• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO TERKAIT MANAJEMEN KESEHATAN UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM Z U D A N A N G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR RISIKO TERKAIT MANAJEMEN KESEHATAN UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM Z U D A N A N G"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA

DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM

Z U D A N A N G

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

UNGGAS TERHADAP INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA

DI TEMPAT PENAMPUNGAN AYAM

Z U D A N A N G

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(3)

ABSTRACT

ZUDANANG. The Risk Factor of Poultry Health Management to the Infection of Avian Influenza Virus in Poultry Collecting Facilities. Under supervision of ETIH SUDARNIKA and CHAERUL BASRI.

The aim of the study was to determine the association between the implementation of poultry health management with spreading of avian influenza virus (AIV) in Poultry Collecting Facilities (PCFs) in Jakarta. The study was performed using secondary data of the AIV surveilance collaboration of Center for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) and Indonesian Dutch Partnership (IDP) at 2007 by maintained the sentinel chickens (7-8 birds) in 39 PCFs for three months. The variables which related to poultry health management were health certificate, health inspection, health inspector, health inspection method, and handling of sick and dead birds. It was collected by interview with supervisor of PCFs. The AIV infection were taken from the cloacal and tracheal swab of the dead birds with rt-PCR. The results showed that the variable of handling of sick birds were significantly associated with infection of AIV (RR=2,00 ; 95% CI = 1,31-3,05). The other variables did not show significance association. The risk of AIV infection for kept the sick birds alive, or separated, or treated them in the same cage are twice greater than slaughtered them. Poultry health management in PCFs need to be improved as an effort to prevent and control the spreading of AIV in Indonesia.

Keyword : avian influenza, poultry health management, poultry collecting facilities (PCFs), relative risk (RR)

(4)

RINGKASAN

ZUDANANG. Faktor Risiko Terkait Manajemen Kesehatan Unggas Terhadap Infeksi Virus Avian Influenza di Tempat Penampungan Ayam. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan CHAERUL BASRI.

Produk unggas seperti daging dan telur merupakan komoditas utama konsumsi protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Sebagian besar produk tersebut didapatkan dari pasar, baik pasar tradisional maupun pasar modern. Pasar tradisional sebagai salah satu penyedia daging ayam berpeluang menyebabkan hadirnya pasar unggas hidup. Pasar unggas hidup merupakan tempat berkumpulnya berbagai jenis unggas dari daerah pemasok sebelum dibawa ke tempat pemotongan unggas atau distribusi lebih lanjut. Pasar unggas hidup dan tempat penampungan ayam perlu mendapat perhatian serius dari aspek kesehatan masyarakat karena sangat berpotensi dalam penyebaran virus Avian influenza (AI).

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penerapan manajemen kesehatan unggas dan risikonya terhadap penyebaran virus AI di tempat penampungan ayam (TPnA) di wilayah DKI Jakarta. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder penelitian surveilans virus AI kerjasama antara

Center for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) dengan Indonesian Dutch Partnership Program on Highly Pathogenic Avian Influenza Control (IDP HPAI). Penelitian dilakukan dengan menempatkan ayam sentinel di kandang penampungan di TPnA selama 3 bulan. Ayam sentinel adalah ayam sehat yang rentan terinfeksi virus dan dipelihara bersama populasi ayam yang dicurigai terinfeksi virus. Penggunaan ayam sentinel di dalam penelitian surveilans antara lain untuk mengamati dan mengenali penyebaran agen penyakit, menelusuri perubahan-perubahan insidensi penyakit, menilai efektifitas program pengendalian penyakit baru, dan membuktikan hipotesis tentang epidemiologi agen penyakit. Ayam sentinel memiliki karakteristik mudah terpapar agen penyakit (susceptible to the infection agent) sehingga mudah dilakukan observasi dan cocok digunakan dalam penelitan/surveilans penyakit.

Ayam sentinel tersebut dipelihara dengan perlakuan sama seperti ayam yang dijual di TPnA. TPnA yang terlibat di dalam penelitian ini berjumlah 39 buah. Faktor manajemen kesehatan unggas yang diamati adalah keberadaan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH), pemeriksaan kesehatan ternak, petugas pemeriksa kesehatan ternak, cara pemeriksaan kesehatan ternak, penanganan ternak sakit, dan penanganan ternak mati. Data manajemen kesehatan unggas diperoleh dari hasil wawancara kepada pemilik atau penanggung jawab TPnA menggunakan kuisioner terstruktur, adapun data infeksi virus AI diperoleh dari hasil uji rt-PCR sampel usap kloaka dan trakea ayam sentinel yang mati. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) Provinsi DKI Jakarta.

(5)

Berdasarkan hasil laporan kegiatan surveilans virus AI di TPnA di wilayah DKI Jakarta yang dilakukan oleh CIVAS, selama penelitian tercatat sebanyak 243 ekor ayam sentinel dapat diamati, sedangkan 61 ekor lainnya hilang dari pengamatan (lost to follow up). Adanya ayam sentinel yang hilang dari pengamatan disebabkan hilang tanpa keterangan dan tidak ada laporan dari pemilik/penanggung jawab TPnA ke petugas monitoring. Keadaan ini tetap terjadi meskipun petugas telah menghimbau pemilik/penanggung jawab TPnA untuk melaporkan setiap menemukan ayam sentinel yang sakit atau mati.

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa faktor manajemen kesehatan unggas yang berhubungan signifikan dengan infeksi virus AI di TPnA adalah faktor penanganan ternak sakit. Nilai risiko relatif (RR) faktor tersebut adalah 2,00 (SK 95% ; 1,31-3,05), artinya risiko infeksi virus AI terjadi 2 kali lebih besar pada tindakan membiarkan ternak sakit tetap hidup, memisahkan, atau mengobatinya di dalam satu kandang penampungan daripada memotong/ memusnahkannya. Faktor keberadaan SKKH, pemeriksaan kesehatan ternak, pemeriksa kesehatan ternak, cara pemeriksaan kesehatan ternak, petugas dan penanganan ternak mati tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan terjadinya infeksi virus AI. Hal ini menunjukkan perlu dilakukan pembenahan terhadap implementasi manajemen kesehatan unggas di TPnA dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran virus AI di Indonesia.

Kata kunci : avian influenza, manajemen kesehatan unggas, risiko relatif (RR), tempat penampungan ayam (TPnA)

(6)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ... i RINGKASAN ... ii PENGESAHAN ... iv PRAKATA ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Avian Influenza Agen Penyebab dan Sifat Penyakit Avian Influenza ... 4

Jenis Hewan Rentan Penyakit Avian Influenza ... 7

Penyebaran Penyakit Avian Influenza di Indonesia ... 8

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AI di Indonesia ... 9

Pasar Unggas dan Tempat Penampungan Ayam ... 18

Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA ... 20

Peran TPnA dalam Penyebaran AI ... 22

METODE PENELITIAN Kerangka Konsep ... 25

Desain Penelitian ... 25

Sumber Data ... 26

Waktu dan Tempat ... 26

Sampel Penelitian ... ... 27

(7)

Definisi Operasional... 28

Hipotesis ... 29

Analisis Data ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Distribusi Sampel Penelitian ... 30

Analisis Univariat Status Infeksi Virus AI Pada Sampel Ayam Sentinel ... 31

Keberadaan SKKH ... 32

Pemeriksaan Kesehatan Ternak ... 32

Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak ... 32

Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak ... 32

Penanganan Ternak Sakit ... 33

Penanganan Ternak Mati atau Bangkai Ayam ... 33

Analisis Bivariat Hubungan Antara Manajemen Kesehatan Unggas Dengan Infeksi Virus AI ... 33

Hubungan Antara Keberadaan SKKH Dengan Infeksi Virus AI ... 34

Hubungan Antara Pemeriksaan Kesehatan Ternak Dengan Infeksi Virus AI ... 35

Hubungan Antara Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak Dengan Infeksi Virus AI ... 35

Hubungan Antara Penanganan Ternak Sakit Dengan Infeksi Virus AI . 35 Hubungan Antara Penanganan Ternak Mati Dengan Infeksi Virus AI .. 36

Pembahasan Hubungan Antara Faktor Manajemen Kesehatan Unggas Dengan Infeksi Virus AI Keberadaan SKKH ... 36

(8)

Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak ... 39

Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak ... 39

Penanganan Ternak Sakit ... 41

Penanganan Ternak Mati ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 43

Saran ... 43 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Distribusi sampel ayam sentinel di TPnA ...27 Tabel 2 Definisi operasional peubah penelitian ...28 Tabel 4 Distribusi frekuensi manajemen kesehatan ungags di TPnA ...31 Tabel 5 Hubungan antara manajemen kesehatan unggas dengan infeksi

