nair MNB, Bhatt JR, Shah JJ. (1985). Induction of traumatic gum cavities in sapwood of neem (Azadirachta indica A. Juss.) by ethephon and paraquat. Indian Journal of Experimental Biology. 23, 60-62.

[20] Vasishth, A. and V. Guleria (2017). Potential of Senegalia senegal for Gum Arabic Extraction. Indian Journal of Ecology (2017) 44, Special Issue (6): 817-819.

[21] Bhatt JR. (1987). Gum tapping in Anogeissus latifolia (Com-bretaceae) using ethephon. Current Science. 56(18), 936-940.

Gambar

Gambar 3. Cara Pemanenan Gum Akasia
Gambar 6. Jumlah Setoran Gum (kg)
Tabel 1. Jumlah setoran gum akasia selama 3 bulan   setelah pelatihan

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip pengujiannya adalah menentukan jumlah minyak yang terserap pada sampel melalui selisih air yang ditambahkan dengan jumlah minyak yang tersisa dengan melakukan

Pengujian ini berguna untuk membatasi suatu angka agar berada pada batas yang ditentukan, misalnya jumlah barang yang dijual tidak dapat melebihi stoknya, seperti dicontohkan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Bandar Lampung, Indonesia, penelitian di Lima, Peru dan penelitian di Pakistan yang mendapatkan hasil

Pada perhitungan neraca air ini mempunyai batas lingkup yaitu hanya pada akuifer bebas (unconfined).Pada Gambar 1 dibawah ini akan menggambarkan bahwa perhitungan

III. METODOLOGI PELAKSANAAN Metode pelaksanaan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan telah disepakati dengan pihak mitra, terutama untuk menjawab persoalan mendasar:

Nabi Adalah Orang Yang Menerima Wahyu Atau Syariat Dari Allah Sedangkan Rasul Adalah Seseorang Yang Menerima Wahyu Atau Sariat Dari Allah Dan Diperintahkan Untuk

Analisis perbandingan leasing dengan hutang jangka panjang sebagai alternatif pengambilan keputusan pengadaan aktiva tetap dibutuhkan perusahaan untuk mengambil

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis finansial usahatani ikan lele dumbo ( Clarias gariepinus ) (Studi Kasus : Desa Kuta Baru Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten