• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1)Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan

Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian Bulan Juni 2007.

PERSPEKTIF KEARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK

PERTANIAN

Tim Sintesis Kebijakan

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

PENDAHULUAN

Keyakinan tradisional mengandung se-jumlah besar data empiris yang berhu-bungan dengan fenomena, proses dan sejarah perubahan lingkungan, sehingga membawa implikasi bahwa sistem pe-ngetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan. Dalam hal ini, keyakinan tradisional di-pandang sebagai kearifan budaya lokal

(indigenous knowledge), dan merupakan

sumber informasi empiris dan pengetahuan penting yang dapat ditingkatkan untuk melengkapi dan memperkaya keseluruhan pemahaman ilmiah.

Kearifan budaya suatu masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebuda-yaan suatu etnis, yang merupakan hasil pengamatan dalam kurun waktu yang pan-jang. Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, misalnya bagaimana lingkungan berfung-si, bagaimana reaksi alam terhadap

tindak-an mtindak-anusia, serta hubungtindak-an-hubungtindak-an (yang sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya.

Penggalian terhadap kearifan budaya lokal ditujukan untuk mengenal dan me-mahami fenomena alam melalui penelu-suran informasi versi masyarakat peng-guna, khususnya di lahan gambut. Pe-mahaman ilmiah dalam konteks kearifan budaya lokal diharapkan mampu mem-buka wawasan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mendayagu-nakan lahan gambut secara baik dan lestari. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian pada masa depan akan semakin luas. Potensi lahan gambut di Indonesia mencapai 17 juta ha, terluas di daerah tropis. Lahan gambut di Indonesia tersebar di Sumatera (41,1%), Kalimantan (33,8%), Irian Jaya (23,0%), Sulawesi (1,6%) serta Halmahera dan Seram (0,5%). Di Ka-limantan, lahan gambut terdapat di wilayah pantai Provinsi Kalimantan Barat, Ka-limantan Tengah dan KaKa-limantan Selatan serta sebagian kecil di pantai Kalimantan Timur.

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi kontroversial atau se-ring diperdebatkan. Pengalaman semasa Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) menunjukkan, kurang dipa-haminya sifat dan watak gambut

(2)

menye-babkan hasil tanaman semakin menurun sehingga sebagian petani transmigran meninggalkan lahannya. Namun, petani di Riau dapat memanfaatkan lahan gambut termasuk gambut dalam untuk pengem-bangan kelapa. Di Kalimantan Selatan, lahan gambut yang terluapi pasang su-rutnya air sungai dijadikan persawahan yang ditanami padi secara berkelanjutan, bahkan menjadi wilayah sentra produksi padi. Petani Banjar memanfaatkan lahan gambut dalam untuk persawahan dengan melakukan pengolahan tanah secara mi-nimum. Mereka menggunakan alat tra-disional tajak dalam pengolahan tanah untuk menghindari tersingkapnya lapisan pirit yang dapat meningkatkan kemasaman tanah.

Kebijakan pemanfaatan lahan gambut memerlukan banyak usaha dan dukungan, antara lain dari penelitian. Dalam hal ini, pola petani perlu dipelajari dan pola pe-manfaatan berdasarkan tipologi juga perlu dikaji. Pola tradisional yang telah lama di-kembangkan petani secara spesifik perlu digali sebagai bahan pelajaran untuk menghindari kegagalan dalam mengalihkan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Upaya ini penting untuk memperbaiki sistem yang telah dikembangkan petani, agar dapat memperoleh dan memperta-hankan sistem usaha pertanian yang produktif dan berkelanjutan.

PERMASALAHAN

Lahan gambut dianggap sebagai lahan bermasalah karena mempunyai sifat mar-ginal dengan beberapa kendala apabila di-kembangkan sebagai lahan pertanian. Kendalanya antara lain: (1) daya dukung bebannya (bearing capacity) rendah se-hingga akar tanaman sulit menopang

beban tanaman secara kokoh; (2) daya hantar hidrolik secara horizontal sangat besar tetapi secara vertikal sangat kecil sehingga mobilitas dan ketersediaan air dan hara tanaman rendah; (3) bersifat mengkerut tak balik (irreversible) se-hingga daya retensi air menurun dan peka terhadap erosi, yang mengakibatkan hara tanaman mudah tercuci; dan (4) terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) setelah dilakukan pengeringan atau di-manfaatkan untuk budi daya tanaman.

Pengembangan pertanian di lahan gambut harus bersifat holistik dan kom-prehensif. Selain memperhatikan sifat edapologi lahan dan produksi yang dapat dicapai, fungsi lingkungan dari lahan gambut perlu diperhatikan yaitu sebagai (a) penyangga daerah sekitarnya seperti reservoir air, (b) rosot karbon dan juga penghasil emisi gas rumah kaca (apabila terbakar), (c) pencegah banjir pada saat musim kemarau, penyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya setelah kemarau, (d) habitat berbagai flora dan fauna langka serta spesifik (cagar alam), dan (e) menyimpan keajaiban seperti adanya air hitam (water black stream).

Pemanfaatan lahan gambut untuk usa-ha pertanian memerlukan pengetahuan dan teknologi khusus, karena sifatnya yang khas dan berbeda dengan lahan lainnya agar tidak rusak dan sangat merugikan. Ke-bakaran lahan gambut hampir terjadi setiap tahun. Penyebabnya adalah kondisinya rawan kebakaran yang berkaitan dengan agrofisik lahan dan lingkungan, termasuk pranata hidrologi, aspek sosial ekonomi yang terkait dengan kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah, dan norma-norma sosial yang berkembang, termasuk per-sepsi petani tentang lahan gambut. Dam-paknya bervariasi, bergantung pada inten-sitas kebakaran. Kebakaran ringan hanya

(3)

berakibat pada kenaikan biaya usaha tani, sedangkan kebakaran berat menimbulkan dampak yang sangat luas seperti degra-dasi lahan, terjadinya lahan tidur, keru-sakan pranata hidrologi, perubahan pola tanam, hilangnya mata pencaharian pen-duduk, dan migrasi penduduk ke luar desa.

PEMECAHAN MASALAH Upaya petani di lahan rawa/gambut yang telah menggeluti usaha tani dan berin-teraksi dengan lahan gambut selama ra-tusan tahun telah menghasilkan penge-tahuan lokal, yang selaras dengan kaidah keseimbangan dan kelestarian alam. Po-tensi ini dapat dikembangkan dan digu-nakan untuk membantu dan memacu usa-ha pemerintah dalam meningkatkan pro-duksi pertanian dan kesejahteraan petani di lahan gambut secara berkelanjutan.

Berbagai penelitian menunjukkan bah-wa sistem pengetahuan dan teknologi lo-kal yang digunakan masyarakat dari ber-bagai suku bangsa di Indonesia memiliki kesesuaian dengan logika ilmu penge-tahuan modern. Namun demikian, perlu disadari bahwa sistem pengetahuan dan teknologi lokal tersebut tidak dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan yang tuntas dan sempurna. Kearifan budaya lokal seharusnya dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkem-bang terus sejalan dengan tuntutan ke-butuhan manusia. Pemahaman terhadap sistem pengetahuan dan teknologi lokal dari berbagai lingkungan suku bangsa di berbagai daerah sangat penting dalam menunjang pembangunan.

Penelitian pengetahuan lokal bukan-lah hal baru. Para antropolog tebukan-lah mem-pelajari dan mendokumentasikannya de-ngan menggunakan metode pengamatan

terlibat, wawancara dengan informan kunci, wawancara informal, menyusun taksonomi dan lain-lain. Ia merupakan ha-sil dari proses percobaan, inovasi, dan adaptasi yang berkesinambungan, se-hingga berkapasitas untuk dipadukan dengan pengetahuan dan teknologi. De-ngan demikian, pengetahuan lokal patut dipertimbangkan, dipadukan dengan yang bersifat ilmiah dan teknologis dalam memecahkan masalah pembangunan so-sial dan ekonomi.

Identifikasi sistem pengetahuan dan teknologi lokal dapat memberikan gam-baran kearifan budaya dalam mendaya-gunakan sumber daya alam, ekonomi, dan sosial secara bijaksana dengan tetap mengacu pada pemeliharaan keseim-bangan lingkungan. Untuk itu dianggap perlu untuk melakukan eksplorasi ter-hadap berbagai kearifan lokal dalam me-ngembangkan dan memanfaatkan lahan gambut. Sistem pertanian rawa dengan wahana kearifan lokal mencakup: (a) pe-nilaian dan pemilihan lahan yang sesuai, (b) pengelolaan bahan organik, (c) penyi-asatan tata air, (d) pemilihan jenis dan varietas tanaman, (e) kebakaran lahan, (f) fenomena alam, (g) transfer teknologi, (h) ragam tabu, dan (i) persepsi petani.

Berdasarkan tipologi lahan, lahan rawa dibedakan ke dalam tanah gambut, tanah sulfat masam, tanah nonsulfat masam, dan tanah salin. Kriteria lahan yang cocok un-tuk pertanian bagi para petani pioner di-ketahui dari jeluk mempan (effective depth) dan bau tanah lapisan atas, yang diistilah-kan berbau “harum”. Boleh jadi yang di-maksud dengan “bau harum” adalah lawan dari “bau busuk” dari asam sulfida (H2S). Asam ini bersifat meracun tanaman. Kon-disi tergenang atau pada lahan yang menjadi basah kembali akibat hujan setelah kekeringan pada musim kemarau,

(4)

menyi-sakan kadar sulfida yang tinggi hasil proses reduksi sulfat.

Selain hal di atas, petani juga sering menilai kesuburan lahan gambut dari ve-getasi yang tumbuh di atasnya. Jenis-jenis gulma atau vegetasi tertentu sering dija-dikan penciri atau tanaman indikator bagi status kesuburan lahan tersebut. Tanam-an purun tikus (Eleocharis dulcis), misal-nya, mencirikan tanah tergenang air (

wa-terlogging) dan kemasaman akut; galam

(Melaleuca leucadendron) mencirikan

tanah mengalami pengatusan dan berubah matang dengan tingkat kemasaman pH <3; tanaman karamunting (Melastoma

mala-bathricum) dengan bunga merah jambu

menarik, yang disebut juga Rhododendron

Singapura menunjukkan tanah paling miskin. Tumbuhan lain seperti Commelina

dan Emilia menunjukkan pH rendah.

Dalam pembukaan lahan, para pioner yang biasanya seorang tokoh masyarakat

(Kepala Handil), melakukan penggalian

saluran yang disebut handil. Handil ber-asal dari kata anndeel, yaitu kata dalam bahasa Belanda yang artinya gotong ro-yong atau bekerja sama. Handil dibuat menjorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedalaman 0,5-1,0 m dan lebar 2-3 m. Dengan memanfaatkan tenaga (pukulan) pasang, air sungai masuk ke dalam saluran handil yang selanjutnya di-jadikan sebagai saluran pengairan. Seba-liknya, ketika surut, air keluar dan air lindian dari sawah tertampung pada sa-luran handil, yang selanjutnya bersamaan dengan terjadinya surut mengalir ke su-ngai. Pada saat budi daya berlangsung seperti pengolahan tanah atau tanam, air dalam saluran handil biasanya ditahan dengan membuat tabat (dam overflow). Kesalahan dalam pembuatan saluran dapat merusak gambut karena terjadi pengatusan berlebihan (overdrainage).

Dalam memahami kesuburan lahan, para petani rawa memperhatikan bio-massa yang dihasilkan. Pada prinsipnya, kesuburan tanah gambut bukan ditentu-kan oleh apa yang terditentu-kandung dalam ta-nah, tetapi dari yang masuk ke dalam tanah. Hasil biomassa yang berada di atas tanah hutan rawa gambut berkisar antara 73-82% dari total biomassa. Biomassa pohon men-capai 350-905 t/ha. Gulma dapat meng-hasilkan 2-3 ton bahan kering/musim/ha. Oleh karena itu, kunci keberhasilan peman-faatan lahan gambut sangat terkait dengan pengelolaan bahan organik untuk mem-pertahankan status bahan organik tanah. Hal ini boleh jadi sudah disadari oleh para petani lokal yang memanfaatkan gulma, rumput, dan sisa panen untuk dikem-balikan ke dalam tanah dalam penyiapan lahan. Dengan demikian, kesuburan tanah rawa bergantung pada masukan dalam rangka mempertahankan status bahan organik tanah.

Dalam meningkatkan kesuburan lahan gambut, umumnya petani menggunakan bahan amelioran seperti abu, pupuk kan-dang, tepung kepala ikan, dan tepung ke-pala udang, yang merupakan limbah usa-ha perikanan. Ikan yang dibusukkan di dalam air pada bak-bak yang dibuat secara khusus juga dapat digunakan sebagai amelioran. Peningkatan kesuburan tanah ini terjadi karena bahan amelioran mem-punyai kandungan pH, N, P, K, Ca, dan Mg yang cukup tinggi.

Petani lokal menganut sistem pertanian multikultur dan multikomoditas. Bahkan petani di lahan rawa mempunyai banyak usaha dalam memenuhi kebutuhan. Sela-in sebagai petani, mereka juga sebagai pencari ikan, pencari madu, pencari kayu hutan, berburu binatang, bahkan sebagai pengrajin (seperti rotan, tikar, emas, perak) dan tukang kayu. Pemilihan komoditas

(5)

dalam pengembangan lahan rawa sudah sejak ratusan tahun silam dilakukan petani tradisional. Hal ini dapat dilihat dari keber-hasilan petani-petani pioner dalam me-ngembangkan kelapa, karet, kelapa sawit, lada, nenas, tebu, rambutan, kakao, dan padi umumnya. Tanaman-tanaman ini dike-nal sebagai tanaman yang toleran terhadap kondisi rawa seperti tergenang, masam, salin, dan keracunan besi. Cara-cara budi daya seperti sistem tukungan untuk budi daya tanaman perkebunan dan pengelo-laan lahan oleh petani lokal tradisional ini kemudian diikuti oleh petani migran pen-datang yang menempati kawasan rawa.

Petani keturunan Cina di Siantan, Ka-limantan Barat menganggap lapisan gam-but sebagai media tumbuh utama bagi ko-moditas sayuran. Untuk mempertahankan ketebalan lapisan gambut di lahan usaha taninya, tidak seluruh air yang mengge-nangi lahannya dibuang. Caranya, perin-tang arus air (tabat) dibuat pada ketinggian tertentu di muara parit pembuang yang me-nuju ke parit besar dalam kawasan pemu-kiman di Siantan. Menurut petani Siantan, Kalimantan Barat dan Kalampangan, Kalimantan Tengah, rotasi antarjenis sa-yuran sepanjang tahun sangat penting. Dalam setiap masa tanam, biasanya terda-pat 4-5 jenis sayuran yang ditanam. Menu-rut mereka, beberapa jenis tanaman dapat mengurangi ketebalan gambut secara drastis, terutama tanaman yang dicabut. Oleh karena itu, penanaman berturut-turut pada bedengan yang sama harus dihindari. Rotasi tanam yang dilakukan meliputi: sawi, kangkung atau sawi-bayam dan menghindari rotasi sawi- bayam-bayam dan kangkung-kangkung atau bayam-kangkung. Mereka umumnya juga menanam sayuran daun kucai yang dapat dipanen beberapa kali dalam setahun.

Petani di Kalimantan masih sangat sedikit yang mengembangkan kearifan lokal. Fenomena alam tidak digunakan sebagai pedoman dalam berusaha tani di lahan gambut. Kearifan lokal yang mereka kembangkan merupakan sisa-sisa atau pengembangan dari pengetahuan mereka dalam melakukan perladangan. Dari be-berapa komunitas yang diteliti, hanya komunitas petani suku Melayu di Kali-mantan Barat yang mengembangkan ke-arifan lokal yang berhubungan dengan fenomena alam, yaitu: (1) bintang karanti-ka, bila bintang tersebut tegak berarti waktu semai padi tiba, bila bintang teng-gelam berarti waktu pengolahan tanah telah tiba, bila bintang karantika condong ke timur berarti mulai hujan dan waktunya untuk melakukan penanaman padi, se-dangkan ketika bintang tadi condong ke barat berarti waktu panen mulai tiba; dan (2) tibanya musim hujan, biasanya ditan-dai dengan berbunganya tanaman jambu, kopi, asam dan durian; kemudian diciri-kan pula oleh binatang bekicot yang memanjat pohon; kodok bertelur di atas dan berbunyi; keong mas menelungkup (bila telentang panas); dan ular hitam (tadung) ke luar pagi atau sore. Adapun ciri mulai datangnya musim panas adalah apabila uwa-uwa mulai ramai berbunyi.

Dalam berusaha tani di lahan gambut, sampai saat ini petani di Desa Serindang, Kalimantan Barat memiliki berbagai pan-tangan (tabu). Di antara panpan-tangan itu adalah tidak bersiul saat di lahan usaha; tidak menampi di ladang; tidak mem-belakangi matahari pada saat menanam padi; tidak memakai traktor dalam meng-olah tanah, karena bila tanah kuning naik/ terangkat maka tanaman tidak meng-hasilkan.

(6)

IMPLIKASI KEBIJAKAN Dengan banyaknya kearifan budaya lokal yang kita temui, maka pemerintah perlu membuat kebijakan yang bertujuan untuk menghargai, menghormati, melindungi, serta memanfaatkan kearifan masyarakat untuk pemberdayaan pemiliknya. Peng-gunaan bahan-bahan amelioran seperti tepung kepala udang, tepung kepala ikan, dan pupuk kandang yang terbukti dapat mempertahankan lapisan gambut, perlu dicarikan jalan keluarnya agar tersedia dan terjangkau di tingkat petani.

Diperlukan kehati-hatian dalam me-manfaatkan kearifan masyarakat dalam program pengelolaan lingkungan hidup,

misalnya penggunaan abu bakaran se-bagai bahan amelioran. Walaupun pem-bakaran dilokalisir pada suatu tempat, asap dan GRK (CO2) dapat mencemari ling-kungan.

Arahan pemanfaatan gambut untuk pertanian perlu disusun, agar pemanfaatan gambut tidak semena-mena (Kasus PLG Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah), serta terhindar dari kehilangan gambut secara permanen. Kehilangan gambut di beberapa lokasi pengembangan pertanian semakin meluas, dari ketebalan awal 2-3 m sebagian tidak lagi tersisa dan sebagian hanya ting-gal 10-15 cm. Gambut yang hilang tidak dapat terpulihkan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa data citra gambar yang diperoleh dari kamera akan diproses oleh Raspberry Pi menggunakan Python dan OpenCV dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan atensi dan penurunan konsentrasi secara subyektif antara siswa yang sarapan dan

Hasil yang didapat menunjukan kepiting bakau yang dipelihara didaerah mangrove memiliki penambahan biomasa yang lebih besar bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada daerah

Seorang wanita hamil yang menderita anemia karena cacing tambang, malaria dan sifilis akan bertambah berat dan akan mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengevaluasi lebih lanjut dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Evaluasi

Jumlah data training harus lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah data testing hal ini dikarenakan fungsi dari data training adalah sebagai representasi

Pengalaman bidan sebelum mengikuti pelatihan asuhan persalinan normal sangat kurang.Pengalaman bidan sesudah mengikuti pelatihan asuhan persalinan normal sangat

Key Benefit: This comprehensive overview of the entire field of transport geography explores both institutional and analytical approaches to both intra- and inter-urban transport