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Virus Avian influenza ... 4 Gambar 2 Kerangka konsep penelitian ... 25

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil Analisis Frekuensi Faktor Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA ... 48 Lampiran 2 Hasil Analisis Uji Chi-Square Hubungan Antara Faktor

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk unggas seperti daging dan telur merupakan pangan asal hewan yang menjadi sumber protein hewani masyarakat Indonesia. Selain harganya terjangkau, keberadaannya mudah didapatkan sehingga masyarakat cukup memanfaatkan pasar baik pasar tradisional, pasar swalayan, maupun supermarket. Keberadaan pasar tradisional berpotensi membuka peluang terjadinya pasar unggas hidup (PUH) yang dapat berperan dalam penularan dan penyebaran penyakit, serta berdampak terhadap kesehatan masyarakat dan permasalahan lingkungan (Mudiarta et al. 2008). Pasar unggas hidup dan tempat penampungan ayam (TPnA) perlu mendapat perhatian serius dari aspek kesehatan masyarakat. Pasar unggas hidup merupakan tempat bertemunya unggas dari berbagai peternakan (farm), sedangkan TPnA adalah bagian dari PUH yang berfungsi sebagai tempat dikumpulkannya ayam dari berbagai daerah (peternakan) sebelum dibawa ke PUH, tempat pemotongan unggas (TPU), atau distribusi lebih lanjut (KOMNAS FBPI 2008).

Di TPnA kontak tidak hanya terjadi pada ayam yang dikumpulkan, tetapi juga terjadi antara ayam dengan manusia. Ayam yang masuk ke TPnA dapat membawa agen penyakit sehingga tempat ini sangat potensial dalam penyebaran penyakit asal unggas khususnya Avian influenza (Jaelani 2008). Penularan virus

Avian influenza (AI) dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian Indriani et al. (2008) menunjukkan bahwa setengah dari jumlah pasar unggas hidup yang ada di wilayah DKI Jakarta (46,98 %) telah terkontaminasi virus AI. Dampak yang ditimbulkan oleh wabah virus AI antara lain lumpuhnya sektor peternakan unggas dan produk-produknya.

Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan, maka prosedur biosekuriti dan manajemen kesehatan unggas di TPnA perlu diterapkan dengan baik untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran virus AI. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara faktor risiko manajemen kesehatan unggas

(13)

yang diterapkan di TPnA di wilayah DKI Jakarta dengan terjadinya infeksi virus AI pada unggas. Penelitian dilakukan menggunakan data sekunder penelitian surveilans virus AI kerjasama antara Center for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) dengan Indonesian Dutch Partnership Program on Highly Pathogenic Avian Influenza Control (IDP HPAI) tahun 2007 dengan menempatkan 7-8 ayam sentinel di 39 TPnA selama 3 bulan. Ayam sentinel adalah ayam sehat yang rentan terhadap infeksi penyakit dan dipelihara seperti ayam lain yang dijual di TPnA. Tujuan penggunaan ayam sentinel di dalam penelitian surveilans antara lain untuk mengamati dan mengenali penyebaran agen penyakit, menelusuri perubahan-perubahan insidensi penyakit, menilai efektifitas program pengendalian penyakit baru, dan membuktikan hipotesis tentang epidemiologi agen penyakit. Ayam sentinel memiliki karakteristik mudah terpapar agen penyakit (susceptible to the infection agent) sehingga mudah dilakukan observasi dan cocok digunakan dalam penelitan/surveilans penyakit (Salman 2003). Infeksi virus AI yang terjadi di TPnA mengindikasikan bahwa penerapan manajemen kesehatan unggas belum efektif untuk mencegah dan mengendalikan infeksi virus tersebut.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko terkait manajemen kesehatan unggas terhadap infeksi virus Avian influenza (AI) di tempat penampungan ayam (TPnA) di wilayah DKI Jakarta.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjadi dasar pembenahan implementasi manajemen kesehatan unggas di TPnA di Wilayah DKI Jakarta bagi Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit AI.

(14)

2. Menjadi dasar bagi para pengusaha TPnA dalam upaya pembenahan implementasi manajemen kesehatan unggas untuk mencegah dampak kerugian ekonomi akibat infeksi virus AI.

3. Menjadi dasar pembenahan implementasi manajemen kesehatan unggas di peternakan dan TPnA bagi Departemen Pertanian RI dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan virus AI di Indonesia.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Avian influenza

Agen Penyebab dan Sifat Penyakit Avian influenza

Penyakit Avian influenza (AI) berasal dari virus influenza tipe A dan termasuk dalam famili orthomyxoviridae. Virus influenza memiliki beberapa tipe antara lain tipe A, tipe B, dan tipe C. Partikel virus influenza memiliki amplop (envelope), bersegmen dan memiliki negative-single strain ribonucleid acid (RNA). Penentuan identitas serologik virus menggunakan nomor kombinasi strain RNA yang terdapat pada glikoprotein transmembran yaitu Hemaglutinin yang dilambangkan dengan huruf H dan Neuramidase yang dilambangkan dengan huruf N. Berdasarkan sifat antigenisitas glikoprotein, virus influenza tipe A memiliki 16 Hemaglutinin dan 9 Neuramidase. Subtipe virus influenza yang sudah dikenal antara lain H1N1, H1N2, H3N3, H5N1, dan H9N7 (Halvorson 2002). Struktur morfologi virus Avian influenza dapat dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1 Virus Avian influenza.

(16)

Virus AI mudah bermutasi dan dapat mengaglutinasi sel darah merah ayam, tetapi tidak stabil di lingkungan. Komposisi genetik virus AI sangat labil sehingga mudah bermutasi, virulensi dan patogenitasnya bervariasi, serta mudah menular. Virus AI tidak tahan terhadap panas dan desinfektan. Virus yang terdapat di dalam daging ayam akan mati pada pemanasan 80o C selama satu menit atau 70o C selama 30 menit. Virus yang terdapat di dalam telur ayam akan mati pada pemanasan 64o C selama 45 menit. Pada kotoran ayam virus AI dapat bertahan selama 35 hari pada suhu 4o C. Virus dapat bertahan hidup selama 4 hari di air pada suhu 0o C. Virus AI bahkan dapat bertahan hidup di kandang ayam selama 2 minggu setelah depopulasi ayam (Prima 2007).

Jika virus AI menular ke spesies unggas yang rentan, maka dapat menimbulkan gejala klinis yang biasanya bersifat ringan. Subtipe virus ini disebut sebagai virus yang memiliki patogenisitas rendah (low pathogenic avian influenza virus, LPAIV). Pada umumnya infeksi LPAIV pada unggas petelur mengakibatkan terjadinya penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara, atau menurunkan bobot badan pada unggas pedaging (Kamps et al.

2007). Virus AI yang menginfeksi unggas rentan dan terjadi beberapa siklus penularan dapat bermutasi dan beradaptasi di spesies lain. Mutasi yang terjadi juga dapat menjadikannya sangat patogen (high pathogenic avian influenza virus, HPAIV). HPAIV mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Unggas yang terinfeksi HPAIV ditandai dengan gejala klinis yang mendadak, berlangsung singkat, mortalitas yang terjadi mendekati 100 % pada spesies yang rentan. Subtipe virus AI yang diketahui sangat patogen yaitu H5 dan H7, sedangkan virus yang mewabah dan menyebabkan AI di berbagai negara di Asia adalah H5N1 (Halvorson 2002). Perkembangan infeksi virus AI saat ini pada unggas tidak menunjukkan gejala sakit, artinya unggas terlihat sehat tetapi sebenarnya sakit sehingga banyak terjadi kematian mendadak (Setyawati et al. 2010)

Infeksi virus AI yang terjadi di peternakan unggas skala besar berdampak pada penurunan konsumsi air dan pakan yang signifikan, sedangkan pada unggas petelur akan mengakibatkan penurunan produksi telur. Cangkang telur yang

(17)

dihasilkan cenderung lembek dan produksinya berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan infeksi penyakit AI. Secara individual, gejala klinis yang dapat diamati pada unggas yang terinfeksi HPAIV sering ditandai dengan apati dan tidak banyak bergerak (imobilitas). Pembengkakan muncul di daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan, dan sesekali tampak susah bernapas. Gejala-gejala sistem syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia terjadi pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kamps et al.

2007). Wabah HPAI yang terjadi di Saxonia, Jerman pada tahun 1979 tampak bahwa angsa yang terlalu sering berenang memutar mengelilingi kolam, merupakan tanda pertama kecurigaan adanya HPAI yang menginfeksi angsa tersebut.

Penularan virus AI dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Penyebaran virus AI terjadi melalui kontak langsung antar unggas, kontaminasi air, dan benda-benda lain yang tercemar virus (Capua et al. 2008). Hal ini berbeda dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, dan kuda) terutama terjadi melalui percikan cairan lendir hidung dan mulut. Penularan virus AI dengan kontak tidak langsung menurut Wuryatmi et al. (2005) dapat terjadi melalui :

1. Percikan cairan atau lendir yang berasal dari hidung dan mata unggas terinfeksi.

2. Paparan muntahan.

3. Lubang anus unggas yang sakit.

4. Penularan melalui udara akibat konsentrasi virus yang tinggi di dalam saluran pernapasan.

5. Melalui sepatu dan pakaian peternak (pekerja di kandang) yang terkontaminasi.

6. Melalui pakan, air minum, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI. 7. Melalui perantara angin yang memiliki peran penting dalam penularan

penyakit di dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam penyebaran antar kandang.

(18)

8. Unggas air berperan sebagai reservoir virus AI melalui virus yang terdapat di dalam saluran usus (intestinal) dan dilepaskan melalui kotoran (feces). Hasil penelitian Okazaki et al. (2000) menunjukkan bahwa titer ekskresi tertinggi dilaporkan mencapai 108,7 x 50 % dosis telur terinfeksi (egg infected dose, EID 50) per gram tinja unggas. Virus AI pada unggas memiliki kemampuan mempertahankan daya penularannya di lingkungan dengan baik, terutama di permukaan air. Suspensi virus dalam air mampu bertahan selama lebih dari 100 hari pada suhu 17o C. Pada suhu di bawah -50o C virus AI dapat bertahan sampai dengan waktu yang tidak terbatas. Masuknya virus LPAI subtipe H5 atau H7 ke tubuh unggas yang rentan merupakan dasar dari rantai infeksi. Risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan dapat terjadi apabila unggas tersebut dibiarkan hidup bebas berkeliaran, menggunakan air yang juga digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran burung liar pembawa virus (Capua 2003).

Jenis Hewan Rentan Penyakit Avian influenza

Unggas dapat terinfeksi virus AI jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang mengandung virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang terkontaminasi virus seperti kotoran (feces), rontokan bulu dan lendir. Virus influenza tipe A dapat menginfeksi berbagai jenis hewan seperti babi, kuda, kucing, harimau, mamalia laut, unggas dan manusia (Murtini et al. 2008). Hampir setiap bangsa burung (avian) rentan terinfeksi virus AI, namun derajat kerentanan antar spesies berbeda-beda. Jenis burung yang rentan terinfeksi virus AI antara lain ayam, kalkun, ayam mutiara, angsa, itik, bebek, burung puyuh, merak, burung camar, kuntul, dan lain-lain. Burung peliharaan yang rentan terinfeksi antara lain beo, merpati, parkit, kakatua, elang, dan nuri. Infeksi pada ayam dan kalkun ditandai dengan serangan mendadak, dan gejala yang hebat, serta kematian populasi mendekati 100 % dalam jangka waktu 48 jam. Pada tahun 1982 dilaporkan bahwa virus AI dengan patogenitas rendah didapatkan pada burung nuri (H4N4), pelikan (H4N6), dan itik

(19)

(H4N2 dan H4N6). Pengujian sampel usap trakea, kloaka, dan serum pada burung puyuh tahun 1991 ditemukan subtipe virus H3N2, H4N2, H6N6, H5N2, H5N9, H7N1, H7N3, H9N2, H10N4 dan H10N7 (Akoso 2006). Infeksi virus juga dapat terjadi di beberapa spesies burung liar, namun kerentanannya sangat bervariasi bergantung kepada spesies dan umur unggas, serta strain virusnya.

Secara normal unggas air seperti itik, bebek, dan unggas air lain yang hidup di laut membawa virus AI H5N1. Walaupun tubuh unggas tersebut terinfeksi, akan tetapi tidak menunjukkan gejala sakit dan dapat hidup secara sehat. Hal ini disebabkan karena virus berada dalam keadaan yang evolusioner statis dan terjadi toleransi yang seimbang dengan unggas tersebut yang secara klinis ditunjukkan dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus (Kamps et al.

2007). Jenis hewan lain yang juga ditemukan virus AI adalah harimau, kucing, dan leopard seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Asia. Kenyataan tersebut menimbulkan fenomena baru mengingat ketiga spesies hewan ini sebelumnya tidak pernah dilaporkan rentan terinfeksi virus AI. Menurut Tarigan

et al. (2008), sejumlah besar kucing liar yang terdapat di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki tingkat infeksi virus AI yang sangat tinggi (86,5 %). Kamps et al. (2007) menyatakan bahwa infeksi virus AI secara alami juga ditemukan di dalam tubuh harimau dan kucing besar di kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan tersebut diberi makan daging ayam yang terinfeksi virus. Hewan-hewan tersebut kemudian sakit dan mengalami kematian dalam jumlah besar.

Penyebaran Penyakit Avian influenza di Indonesia

Avian influenza mewabah di Indonesia pada tahun 2003 dengan ditemukannya kematian sejumlah besar unggas di Jawa Tengah dan Banten. Selain di Indonesia, kematian sejumlah besar unggas juga terjadi Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Laos, Cina, dan Malaysia (Siegel 2006). Penyakit AI menjadi endemik dan terdapat di sebagian besar wilayah provinsi di Indonesia, penyebarannya meluas di 9 provinsi dan 53 kabupaten/kota pada tahun

(20)

2003. Diagnosis lebih lanjut penyakit AI pada tahun 2006 menyebar di 26 provinsi dan 172 kabupaten/kota. Sampai dengan bulan Mei 2007 wilayah yang tertular virus AI pada unggas telah mencapai 31 provinsi.

Menurut Wuryatmi et al. (2005) virus influenza A H5N1 menyerang ternak ayam Indonesia sejak bulan Oktober 2003. Sampai dengan bulan Februari 2005, infeksi virus AI telah mengakibatkan 14,7 juta ayam mati. Pada bulan November 2005 terdapat 154 kabupaten/kota di 23 provinsi telah tertular (dan menjadi daerah endemis) Avian influenza pada unggas, yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Kalimanatan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimanatan Timur, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nangroe Aceh Darussalam. Kasus positif AI di Tasikmalaya, Jawa Barat pertama kali di temukan pada bulan Februari 2004 (Sudarnika et al.

2008).

Kerugian di bidang ekonomi akibat dampak yang ditimbulkan oleh wabah AI di Indonesia menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) antara lain (1) penurunan produksi anak ayam umur satu hari (day old chick, DOC) pada perusahaan pembibitan unggas (breeding farm) hingga 40 %; (2) penurunan produksi pakan pada perusahaan pakan ternak hingga 14,58 %; (3) penurunan jumlah penjualan pakan ternak yang dialami pengusaha poultry shop mencapai 40 %; (4) penutupan usaha peternakan (farm) hingga 30 %; (5) penurunan jumlah produksi jasa pemotongan ayam hingga 40 %; (6) penurunan volum penjualan ayam yang dialami pengusaha distributor dan penjual ayam hingga 80 %.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Avian influenza di Indonesia

Wabah virus AI pada unggas yang sangat patogen dapat mengakibatkan kerugian besar baik bagi peternakan unggas skala besar maupun peternakan kecil (peternakan individual atau rumah tangga). Upaya pencegahan dan pengendalian virus AI yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia

(21)

(DEPTAN RI) berfokus pada unggas sebagai hewan rentan tertular dan mampu menularkan virus sebagai sumber penyebab utama penyakit flu burung pada manusia (Bagindo 2007). Upaya pencegahan dan pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza, Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia (DITJENAK RI) melaksanakan 9 (sembilan) langkah penanggulangan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan biosekuriti secara ketat.

Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak atau penularan dengan sumber penyakit (Iqbal et al.

2009). Biosekuriti dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran agen penyakit unggas (mikroorganisme berbahaya) ke berbagai fasilitas di peternakan (kandang). Tindakan biosekuriti yang dilakukan menurut DITJENAK (2004) yaitu :

a. Pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina (isolasi) tempat-tempat penampungan unggas dan peternakan (farm) yang tertular dengan cara sebagai berikut :

1. Membatasi lalu lintas material kontaminan asal unggas seperti unggas dan produk-produknya, pakan, kotoran, bulu, dan alas kandang (litter).

2. Membatasi lalu lintas orang (pekerja) dan kendaraan yang keluar masuk lokasi.

3. Menjamin kesehatan semua orang/pekerja yang berada di lokasi peternakan (harus dalam kondisi sehat).

4. Para pekerja peternakan dan semua orang yang masuk lokasi peternakan/penampungan unggas harus menggunakan pakaian pelindung, kacamata, masker, sepatu pelindung dan harus melalui tindakan disinfeksi dan sanitasi.

5. Mencegah kontak antara unggas dengan burung liar (unggas air), rodensia (tikus) dan hewan lain.

(22)

b. Melakukan tindakan dekontaminasi atau disinfeksi.

Dekontaminasi atau disinfeksi adalah tindakan menyucihamakan secara tepat dan cermat terhadap pakan, tempat pakan, tempat minum, semua peralatan, pakaian pekerja kandang, alas kaki, kendaraan dan bahan lain yang tercemar, bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas, kandang/tempat penampungan unggas, keranjang penampungan (crate), permukaan jalan menuju peternakan (kandang) atau tempat penampungan unggas (Smith 2002). Prosedur dekontaminasi yang perlu dilakukan menurut DITJENAK (2004) yaitu :

1. Melakukan disinfeksi terhadap semua bahan, sarana peralatan, dan bangunan kandang yang bersentuhan dengan unggas tertular termasuk limbah padat dan cair. Apabila pelaksanaan dekontaminasi/disinfeksi tidak dapat dilakukan secara efektif, maka bahan dan peralatan tidak permanen yang terkontaminasi harus dimusnahkan dan dikubur di lokasi peternakan.

2. Lokasi jalan menuju ke area peternakan tertular dan area sekitar kandang unggas, semua kendaraan termasuk kendaraan pengangkut unggas, telur, pakan unggas, dan kendaraan lainnya yang masuk ke lokasi peternakan (penampungan unggas) harus dilakukan penyemprotan dengan desinfektan yang tepat.

3. Desinfektansia yang digunakan adalah desinfektan yang memiliki sifat tahan terhadap organik, tidak bersifat korosif dan tahan terhadap panas seperti asam perasetat (paracetic acid), hidroksiperoksida, sediaan ammonium kuartener, formaldehid 2-5 %, iodoform kompleks, senyawa fenol, dan natrium hipoklorit.

4. Pada setiap tahapan dekontaminasi harus dicegah agar tidak terjadi penyebaran partikel debu dan udara yang kemungkinan bercampur dengan kotoran unggas tertular yang dapat menyebarkan virus.

2. Vaksinasi.

Pelaksanaan vaksinasi dilakukan menurut DITJENAK (2004) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(23)

a. Menggunakan vaksin inaktif (killed vaccine) produksi dalam negeri atau vaksin inkatif asal impor yang memiliki strain virus homolog dengan subtipe virus isolat lokal (strain H5) dan telah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah.

b. Pelaksanaan vaksinasi dilakukan di daerah tertular, dilakukan secara masal terhadap seluruh unggas sehat dengan penyuntikan secara individual dan apabila diperlukan dapat dilakukan penyuntikan ulang (booster). Vaksinasi tersebut dilakukan kepada seluruh unggas terancam di daerah tertular, termasuk ayam ras, ayam buras, bebek, itik, kalkun, angas, burung dara, burung puyuh, dan unggas lainnya (Marco et al. 2003).

c. Melakukan monitoring pasca vaksinasi untuk mengetahui tingkat kekebalan unggas dengan metode pemeriksaan serologi HI test

menggunakan antigen yang homolog dengan strain vaksin.

3. Tindakan pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular.

Pemusnahan selektif (depopulasi) adalah suatu tindakan untuk mengurangi populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit. Depopulasi dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu :

a. Neck dislocation, adalah tindakan memutus syaraf spinal yang mengatur ritme sistem pernapasan dan jantung.

b. Dekapitasi, adalah tindakan pemenggalan/penyembelihan dengan menggunakan pisau/skalpel dengan tujuan mengeluarkan darah secara cepat.

c. Anastesi, adalah tindakan menyuntikkan obat sedatif dan barbiturat untuk tujuan menurunkan fungsi syaraf pusat, menghilangkan kesadaran, sakit, depresi, sampai membuat pernapasan dan jantung berhenti.

Langkah-langkah pemusnahan selektif (depopulasi) unggas yang terserang virus AI menurut DITJENAK (2004) yaitu :

a. Depopulasi dilakukan terhadap semua peternakan tertular yang ditetapkan melalui diagnosa klinis dan patologi anatomi oleh dokter hewan.

(24)

b. Depopulasi dilakukan terhadap semua unggas tertular (sakit) dan unggas sehat yang sekandang dengan cara membunuh atau menyembelih sesuai prosedur pemotongan unggas yang berlaku.

Tindakan lain yang dilakukan setelah depopulasi yaitu disposal. Disposal adalah prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati (bangkai), karkas, telur, kotoran, bulu, alas kandang, pupuk dan pakan ternak yang tercemar, serat bahan dan peralatan lain terkontaminasi yang tidak dapat didisinfeksi secara efektif. Prosedur disposal yang perlu dilakukan berpedoman kepada hal-hal sebagai berikut :

a. Lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus di dalam lokasi peternakan tertular dalam jarak minimal 20 meter dari kandang dan jauh dari penduduk untuk mencegah polusi maupun penyebaran penyakit. b. Pembakaran sedapat mungkin dilakukan di dalam lubang yang telah

disiapkan untuk penguburan. Pembakaran juga dapat dilakukan menggunakan incinerator untuk mencegah polusi.

c. Lubang tempat penguburan harus memiliki kedalaman minimal 1,3 meter, ditutup rapat dengan tanah, dan ditaburi kapur atau desinfektansia.

d. Apabila tempat pembakaran/penguburan harus dilakukan di luar areal peternakan yang terinfeksi, maka lokasi pelaksanaan pembakaran/penguburan harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan setempat.

4. Pengendalian lalulintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan. DITJENAK RI menghimbau bahwa pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas hidup, telur (tetas dan konsumsi), produk unggas (karkas/daging unggas dan hasil olahannya), dan limbah peternakan dilakukan sebagai berikut:

a. Tidak memindahkan anak unggas umur sehari (DOC) dari daerah yang terkena wabah kecuali anak unggas umur sehari bibit induk (parent stock)

(25)

b. Parent stock tersebut harus berasal dari peternakan pembibitan yang tidak terjadi wabah AI.

c. Tidak mengeluarkan unggas dewasa dari peternakan yang terkena wabah. d. Segera memusnahkan keranjang tempat penampungan unggas (crate) saat

terjadi pemindahan unggas.

5. Pengisian kandang kembali (restocking).

Pengisian kandang kembali (restocking) adalah melakukan pengisian kembali ternak (unggas) ke kandang peternakan untuk melanjutkan usaha peternakan tersebut. Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan semua prosedur tindakan dekontaminasi (disinfeksi dan/atau disposal) telah dilaksanakan dengan baik (DITJENAK 2004).

6. Surveilans dan penelusuran.

Surveilans adalah suatu sistem yang terus menerus dilakukan untuk pengumpulan, analisis, interpretasi tentang frekuensi/distribusi penyakit di dalam suatu populasi untuk tujuan mengambil langkah-langkah dalam upaya pengendalian atau investigasi lebih lanjut (KOMNAS FBPI 2008). Sasaran surveilans dan penelusuran adalah semua spesies unggas yang rentan terhadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit. Tujuan palaksanaan surveilans antara lain :

a. Menetapkan sumber infeksi di daerah tertular baru.

b. Menetapkan penyebaran/perluasan penyakit untuk mengetahui perkembangan pengendalian dan pemberantasan penyakit.

c. Menetapkan wilayah daerah bebas, daerah terancam, dan daerah tertular penyakit.

d. Mendeteksi tingkat kekebalan kelompok pasca vaksinasi.

Pelaksanaan kegiatan surveilans harus diikuti dengan kegiatan penelusuran untuk menentukan sumber infeksi dan menahan secara efektif penyebaran penyakit. Pelaksanaan kegiatan surveilans juga dapat menggunakan ayam sentinel. Ayam sentinel adalah ayam sehat yang peka (rentan) terhadap

(26)

infeksi virus dan dipelihara bersama-sama populasi ayam yang dicurigai terinfeksi virus (Salman 2003). Infeksi virus yang terjadi pada ayam sentinel menunjukkan terdapat sumber infeksi (penyebaran penyakit) populasi yang tersebut. Penelusuran dilakukan minimum mulai dari periode 14 hari sebelum timbul gejala klinis sampai tindakan karantina mulai diberlakukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan penelusuran meliputi : a. Asal dan jenis unggas.

b. Produk daging, telur, bulu, tulang, darah dan lain-lain.

c. Bahan perantara : kendaraan pengangkut unggas, pengangkut telur, pengangkut pakan, peralatan, dan material terkontaminan (kotoran). d. Peternak/petugas kandang, pedagang ternak, penual pakan, pengunjung

dan lain-lain.

7. Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru.

Pada daerah bebas/terancam apabila muncul wabah AI dan telah terdiagnosa secara klinis, patologi anatomis, dan epidemiologis, serta dikonfirmasi secara laboratoris, maka dilakukan tindakan pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) yaitu memusnahkan seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat pada peternakan tertular termasuk semua unggas yang berada di dalam radius 1 km peternakan tersebut (DITJENAK 2004). Tindakan pemusnahan secara menyeluruh ini dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Kejadian penyakit masih dapat dilokalisir dan tidak berpotensi menyebar secara cepat ke peternakan (daerah) lain.

b. Batasan jumlah ternak unggas yang akan dimusnahkan masih dianggap ekonomis oleh peternak.

c. Peningkatan biosekuriti dan pembatasan lalu lintas secara ketat harus diberlakukan di peternakan tertular tersebut.

Apabila pada tahapan tertentu tindakan pemusnahan menyeluruh sudah terlambat dilakukan dan penyebaran penyakit sudah semakin meluas, maka

(27)

tindakan menyeluruh dapat diubah menjadi tindakan vaksinasi dan pemusnahan selektif (depopulasi).

8. Peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness).

Sosialisasi tentang penyakit yang disebabkan oleh virus AI kepada masyarakat dan peternak sangat penting karena dampak kerugian yang ditimbulkan secara ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat sangat besar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media elektronik, media massa cetak, pemasangan spanduk dan sebagainya. Kegiatan tersebut juga dapat dilakukan melalui program pendidikan kepada masyarakat melalui seminar, pelatihan dengan bekerjasama industri perunggasan dan asosiasi bidang peternakan (DITJENAK 2004).

9. Monitoring, pelaporan, dan evaluasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan monitoring, pelaporan, dan evaluasi menurut DITJENAK (2004) adalah : a. Monitoring sangat penting dilakukan untuk mengetahui keberhasilan

kegiatan. Monitoring dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan kegiatan, dampak, dan permasalahan yang terjadi pada saat kegiatan dilaksanakan sehingga dapat dilakukan penyempurnaan pada kegiatan yang akan datang.

b. Pelaporan meliputi laporan situasi penyakit dan perkembangan pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan penyakit, termasuk penggunaan vaksin dan distribusinya.

c. Evaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian target fisik kegiatan, dampak keberhasilan, dan permasalahan yang timbul selama pelaksanaan program. Materi evaluasi yang penting diantaranya adalah penyediaan dan distribusi sarana (vaksin, obat, peralatan, dan lain-lain). Realisasi pelaksanaan operasional (vaksinasi, pengamatan, diagnose, langkah-langkah yang telah diambil dalam pengendalian dan pemberantasan), serta situasi penyakit (sakit, mati, stamping out, kejadian terakhir) dan lain-lain.

(28)

Untuk meningkatkan penanggulangan wabah AI, beberapa hal yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah povinsi dan kabupaten/kota menurut Prima (2007) adalah :

1. Melaporkan secara dini setiap adanya kasus AI.

2. Mengimplementasikan sembilan tindakan (strategi) pencegahan, pengendalian dan pemberantasan AI secara tegas, antara lain :

a. Depopulasi (pemusnahan selektif) terhadap semua unggas tertular (sakit) dan unggas sehat yang berada dalam satu blok (peternakan). b. Stamping out (pemusnahan secara menyeluruh) semua unggas di

daerah tertular baru.

c. Penutupan lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan unggas dengan keputusan bupati/walikota.

d. Vaksinasi massal AI seluruh unggas rakyat (100 % populasi), terutama terhadap ayam kampung (buras), burung puyuh dan unggas lain yang ada di daerah tertular maupun terancam.

e. Memperketat lalu lintas ternak (terutama unggas dan produknya) di wilayah bebas AI sesuai dengan peraturan yang berlaku.

f. Membentuk tim task force penanggulangan AI di tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan melakukan konsultasi secara regular.

3. Meningkatkan pelaksanaan pengamatan dan surveilans.

4. Menangani dengan cepat adanya laporan kasus dugaan flu burung pada manusia.

5. Menyusun tata ruang komoditas usaha peternakan guna melindungi industri peternakan dan kesehatan masyarakat.

6. Pengaturan dan penataan PUH dan TPnA untuk mencegah kemungkinan penularan yang tidak terkendali di masa yang akan datang.

7. Melakukan penyuluhan (public awareness) kepada masyarakat.

8. Meningkatkan fungsi pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan zoonosis dengan membentuk Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

(29)

Pasar Unggas dan Tempat Penampungan Ayam

Pasar unggas memegang peranan penting dalam penyediaan produk unggas seperti daging ayam dan telur bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan pasar unggas membuka peluang terjadinya pasar unggas hidup (PUH) dan penyebaran penyakit yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Tempat-tempat yang perlu diperhatikan dari aspek kesehatan masyarakat adalah PUH dan tempat penampungan ayam (TPnA). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pasar unggas merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi dalam penyebaran virus AI (Jaelani 2008). PUH merupakan tempat bertemunya unggas dari berbagai peternakan dan bersinggungan langsung dengan manusia, sedangkan TPnA adalah bagian dari PUH yang berfungsi sebagai tempat dikumpulkannya ayam dari berbagai daerah sebelum dibawa ke PUH, tempat pemotongan unggas (TPU) atau distribusi lebih lanjut (Anonim 2008).

Menurut Senne (2003), pasar ungas hidup merupakan pasar yang sangat kompleks dalam upaya penyediaan daging unggas segar yang tersebar di seluruh penjuru kota-kota besar di dunia. Unggas yang datang ke PUH berasal dari peternakan-peternakan unggas yang biasanya telah mengalami perjalanan jauh dengan menggunakan truk pengangkut. Selama dalam perjalanan biasanya unggas dimasukkan ke dalam keranjang khusus (crate) berisi 10 – 15 ekor setiap keranjang. Keranjang yang diisi sejumlah unggas tersebut akan memudahkan calon pembeli untuk memilih tipe unggas yang diminati, selanjutnya dapat disembelih (dipotong) untuk diambil karkasnya. Penampungan jumlah unggas yang tidak terlalu banyak dan sesak di dalam keranjang bermanfaat dalam menjaga kualitas daging yang dihasilkan. Selama di TPnA unggas-unggas ditempatkan di dalam kandang yang saling berdekatan, bahkan sering ditempatkan bersama spesies unggas lain (Suartha et al. 2010).

Kandang penampungan di TPnA terdiri atas kandang postal yang beratap genting dan lantai yang terbuat dari semen (beton). Tiang penyangga kandang terbuat dari beton atau tiang kayu. Dinding kandang umumnya terbuat dari beton atau kayu pada sisi belakang kandang. Sedangkan sisi yang lain tidak berdinding

(30)

dan umumnya hanya di batasi dengan kawat anyaman atau bilah bambu yang disusun sedemikian rupa agar dapat mencegah ternak tidak keluar kandang. Luas kandang umumnya 500 m2 dan terbagi menjadi beberapa kandang kecil (kamar) yang dipisahkan dengan kawat yang dianyam, susunan bilah bambu, atau tumpukan keranjang (crate) yang disusun sedemikian rupa dapat membuat batas antara kamar satu dengan kamar yang lain. Tujuan pembuatan kandang-kandang kecil ini adalah untuk mengurangi kepadatan ternak yang dipelihara di dalam kandang. Selain itu, kandang-kandang kecil dapat digunakan sebagai tempat isolasi ternak ayam yang ditemukan sakit untuk diobati, dijual lebih awal, atau dipotong (dimusnahkan). Di area sekitar kandang penampungan biasanya terdapat parit (selokan) yang umumnya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah TPnA pada saat dilakukan kegiatan perawatan kebersihan kandang. Kandang TPnA dibersihkan berkala setelah ayam habis terjual dan akan digantikan dengan ayam yang baru. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara menyapu lantai, dinding, dan atap kandang dari berbagai kotoran yang menempel. Apabila kandang ditemukan sangat kotor maka dibersihkan dengan cara mencuci dan mendisinfeksi.

Lemahnya penerapan biosekuriti dan higiene sanitasi di PUH dan TPnA menyebabkan tempat tersebut berisiko sebagai sumber penularan virus AI ke unggas, manusia, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan WHO bahwa PUH dan TPnA merupakan salah satu tempat kritis dalam penularan virus AI dan perlu mendapat perhatian serius, mengingat wabah yang terjadi pada peternakan unggas menyebabkan pasar unggas sebagai salah satu tempat penting dalam penularan penyakit AI ke manusia (Senne 2003; Suartha et al. 2010). Penelitian yang dilakukan di 7 kota wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten menunjukkan bahwa 46,89 % PUH telah terkontaminasi virus AI. Apabila PUH telah terkontaminasi virus AI, maka virus akan dapat dideteksi pada tempat yang memiliki titik kritis tinggi penularan virus AI (>50 %) seperti tempat penjajaan (display) produk unggas, tempat pemotongan unggas (TPU), dan TPnA (Indriani

(31)

Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA

Desain dan tata letak TPnA sedemikian rupa memenuhi persyaratan untuk melindungi ayam dari sinar matahari langsung dan hujan selama berada di dalam kandang penampungan (KOMNAS FBPI 2008). Beberapa prosedur operasional yang harus dilakukan antara lain biosekuriti, higiene, sanitasi, dan tatalaksana penampungan. Setiap kendaraan pengangkut yang masuk dan keluar TPnA wajib didisinfeksi. Upaya penerapan manajemen kesehatan unggas antara lain setiap unggas yang datang harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang dibuat oleh dokter hewan berwenang di daerah asal unggas dan telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan oleh petugas dibawah pengawasan dokter hewan berwenang. Selain itu, memisahkan ayam sakit (isolasi) dan membuang ayam mati dari kandang penampungan sangat bermanfaat dalam mencegah penularan penyakit AI (Suartha et al. 2010). Membuang ayam mati (bangkai) dilakukan dengan cara membakar atau mengubur pada tempat yang aman. Menurut Wolfgang (2001) isolasi terhadap unggas sakit akan menjaga agen penyakit tidak menular ke unggas yang rentan dan mendukung proses penyembuhan unggas sakit sekaligus meminimalkan dampak kerugian ekonomi. Penerapan higiene dan sanitasi dapat dilakukan dengan cara membersihkan dan mendisinfeksi tempat penampungan, mencuci dan mendisinfeksi peralatan pakan dan minum, serta peralatan perlindungan diri setiap hari.

Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit dipengaruhi oleh keberhasilan dalam upaya memutus rantai penularan penyakit tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk memutus rantai penyebaran penyakit yang disebabkan oleh ternak yang sakit antara lain memotong (memusnahkan) ternak tersebut. Tindakan memotong ternak dilakukan dengan memperhatikan prosedur pemotongan sebagai berikut (Abubakar 2003) :

1. Ayam yang akan disembelih dalam keadaan baik dan tidak dalam keadaan lelah.

2. Ayam yang akan disembelih terlebih dahulu telah diistirahatkan selama 12-24 jam.

(32)

3. Ayam disembelih pada leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis agar darah keluar sempurna.

4. Pencabutan bulu dilakukan setelah ayam tersebut benar-benar mati. 5. Limbah sisa pemotongan (darah, bulu, kuku, dan kotoran) di buang

pada tempat yang aman dengan cara dikubur.

Menurut Grimes (2001), unggas yang sakit dapat menghasilkan lendir baik dari mulut maupun dari anus. Lendir yang dihasilkan dapat mengandung mikroorganisme patogen (agen penyakit) yang dapat menyebar ke lingkungan karena aktivitas unggas tersebut. Faktor pemicu penyebaran mikroorganisme ke lingkungan seperti temperatur udara, kelembaban lingkungan, dan jumlah cahaya/sinar matahari. Lendir yang berbentuk aerosol dapat mencemari lingkungan, debu peternakan, kotoran unggas, peralatan kandang, makanan, air, dan bangkai ternak karena aktivitas hewan vektor lainnya seperti serangga. Memperhatikan perkembangan rantai penyebaran virus AI ke manusia yang berasal dari unggas maka tindakan memutus rantai penularan dari unggas ke manusia merupakan langkah yang tepat (Tumuha 2008). Upaya lain yang dapat dilakukan ialah menciptakan pasar unggas yang sehat sebagai langkah nyata upaya menekan penyebaran dan pengendalian virus AI.

Beberapa aspek penting yang harus tercakup di dalam pasar unggas sehat menurut Saptana dan Sumaryanto (2009) antara lain :

1. Keberadaan pasar.

Pasar unggas yang diharapkan adalah pasar yang menyediakan produk-produk unggas yang bebas dari agen penyakit. Kegiatan jual beli unggas dilakukan dalam keadaan bentuk telah menjadi karkas dan tidak dalam keadaan unggas hidup untuk menghindari penyebaran agen penyakit menular.

2. Penerapan biosekuriti.

Biosekuriti dilakukan untuk membatasi terjadinya penyebaran agen penyakit dengan cara membatasi kontak yang terjadi antar unggas dan antar manusia.

(33)

3. Higiene dan sanitasi.

Praktik-praktik higiene dan sanitasi yang dilakukan dengan baik di pasar unggas akan mencegah terjadinya penyebaran agen penyakit.

4. Pemisahan (zoning) antara tempat aktivitas penanganan unggas dan produknya (TPnA, TPU, dan tempat penjualan karkas/daging) dengan tempat penjualan komoditi lain.

5. Aktivitas penanganan unggas dan produknya terletak dalam satu area khusus.

6. Fasilitas dan infrastruktur yang layak. 7. Pemeriksaan kesehatan unggas.

Pemeriksaan kesehatan unggas dilakukan oleh petugas khusus dari dinas terkait untuk menjamin bahwa hanya unggas sehat yang diperjualbelikan. 8. Sistem pengawasan keamanan daging unggas (meat inspection system). 9. Konsep produk unggas yang keluar dari pasar dalam bentuk karkas bukan

dalam bentuk unggas hidup.

10. Pemberdayaan masyarakat pasar yaitu pengelola pasar, pemasok, pengumpul dan pedagang unggas hidup, petugas pemotong unggas, pedagang daging/karkas, pemerintah daerah, pihak swasta, konsumen, dan kerjasama semua pihak yang terkait.

Peran TPnA dalam Penyebaran AI

Menurut Kamps et al. (2007), pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan ditempatkan secara berdesakan merupakan faktor pendukung penyebaran virus AI. Tindakan pengamanan (biosecurity) yang baik untuk mengisolasi peternakan unggas dapat mencegah penularan agen penyakit dari satu peternakan ke peternakan yang lain secara efektif. Penularan virus secara mekanis dapat terjadi melalui peralatan, kendaraan, pakan ternak, pakaian terutama sepatu, dan kandang (keranjang) yang tercemar. Penelitian yang dilakukan terhadap wabah HPAI di Italia selama tahun 1999-2000 menunjukkan penularan terjadi melalui perpindahan populasi unggas (1,0 %), kontak yang

(34)

terjadi selama pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8,5 %), lingkungan dalam radius satu kilometer dari peternakan yang terinfeksi (26,2 %), truk pengangkut pakan, kandang, atau bangkai unggas (21,3 %), penularan secara tidak langsung karena pertukaran/perpindahan karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9,4 %) (Capua et al. 2005). Tidak ada petunjuk bahwa wabah yang terjadi di Italia tersebut juga menyebar melalui udara, tetapi pada wabah AI yang terjadi di Belanda (tahun 2003) dan Kanada (tahun 2004) diperkirakan terjadi penyebaran melalui udara (Kamps et al. 2007).

Pada tahun 1994, infeksi virus AI telah menyebar di pasar unggas hidup di kota-kota besar di wilayah Amerika Utara. Penyebaran virus tersebut terus berlangsung seiring dengan pesatnya laju pasar unggas hidup hingga menyebar ke industri peternakan unggas pada tahun 1996 (Senne 2003). Kondisi yang ditemui di PUH Indonesia dan produknya berdasarkan hasil lokakarya PUH (workshop on live bird markets) yang diadakan oleh Komnas FBPI, USDA dan CIVAS (Jaelani 2008) antara lain :

1. Belum ada pemeriksaan kesehatan hewan dan produk-produknya secara rutin.

2. Implementasi biosekuriti yang belum maksimal.

3. Tidak ada program pembersihan dan disinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan.

4. Tidak ada pembatas yang jelas antara tempat penampungan, pemotongan, dan penjualan unggas serta produk-produknya dengan tempat komoditi lain.

5. Tidak diketahui sumber/asal ayam dan status kesehatannya.

6. Sistem transportasi unggas belum memenuhi standar dan tidak memenuhi kaidah animal welfare.

7. Tidak ada pintu khusus untuk sirkulasi unggas ke pasar.

8. Tempat pengumpulan/penampungan dan pemotongan unggas tidak memenuhi standar minimal higiene dan sanitasi yang baik.

9. Penjualan berbagai macam spesies unggas (ayam buras, bebek, dan ayam ras) dalam satu tempat.

(35)

10.Penjualan ayam hidup masih banyak terjadi (konsumen membawa pulang ayam hidup).

11.Belum ada peraturan tentang penataan unggas hidup dan produknya di pasar.

12.Higiene personal yang masih buruk.

13.Kurangnya kesadaran dari para penjual dan pembeli mengenai produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Beberapa kondisi yang ditemukan di PUH dan TPnA antara lain penjualan berbagai macam spesies unggas dalam satu tempat, higiene yang buruk, pembersihan dan desinfeksi yang terbatas, serta tidak adanya pemeriksaan kesehatan unggas sebelum dipasarkan merupakan praktik-praktik yang berisiko tinggi dalam penyebaran virus AI (Basri et al. 2008). Kondisi ini memudahkan penyebaran dan penularan virus AI baik penularan antar unggas, unggas ke manusia maupun dari unggas ke lingkungan. Penelitian yang dilakukan terhadap pasar unggas hidup di Indonesia melalui identifikasi titik kritis infeksi/penyebaran virus AI menghasilkan temuan yaitu tempat penjajaan produk unggas (76,92 %), tempat pemotongan unggas (74,35 %), tempat penampungan unggas (61,53 %), dan tempat pembuangan limbah pasar sebesar 23,07 % (Indriani et al. 2008).

(36)

METODE PENELITIAN

Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2 Kerangka konsep penelitian.

Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah kohort prospektif. Studi kohort digunakan untuk mendapatkan faktor risiko yang berasosiasi dengan terjadinya sebuah penyakit pada dua kelompok/populasi dengan cara mengikuti perjalanan penyakitnya. Penelitian ini dilakukan dengan melihara ayam sentinel bersama ayam yang akan dijual di TPnA. Ayam sentinel adalah ayam sehat yang peka (rentan) terhadap infeksi virus dan dipelihara bersama-sama populasi ayam yang dicurigai terinfeksi virus. Penggunaan ayam sentinel di dalam penelitian surveilans antara lain untuk (1) mengamati dan mengenali penyebaran agen penyakit, (2) menelusuri perubahan-perubahan insidensi penyakit, (3) menilai efektifitas program pengendalian penyakit baru, dan (4) membuktikan hipotesis tentang epidemiologi agen penyakit. Ayam sentinel memiliki karakteristik mudah terpapar agen penyakit (susceptible to the infection agent) sehingga mudah dilakukan observasi dan cocok digunakan dalam penelitan/surveilans penyakit (Salman 2003).

Manajemen Kesehatan Unggas di TPnA - Keberadaan SKKH

- Pemeriksaan Kesehatan Ternak - Petugas Pemeriksa Kesehatan - Cara Pemeriksaan Kesehatan - Penanganan Ternak Sakit - Penanganan Ternak Mati

Infeksi virus Avian influenza di TPnA

(37)

TPnA yang terlibat di dalam penelitian ini berjumlah 39 buah. Setiap TPnA mendapatkan 7-8 ekor ayam sentinel. Observasi terhadap status kesehatan ayam sentinel dilakukan selama 3 bulan. Ayam sentinel yang diketahui sakit dipisahkan dari kandang penampungan dan ditempatkan di kandang isolasi. Jika terdapat ayam sentinel yang mati maka sampel usap trakea dan kloakanya diambil untuk uji rt-PCR terhadap virus AI (H5). Peubah (faktor) manajemen kesehatan unggas di dalam penelitian ini adalah (1) keberadaan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) yang dilampirkan saat menerima ayam dari pemasok, (2) pemeriksaan kesehatan ternak yang masuk ke TPnA, (3) petugas pemeriksa kesehatan ternak, (4) cara pemeriksaan kesehatan ternak, (5) penanganan ternak sakit, dan (6) penanganan ternak mati. Informasi mengenai manajemen kesehatan unggas tersebut diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuisioner berstruktur kepada pemilik atau penanggung jawab TPnA.

Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari hasil penelitian surveilans Avian influenza di Tempat Penampungan Ayam (TPnA) di Wilayah DKI Jakarta yang dilakukan oleh Center for Indonesian Veterinary Analitical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Indonesian Dutch Partnership Program on Highly Pathogenic Avian Influenza Control (IDP HPAI), Departemen Pertanian RI, dan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di TPnA yang berada di lima Kota Administrasi di provinsi DKI Jakarta. TPnA yang terlibat di dalam penelitian ini berjumlah 39 buah. Penelitian dilakukan sejak bulan April sampai dengan Juni 2007.

(38)

Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan adalah sampel usap trakea dan kloaka dari ayam sentinel yang dipelihara di TPnA. Ayam sentinel yang digunakan adalah ayam layer komersial yang belum pernah mendapatkan vaksinasi AI dan berasal dari peternakan yang diketahui belum pernah mengalami wabah AI. Untuk menjamin ayam sentinel bebas AI, maka dilakukan uji serologis H5 terhadap ayam sentinel tersebut sebelum dipelihara di TPnA. Sebaran TPnA yang mendapatkan ayam sentinel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Distribusi sampel ayam sentinel di TPnA.

No. Kota Administrasi DKI Jakarta

Jumlah

TPnA Ayam Sentinel

1. Jakarta Pusat 7 63 2. Jakarta Timur 9 72 3. Jakarta Utara 7 56 4. Jakarta Barat 8 57 5. Jakarta Selatan 8 56 Total 39 304 Pengujian Sampel

Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI) Provinsi DKI Jakarta melalui uji rt-PCR (Reverse Transcription -Polymerase Chain Reaction) untuk sampel usap kloaka dan trakea. Uji rt-PCR merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro. Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. DNA polimerase

akan mentranskrip RNA virus AI menjadi DNA komplemen secara simultan dan berganda. Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA) yang terkandung di dalam sampel usap trakea dan kloaka akan terdeteksi oleh DNA komplemen pada uji rt-PCR. Glikoprotein HA dan NA adalah antigen yang berperan penting di dalam infeksi virus AI. Glikoprotein tersebut mudah mengalami mutasi sehingga menghasilkan berbagai variasi subtipe strain virus AI (N1-N9). Uji rt-PCR terhadap sampel usap trakea dan kloaka dilakukan untuk mengamplifikasi NA terhadap virus H5N1.

(39)

Definisi Operasional

Pengertian setiap peubah penelitian dijelaskan dengan definisi operasional seperti yang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Definisi operasional peubah penelitian.

No. Peubah Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Skala

1. Infeksi Virus

Avian influenza

Keberadaan virus AI pada tubuh ayam berdasarkan uji rt-PCR terhadap sampel usap kloaka atau trakea ayam sentinel Hasil uji laboratorium Uji laboratorium Nominal 1 = terinfeksi 2 = tidak terinfeksi 2. Keberadaan SKKH Surat Keterangan Kesehatan Hewan yang dilampirkan oleh pemasok pada setiap truk ayam yang dikirim ke TPnA sebagai bukti bahwa ayam telah diperiksa dokter hewan berwenang dan berstatus sehat

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Ya 2 = Tidak 3. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Kegiatan pememeriksaan terhadap kondisi

kesehatan ayam yang datang ke TpnA

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Ya 2 = Tidak 4. Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak

Orang yang bertugas melakukan pemeriksaan kesehatan ayam yang datang ke TPnA sebelum dimasukkan ke dalam kandang penampungan

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Petugas dinas/ petugas khusus 2 = Dilakukan sendiri 5. Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak Teknik pemeriksaan kesehatan ayam yang datang ke TPnA sebelum dimasukkan ke dalam kandang penampungan

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Seluruh ternak diperiksa 2 = Sampling/ sebagian ternak diperiksa 6. Penanganan Ternak Sakit

Perlakuan yang diberikan terhadap ayam yang menunjukkan gejala-gejala sakit selama masa penampungan

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Dipotong 2 = Dibiarkan/ dipisahkan/ diobati 7. Penanganan Ternak Mati

Perlakuan yang diberikan terhadap ayam yang mati selama masa

penampungan

Kuisioner Wawancara Nominal 1 = Dibakar/

dikubur 2 = Dibuang

(40)

Faktor Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep yang disusun dalam penelitian ini, maka hipotesis yang akan dibuktikan adalah sebagai berikut :

H0 : Tidak ada hubungan antara penerapan manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus Avian influenza di TPnA.

H1 : Ada hubungan antara penerapan manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus Avian influenza di TPnA.

Analisis Data

Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan uji chi-square dan penentuan nilai risiko relatif (RR) masing-masing peubah untuk mengukur derajat asosiasi antara faktor risiko manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus AI di TPnA. Uji chi-square menggunakan rumus :

= ∑( | − |−0,5)

Jika hitung > tabel, maka terdapat hubungan antara penerapan manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus AI. Penentuan nilai RR dihitung pada tabel silang 2 x 2 dan rumus sebagai berikut :

Status Infeksi

RR = ( )

( )

Selang kepercayaan 95 %, Var {ln (RR)} = ( + )

+

( + )

Program SPSS 17.0 digunakan untuk memudahkan penghitungan dan RR.

