• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Alat Cangkang Pelecypoda Situs Prasejarah Gua Kidang, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tipologi Alat Cangkang Pelecypoda Situs Prasejarah Gua Kidang, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Tipologi Alat Cangkang Pelecypoda Situs Prasejarah Gua Kidang,

Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah

Rindy Gita Wahyuni1 dan R. Cecep Eka Permana2

1. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424 2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424

E-mail: rindygw@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai tipologi bentuk alat cangkang Pelecypoda situs Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah. Jumlah alat yang diteliti dalam penelitian ini adalah 97 buah. Unit analisis yang digunakan dalam pembentukan tipologi adalah jenis cangkang yang dimanfaatkan, bentuk alat, bentuk tajaman, dan retus pengerjaan. Penelitian ini menghasilkan delapan tipe, 14 sub-tipe, dan 16 variasi alat. Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan bahwa alat-alat cangkang Pelecypoda di situs Gua Kidang umumnya merupakan alat-alat yang menunjukkan sedikit atau tidak adanya modifikasi berupa retus setelah cangkangnya dipangkas untuk menghasilkan suatu bentuk tertentu (expedient tools).

Pelecypod Shell Tools Tipology from Prehistoric Site of Kidang Cave, Blora District,

Central Java Province Abstract

This thesis discusses about morphological types of Pelecypod shell tools from Kidang Cave, Blora, Central Java. Total number of tools that are used in this research are 97 pieces. Attributes which are used as the unit of analysis to form the typology are shell habitat, shape of tool, shape of sharp edge, and retouch. This research shows eight types, 14 sub-types, and 16 variations of Pelecypod shell tools. Furthermore, this research also shows that Pelecypod shell tools from Kidang Cave are generally expedient tools.

Keywords: Kidang Cave; Pelecypod shell tools; prehisitoric; type of form.

Pendahuluan

Cangkang moluska memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan teknologi pada manusia di masa prasejarah, seperti halnya batu dan tulang. Untuk tujuan tertentu atau saat ketika batu langka, maka cangkang moluska yang kuat terkadang dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan alat (Oakley, 1959: 27; Tumung et al., 2012:1). Oleh karenanya, selain dapat dijadikan sebagai sumber data untuk mengetahui keberagaman fauna, aktivitas konsumsi dan ekonomi, keberadaan sisa-sisa moluska pada suatu situs prasejarah juga dapat memberikan informasi mengenai aktivitas pembuatan benda-benda budaya pada masa lalu (Reitz & Wing, 2008: 6; Butzer, 1982: 191).

Secara umum, alat cangkang moluska di Indonesia mempunyai sebaran yang cukup luas, tersebar hampir di seluruh penjuru Indonesia dengan jangkauan waktu yang lama, yakni dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut hingga ke masa perundagian,

(2)

dan dengan jenis yang sangat bervariasi (Prasetyo, 1989: 28). Setiap alat tentu saja memiliki karakteristiknya masing-masing. Seiring dengan bervariasinya jenis temuan alat cangkang moluska itu, terdapat pula jenis pemanfaatannya yang bermacam-macam. Namun hingga saat ini masih belum banyak situs-situs di Indonesia yang telah menghasilkan tipe-tipe dari alat cangkang moluska secara khusus. Kebanyakan penelitian yang ada masih dalam bentuk identifikasi awal yang menghasilkan tipe alat cangkang moluska dengan penamaan secara fungsionalnya saja.

Situs prasejarah yang diteliti mengenai alat cangkang moluska ini adalah di Gua Kidang. Situs Gua Kidang terletak di kawasan karst Blora, Jawa Tengah. Situs ini menjadi penting untuk diteliti karena merupakan temuan situs prasejarah baru di kawasan karst Blora. Situs ini juga merupakan salah satu gua hunian manusia prasejarah yang kaya akan temuan sisa faunanya, terutama alat dari cangkang moluska (Nurani, 2010:17-18).

Gua Kidang merupakan gua yang ditemukan oleh Kelompok Bidang Prasejarah, Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2005. Secara administratif, Situs Gua Kidang terletak di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Sementara itu, secara astronomis Gua Kidang terletak pada koordinat 06º 59’ 18,6” LS - 111º 11’ 50,2” BT (Nurani, Hascharyo & Koesbardiati, 2012: 1).

(3)

Kegiatan ekskavasi Tim Balai Arkeologi Yogyakarta di situs Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah yang dilakukan pada tahun 2005 hingga 2013 menemukan sejumlah artefak dari cangkang moluska Famili Pelecypoda dan Gastropoda, dan beberapa di ataranya masuk ke dalam kategori alat. Pengamatan awal terhadap alat-alat dari cangkang moluska menunjukkan adanya indikasi keberagaman tipe alat berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan. Keberagaman ini sangat terlihat pada alat yang terbuat dari cangkang Pelecypoda. Alat-alat tersebut tidak hanya terbuat dari cangkang Pelecypoda yang habitatnya di air asin saja, namun juga terbuat dari cangkang Pelecypoda yang habitatnya di air tawar. Berbeda dengan alat cangkang Gastropoda yang hanya terdiri dari satu jenis, yaitu alat yang terbuat dari cangkang

Gastropoda habitat air tawar.

Setiap moluska pasti memiliki struktur cangkang yang berbeda, tergantung dari habitatnya. Moluska yang habitatnya di air asin memiliki cangkang yang lebih kuat, tebal, dan kokoh, sementara moluska yang habitatnya di air tawar cenderung memiliki cangkang yang lebih rapuh dan tipis. Perbedaan struktur kepadatan dan ketebalan cangkang ini tentunya akan berpengaruh terhadap pembuatan alat, mulai dari pemangkasan awal, hingga ke pembuatan modifikasi tambahan yang berupa retus. Bentuk dari alat yang terbuat dari cangkang air asin dan air tawar pun akan berbeda karakteristik dan variasinya.

Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat pada penelitian ini adalah bagaimanakah tipologi dari alat cangkang Pelecypoda di situs prasejarah Gua Kidang, Jawa Tengah berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipe alat cangkang moluska Pelecypoda di situs prasejarah Gua Kidang, Jawa Tengah berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data. Pada tahap pengumpulan data, dilakukan kegiatan pengecekan sumber data terlebih dahulu untuk mencocokkan jumlah sumber data yang terdapat pada daftar temuan artefak cangkang moluska yang tercantum pada laporan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 2005, 2006, 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 dengan jumlah sumber data temuan artefak cangkang moluska yang tersimpan di ruang artefak Balai Arkeologi Yogyakarta, Jawa Tengah. Setelah itu dilakukan pemilahan artefak yang berupa alat. Dalam menentukan artefak mana yang merupakan alat diperlukan pengamatan mengenai jejak-jejak bekas pakai makro yang berupa serpihan mikro (microfracturing), striasi (striations) dan

(4)

garis-garis lurus (linear features), kilapan (polish), lubang-lubang kecil akibat hantaman (impact pits), serta penumpulan (edge rounding). Pengamatan ini dilakukan dengan bantuan kaca pembesar (hand magnifient).

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, artefak cangkang Pelecypoda yang memiliki ciri-ciri alat berjumlah 97 buah, yang berasal dari berbagai tahap penelitian dan kotak gali.

Tabel 1. Total alat cangkang Pelecypoda yang diteliti

Tahun/Tahap penelitian Kotak Jumlah

2005/tahap I LU-1 6

2009/tahap III B2U7 1

T6S1 3 2010/tahap IV B2U7 9 2011/tahap V B2U7 15 T6S2 7 T7S2 1 U31T49 10 2012/tahap VI T6S2 12 T7S2 9 U31T49 12 2013/tahap VII T7S2 12 TOTAL ALAT 97

Kemudian, ke-97 alat tersebut dideskripsikan secara piktorial dan verbal. Deskripsi piktorial dilakukan dengan pengambilan foto pada bagian dorsal (bagian luar) dan ventral (bagian dalam) alat cangkang Pelecypoda dengan menggunakan kamera Fujifilm Finepix S4300 dan kamera DSLR Canon 550D. Sementara itu, deskripsi verbal dilakukan untuk menguraikan aspek bentuk alat. Dalam tahap deskripsi, yang diuraikan adalah aspek-aspek nomor temuan dan asal temuan, jenis cangkang Pelecypoda (air asin atau tawar), cangkang yang digunakan (kiri atau kanan), keutuhan (completeness), bentuk umum alat, bentuk tajaman alat, retus pengerjaan, dan jejak-jejak makro yang terlihat pada alat. Selain itu ukuran juga merupakan aspek yang akan dideskripsikan. Aspek ukuran berkaitan dengan cara pengukuran pada artefaknya. Dalam metode pengukuran artefak alat cangkang moluska, variabel yang diukur adalah variabel panjang maksimum, lebar maksimum, tebal maksimum.

(5)

Pengukuran panjang, lebar, dan tebal maksimum ini dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.

Selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan tipologi artefak alat cangkang moluska. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi yang dikemukakan oleh Irving Rouse, yaitu klasifikasi analitik dan taksonomik. Pertama-tama dilakukan klasifikasi analitik terlebih dahulu untuk memperoleh mode-mode prosedural pada ke-97 alat cangkang Pelecypoda. Klasifikasi ini dilakukan dengan cara meneliti suatu kumpulan artefak dari sudut prosedur yang dilakukan oleh pembuat dalam pembuatan dan pemakaian alat, dimulai dengan bahan baku yang digunakan, teknik-teknik pembuatan dalam mempertimbangkan bentuk, hiasan, serta kegunaannya. Dalam setiap tahap prosedur tersebut ditemukan bahwa si pembuat mempunyai beberapa pilihan standar dan kebiasaan (Rouse, 1960: 314).

Klasifikasi taksonomik merupakan klasifikasi yang berfokus kepada atribut-atribut yang menunjukkan tipe. Atribut-atribut yang mengindikasikan tipe harus dipilih berdasarkan signifikansi budayanya. Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasi artefak untuk membentuk tipe-tipe. Cara yang paling spesifik adalah terlebih dahulu memisahkan artefak-artefak ke dalam dua kelas atau lebih yang berdasarkan kepada satu set mode (misalnya berdasarkan material yang digunakan), lalu membagi lagi kelas-kelas tersebut menjadi beberapa sub-kelas berdasarkan kepada satu set mode yang lainnya (misalnya berdasarkan bentuknya), dan selanjutnya hingga ke dalam sub-sub-kelas paling kecil (Rouse, 1960: 316).

Cangkang Moluska sebagai Alat

Dalam upaya merekonstruksi kebudayaan manusia pada masa lalu, arkeolog selalu bersandar pada benda budaya (material culture) yang ditinggalkan (Bahn, 1996: 24; Gamble, 2001: 100-101). Salah satu dari tinggalan budaya tersebut adalah alat yang terbuat dari cangkang Pelecypoda. Pada mulanya, cangkang yang disebut sebagai alat hanyalah cangkang yang memiliki tepian yang tampak dimodifikasi lebih lanjut, yang terlihat dari keberadaan retus pada tepiannya. Namun pada tahun 1970 an, seorang peneliti yang bernama Goodwin melakukan penelitian terhadap cangkang moluska dengan pendekatan ekologi kultural dan etnoarkeologi. Penelitiannya tersebut menunjukkan bahwa ada alat cangkang moluska yang tidak menunjukkan keberadaan retus. Oleh karena penelitian tersebut, para ahli pun membagi alat cangkang moluska ke dalam dua jenis, yaitu formal tools dan expedient tools (O’Day & Keegan, 2001: 274).

(6)

Formal tools cukup mudah untuk diidentifikasi karena ia tampak dimodifikasi lebih

lanjut setelah dilakukannya pemangkasan awal pada cangkang yang akan dijadikan alat. Modifikasi lanjutan (“secondary modification”) ini biasanya berbentuk retus. Retus merupakan modifikasi lanjutan yang dibuat jika pangkasan pertama belum menghasilkan tajaman yang diinginkan oleh si pembuat. Retus bisa juga mengacu pada pembuatan modifikasi tambahan untuk mempertahankan bentuk tajaman yang diinginkan setelah alat tersebut digunakan dan menjadi tumpul serta tidak tajam lagi (O’Day & Keegan, 2001: 280).

Pembuatan retus pada alat cangkang Pelecypoda pada umumnya menggunakan alat lain yang berujung lancip, bisa alat batu, kayu, ataupun tulang. Pada umumnya, teknik pembuatan retus yang digunakan adalah teknik tekan karena si pembuat akan lebih mudah mengontrol hasil retusannya dengan teknik ini. Teknik tekan dilakukan dengan cara menekan langsung alat yang berujung lancip ke alat cangkang Pelecypoda yang akan diretus.

Kedudukan formal tools mungkin telah menjadi semakin penting dari waktu ke waktu akibat kurangnya bahan baku yang lain. Di samping itu, nilai dari sebuah artefak dapat bergantung kepada faktor-faktor sosial dan ideologis. Ada kemungkinan besar bahwa formal

tools dimodifikasi ulang dan/atau digunakan kembali (O’Day & Keegan, 2001: 280).

Dalam banyak kasus, ada alat-alat cangkang moluska yang menunjukkan sedikit atau tidak adanya modifikasi berupa retus setelah cangkangnya dipangkas untuk menghasilkan

Foto 2. Pemangkasan Awal Alat  

Foto 3. Pembuatan retus dengan teknik tekan

   

Foto 4. Contoh Formal Tools  

(7)

suatu bentuk tertentu. Alat yang seperti itu dikenal dengan sebutan expedient tools. Biasanya

expedient tools menunjukkan adanya tanda-tanda dari pemakaian (terdapat bekas jejak

pemakaian) (O’Day & Keegan, 2001: 282).

Tumung, dkk. melakukan penelitian eksperimen terhadap jejak pakai pada alat cangkang moluska yang tidak diretus, dan menghasilkan beberapa jejak bekas pakai yang dapat diidentifikasi, yaitu jejak berupa serpihan mikro (microfracturing), striasi (striations) dan garis-garis lurus (linear features), kilapan (polish), lubang-lubang akibat hantaman (impact pits), serta penumpulan (edge rounding). Bekas luka sepihan mikro, striasi, dan garis-garis lurus cenderung berorientasi ke arah penggunaan alat yang biasanya terdapat pada bagian tajaman alat. Jejak berupa penumpulan biasanya sering terdapat pada alat serut (scraping tools) dan memanjang dari ventral hingga ke bagian dorsal karena bagian tersebut adalah bagian yang sering bersentuhan dengan materi yang dikerjakan. Kilapan telah dianggap sebagai salah satu indikator suatu alat bersentuhan dengan materi yang dikerjakan dan memiliki bentuk yang khusus pada berbagai macam alat. (Tumung et al., 2012: 9). Namun demikian, tidak semua jejak berupa kilapan dapat dilihat dengan pengamatan makroskopik.

Jejak bekas pakai tersebut dapat dilihat dengan kasat mata dan akan semakin jelas terlihat bila dilakukan dengan bantuan kaca pembesar. Jejak bekas pakai tersebut hampir semuanya berada di daerah tajaman alat, yaitu terletak di bagian luar dari fragmen-fragmen cangkang moluskanya. Jejak bekas pakai inilah yang kemudian menyebabkan hilangnya beberapa garis pertumbuhan (growth line) pada bagian-bagian tertentu cangkang.

Foto 5. Contoh jejak pakai (a) striasi dan penumpulan; (b) pecahan mikro (microfracture); (c) lubang-lubang akibat hantaman (impact pits); (d) kilap (polish)

a. b.

(8)

Foto 6. Tipe patah pada bagian lengkungan cangkang (arciform)

(Sumber: Lima et.al., 1986: 90)

Selain jejak pakai, alat cangkang Pelecypoda yang ditemukan pada situs-sistus prasejarah kebanyakan memiliki patahan pada bagiannya, baik patah yang disebabkan oleh kegiatan pemakaian ataupun patah secara natural. Lima et al. (1986) pernah melakukan penelitian berdasarkan tipe pecah pada alat cangkang Pelecypoda situs Ilha de Santana, Brazil, dan menghasilkan 21 macam tipe pecah. Ke-21 tipe pecah tersebut umumnya berasal dari tiga macam bentuk patahan, yaitu:

a. Patah pada bagian lengkungan cangkang (arciform) pada permukaan dorsal atau ventral, yang dapat disebabkan oleh kegiatan pemakaian (use-wear). Pada patahan ini terdapat bukti pengerjaan atau pemanfaatan alat (berbiku-biku (denticulations), patah horizontal, patah bertakik (indented fractures).

b. Patah melintang (transverse break) pada bagian tengah dan bagian tepi cangkang yang dapat terjadi pada bagian superior maupun inferior cangkang. Jika patahan seperti ini terjadi pada bagian inferior cangkang, maka bagian tersebut biasanya hanya tersisa sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali, sementara itu, jika terjadi pada bagian superior, umbo pada cangkangnya sudah tidak terlihat lagi. Biasanya patahan seperti ini membentuk sudut lancip pada cangkang.

Foto 7. Tipe patah melintang (transverse) pada bagian (a) inferior, dan (b) superior (Sumber: Lima et.al., 1986: 90, 93)

(9)

c. Patah diagonal (diagonal break) pada bagian tepi sebelah kiri dan/atau kanan cangkang. Jika patahan terjadi pada sebelah kiri cangkang, maka di bagian sebelah kiri tersebut yang tersisa hanya setengah dari bagian anterior dan proximal nya atau bahkan tidak tersisa sama sekali. Jika terjadi di sebelah kanan cangkang, maka di bagian sebelah kanan tersebut yang tersisa hanya setengah dari bagian posterior dan distalnya saja atau bahkan juga tidak tersisa sama sekali. Di beberapa kasus, patahan diagonal juga tejadi di sebelah kiri dan kanan cangkang, dan juga dapat menyebabkan cangkang berbetuk seperti segitiga. Biasanya patahan diagonal ini akan membentuk ujung runcing pada cangkang.

Tipologi Bentuk Alat Cangkang Pelecypoda Situs Gua Kidang

Untuk dapat membuat tipologi bentuk alat cangkang Pelecypoda di situs Gua Kidang, maka dilakukan klasifikasi pada alat terlebih dahulu. Pengklasifikasian dilakukan dengan dua tahap, pertama dilakukan secara analitik, kemudian dilanjutkan secara taksonomik. Klasifikasi analitik dilakukan untuk memperoleh mode pada ke-97 alat cangkang Pelecypoda. Mode-mode tersebut bukanlah mode yang bersifat biologis, kimia, ataupun fisika, namun merupakan mode yang bersifat budaya. Mode pada suatu alat berperan sebagai atribut, yang

Foto 8. Tipe patah diagonal (a) pada tepi sebelah kiri cangkang; (b) pada tepi sebelah kanan cangkang; (c) membentuk segitiga; (d) pada tepi sebelah kiri dan kanan cangkang

(Sumber: Lima et.al., 1986: 91-93)

a. b.

(10)

mencerminkan standar suatu masyarakat, serta memperlihatkan konsep atau cara pembuatan hingga cara pemakaian alat secara turun-temurun pada suatu masyarakat (Rouse, 1961: 313).

Mode dapat terdiri atas dua jenis, yaitu mode konseptual dan mode prosedural. Mode konseptual merupakan konsep/ide-ide dan standar yang diikuti oleh pengrajin ketika ia membuat artefak. Sementara itu, mode prosedural merupakan prosedur cara pembuatan yang lazim diikuti pengrajin dalam membuat dan memakai artefak (Rouse, 1960: 318). Dalam penelitian ini, klasifikasi analitik digunakan untuk memperoleh mode-mode yang bersifat prosedural, yaitu meneliti dari sudut prosedur yang dilakukan oleh pengrajin dalam pembuatan dan pemakaian alat. Dimulai dengan bahan baku yang digunakan, teknik-teknik pembuatan dalam mempertimbangkan bentuk, hiasan, serta kegunaannya. Dalam setiap tahap prosedur tersebut akan ditemukan bahwa si pengrajin mempunyai beberapa pilihan standar dan kebiasaan dalam membuat dan memakai alat (Rouse, 1960: 314). Oleh karena itu, pengetahuan dasar mengenai alat sangat dibutuhkan dalam menentukan standar dan kebiasaan tersebut. Berdasarkan hasil analisis, ke-97 alat cangkang Pelecypoda yang diteliti ini merupakan alat serut (scraper). Alat serut dicirikan dengan tajaman yang berada pada tepian bagian inferior cangkang, ada yang diretus, dan ada yang tidak diretus, namun memiliki jejak pakai pada tajamannya.

Klasifikasi analitik yang telah dilakukan terhadap ke-97 alat cangkang Pelecypoda situs Gua Kidang ini menghasilkan empat macam mode, yaitu jenis cangkang moluska yang dimanfaatkan, bentuk umum alat, bentuk tajaman, serta retus pengerjaan. Jenis cangkang moluska yang dimanfaatkan berkaitan dengan material yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan alat. Oleh karena itu, jenis moluska air asin maupun air tawar dapat memiliki metode pengerjaan yang berbeda. Manusia prasejarah kemungkinan memiliki standar dan kebiasaan tertentu terhadap cara pembuatan alat yang terbuat dari cangkang moluska yang hidup di air asin dan yang hidup di air tawar.

Mode kedua adalah bentuk umum alat. Bentuk umum alat berkaitan dengan fungsi dan cara pemakaian. Bentuk alat oval tentu akan berbeda fungsi dan cara pakainya dengan bentuk alat yang segitiga. Bentuk umum alat ini juga berkaitan dengan mode yang ketiga, yaitu bentuk tajaman. Bentuk tajaman yang berbeda juga dapat mengindikasikan fungsi dan cara pemakaian yang berbeda-beda dari berbagai alat. Misalnya, fungsi dan cara pemakaian dari alat dengan bentuk tajaman yang cembung akan berbeda dengan alat yang memiliki bentuk tajaman lurus.

Mode terakhir adalah retus pengerjaan. Retus berkaitan dengan bentuk tajaman yang dihasilkan. Selain itu, retus juga memperlihatkan indikasi pemakaian dari suatu alat. Bentuk

(11)

Retus Pengerjaan

Lurus

retus tentunya berkaitan dengan cara pembuatannya, apakah dibuat dengan teknik tekan atau teknik pukul, serta apakah diretus dari bagian ventral atau dorsal dari suatu alat. Akan tetapi, ada juga alat yang tidak mengalami peretusan sama sekali dan hanya memiliki jejak pakai pada tajamannya.

Mode-mode yang telah dihasilkan melalui klasifikasi analitik berperan sebagai atribut atau unit analisis yang digunakan pada klasifikasi taksonomik untuk pentuan tipe-tipe pada alat. Dalam klasifikasi ini, jenis cangkang moluska yang dimanfaatkan dijadikan sebagai “kategori alat” berdasarkan perbedaan bahan dasar yang digunakan, yaitu perbedaan struktur kepadatan dan ketebalan cangkang. Bentuk umum dijadikan sebagai penentu “tipe”. Berdasarkan pengerjaannya, ada alat yang dimodifikasi, dan ada yang tidak dimodifikasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap bentuk tajaman alat. Bentuk tajaman alat tentunya juga akan berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam tipologi ini, bentuk tajaman alat dijadiikan sebagai penentu “subtipe” pada alat. Selanjutnya retus pengerjaan dijadikan sebagai “variasi” karena tidak semua alat memiliki retus pada tajamannya, sebab retus merupakan modifikasi lanjutan yang dibuat jika hasil dari pangkasan pertama belum menghasilkan tajaman yang diinginkan

Mode

Jenis cangkang Bentuk umum alat Bentuk tajaman Air asin Air tawar Segitiga Trapesium Elips Tidak beraturan Cembung Cekung Diretus Tidak diretus Oval

Bagan 1. Mode pada kelompok alat cangkang Pelecypoda Gua Kidang  

   

(12)

oleh si pembuat. Jadi, retus merupakan opsi pilihan bagi si pembuat atau bisa disebut juga dengan “secondary modification” (O’Day & Keegan, 2001: 280).

Untuk mempermudah dalam penyusunan tipologi, maka dibuat sistem penamaan atau kode untuk tiap atribut yang telah ditentukan sebelumnya. Alat cangkang Pelecypoda air asin diberi kode “kategori 1”, sedangkan alat cangkang Pelecypoda air tawar diberi kode “kategori 2” Atribut bentuk umum alat diberi kode angka romawi, yaitu kode “I” untuk bentuk umum alat elips, “II” untuk oval, “III” untuk segitiga, “IV” untuk trapesium, dan “V” untuk tidak beraturan. Sementara itu, atribut bentuk tajaman diberi kode berupa angka Arab, yaitu kode “1” untuk bentuk tajaman cembung, “2” untuk cekung, dan “3” untuk lurus. Untuk retus pengerjaan unifasial diberi kode “A”, sedangkan untuk non-retus diberi kode “B”. Dalam proses penamaan, urutan kode pertama menyatakan tipe, kode kedua menyatakan subtipe, dan kode ketiga menyatakan variasi. Dengan demikian, subtipe dari tipe I dinamakan I.1, sedangkan apabila subtipe tersebut memiliki dua macam variasi, maka penamaannya menjadi I.1.A dan I.1.B.

Alat Cangkang Pelecypoda

 

Jenis cangkang air asin  

Jenis cangkang air tawar   Bentuk Alat Bentuk Alat Bentuk Alat Bentuk Alat Bentuk Tajaman     Bentuk Tajaman     Bentuk Tajaman     Bentuk Tajaman     Retus Pengerjaan   Retus Pengerjaan   Retus Pengerjaan   Retus Pengerjaan  

Bagan 2. Klasifikasi Taksonomik Alat Cangkang Pelecypoda Gua Kidang       Kategori Alat Tipe Subtipe Variasi

(13)

Alat Kategori 1 Tipe I

Tipe I merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air asin yang memiliki bentuk umum alat elips. Tipe ini berjumlah enam buah (15,8%). Tipe I ini memiliki satu subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe I.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air asin

berbentuk elips yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe I.1 ini berjumlah enam buah (15,8%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu:

Variasi I.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat elips dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe I.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (2,63%).

Variasi I.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat elips dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe I.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah lima buah (13,16%).

Foto 9. Varian I.1.A alat cangkang Pelecypoda air asin

(14)

Alat Kategori 1 Tipe II

Tipe II merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air asin yang memiliki bentuk umum alat oval. Tipe ini berjumlah 15 buah (39,5%). Tipe II ini memiliki satu subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe II.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air asin

berbentuk oval yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe II.1 ini berjumlah 15 buah (39,5%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu:

Variasi II.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat oval dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe II.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (2,63%)

Variasi II.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat oval dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe II.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah 14 buah (36,84%).

Alat Kategori 1 Tipe III

Tipe III merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air asin yang memiliki bentuk umum alat segitiga. Tipe ini berjumlah 15 buah (39,5%). Tipe III ini memiliki dua subtipe, yaitu sebagai berikut.

Foto 11. Varian II.1.A alat cangkang Pelecypoda air asin

(15)

Subtipe III.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air asin

berbentuk segitiga yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe III.1 ini berjumlah 14 buah (36,84%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu: Variasi III.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat segitiga dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe III.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (2,63%).

Variasi III.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat segitiga dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe III.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah 13 buah (34,21%).

Subtipe III.3 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air asin

berbentuk segitiga yang memiliki bentuk tajaman lurus. Subtipe III.3 ini tidak memiliki variasi retus pengerjaan, karena alat yang masuk dalam subtipe ini hanya berjumlah satu buah (2,63%) dengan tidak memiliki retus pada tajamannya.

Foto 15. Subtipe III.3 alat cangkang Pelecypoda air asin Foto 13. Varian III.1.A alat cangkang Pelecypoda air asin

(16)

Alat Kategori 1 Tipe IV

Tipe II merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air asin yang memiliki bentuk umum alat trapesium. Tipe ini berjumlah dua buah (5,3%). Tipe IV ini memiliki satu subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe IV.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air asin

berbentuk trapesium yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe IV.1 ini berjumlah dua buah (5,3%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu: Variasi IV.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat trapesium dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe IV.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (2,63%).

Variasi IV.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat trapesium dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air asin subtipe IV.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (2,63%).

Foto 16. Varian IV.1.A alat cangkang Pelecypoda air asin

(17)

Alat Kategori 2 Tipe I

Tipe I merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang memiliki bentuk umum alat elips. Tipe ini berjumlah 40 buah (67,8%). Tipe I ini memiliki dua subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe I.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk elips yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe I.1 ini berjumlah 25 buah (42,4%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu:

Variasi I.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat elips dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar subtipe I.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah 10 buah (16,95%).

Variasi I.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat elips dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar subtipe I.1 yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah 15 buah (25,42%).

Subtipe I.2 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk elips yang memiliki bentuk tajaman cekung. Alat yang masuk dalam subtipe I.2 ini berjumlah tiga buah (5,01%) dan seluruhnya tidak memiliki retus pada tajamannya.

Foto 18. Varian I.1.A alat cangkang Pelecypoda air tawar

(18)

Subtipe I.3 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk elips yang memiliki bentuk tajaman lurus. Alat yang masuk dalam subtipe I.3 ini berjumlah 12 buah (20,34%) dan seluruhnya tidak memiliki retus pada tajamannya.

Alat Kategori 2 Tipe III

Tipe III merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang memiliki bentuk umum alat segitiga. Tipe ini berjumlah lima buah (8,5%). Tipe III ini memiliki dua subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe III.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk segitiga yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe III.1 ini berjumlah dua buah (3,4%) dan seluruhnya tidak memiliki retus pada tajamannya.

Foto 20. Subtipe I.2 alat cangkang Pelecypoda air tawar

(19)

Subtipe III.3 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk segitiga yang memiliki bentuk tajaman lurus. Alat yang masuk ke dalam subtipe III.3 ini berjumlah tiga buah (5,08%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu:

Variasi III.3.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat segitiga dengan tajaman berbentuk lurus dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (1,7%).

Variasi III.3.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat segitiga dengan tajaman berbentuk lurus dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah dua buah (3,4%).

Foto 22. Subtipe III.1 alat cangkang Pelecypoda air tawar

Foto 23. Varian III.3.A alat cangkang Pelecypoda air tawar

(20)

Alat Kategori 2 Tipe IV

Tipe IV merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang memiliki bentuk umum alat trapesium. Tipe ini berjumlah delapan buah (13,56%). Tipe IV ini memiliki dua subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe IV.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk trapesium yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe IV.1 ini berjumlah tujuh buah (11,86%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu:

Variasi IV.1.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat trapesium dengan tajaman berbentuk cembung dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah tiga buah (5,08%).

Variasi IV.1.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat trapesium dengan tajaman berbentuk cembung dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah empat buah (6,8%).

Subtipe IV.3 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar berbentuk trapesium yang memiliki bentuk tajaman lurus. Alat yang masuk ke dalam subtipe III.3 ini berjumlah satu buah (1,7%) dan tidak memiliki retus pada tajamannya.

Foto 25. Varian IV.1.A alat cangkang Pelecypoda air tawar

Foto 26. Varian IV.1.B alat cangkang Pelecypoda air tawar

(21)

Alat Kategori 2 Tipe V

Tipe V merupakan tipe alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang memiliki bentuk tidak beraturan. Tipe ini berjumlah enam buah (10,2%). Tipe V ini memiliki dua subtipe, yaitu sebagai berikut.

Subtipe V.1 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk tidak beraturan yang memiliki bentuk tajaman cembung. Alat yang masuk ke dalam subtipe V.1 ini berjumlah empat buah (6,8%) dan seluruhnya tidak memiliki retus pada tajamannya.