+ -

+ a b (a+b)

- c d (c+d)

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil penelitian ini disajikan dalam 3 bagian yang diharapkan dapat memenuhi tujuan dan hipotesis penelitian yaitu : (1) distribusi sampel penelitian untuk mengetahui jumlah ayam sentinel yang diamati maupun yang hilang dari pengamatan (lost to follow up); (2) analisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi sampel ayam sentinel yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi berdasarkan peubah (faktor) manajemen kesehatan unggas yaitu: (a) keberadaan SKKH, (b) melakukan pemeriksaan kesehatan ternak/ayam yang datang ke TPnA, (c) petugas pemeriksa kesehatan ternak, (d) cara pemeriksaan kesehatan ternak yang dilakukan, (e) penanganan yang dilakukan terhadap ternak yang menunjukkan gejala sakit, dan (f) penanganan ternak mati/bangkai ayam; (3) analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada/tidaknya hubungan antara faktor manajemen kesehatan unggas (keberadaan SKKH, pemeriksaan kesehatan ternak, petugas_pemeriksa kesehatan, cara pemeriksaan kesehatan ternak, penanganan ternak sakit, dan penanganan ternak mati) dengan terjadinya infeksi virus Avian influenza (AI) di TPnA. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji chi-square

dan pendugaan nilai risiko relatif (RR) setiap faktor tersebut untuk mengukur derajat asosiasi antara faktor risiko manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus AI di TPnA.

Distribusi Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 304 ekor ayam sentinel yang dipelihara bersama ayam yang akan dijual di 39 TPnA di wilayah DKI Jakarta. Selama penelitian tercatat sebanyak 243 ekor (79,9 %) ayam sentinel dapat diamati dengan baik, sedangkan 61 ekor (20,1 %) lainnya hilang dari pengamatan (lost to follow up). Adanya ayam sentinel yang hilang dari pengamatan disebabkan hilang tanpa keterangan dan tidak ada laporan dari pemilik atau penanggung jawab TPnA ke petugas monitoring. Keadaan tersebut terus terjadi

(42)

meskipun petugas monitoring telah menghimbau pemilik (penanggung jawab) TPnA untuk selalu melapor jika menemukan ayam yang sakit atau mati.

Analisis Univariat

Distribusi frekuensi status infeksi virus AI pada sampel ayam sentinel dan faktor-faktor manajemen kesehatan unggas di TPnA disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Distribusi frekuensi infeksi dan manajemen kesehatan unggas di TPnA.

Peubah Jumlah

n %

Status infeksi virus sampel ayam sentinel - terinfeksi - tidak terinfeksi 181 62 74,5 25,5 Keberadaan SKKH - ya - tidak 165 78 67,9 32,1 Pemeriksaan kesehatan ternak

- ya - tidak 188 55 77,4 22,6 Petugas pemeriksa kesehatan

- petugas khusus/petugas dinas - dilakukan sendiri

31 157

16,5 83,5 Cara Pemeriksaan kesehatan

- seluruh ternak diperiksa

- sampling/sebagian ternak diperiksa

112 76

59,6 40,4 Penanganan ternak sakit

- dipotong - dibiarkan/dipisah/diobati 162 81 66,7 33,3 Penanganan ternak mati

- dibakar/dikubur - dibuang 155 88 63,8 36,2 Keterangan : n : ukuran sampel

Status Infeksi Virus AI Pada Sampel Ayam Sentinel

Hasil uji rt-PCR terhadap sampel usap trakea dan kloaka ayam sentinel didapatkan sebanyak 181 sampel terinfeksi virus AI (74,5 %) dan sebanyak 62 sampel lainnya tidak terinfeksi virus (25,5 %).

(43)

Keberadaan SKKH

Faktor keberadaan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu dilampirkan (ya) dan tidak dilampirkan (tidak). Distribusi frekuensi keberadaan SKKH yang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sebagian besar TPnA (67,9 %) melampirkan SKKH setiap menerima pengiriman ayam dari pemasok dan sebanyak 32,1 % TPnA lainnya tidak melampirkannya.

Pemeriksaan Kesehatan Ternak

Faktor pemeriksaan kesehatan ternak dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu diperiksa (ya) dan tidak diperiksa (tidak). Distribusi frekuensi faktor pemeriksaan kesehatan ternak disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sebanyak 77,4 % TPnA melakukan pemeriksaan kesehatan ternak, sedangkan sebanyak 22,6 % TPnA lainnya tidak melakukan pemeriksaan kesehatan ternak.

Petugas Pemeriksa Kesehatan Ternak

Faktor petugas pemeriksa kesehatan ternak dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu dilakukan oleh petugas khusus/petugas dinas dan dilakukan sendiri. Distribusi frekuensi faktor petugas pemeriksa kesehatan ternak disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sebagian besar TPnA melakukan sendiri pemeriksaan kesehatan ternak (83,5 %), sedangkan pemeriksaan kesehatan ternak yang dilakukan oleh petugas khusus/petugas dinas sebanyak 16,5 %.

Cara Pemeriksaan Kesehatan Ternak

Faktor cara pemeriksaan kesehatan ternak dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu seluruh ternak diperiksa dan sampling/sebagian ternak yang

(44)

diperiksa. Distribusi frekuensi faktor cara pemeriksaan kesehatan ternak disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa sebanyak 59,6 % TPnA melakukan pemeriksaan kesehatan ternak dengan cara seluruh ternak diperiksa dan sebanyak 40,4 % TPnA lainnya melakukan pemeriksaan kesehatan dengan cara sampling (sebagian ternak diperiksa).

Penanganan Ternak Sakit

Faktor penanganan ternak sakit dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu dibiarkan/dipisahkan/diobati dan dipotong (dimusnahkan). Distribusi frekuensi faktor penanganan ternak sakit disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa TPnA yang melakukan tindakan membiarkan ternak sakit tetap hidup bersama ayam sehat lainnya, memisahkan ternak yang sakit dari kandang penampungan atau mengobatinya hingga sembuh adalah sebanyak 66,7 %. TPnA yang memilih untuk memotong (memusnahkan) ternak yang ditemukan sakit adalah sebanyak 33,3 %.

Penanganan Ternak Mati atau Bangkai Ayam

Faktor penanganan ternak mati dikelompokkan ke dalam 2 pengukuran yaitu dibakar/dikubur dan dibuang. Distribusi frekuensi faktor penanganan ternak mati disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa TPnA yang membakar/mengubur bangkai ternak adalah sebanyak 63,8 %. TPnA yang membuang bangkai ternak sebanyak 36,2 %.

Analisis Bivariat

Hubungan Antara Manajemen Kesehatan Unggas dengan Infeksi Virus AI

Berdasarkan kerangka konsep akan dilihat hubungan satu persatu antara faktor manajemen kesehatan unggas dengan infeksi virus AI. Analisis statistika yang digunakan adalah uji chi-square. Hasil uji tersebut digunakan batas

Gambar

Gambar 1 Virus Avian influenza.
Tabel 1 Distribusi sampel ayam sentinel di TPnA.
Tabel 2 Definisi operasional peubah penelitian.
Tabel 3 Distribusi frekuensi infeksi dan manajemen kesehatan unggas di TPnA.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pembakaran terbuka  tidak dianjurkan karena berbahaya, batas pandangan tidak jelas, dan angin dapat menyebarkan limbah ke sekitarnya kemana-mana. Jika pembakaran

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1). Pertimbangan guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pelajaran PKn di SMA Negeri

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh perubahan indeks pada beberapa kelompok barang dan jasa, yaitu: kelompok Bahan Makanan sebesar 1,23 persen;

Siswa adalah organism uni yang berkembang sesuai dengan tahap perkembanggnya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, akan tetapi tempo

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah dengan judul Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Pasca Operasi Ruptur Anterior Cruciate Ligamen, Lateral

2017 Seminar Internasional Panitia Institut Kegiatan “Art, Design, Religion, Teknologi dilaksanakan. and Humanities” Bandung tanggal 13 November 2017

Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa nilai pembacaan pH pada boiler water IP Drum adalah 9.88 dengan demikian sistem pengukur derajat keasaman ini dapat digunakan pada

Oleh sebab itu, “kuasa kebenaran terletak di dalam kuasa iman”! Jika Anda sedang bergumul di dalam ‘rasa tidak aman’ seperti ketakutan dan merasa terluka serta ‘diri yang