Subtipe V.3 Subtipe ini terdiri dari alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar

berbentuk tidak beraturan yang memiliki bentuk tajaman lurus. Alat yang masuk ke dalam subtipe V.3 ini berjumlah dua buah (3,39%). Subtipe ini memiliki dua macam variasi, yaitu: Variasi V.3.A. Variasi ini memiliki bentuk umum alat tidak beraturan dengan tajaman berbentuk lurus dan memiliki retus pengerjaan unifasial. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (1,7%).

Foto 27. Subtipe IV.3 alat cangkang Pelecypoda air tawar

Foto 28. Subtipe V.1 alat cangkang Pelecypoda air tawar

(22)

Variasi V.3.B. Variasi ini memiliki bentuk umum alat tidak beraturan dengan tajaman berbentuk lurus dan tidak memiliki retus. Alat cangkang Pelecypoda habitat air tawar yang masuk ke dalam variasi ini berjumlah satu buah (1,7%).

Berdasarkan uraian di atas, alat cangkang Pelecypoda secara keseluruhan memiliki delapan macam tipe, yang dibagi ke dalam dua macam kategori, yaitu Kategori 1 merupakan alat cangkang Pelecypoda jenis air asin, dan Kategori 2 merupakan alat cangkang Pelecypoda jenis air tawar. Kategori 1 memiliki empat macam tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Tipe I, II, dan IV hanya memiliki satu macam subtipe bentuk tajaman, yaitu cembung. Tajaman cembung pada tipe I, II, dan IV ada yang memiliki retus, dan ada yang tidak. Sementara itu, tipe III memiliki dua subtipe bentuk tajaman, yaitu lurus dan cembung, namun hanya tajaman lurus yang tidak memiliki retus pada tajamannya. Berdasarkan analisis, tampak bahwa tipe II dengan bentuk tajaman cembung yang tidak diretus merupakan yang paling dominan pada alat Kategori 1.

Kategori 2 memiliki empat macam tipe, yaitu tipe I, III, IV, dan V. Tipe I memiliki tiga macam subtipe bentuk tajaman, yaitu cembung, cekung, dan lurus. Bentuk tajaman cembung ada yang memiliki retus, dn ada yang tidak, sedangkan bentuk tajaman cekung dan lurus keseluruhannya tidak memiliki retus. Tipe III dan V memiliki dua subtipe bentuk tajaman, yaitu lurus dan cembung, namun hanya tajaman cembung yang tidak memiliki retus pada tajamannya. Kemudian, tipe IV memiliki dua subtipe bentuk tajaman, yaitu lurus dan cembung, namun hanya tajaman lurus yang tidak memiliki retus pada tajamannya. Berdasarkan analisis, tampak bahwa tipe I dengan bentuk tajaman cembung yang tidak diretus merupakan yang paling dominan pada alat Kategori 2. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 2 dibawah ini.

(23)

Tabel 2. Rekapitulasi tipe, subtipe, dan variasi pada alat cangkang Pelecypoda situs Gua Kidang Kategori Alat Tipe Subtipe Variasi Jumlah Jumlah (%)

Jenis cangkang air asin

I I.1 I.1.A 1 1,03

I.1.B 5 5,15

II II.1 II.1.A 1 1,03

II.1.B 14 14,43

III III.1 III.1.A 1 1,03

III.1.B 13 13,4

III.2 1 1,03

IV IV.1 IV.1.A 1 1,03

IV.1.B 1 1,03

Jenis cangkang air tawar

I I.1 I.1.A 10 10,31 I.1.B 15 15,5 I.2 3 3,1 I.3 12 12,34 III III.1 2 2,06 III.3 III.3.A 1 1,03 III.3.B 2 2,06 IV IV.1 IV.1.A 3 5,01 IV.1.B 4 4,12 IV.3 1 1,03 V V.1 4 4,12 V.3 V.3.A 1 1,03 V.3.B 1 1,03 JUMLAH 97 100 Kesimpulan

Pengamatan awal terhadap alat-alat dari cangkang moluska yang terdapat di situs Gua Kidang menunjukkan adanya indikasi keberagaman tipe alat berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan. Keberagaman ini sangat terlihat pada alat yang terbuat dari cangkang

Pelecypoda. Alat-alat tersebut tidak hanya terbuat dari cangkang Pelecypoda yang habitatnya

di air asin saja, namun juga terbuat dari cangkang Pelecypoda yang habitatnya di air tawar. Perbedaan struktur kepadatan dan ketebalan cangkang air asin dan air tawar tentunya akan berpengaruh terhadap pembuatan alat, mulai dari pemangkasan awal, hingga ke pembuatan modifikasi tambahan yang berupa retus. Perbedaan tersebut tentunya akan menciptakan keberagaman tipe. Akan tetapi, penelitian mengenai tipe bentuk alat cangkang Pelecypoda berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan belum pernah dilakukan.

(24)

Keberagaman tipe pada alat cangkang Pelecypoda di situs Gua Kidang tersebut menyebabkan pentingnya penelitian mengenai tipologi bentuk alat berdasarkan jenis cangkang yang dimanfaatkan. Penelitian ini berujuan untuk mengungkap karakteristik dan variasi bentuk alat cangkang moluska yang terdapat di situs Gua Kidang, Blora, Jawa Tengah.

Berdasarkan tipologi yang telah dilakukan, alat cangkang Pelecypoda secara keseluruhan memiliki delapan macam tipe, yang dibagi ke dalam dua macam kategori, yaitu Kategori 1 merupakan alat cangkang Pelecypoda jenis air asin, dan Kategori 2 merupakan alat cangkang Pelecypoda jenis air tawar. Tipologi menunjukkan bahwa jenis cangkang

Pelecypoda yang dimanfaatkan berpengaruh pada tipe bentuk alat yang dihasilkan. Beberapa

alat memang dipangkas dengan bentuk tertentu sebelum digunakan, namun sebagian besar alat tampak langsung dipakai dengan keadaan masih dalam bentuk asli cangkangnya. Alat cangkang Pelecypoda jenis air asin lebih cenderung memiliki bentuk yang oval, sedangkan alat cangkang Pelecypoda jenis air tawar lebih cenderung memiliki bentuk yang elips.

Berdasarkan bentuk tajamannya, tampak bahwa bentuk tajaman yang paling dominan adalah bentuk tajaman cembung. Pada dasarnya, cangkang Pelecypoda, baik cangkang air asin maupun air tawar memang telah memiliki bentuk tepian inferior yang cembung, dan tepian tersebutlah yang digunakan sebagai tajaman alat pada kasus alat serut situs Gua Kidang, sehingga tidak perlu membuat retus lagi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa alat-alat cangkang Pelecypoda yang terdapat pada situs Gua Kidang umumnya merupakan expedient tools. Tampak bahwa manusia prasejarah penghuni Gua Kidang cenderung memanfaatkan secara langsung cangkang Pelecypoda yang utuh (tanpa diretus dan dipangkas membentuk suatu bentuk tententu) sebagai alat yang digunakan untuk menyerut. Akan tetapi, ada beberapa alat yang merupakan formal tools, yang dicirikan dengan keberadaan retus pada pada tajamannya. Peretusan pada alat dilakukan jika tajaman asli cangkang tidak tajam atau sudah tumpul, namun dalam hal ini, retus merupakan sebuah opsi lanjutan untuk memodifikasi alat.

Daftar Referensi

Bahn, P. (1996). Archaeology a very short introduction. UK: Oxford University Press.

Butzer, K.W. (1982). Archaeology as human ecology: Method and theory for a contextual

approach. Cambridge: Cambridge University Press.

(25)

Lammers-Keijsers, Y. (2008). Tracing traces from present to past: A functional analysis of

pre-Columbian shell and stone from Anse à la Gourde and Morel, Guadeloupe, FWI.

Netherlands: Leiden University Press.

Lima, T.A., Botelho de Mello, E. M., & Pinheiro da Silva, R.C. (1986). Analysis of molluscan remains from the Ilha de Santana site, Macaé, Brazil. Journal of Field

Archaeology, XIII (1). 83-97.

Nurani, I.A. (2010). Pola okupasi Gua Kidang hunian masa prasejarah di kawasan Karst Todanan Blora. Berita penelitian arkeologi, 24, 1-19.

Nurani, I.A., & Hascharyo, A.T. (2012). Laporan penelitian arkeologi pola okupasi Gua

Kidang, hunian prasejarah, kawasan Karst Todanan, Blora. Yogyakarta: Balai

Arkeologi Yogyakarta. (tidak diterbitkan).

Oakley, K.P. (1959). Man the tool-maker. Chicago: University of Chicago Press.

O’Day, S. J., & William, F. K. (2001). Expedient shell tools from the Northern West Indies.

Latin American Antiquity, XII, 3, 274-290.

Prasetyo, B. (1989). Distribusi artefak kerang masa prasejarah di Indonesia (dalam perbandingan). Pertemuan ilmiah arkeologi (V), 14-31.

Reitz, E.J., & Wing, E.S. (2008). Zooarchaeology. Cambridge: Cambridge University Press Rouse, I. (1960). The classifications of artifacts in archaeology. American Antiquity, XXV, 30,

313-323.

Tumung, L., Bazgir, B., Ahmadi, K., & Shadmehr, A. (2012). Understanding the use-wears on non-retouched shells Mytilus galloproincialis and Ruditapes decussatus by performig wood working experiment: An experimental approach. Materials Science

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Situs Gua Kidang
Tabel 1. Total alat cangkang Pelecypoda yang diteliti
Foto 2. Pemangkasan Awal Alat  	
  
Foto 5. Contoh  jejak pakai (a) striasi dan penumpulan; (b) pecahan mikro (microfracture);
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun objek sasaran yang dianalisis adalah kalimat tanya yang terdapat dalam naskah drama Ahlul-Kahfi babak I karya Taufi>q Al-Chaki>m yang selanjutnya dianalisis dengan

Koefisien transformasi regresi X2 untuk variabel DR adalah sebesar 0,748 Nilai koefisien menunjukkan bahwa a p a b i l a n i l a i DR meningkat satu satuan maka Return

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab kecelakaan karena lingkungan kerja yang tidak aman” ... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab

Apakah anda terikat kontrak kerja dengan perusahaan tempat anda bekerja saat ini. Jika ya,

Marilah kita mohon kepada Tuhan, agar kita yang telah dipersatukan dalam Ekaristi, mau diutus untuk  berbagi sehingga semangat berbagi semakin membara dalam diri kita

Tulang sesamoid merupakan tulang kecil yang ditemukan pada.. tendo-tendo tertentu, tempat terdapat pergeseran tendo

This paper was presented in forum New Students Orientation of Islamic Astronomy Concentration of the Family Law Major of Syariah Faculty of Walisongo State Institute